krisis ekonomi.ppt 718KB Apr 20 2011 11:45:54 AM
Permulaan Krisis
Krisis yang terjadi di Indonesia terjadi secara tiba-tiba, tidak ada
indikator yang menjadi peringatan awal akan datangnya krisis. Bahkan
Bank Dunia pada tahun 1998 menilai dan menyatakan bahwa “Indonesia
sedang mengalami krisis yang parah. Sebuah Negara yang mencapai
dekade-dekade pertumbuhan cepat, stabilitas, dan pengurangan
kemiskinan, sekarang mendekati kehancuran ekonomi…Tidak ada
Negara dalam sejarah sekarang ini, terkecuali Indonesia, yang pernah
mengalami pemutar balikan nasib dramatis sedemikian rupa”. Tidak ada
yang pernah menyangka bahwa krisis berat ini akan terjadi karena
keadaan perekonomian dan pemerintahan sangat tenang.
Pertumbuhan ekonomi pada waktu itu kuat, dan semua fakta yang
ada membuktikan bahwa keuntungan-keuntungan sangat besar dan
meluas. Badan pusat statistik (BPS) memperkirakan presentasi
penduduk dalam kemiskinan berangsur-angsur turun di era 1900an, dari
15,1 persen pada tahun 1990 menjadi 13,7 persen pada tahun 1993 dan
11,3 persen pada tahun 1996
Bahkan pada awal tahun 1996 dikabarkan bahwa Indonesia akan
merakit mobil nasionalnya sendiri di dalam negeri, yang
mensyaratkanadanya pembebasan pajak. Dengan Keputusan Presiden,
kontrak perakitan itu jatuh ke tangan Tommy Soeharto. Namun bisnis ini
kemudian menjadi skandal, karena Tommy bekerja sama dengan dengan
perusahaan manufaktur mobil dari Korea, yaitu Kia, yang dibebaskan
dari pajak dan bea masuk. Namun segera ketahuan bahwa usaha
bersama ini sama sekali tidak akan membuat mobil nasional di
Indonesia. Malah, mobil itu menjadi buatan Kia sepenuhnya yang diberi
label mobil nasional di Indonesia, sehingga mampu terhindar dari segala
pajak dan bea masuk serta mendatangkan keuntungan yang besar dari
kedua belah pihak. Mobil baru tersebut diberi nama Timor sehingga
semakin tepat menjadi mobil nasional. Soeharto menyetujui
pengimporan 45.000 mobil Timor pada tahun pertama. Jepang dan
Amerika Serikat memprotes keras terhadap Indonesia dalam World
Trade Organization (WTO), karena penjualan ini dianggap telah
melanggar peraturan perdagangan internasional.
Indikator-indikator bisnis lain juga menyebutkan bahwa pada
masa pra-krisis, perekonomian di Indonesia juga mengalami
kemajuan yang pesat. Investasi dan tabungan naik. ICOR[1]
menunjukkan hasil yang bagus pada masa itu. Pada akhir
tahun 1996 tidak ada catatan kehilangan antusiasme investor
pada rupiah atau pasar saham, tidak seperti di Thailand.
Indikator-indikator kesehatan perusahaan tampak memuaskan.
Industri-industri bangunan dan pasaran perumahan di kota
tumbuh pesat.
Namun, rupanya keadaan inilah yang membahayakan. Karena
kehidupan ekonomi tidak bisa tumbuh terus tanpa batas dan
terus terjadi fluktuasi ekonomi. Gejala pasang surutnya
kegiatan ekonomi secara periodik di dalam teori ekonomi
disebut business cycle atau conjungtur.
Terjadinya Krisis
Pada tahun 1997 Indonesia memiliki utang jangka pendek yang
besar dan segara jatuh tempo. Karena banyak utang masuk ke dalam
Indonesia yang biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga
semakin membengkak karena mengikuti pergerakan mata uang
rupiah yang tidak bagus.
Masalah perekonomian tidak pernah terlepas dari masalah politik.
Respon pertama dari pemerintah terhadap krisis mencerminkan
kesombongan dan kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi
diumumkan, namun proyek para kroni dan keluarga, seperti mobil
nasional Tommy, terus dilindungi. Nampaknya KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme) semakin menambah keruh keadaan. Praktik KKN
menyebabkan keruntuhan perekonomian rakyat. Karena praktik
korupsi menyebabkan keuangan negara menjadi tidak sehat, praktik
kolusi menyebabkan pelaksanaan tatanan hukum berjalan timpang,
sedangkan nepotisme memberikan keistimewaan kepada kerabat.
Korupsi memperumit krisis di Indonesia. Tidak hanya persoalan tentang
keluarga yang tidak ada habis-habisnya, tetapi juga suatu sistem politik yang telah
kehilangan kemampuannya untuk bertindak meyakinkan dalam sebuah krisis dan
oleh karena itu kekurangan kredibilitas dimata baik investor domestik maupun
asing.
Sementara korupsi menjadi lebih terpusat, pengaruh para teknokrat semakin
berkurang. Untuk pertama kalinya di bawah Soeharto, portofolio Bappenas[2]
tidak jatuh keseorang ekonom. Pada waktu yang sama, sejumlah sekutu kunci
Habibie (yang disebut ‘teknolog’), dengan pandangan yang berlawanan dengan
ortodoks ekonomi teknokrat dimasukkan dalam kabinet. Terlebih lagi, pada
permulaan krisis, tiga ahli ekonom kunci dalam kabinet ini, meski mampu secara
taknik dan dikagumi secara luas profesionalisasi mereka, namun dalam berbagai
hal tidak mampu.
IMF juga dapat dikatakan sebagai aktor dari krisis yang terjadi ini selain
Soeharto. Program-program IMF terlalu ambisius dan kompeherensif, sampai
pada tingkat bahwa adalah meragukan pemerintah dari negara G7 bersedia untuk
menyetujuinya, apalagi pemerintah dari negara miskin yang dalam krisis
Kebanyakan kritik-kritik ini berlaku untuk pendekatan IMF selama
6 bulan pertama krisis, dan merupakan fast learner. IMF
mengubah cepat tujuan dan kebijakan fiskal yang bukan faktor
utama dalam krisis. Hal ini melonggarkan pendirian kebijakan
moneter dan tingkat bunga negatif Indonesia. Sejak awal 1998
terlihat bahwa kebijakan ini juga tidak terlalu membatasi. Terlebih
lagi IMF tidak dapat dituduh menyelinapkan liberalisasi financial
yang prematur atau modal terbuka di Indonesia, karena hal ini
sudah ada lama sebelum krisis (sejak 1988 dan 1971, secara
berurutan).
Dampak Krisis Pada Berbagai
Sektor
EKONOMI
Produksi telah mengalami penyusutan sampai pada tingkat perekonomian rata-rata,
namun dengan perbedaan yang besar antara aktivitas orientasi ekspor dan aktivitas
pasar lokal. Namun, hal ini berbeda dengan penurunan konsumsi ruhah tangga yang
sedang, yaitu 2,9 %. Hal ini dikarenakan strategi pada kalangan rumah tangga dalam
menghadapi krisis. Contohnya, bagi rumah tangga yang memiliki uang, mereka
membelanjakan uang tersebut untuk belanja bahan pakok secara habis-habisan, lalu
mereka menimbun bahan-bahan pokok tersebut dengan dalih mereka khawatir apabila
harga-harga semakin melambung. Konsumsi pemerintah menurun kira-kira pada
tingkat yang sama dengan perekonomian secara menyeluruh dan menggarisbawahi
tidak adanya stimulus fiskal.
Neraca pembayaran juga dapat memberikan dimensi tambahan pada gambaran
kehancuran perekonomian Indonesia ini. Sebaimana tercatat, keadaan keuangan
berubah dari defiist menjadi surplus secara cepat terutama dikarenakan oleh jatuhnya
impor, sekitas US$ 15 miliar dibandingkan pada masa pra krisis. Satu factor krisis
tang mengecewakan adalah keadaan ekspor yang menyedihka, yang mana dalam dolar
sebenarnya menurun di tahun 1998-1999. 60% dari penurunan ini terjadi pada sektor
migas, yang berada di luar control negara karena menggambarkan harga internasional
yang rendah. Tetapi ekspor non migas juga mengalami penurunan (terutama karena
adanya gangguan dan ketidakpastian persediaan dan runtuhnya sektor perbankan),
dan disini juga rekor Indonesia lebih rendah daripada tetangganya.
Sosial
Banyak rumah tangga kelas menengah mempunyai asset dalam
bentuk dollar. Sebagai contoh, rekening-rekening bank dollar pada
waktu masa pra krisis sudah umum di Indonesia, sesudah itu tentu
saja semakin berkembang biak. Dengan terjadinya krisis yang
dramitis, membuat mereka lebih pandai mengatur strategi dalam
berinvestasi.
Berbagai estimasi upah riil menunjukkan penurunan yang
signifikan, tetapi penurunan ini bervariasi menurut daerah, dan peka
terhadap pemilihan deflator. Penurunan dibidang pertanian beras di
Jawa jatuh sekitar 30-50% selama tahun 1998. Aktivitas non
pertanian secara umum terpengaruh lebih buruk, terytam sektorsektor seperti konstruksi dan produksi pengganti impor. Secara
berlawanan, penurunan di bidang peranian luar Jawa kemungkinan
lebih kecil.
Keuangan
Dari 1 Juli 1997, rupiah jatuh lebih jauh terhadap dollar AS
daripada mata uang perdagangan internasional negara Asia lainnya.
Pada taggal 31 Maret 1999 nilia nominalnya 28% dari pertengahan
tahun 1997, kurang dari separo rata-rata wilayah dan krisis
perekonomian yang lain. Data juga menggambarkan kurs mata uang
Indonesia lebih lambat melambung dari titik rendah di awal 1998
dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Perpindahanperpindahan nilai tukar pada awalnya berwujud menjadi depresiasi
yang lebih tajam daripada masa krisis ekonomi yang lain. Tapi
menjelang akhir tahun, apresiasi nominal bersama dengan inflasi yang
tinggi telah menghancurkan banyak keuntungan dalam daya saing.
Penurunan pada pasar saham Indonesia pada kurs lokal pada
awalnya mirip dengan krisis ekonomi, tapi lalu menunjukkan
pemulihan kembali yang sangat kecil sampai awal tahun 1999.
Terutama dikarenakan oleh pergerakan kurs, penurunan pasar sham
Indonesia terhadap dollar
Kesimpualn
Krisis yang terjadi di Indonesia terjadi secara tiba-tiba, tidak ada indikator
yang menjadi peringatan awal akan datangnya krisis. Bahkan Bank Dunia pada
tahun 1998 menilai dan menyatakan bahwa “Indonesia sedang mengalami krisis
yang parah. Sebuah Negara yang mencapai dekade-dekade pertumbuhan cepat,
stabilitas, dan pengurangan kemiskinan, sekarang mendekati kehancuran
ekonomi…Tidak ada Negara dalam sejarah sekarang ini, terkecuali Indonesia, yang
pernah mengalami pemutar balikan nasib dramatis sedemikian rupa”. Tidak ada
yang pernah menyangka bahwa krisis berat ini akan terjadi karena keadaan
perekonomian dan pemerintahan sangat tenang.
Pada tahun 1997 Indonesia memiliki utang jangka pendek yang besar
dan segara jatuh tempo. Karena banyak utang masuk ke dalam Indonesia yang
biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga semakin membengkak karena
mengikuti pergerakan mata uang rupiah yang tidak bagus. Utang jangka pendek
tersebut berkisar US$ 30-40 miliar pada tahun 1997. Sistem perbankan yang
menangani semua uang ini sama sekali tidak tertata dengan baik. Jepang, mesin
ekonomi kawasan Asia Tenggara masih mengalami resesi yang berkepanjangan
sepanjang tahun 1990an. Jadi Indonesia tidak dalam kondisi bagus untuk
menghadapi kejutan ekonomi. Keadaan cuaca yang buruk memperparah keadaan
Indonesia karena badai kekeringan El Nino yang parah telah mengurangi produksi
beras hingga 10% pada tahun 1997-1998.
Krisis Asia dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Rupiah selama
ini berada dalam kisaran Rp 2500/US$, namun nilai ini segera merosot pada
bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun
9%. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah
yang terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp
4000/US$. Dari sini rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998,
rupiah tenggelam hingga level sekitar 17000/US$, atau kehilangan 85%
nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di
Indonesia bangkrut. Tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja
diberhentikan dari pekerjaan mereka.
Perekonomian Indonesia mengalami keadaan yang parah.
Perekonomiannya surut sebanyak 13,6 % pada tahun 1998. Seperti yang
bisa diduga, efek-efek sektoral krisis sangat tidak rata. Secara khusus, hasil
pertanian sebenarnya konstan, namun penurunan dalam sektor konstruksi
dan keuangan cukup menonjol. Perpindahan-perpindahan nilai tukar pada
awalnya berwujud menjadi depresiasi yang lebih tajam daripada masa krisis
ekonomi yang lain. Tapi menjelang akhir tahun, apresiasi nominal bersama
dengan inflasi yang tinggi telah menghancurkan banyak keuntungan dalam
daya saing. Angka kemiskinan sudah pasti menunjukkan angka kenaikan.
Jumlahnya sekitar 56% dari populasi.
Krisis yang terjadi di Indonesia terjadi secara tiba-tiba, tidak ada
indikator yang menjadi peringatan awal akan datangnya krisis. Bahkan
Bank Dunia pada tahun 1998 menilai dan menyatakan bahwa “Indonesia
sedang mengalami krisis yang parah. Sebuah Negara yang mencapai
dekade-dekade pertumbuhan cepat, stabilitas, dan pengurangan
kemiskinan, sekarang mendekati kehancuran ekonomi…Tidak ada
Negara dalam sejarah sekarang ini, terkecuali Indonesia, yang pernah
mengalami pemutar balikan nasib dramatis sedemikian rupa”. Tidak ada
yang pernah menyangka bahwa krisis berat ini akan terjadi karena
keadaan perekonomian dan pemerintahan sangat tenang.
Pertumbuhan ekonomi pada waktu itu kuat, dan semua fakta yang
ada membuktikan bahwa keuntungan-keuntungan sangat besar dan
meluas. Badan pusat statistik (BPS) memperkirakan presentasi
penduduk dalam kemiskinan berangsur-angsur turun di era 1900an, dari
15,1 persen pada tahun 1990 menjadi 13,7 persen pada tahun 1993 dan
11,3 persen pada tahun 1996
Bahkan pada awal tahun 1996 dikabarkan bahwa Indonesia akan
merakit mobil nasionalnya sendiri di dalam negeri, yang
mensyaratkanadanya pembebasan pajak. Dengan Keputusan Presiden,
kontrak perakitan itu jatuh ke tangan Tommy Soeharto. Namun bisnis ini
kemudian menjadi skandal, karena Tommy bekerja sama dengan dengan
perusahaan manufaktur mobil dari Korea, yaitu Kia, yang dibebaskan
dari pajak dan bea masuk. Namun segera ketahuan bahwa usaha
bersama ini sama sekali tidak akan membuat mobil nasional di
Indonesia. Malah, mobil itu menjadi buatan Kia sepenuhnya yang diberi
label mobil nasional di Indonesia, sehingga mampu terhindar dari segala
pajak dan bea masuk serta mendatangkan keuntungan yang besar dari
kedua belah pihak. Mobil baru tersebut diberi nama Timor sehingga
semakin tepat menjadi mobil nasional. Soeharto menyetujui
pengimporan 45.000 mobil Timor pada tahun pertama. Jepang dan
Amerika Serikat memprotes keras terhadap Indonesia dalam World
Trade Organization (WTO), karena penjualan ini dianggap telah
melanggar peraturan perdagangan internasional.
Indikator-indikator bisnis lain juga menyebutkan bahwa pada
masa pra-krisis, perekonomian di Indonesia juga mengalami
kemajuan yang pesat. Investasi dan tabungan naik. ICOR[1]
menunjukkan hasil yang bagus pada masa itu. Pada akhir
tahun 1996 tidak ada catatan kehilangan antusiasme investor
pada rupiah atau pasar saham, tidak seperti di Thailand.
Indikator-indikator kesehatan perusahaan tampak memuaskan.
Industri-industri bangunan dan pasaran perumahan di kota
tumbuh pesat.
Namun, rupanya keadaan inilah yang membahayakan. Karena
kehidupan ekonomi tidak bisa tumbuh terus tanpa batas dan
terus terjadi fluktuasi ekonomi. Gejala pasang surutnya
kegiatan ekonomi secara periodik di dalam teori ekonomi
disebut business cycle atau conjungtur.
Terjadinya Krisis
Pada tahun 1997 Indonesia memiliki utang jangka pendek yang
besar dan segara jatuh tempo. Karena banyak utang masuk ke dalam
Indonesia yang biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga
semakin membengkak karena mengikuti pergerakan mata uang
rupiah yang tidak bagus.
Masalah perekonomian tidak pernah terlepas dari masalah politik.
Respon pertama dari pemerintah terhadap krisis mencerminkan
kesombongan dan kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi
diumumkan, namun proyek para kroni dan keluarga, seperti mobil
nasional Tommy, terus dilindungi. Nampaknya KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme) semakin menambah keruh keadaan. Praktik KKN
menyebabkan keruntuhan perekonomian rakyat. Karena praktik
korupsi menyebabkan keuangan negara menjadi tidak sehat, praktik
kolusi menyebabkan pelaksanaan tatanan hukum berjalan timpang,
sedangkan nepotisme memberikan keistimewaan kepada kerabat.
Korupsi memperumit krisis di Indonesia. Tidak hanya persoalan tentang
keluarga yang tidak ada habis-habisnya, tetapi juga suatu sistem politik yang telah
kehilangan kemampuannya untuk bertindak meyakinkan dalam sebuah krisis dan
oleh karena itu kekurangan kredibilitas dimata baik investor domestik maupun
asing.
Sementara korupsi menjadi lebih terpusat, pengaruh para teknokrat semakin
berkurang. Untuk pertama kalinya di bawah Soeharto, portofolio Bappenas[2]
tidak jatuh keseorang ekonom. Pada waktu yang sama, sejumlah sekutu kunci
Habibie (yang disebut ‘teknolog’), dengan pandangan yang berlawanan dengan
ortodoks ekonomi teknokrat dimasukkan dalam kabinet. Terlebih lagi, pada
permulaan krisis, tiga ahli ekonom kunci dalam kabinet ini, meski mampu secara
taknik dan dikagumi secara luas profesionalisasi mereka, namun dalam berbagai
hal tidak mampu.
IMF juga dapat dikatakan sebagai aktor dari krisis yang terjadi ini selain
Soeharto. Program-program IMF terlalu ambisius dan kompeherensif, sampai
pada tingkat bahwa adalah meragukan pemerintah dari negara G7 bersedia untuk
menyetujuinya, apalagi pemerintah dari negara miskin yang dalam krisis
Kebanyakan kritik-kritik ini berlaku untuk pendekatan IMF selama
6 bulan pertama krisis, dan merupakan fast learner. IMF
mengubah cepat tujuan dan kebijakan fiskal yang bukan faktor
utama dalam krisis. Hal ini melonggarkan pendirian kebijakan
moneter dan tingkat bunga negatif Indonesia. Sejak awal 1998
terlihat bahwa kebijakan ini juga tidak terlalu membatasi. Terlebih
lagi IMF tidak dapat dituduh menyelinapkan liberalisasi financial
yang prematur atau modal terbuka di Indonesia, karena hal ini
sudah ada lama sebelum krisis (sejak 1988 dan 1971, secara
berurutan).
Dampak Krisis Pada Berbagai
Sektor
EKONOMI
Produksi telah mengalami penyusutan sampai pada tingkat perekonomian rata-rata,
namun dengan perbedaan yang besar antara aktivitas orientasi ekspor dan aktivitas
pasar lokal. Namun, hal ini berbeda dengan penurunan konsumsi ruhah tangga yang
sedang, yaitu 2,9 %. Hal ini dikarenakan strategi pada kalangan rumah tangga dalam
menghadapi krisis. Contohnya, bagi rumah tangga yang memiliki uang, mereka
membelanjakan uang tersebut untuk belanja bahan pakok secara habis-habisan, lalu
mereka menimbun bahan-bahan pokok tersebut dengan dalih mereka khawatir apabila
harga-harga semakin melambung. Konsumsi pemerintah menurun kira-kira pada
tingkat yang sama dengan perekonomian secara menyeluruh dan menggarisbawahi
tidak adanya stimulus fiskal.
Neraca pembayaran juga dapat memberikan dimensi tambahan pada gambaran
kehancuran perekonomian Indonesia ini. Sebaimana tercatat, keadaan keuangan
berubah dari defiist menjadi surplus secara cepat terutama dikarenakan oleh jatuhnya
impor, sekitas US$ 15 miliar dibandingkan pada masa pra krisis. Satu factor krisis
tang mengecewakan adalah keadaan ekspor yang menyedihka, yang mana dalam dolar
sebenarnya menurun di tahun 1998-1999. 60% dari penurunan ini terjadi pada sektor
migas, yang berada di luar control negara karena menggambarkan harga internasional
yang rendah. Tetapi ekspor non migas juga mengalami penurunan (terutama karena
adanya gangguan dan ketidakpastian persediaan dan runtuhnya sektor perbankan),
dan disini juga rekor Indonesia lebih rendah daripada tetangganya.
Sosial
Banyak rumah tangga kelas menengah mempunyai asset dalam
bentuk dollar. Sebagai contoh, rekening-rekening bank dollar pada
waktu masa pra krisis sudah umum di Indonesia, sesudah itu tentu
saja semakin berkembang biak. Dengan terjadinya krisis yang
dramitis, membuat mereka lebih pandai mengatur strategi dalam
berinvestasi.
Berbagai estimasi upah riil menunjukkan penurunan yang
signifikan, tetapi penurunan ini bervariasi menurut daerah, dan peka
terhadap pemilihan deflator. Penurunan dibidang pertanian beras di
Jawa jatuh sekitar 30-50% selama tahun 1998. Aktivitas non
pertanian secara umum terpengaruh lebih buruk, terytam sektorsektor seperti konstruksi dan produksi pengganti impor. Secara
berlawanan, penurunan di bidang peranian luar Jawa kemungkinan
lebih kecil.
Keuangan
Dari 1 Juli 1997, rupiah jatuh lebih jauh terhadap dollar AS
daripada mata uang perdagangan internasional negara Asia lainnya.
Pada taggal 31 Maret 1999 nilia nominalnya 28% dari pertengahan
tahun 1997, kurang dari separo rata-rata wilayah dan krisis
perekonomian yang lain. Data juga menggambarkan kurs mata uang
Indonesia lebih lambat melambung dari titik rendah di awal 1998
dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Perpindahanperpindahan nilai tukar pada awalnya berwujud menjadi depresiasi
yang lebih tajam daripada masa krisis ekonomi yang lain. Tapi
menjelang akhir tahun, apresiasi nominal bersama dengan inflasi yang
tinggi telah menghancurkan banyak keuntungan dalam daya saing.
Penurunan pada pasar saham Indonesia pada kurs lokal pada
awalnya mirip dengan krisis ekonomi, tapi lalu menunjukkan
pemulihan kembali yang sangat kecil sampai awal tahun 1999.
Terutama dikarenakan oleh pergerakan kurs, penurunan pasar sham
Indonesia terhadap dollar
Kesimpualn
Krisis yang terjadi di Indonesia terjadi secara tiba-tiba, tidak ada indikator
yang menjadi peringatan awal akan datangnya krisis. Bahkan Bank Dunia pada
tahun 1998 menilai dan menyatakan bahwa “Indonesia sedang mengalami krisis
yang parah. Sebuah Negara yang mencapai dekade-dekade pertumbuhan cepat,
stabilitas, dan pengurangan kemiskinan, sekarang mendekati kehancuran
ekonomi…Tidak ada Negara dalam sejarah sekarang ini, terkecuali Indonesia, yang
pernah mengalami pemutar balikan nasib dramatis sedemikian rupa”. Tidak ada
yang pernah menyangka bahwa krisis berat ini akan terjadi karena keadaan
perekonomian dan pemerintahan sangat tenang.
Pada tahun 1997 Indonesia memiliki utang jangka pendek yang besar
dan segara jatuh tempo. Karena banyak utang masuk ke dalam Indonesia yang
biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga semakin membengkak karena
mengikuti pergerakan mata uang rupiah yang tidak bagus. Utang jangka pendek
tersebut berkisar US$ 30-40 miliar pada tahun 1997. Sistem perbankan yang
menangani semua uang ini sama sekali tidak tertata dengan baik. Jepang, mesin
ekonomi kawasan Asia Tenggara masih mengalami resesi yang berkepanjangan
sepanjang tahun 1990an. Jadi Indonesia tidak dalam kondisi bagus untuk
menghadapi kejutan ekonomi. Keadaan cuaca yang buruk memperparah keadaan
Indonesia karena badai kekeringan El Nino yang parah telah mengurangi produksi
beras hingga 10% pada tahun 1997-1998.
Krisis Asia dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Rupiah selama
ini berada dalam kisaran Rp 2500/US$, namun nilai ini segera merosot pada
bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun
9%. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah
yang terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp
4000/US$. Dari sini rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998,
rupiah tenggelam hingga level sekitar 17000/US$, atau kehilangan 85%
nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di
Indonesia bangkrut. Tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja
diberhentikan dari pekerjaan mereka.
Perekonomian Indonesia mengalami keadaan yang parah.
Perekonomiannya surut sebanyak 13,6 % pada tahun 1998. Seperti yang
bisa diduga, efek-efek sektoral krisis sangat tidak rata. Secara khusus, hasil
pertanian sebenarnya konstan, namun penurunan dalam sektor konstruksi
dan keuangan cukup menonjol. Perpindahan-perpindahan nilai tukar pada
awalnya berwujud menjadi depresiasi yang lebih tajam daripada masa krisis
ekonomi yang lain. Tapi menjelang akhir tahun, apresiasi nominal bersama
dengan inflasi yang tinggi telah menghancurkan banyak keuntungan dalam
daya saing. Angka kemiskinan sudah pasti menunjukkan angka kenaikan.
Jumlahnya sekitar 56% dari populasi.