BAB II UMI NURJANAH PGSD'14

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Tentang Budaya Banyumasan

1. Pengertian Budaya Banyumasan

  Kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 225) adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 225) adalah pikiran, akal budi, hasil.

  Jadi, dari dua kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kebudayaan adalah hasil ciptaan manusia yang dalam proses menciptakan menggunakan perasaan, sehingga menghasilkan karya yang dapat dilihat oleh manusia, dan dalam setiap sisi manusia mengandung unsur kebudayaan yang sudah melekat, seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat. Hampir semua Negara memiliki kebudayaan yang beraneka ragam, termasuk Indonesia.

  Indonesia adalah negara yang memiliki beribu-ribu pulau yang terhampar luas, sehingga ada berbagai suku bangsa dan wilayah dalam setiap pulaunya.

  Sebagai negara yang memiliki beraneka ragam suku bangsa, tentunya Indonesia harus berani beradaptasi dan harus bisa mempertahankan kebudayaan.

  Menurut C. Kluckhohn dalam Jurnal Analisis Kebudayaan (Luth, 1983: 156), setiap nilai budaya dalam tiap kebudayaan mengenal lima masalah dasar dalam kehidupan manusia, yaitu: masalah mengenai hakikat hidup manusia, masalah mengenai hakikat karya manusia, hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu, hakikat hubungan manusia dengan alam, dan hakikat manusia dengan sesamanya.

  8 Menurut Herusatoto (2008: 10) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai seperangkat nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai dasar setiap langkah yang harus dilakukan. Sehubungan dengan pola hidup dan cara kemasyarakatannya, akan terwujud dalam wujud norma hidup.

  Berdasarkan teori di atas, peneliti akan meneliti dampak pembelajaran Mulok Budaya Banyumasan terhadap sikap cinta budaya lokal bagi siswa, khususnya sikap atau tata kesopanan yang masuk ke dalam materi tata krama.

  Melalui penelitian ini, nantinya juga akan terlihat stategi seperti yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran.

  Banyumasan berasal dari kata Banyumas yang mendapat akhiran -an. Banyumas adalah salah satu kota yang berada di Propinsi Jawa Tengah, yang memiliki berbagai adat istiadat yang mampu membedakan adat istiadat dengan wilayah di sekitarnya. Wilayah selatan berbatasan langsung dengan kabupaten Cilacap, untuk wilayah timur berbatasan dengan kabupaten Banjarnegara, wilayah utara berbatasan langsung dengan kabupaten Pemalang. Jadi, dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan Budaya Banyumasan merupakan hasil dari rasa, cipta, rasa dan karsa yang di hasilkan oleh masyarakat yang berada di wilayah Banyumas, baik adat istiadat, makanan, tarian, upacara adat, maupun tata krama yang ada di daerah Banyumas.

2. Geografi dan Etnografi Banyumas

a. Secara geografis Banyumas terbentang dari sisi Barat Daya Propinsi Jawa Tengah.

  Pulau Jawa terletak diantara 5º Lintang Selatan, 10º Lintang selatan dan 105º Bujur Timur dan 115º Bujur Timur, sedangkan secara administrasi pemerintahan wilayah Banyumas terdiri dari empat kabupaten yaitu: Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, dan Cilacap. Pada zaman dahulu wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah dari kerajaan Jawa sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura hingga Kasunanan Surakarta. Kadipaten Banyumas, dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta menjadi wilayah kekuasaan kolonial Belanda tahun 1830, sejak saat itulah bekas kadipaten Banyumas dipecah menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Ajibarang (Herususanto, 2008: 13).

  Dalam tahun 1831 itu djuga R.Ad. Brotodiningrat wafat dan disemajamkan di pasarean kebutuh.Jang menggantikan adalah putranja dan mendjadi Bupati Purwokerto dengan gelar K.P.A.A. Mertadiredja II, dan berkedudukan di Ajibarang. Karena pada waktu itu Adjibarang adalah kabupaten Purwokerto. Baru pada tahun 1982, setelah Adjibarang mengalami benjana-alam diserang angina taufan selama 40 hari, ibukota Kabupaten dipindahkan ke desa paguwun jaiu Purwokerto sekarang (Brotodiredjo, 1969: 76).

  Terjemahan dari kutipan di atas adalah: Dalam tahun 1831 itu juga R.Ad.Brotodiningrat wafat dan disemayamkan di Pesarean Kebutuh. Yang menggantikan adalah putranya dan menjadi Bupati Purwokerto dengan gelar K.P.A.A. Mertadiredja II, dan berkedudukan di Ajibarang. Pada waktu itu Ajibarang adalah kabupaten Purwokerto. Baru pada tahun 1982, setelah Ajibarang mengalami bencana alam diserang angin topan selama 40 hari, ibu kota Kabupaten di pindahkan ke desa paguwun yaitu Purwokerto sekarang (Brotodiredjo, 1969: 76).

  Berdasarkan perhitungan dan penelitian sejarah oleh panitia Khusus Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang dibantu oleh para pakar Sejarah dan Arkeologi, dan sudah diseminarkan dan disimpulkan bahwa tanggal 12 Rabiulawal 1990 H bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M jatuh pada hari Jumat Kliwon adalah Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang kemudian ditetapkan dengan peraturan daerah Nomor 2 Tahun 1990. Sesuai dengan tanda waktu yang terdapat pada Lambang Daerah yang berbunyi RARASING

  RASA WIWARAING PRAJA yang bermakna tahun 1966 M adalah hitungan

  Surya Sangkala, maka Hari Jadi Kabupaten Banyumaspun diberi Surya Sangkala yang berbunyi: BEKTINING MANGALA TUMATANING PRAJA berarti tahun 1582 (Parwoko:2).

  Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa hari jadi kabupaten Banyumas ditetapkan pada tanggal 12 Rabiulawal 1990 H bertepatan dengan tanggal 6 April 1582 M jatuh pada hari Jumat Kliwon. Adapun lambang daerah Banyumas adalah RARASING RASA WIWARAING PRAJA.

  Herusatoto (2008) Kabupaten Banyumas, dipindahkan dari Ajibarang ke Purwokerto dan setelah resmi wilayah Banyumas dibagi 5 Kabupaten , yaitu Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purwokerto. Tanggal 1 Januari 1936 Karesidenan Banyumas resmi menjadi 4 Kabupaten, yaitu Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, dan Cilacap.

  Sesuai dengan UU Nomor 13 tahun 1950 Tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah, daerah kabupaten Banyumas termasuk yang dibentuk sebagai Daerah Kabupaten yang berhak mengatur dan mengurusi rumah tanganya sendiri sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1948 (Adisarwono & Purwoko: 3).

  Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan Banyumas adalah wilayah yang berada diantara Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap yang resmi terbentuk pada 6 April 1582 M, dan ditetapkan sebagai salah satu wilayah Karesidenan Banyumas pada tanggal 1 Januari 1936, dan resmi menjadi Kabupaten yang berhak mengatur dan mengurusi wilayahnya sendiri pada tahun 1950.

b. Etnografi Banyumas 1) Wong Banyumas

  Kriteria yang termasuk kedalam golongan wong banyumas adalah Orang yang masih merasa memiliki leluhur, dan mereka mengakui sebagai keturunan wong Banyumas. Orang yang sampai saat ini masih merasa bangga menjadi keturunan wong Banyumas dan masih senang memakai bahasa dialek Banyumas, serta siapa saja yang pernah tinggal-menetap di eks Karesidenan Banyumas (Herusatoto, 2008: 16). Menurut Herusatoto (2008: 20) ciri bahasa ibu wong Banyumas adalah jika mereka berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (jika berbincang bincang seperti saling tergesa-gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketake (kental, mengasikkan, sedap didengar oleh sesama asal daerahnya). Melalui kriteria tersebut, maka orang-orang yang termasuk wong Banyumas, bukan hanya orang yang tinggal dan menetap di wilayah Banyumas, tetapi juga orang yang tetap mengakui masih memiliki darah Banyumas, bisa berdialek Banyumas, dan tentunya masih bangga pada pergaulan sosial-budaya masyarakat Banyumas.

2) Dialek Banyumas

  Dialek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 351) adalah ujaran yang khas dimiliki oleh suatu daerah atau kelompok, bahasa yang dipakai di suatu tempat atau daerah yang agak berbeda dengan bahasa itu yang pada umumnya disebut logat.

  Menurut Sumarsono (2009: 21) Dialek adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal disuatu daerah tertentu. Jadi, Dialek Banyumas adalah ujaran khas atau logat yang dipakai di daerah Banyumas, yang berbeda dengan daerah lain.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan Pasal

  24 Poin 1 disebutkan bahwa Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia (Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, 2011: 17).

  Dari kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya. Hal ini di jadikan dasar oleh peneliti untuk meneliti pembelajaran Mulok Budaya Banyumasan karena pada pada materi Mulok Budaya Banyumasan ada materi tentang kesustraan yaitu tentang kesenian yang ada di Banyumas, diantaranya adalah pewayangan.

  Menurut Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, sastra dan Aksara Jawa Bab IV tentang Fungsi Bahasa, Sastra Dan Aksara Jawa Pasal 7 di sebutkan bahwa Bahasa Jawa mempunyai fungsi- fungsi sebagai sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat di daerah, sarana pengungkap dan pengembangan sastra dan budaya Jawa dalam bingkai keIndonesiaan, pembentuk kepribadian dan peneguh jatidiri suatu masyarakat di daerah, sarana pemerkaya kosa kata bahasa Indonesia dan wahana pendukung dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah (Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa Bab IV tentang Fungsi Bahasa, Sastra Dan Aksara Jawa Pasal 7, 2012 :8).

  Dari dua kutipan di atas jelas sekali disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia tetap menginginkan agar Bahasa dan sastra daerah tetap dilestarikan keberadaannya. Hal ini dikuatkan lagi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pengajaran bahasa Jawa sangat penting diajarkan pada anak-anak, salah satu yang termasuk bahasa Jawa adalah bahasa Jawa Dialek Banyumasan. Orang-orang Banyumas lebih suka menggunakan Bahasa ngoko atau ngoko andhap (bahasa yang digunakan orang yang kira-kira sama derajatnya seperti anak dengan anak, orang tua dengan anak, majikan dengan pembantu, dan orang sebaya yang sudah akrab, khususnya sesama Banyumas karena dirasa lebih akrab.

  Pemakaian Dialek Banyumas digunakan masyarakat daerah eks Karesidenan Banyumas, dan daerah yang dahulunya pernah masuk wilayah kekuasaan para Bupati Banyumas seperti gombong, Kebumen, dan Karanganyar.

  Menurut Wijana (2010) dialek Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan dialek di daerah lain. Ciri khas inilah yang membedakan antara dialek Banyumasan dengan dialek lain, seperti dialek Yogya-Solo, Madura, Bali, dan lain sebagainya. Dialek Banyumasan yang dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara, misalnya adalah sendok, endog, angop, abab, dan sebagainya.

  Menurut Wijana (2010: 89) ada berbagai sebab atau alasan mengapa suatu bahasa punah atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penuturnya, satu diantaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek yang lebih besar secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis, seperti yang dialami oleh dialek Banyumas. Pemeliharaan sebuah bahasa salah satunya adalah dengan menumbuhkan rasa banga untuk menggunakan dialek Banyumasan.

  Dari kutipan di atas, maka dapat disimpulkan dialek Banyumas adalah sebuah gaya bahasa yang dimiliki oleh orang Banyumas yang memiliki ciri khas khusus dibandingkan dengan daerah lain, dan apabila keberadaannya tidak ingin punah maka masyarakat Banyumas harus bangga menggunakan dialek Banyumas. Mulok Budaya Banyumasan dapat dijadikan salah satu materi pembelajaran untuk tetap melestarikan dialek Banyumasan.

  Menurut Koderi (1991: 167), secara garis besar ada perbedaan antara Dialek Banyumasan dengan Dialek Yogya-Solo dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu: a. Kata yang ucapannya sama namun maksud berbeda dan sebaliknya. Misal kata Berag dalam dialek Banyumas artinya birahi, dalam dialek Yogya-Solo artinya gembira.

  b. Maksudnya sama namun kosa kata berdeda. Misalnya (bang) kyangen dalam dialek Yogya Solo tidak dijumpai, yang ada tansah laranen, kedua kata itu memiliki maksud yang sama yaitu sakit-sakitan.

  c. Kata yang hanya berbeda ucapannya, arti dan tulisan sama, seperti: Bapak, anak, awak. Pengucapan vokal dialek Banyumas hanya ada enam, yaitu a, i, u, e, o, e.

  Menurut Wijana 2010: 90) menyatakan bahwa kebanggaan bahasa (linguistic pride), merupakan faktor yang amat penting bagi keberhasilan usaha pemertahanan sebuah bahasa dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal dari masyarakat pemilik bahasa yang lebih dominan yang secara ekonomis dan politis memiliki pengaruh yang lebih besar.

  Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap bangga menggunakan dialek Banyumas, maka akan berdampak tidak akan punahnya Dialek Banyumasan, karena sesunguhnya ada perbedaan yang sangat mendasar antara Dialek Banyumasan dengan Dialek bahasa di daerah lain yang seharusnya menjadi cerminan bagi masyarakat Banyumas khususnya untuk tetap Bangga dengan Dialek Banyumasan.

3. Kesenian Tradisional Banyumas

  Banyumas adalah salah satu wilayah yang memiliki beraneka ragam kesenian tradisional yang sejak lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakakat. Kesenian yang ada di Banyumas diantaranya adalah: Dhalang Jemblung, dagelan, macapat, angguk, ebeg, aplang, ujungan, calung, boncis, braen, manongan, slawatan, gending Banyumas, seni batik, wayang gagrag Banyumas, dan lain sebagainya (Koderi, M , 1991: 43).

a. Jemblung

  Jemblung atau lebih dikenal dengan istilah Dhalang Jemblung adalah salah satu kesenian rakyat Banyumas yang mengandalkan tutur. Pertunjukan dhalang Jemblung merupakan bentuk sosio drama yang mudah dicerna oleh masyarakat luas, dan mengandung nilai positif. Perbedaannya dengan wayang kulit adalah, jika wayang kulit menggunakan kelir maka pada Dhalang Jemblung tidak menggunakan kelir, wayang atau gamelan. Cerita yang dibawakan biasanya diambil dari lakon-lakon wayang, dan menggunakan dialek Banyumas untuk humor atau banyolan.

  Kesenian jemblung bisa dimainkan antara 2-4 orang. Pemain menggunakan pakaian Jawa seperti blangkon, baju surjan, dan kain. Perangkat gamelan tidak diperlukan, semua suara gamelan digantikan menggunakan suara mulut.

b. Dagelan Banyumas

  Dagelan Banyumasan adalah salah satu kesenian lawak yang menggunakan dialek dan gaya Banyumasan. Dagelan tidak selalu menjadi kesenian yang berdiri sendiri, tetapi bisa muncul pada berbagai kesenian sebagai selingan, seperti dagelan yang dibawakan oleh seorang dhalang jemblungan atau dhalang pada wayang kulit, atau kesenian begalan.

  Grup dagelan dimulai pada tahun 1938. Sesudah tahun tersebut munculah grup lawak daerah dimana-mana. Menurut Pak Geono dalam (Koderi, 1991: 52) ada perbedaan antara lawak dengan dagelan, diantaranya yaitu: 1). Dagelan berbahasa Jawa sedangkan lawak berbahasa Indonesia. 2). Dagelan pemainnya lebih dari 3 orang, lawak bisa hanya 2 atau bahkan 1 orangpun jadi.

  3). Dagelan memakai cerita, lawak tidak mesti. 4). Dagelan biasanya memakai beberapa adegan, lawak cukup satu adegan. 5). Dagelan selalu memakai make up dan pakaian khusus, lawak tidak tentu. 6). Dagelan biasanya menggunakan nama pameran, lawak nama aslinya. 7). Dagelan biasanya menggunakan iring gamelan, lawak tak memerlukan gamelan musik.

  Pertunjukkan biasanya dipentaskan diatas pangung menggunakan cerita, bentuk cerita dicari yang aneh-aneh. Gerakan mimik dan tingkah polah para pemain hanya sebagai pendukung.

  c. Begalan

  Begalan adalah suatu jenis kesenian yang merupakan bagian upacara adat perkawinan di daerah Banyumas. Upacara perkawinan yang disertai begalan biasanya dilakukan apabila pasangan penganten terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama kalau yang bungsu dan anak sulung, terutama kalau yang bungsu atau sulung dari pihak perempuan.

  Begalan berasal dari kata begal dan akhiran –an artinya perampasan atau perampokkan ditengah jalan. Jadi kesenian begalan adalah suatu adegan yang menggambarkan seorang sedang membawa barang-barang kebutuhan hidup dirampas ditengah jalan. Dengan iring-iringan gendhing Banyumasan, mereka melakukan dialog-dialog yang cukup seru penuh banyolan, sindirian dan nasihat-nasihat.

  d. Lengger Calung

  Lengger Calung adalah suatu tarian-tarian gambyong yang diiringi gamelan bambu dengan gamelan Banyumasan. Tarian lengger mempunyai dasar tari bedhaya serimpi yang diramu dengan tari golek dan iringan Banyumasan. Gerak tarinya tampak lebih lincah. Pertunjukan lengger biasanya bersahut-sahutan antara pemain yang satu dengan yang lain, lagu-lagunya umumnya berupa pantun yang mengandung sindiran jenaka dendang tarian mengikuti irama lagu.

  e. Gending Banyumasan

  Kesenian yang diiringi gendhing-gendhing Banyumasan antara lain: Begalan, Ebeg, Ujungan, Wayang Kulit dan sejumlah tarian-tarian Banyumasan. Lagu-lagu gendhing Banyumasan dapat dimainkan dengan gamelan biasa maupun dengan calung. Irama gendhing Banyumasan juga mengenal laras pelog dan Slendro. Lagu lagu Banyumasan mempunyai ciri-ciri khas antara lain: Bahasanya menggunakan dialek Banyumasan, mengandung parikan semacam pantun berisi sindiran-sindiran jenaka, terkadang mirip irama Sunda, Isi syair umumnya mengandung nasehat, humor, menggambarkan keadaan atau kejadian didaerah serta berisi kritik-kritik.

  f. Pedhalangan Gagrag Banyumasan

  Menurut buku Pedhalangan Gragag Banyumasan (1983) (Koderi, M, 1991: 66) masuknya pewayangan di daerah Banyumas diperkirakan sejak zaman Majapahit. Pedhalangan gragag Banyumasan penuh dengan iringan gendhing-gendhing Banyumasan, bahasa yang digunakan adalah menggunakan dialek Banyumasan. Nama-nama tokoh pada umumnya hanya seperti Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, dalam versi Banyumas Bawor adalah anak tertua dari Semar.

  g. Ebeg

  Ebeg adalah salah satu bentuk tarian rakyat yang berkembang di daerah Banyumas, yang merupakan jenis tarian rakyat yang lahir di tengah-tengah pedesaan dan memiliki unsur magis, dan penari ebeg dibuat mabuk, dan pada saat mabuk penari ebeg menunjukkan kebolehannya seperti makan kaca, bunga, mengupas kelapa dengan gigi, memakan bara api. Ebeg dapat dipergelarkan di tempat yang luas, seperti pelataran, lapangan, atau halaman yang luas. Pemain, berjimlah 8 orang atau lebih, dan satu grup ebeg bisa terdiri dari 16 orang atau lebih. Ciri-ciri ebeg antara lain memakai makutha, pakaiannya tertutup dan diiringi lagu-lagu Banyumasan.

h. Buncis Buncis adalah tarian rakyat yang berkembang di daerah Banyumas.

  Buncis dimainkan oleh 8 orang pemain, semuanya putera dengan 6 orang sebagai penari dengan memakai angklung dan 2 orang masing-masing sebagai penabuh kendhang dan gong tiup. Laras angklung bernada slendro yaitu 1, 2, 3, 5, 6, 1. Kostum yang dipakai bernama nistha utama yang mengandung filsafat jika orang ingin sukses maka harus bekerja keras untuk mendapatkan keberhasilan.

  Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Banyumas adalah kabupaten yang memiliki banyak sekali kesenian tradisional, yang keberadaannya perlu dilestarikan, dan jangan sampai punah. Selain itu, dengan banyaknya kesenian yang ada, maka Kabupaten Banyumas bisa menjadi kota Budaya yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan dengan wilayah lain.

4. Adat Istiadat

  Adat istiadat menurut Koderi (1991: 109) adalah berbagai aturan kegiatan dan kebiasaan yang dilakukan sejak lama. Adat istiadat dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu adat istiadat yang erat kaitannya dengan upacara-upacara atau aturan agama dan kepercayaan dengan roh halus, sedangkan ketegori yang kedua adalah adat istiadat yang berupa kebiasaan atau kegemaran saja serta kebutuhan hidup seperti sandang, papan, dan pangan (pakaian, tempat tinggal dan makanan).

  Orang Banyumas atau orang Jawa umumnya mempercayai makhluk halus. Konon makhluk halus tersebut ada yang membantu manusia dan ada juga yang mengganggu manusia atau yang sering disebut medi yang kerjanya menakut-nakuti manusia. Medi ada yang berbentuk bujungan berwujud jenazah terbungkus, gendruwo, wewe, jrangkong dan lain sebagainya. Orang Banyumas termasuk orang yang senang melakukan kegiatan apa saja menggunakan perhitungan hari baik, karena mereka percaya bahwa ketika menggunakan perhitungan hari baik maka semua yang diharapkan akan berjalan dengan lancar.

  Menurut Koderi (1991: 114-134) ada beberapa adat istiadat yang sering digunakan oleh masyarakat Banyumas, adapun rangkuman adat istiadat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Upacara Kelahiran

  a. Sebelum Kelahiran Upacara sebelum kelahiran dilakukan oleh orang Banyumas dengan tujuan agar nantinnya ketika bayi lahir maka akan selamat tanpa adanya halangan. Adapun upacara sebelum lahir dilakukan ketika sang ibu hamil 3 bulan diadakan selamatan jenang bening, bubur sumsum, dan nasi punar.

  Hamil 4 bulan selamatan dengan sebutan ngupati, yaitu ketupat, gudeg, nasi pecel, tumpeng, enten-enten, dan ketan. Pada masa kandungan 7 bulan ada upacara yang disebut mitoni yang konon upacara mitoni terdapat pada Serat Pustaka Raja Madya. Pada usia kehamilan 9 bulan, ada selamatan lagi yang disebut mrocoti. Makanan yang diperlukan antara lain adalah jenangprocot, ketupat, nasi golong, bulus angrem, dhawet, dan lain- lain.

  b. Upacara Kelahiran Apabila sisa usus bayi yang melekat pada pusarnya itu mengering dan lepas, sering disebut puput puser. Menurut adat, bayi laku-laki apabila sudah puput lubang pusarnya disumbat dengan dua buah mrica agar kelak menjadi laki-laki sejati, sedangkan bayi perempuan maka pusarnya disumbat dengan ketumbar.

  Pada sore harinya maka diadakan upacara selamatan, dengan menu makanan nasi dengan lauk sayur-sayuran, jenang merah putih, baro- baro, dan jajanan pasar. Prosesi setelah diadakan selamatan, maka bayi diberi nama, dan sebagai orang tua maka melakukan lek-lekan, yaitu tidak tidur dengan melakukan jagong bayen dengan macapatan, pembacaan Barzanji.

  2. Upacara Sepitan atau Khitanan Sepitan atau Khitanan biasanya dilakukan pada saat anak laki-laki menginjak usia 12 atau 13 tahun. Upacara sunatan biasanya disaksikan oleh keluarga dan tetangga. Dahulu menyunat dilakukan oleh dukun sunat atau

  

dukun sepit, sebelum sunat maka anak berendam selama 1 jam agar

darahnya tidak keluar.

  Biasanya anak-anak yang disunat akan mendapatkan hadiah dari orang tuanya ataupun keluarga. Hari penyelenggaraan sunatan biasanya dilakukan dengan memilih hari baik, bukan hari pantangan. Bulan untuk melaksanakan sunatan pun dilakukan pada bulan baik, biasanya bulan puasa tidak digunakan untuk melakukan hajatan dan bulan yang dianggap baik adalah Bulan Zulhijjah, Rabbi’ulawal, Jumadilakhir, Rajab, Sya’ban.

  3. Upacara Perkawinan Upacara perkawinan merupakan upacara terpenting dalam rangkaian upacara siklus kehidupan manusia. Masyarakat Banyumas sebelum melaksanakan upacara perkawinan maka ada serangkaian acara yang dilakukan diantaranya yaitu memilih jodoh atau adat gowok. Pemilihan jodoh orang Banyumas maka sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot yang dalam pemilihannya maka berdasarkan keturunan atau asal usulnya, berdasarkan lingkunagn pergaulannya, dan berdasarkan status sosialnya seperti kedududkan, harta, dan kecantikannnya.

  Adat istiadat orang Banyumas yang berkaitan dengan upacara perkawinan adalah begalan. Upacara begalan biasanya dilakukan pada waktu calon pengantin pria memasuki pelataran rumah pengantin wanita sebelum akad nikah berlangsung. Hal-hal yang penting dalam kata urut perkawinan menurut tata aturan Jawa adalah sebagai berikut: 1) Utusan

  Pada zaman dahulu umumnya para gadis dipingit, yaitu tidak boleh keluar dari rumah apalagi pergi. Pihak orang tua yang ingin mencarikan isteri untuk anak laki-lakinya maka akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu kepada wanita tersebut, apabila wanita tersebut memenuhi kriteria maka pihak laki-laki akan mengutus orang untuk melamar melalukan penyelidikan terhadap gadis yang sedang dipingit tersebut. Utusan tersebut bertugas untuk menarik simpati keluarga gadis. Tahap berikutnya dalah nontoni, artinya menonton atau melihat. Jika gadis tersebut belum ada yang melamar dan sekiranya ada tanda-tanda setuju maka pihak laki-laki dating untuk melihat lebih dekat keadaan si gadis.

  2) Melamar Melamar yaitu pembicaraan yang resmi yang disampaikan oleh utusan pihak laki-laki dengan maksud melamar di rumah orang tua si gadis.

  Apabila lamaran diterima maka pihak laki-laki memberikan peningset yaitu tanda pengikat pembicaraan yang biasanya diberikan pada waktu melamar. Pada saat melamar biasanya sekaligus dibicarakan tentang hari, tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakan pernikahan, upacara ini ditambah dengan acra tukar cincin dari calon suami kepada calon isteri. 3) Srah-srahan atau Bawa Besan

  Srah-srahan atau Bawa Besan merupakan penyerahan uba rampe (barang-barang) kepada calon pengantin wanita dari keluarga calon pengantin pria. Barang yang dibawa diantaranya dalah : sirih ayu sebagai simbol agar nantinya dapat terlaksana dengan rahayu (selamat), kain batik dengan motif yang mengandung makna kebahagiaan, bahan makanan (beras, gula, kelapa, garam, minyak kelapa, dan buah-buahan), uang sebagai bantuan pengantin pria untuk penyelenggaraan upacara perkawinan di rumah pengantin wanita. 4) Siraman

  Siraman yaitu upacara memandikan calon pengantin wanita yang biasanya dilakukan sehari sebelum akad nikah berlangsung. Rambut calon pengantin wanita dikeramasi dengan air landha merang (sekarang menggunakan shampo), badannya digosok menggunakan bahan yang terbuat dari ramuan beras ketan yang ditumbuk kasar, kunyit, pandan wangi, kulit jeruk, pucuk daun kemuning, bunga kenanga dan mawar.

  Malam hari setelah siraman, biasanya adalah malam midodareni (berasal dari kata widodareni=bidadari), dan pengantin pria berkunjung ke rumah pengantin wanita ditemani oleh pemuda dan teman-temannya. 5) Rias Pengantin

  Adat sebelum akad nikah adalah rias pengantin. Tugas merias dilakukan oleh ahli perias yang sering disebut dukun penganten. Tata rias pengantin wanita meliputi tata rias wajah, sanggul, hiasan bunga, dan busana. Tata rias wajah yang terutama adalah membuat paes pada dahi, sebelum dipaes rambut di dahi yang menyembul ke depan ketika disisir maka dicukur terlebih dahulu. Rambut tersebut disebut sinom atau wulu

  kalong.

  Busana atau pakaian pengantin untuk pengantin wanita menggunakan kain batik, stagen, rimong cinde, baju kebaya dan selop. Busana dan perlengkapan pengantin pria yaitu kemeja putih lengan panjang, kain jarit, stagen, sabuk bora, epek timang, rompi dan dasi kupu-kupu, jas bukak warna hitam, selop dan blangkon nodang Banyumasan. Perhiasan yang deperluka pengantin putri yaitu kalung tumanggal, dipakai pada leher hingga dada berbentuk bulan sabit, bros, cincin dan gelang, cundhuk jungkat dipasang di panunggul. Perhiasan pengantin pria antara lain berupa bros, bunga sumping, jenthitan untuk blangkon dan kalung karset atau bunga papaya yang memiliki makna dawa ususe atau sabar.

  6) Upacara Akad Nikah Akad nikah merupakan inti dari serangkaian upacara perkawinan, karena merupakan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Urut-urutan acara akad nikah adalah sebagai berikut:

  a. Pengantin pria yang diiringi para kerabat, dan kawan-kawan pengantin datang ketempat pengantin wanita. Apabila pengantin pria beserta rombongannya sampai dipelataran rumah pengantin wanita maka berhenti dahulu untuk menyaksikan acara begalan. Selesai upacara begalan maka pengantin laki-laki memasuki rumah pengantin wanita dan duduk ditempat yang sudah disediakan.

  b. Ijab Qobul Apabila rukun nikah kainnya sudah terpenuhi (calon suami, calon isteri, wali, dua orang saksi) maka dapat diteruskan kepada rukun berikutnya yaitu ijab qabul. Ijab diucapkan oleh wali atau orang yang bertindak sebagai wali pengantin wanita denagn ucapan: “Aku nikahkan engkau dengan si….(calon pengantin wanita) Qabul diucapkan oleh calon suami: “Aku terima nikahnya si (calon istri) dengan mahar (mas kawin)….”. Ijab Qabul boleh diucapkan menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, atau Arab, setelah mengucapkan ijab qabul maka suami mengucapkan janji. Acara selanjutnya penghulu membacakan doa dan memberikan khutbah untuk pengantin.

  Jika acara ijab qabul telah selesai maka kedua mempelai sudah resmi menjadi sepasang suami istri, dan acara selanjutnya adalah upacara panggih dengan urut-urutan sebagai berikut:

  • Memutus Benang Lawe Pengantin pria memasuki pintu menuju pelaminan, di pintu masuk maka penagntin pria memutus benang lawe. Maknanya adalah dia sudah berhasil melewati rintangan, dan pengantin wanita menjemput dengan saling berhadap-hadapan dan melempar sirih.
  • Menginjak telor

  Pengantin pria menginjak telor ayam kampong dan pengantin wanita membasuh kaki suaminya dengan kembang setaman.

  Simbol ini menandakan bahwa masa kegadisan pengantin wanita sudah berakhir serta siap untuk berbakti kepada suami dan pengantin laki-laki memulai tanggung jawab sebagai suami.

  • Tuntunan Pada tahap ini, kedua pengantin saling bergandengan tangan mengikuti ayah pengantin wanita menuju pelaminan. Artinya adalah ayah dari pengantin wanita menunjukkan jalan yang lurus untuk mendapatkan kebahagiaan dalam berumah tangga. Ibu dari pengantin wanita mengikuti dari belakang yang menandakan bahwa si ibu memberikan dorongan semangat dari belakang atau tut wuri handayani.
  • Menanam Jika sudah sampai di depan pelaminan maka kedua pengantin berbalik arah. Ayah pengantin wanita sambil memegang pundak pengantin, mempersilakan keduanya duduk. Maknanya adalah orang tua sudah merestui kedua pengantin menjadi suami istri.
  • Tarik-tarikan panggang

  Sebuah ayam panggang dipegang oleh kedua mempelai, selanjutnya baik pengantin wanita maupun laki-laki saling menarik ayam tersenut sampai terbelah menjadi dua. Ini merupakan peringatan bahwa dalam berumah tangga tidak boleh saling ngotot atau ingin menang sendiri.

  • Suap-suapan Kedua pengantin makan berdua di pelaminan saling suap-suapan. Maknanya adalah apabila mereka memperoleh rezeki maka akan dirasakan bersama dan dimanfaatkan bersama.
  • Sungkeman Kedua pengantin berlutut dihadapan kedua orang tua untuk meminta restu, permohonan maaf, mohon nasehat dari orang tua. Kedua pengantin sungkeman kepada kedua orang tua baik orang tua pengantin laki-laki maupun kepada orang tua perempuan. Maknaya adalah walaupun mereka sudah menikah maka mereka harus tetap berbakti kepada kedua orang tua, menjaga nama baik kedua orang tua (mikul dhuwur mendhem jero).

  7) Upacara Kematian Tata upacara kematian di Banyumas tidak berbeda jauh dengan upacara kematian di daerah lain. Tata urutan upacara kematian adalah memandikan, mengkafani, menyembayangkan, dan menguburkan. Pada saat memadikan maka alat yang perlu disediakan adalah: belahan batang pisang, tiga buah tempat air yang berisi air bersih, tiga buah gayung, sabun, shampoo untuk keramas jika sudah dimandikan maka langkah selanjutnya adalah mengkafani jenazah, setelah dikafani maka jenazah dishalatkan boleh secara sendiri-sendiri atau secara berjamaah, sebelum diberangkatkan untuk di kubur maka keluarga meminta maaf atas segala kesalahan yang sudah diperbuat oleh si mayat selama hidupnya dan menanyakan apakah si mayat memiliki tanggungan hutang. Apabila ada, maka pihak yang dihutangi mendatangi keluarga untuk meminta sejumlah uang yang telah dipinjam oleh si mayat.

  Prosesi selanjutnya setelah jenazah siap maka jenazah diberangkatkan ke pemakaman dengan di[ikul oleh 4 orang dan seorang untuk memayunginya. Pada saat jenazah dipikul maka ada orang yang bertugas membuang sawur (terdiri dari beras yang dikuningi dengan kunyit, bunga-bungaan, dan uang logam). Hal ini pertanda bahwa jenazah sudah tidak bisa lagi bersedekah. Jika sudah sampai di pemakaman maka jenazah di kuburkan, dan ikatan tali dilepas dan wajah dibiarkan untuk terbuka.

  Pihak keluarga yang sudah ditinggalkan pada malam harinya mengadakan malam kenduri yaitu mengadaka selamatan atau doa-doa dengan mengundang keluarga dan tetangga untuk mendoakan si mayat. Upacara kenduri dilakukan pada malam pertama setelah jenazah dikubur, malam ke-3, ke-7, ke-40, hari ke-10, dan hari ke-1000. Kepercayaan ini masih terdapat pada masyarakat karena masyarakat beranggapan bahwa pada hari-hari tersebut arwah orang yang sudah meninggal masih berada di sekitar rumah.

  Uraian di atas adalah berbagai macam adat istiadat yang dilakuan oleh orang Banyumas. Melalui adat istiadat tersebut maka dapat dikatakan bahwa karakter orang Banyumas adalah orang yang sangat kental akan nuansa adat, sehingga diharapkan melalui penelitian ini kebudayaan yang ada di Banyumas akan lebih dikenal orang, dan tetap terjaga keberadaannya.

B. Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas Nomor 420/1763/2007 pada tanggal 16 April 2007

  Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas Nomor 420/1763/2007 pada tanggal 16 April 2007 diterbitkan langsung oleh kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas. Adapun isi dari Surat keputusan tersebut adalah:

  Budaya Banyumasan mencakup seluruh kebudayaan yang ada di Banyumas, yang harus dikuasai oleh anak sekolah dasar yaitu dimulai pada kelas III dengan materi Tata Krama I, Tata Krama II, dan III, Babad Purwokerto, Babad Baturaden, Babad Ajibarang. Materi kelas IV mencakup Tata Krama I dan II, makanan khas Banyumas I dan II. Pada kelas V materi mencakup Tata Krama sekolah, tata ktama di Lingkungan Masyarakat, makanan khas yang berasal dari ketela, mendoan, dan kripik, dan materi kelas

  VI mencakup tata karma I dan II, Pewayangan dan cerita rakyat, serta makanan khas yaitu nopia/mino dan soto Sokaraja. Materi-materi tersebut nantinya diharapkan siswa dapat memahami dan mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan di Indonesia khususnya Budaya Banyumasan, yaitu kebudayaan disekitar mereka tinggal.

  Surat Keputusan Kepala Dinas Kabupaten tersebut merupakan penyempurna dari Surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa tengah Nomor: 067/103/M/1999 tanggal 12 Februari 1999 yang berisi bahwa pada sekolah-sekolah harus dimasukkan materi budaya lokal kedalam kurikulum sebagai pembelajaran di sekolah- sekolah, sehingga dari surat keputusan yang baru diharapkan guru dapat benar- benar memahami Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Muatan Lokal Budaya Banyumasan. Melalui SK tersebut, nantinya kebudayaan yang ada di Banyumas akan diketahui, dipelajari mulai dari kelas siswa kelas III Sekolah Dasar sampai kelas VI, ketika siswa mengetahui kebudayaan sejak dini maka akan berdampak pada rasa cinta pada budaya disekitar mereka tinggal.

  Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengkaji Implementasi Mulok pada materi tata krama dan Babad Banyumasan di kelas III. Hal yang akan menjadi dasar penelitian adalah Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal (Mulok) Banyumasan Kelas III di SD Negeri UPK Kalibagor. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat proses pembelajaran di SD, seperangkat pembelajaran yang digunakan guru seperti (pengembangan RPP, pengembangan silabus, dan strategi apa yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran, serta mengetahui dampak pembelajaran Mulok Budaya Banyumasan tentang sikap cinta budaya lokal bagi siswa). Melalui penelitian ini, nantinya dapat diketahui tentang Implementasi pembelajaran Mulok di UPK Kalibagor.

C. Pembelajaran Mulok Budaya Banyumasan di Sekolah Dasar

1. Materi Pembelajaran Mulok Budaya Banyumasan

  Mulok secara bahasa berasal dari kata muatan dan lokal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1044) muatan berasal dari kata dasar muat yang memiliki arti isi, yang mendapat akhiran –an yang mengandung isi di dalamnya. Lokal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 940) berarti setempat, terjadi, berlaku di satu tempat saja, tidak merata.

  Dari pengertian di atas dirangkai menjadi kata muatan lokal yang berarti sesuatu yang yang mengandung isi didalamnya yang sesuai dengan keadaan setempat. Menurut Pettalongi (2004) menyatakan bahwa muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari oleh murid yang terdapat dalam keputusan Mendikbud No 142 tahun 1987 Pasal 1.

  Muatan lokal merupakan kurikulum yang ada di sekolah dasar dan merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dimasukkan materi budaya lokal kedalam kurikulum sebagai pembelajaran di sekolah. Menghadapi perkembangan zaman dengan diiringi masuknya budaya global yang dapat mempengaruhi mental serta perilaku masyarakat Indonesia pengenalan budaya lokal dalam usaha pewarisan kekayaan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur sangat tepat untuk membentengi diri dari budaya asing yang tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

  Muatan lokal pada intinya berupa pelajaran dan pengenalan berbagai khas daerah tertentu bukan saja atas berbagai keterampilan dan kerajinan tradisional, tetapi juga berbagai manifestasi kebudayaan daerah seperti bahasa, tulisan, kesenian daerah, legenda, dan adat istiadat.

  Ada beberapa tujuan pengajaran Muatan Lokal Menurut Depdikbud (Pettalongi, 2004: 65) diantaranya yaitu sebagai berikut:

  1. Tujuan Umum

  a. Untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan pembentukan sikap dan perilaku siswa. Agar siswa nantinya akan memiliki wawasan yang luas, mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, termasuk potensi yang ada pada wilayah tempat tinggalnya seperti Sumberdaya Alam, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional.

  b. Agar pengembangan Sumber Daya Manusia yang terdapat di daerah setempat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan, sekaligus mencegah terjadinya depopulasi daerah dari tenaga produktif.

  c. Agar sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.

  d. Agar dapat menolong orang tuanya dan menolong dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  2. Tujuan Khusus Menurut Mulyadi & Riyanto (Pettalongi, 2004: 65) menyatakan bahwa dengan muatan lokal ini, peserta didik akan mempunyai wawasan yang luas dan mendalam tentang lingkungannya, baik lingkungan sosial budayanya maupun potensi-potensi alam lingkungannya, sehingga ada kesiapan bagi peserta didik untuk menjaga, mengembangkan, dan melestarikannya, selanjutnya, muatan lokal dimaksudkan agar pengembangan sumber daya alam dan dan sumber daya manusia yang terdapat di daerah setempat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah.

  Menurut Wadoro, B (2002: 2) menyatakan bahwa muatan lokal Badaya Banyumasan pertama kali dicanangkan yaitu pada tahun 1994 oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, bahan ajar yang diterapkan pertama adalah wayang. Wayang merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup dikenal oleh masyarakat Banyumas, dan secara geografis Banyumas memiliki kekhasan tersendiri tentang pewayangan. Setelah berjalan beberapa saat, ternyata didalam pelaksanaannya mengalami berbagai persoalan terutama jarangnya guru yang memahami dan menguasai tentang pewayangan, sehingga dalam prosesnya mengalami perubahan dan penyempurnaan-penyempurnaan.

  Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Mulok Budaya Banyumasan adalah merupakan salah satu materi Wajib di Sekolah Dasar yang dalam perkembangannya mengalami perubahan dan peraturan terbaru adalah sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas Nomor: 420/1763/2007 pada tanggal 16 April 2007 yang dalam proses pelaksanaannya seorang guru harus benar-benar paham dan mengerti tentang Budaya yang ada di Banyumas agar nantinya apa disampaikan benar- benar sesuai dengan aslinya.

  Menurut Luth, (1983: 160) ditegaskan bahwa jika manusia ingin tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional berkembang terus dari satu generasi ke generasi berikutnya, jalur yang harus ditempuh adalah melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal seperti keluarga sebab betapa pentingnya dasar-dasar yang diletakkan pada masa kanak-kanak karena berjalan terus sampai dewasa. Proses sosialisasi dimulai dalam keluarga. Oleh sebab itupula, sangat besar peran orang tua terutama ibu.

  Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, jika nilai-nilai budaya tidak ingin luntur dan terkikis oleh zaman, maka wajib diajarkan pada anak mulai sejak dini, dan peran orang tua sangat membantu untuk tetap mengajarkan tentang budaya yang ada disekitarnya. Hal ini juga yang menjadi bahan pertimbangan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas dalam pengelompokkan materi ajar yang akan diajarkan pada siswa di Sekolah Dasar.

  Pembelajaran muatan lokal budaya Banyumasan, mulai diajarkan di sekolah dasar kelas III, pokok bahasannya meliputi : materi Tata Krama I, Tata Krama

  II, dan III, Babad Purwokerto, Babad Baturaden, Babad Ajibarang. Materi di kelas III, akan dilanjutkan di kelas IV dengan pokok bahasan: Tata Krama I dan II, makanan khas Banyumas I dan II. Pada materi kelas IV, akan dilanjutkan pada pembelajaran kelas V, yaitu: Tata Krama sekolah, tata krama di Lingkungan Masyarakat, makanan khas yang berasal dari ketela, mendoan, dan kripik. Dari materi kelas III-kelas V akan di lanjutkan pada kelas VI dengan materi mencakup tata krama I dan II, Pewayangan dan cerita rakyat, serta makanan khas yaitu nopia atau mino dan soto Sokaraja.

  Tata krama menjadi salah satu materi yang wajib diajarkan pada Mulok Budaya Banyumasan mulai dari kelas III-VI SD, dengan tujuan siswa dapat memahami, serta menerapkan nilai-nilai sopan santun dalam kehidupan sehari- hari. Melalui tata krama, pemerintah kabupaten Banyumas mengharapkan siswa dapat memahami betul tentang tata krama. Diantaranya pada pembelajaran tata krama di kelas III, siswa dapat memahami tata krama ketika makan, tata krama ketika akan tidur dan sesudah tidur, tata krama ketika akan, sedang, dan sesudah mandi, tata krama cara memberi salam kepada orang lain, tata krama ketika duduk, berjalan, dan berpakaian, serta tata krama saat menjamu tamu. Melalui tata krama tersebut, siswa diharapkan dapat menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

  Selain tata krama, materi yang diajarkan di kelas III adalah Babad Baturaden, dan Babad Ajibarang. Melalui Babad atau serita rakyat tersebut, nantinya siswa dapat menjelaskan asal mula nama Baturaden, menunjukkan objek wisata yang ada di Baturaden, serta menjelaskan sapta pesona yang ada di Baturaden, selain Babad Baturaden juga diperkenalkan Babad Ajibarang dengan tujuan siswa nantinya dapat mengetahui asal usul Ajibarang, dan mengetahui objek wisata yang berada di sekitar Ajibarang.

2. Sistem Perekonomian Rakyat

  Sistem perekonomian rakyat, menjadi salah satu materi yang diajarkan pada Mulok Budaya Banyumasan mulai dari kelas IV- VI. Adapun materi sistem perekonomian rakyat Mulok Budaya Banyumasan yaitu melalui pembelajaran Makanan Khas Banyumas. Khas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 765), yaitu teristimewa, khusus. Jadi Makanan Khas Banyumas adalah Makanan yang berasal dari wilayah Banyumas, yang tidak umum dimiliki oleh wilayah lain karena memiliki ciri dan keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan makanan di daerah lain.

  Materi pada Kelas IV yaitu makanan khas dari Banyumas yang terbuat dari singkong seperti combro, getuk goreng asli Sokaraja, makanan khas Banyumas yang terbuat dari kedelai seperti tempe mendoan, dan kripik. Materi pada kelas V yang menyangkut sistem perekonomian rakyat yaitu makanan khas dari Banyumas yang terbuat dari singkong seperti combro, getuk goreng asli Sokaraja, makanan khas Banyumas yang terbuat dari kedelai seperti tempe mendoan, dan kripik, dan materi pada kelas VI yang menyangkut tentang sistem perekonomian rakyat yaitu makanan khas nopia atau mino dan soto Sokaraja.