Directory UMM :Suara_Muhammadiyah:SM_06_02:

Kiblat
Oleh Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

BAITULLAH yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dengan bantuan puternya Ismai’il
‘alaihima as-salam di samping menjadi pusat ibadah haji dan ‘umrah, juga menjadi
pusat peribadatan kaum Muslimin seluruh dunia. Baitullah atau Ka’bah adalah kiblat
shalat umat Islam seluruh dunia, di mana pun mereka berada. Teknisnya,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat
Hakim dari Ibnu ‘Abbas, adalah apabila kaum Muslimin shalat di dalam al-Masjid
al-Haram (Masjidil Haram) maka mereka harus shalat menghadap arah Ka’bah. Jika
shalat tidak di Masjidil Haram, tapi masih di tanah suci Makkah, maka shalatnya
menghadap ke arah Masjidil Haram, bila shalat di luar kota Makkah, jauh mau pun
dekat, dari seluruh penjuru dunia, maka shalatnya menghadap ke arah kota Makkah.
Sebelum menghadap Ka’bah, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin
shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Sebenarnya Nabi lebih senang shalat
menghadap ke Ka’bah, kiblat Nabi Ibrahim dan Isma’il, dari pada ke Baitul Maqdis.
Sewaktu berada di Makkah, Nabi dapat melakukan ke dua-duanya sekaligus. Shalat
menghadap Baitul Maqdis dan ke Ka’bah sekaligus. Tetapi cara seperti itu tidak
dapat lagi dilakukan setelah hijrah ke Madinah, karena Makkah terletak di sebelah
selatan Madinah, arah yang berlawanan dengan Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi
yang jumlahnya banyak dan menguasai perekonomian kota Madinah sangat senang

kaum Muslimin shalat menghadap ke Baitul Maqdis yang merupakan negeri para
Nabi.

1

Rasulullah SAW sering menengadahkan muka beliau ke langit mengharapkan
Allah SWT menetapkan Ka’bah sebagai kiblat shalat.. Setelah enam belas bulan di
Madinah, harapan Nabi itu terkabul dengan turunnya firman Allah SWT:
ÞóÏú äóÑóì ÊóÞóáøõÈó æóÌúåößó Ýöí ÇáÓøóãóÇÁö Ýóáóäõæóáøöíóäøóßó
ÞöÈúáóÉð ÊóÑúÖóÇåóÇ Ýóæóáøö æóÌúåóßó ÔóØúÑó ÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö
æóÍóíúËõ ãóÇ ßõäúÊõãú ÝóæóáøõæÇ æõÌõæåóßõãú ÔóØúÑóåõ æóÅöäøó
ÇáøóÐöíäó ÃõæÊõæÇ ÇáúßöÊóÇÈó áóíóÚúáóãõæäó Ãóäøóåõ ÇáúÍóÞøõ ãöäú
ÑóÈøöåöãú æóãóÇ Çááøóåõ ÈöÛóÇÝöáò ÚóãøóÇ íóÚúãóáõæäó
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah 2:144)

Perobahan kiblat itu terjadi pada bulan Rajab tahun ke dua hijriyah. Shalat
pertama menghadap Ka’bah setelah perintah perobahan itu adalah shalat ‘Ashar,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Al-Barra’ ibn ‘Azib.
Tetapi ada juga riwayat yang mengatakan shalat Zhuhur, bukan shalat ‘Ashar.
Menurut Ibnu Katsir, yang masyhur adalah shalat ‘Ashar, bulan shalat Zhuhur.
Wallahu ‘Alam.
Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa perobahan kiblat itu
terjadi pada waktu Nabi sedang memimpin shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah.

2

Rasulullah, diikuti kaum Muslimin, langsung mengubah shalat menghadap ke arah
Ka’bah, sehingga masjid itu kemudian dikenal dengan sebutan masjid Qiblatain,
artinya masjid dua kiblat. Masjid ini tidak pernah dilupakan oleh jama’ah haji untuk
menziarahinya waktu berada di Madinah.
Perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah itu direaksi negatif
oleh kaum Yahudi dan munafiqin di Madinah dan juga oleh orang-orang musyrikin di
Makkah. Kaum Yahudi mengatakan: “Tiadalah Muhammad itu berpindah kiblat ke
Ka’bah, melainkan karena kecenderungannya kepada agama kaumnya dan kecintaan
kepada negerinya; sekiranya dia berada di atas kebenaran, tentulah ia akan tetap

berkiblat ke kiblat para nabi sebelumnya”. Orang-orang munafiq berkata:
“Berpindah-pindah kiblat itu menunjukkan bahwa Muhammad dalam keragu-raguan
dan tidak berpendirian.” Sementara orang-orang musyrikin memberikan komentar:
“Muhammad telah kembali kepada kiblat kita dan akan kembali kepada agama kita”.
Orang-orang yang mengingkari dan mengejek perpindahan kiblat tersebut,
baik Yahudi, munafiqin dan musyrikin, oleh Allah dikategorikan sebagai orang-orang
yang kurang akalnya (as-sufaha’). Allah SWT berfirman:

ÓóíóÞõæáõ ÇáÓøõÝóåóÇÁõ ãöäó ÇáäøóÇÓö ãóÇ
æóáøóÇåõãú Úóäú ÞöÈúáóÊöåöãõ ÇáøóÊöí ßóÇäõæÇ
ÚóáóíúåóÇ Þõáú áöáøóåö ÇáúãóÔúÑöÞõ æóÇáúãóÛúÑöÈõ
íóåúÏöí ãóäú íóÔóÇÁõ Åöáóì ÕöÑóÇØò ãõÓúÊóÞöíãò
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah
yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu

3

mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus.” (Q.S. Al-Baqarah 2:142)

Allah menegaskan dalam ayat di atas, bahwa secara substantif, tidak ada
perbedaan shalat menghadap ke Baitul Maqdis atau ke Ka’bah, karena kemana pun
seseorang menghadap shalat, di sana pasti ada Allah. Timur dan barat itu semua
kepunyaan Allah SWT. Substansinya adalah kepatuhan secara mutlak kepada
perintah Allah SWT. Menghadap ke Baitul Maqdis berdasarkan perintah Allah, dan
menghadap ke arah Ka’bah pun atas perintah Allah SWT.
Bagi kaum Muslimin sendiri, perpindahan kiblat ini juga merupakan ujian
keimanan, siapa yang betul-betul patuh mengikuti Rasulullah SAW, dan siapa yang
kemudian berpaling gara-gara perpindahan kiblat ini. Bagi orang-orang yang tidak
mendapatkan petunjuk dari Allah, memang perpindahan kiblat ini akan terasa berat.
Pada saat itu juga sebagian kaum Muslimin mempertanyakan tentang status shalat
orang-orang yang sudah meninggal dunia sebelum berpindahan kiblat terjadi,
padahal sebelumnya mereka shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Allah SWT
menjelaskan bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan iman dan amal orangorang yang mematuhi Rasul karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia. Tentang semua itu Allah berfirman:
æóßóÐóáößó ÌóÚóáúäóÇßõãú ÃõãøóÉð æóÓóØðÇ áöÊóßõæäõæÇ ÔõåóÏóÇÁó
Úóáóì ÇáäøóÇÓö æóíóßõæäó ÇáÑøóÓõæáõ Úóáóíúßõãú ÔóåöíÏðÇ æóãóÇ
ÌóÚóáúäóÇ ÇáúÞöÈúáóÉó ÇáøóÊöí ßõäúÊó ÚóáóíúåóÇ ÅöáøóÇ áöäóÚúáóãó ãóäú
íóÊøóÈöÚõ ÇáÑøóÓõæáó ãöãøóäú íóäúÞóáöÈõ Úóáóì ÚóÞöÈóíúåö æóÅöäú


4

ßóÇäóÊú áóßóÈöíÑóÉð ÅöáøóÇ Úóáóì ÇáøóÐöíäó åóÏóì Çááøóåõ æóãóÇ ßóÇäó
Çááøóåõ áöíõÖöíÚó ÅöíãóÇäóßõãú Åöäøó Çááøóåó ÈöÇáäøóÇÓö áóÑóÁõæÝñ
ÑóÍöíãñ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. Al-Baqarah
2:143)
Allah SWT membimbing Nabi untuk tidak mempedulikan reaksi dan
komentar negatif dari Ahlul Kitab tentang perobahan kiblat ini. Karena bagaimana
pun dijelaskan kepada mereka bahwa perubahan kiblat ini tidak merubah keimanan
apapun karena semuanya berdasarkan perintah Allah, mereka tetap tidak akan
menerimanya. Allah menegaskan, bahwa mereka tidak akan mengikuti kiblatmu ya
Muhammad sebagaimana engkau juga tidak akan pernah mengikuti kiblat mereka.

Begitu juga sesama mereka sendiri, antara Yahudi dan Nasrani juga tidak akan saling
mengikuti kiblat yang lainnya. Sekalipun Rasulullah SAW tidak akan pernah
terpengaruh dengan komentar-komentar mereka, tetapi Allah mengingatkan juga dan
kaum Muslimin semuanya untuk tidak mengikuti kemauan mereka. Allah berfirman:

5

æóáóÆöäú ÃóÊóíúÊó ÇáøóÐöíäó ÃõæÊõæÇ ÇáúßöÊóÇÈó Èößõáøö ÁóÇíóÉò ãóÇ
ÊóÈöÚõæÇ ÞöÈúáóÊóßó æóãóÇ ÃóäúÊó ÈöÊóÇÈöÚò ÞöÈúáóÊóåõãú æóãóÇ
ÈóÚúÖõåõãú ÈöÊóÇÈöÚò ÞöÈúáóÉó ÈóÚúÖò æóáóÆöäö ÇÊøóÈóÚúÊó
ÃóåúæóÇÁóåõãú ãöäú ÈóÚúÏö ãóÇ ÌóÇÁóßó ãöäó ÇáúÚöáúãö Åöäøóßó ÅöÐðÇ
áóãöäó ÇáÙøóÇáöãöíäó
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi
dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan),
mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat
mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang
lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu
kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim.” (Q.S. Al-Baqarah 2:145)
Perintah untuk menghadap arah Masjidil Haram diulangi kembali pada ayat

149-150 untuk menegaskan bahwa perintah itu bersifat umum dan berlaku untuk
seluruh umat manusia sampai Hari Akhir nanti. Di mana pun mereka shalat haruslah
menghadap ke arah kiblat.

æóãöäú ÍóíúËõ ÎóÑóÌúÊó Ýóæóáøö æóÌúåóßó ÔóØúÑó
ÇáúãóÓúÌöÏö
ÑóÈøößó

ÇáúÍóÑóÇãö
æóãóÇ

æóÅöäøóåõ

Çááøóåõ

áóáúÍóÞøõ

ÈöÛóÇÝöáò

ãöäú


ÚóãøóÇ

ÊóÚúãóáõæäó* æóãöäú ÍóíúËõ ÎóÑóÌúÊó Ýóæóáøö æóÌúåóßó
ÔóØúÑó ÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö æóÍóíúËõ ãóÇ ßõäúÊõãú

6

ÝóæóáøõæÇ æõÌõæåóßõãú ÔóØúÑóåõ áöÆóáøóÇ íóßõæäó
áöáäøóÇÓö

Úóáóíúßõãú

ÍõÌøóÉñ

ÅöáøóÇ

ÇáøóÐöíäó

ÙóáóãõæÇ ãöäúåõãú ÝóáóÇ ÊóÎúÔóæúåõãú æóÇÎúÔóæúäöí

æóáöÃõÊöãøó

äöÚúãóÊöí

Úóáóíúßõãú

æóáóÚóáøóßõãú

ÊóåúÊóÏõæäó
“Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari
Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari
mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di
mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar
tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara
mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan
agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
(Q.S. Al-Baqarah 2:149-150)
Hanya dalam keadaan darurat saja umat Islam boleh shalat ke mana saja,
karena pada prinsipnya timur dan barat itu milik Allah SWT.

æóáöáøóåö ÇáúãóÔúÑöÞõ æóÇáúãóÛúÑöÈõ ÝóÃóíúäóãóÇ ÊõæóáøõæÇ
ÝóËóãøó æóÌúåõ Çááøóåö Åöäøó Çááøóåó æóÇÓöÚñ Úóáöíãñ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah 2:115)

7

Ayat tersebut turun dilatarbelakangi oleh beberapa kasus di mana para
sahabat tidak dapat menentukan arah kiblat. Misalnya kasus yang dialami oleh
Jabir dan rombongan. Jabir mengisahkan: “Kami telah diutus oleh Rasulullah
SAW ke Siria yang dahulu kami pernah ke sana. Sedang kami berada di tengah
perjalanan kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah
kiblat. Segolongan di antara kami berkata: “Kami telah mengetahui arah kiblat,
yaitu ke sana… Maka mereka shalat dan membuat garis di tanah. Dan sebahagian
kami berkata: “Arah kiblat ke sana …”. Dan mereka membuat garis di tanah.
Tatkala hari subuh dan mataharipun terbit, garis itu mengarah ke arah yang bukan
arah kiblat. Tatkala kami kembali dari perjalanan dan kami tanyakan kepada
Rasulullah SAW tentang peristiwa itu, maka Nabi diam dan turunlah ayat ini
yang membolehkan shalat menghadap ke mana saja dalam keadaan darurat.


Sumber: SM-06-2002

8