PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL MASA PEMERINTAHAN ARIEL SHARON DALAM INTIFADA KEDUA

  PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL MASA PEMERINTAHAN ARIEL SHARON DALAM INTIFADA KEDUA SKRIPSI Disusun oleh: ATINA IZZA 071012108 PROGRAM STUDI S-1 HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL MASA PEMERINTAHAN ARIEL SHARON DALAM INTIFADA KEDUA SKRIPSI

  Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Studi S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

  Disusun oleh: ATINA IZZA 071012108 PROGRAM STUDI S-1 HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

  Skripsi dengan judul:

  Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel Masa Pemerintahan Ariel Sharon dalam Intifada Kedua

  ini telah disetujui untuk diujikan di hadapan Komisi Penguji Senin, 2 Juni 2014

  Dosen Pembimbing, M. Muttaqien, Ph. D

  NIP 197301301999031001 Mengetahui,

  Ketua Departemen S-1 Hubungan Internasional M. Muttaqien, Ph. D

  HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI

  Skripsi dengan judul:

  Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel Masa Pemerintahan Ariel Sharon dalam Intifada Kedua

  ini telah dipertahankan dihadapan Komisi Penguji pada hari di Ruang Sidang Cakra Buana Catur Matra

  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

  Komisi Penguji Ketua,

  NIP Anggota I, Anggota II, NIP NIP

  HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT Bagian maupun keseluruhan isi dari skripsi dengan judul: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel Masa Pemerintahan Ariel Sharon dalam Intifada Kedua Ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali dituliskan dengan formal kutipan dalam isi skripsi.

  Surabaya, 2 Juni 2014 Penulis, Atina Izza NIM 071012108

  HALAMAN PERSEMBAHAN My only Lord and King, Allah SWT My beloved RasulAllah My Strong Mother My Super Father My Lovely Brother and Sisters

  HALAMAN INSPIRASIONAL “Oh my Rabb! Increase Me in Knowledge” (Surat Ta-Ha:114). “Glory be to You, we have no knowledge except what you have taught us. Verily, it is You, the All-Knower, the All- Wise” (Surat Al-Baqara:32). “And turn not your face away from men with pride, nor walk in insolence through the earth. Verily, Allah likes not any arrogant boaster” (Surat Lukman: 18) “Do not walk proudly on the earth. You cannot cut through the earth, nor can you rival the moutains in height” (Surat Isra: 37) “I only complain of my grief and sorrow to Allah...” (Surat Yusuf: 86) “And seek help in patience and prayer” (Surat Al-Baqarah: 45) “If you put Allah first, you’ll never be last” (Anonymous) “You can do anything you want. You can become anyone you want to be. All you have to do is seek the assistance of Allah along the way” (Anonymous) “Orang pintar itu banyak, tapi orang beruntung itu dibantu dengan ibadah dan doa kepada Allah” (Siti Fatimah Wahid) “Kemampuan manusia itu terbatas, memohonlah hanya kepada Allah (Siti Fatimah Wahid) "Siapapun kamu, jadilah yang terbaik dan berguna bagi banyak orang” (Abdul Wahid Maktub)

KATA PENGANTAR

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL .................................................................................... ...... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING .................................. ii HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ........................................... iii HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... v HALAMAN INSPIRASIONAL ........................................................................ vi KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR.................................................................. x ABSTRAK ......................................................................................................... xi

  BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 I.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 I.2 Rumusan Masalah .................................................................... 10 I.3 Kerangka Pemikiran ................................................................. 10 I.4 Hipotesis ................ ................................................................... 21 I.5 Tujuan Penelitian ...................................................................... 22 I.6 Metodologi Penelitian ............................................................... 22 I.6.1 Definisi Konseptual ......................................................... 22 I.6.1.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri....................... 22 I.6.1.2 Struktur Sistem Internasional ............................. 23 I.6.1.3 Tekanan Internasional ......................................... 23 I.6.1.4 Small Group dan Groupthink .............................. 24 I.6.2 Operasionalisasi Konsep ................................................. 25 I.6.2.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri ....................... 25 I.6.2.2 Perubahan Struktur Sistem Internasional ............ 25 I.6.2.3 Tekanan Internasional ......................................... 26 I.6.2.4 Groupthink Pressure ........................................... 27 I.6.3 Tipe Penelitian ................................................................ 27 I.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 28

  I.6.6 Teknik Analisis Data ...................................................... 29

  I.6.7 SistematikaPenulisan ..................................................... 30

  BAB II ANALISIS LEVEL INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER PERUBAHAN .............................................. 31 II.1 Tekanan Internasional

  di Awal Pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon............... 31

  II.2 11 September 2001 .................................................................... 33

  II.3 Operation Defensive Shield ...................................................... 38

  II.4 Roadmap Peace.......................................................................... 49

  BAB III ANALISIS KELOMPOK KECIL SEBAGAI SUMBER PERUBAHAN............................................... 61 III.1 Peran Kelompok Kecil dalam Perumusan Disengagement Plan ................................................................. 64 III.2 Window of Opportunity oleh Kelompok Kecil.......................... 75 III.3 Disengagement Plan................................................................ 80 BAB IV KESIMPULAN ................................................................................ 85 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xii LAMPIRAN GAMBAR .................................................................................... xx

  DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR BAGAN

  Bagan I.1 Dinamika Kausal Perubahan Kebijakan Luar Negeri.................. 13 Bagan I.2 Keterlibatan Kelompok dalam Perumusan

  Kebijakan Luar Negeri ................................................................ 16 Bagan I.3 Gabungan Kerangka Pemikiran untuk Menjelaskan Perubahan

  Kebijakan Luar Negeri Israel dalam Intifada Kedua .................. 20

  GAMBAR

  Gambar III. 1 Penghancuran Pemukiman Yahudi di Khan Younis.................... 84 Gambar III. 2 Pengevakuasian Pemukim Israel ................................................ .84

ABSTRAK PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI ISRAEL MASA PEMERINTAHAN ARIEL SHARON DALAM INTIFADA KEDUA

  Konflik Israel

  • – Palestina adalah salah satu hasil dari Perang Dunia I dan masih berlanjut hingga saat ini. Intifada Kedua atau yang dikenal juga dengan Intifada –

  Al-Aqsa adalah salah satu dari sekian pergolakan yang terjadi diantara Israel Palestina. Kunjungan kontroversial Ariel Sharon pada 28 September 2000 ke Temple Mount dimana Masjid Al-Aqsa juga berlokasi, menjadi pemicu utama dalam menyulut kemarahan masyarakat Palestina yang kemudian berujung pada Intifada Kedua. Kondisi keamanan Israel yang rentan akan gerakan-gerakan Intifada yang diluncurkan kepada Israel, Ariel Sharon, seorang militer garis keras dengan mudah memenangkan pemilihan umum sebagai Perdana Menteri pada Februari 2001. Di awal pemerintahannya untuk meningkatkan keamanan Israel pada Intifada kedua ini ia menerapkan Operation Defensive Shield yang pada kenyataannya mengarah pada operasi penyerangan, ditandai dengan diaplikasikannya Targeted Killing Policy dalam memberantas terorisme. Menjadi sangat kontradiktif di akhir kepemerintahannya, Perdana Menteri Ariel Sharon yang dikenal sebagai ketua Partai Likud, partai konservatif yang menekankan pemeliharaan kekuasaan Jewish terhadap Eretz Yisrael (the whole Land of Israel), mengeluarkan kebijakan Disengagement Plan, kebijakan penarikan senjata dan tentara Israel serta menarik 8000 lebih pemukim Israel dari West Bank dan Gaza secara unilateral dalam menanggapi hubungan yang statis pada Intifada Kedua.

  Perubahan kebijakan luar negeri Ariel Sharon menjadi sangat kontroversial terlebih lagi dengan latar belakang Ariel Sharon yang dikenal sebagai Daddy of

  the Settlement dan orang yang paling bertanggung jawab pada peristiwa genosida

  warga Palestina di Lebanon tahun 1981. Penelitian ini kemudian berusaha menjawab mengapa terjadi perubahan dalam kebijakan luar negeri Ariel Sharon pada Intifada Kedua.

  Kata Kunci: Perubahan Kebijakan Luar Negeri, Ariel Sharon, Operation

  Defensive Shield, Targetted Killing, Disengagement Plan, Unilateral, Gaza, West Bank.

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Masalah Intifada Kedua atau yang dikenal dengan Intifada Al-Aqsa adalah perlawanan

  rakyat Palestina dalam melawan okupasi Israel; hal ini dipicu oleh kunjungan kontroversial Ariel Sharon dan 2000 tentara bersenjata pada 28 September 2000 ke Yerusalem untuk mengunjungi Temple Mount atau Haram as Sharif, dimana baik Western Wall sebagai tempat suci umat Yahudi dan Masjid Al-Aqsa sebagai

  1

  situs paling suci ketiga bagi umat Islam keduanya berlokasi. Setelah proses perdamaian di antara Israel

  • – Palestina mengalami kegagalan, dari Oslo hingga perjanjian Camp David pada Juli 2000, kunjungan Ariel Sharon yang dikenal sebagai seorang militer garis keras dalam perang Israel – Palestina dilihat sebagai

  2

  suatu bentuk provokasi yang menghasut masyarakat Palestina. Ofir Akounis, seorang juru bicara Partai Likud pun menjelaskan kunjungan Ariel Sharon adalah suatu pernyataan politik untuk menunjukkan bahwasanya di bawah Partai Likud, Temple Mount atau Harem as Sharif akan tetap berada di bawah kedaulatan

  3 Israel.

  1 Jeremy Pressman, “The Second Intifada: Background and Causes of the Israeli – Palestinian Conflict”, The Journal of Conflict Studies (online), vol. 23, no.2, 2003, p. 114. Available: 2 (4 April 2013).

  Global Security, Al-Aqsa Intifada (online), undated. Available

  Melawan okupasi Israel dalam Intifada Kedua, demonstran Palestina menjadikan pelemparan batu dan bom molotov sebagai senjata utama di awal perlawanannya. Untuk mengamankan Israel dari serangan demonstran Palestina, Angkatan Bersenjata Pertahanan Israel (IDF) telah melakukan beberapa aktivitas militer yang diantaranya adalah melakukan penembakan peluru karet berlapis

  4

  logam serta peluru tajam ke arah demonstran. Penggunaan persenjataan berat oleh IDF termasuk penggunaan tank, helikopter, dan peluru tajam terhadap demonstran telah menyamarkan perbedaan antara zona perang dan zona sipil. Ketimpangan persenjataan di antara keduanya menyebabkan banyaknya jumlah warga Palestina baik sipil maupun bukan telah menjadi korban. Bentrokan di antara Palestina dan pasukan keamanan Israel yang demikian pun terus berlanjut di akhir tahun 2000 dan sepanjang tahun 2001. Tidak dapat menghadapi IDF secara langsung, pejuang Palestina kemudian melakukan penyerangan balasan dengan menggunakan serangan bom bunuh diri di tempat umum sebagai taktik

  5

  utama pada Intifada Kedua. Serangan bom bunuh diri oleh Palestina tentu menghasilkan ketidakamanan serta kemarahan yang mendalam di kalangan masyarakat Israel. Meningkatnya kebutuhan akan keamanan oleh masyarakat Israel dari gerakan-gerakan Intifada yang diluncurkan oleh pejuang Palestina, menjadikan Ariel Sharon seorang militer garis keras dari Partai Likud dengan

  6

  janji untuk mencapai suatu , mendapatkan dukungan “keamanan dan perdamaian” 4 politik terbanyak pada pemilihan umum Februari 2001 dan sah menjadi Perdana 5 Global Security, Al-Aqsa Intifada.

  Orna Ben- Naftali and Aeyal Gross, “Arab – Israeli War: The Second Intifada, Crimes of War (online), undated. Availablebruary 2013).

7 Menteri Israel terpilih. Sosok Ariel Sharon yang kuat dan keras diharapkan

  mampu memberikan keamanan serta dapat mengakhiri serangkaian serangan bom bunuh diri oleh gerakan “terorisme” pejuang Palestina terhadap Israel.

  Menanggapi serangan pejuang Palestina dalam melawan okupasi Israel, Perdana Menteri Ariel Sharon di awal pemerintahannya menerapkan hard military

  solution yang diterapkan melalui kebijakan Operation Defensive Shield pada 29

8 Maret 2002. Operation Defensive Shield adalah kampanye militer besar-besaran

  yang dilakukan oleh IDF pada bulan Maret - April 2002, setelah serangkaian serangan bom bunuh diri terhadap Israel diluncurkan. Operation Defensive Shield dimulai pada akhir Maret 2002, ditandai dengan pengokupasian kembali wilayah- wilayah Palestina, West Bank dan Gaza serta mengepung markas besar pemimpin

  9 Otoritas Palestina Yasser Arafat di Ramallah oleh IDF. Operasi yang digelar di

  tengah-tengah Intifada Kedua, dimaksudkan untuk mendapatkan kembali kontrol

  IDF atas West Bank

  • – yang berada di bawah kontrol penuh Otoritas Palestina,

  10

  sehingga memungkinkan untuk menggagalkan serangan “teror” terhadap Israel.

  Sebagai upaya mengatasi serangan “terorisme” oleh Palestina terhadap

  Israel, pemerintahan Israel melalui Operation Defensive Shield menggunakan kebijakan yang dikenal dengan Targeted Killing Policy. Targeted Killing Policy adalah salah satu cara dalam memberantas 7

  “terorisme” dengan menghancurkan 8 BBC, 12 November 2010.

  Avi Issacharoff and Amos Harel, “Recollections of Israel's Operation Defensive Shield, ten years later 9 26 May 2013).

  

Guila Flint, “Ariel Sharon, the Butcher of Beirut Dies” (online), Pravda, 13 January 2014. Available(27 February 2014). infrastruktur “teroris” serta melakukan pembunuhan terhadap aktivis “terorisme”

  11

  secara selektif atas persetujuan pemerintah Israel. Targeted Killing Policy pada Intifada Kedua menjadi bagian dari pendekatan ofensif dalam menghadapi serangan bom bunuh diri pejuang Palestina atau yang dilihat sebagai suatu gerakan “terorisme”. Melalui Operation Defensive Shield Israel telah melakukan puluhan operasi simultan baik di darat maupun di udara setiap harinya, termasuk

  Targeted Killing Policy yang memiliki efek multi dimensi sehingga menimbulkan

  kecaman keras baik dari domestik maupun internasional oleh karena proses pengimplementasiannya yang telah melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam pengimplementasian Targeted Killing Policy, pejuang bersenjata Palestina bukan lagi menjadi sasaran satu-satunya oleh IDF dalam melepaskan tembakannya, akan tetapi ratusan infrastruktur dan nyawa warga sipil Palestina turut menjadi sasaran lepas tembak IDF.

  Pada tahun yang sama, di bawah komando Perdana Menteri Ariel Sharon, tembok pembatas sepanjang 400 kilometer pun dibangun untuk menghalang serangan bom bunuh diri masuk ke wilayah Israel. Akan tetapi, tembok dan pagar yang seharusnya dibangun untuk memisahkan wilayah Israel dan Palestina, telah dibangun di area yang tidak melewati garis hijau

  • – garis pembatas antara Israel dan Palestina. Sehingga tembok pembatas yang dibangun atas komando Perdana Menteri Ariel Sharon telah memisahkan warga Palestina dari warga Palestina lainnya. Baik kebijakan Operation Defensive Shield maupun Targeted Killing

  Policy keduanya telah mendapatkan kecaman keras baik dari pihak domestik

  maupun internasional. Menanggapi kecaman keras yang ditujukan kepada Israel,

  Pemerintahan Israel tetap melihat bahwasanya Targeted Killing Policy telah diterapkan sesuai dengan haknya untuk membela diri dan kebutuhan keamanan

  12

  dari serangan “teroris”.

  Di tengah-tengah kecaman keras dari masyarakat domestik dan internasional, setelah terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Israel pada

  

13

Pemilihan Umum 28 January 2003, Perdana Menteri Ariel Sharon melalui

  pidatonya pada konferensi Herzliya, 18 Desember 2003, mengungkapkan niatannya akan sebuah perdamaian abadi yang ia aplikasikan melalui kebijakan

  Disengagement Plan pada Agustus 2005 setelah mendapatkan persetujuan

  14

  parlemen Israel (Knesset) pada Oktober 2004. Disengagement Plan adalah penarikan IDF dan senjata militer Israel serta mengevakuasi 8000 lebih pemukim Israel dari dua puluh satu pemukiman di Gaza dan empat pemukiman di West

15 Bank secara unilateral. Melalui pidatonya pula pada konferensi Herzliya,

  Perdana Menteri Ariel Sharon menjelaskan tujuan dari kebijakan Disengagement

  

Plan yang ia ungkapkan sebagai salah satu cara untuk mengurangi tingkat

  “teror” oleh “terorisme” serta memberikan keamanan tingkat tinggi kepada rakyat Israel.

  Tidak hanya itu Disengagement Plan juga dipercayai sebagai suatu proses yang akan membawa Israel ke arah perbaikan dalam kualitas kehidupan serta 12 membantu menguatkan perekonomian Israel. Langkah unilateral yang dibingkai

  Avi Kober, “Targetted Killing during the Second Intifada: The Quest for Effectiveness”, Journal of Conflict Studies (online), vol.27, No.1, 2007, p. 78. Available: 4 May 2013). 13 CNN, “Ariel Sharon Fast Facts” (online), CNN, 12 February 2013. Available: 14 une 2013).

  Anonymous, “Prelude to Operation Cast Lead Israel's Unilateral Disengagement to the Eve of War 15 ”, Journal of Palestine Studies, vol. 38, no. 3, 2009, p. 144.

  Jonathan Rynhold and Dov Waxman, “Ideological Change and Israel’s Disengagement from Gaza”, Political Science Quarterly (online), vol. 123, no. 1, 2008, p. 11. Available: di bawah kebijakan Disengagement Plan juga akan mengikutsertakan penarikan

  IDF sepanjang garis batas keamanan serta mengubah penyebaran pemukiman Israel, dimana hal tersebut akan mengurangi angka kependudukan Israel yang berlokasi di tengah-tengah pemukiman Palestina. Kebijakan Disengagement Plan diharapkan akan mengurangi gesekan antara Israel dan Palestina serta diharapkannya dua negara Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan satu sama lain secara damai.

  “Like all Israeli citizens, I yearn for peace...We are willing to proceed toward its implementation: two states Israel and a Palestinian State living side by side in tranquility, security and peace.... However, if in a few months the Palestinians still continue to disregard their part in implementing the Roadmap Peace then Israel will initiate the unilateral security step of

  16 disengagement from the Palestinians.....

  ”.

  Disengagement Plan sebagai suatu kebijakan telah menjadi perdebatan

  baik di antara yang pro dan yang kontra. Para pemukim Yahudi dan penganut Yahudi garis keras tentu merasa terkhianati oleh kebijakan Disengagement Plan

  17 Perdana Menteri Ariel Sharon dan sangat menentang kebijakan tersebut.

  Kebijakan ini kemudian menjadi pemicu perpecahan di dalam Partai Likud, yang mana sangat menentang ideologi partai akan pemeliharaan kekuasaan bangsa

  18 16 Yahudi terhadap Eretz Yisrael (the whole Land of Israel). Kebijakan ini pun Ariel Sharon, “Fourth Herzliya Conference Speech”, Israel Ministry of Foreign Affairs, 2003.

  Available: 17 (1 June 2013).

  Jefferson Morley, “Israeli Withdrawal From Gaza Explained” (online), The Washington Post, 10 August 2005. Available kemudian menjadi pertanda berakhirnya kehadiran tentara militer Israel di Gaza dan sebagian wilayah West Bank selama 38 tahun semenjak perang six day war di

  19

  tahun 1967. Benjamin Netanyahu yang menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon periode kedua, sangat menentang secara keras keputusan Perdana Menteri Ariel Sharon yang dianggap bersifat sepihak. Disengagement Plan ini kemudian menjadi pemicu perpecahan di dalam Partai Likud, yang membawa Ariel Sharon untuk kemudian memutuskan keluar dari Partai Likud dan mendirikan partai baru yakni Partai Kadima, partai beraliran tengah. Sedangkan Partai Likud yang sebelumnya diketuai oleh Perdana Menteri Ariel Sharon, kembali diketuai oleh Benjamin Netanyahu.

  Perubahan kebijakan yang sangat kontroversial ini ditambah lagi dengan sosok seorang Ariel Sharon yang dikenal sebagai pemimpin militer dan politik

  20

  yang besar ditandai dengan dikenalnya ia sebagai: Daddy of the Settlements, promotor tajam perluasan gedung dan perluasan pemukiman Yahudi di wilayah- wilayah Palestina; pemrakarsa tembok penghalang di sepanjang perbatasan Israel

  21

  • Palestina dan di West Bank. Tidak hanya itu, di kalangan bangsa Arab Ariel Sharon juga dikenal sebagai dalang dari invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982 yang mana selama invasi tersebut, milisi Kristen Lebanon bersekutu dengan Israel

19 Jewish Virtual Library, Ariel Sharon (1928

  • – present) (online), undated. Available:
  • 20 bruary 2013).

      Ariel Sharon Life Story, Ariel Sharon Life Story Biography : 1977

    • – 1982 Settlement Fever and Peace with Egypt (online), undated. Available:
    dalam membantai ratusan warga Palestina di dua kamp pengungsian di bawah

      22 kendali Israel semasa Ariel Sharon menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel.

      Perubahan kebijakan luar negeri dapat dibagi ke dalam dua perubahan yakni perubahan yang dihasilkan dari perubahan rezim atau transformasi negara dan perubahan yang terjadi ketika pemerintahan yang sedang berkuasa memilih

      23 untuk mendorong suatu kebijakan luar negeri ke arah yang berbeda.

      Menjelaskan perubahan dalam kebijakan luar negeri, Charles F. Hermann mengidentifikasikan empat level perubahan kebijakan luar negeri yakni perubahan pengaturan, perubahan program, perubahan tujuan dan permasalahan, dan

      24

      perubahan orientasi internasional. Level pertama atau perubahan pengaturan menekankan pada level usaha untuk mencapai tujuan dengan tidak mengubah “apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya, dan tujuan dari melakukannya”. Level kedua atau perubahan program mengarah pada perubahan yang dibuat dalam metode atau sarana yang mana didasarkan pada tujuan dan permasalahannya. Dengan demikian perubahan program meng ubah “apa yang dilakukan dan bagaimana melakukan nya” dan tidak mengubah “tujuan dari melakukannya”. Level ketiga atau perubahan masalah atau tujuan mengarah pada situasi dimana permasalahan awal atau tujuan yang mendasari suatu kebijakan diganti atau telah hilang, sehingga tujuan dalam kebijakan yang baru pun berubah. Level keempat atau perubahan orientasi internasional adalah perubahan kebijakan

    22 Mid East Web, Biography

    • – Ariel Sharon: Prime Minister of Israel (online), undated. Available:
    • 23 (10 March 2013).

        Vinsensio Dugis, “Explaining Foreign Policy Change”, Jurnal Masyarakat Kebudayaan daan Politik, vol. 21, no.2, 2010, p. 103. yang paling ekstrem oleh karena melibatkan pengarahan ulang orientasi seluruh negara terhadap dunia termasuk peran dan aktivitas internasionalnya.

        Melihat pemahaman akan perubahan kebijakan luar negeri beserta indikator-indikator perubahan kebijakan, disimpulkan bahwasanya terdapat perubahan kebijakan luar negeri Israel masa pemerintahan Perdana Menteri Ariel Sharon pada pemerintahan periode pertama dan kedua dalam menanggapi Intifada Kedua. Pada pemerintahan pertama Perdana Menteri Ariel Sharon, Israel menerapkan kebijakan Operation Defensive Shield yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan Israel dari gerakan-gerakan Intifada. Melalui Operation

        Defensive Shield , Israel menggagalkan serangan-

        serangan “teror” oleh “terorisme” Palestina terhadap Israel dengan melakukan pengokupasian kembali wilayah-wilayah Palestina, West Bank dan Gaza oleh IDF. Dengan tujuan untuk menggagalkan serangan “terorisme”, dalam Operation Defensive Shield Israel pun menerapkan Targeted Killing Policy

        , kebijakan memberantas “terorisme” dengan menghancurkan infrastrukstur “terorisme” serta melakukan pembunuhan terhadap aktivis “terorisme”. Tidak hanya itu, IDF pun melakukan pengepungan terhadap markas besar pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arafat di Ramallah lengkap dengan peralatan militernya serta membangun tembok penghalang sepanjang 400 km yang membatasi wilayah Israel

      • – Palestina guna menghalang serangan bom bunuh diri masuk ke wilayah Israel.

        Setelah terpilih kembali menjadi Perdana Menteri Israel pada Januari 2003, Perdana Menteri Ariel Sharon mengungkapkan niatannya akan perdamaian abadi melalui kebijakan Disengagement Plan. Melalui konferensi Herzliya pada Desember 2003, Disengagement Plan diperkenalkan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan Israel serta mengurangi tingkat “teror” oleh “terorisme” dengan mendorong perdamaian yang didasari oleh Roadmap

        Amerika Serikat dalam mencapai perdamaian di antara Israel

        Peace

      • – Palestina dan terbentuknya negara Palestina yang hidup berdampingan bersama dengan Israel. Kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan Israel dengan cara menarik mundur IDF dan persenjataan militer Israel serta mengevakuasi 8000 lebih pemukim Israel dari dua puluh satu pemukiman di Gaza dan empat pemukiman Israel di West Bank secara unilateral, disetujui oleh Knesset pada

        25 Oktober 2005 dan diimplementasikan pada 17 Agustus – 12 September 2005.

        I.2 Rumusan Masalah

        Berkaitan dengan latar belakang tersebut, muncul kemudian permasalahan pokok yang menjadi perhatian penulis yakni mengapa terjadi perubahan kebijakan luar negeri oleh Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri Israel dalam menanggapi Intifada Kedua?

        I.3 Kerangka Pemikiran

        Terdapat beberapa model teoritis dalam menjelaskan apa yang melatarbelakangi perubahan kebijakan luar negeri suatu negara. Untuk menjawab rumusan masalah, penulis menggunakan gabungan dua model alternatif oleh Jakob Gustavsson dan Joakim Eidenfalk yang melihat perubahan dapat hadir melalui dua sumber yakni international source of change dan domestic source of change.

        Dari kedua model alternatif, penulis menggunakan structural condition oleh Jakob Gustavsson dan window of opportunity oleh Joakim Eidenfalk dalam memahami perubahan kebijakan luar negeri Israel pada Intifada Kedua. Penulis pun menggunakan international source of change yakni faktor global dan faktor hubungan bilateral untuk melihat pengaruh Amerika Serikat dalam mempengaruhi kebijakan Israel dan domestic source of change yakni kepentingan kelompok oleh Joakim Eidenfalk untuk melihat pengaruh kelompok dalam mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri Israel. Untuk menjelaskan peran kelompok lebih dalam, penulis menggunakan small group oleh Valerie M. Hudson dan bagaimana groupthink berperan besar pada perubahan persepsi kunci pengambil keputusan. Two-level games oleh Robert D.

        Putnam pun penulis gunakan untuk melihat bagaimana domestik dan politik internasional dapat mempengaruhi satu sama lain dalam perumusan suatu kebijakan.

        Kebijakan luar negeri suatu negara adalah sesuatu yang dinamis yang mana terjadinya perubahan kebijakan luar negeri dalam suatu negara menjadi sesuatu yang sangat mungkin untuk terjadi, baik dalam satu pemerintahan ataupun pemerintahan yang berbeda. Foreign Policy Analysis dalam studi Hubungan Internasional hadir sebagai teori untuk memahami kebijakan luar negeri suatu negara serta perubahannya. Analisis suatu kebijakan luar negeri dapat dimulai dengan menentukan faktor-faktor eksplanan dan eksplanandum.

        26 Eksplanandum atau dependen dipahami sebagai apa yang ingin dijelaskan,

        dimana dalam penelitian ini adalah perubahan kebijakan luar negeri Perdana

        Menteri Ariel Sharon, Operation Defensiv Shield dan Targeted Killing Policy di pemerintahan periode pertama menjadi Disengagement Plan di pemerintahan periode kedua, dalam menanggapi Intifada Kedua. Sedangkan eksplanan atau independen adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar

        27 negeri dan kunci pembuat kebijakan dari kebijakan luar negeri tersebut.

        Perubahan kebijakan luar negeri pada suatu negara tidak semata-mata terjadi tanpa sebab atau tanpa faktor yang melatarbelakanginya. Model Gustavsson dimaksudkan untuk berkontribusi dalam menganalisis kebijakan luar negeri, dengan berusaha menjelaskan tindakan yang diambil oleh negara sebagai unit individu dalam sistem internasional. Model Gustavsson membangun penjelasan beberapa sebab berdasarkan faktor-faktor yang diambil dari berbagai level analisis. Variabel dependen dalam hal ini oleh Gustavsson dimengerti sebagai perubahan kebijakan luar negeri. Argumen teoritis Gustavsson adalah bahwa perubahan kebijakan luar negeri terjadi ketika

        „kondisi struktural‟ mendasar yang mendukung suatu perubahan diidentifikasikan oleh „inti pengambil keputusan‟, yang kemudian mengubah keyakinan dan prioritas mereka dan melalui intervensi mereka dalam

        „proses pengambilan keputusan‟

        28

        membawa pada reorientasi perubahan pada kebijakan luar negeri. Kondisi struktural dalam hal ini dilihat oleh Gustavsson sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan sumber perubahan atau source of change.

        Baik Gustavsson maupun Eidenfalk menekankan bahwasanya perubahan 27 suatu kebijakan pasti didasari oleh beberapa faktor atau yang disebut oleh Hudson, pp. 5-6. Eidenfalk sebagai source of change yang secara luas dilatarbelakangi oleh faktor internasional dan faktor domestik. Robert D. Putnam berpendapat bahwasanya faktor domestik dan internasional keduanya saling mempengaruhi dalam perumusan suatu kebijakan. Politik domestik dapat mempengaruhi politik

        29 internasional dan begitupun sebaliknya.

        Bagan I.1 Dinamika Kausal Perubahan Kebijakan Luar Negeri Sumber:

        Jakob Gustavsson, “How Should We Study Foreign Policy Change”, Journal of Cooperation and Conflict, 34:73, 1999, p. 85.

        Faktor internasional dalam perubahan kebijakan memiliki peranan besar. Politik internasional saat ini identik dengan sistem kompleks yang terdiri dari negara, institusi dan aktor non-negara, yang kesemuanya saling berinteraksi di level berbeda. Hubungan saling ketergantungan di antara aktor hubungan internasional digunakan dalam menjelaskan pengaruh faktor internasional dalam perumusan kebijakan luar negeri. Faktor internasional oleh Eidenfalk dibagi kedalam empat source of change: faktor global, faktor regional, hubungan

        30

        bilateral, dan aktor non-negara. Norma yang diterima oleh mayoritas aktor di dalam sistem politik internasional juga menjadi pertimbangan dalam perubahan kebijakan luar negeri. Tujuan yang diterima oleh aktor internasional kebanyakan seperti halnya perluasan demokrasi, hak asasi manusia, non-intervensi di dalam kedaulatan negara (adakalanya pengecualian terhadap penegakan hak asasi manusia), dan menentukan nasib sendiri dapat memberikan pengaruh yang kuat

        31 dalam kebijakan luar negeri suatu negara.

        Faktor global sebagai source of change dalam Eidenfalk, fokus terhadap perubahan sistem politik internasional yang berdampak secara global dan memiliki efek pada perumusan kebijakan luar negeri suatu negara. Berakhirnya Perang Dingin dan paska penyerangan 11 September menjadi salah satunya.

        Tidak hanya itu institusi internasional dan norma-norma yang diterima juga memiliki dampak besar dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Pengaruh suatu kejadian, pergeseran keseimbangan dalam sistem politik internasional, pergeseran dalam norma internasional, atau institusi internasional kesemuanya dapat memberikan dampak pada perumusan kebijakan luar negeri suatu negara. Sedangkan hubungan bilateral di antara negara yang ada juga memberikan dampak besar dalam perumusan suatu kebijakan. Aktor seperti negara dan institusi internasional dapat mempengaruhi negara lain melalui penggunaan pengaruh seperti halnya aliansi, perdagangan, atau melalui ancaman militer dan

      30 Joakim Eidenfalk, “Towards a New Model of Foreign Policy Change”, Proceedings of the

        

      Australasian Political Studies Association Conference University of Newcastle, University of ekonomi, untuk memberi tekanan kepada mereka agar mengadopsi kebijakan

        32 luar negeri yang berbeda.

        Tidak hanya faktor internasional, faktor domestik pun memiliki pengaruh besar dalam perumusan kebijakan. Faktor domestik adalah sesuatu yang perlu diperhatikan terutama dalam perubahan kebijakan. Hal ini dapat dilihat bagaimana faktor domestik dapat mempengaruhi dan memberi tekanan pada pembuat kebijakan sehingga terjadinya perubahan kebijakan dalam suatu pemerintahan menjadi mungkin untuk terjadi. Hagan dalam Eidenfalk berpendapat bahwasanya “government leaders have to deal with pressures and constraints from domestic political sources, as well as the international political

        33 system”.

        Eidenfalk menjabarkan lima sumber perubahan domestik yakni: birokrasi,

        34

        opini publik, media, kelompok kepentingan, dan partai politik. Akan tetapi dalam penelitian ini penulis akan menggunakan small group dalam level domestik oleh Valerie M. Hudson, sebagai faktor perubahan kebijakan luar negeri Israel. Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan Israel, memiliki kekuatan penuh dalam merumuskan suatu kebijakan. Akan tetapi kelompok di sekeliling Perdana Menteri tentu memiliki peranan penting yang tidak dapat diabaikan dalam perumusan suatu kebijakan. Pengaruh dari kelompok-kelompok yang ada berpotensi besar dalam mempengaruhi kepala pemerintahan untuk kemudian merumuskan kebijakan sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran dan

      32 Eidenfalk, p. 6.

        kepentingan dari kelompok tersebut. Peran besar kelompok dalam suatu kebijakan digambarkan oleh Irving Janis melalui proses Victims of Groupthink.

        Hudson dalam Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary menekankan tiga pembagian kelompok dalam kelompok pembuat

        Theory

        kebijakan berdasarkan rutinitas dan tingkat kekrisisan akan permasalahan kebijakan luar negeri. Ketiga kelompok tersebut yakni organizational behavior,

        35 bureaucratic policies , dan small group dynamics. Hudson membagi

        permasalahan kebijakan luar negeri ke dalam rutin dan non-rutin, yang mana dalam hal ini organizational behavior dimaksudkan sebagai kelompok yang menanggapi permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat rutin. Sedangkan permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat non-rutin terbagi kembali ke dalam krisis dan non-krisis. Peran kelompok small group dynamics akan terlihat dalam permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat krisis dan non-rutin, sedangkan peran kelompok bureaucratic policies terlihat dalam permasalahan kebijakan luar negeri yang bersifat non-krisis dan non-rutin.

        Bagan I.2 Keterlibatan Kelompok dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri

        Sumber: Valerie M. Hudson, Foreign Policy Analysis: Classic and

        Contemporary Theory , Rowman & Littlefield Publishers Inc, United State of America, 2007, p. 65.

        Orang-orang yang berada di sekitar seorang pemimpin memiliki pengaruh tersendiri dalam perumusan suatu kebijakan. Walaupun Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri menggambarkan dirinya sebagai wasit final dalam perumusan kebijakan, seorang penasihat dan orang terdekat seperti Gilad Sharon, Omri Sharon, Dov Weissglass, Moshe Kaplinsky, Eyal Arad, dan Eival Giladi dalam

        36

        beberapa hal telah membentuk kebijakannya dengan cara yang signifikan. Peran kelompok kecil dalam perumusan kebijakan dianalogikan Breuning layaknya gunung es, dimana pemimpin negara menjadi ujung tombak dalam pengambilan keputusan serta terdapat peran krusial dari kelompok yang tidak terlihat secara kasat mata

        , “foreign policy decisions are made closer to the tip of the iceberg: by

        37 Dalam leaders and their small circle of advisors, or by group of policy makers”.

        kelompok kecil ini para pembuat kebijakan bertemu tatap muka untuk kemudian membuat kebijakan yang berdasarkan pada informasi dan analisis yang diberikan oleh berbagai instansi dan departemen. Kelompok kecil atau small group menurut Breuning bukanlah kelompok yang menyerupai kabinet pemerintahan. Walaupun beberapa pengamat mendefinisikan parlemen dan kabinet pemerintahan ke dalam kelompok kecil, akan tetapi tidaklah demikian dengan apa yang didefinisikan oleh Breuning. Anggota parlemen memang melakukan tatap muka sebagai suatu 36 kelompok, akan tetapi musyawarah yang terjadi diatur oleh peraturan dan

        Ben Caspit, “Dov Weissglass – ‘Consiglieri’ of the State of Israel” (online), Israel Behind The News, 15 March 2004. Available: 28 May 2013). protokol yang sangat formal. Dinamika kelompok kecil yang dimaksud yakni juga terjadi dalam sub kelompok parlemen, akan tetapi mereka tidak selalu masuk ke dalam sesi formal parlemen.

        Setelah sumber perubahan atau source of change, model berikutnya dalam perubahan kebijakan luar negeri yakni window of opportunity oleh Eidenfalk yang mana terinspirasi dari langkah kedua model perubahan kebijakan luar neger i Gustavsson dan “policy windows” oleh Roger Kingdon. Model perubahan kebijakan luar negeri Eidenfalk mengandung variabel independen,

        38 intervening , dan dependen. Seperti halnya dengan Gustavsson, Eidenfalk

        membagi variabel independen menjadi faktor internasional dan faktor domestik, yang mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan tidak mempengaruhi pemerintah dalam perumusan kebijakan luar negeri. Sedangkan

        intervening variable menekankan pada proses pembuatan kebijakan. Model ini

        menguji kunci pembuat kebijakan dan mencoba untuk mengidentifikasi bagaimana mereka mempersepsikan sebuah “jendela kesempatan” dalam kategori variabel campur tangan (intervening). Eidenfalk berpandangan bahwasanya perumus kebijakan mempersepsikan “jendela kesempatan” melalui tekanan atau pengaruh dari source of change, atau menyadari bahwasanya terdapat kesempatan yang ditunggu-tunggu dan mendorongnya melalui agenda kebijakan. Dengan kata lain, proses kebijakan dapat dimulai baik dengan sumber

        39 perubahan atau dengan pengambil kebijakan itu sendiri. Persepsi menjadi kunci istilah pada intervening variable. Persepsi kunci perumus kebijakan dapat dipengaruhi oleh beberpa karakteristik personal. Enam tipe berbeda akan karakterisitik personal pemimpin politik oleh Margaret G. Hermann menjadi tinjauan dalam studi dan model perubahan kebijakan luar negeri Eidenfalk. Enam tipe tersebut yakni keyakinan, motif, gaya pembuat keputusan, gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri, dan

        40 pelatihan yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.

        Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh berdampak pada strategi-strategi yang diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan mengapa seorang pengambil kebijakan luar negeri melakukan hal tersebut. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada metode yang diambil seorang pembuat kebijakan seperti sebagaimana terbukanya mereka akan informasi atau tingkat resiko yang harus diambil. Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin politik melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan lainnya, yang meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan berlebihan) dan Machiavellian (perilaku yang manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar negeri mengacu pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat kebijakan dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindak serta strategi apa yang akan diambil. Kepentingan dalam hubungan luar negeri mengacu pada kepentingan yang hendak diambil seorang pembuat kebijakan luar negeri, dimana jika kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan pemantauan secara langsung.

        Eidenfalk berpandangan bahwasanya selain perubahan kondisi struktural dapat menciptakan perubahan kebijakan luar negeri, para pembuat kebijakan juga dapat menciptakan window of opportunity nya sendiri. Dengan demikian

        41 Eidenfalk menggambarkan dua skenario yang dapat membawa pada arah

        perubahan kebijakan luar negeri: Skenario 1: kondisi struktural mengalami perubahan

      • – sumber perubahan mempengaruhi/menekan
      • – dipersepsikan dan ditanggapi oleh pembuat kebijakan – proses pembuatan kebijakan – perubahan kebijakan luar negeri. Skenario 2: agenda politik pembuat kebij>– perubahan dalam kondisi struktural
      • – jendela kesempatan dipersepsikan oleh pembuat kebijakan – pembuat kebijakan mendorong agendanya dalam proses pembuatan kebij
      • – perubahan kebijakan luar negeri.

        Berdasarkan gagasan para ahli di atas, penulis menggabungkannya menjadi satu kerangka berpikir sebagai berikut: Bagan I.3 Gabungan Kerangka Pemikiran Untuk Menjelaskan Perubahan Kebijakan Luar Negeri Israel Dalam Intifada Kedua. International Source of Change:

      1. Global Factor

        2. Bilateral Factor Decision Ariel Sharon Restructuring Making Process

        Domestic Source of Change: