D PK 1103159 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memperkenalkan beberapa informasi pokok berkenaan dengan penelitian evaluatif yang dilaksanakan. Latar belakang penelitian yang menggambarkan sejumlah fenomena penyebab penelitian ini perlu dilakukan dipaparkan mulai hal-hal yang sifatnya ideal tentang pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris sampai pada realita implementasi saat ini. Agar permasalahan dapat ditangani dan penelitian dapat dilaksanakan secara realistis, pembatasan masalah penelitian dikemukakan. Selanjutnya perumusan masalah ke dalam pertanyaan umum dan khusus dituliskan dan tujuan penelitian ditetapkan yang menjadi acuan bagi penelitian dan pembahasan laporan penelitian pada bab-bab selanjutnya. Pada bab-bab ini juga dijelaskan mengenai signifikansi dan manfaat penelitian baik teoretis maupun praktis bagi sejumlah pihak. Sistematika penulisan ditampilkan agar memudahkan pembaca untuk memahami disertasi ini.

A. Latar Belakang Penelitian

Pengembangan kurikulum adalah salah satu upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan di sebuah lembaga pendidikan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh keberhasilan pengembangan kurikulum yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Demikian pula dengan keberhasilan pendidikan bahasa Inggris di lembaga-lembaga pendidikan formal ditentukan oleh keberhasilan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum bahasa Inggris di lembaga-lembaga tersebut. Evaluasi kurikulum bahasa Inggris tersebut memfokuskan pada aspek-aspek yang berbeda dari sebuah program bahasa (Richards, 2001: 286).

Pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah mencakup tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pengembangan


(2)

kurikulum memiliki empat unsur kurikulum, yaitu: tujuan, materi, proses belajar mengajar, dan penilaian/evaluasi (Nasution, 2003:18; Richards, 2001:39). Efektivitas implementasi kurikulum ditentukan oleh konsistensi komponen kurikulum tersebut. Jika keempat unsur tersebut konsisten dalam arti materi, proses, dan penilaian merujuk pada tujuan, maka tujuan kurikulum tersebut sangat dimungkinkan untuk tercapai. Sebuah kurikulum dinyatakan efektif jika tujuannya dapat tercapai.

Keberhasilan pengembangan kurikulum bahasa Inggris di lembaga-lembaga pendidikan formal dimulai dari keberhasilan analisis kebutuhan pendidikan/pembelajaran. Analisis kebutuhan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kebutuhan pendidikan, sehingga analisis kebutuhan tersebut memudahkan pengembang kurikulum, dalam hal ini salah satunya adalah guru bahasa Inggris, untuk merencanakan tujuan pendidikan, mengembangkan bahan ajar, memilih metode pengajaran, dan menentukan penilaian yang paling sesuai (Richards, 2001:67). Analisis kebutuhan tersebut memberikan informasi yang bermanfaat untuk membuat silabus dan perencanaan pembelajaran yang baik. Pada langkah selanjutnya, pelaksanaan/implementasi, perencanaan pembelajaran yang baik memudahkan guru untuk melaksanakan pembelajaran secara efektif dengan mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang maksimal. Sebagai langkah terakhir, evaluasi dilakukan untuk mengetahui efektivitas pencapaian pembelajaran. Perbaikan dapat dilakukan apabila hasil evaluasi mengindikasikan adanya kekurangan baik dari segi perencanaan maupun implementasinya.

Jika pengembangan kurikulum dilakukan sebagaimana mestinya seperti yang disebutkan di atas, maka pembelajaran bahasa Inggris dapat mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang tinggi, yakni, penguasaan kompetensi komunikatif sesuai yang diharapkan yang terlihat dari keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Namun demikian, pada kenyataannya berdasarkan studi awal siswa SMP belum menunjukan kemampuan komunikasi


(3)

bahasa Inggris sesuai dengan yang diharapkan. Adanya perbedaan antara standar yang diharapkan dicapai dengan realita pencapaian siswa SMP sesungguhnya memperlihatkan adanya gap. Gap ini menunjukan adanya permasalahan dalam pengembangan kurikulum di sekolah. Penyebab dari adanya gap dapat disebabkan rendahnya kefektifan implementasi kurikulum. Rendahnya keefektifan implementasi kurikulum tersebut dipengaruhi salah satunya oleh perencanaan kurikulum yang tidak baik dan unsur-unsur pendukung kurikulum yang tidak memadai.

Terdapat beberapa masalah dalam perencanaan kurikulum di sekolah. Masalah yang dimaksud di antaranya adalah masalah antara tuntutan peningkatan mutu dan tuntutan peningkatan akses. Pada satu sisi, pemerintah menghendaki mutu sekolah termasuk pengembangan kurikulum meningkat dengan mendorong sekolah untuk mencapai standar-standar pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Di sisi lain, akan sangat banyak anak usia sekolah yang kemungkinan tidak bersekolah jika standar nasional pendidikan, khususnya standar proses yang mengatur jumlah siswa tiap rombongan belajar, diterapkan secara ketat. Oleh karena itu, pemerintah juga menuntut sekolah untuk mampu menampung sebanyak-banyaknya anak usia sekolah, yakni dengan peningkatan akses pendidikan.

Akses pendidikan yang dipermudah tersebut membuat rombongan belajar di sekolah-sekolah termasuk sekolah yang berstandar nasional pun menjadi gemuk (sekitar 40 orang), padahal standar proses pendidikan nasional menghendaki maksimal 32 orang untuk tiap rombongan belajarnya (Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007). Hal ini tentu saja memperberat tugas pendidik dan pada gilirannya pencapaian tujuan-tujuan kurikulum yang ditetapkan pun menjadi berat. Permasalahan lainnya adalah Ujian Nasional (UN) yang menentukan kelulusan siswa SMP membuat konsentrasi guru dan juga siswa menjadi pada upaya menjawab soal-soal pilihan ganda secara benar dan


(4)

cepat. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar pada kelas sembilan menjadi tidak berbeda dengan bimbingan belajar yang marak saat ini. Oleh karena itu, perencanaan kurikulum perlu mempertimbangkan realita-realita tersebut agar dapat menentukan tujuan-tujuan kurikulum yang lebih realistis sehingga dapat diimplementasikan dengan maksimal.

Dalam implementasi kurikulum bahasa Inggris di Indonesia, kegiatan diawali dengan mengkaji standar nasional yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum, yaitu: standar isi, Standar Kompetensi Lulusan (SKL), standar proses, dan standar penilaian (Sundayana, 2013). Standar nasional tersebut merupakan acuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang selanjutnya menjadi rujukan bagi pengembangan silabus dan pengembangan materi. Implementasi kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris juga mencakup kegiatan pengembangan bahan ajar dan pengajaran (Richards, 2001:42). Pengembangan bahan ajar idealnya dilakukan oleh semua guru, namun demikian sebagian guru tidak melakukan pengembangan bahan ajar dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Tujuan pengembangan bahan ajar adalah menciptakan bahan-bahan yang dapat berfungsi sebagai sumber-sumber untuk pembelajaran yang efektif (Richards, 2001:262). Shulman dalam Richards (2001: 262) memandang pengembangan bahan ajar sebagai sebuah proses transformasi yang terdiri dari: persiapan, representasi, pemilihan, adaptasi dan menyesuaikannya dengan karakteristik siswa.

Semua guru bahasa Inggris dituntut melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris sesuai dengan standar proses (Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007) yang secara umum meliputi tahapan pembuka, inti dan penutup. Pembelajaran dengan tiga tahapan ini didasarkan pada rencana pembelajaran dan silabus yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam menyelenggarakan pembelajaran tersebut, sejumlah model pembelajaran dapat dipilih oleh para guru untuk dipergunakan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Model pembelajaran merupakan sarana yang dipilih berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan


(5)

karakteristik siswa. Richards (2001:215-216) mengemukakan bahwa model pengajaran didasarkan pada pendekatan tertentu. Ia menyebutkan beberapa pendekatan sebagai contoh, di antaranya adalah the communicative approach, the cooperative learning model, the process approach, dan the whole-language approach. Selain itu, Richards menyebutkan Text Based Approach yang di Indonesia menurut Wahyuni (2014) dikenal juga dengan Genre Based Approach.

Pembelajaran berbasis teks yang merupakan inti kurikulum bahasa Inggris memiliki berbagai kendala dalam penerapannya. Kendala tersebut bersifat konseptual maupun praktis. Secara konseptual, paradigma yang melandasi kurikulum bahasa Inggris masih asing di kalangan guru. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar guru bahasa Inggris ketika mereka kuliah tidak mendapat pengetahuan tentang linguistik sistemik fungsional yang memadai. Hal ini terungkap dari jawaban para guru anggota MGMP bahasa Inggris Kabupaten Subang tahun 2011 pada kuesioner Training Needs Analysis (TNA) yang Penulis berikan yang salah satunya berkenaan dengan perlu atau tidaknya mereka mempelajari Tatabahasa Sistemik Fungsional, 65,2% menyatakan sangat perlu dan 34,8% menyatakan perlu, serta tidak ada satu pun guru yang menjawab kurang perlu atau tidak perlu. Sementara itu, sosialisasi tentang kurikulum bahasa Inggris dengan paradigma ini yang dimulai tahun 2005/2006 melalui berbagai pelatihan guru, tampaknya belum memadai. Pada praktiknya, jarang sekali guru melakukan analisis terhadap teks-teks yang akan mereka gunakan dalam pembelajaran. Padahal, analisis teks merupakan hal yang sangat penting karena dengan analisis tersebut guru-guru lebih memahami fungsi sosial, struktur generik dan karakteristik leksiko-gramatikal teks untuk penentuan tujuan, materi, metode, dan penilaian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan hasil kajian dokumen dan penerapan di lapangan yang terangkum dalam Naskah Akademik Kajian Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum tahun 2007 terdapat beberapa permasalahan. Masalah dalam dokumen kurikulum terbagi ke dalam dua. Pertama, masalah pengelompokan SK


(6)

dan KD ke dalam empat keterampilan bahasa, yaitu: listening, speaking, reading

dan writing. Kedua, masalah terkait dengan penggunaan istilah-istilah kunci. Permasalahan dalam penerapan kurikulum di lapangan ada dua. Pertama, guru tidak membaca SK dan KD dengan benar. Kedua, permintaan adanya tema yang dapat membatasi pembelajaran untuk setiap jenis teks.

Setelah implementasi kurikulum, tahapan berikutnya adalah evaluasi kurikulum yang peranannya juga cukup penting. Evaluasi memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan kurikulum karena evaluasi merupakan bagian dari pengendalian kurikulum. Evaluasi sangat bermanfaat untuk dijadikan pertimbangan bagi para pemegang kebijakan pendidikan dari tingkat nasional sampai tingkat sekolah, dalam hal ini sekolah-sekolah yang standar nasional. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2004:172) yang mencatat bahwa evaluasi kurikulum sangat penting dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya dan pengambilan keputusan kurikulum pada khususnya.

Sekolah Standar Nasional (SSN) adalah sekolah yang telah memenuhi delapan standar minimal yang diterapkan pemerintah dalam hal ini BSNP (PP no 19 Tahun 2005). Standar yang dimaksud adalah standar isi, standar kompetensi lulus, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar proses, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan. Jika sebuah sekolah telah dinyatakan berstandar nasional oleh pemerintah, maka sekolah tersebut telah mampu memberikan layanan yang layak bagi para siswa termasuk dalam pemberian layanan pembelajaran bahasa Inggris. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris di sekolah standar nasional (SSN) jika berjalan sesuai dengan standar, memungkinkan kemampuan berbahasa Inggris siswanya dapat berkembang, baik dalam keterampilan listening, speaking,


(7)

Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi sekolah SSN dan juga sekolah-sekolah lainnya dalam pengembangan kurikulum. Pertama, kebijakan-kebijakan berkenaan dengan standar nasional pendidikan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum di sekolah tidak dipahami sepenuhnya baik oleh administrator/pimpinan sekolah maupun guru-guru dan tenaga kependidikannya (Mulyasa, 2006:vi). Banyaknya kebijakan-kebijakan yang muncul dalam kurun waktu yang singkat, sosialisasi yang lemah, dan budaya baca yang kurang menyebabkan pemahaman warga sekolah menjadi kurang tentang kebijakan tersebut. Kedua, pemahaman yang tidak penuh terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut membuat para warga sekolah mengandalkan model atau contoh baik dari pemerintah maupun sekolah lain mengenai penyusunan dokumen kurikulum sekolah. Padahal, model atau contoh tersebut belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di sekolahnya. Ketiga, banyaknya versi silabus dan RPP yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga pendidikan yang mensosialisasikan kurikulum dalam waktu yang berbeda menyebabkan guru-guru kebingungan. Hal ini menyebabkan guru-guru mengambil begitu saja model atau contoh silabus dan RPP yang muncul terakhir tanpa terlebih dahulu melakukan perbaikan atau penyesuaian. Padahal, silabus dan RPP model tersebut belum tentu sesuai dengan kondisi yang ada di sekolah mereka. Keempat, terkadang silabus dan RPP tidak menjadi acuan utama para guru dalam pembelajaran. Mereka masih menjadikan buku teks sebagai acuan utamanya. Akibatnya, di akhir semester tidak jarang guru-guru merasa kekurangan waktu. Hal ini wajar karena buku teks yang menjadi acuan utamanya disusun sedemikian rupa dengan materi yang lebih banyak sebagai pengayaan (Mulyasa, 2006:5). Kelima, sekolah jarang melakukan evaluasi kurikulum secara menyeluruh. Evaluasi yang dilaksanakan hanya sebatas evaluasi hasil belajar saja. Hal ini tentu kurang dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang sesungguhnya dalam pengembangan kurikulum di sekolah termasuk dalam pembelajaran bahasa Inggris.


(8)

Sejak tahun 2006, pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa semua sekolah harus menyusun kurikulum operasional sendiri dengan merujuk pada standar-standar yang ditetapkan pemerintah (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah model pengembangan dan model manajemen kurikulum yang dimaksudkan pemerintah untuk diterapkan di sekolah-sekolah (Sukmadinata, 2007, personal communication). Adapun model kurikulum yang dipergunakan adalah kurikulum berbasis kompetensi (Kosasih, 2007).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang saat ini diberlakukan di Indonesia lazimnya terdiri atas dua dokumen, yaitu, dokumen satu dan dua (Auladi, 2011; Muslich, 2009). Dokumen satu memuat visi, misi, tujuan pendidikan, prinsip pengembangan kurikulum, struktur, muatan, pengaturan beban belajar, pedoman penilaian dan kalender pendidikan. Sementara dokumen dua KTSP terdiri dari silabus dan RPP. Penyusunan dokumen satu dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum (TPK) yang dipimpin langsung oleh kepala sekolah. Adapun dokumen dua, semua guru termasuk guru bahasa Inggris berpartisipasi di dalamnya secara aktif baik individual maupun kelompok terutama dalam penyusunan silabus dan RPP. Guru-guru mata pelajaran diharuskan mengumpulkan silabus dan RPP yang mereka kembangkan untuk dilampirkan dalam dokumen dua tersebut.

Dalam pembelajaran bahasa Inggris, standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang menjadi acuan untuk pengembangan silabus memiliki kekhasan tersendiri, yaitu: pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Indonesia diarahkan untuk memahami dan mampu memproduksi teks-teks lisan dan tulisan yang tertuang dalam SK dan KD bahasa Inggris. Adapun pendekatan pembelajaran yang sangat dianjurkan dalam melaksanakan pembelajaran untuk pencapaian SK dan KD yang dimaksud adalah pendekatan pembelajaran berbasis genre (Agustien, dkk., 2004). Pembelajaran dengan


(9)

pendekatan ini bersifat eksplisit termasuk dalam pembelajaran tatabahasanya. Disamping itu, pembelajaran harus melalui siklus-siklus dan tahapan-tahapan tertentu agar para siswa menguasai sebuah teks. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru-guru dalam membuat perencanaan pembelajaran (silabus dan RPP) yang biasanya tidak melalui siklus dan tahapan yang panjang.

Sementara pada kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris sebelumnya (1994), teks juga menjadi rujukan dalam pembelajaran namun teks yang dimaksud untuk menstimulasi kegiatan komunikatif dalam pembelajaran. Perencanaan pembelajaran pada kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris tahun 1994 lebih ke silabus gabungan, yaitu: tema, fungsi, struktur dan keterampilan bahasa. Arahan kurikulum ini adalah pencapaian kemampuan komunikasi para pembelajar dengan pembelajaran yang sifatnya covert (implicit). Pendekatan yang dipergunakan adalah communicative approach dan turunannya meaning based approach.

Pembelajaran eksplisit sebenarnya telah dilaksanakan ketika implementasi kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris tahun 1984 dan sebelumnya 1975. Namun demikian, pada kurikulum tersebut pembelajaran eksplisit terutama dalam tata bahasa (grammar) hanya sampai pada tataran kalimat semata sementara pada kurikulum saat ini dengan SK dan KD sekarang (Permen 22 Tahun 2006) yang menjadi rujukan pembelajaran tidak hanya untuk pemerolehan struktur kalimat semata melainkan sampai pada upaya pemerolehan wacana. Pembelajaran eksplisit untuk leksiko-gramatikal yang dikehendaki dalam kurikulum yang menggunakan rujukan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan Standar Kompetensi Lulus (SKL) dimaksudkan untuk memberikan dasar yang kuat bagi para pembelajar sehingga mereka dapat menggunakan kosakata dan struktur kalimat/wacana untuk menganalisis teks-teks dan menciptakan makna dari teks tersebut.

Penekanan kurikulum bahasa Inggris di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: kurikulum bahasa Inggris yang memberi penekanan pada


(10)

struktural (structural emphasis), penekanan pada komunikasi (communicative emphasis), dan penekanan pada literasi (literacy emphasis). Penekanan struktural itu sangat kentara pada kurikulum bahasa Inggris tahun 1963-1975. Sementara itu, kurikulum tahun 1984 dan 1994 memberi penekanan pada aspek komunikasi (Sundayana, 2012). Aspek literasi menjadi penekanan utama dalam kurikulum tahun 2004 dan standar kompetensi/kompetensi dasar untuk kurikulum tingkat satuan pendidikan tahun 2006 sampai sekarang. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Agustien dkk (2004:45):

Pendekatan yang mendasari kurikulum ini (kurikulum tahun 2004) adalah pendekatan literasi yang berbeda dengan pendekatan struktural yang mengutamakan bentuk, maupun pendekatan komunikatif yang mengutamakan kemampuan komunikasi lisan.

Pada intinya perkembangan kurikulum bahasa Inggris di Indonesia mengikuti perkembangan pendekatan dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau bahasa kedua (Sundayana, 2012, personal communication). Pendekatan yang dimaksud adalah Audiolingual Approach (periode 60-an -70-an) untuk kurikulum 1963-1975; Communicative Approach (periode 80-an – 90-an) untuk kurikulum 1984 dan 1994, dan Genre Based Approach (2004 - sampai sekarang) untuk kurikulum 2004 dan 2006.

Perubahan paradigma kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris ke arah penekanan literasi merupakan fenomena global. Pada era tahun 1963-1975 paradigma linguistik struktural sangat kuat, sehingga memengaruhi segala aspek dalam pendidikan bahasa termasuk kurikulum bahasa Inggris di Indonesia. Dengan paradigma ini, bahasa Inggris dapat disederhanakan ke dalam struktur-struktur bahasa yang formal. Dengan demikian, seseorang dikatakan mampu berbahasa Inggris jika ia dapat menguasai struktur-struktur tersebut dengan baik. Di samping itu, pandangan behaviorisme sedang dalam puncak-puncaknya sehingga pembelajaran bahasa Inggris merupakan pembentukan kebiasaan berbahasa Inggris.


(11)

Pada periode 1984-1994, pandangan humanistik menguat yang memengaruhi dunia pendidikan termasuk dalam pendidikan bahasa Inggris. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Inggris yang lebih humanis dengan pendekatan komunikatif mengemuka. Para siswa diarahkan untuk berkomunikasi sebanyak-banyaknya dan kekeliruan struktural/gramatikal mendapat toleransi yang besar. Pada periode ini, sekalipun paradigma linguistik struktural masih sangat kental memengaruhi penerapan kurikulum bahasa Inggris, namun, paradigma linguistik fungsional yang arahannya pada pemerolehan kemampuan berwacana (text) mulai mengemuka dan memengaruhi dasar teoretik kurikulum tahun 1984 dan 1994.

Pada tahun 2000an, paradigma sistemik fungsional yang menjadi dasar pendidikan literasi mengalami penguatan setelah sekitar tiga dekade mengalami stagnasi. Dampaknya adalah terjadi perubahan-perubahan dalam paradigma kurikulum di sejumlah Negara, diantaranya Australia, Selandia Baru, Singapura, Filipina, dan Papua New Guinea (National Curriculum Board <2009>, Ministry of Education of New Zealand <2007>, Singapore English Syllabus <2010>,

Department of Education of Republic of Philippines <2010>, dan Department of Education of Papua New Guinea <2006>) . Paradigma ini mengungkapkan bahwa belajar bahasa adalah belajar menciptakan makna dengan wacana/teks.

Implementasi pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan karena pembelajaran di sekolah-sekolah formal masih belum memberikan dampak yang signifikan bagi kemampuan berkomunikasi siswa menggunakan bahasa Inggris. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 344 orang siswa SMP di lima kabupaten dan kota di Jawa Barat dalam hal kompetensi komunikatif bahasa Inggris, diperoleh bukti bahwa sebanyak 48.5% memiliki kemampuan komunikasi bahasa Inggris yang rendah, 48.3% sedang, dan hanya 3.2% saja yang tinggi. Perubahan kurikulum masih belum memberikan dampak yang berarti bagi pembelajaran bahasa Inggris baik di dalam maupun di luar kelas,


(12)

sekalipun sosialisasi berkenaan dengan paradigma kurikulum systemic functional grammar dan penerapan praktisnya telah banyak dilakukan.

Berkenaan dengan sosialisasi kurikulum, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional mensosialisasikan pembelajaran bahasa Inggris dengan paradigma baru ini sejak tahun 2005 sampai 2010 melalui sejumlah proyek pelatihan guru di seluruh Indonesia, yang diantaranya adalah Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi (PTBK). Guru-guru yang berpartisipasi dalam pelatihan ini memperoleh sejumlah materi yang mencakup landasan-landasan pendidikan bahasa Inggris (terutama landasan filosofis dan pedagogis), materi pembelajaran bahasa Inggris, metode pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan penyusunan perencanaan pembelajaran (silabus dan RPP). Materi-materi yang diberikan tersebut berlandaskan paradigma sistemik fungsional yang menekankan pemerolehan teks-teks baik fungsional maupun transaksional-interpersonal.

Kendatipun demikian sebagian guru masih belum dapat meninggalkan paradigma lama dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Pengajaran masih terpisah-pisah antara struktur kalimat dengan wacana atau tidak ada kesinambungan pembelajaran dari awal pertemuan sampai pertemuan selanjutnya.

Sementara itu, sebagian besar siswa yang telah belajar bahasa Inggris 6 tahun di sekolah-sekolah formal (3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA/SMK), ternyata belum memiliki kemahiran berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang memadai. Para lulusan sekolah formal masih belum mampu berbicara/bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia kerja mereka jika kebetulan harus berhadapan dengan native speaker. Demikian pula dalam hal baca dan tulis, kemampuan mereka masih sangat terbatas untuk menangkap atau mengungkapkan pesan tertulis menggunakan bahasa Inggris. Hal ini terbukti dengan hasil studi pendahuluan terhadap 38 orang guru bahasa Inggris SMP di empat belas kabupaten dan kota


(13)

di Jawa Barat dan sekitarnya yang mengungkapkan bahwa menurut penilaian mereka (55.3%) sebagian besar siswa memiliki kemampuan komunikasi bahasa Inggris yang rendah; 34.9% sedang; dan hanya 9.9% saja yang tinggi. Padahal dalam Standar Kompetensi Lulus (SKL) SMP, para lulusan SMP harus mampu memperlihatkan keterampilan-keterampilan berbahasa yang berterima walau sederhana, baik dalam keterampilan menyimak (listening skills), berbicara (speaking skills), membaca (reading skills), maupun menulis (writing skills).

Jika dilihat dari hasil rata-rata UN tahun 2012 secara nasional yang sebagian besarnya menguji keterampilan membaca (reading skills) dalam SKL, mata pelajaran Bahasa Inggris menempati urutan terakhir dari empat mata pelajaran yang diujian-nasionalkan, yaitu: 6,80. Sementara mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematik dan IPA rata-rata nilainya jauh berada di atas mata pelajaran Bahasa Inggris, yang masing masing mencapai nilai 8,02; 7,53; dan 7,54 (Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemdikbud, 2012).

Ketidakmampuan para siswa di sekolah-sekolah formal termasuk sekolah berstandar nasional untuk menunjukkan kemampuan berkomunikasi bahasa Inggris secara memadai sesuai dengan Standar Kompetensi Lulus (SKL), menandakan adanya masalah dalam hal efektivitas pembelajaran. Pembelajaran yang tidak efektif atau tidak mencapai SKL menandakan kurang atau tidak adanya efektivitas dalam pengembangan kurikulum. Keefektifan yang dimaksud dapat dilihat dari implementasinya.

B. Identifikasi Masalah

Berkenaan dengan latar belakang di atas, penelitian ini difokuskan pada lemahnya pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi lemahnya pencapaian SKL tersebut sebagai berikut:


(14)

1. Kurikulum. Kurikulum merupakan hal yang paling pokok dari pelaksanaan pendidikan formal karena kurikulum memberikan arah tentang tujuan yang perlu dicapai, cara mencapai tujuan itu dapat tercapai, dan bagaimana mencapai tujuan, serta cara menentukan ketercapaian tujuan tersebut. Dengan kata lain, kurikulum menentukan tujuan, materi, metode, dan evaluasi pendidikan.

2. Guru. Kualifikasi guru sebagai pelaksana kurikulum sangat berpengaruh terhadap kualitas implementasi kurikulum di dalam kelas. Semakin qualified

guru, maka semakin tinggi pula kemungkinan guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan yang dimaksudkan oleh kurikulum, sehingga, siswa dapat mencapai SKL yang maksimal. Hamied dalam Yani (2012) mengungkapkan, hanya kurang dari 35% guru-guru bahasa Inggris yang memenuhi kualifikasi pengajaran. Hal ini juga diperkuat oleh Jalal dkk dalam Yani A (2012) yang menyebutkan, dari 2.783.325 guru di Indonesia, sebanyak 62,4% dari mereka (1.739.484) tidak memenuhi kualifikasi akademik yang telah ditetapkan pemerintah. Rendahnya kualifikasi akademik guru-guru termasuk di dalamnya guru bahasa Inggris memengaruhi kualitas pembelajaran yang terlaksana, yang pada gilirannya membuat pencapaian SKL-nya pun rendah. Kualifikasi akademik guru harus sesuai karena peran-peran yang perlu dimainkan guru juga banyak dan menantang yang memerlukan penguasaan kompetensi yang mumpuni.

3. Pembelajaran. Pembelajaran yang berkualitas tinggi memungkinkan para siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, pembelajaran yang berkualitas (quality instruction) bergantung antara lain pada kemampuan guru menerjemahkan SKL dan standar isi ke dalam indikator pencapaian SK dan KD, pemilihan materi ajar yang sesuai dengan indikator pencapaian tersebut, pemilihan kegiatan pembelajaran yang dapat membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran, evaluasi pembelajaran yang


(15)

dapat memetakan siswa ke dalam kelompok yang dapat dan belum mencapai KD dan perbaikan pembelajaran (remedial) berdasarkan informasi tersebut. 4. Penilaian/Evaluasi Pembelajaran. Penilaian pembelajaran yang bermutu tidak

hanya memberikan informasi yang bermanfaat bagi pendidik untuk mengambil keputusan pembelajaran, melainkan juga memotivasi siswa untuk belajar lebih baik lagi. Dengan penilaian pembelajaran yang bermutu tersebut, baik pendidik maupun siswa tidak hanya dapat memperoleh bukti (to prove) pencapaian SKL melainkan juga membantu meningkatkan (to improve) pencapaian SKL. Sanjaya (2005:180) mencatat bahwa terdapat dua hal penting yang harus dipahami tentang evaluasi pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi. Pertama, evaluasi merupakan kegiatan integral dalam suatu proses pembelajaran. Kegiatan evaluasi tidak dapat dipisahkan dalam proses pembelajaran. Kedua, evaluasi bukan hanya tanggung jawab guru, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab siswa. Siswa harus memiliki kesadaran pentingnya evaluasi untuk memantau keberhasilannya sendiri dalam proses pembelajaran.

5. Sumber belajar. Ketersediaan sumber-sumber belajar yang memadai dengan kualitas tinggi dapat memfasilitasi para siswa untuk belajar lebih baik lagi. Dengan demikian, para siswa dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan bahasanya (listening, speaking, reading, dan writing skills) sesuai dengan yang ditetapkan SKL. Kusumah (2013:3-4) mengungkapkan 6 fungsi sumber belajar, yaitu: 1) meningkatkan produktivitas pembelajaran; 2) memungkinkan pembelajaran yang sifatnya lebih individual; 3) memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran; 4) lebih memantapkan pembelajaran; 5) memungkinkan belajar seketika; 6) memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas. Ketersediaan sumber belajar yang memadai yang dapat diakses pembelajar memungkinkan interaksi pembelajar dan sumber belajar yang tinggi dan produktif yang pada gilirannya membantu pencapaian SKL secara maksimal.


(16)

C. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luasnya cakupan kajian yang berkenaan dengan kurikulum, maka masalah penelitian ini dibatasi pada evaluasi implementasi kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris dalam upaya pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Terdapat beberapa alasan membatasi evaluasi pada tahapan implementasi saja. Pertama, tahapan implementasi merupakan tahapan yang sangat penting karena tahapan ini merupakan upaya penerapan konsep-konsep pendidikan yang tersusun dalam sebuah desain kurikulum. Kedua, tahapan implementasi merupakan tahapan yang sangat kompleks mengingat konsep tidak selamanya sesuai dengan realita lapangan. Ketiga, keberhasilan sebuah kurikulum tidak semata-mata dinilai dari segi desain atau perencanaannya semata melainkan juga penerapannya dalam bentuk nyata.

Kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris dipilih karena beberapa alasan.

Pertama, keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris yang tampak dari kemampuan komunikasinya sangat rendah. Sekitar 55,3% guru bahasa Inggris dalam studi pendahuluan menyebutkan bahwa kemampuan komunikasi bahasa Inggris sebagian besar siswanya rendah. Keadaan ini tentu menjadi tantangan tersendiri untuk mengungkap akar permasalahan rendahnya keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris. Kedua, Pelajaran Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib yang di-UN-kan. Oleh karena itu, mata pelajaran ini sangat menentukan kelulusan siswa dari SMP dan juga SMA/SMK.

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) menjadi acuan evaluasi implementasi kurikulum ini karena beberapa hal. Pertama, SKL adalah acuan utama bagi satuan pendidikan untuk merancang kegiatan pendidikan di dalamnya. Semua satuan pendidikan harus merujuk pada SKL agar dapat menetapkan tujuan pembelajaran, materi ajar, kegiatan belajar mengajar, dan penilaian yang tepat. Kedua, SKL merupakan gambaran/profil lulusan yang perlu diwujudkan oleh satuan-satuan pendidikan.


(17)

Upaya mengevaluasi keefektifan implementasi kurikulum dalam pencapaian SKL mencakup beberapa unsur, yaitu: kebijakan pengembangan kurikulum, dokumen kurikulum, perencanaan pembelajaran yang disusun guru, proses pembelajaran yang dilaksanakan, dan evaluasi kurikulum yang dilakukan.

Adapun dimensi-dimensi dalam evaluasi implementasi kurikulum tersebut mencakup dimensi context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi product. Pemetaan unsur-unsur evaluasi keefektifan implementasi kurikulum dalam pencapaian SKL berdasarkan dimensi-dimensinya adalah sebagai berikut: dimensi konteks mencakup unsur penerapan 8 standar nasional pendidikan yang merupakan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum; dimensi input mencakup dokumen KTSP dan silabus serta RPP; dimensi proses dan dimensi produk terkait dengan efektivitas proses pembelajaran, sementara evaluasi kurikulum merupakan cakupan meta evaluasi.

D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, pertanyaan penelitian secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana efektivitas implementasi kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris di SMPN berstandar nasional dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL)?” Beberapa pertanyaan dapat diturunkan dari rumusan masalah umum tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas penerapan kebijakan pengembangan kurikulum di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

2. Bagaimana kualitas dokumen kurikulum di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

3. Bagaimana kualitas penyusunan perencanaan pembelajaran di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?


(18)

4. Bagaimana efektivitas pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

5. Bagaimana kualitas evaluasi kurikulum di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

E. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan mengevaluasi efektivitas penerapan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris dalam pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) di SMP berstandar nasional di Jawa Barat. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi:

1. efektivitas kebijakan pengembangan kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

2. dokumen kurikulum yang disusun di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

3. penyusunan perencanaan pembelajaran di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

4. efektivitas proses belajar mengajar dilaksanakan di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

5. evaluasi kurikulum yang dilaksanakan di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

F. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Signifikansi penelitian ini dapat dilihat dari segi kepentingannya. Penelitian evaluasi implementasi kurikulum bahasa Inggris masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Dengan demikian, melalui penelitian ini diharapkan semua pihak yang berkepentingan dalam implementasi kurikulum bahasa Inggris dapat mempertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk perbaikan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris di masa mendatang.


(19)

Secara teoretis, penelitian diharapkan dapat menemukan prinsip-prinsip berkenaan dengan implementasi kurikulum yang efektif, khususnya dalam pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi: 1) pengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan kurikulum bahasa Inggris di SMP; 2) para guru bahasa Inggris SMP untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dirinya serta para siswanya; 3) peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang implementasi kurikulum bahasa Inggris di SMP.

G. Sistematika Penulisan Disertasi

Disertasi ini ditulis berdasarkan sistematika sebagai berikut:

1. Bab I berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II merupakan landasan teoretik penelitian. Landasan teoretik yang dituliskan di bab II ini adalah pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris, pembelajaran bahasa Inggris, hakekat bahasa Inggris, kompetensi dalam pembelajaran bahasa Inggris, hasil penelitian terdahulu, dan kerangka berpikir penelitian.

3. Bab III mengungkap metodologi penelitian yang terdiri dari pendekatan dan metode penelitian, langkah penelitian evaluasi, definisi operasional, pengembangan kriteria evaluasi, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, pengembangan instrumen, jenis data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.

4. Bab IV memaparkan temuan penelitian dan pembahasan. Temuan penelitian yang dimaksud berupa gambaran lokasi dan subyek penelitian, hasil analisis


(20)

data kuantitatif, gambaran pemerolehan data kualitatif, dan pembahasan hasil penelitian.

5. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian dan rekomendasi untuk berbagai pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan penelitian.


(1)

KD dan perbaikan pembelajaran (remedial) berdasarkan informasi tersebut. 4. Penilaian/Evaluasi Pembelajaran. Penilaian pembelajaran yang bermutu tidak

hanya memberikan informasi yang bermanfaat bagi pendidik untuk mengambil keputusan pembelajaran, melainkan juga memotivasi siswa untuk belajar lebih baik lagi. Dengan penilaian pembelajaran yang bermutu tersebut, baik pendidik maupun siswa tidak hanya dapat memperoleh bukti (to prove) pencapaian SKL melainkan juga membantu meningkatkan (to

improve) pencapaian SKL. Sanjaya (2005:180) mencatat bahwa terdapat dua

hal penting yang harus dipahami tentang evaluasi pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi. Pertama, evaluasi merupakan kegiatan integral dalam suatu proses pembelajaran. Kegiatan evaluasi tidak dapat dipisahkan dalam proses pembelajaran. Kedua, evaluasi bukan hanya tanggung jawab guru, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab siswa. Siswa harus memiliki kesadaran pentingnya evaluasi untuk memantau keberhasilannya sendiri dalam proses pembelajaran.

5. Sumber belajar. Ketersediaan sumber-sumber belajar yang memadai dengan kualitas tinggi dapat memfasilitasi para siswa untuk belajar lebih baik lagi. Dengan demikian, para siswa dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan bahasanya (listening, speaking, reading, dan writing skills) sesuai dengan yang ditetapkan SKL. Kusumah (2013:3-4) mengungkapkan 6 fungsi sumber belajar, yaitu: 1) meningkatkan produktivitas pembelajaran; 2) memungkinkan pembelajaran yang sifatnya lebih individual; 3) memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran; 4) lebih memantapkan pembelajaran; 5) memungkinkan belajar seketika; 6) memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas. Ketersediaan sumber belajar yang memadai yang dapat diakses pembelajar memungkinkan interaksi pembelajar dan sumber belajar yang tinggi dan produktif yang pada gilirannya membantu pencapaian SKL secara maksimal.


(2)

C. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luasnya cakupan kajian yang berkenaan dengan kurikulum, maka masalah penelitian ini dibatasi pada evaluasi implementasi kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris dalam upaya pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Terdapat beberapa alasan membatasi evaluasi pada tahapan implementasi saja. Pertama, tahapan implementasi merupakan tahapan yang sangat penting karena tahapan ini merupakan upaya penerapan konsep-konsep pendidikan yang tersusun dalam sebuah desain kurikulum. Kedua, tahapan implementasi merupakan tahapan yang sangat kompleks mengingat konsep tidak selamanya sesuai dengan realita lapangan. Ketiga, keberhasilan sebuah kurikulum tidak semata-mata dinilai dari segi desain atau perencanaannya semata melainkan juga penerapannya dalam bentuk nyata.

Kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris dipilih karena beberapa alasan. Pertama, keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris yang tampak dari kemampuan komunikasinya sangat rendah. Sekitar 55,3% guru bahasa Inggris dalam studi pendahuluan menyebutkan bahwa kemampuan komunikasi bahasa Inggris sebagian besar siswanya rendah. Keadaan ini tentu menjadi tantangan tersendiri untuk mengungkap akar permasalahan rendahnya keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris. Kedua, Pelajaran Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib yang di-UN-kan. Oleh karena itu, mata pelajaran ini sangat menentukan kelulusan siswa dari SMP dan juga SMA/SMK.

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) menjadi acuan evaluasi implementasi kurikulum ini karena beberapa hal. Pertama, SKL adalah acuan utama bagi satuan pendidikan untuk merancang kegiatan pendidikan di dalamnya. Semua satuan pendidikan harus merujuk pada SKL agar dapat menetapkan tujuan pembelajaran, materi ajar, kegiatan belajar mengajar, dan penilaian yang tepat. Kedua, SKL merupakan gambaran/profil lulusan yang perlu diwujudkan oleh satuan-satuan pendidikan.


(3)

SKL mencakup beberapa unsur, yaitu: kebijakan pengembangan kurikulum, dokumen kurikulum, perencanaan pembelajaran yang disusun guru, proses pembelajaran yang dilaksanakan, dan evaluasi kurikulum yang dilakukan.

Adapun dimensi-dimensi dalam evaluasi implementasi kurikulum tersebut mencakup dimensi context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi product. Pemetaan unsur-unsur evaluasi keefektifan implementasi kurikulum dalam pencapaian SKL berdasarkan dimensi-dimensinya adalah sebagai berikut: dimensi konteks mencakup unsur penerapan 8 standar nasional pendidikan yang merupakan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum; dimensi input mencakup dokumen KTSP dan silabus serta RPP; dimensi proses dan dimensi produk terkait dengan efektivitas proses pembelajaran, sementara evaluasi kurikulum merupakan cakupan meta evaluasi.

D. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, pertanyaan penelitian secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana efektivitas implementasi kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris di SMPN berstandar nasional dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL)?” Beberapa pertanyaan dapat diturunkan dari rumusan masalah umum tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas penerapan kebijakan pengembangan kurikulum di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

2. Bagaimana kualitas dokumen kurikulum di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

3. Bagaimana kualitas penyusunan perencanaan pembelajaran di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?


(4)

4. Bagaimana efektivitas pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

5. Bagaimana kualitas evaluasi kurikulum di SMPN berstandar nasional dalam pencapaian SKL?

E. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan mengevaluasi efektivitas penerapan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris dalam pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) di SMP berstandar nasional di Jawa Barat. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi:

1. efektivitas kebijakan pengembangan kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

2. dokumen kurikulum yang disusun di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

3. penyusunan perencanaan pembelajaran di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

4. efektivitas proses belajar mengajar dilaksanakan di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

5. evaluasi kurikulum yang dilaksanakan di sekolah-sekolah berstandar nasional dalam pencapaian SKL.

F. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Signifikansi penelitian ini dapat dilihat dari segi kepentingannya. Penelitian evaluasi implementasi kurikulum bahasa Inggris masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Dengan demikian, melalui penelitian ini diharapkan semua pihak yang berkepentingan dalam implementasi kurikulum bahasa Inggris dapat mempertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk perbaikan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris di masa mendatang.


(5)

berkenaan dengan implementasi kurikulum yang efektif, khususnya dalam pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi: 1) pengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan kurikulum bahasa Inggris di SMP; 2) para guru bahasa Inggris SMP untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dirinya serta para siswanya; 3) peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang implementasi kurikulum bahasa Inggris di SMP.

G. Sistematika Penulisan Disertasi

Disertasi ini ditulis berdasarkan sistematika sebagai berikut:

1. Bab I berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II merupakan landasan teoretik penelitian. Landasan teoretik yang dituliskan di bab II ini adalah pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Inggris, pembelajaran bahasa Inggris, hakekat bahasa Inggris, kompetensi dalam pembelajaran bahasa Inggris, hasil penelitian terdahulu, dan kerangka berpikir penelitian.

3. Bab III mengungkap metodologi penelitian yang terdiri dari pendekatan dan metode penelitian, langkah penelitian evaluasi, definisi operasional, pengembangan kriteria evaluasi, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, pengembangan instrumen, jenis data, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.

4. Bab IV memaparkan temuan penelitian dan pembahasan. Temuan penelitian yang dimaksud berupa gambaran lokasi dan subyek penelitian, hasil analisis


(6)

data kuantitatif, gambaran pemerolehan data kualitatif, dan pembahasan hasil penelitian.

5. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian dan rekomendasi untuk berbagai pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan penelitian.