PENYESUAIAN SOSIAL HOMOSEKSUAL STUDI KASUS PADA RUDI DAN JOKO

  PENYESUAIAN SOSIAL HOMOSEKSUAL STUDI KASUS PADA RUDI DAN JOKO SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Disusun oleh: Modestus Adityo NIM : 061114035 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  

PENYESUAIAN SOSIAL HOMOSEKSUAL

STUDI KASUS PADA RUDI DAN JOKO

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling

  

Disusun oleh:

Modestus Adityo

NIM : 061114035

  

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto Berpeluh dan tak mau menyerah Tak pernah mengeluh dan tak pernah mengalah.. (SID) Rentangkanlah sayap ini, terbanglah sesuka hati.. (NETRAL) Persembahan Karya ini ku persembahakan kepada :

  ƒ Gusti Yesus

  ƒ Bapak Budi dan Ibu Sri

  ƒ Mba’ Itin sekeluarga dan Mas Ias

  ƒ My Cheky Angel

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 31 Januari 2011 Penulis Modestus Adityo

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Modestus Adityo Nomor Mahasiswa : 06 1114035

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

PENYESUAIAN SOSIAL HOMOSEKSUAL

STUDI KASUS PADA RUDI DAN JOKO

  Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 31 Januari 2011 Yang menyatakan Modestus Adityo

  

ABSTRAK

Modestus Adityo. 2011. PENYESUAIAN SOSIAL HOMOSEKSUAL STUDI

KASUS PADA RUDI DAN JOKO, Skripsi S1 BK Yogyakarta: Universitas

Sanata Dharma

  Rudi dan Joko adalah homoseks. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat yang masih merendahkan keberadaan homoseks. Penelitian ini merupakan studi kasus terhadap Rudi dan Joko.

  Penyesuaian sosial Rudi dan Joko dapat dipahami dengan studi kasus. Rudi dan Joko menjadi homoseks merupakan proses belajar dari berbagai pengalaman. Dalam perkembangannya Rudi menjadi seorang homoseks yang memiliki sikap terbuka dan Joko menjadi seorang homoseks dengan sifat tertutup. Rudi dapat menerima dirinya secara penuh sehingga ia dapat melakukan penyesuaian sosial secara maksimal sedangkan Joko tidak dapat melakukan penyesuaian sosial yang maksimal karena ia sendiri belum mampu menerima dirinya secara penuh sebagai seorang homoseks.

  Treatment yang diajukan untuk menyelesaikan masalah Rudi adalah bimbingan dengan fungsi pemeliharaan dan pengembangan. Treatment ini menekankan tentang kelebihan Rudi agar tetap baik dan mantap. Treatment yang diajukan untuk menyelesaikan masalah Joko adalah konseling individual dengan pendekatan Interview for Adjusment. Pendekatan ini efektif bagi permasalahan yang dihadapi oleh Joko karena masalah yang dialaminya bersumber dari dalam dirinya yaitu Joko tidak dapat menerima dirinya sebagai seorang homoseks.

  

ABSTRACT

Modestus Adityo. 2011. Homosexuals Social Adjustment Case Study towards

Rudi and Joko, A Thesis of Guidance and Counseling Degree Yogyakarta:

Sanata Dharma University

  Rudi and Joko are homosexuals. The background of this research is based on the society’s point of view that is still looking on the negativity of their existence. The researcher conducts a case study towards Rudi and Joko.

  Through the case study, the researcher is able to understand Rudi and Joko’s social adjustment. Rudi and Joko’s homosexuality were formed through the learning process of their experience. Rudi is a homosexual who is open to others and Joko is a close person. Rudi is able to accept his condition as a homosexual better, so that he is able to make social adjustment maximally. On the contrary, Joko is not able to have social adjustment maximally because he is incapable to accept the fact that he is a homosexual.

  The kind of treatment which is suggested to overcome Rudi’s problem is guidance through development with care and development function. This treatment emphasizes Rudi’s quality in order to be good and stable. The kind of treatment which is suggested to overcome Joko’s problem is individual counseling through Interview for Adjustment approach. This approach is effective for Joko’s problem because the problem comes within himself in which Joko cannot accept that he is a homosexual.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasih karuniaNya, serta bimbinganNya selama proses penyelesaian skripsi ini.

  Skripsi ini berjudul “Penyesuaian Sosial Homoseksual Studi Kasus Pada Rudi dan Joko”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

  Selama melaksanakan penulisan ini, penulis sungguh banyak mendapatkan pengalaman dan wawasan . Baik pengalaman menyenangkan ataupun kurang menyenangkan, namun semua itu sangat berguna bagi berkembangnya diri penulis.

  Skripsi ini dapat terwujud berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah bersedia membimbing, membantu dan selalu memberikan dorongan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

  1. Drs. TA. Prapancha Hary, M.Si. Dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan kebebasan berpikir dalam penulisan ini.

  2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M. Si. Ketua Program studi Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan pengetahuan dan dorongan selama ini yang berguna bagi penulis.

  3. Br. Y. Triyono, S.J, S.S., M.S. Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan penulisan ini.

  4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis mengisi pikiran dengan pengetahuan yang tak ternilai.

  5. Rudi dan Joko yang sungguh bersedia membagikan pengalaman yang berharga sebagai subjek penulisan dan teman bercerita.

  6. Bapak dan Ibu serta kakak yang selalu memberikan semangat cinta kasih yang luar biasa.

  7. Pak Wens (Alm) dan keluarga yang telah memberikan semangat dan kekuatan.

  8. Keluarga Bpk. Rafael Sarwono yang sungguh telah membantu dan membimbing penulis.

  9. Teman-teman Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2006 semuanya tanpa terkecuali yang telah membantu penulis menghilangkan beban dengan membantu, bersenda gurau, beramah tamah dan makan bersama.

  10. Teman-teman di luar Prodi BK atau di luar USD yang telah memberikan suport dan bantuan tanpa tanggung-tanggung pada penulis.

  11. Semua pihak yang telah membantu selesainya penulisan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

  Dengan segala segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis memiliki harapan yang besar semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

  Penulis

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................ iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii

  

ABSTRACT ......................................................................................................... viii

  KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv

  BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 4 E. Batasan Istilah ........................................................................................ 5 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Penyesuaian Sosial ................................................................................. 7 1. Pengertian Penyesuaian Sosial ................................................... 7

  B.

  Homoseksual .......................................................................................... 19 1.

  Pengertian Homoseksual ............................................................ 19 2. Sejarah Homoseksual ................................................................. 20 3. Enam Tahap Perkembangan Homoseksual ................................ 21 4. Pembagian Homoseksual ........................................................... 24 5. Sebab-sebab Homoseksual ......................................................... 28 6. Homoseksual dan Budaya Indonesia ......................................... 30 C. Teori- Teori Konseling .......................................................................... 33 1.

  Person-Centered Counseling ..................................................... 34 2. Trait Factor Counseling ............................................................. 34 3. Konseling Behavioristik ............................................................. 34 4. Rational Emotive Therapy.......................................................... 35 5. Konseling Ekletik ....................................................................... 36

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ....................................................................................... 38 B. Subyek Penelitian ................................................................................... 38 C. Alat Pengumpul Data ............................................................................. 39 D. Metode dan Prosedur Pengumpulan Data .............................................. 39 E. Analisis Data .......................................................................................... 41 1. Penghimpunan Data ................................................................... 42 2. Diagnosis dan Prognosis ............................................................ 44 3. Treatment ................................................................................... 46

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Subjek 1 .................................................................................................. 47 5. Penghimpunan Data Subjek 1 .................................................... 47 6. Diagnosis dan Prognosis Subjek 1 ............................................. 66 7. Treatment Subjek 1 .................................................................... 68 B. Subjek 2 .................................................................................................. 69 1. Penghimpunan Data Subjek 2 .................................................... 69 2. Diagnosis dan Prognosis Subjek 2 ............................................. 81 3. Treatment Subjek 2 .................................................................... 83 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................ 86 B. Saran ....................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 91 LAMPIRAN ....................................................................................................... 92

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Daftar Pertanyaan Penyesuaian Sosial Lampiran 2 : Wawancara Rudi I Lampiran 3 : Wawancara Rudi II Lampiran 4 : Wawancara Rudi III Lampiran 5 : Wawancara Joko I Lampiran 6 : Wawancara Joko II Lampiran 7 : Wawancara Joko III

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seksualitas merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan

  manusia. Seksualitas dapat menunjukkan identitas manusia. Setiap manusia memiliki pemahaman seksualitas sendiri-sendiri dan tentu saja berbeda, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam aspek sepanjang hidup manusia, biar bagaimanapun manusia tidak dapat lepas dari seksualitas. Perbedaan pandangan tentang seksualitas ini tentu membawa berbagai dampak termasuk juga pandangan terhadap homoseksual. Ada yang dapat menerima atau berpandangan tidak negatif tentang homoseksual namun ada juga yang berpandangan negatif tentang homoseksual.

  Kaum homoseks sama seperti manusia lainnya, mereka memunyai dorongan untuk simpati, tertarik dan mencintai orang lain. Hanya saja mereka tidak tertarik pada lawan jenis tetapi pada sesama jenis. Hal ini yang membedakan orientasi seksualnya dengan orang yang heteroseksual. Master dan Johnson (Rahardjo, 1986) beranggapan bahwa kaum homoseksual tidak berbeda dengan orang normal dalam hal respons jasmani atau respons biologis terhadap rangsangan seks dan mereka itu patut diperlakukan sebagai orang normal.

  Di Indonesia saat ini banyak orang melihat homoseksualitas dihindari karena homoseksualitas merupakan hal yang tidak lazim di tengah masyarakat Indonesia sekarang ini. Selain itu pandangan sosial terhadap pasangan laki-laki dan perempuan juga berbeda. Pada umumnya kaum perempuan boleh memiliki keintiman fisik yang lebih besar satu sama lainnya tanpa penolakan sosial dibandingkan kaum laki-laki (Fromm, 2007). Pelukan atau bergandengan tangan sering dianggap wajar jika hal itu dilakukan oleh sesama kaum perempuan, namun jika yang melakukan kaum laki-laki maka akan menjadi hal yang aneh dan memiliki penilaian yang berbeda. Oleh sebab itu kaum homoseksual juga memiliki suatu keterbatasan untuk mengungkapkan dirinya di tengah kehidupan sosial.

  Tidak hanya sifat homoseksual yang dihindari oleh masyarakat namun kemudian para pelaku homoseksual yang dijauhi oleh berbagai pihak. Dapat dilihat terjadi diskriminasi terhadap sekelompok orang yang merupakan pelaku homoseksual. Contoh kasusnya adalah pada tanggal 26 Maret 2010 (Bhineka, 2010) terjadi pembubaran paksa oleh sekelompok orang terhadap

  ILGA yang merupakan sebuah konfrensi lesbian dan gay untuk membicarakan tentang hak asasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual. Transgender/Transseksual).

  Menurut Tobing (dalam Hary, 1994) hal ini menyebabkan mereka dihantui rasa bersalah sehingga berakibat mereka menutup orientasinya, atau ada pula yang bertahan namun dia menutup relasi sosialnya dengan lingkungan masyarakat. Selain itu mereka juga memiliki sikap yang tertutup dalam mengungkapkan diri. Hal-hal semacam ini tentu akan menghambat jiwa yang parah, bahkan ada usaha bunuh diri, karena terjadinya konflik antara orientasi seks dan pandangan masyarakat terhadap mereka. Padahal aspek sosial merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi agar manusia dapat menjalani perkembangan secara optimal. Menurut Gerungan (1988) manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial sejak lahir, ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya seperti makan, minum dan lain-lain. Dengan demikian kebutuhan sosial merupakan sesuatu yang krusial bagi manusia.

  Masalah homoseksual tidak hanya terjadi di masyarakat luas namun juga dapat terjadi di sekolah. Melalui pemahaman studi kasus guru pembimbing mampu mendalami latar belakang permasalahan siswa secara lebih mendalam tentang dan dapat memberi penanganan yang efektif terhadap permasalahan tersebut. Dengan demikian guru pembimbing dapat mendampingi dan mengarahkan siswa untuk berkembang secara maksimal dan optimal sesuai dengan potensinya.

  Dari penjabaran tersebut dapat dilihat berbagai konflik atau permasalahan dari kaum homoseksual dengan penyesuaian sosial. Penolakan yang sering diterima oleh kaum homoseksual membuat mereka berusaha keras mengatasi persoalan ini. Selain penolakan mereka juga sering mengalami pelecehan seperti menjadi bahan pembicaraan atau bahan tertawaan yang akan berpengaruh pada penyesuaian sosial mereka.

  Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk sebenarnya) sebagai homoseksual dalam bentuk studi kasus. Dengan demikian penulis berharap dapat memahami kehidupan mereka sebagai homoseks secara utuh dan mendalam serta membantu dirinya mengambil sikap yang tepat terhadap masyarakat yang kurang dapat menerima dirinya

  B. Rumusan Masalah

  Dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan di jawab adalah sebagai berikut : Bagaimanakah penyesuaian sosial Rudi dan Joko dalam kehidupannya sebagai homoseks?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk : Memahami penyesuaian sosial dalam kehidupan Rudi dan Joko sebagai seorang homoseks secara utuh dan mendalam.

  D. Manfaat Penelitian 1.

  Bagi Rudi dan Joko Hasil penelitian dapat dijadikan refleksi yang mendalam bagi Rudi dan Joko, agar mampu membentuk sikap yang tepat dalam kehidupannya sebagai homoseks di tengah masyarakat yang kurang menerima dirinya

  2. Bagi Penulis a.

  Penulis memeroleh informasi dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan seorang homoseksual dalam kaitannya dengan penyesuaian sosial.

  b.

  Penulis juga dapat mengembangkan keterampilan dalam melakukan konseling karena memeroleh kesempatan untuk mendalami kasus Rudi dan Joko tentang penyesuaian sosial sebagai seorang homoseksual di tengah masyarakat yang kurang dapat menerimanya.

  3. Bagi Ilmu Bimbingan dan Konseling a.

  Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi bimbingan dan konseling, khususnya pemahaman fenomena penyesuaian sosial pada homoseks.

  b.

  Memberi informasi mengenai latar belakang kehidupan homoseks, sehingga dapat menemukan pendekatan terapi yang tepat, apabila menemukan permasalahan yang sama.

E. Batasan Istilah 1.

  Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial adalah keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya (Hurlock, 1980) 2. Homoseksual

  Homoseks adalah orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau kepada sesama jenis kelaminnya (Oetomo, 2003). Ini berarti bahwa lelaki homoseks adalah lelaki yang secara emosional dan seksual tertarik pada lelaki (Hary, 1994) 3. Studi Kasus

  Studi Kasus adalah suatu metode untuk memelajari keadaan dan perkembangan seorang individu secara utuh dan mendalam dengan tujuan memahami keberadaan dirinya dengan lebih baik Keuntungan terbesar dari studi kasus adalah adanya kemungkinan untuk melakukan penyelidikan secara mendalam dengan berusaha memahami anak atau orang dewasa secara utuh dalam totalitas lingkungan individu tersebut (Furchan, 1982)

BAB II KAJIAN TEORI A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial adalah keberhasilan seseorang untuk

  menyesuaikan dirinya terhadap orang lain dan terhadap kelompok (Hurlock, 1980). Terdapat dua arti tentang penyesuaian diri terhadap lingkungan (Gerungan, 1988) : a.

  Autoplastis Autoplastis berarti mengubah diri sesuai dengan lingkungan.

  Lingkungan memberi pengaruh terhadap diri manusia dan manusia berusaha menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan tersebut.

  b.

  Aloplastis Aloplastis berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. Diri memberi pengaruh dan memiliki kemampuan untuk dapat mengubah lingkungan.

  Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum (Hendriati, 2006).

  a.

  Masyarakat Menurut Durkheim (Wens, 2008) masyarakat merupakan sistem sosial yaitu suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (bagian-bagian dapat berupa kelompok- kelompok, dapat pula berupa individu-individu), yang saling bergantungan satu sama lain, dan memiliki kesadaran kolektif, solidaritas sosial, memiliki kontrol sosial terhadap penyimpangan. Dalam masyarakat terdapat hubungan antara bagian-bagian yang membentuk satu keseluruhan. Untuk membentuk kesatuan tersebut maka dibutuhkan penyesuaian sosial dari masing-masing anggotanya karena berkaitan dengan orang lain di dalam masyarakat itu.

  b.

  Keluarga Didalam keluarga, seseorang mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya(Ali, 2005).

  Proses sosialisasi ini membentuk sebuah penyesuaian sosial dan turut memengaruhi perkembangan sosial dan gaya hidupnya di luar keluarga. c.

  Sekolah Parsons (Wens, 2008) berpandangan bahwa kelas-kelas di sekolah menjadi agen sosialisasi yang digunakan para siswa untuk mengembangkan dan memperkuat proses sosialisasi yang sudah mereka mulai sejak dalam keluarga. Dalam sekolah terjadi penyesuaian sosial dimana kemampuan diri yang diperoleh dalam keluarga sisesuaikan dengan lingkungan sekolah.

  d.

  Teman Teman adalah orang lain yang diinginkan yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dapat mengerti dan membuat rasa aman, dan kepadanya dapat dipercayakan masalah-masalah atau hal-hal tertentu (Hurlock, 1980). Disetiap lingkungan yang berbeda seseorang juga dapat memiliki teman yang berbeda tergantung nilai-nilai yang terangkat dalam lingkungan tersebut. Dalam menjalankan hubungan dengan teman yang merupakan orang lain maka seseorang melakukan penyesuaian sosial agar dapat diterima oleh orang tersebut.

  Dalam lingkup tersebut terdapat suatu pola kebudayaan yang harus disesuaikan dengan situasi diri. Menurut Edward (Wens, 2005) kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Hal ini berarti bagaimana usaha seseorang tersebut untuk hidup bergaul dengan orang lain serta hidup dalam kelompok masyarakat, dimana dalam kelompok tersebut terdapat norma dan berbagai keteraturan yang mengikatnnya. Manusia yang hidup dalam lingkungan sosial harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan nilai moral yang terkandung dalam budaya tersebut.

  Dalam penyesuaian sosial seseorang membutuhkan interaksi sosial.Interaksi sosial adalah tindakan saling menanggapi, saling mengerti, saling berkomunikasi dari orang-orang yang hidup dalam sistem sosial (Wens, 2008). Dengan demikian, berarti seseorang yang mencapai penyesuaian sosial yang baik dapaat memberi respon aktif terhadap lingkungan sosialnya.

  Jadi penyesuaian sosial merupakan kemampuan seseorang untuk bereaksi seefektif mungkin terhadap situasi dan kenyataan yang ada, juga merupakan usaha seseorang dalam memenuhi harapan dan tuntutan- tuntutan lingkungannya, sehingga nantinya akan tercipta keseimbangan antara diri dengan lingkungan dimana ia tinggal. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat- istiadat yang ada sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu (Hendriati, 2006). sudah dapat berinteraksi dengan lingkungannya sesuai dengan norma- norma yang berlaku.

2. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial

  a. Ada beberapa aspek penyesuaian sosial yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial seseorang (Hurlock, 1980): 1)

  Penampilan Fisik Penampilan fisik berarti penampilan seseorang yang dapat dilihat secara kasatmata, yaitu bagaimana bentuk wajah dan tubuh seseorang serta penampilan dirinya. Penampilan fisik seseorang sangat berpengaruh pada penyesuaian sosial seseorang karena orang lain akan menilai secara langsung dari penampilan diri. Penilaian orang lain tersebut tentu dapat memengaruhi pembawaan diri dalam lingkungan sosial. Bentuk tubuh yang tidak patut, seperti anak perempuan yang terlalu tinggi atau anak laki-laki yang terlalu kurus, menimbulkan penilaian sosial yang kurang baik (Hurlock, 1980).

  Perasaan-perasaan seperti ini membuat seseorang merasa tidak betah, tidak nyaman dan merasa jengah di dalam kelompoknya, sehingga dalam berkomunikasi dengan orang lain kurang spontan dan lebih membatasi diri dalam berperilaku. Hal ini menghambat penyesuaian sosial seseorang. Penampilan fisik lainnya adalah persyaratan utama dalam berpakaian bagi kawula muda adalah bahwa pakaian yang dikenakan harus disetujui oleh kelompok. Jadi berpakaian sangat memengaruhi penyesuaian sosial seseorang. 2)

  Penyesuaian Diri Terhadap Kelompok Penyesuaian diri terhadap kelompok dapat dibedakan menjadi dua

  (Hurlock, 1980) yaitu :

  a) Kelompok kecil atau klik (cliques)

  Kelompok kecil ini biasanya terdiri dari teman-teman dekat, jumlah anggotanya kurang lebih lima sampai enam orang dan memunyai jenis kelamin yang sama. Hubungan emosional dalam kelompok kecil lebih dekat dibanding dengan kelompok besar.

  b) Kelompok besar (crowds)

  Kelompok besar merupakan persatuan dari kelompok- kelompok kecil. Kelompok ini beranggotakan lebih dari enam orang dengan jenis kelamin yang dapat sama ataupun berbeda. Bila seseorang ingin diterima dalam kelompok harus memiliki kriteria-kriteria yang ditentukan oleh kelompok. Menurut Hurlock (1980) beberapa kondisi yang dapat menyebabkan seseorang dapat diterima dengan baik dalam kelompok sehingga dapat melakukan penyesuaian sosial adalah : i.

  Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira. ii.

  Reputasi sebagai seseorang yang sportif dan menyenangkan. iii.

  Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-temannya. iv.

  Perilaku sosial yang ditandai oleh kerjasama, tanggung jawab, panjang akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan. v.

  Matang terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan-peraturan. vi.

  Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti : jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri dan terbuka. vii.

  Status sosial ekonomi yang sama atau sedikitnya di atas anggota-anggota yang lain dalam kelompoknya dan hubungan yang baik dengan anggota keluarga. viii. Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah hubungan dan partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok.

  Sedangkan beberapa kondisi yang dapat kelompok sehingga tidak dapat dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik adalah : i.

  Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri. ii.

  Terkenal sebagai orang yang tidak suportif. iii.

  Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan. iv.

  Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, menganggu dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana. v.

  Kurangnnya kematangan, terutama kelihatan dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan kebijaksanaan. vi.

  Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah. vii.

  Status sosial ekonomi berada di bawah status sosioekonomi kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota keluarga. viii.

  Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena bekerja sambilan.

  Selain kelompok besar dan kelompok kecil, menurut Hendropuspito (1989) masih ada delapan jenis kelompok lagi yaitu:

  a) Kelompok primer

  Kelompok primer adalah satuan hidup yang ditandai dengan hubungan yang akrab mesra di antara anggota- anggotannya. Dua unsur yang mempengaruhi terbentuknnya kelompok primer adalah adanya rasa solidaritas dan menyandang nasib yang sama.

  b) Kelompok sekunder

  Kelompok sekunder adalah kelompok yang hubungan antar anggota-anggotannya tidak akrab, bahkan sangat renggang dan asing satu dengan yang lain.

  c) Kelompok dalam

  Kelompok dalam adalah para anggota di dalam kumpulan yang memiliki cita-cita yang sama dan menaati kaidah- kaidah yang sama.

  d) Kelompok luar

  Kelompok luar adalah satu orang atau lebih yang tidak e) Kelompok keanggotaan

  Kelompok keanggotaan adalah kelompok di mana seseorang secara resmi dan secara fisik menjadi anggota.

  Orang lain dapat mengenal secara pasti anggota kelompok dari tanda-tanda pengenalnya.

  f) Kelompok patokan

  Kelompok patokan adalah kelompok di mana seseorang mempunyai ikatan batin. Seseorang menerima pengaruh dari suatu kelompok dan menyesuaikan hidupnya dengan kelompok itu karena kelompok itu dipandangnya berguna untuk mengembangkan hidupnya.

  g) Kelompok penekan

  Kelompok penekan adalah suatu kelompok yang anggota- anggotannya bertujuan memperjuangkan kepentingan mereka di tenganh kelompok yang lebih besar dengan menggunakan tekanan sosial.

  h) Kelompok dasar

  Kelompok dasar adalah kelompok yang dibentuk secara spontan daaari bawah untuk melindungi anggota- anggotannya terhadap tekanan yang dipandang negatif dari kelompok yang lebih besar dan sekaligus berfungsi sebagai sumber kegiatan bagi anggotanya.

  3) Sikap Sosial

  Menurut Ahmadi (1990) sikap sosial adalah suatu kesadaran individu yang menentukan perbuatan-perbuatan nyata ataupun yang terjadi didalam kegiatan-kegiatan sosial. Sikap sosial menunjukan bagaimana peran seseorang melakukan partisipasi dalam kegiatan sosial. Jadi kegiatan sosial tidak hanya berfokus pada diri individual saja, namun pada kegiatan-kegiatan yang bersifat umum atau sosial.

  4) Kepuasan Pribadi

  Dalam melakukan hubungan dengan teman sebayanya, baik dengan kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok lain seseorang akan merasa puas jika ia sendiri memiliki banyak relasi, diterima dan merasa dikenal orang lain. Seseorang akan lebih puas lagi dalam hubungan sosialnya jika ia menjadi pemimpin. Menurut Hurlock (1980) untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, seseorang harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota .

  5) Sifat Kepribadian

  Sifat kepribadian seseorang turut menentukan taraf keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial. Sifat kepribadian seseorang juga memunyai pengaruh besar dalam melakukan pemilihan relasi. b. Menurut Hendriati (2006) penyesuaian sosial yang dilakukan individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sebagai berikut : 1)

  Kondisi fisik, yang meliputi keturunan, kesehatan, bentuk tubuh, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik 2)

  Pertumbuhan dan kematangan, yang meliputi perkembangan intelektual, sosial, moral dan kematangan emosional. Pertumbuhan yang bersifat biologis berhubungan dengan perkembangan reproduksi, remaja diharapkan mampu mengelola dorongan seksualnya sehingga sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perkembangan fisik selama pubertas bagi remaja merupakan masa yang membutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang baik, remaja akan menemukan bentuk tubuh yang baru dan proses-proses alamiah yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan.

  3) Kondisi psikologis, yaitu faktor-faktor pengalaman individu, frustrasi, dan konflik yang dialami, dan kondisi-konsi psikologis seseorang dalam penyesuaian diri. Kebutuhan-kebutuhan psikologis juga termasuk di dalamnya seperti kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang dan harga diri.

  4) Kondisi lingkungan, yaitu kondisi yang ada di lingkungan seperti kondisi keluarga, sekolah dan masyarakat.

  5) Budaya, termasuk adat istiadat dan agama yang turut memengaruhi

B. Homoseksualitas 1.

  Pengertian Homoseksual Menurut Rahardjo (dalam Prasetyo, 2003) homoseksualitas adalah tingkah laku seksual berupa kecenderungan serta keinginan untuk berhubungan secara fisik atau tanpa hubungan seksual antara orang-orang yang berjenis kelamin sama, pada lelaki disebut homoseksualitas dan pada perempuan disebut lesbianisme.

  Lawrance (dalam Kristantini, 1991) menjelaskan bahwa omoseksual berasal dari kata homo dalam bahasa Yunani yang berarti manusia, bukan dari bahasa Latin yang berarti laki-laki. Dari etimologi ini maka dapat dilihat bahwa terdapat batasan yang menekankan pada kesamaan jenis dua manusia yang terlibat dalam hubungan seksual. Istilah homoseksual merupakan antithesis dari kata heteroseksual yang diterapkan untuk hubungan seksual pada dua manusia yang berbeda. Dari pengertian kata homo tersebut maka istilah homoseks dapat digunakan baik pada lelaki maupun perempuan dalam hubungan sejenis. Oetomo (2003) menyatakan bahwa di Indonesia kata homoseks oleh awam cenderung digunakan pada laki-laki sedangkan untuk perempuan lebih dikenal dengan istilah lesbian.

  Hawkins (dalam Swan, 2003), mengemukakan bahwa homoseksual merupakan suatu gaya hidup alternatif, bukan suatu gangguan patologis, dan homoseksual terjadi dengan keteraturan sebagai suatu varian atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama (Oetomo,2003). Lebih lanjut lagi Master dan Johnson (dalam Prasetyo, 1998) beranggapan bahwa kaum homoseksual tidak berbeda dengan orang normal dalam hal respon jasmani atau respon biologis terhadap rangsangan seks dan mereka itu patut diperlakukan sebagai orang normal.

2. Sejarah Homoseksual

  Pada masyarakat Yunani kuno, fenomena homoseksual tidak pernah dipermasalahkan justru dilegalkan. Filsuf Plato, pelukis Michael Angelo dan belakangan filsuf Foucault termasuk dalam kategori kelompok homoseksual. Dalam kerangka pemikiran masyarakat Yunani pada jaman itu pun tidak pernah menganggap fenomena homoseksual sebagai hal yang tabu atau menjijikkan. Pada masa inilah bisa dikatakan homoseksual mendapatkan pengakuan secara sosial.

  Dalam arkeologi pengetahuan (Foucault, 1998) dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Ratu Victoria terjadi penindasan terhadap kelompok kecil masyarakat yang tidak tertarik pada heteroseksual. Pada Jaman Victorian ini pilihan relasi seks sangat dibatasi dan seks menjadi barang tabu yang tidak boleh diperbincangkan secara terbuka. Dengan demikian seks merupakan suatu hal yang sangat tertutup. Homoseksual sebagai bentuk penyimpangan sosial. Kelompok homoseks hidup dalam tekanan dan keterasingan. Homoseks dianggap tabu dan melanggar norma moral sosial sehingga tidak dapat ditoleransi dalam kehidupan masyarakat.

  Selama ini kebanyakan masyarakat masih ”mengikuti” paham Victorian yang memahami homoseksual merupakan hal yang tabu.

  Meskipun dalam sejarahnya kaum homoseks mendapatkan banyak tekanan tapi mereka masih tetap ada. Akan tetapi masyarakat awam masih memiliki pandangan bahwa homoseksual merupakan penyimpangan seksual bahkan menjadi sesuatu yang harus dihindari. Gunawan dalam (Inguliman, 2003) mengatakan bagaimanapun juga pelarangan praktek homoseksual tidak akan menyelesaikan masalah tersebut.

3. Enam Tahap Perkembangan Homoseksual

  Menurut Consiglio (dalam Prasetyo 1998), ada enam tahap perkembangan homoseksual, yaitu sebagai berikut: a.

  Harga Diri Rendah Harga diri adalah pengertian mengenai bagaimana perasaan saya mengenai diri saya, pentingnya diri saya, betapa berartinya diri saya. Harga diri yang rendah merupakan tahap pertama. Harga diri rendah dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk menerima dirinya. Harga diri rendah timbul karena adanya luka-luka batin yang terjadi pada diri anak, contohnya keluarga tersebut diperlakukan secara kasar. Secara tidak sadar anak tersebut akan merasa bersalah dan berusaha untuk diterima dalam keluarga maka ia mencoba untuk bertingkah laku seperti anak perempuan.

  b.

  Kebingungan mengenai Identitas Kelamin Anak kecil mulai meragukan identitas kelaminnya karena ia telah dipermalukan, mengalami penolakan, mengalami tekanan, kurangnya kesempatan untuk mengalami keberhasilan, dihadapkan pada model atau teladan yang buruk atau kurang memadai dari orang tua sejenisnya dan teman-teman sebayanya. Semua itu menyebabkan anak kurang akrab dengan dirinya sebagai seorang laki-laki.

  c.

  Daya Tarik Terhadap Sejenis Tahap ketiga dalam perkembangan homoseksual adalah daya tarik terhadap sejenis. Anak yang berusia pra remaja mengalami kebingungan akan jenis kelaminnya, ia mengalami perasaan kehilangan yang amat besar yang menyebabkan sangat membutuhkan kehadiran pria lain. Pria lain yang mau menerimanya, menyukainya dan berada dekat dengannya.

  Meskipun secara sosial anak merasa nyaman dan aman bila bersama dengan lawan jenisnya namun ia tetap merasa tertarik secara berlebihan terhadap sesama jenis. Anak mencari jati diri dalam diri pria lain karena identitasnya sendiri membingungkannya. Anak akan membangun ketertarikan dan keterikatan yang sangat kuat dengan orang lain sesama jenisnya.

  d.

  Daya Tarik Seksual Pada masa remaja daya tarik terhadap sejenisnya dengan mudah beralih menjadi daya tarik seksual. Daya tarik seksual meliputi perasaan birahi. Seseorang yang mengalami kebingungan identitas kelamin dan daya tarik terhadap sejenis pada tahap ini menjadi tertarik secara seksual terhadap kawan sejenis.

  e.

  Penguatan Perilaku Homoseksual Pada fase ini seorang anak mulai melakukan masturbasi dengan khayalan tentang laki-laki, atau ia membeli benda-benda yang bersifat pornografi, mengunjungi toko-toko buku erotik, menonton video-video erotik, dan membaca buku-buku erotik. Ia mulai mencari orang-orang sejenisnya untuk membentuk keterikatan dan terlibat secara seksual.

  f.

  Identitas Sebagai Homoseks Michael Saia dikutip oleh Consiglio (dalam Prasetyo, 2003) mengatakan bahwa sebagian besar lelaki yang memiliki kecenderungan homoseksual tidak membina suatu hubungan dengan lelaki lain sekedar untuk hubungan seksual. Sebenarnya mereka mencoba untuk memenuhi kebutuhan kasih tanpa syarat. Anak mulai menggabungkan diri dengan rekan-rekan homonya, ia untuk meyakinkan dirinya mengenai perlunya perubahan dalam identitas.

  Anak mulai membenarkan gaya hidupnya dalam perilaku homoseksual dan membentuk suatu identitas sebagai seorang homoseks. Ia mulai menggabungkan diri dengan kelompok dan rekan-rekan homonya, ia membenarkan pilihannya dan tidak akan membiarkan siapapun untuk meyakinkan dirinya mengenai perlunya perubahan dalam identitasnya.

4. Pembagian Homoseksual

  Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pembagian homoseksual menurut beberapa ahli sebagai berikut : a.

  Cliford Allen, yang dikutip oleh Muchlas (dalam Hary, 1986), membagi homoseksualitas menjadi 12 golongan atas dasar psikogenetis sebagai berikut :

  1) Kompulsif homoseksual, yaitu mereka yang secara periodik memunyai keinginan untuk berhubungan dengan lelaki lain, homoseksualitas merupakan gangguan neurotiknya.

  2) Homoseksualitas dengan kepribadian normal. Tipe ini biasanya memiliki kehidupan sosial yang baik, dan di luar seksualnya tidak dijumpai kesukaran lain.

  3) Homoseksualitas dengan inversi yang memengaruhi seluruh berpakaian aneh-aneh dan pada umumnya bertingkah laku ekshibisionistik.

  4) Homoseksual psikopat dengan tendensi khusus untuk kejahatan, pemerasan dan pembunuhan.

  5) Deprevation homosexuality, misalnya yang terdapat dalam penjara-penjara.

  6) Homoseksualitas yang dipadukan dengan alkoholisme. 7)

  Lelaki yang malu-malu, nervous dan immature bila didekati perempuan dan menjurus ke homoseksualitas.

  8) Homoseksualitas dalam hubungannya dengan neurosis.

  Neurosis di sini biasanya berbentuk histeris atau kecemasan. 9)

  Homoseksualitas karena deficiency endocrine, misalnya cumuchoidisme , crytorchismus.

  10) Homoseksualitas dalam hubungannya dengan psikosis. 11) Homoseksualitas yang ditimbulkan karena kerusakan otak. 12)

  Biseksualitas. Tipe ini dianggap sebagai bagian dari perkembangan heteroseksualitas, namun didominasi oleh keadaan homoseksualitas yang merintangi tingkah laku yang normal.

  b.

  Coleman (dalam Swan, 2003), membagi homoseks dalam enam kategori yaitu :

  1) Homoseksualitas tulen, jenis ini memenuhi gambaran streotipik popular tentang lelaki yang memiliki kencenderungan sikap feminin atau sebaliknya perempuan yang kelaki-kelakian, termasuk juga orang yang transvestit, yakni orang-orang yang senang mengenakan pakaian dan berperilaku seperti lawan jenisnya.

  2) Homoseksual malu-malu, yakni kaum lelaki yang senang mendatangi tempat-tempat dimana ia terdorong oleh hasrat homoseksual namun tidak mampu dan tidak berani menjalin hubungan personal yang cukup intim dengan orang lain untuk memraktekkan homoseksualitasnnya.

  3) Homoseksual tersembunyi, kelompok ini biasannya berasal dari kelas menengah dan memiliki status sosial yang mereka rasa perlu dilindungi dengan cara menyembunyikan homoseksualitas mereka, dimana homoseksualitas mereka biasannya hanya diketahui oleh orang-orang terdekat atau pasangan mereka.

  4) Homoseksual situasional, terdapat berbagai macam jenis situasi yang dapat mendorong orang untuk memraktekkan homoseksualitasnnya tanpa disertai komitmen yang mendalam, misalnya di penjara atau di medan perang, akibatnya mereka dapat kembali mempraktikkan heteroseksualnnya setelah keluar dari situasi tersebut.

  5) Biseksual, yakni orang-orang yang mempraktikkan baik homoseksualitas maupun heteroseksualitas sekaligus.

  6) Homoseksual mapan, sebagian besar kaum homoseksual menerima homoseksualitas mereka, memenuhi aneka peran kemasyarakatan secara bertanggung jawab, dan mengikatkan diri dengan komunitas homoseksual setempat.

  c.

  Kinsey (dalam Hary, 1986) membagi homoseksual menjadi dua kelompok, yaitu : 1)

  Overt Homosexsuality, yaitu homoseksualitas yang terbuka nyata dan ditandai dengan adanya hubungan secara fisik dengan atau tanpa hubungan seksual antara pria dengan lelaki.

  2) Latent Homosexuality, yaitu homoseksualitas yang sifatnya tertutup, terpendam dan ditandai dengan adanya kecenderungan serta keinginan seksual untuk berhubungan secara fisik dengan atau tanpa hubungan seksual antara pria dengan lelaki. d.

  Berne dan Rycroft (dalam Hary, 1986), membagi homoseksual atas dua kategori yaitu : 1)

  Homoseks aktif atau maskulin, subjek menunjukkan reaksi dan berkelakuan sebagai seorang pria serta memperlakukan pasangan lelaki sebagai perempuan. 2)

  Homoseks pasif atau feminim, subjek berkelakuan seperti seorang perempuan dan memerlakukan pasangan lelaki sebagai seorang lelaki.

  e.

  Kinsey (dalam Prasetyo, 2003), menggolongkan homoseksualitas menjadi dua bagian yaitu : 1)

  Overt Homosexuality, yaitu homoseksual yang sifatnya terbuka nyata dan ditandai adanya hubungan fisik dengan atau tanpa hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki. 2)

  Latent Homosexuality, yaitu homoseksual yang sifatnya tertutup, terpendam dan ditandai dengan kecenderungan serta keinginan seksual untuk berhubungan secara fisik dengan atau tanpa hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki.

5. Sebab-sebab Homoseksual

  Banyak ahli mencoba untuk mengemukakan sebab-sebab umum. Beberapa ahli mengemukakan penyebab munculnya homoseksualitas adalah sebagai berikut: a. Coleman (dalam Prasetyo, 2003) mengajukan teori tentang penyebab homoseksualitas sebagai berikut :

  1) Adanya pengalaman-pengalaman homoseksual pada fase perkembangan awal, yang mendapat reinforcement.

  2) Adanya tekanan-tekanan yang negatif terhadap perilaku heteroseksual.

  3) Sejak kecil diasuh sebagai jenis seks yang berlawanan. 4)

  Adanya pola keluarga yang patogenik. Misalnya keluarga yang pecah, ayah tidak dominan, konflik dalam keluarga.

  5) Sebagai pelarian ekspresi seksual yang normal. 6)

  Berhubungan erat dengan psikopatologi lain, seperti : neurotik, psikotik, sosiopatik.