MOTIVASI BERAFILIASI PADA DEWASA AWAL YANG NONGKRONG DI CAFE.

(1)

MOTIVASI BER

DiajukanKepada Uni Memenuhi Salah SatuP

PRO FAKUL UNIVERSITAS I

BERAFILIASI PADA DEWASA AWAL Y

NONGKRONG DI CAFE

SKRIPSI

Universitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya unt uPersyaratandalam MenyelesaikanProgram Strata

Psikologi (S.Psi)

Sa’adatul Abadiah B07212075

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

S ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016

YANG

a untuk ta Satu (S1)


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

x ABSTRACT

When a person enters adulthood early in the vulnerable age of 20 years to 30 years have a need for interpersonal relationships are quite large. It can be called also to the needs of affiliated. Affiliate needs an individual needs to build, establish, and maintain a relationship with another person. So is the subject of research with different backgrounds: the first subject an employee with 22 years of age, the second subject a student at the age of 23 years and a third subject a student at the age of 20 years. Each subject was classified as an adult to get in on the initial and each female. The method used in this research is qualitative descriptive research that depict or describe specific situations based on the phenomenon that exists in the field using such data collection techniques; depth interviews and documentation. In the period of early adulthood with classification susceptible age of 20-30 years a lot of encouragement that arise from within the individual as the three subjects who have the urge to get close to other people, the urge to make friends, to socialize and cooperate encouragement, encouragement to be respected and accepted. Findings related is that all three subjects each had motivation affiliated high by choosing their friends as a destination to meet their needs in affiliated, three subjects are also often invite their friends to go hang out somewhere cafe as one means of fulfilling affiliation motivation.


(7)

INTISARI

Ketika seseorang memasuki usia dewasa awal dalam rentan usia 20 tahun hingga 30 tahun memiliki kebutuhan akan relasi interpersonal yang cukup besar. Hal ini dapat disebut juga dengan kebutuhan berafiliasi. Kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan individu untuk membangun, menjalin, dan menjaga suatu hubungan dengan orang lain. Begitu juga dengan subjek penelitian dengan latar belakang yang berbeda: subjek pertama seorang karyawan dengan usia 22 tahun, subjek kedua seorang mahasiswa dengan usia 23 tahun dan subjek ketiga seorang mahasiswa dengan usia 20 tahun. Masing-masing subjek masuk pada klasifikasi sebagai dewasa awal dan masing-masing berjenis kelamin perempuan. Adapun Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif-deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan fenomena yang ada di lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti; wawancara mendalam dan dokumentasi. Dalam periode masa dewasa awal dengan klasifikasi rentan usia 20-30 tahun banyak dorongan yang timbul dari dalam diri individu seperti pada ketiga subjek yang memiliki dorongan untuk dekat dengan orang lain, dorongan untuk bersahabat, dorongan untuk bersosialiasi dan bekerjasama, dorongan untuk dihargai dan diterima. Hasil temuan yang terkait adalah bahwa ketiga subjek masing-masing memiliki motivasi berafiliasi yang tinggi dengan memilih sahabat mereka sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya dalam berafiliasi, ketiga subjek tersebut juga sering mengajak sahabat mereka pergi nongkrong ke tempat cafe sebagai salah satu sarana dalam pemenuhan motivasi berafiliasi.


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….. i

Halaman Pengesahan……….... ii

Pernyataan……….….... iii

Kata Pengantar ……….. iv

Daftar Isi ………...... vii

Daftar Tabel……….. viii

Daftar Lampiran ………... ix

Abstract ... x

BAB I : PENDAHULUAN…………..………...…………. 1

1. Latar Belakang………... 1

2. Fokus Penelitian ……….…...14

3.Tujuan ………...14

4. Manfaat ………... 14

5. Keaslian Penelitian…………..………...15

BAB II : KAJIAN PUSTAKA……….... 18

1. MotivasiBerafiliasi ………..………... 18

2. Aspek-Apek Motif Berafiliasi ... 29

3. Indikator Motivasi Berafiliasi ... 31

4. Dewasa Awal yang Nongkrong di Cafe ...…..………….. 31

5. Batasan Konsep Penelitian ... 38

BAB III : METODE PENELITIAN……… 39

1. JenisPenelitian ………... 39

2. Lokasi Penelitian ………... 44

3. Sumber Data ………... 44

4. Teknik Pengumpulan Data ………... 51

5. Analisis Data ………...……...54

6. Keabsahan Data ………...55

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 58

A.Deskripsi Subjek ………... 58

B. HasilPenelitian ………...65

1. Deskripsi Hasil Temuan ………...65

2. Analisis Hasil Temuan ………...79

C.Pembahasan ………...………...87

BAB V : PENUTUP………. 91

1. Kesimpulan ………..………... 91

2. Saran ………...92

DAFTAR PUSTKA……….. 93


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Identitas Subjek ………...46


(10)

ix DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : PanduanWawancara ……...…... 52 Lampiran II :Transkip Hasil Wawancara …………...…... 52 Lampiran III : Dokumentasi dan lembar persetujuan ... 116


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang kehidupannya tidak bisa terlepas dari kehadiran orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhinya. Maslow (dalam Yoseptian, t.t), dalam teorinya yang terkenal mengenai hierarki kebutuhan manusia, menggolongkan kebutuhan manusia dalam lima hierarki atau tingkatan yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki dan cinta, kebutuhan akan penghargaan (prestise), dan kebutuhan aktualisasi diri.

Kemudian, McClelland (dalam Yoseptian, t.t) juga mengemukakan tiga kebutuhan utama dalam diri manusia yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuatan atau kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi atau kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Kebutuhan afiliasi dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk membangun, mempertahankan, atau memulihkan secara positif hubungan afektif dengan orang lain atau kelompok.

Keinginan untuk memiliki hubungan dengan orang lain ini pada umumnya sangat besar ketika manusia berada pada tahap perkembangan remaja Papalia (dalam Yoseptian, t.t). Remaja sebagai pribadi yang sedang mengalami dinamika dalam proses mencari jati diri menuju dewasa, membutuhkan kehadiran orang lain sebagai elemen yang penting bagi perkembangan mereka. Pada masa remaja, seseorang memang merasa lebih


(12)

2

senang untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman sepermainan dan meningkatnya minat remaja terhadap relasi interpersonal. Santrock (dalam Yoseptian, t.t).

Agar mampu mengadakan hubungan dengan orang lain, saat ini manusia telah sangat dimudahkan dalam hal komunikasi. Berbagai perangkat canggih komunikasi telah dikembangkan mulai dari perkembangan telepon genggam atau handphone yang semakin canggih dengan tujuan untuk semakin mempermudah manusia dalam berkomunikasi hingga internet yang telah bertambah fungsinya sebagai jaringan komunikasi yang sangat efektif serta mempermudah masyarakat dalam hal bertatap muka dengan orang-orang yang diinginkannya.

Arus globalisasi yang begitu pesat di Indonesia, menyebabkan adanya perubahan di segala aspek kehidupan seperti mode, informasi dan gaya hidup. Perkembangan zaman yang berdampak pada munculnya berbagai gaya hidup dalam masyarakat, yang menyebabkan remaja yang mudah terpengaruh dan memiliki keinginan untuk mencoba-coba hal baru. Kenyataan yang tampak pada kehidupan sehari-hari, nilai-nilai baru yang mewarnai gaya hidup khususnya yang tinggal di kota cenderung lebih berorientasi pada nilai-nilai yang sifatnya kebendaan.

Fenomena gaya hidup masa kini semakin marak dengan adanya tempat hiburan malam, dapat dilihat dari banyaknya masyarakat khususnya para remaja yang beranjak dewasa dan juga golongan dewasa awal yang sering nongkrong dicafedan bahkanclubbingpada malam hari.


(13)

3

Gambaran mengenai gaya hidup masa kini menampakkan ciri khas pada remaja maupun orang dewasa dengan mengerjakan aktivitasnya secara bersama-sama dengan dalih untuk menjaga hubungan kemudian akan nongkrong di tempat hiburan malam. Mahasiswa yang memiliki gaya hidup kekinian biasanya lebih senang mengisi waktu luangnya dengan mengunjungi tempat hiburan malam bersama teman-temannya. Hal ini berarti semakin tinggi motif afiliasi maka semakin tinggi gaya hidup kekinian pada mahasiswa yang mengunjungi tempat hiburan malam. Demikian sebaliknya, semakin rendah motif afiliasi maka semakin rendah pula gaya hidup kekinian pada mahasiswa yang mengunjungi tempat hiburan malam.

Individu yang mempunyai motif afiliasi yang tinggi menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mempertahankan hubungan sosial, bergabung dengan kelompok-kelompok, dan selalu ingin dicintai. Individu akan sangat memperhatikan hubungan interpersonal yang dimilikinya, individu ini tidak terlalu suka mengatur orang lain sebaliknya akan lebih banyak menuruti kelompok sosialnya demi menjaga hubungannya. Hubungan sosial dianggap sangat penting untuk dijaga karena hubungan sosial yang dimiliki seorang remaja seringkali mempengaruhi pola perilaku yang dimiliki oleh remaja tersebut.

Seseorang akan merasa senang, aman, dan berharga ketika dirinya diterima dan memperoleh tempat di dalam kelompok. Sebaliknya, akan merasa cemas, kurang berharga, atau cemas ketika dirinya tidak diterima


(14)

4

atau disisihkan oleh kelompoknya. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya. Remaja cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku kelompok teman sebayanya. Remaja akan sangat menderita jika tidak diterima atau bahkan diasingkan oleh kelompok teman sebayanya. Ali dan Asrori (dalam Ulfah, t.t).

Seperti halnya salah seorang karyawan di PT. Jatim Autocom Indonesia (JAI) dikawasan gempol-pasuruan dengan inisial MD yang merupakan subjek pertama dalam penelitian ini. Bagi MD cafe merupakan tempat

kunjungan yang pas untuk sekedar nongkrong bersama sahabat maupun teman dekat lainnya untuk melepas kejenuhan dari rutinitas pekerjaan. Menurut MD selain tempatnya yang lagi nge-trenddi kalangan anak jaman

sekarang dan juga lebih kekinian untuk bersosial dengan orang-orang terdekat dan orang disekitar. Sekaligus sambil menikmati nuansa tempat yang menarik dan juga untuk ajang kuliner.

Subjek kedua adalah YP yang merupakan seorang mahasiswi di sebuah universitas. YP menyukaicafesebagai tempatnya nongkrong dengan alasan

memanfaatkan fasilitas yang ada seperti penataan tata ruangan cafe yang

unik dan menarik yang bisa dijadikan objek bagus buat berfoto dan juga adanya wifi yang tersedia yang membuat YP betah berlama-lama disebuah

cafeguna memuaskan hasratnya untuk bersosial media secara gratis dengan

memanfaatkan wifi yang ada maupun untuknya mengerjakan tugas dan berkumpul bersama orang-orang terdekatnya.


(15)

5

YP juga menjadikancafesebagai tempat untuk bisa lebih dekat dengan

orang-orang istimewanya, selain sahabat dekatnya YP juga membawa teman kenalannya ke sebuah cafe guna untuk bisa berkenalan secara langsung

maupun untuk sekedar mengobrol dan mengakrabkan diri. Disamping itu YP juga merasa nyaman bersosialisasi dengan orang-orang terdekatnya ditempat tersebut karena sangat praktis untuk nongkrong tanpa perlu ribet, menurutnya cukup tentukan tempat cafe yang ingin dikunjungi kemudian

janjian bertemu ditempat itu lalu YP pun bisa menikmati fasilitas yang disediakan ditempat tersebut.

Subjek ketiga adalah IH yang merupakan mahasiswa UNAIR Surabaya, dalam kesibukannya sebagai mahasiswa IH biasa menghabiskan waktu kosongnya bersama teman-teman dekatnya, selain belanja di mall IH juga hobby berkuliner, IH suka mengunjungi cafe-cafe terbaru yang sedang ramai dikunjungi para anak muda, tak hanya menikmati kuliner makanannya saja IH juga menjadikan cafe sebagai tempat untuk bisa berkomunikasi lebih dekat dengan temannya, tak hanya masalah pribadi yang diperbincangkan tetapi juga hingga masalah perkuliahan maupun rencana-rencana dalam menyusun masa depan.

Di era modernisasi ini gaya hidup masyarakat kota semakin kompleks dan bervariasi. Sudah merupakan gaya hidup mereka pergi ke tempat-tempat perawatan dan menghabiskan waktu senggang untuk berjalan-jalan,

shopping, dan menghabiskan waktu sambil bercakap-cakap dan menikmati


(16)

6

ini yang menjadi salah satu trend adalah pergi kecafeuntuk melepas waktu

luang.

Kata cafe berasal dari bahasa Prancis “cafi” yang secara harfiah

diterjemahkan sebagai (minuman) kopi. Namun, tidaklah lantas berarticafe

memiliki pengertian yang sama dengan warung kopi. Meski fungsinya sama, yakni tempat di mana orang bisa minum (kopi) sambil bercakap-cakap, tetapicafeberada dalam pemaknaan budaya yang berbeda.Cafebisa

saja dianggap sebagai warung kopi bagi mereka yang hidup dalam budaya urban perkotaan modern, yang karena itu pemaknaan kulturalnya berbeda dengan warung kopi dalam masyarakat tradisional.

Ada banyak alasan mengapa orang suka berkunjung ke cafe, namun

satu hal yang pasti, mereka betah berlama-lama, entah karena alasan suasananya, keakraban, atau camilan yang disajikan, tentunya jikacafeyang

dipilih sesuai. Saat ini keberadaan cafe bukan lagi sekadar pemuas dahaga

atau lapar. Bagi sebagian masyarakat, cafe merupakan sarana untuk

membangun kehidupan sosialnya, baik untuk nongkrong, bergaul, atau mencari pacar.

Fenomena anak muda yang selalu berkumpul dan bersosialisasi di tempat-tempat tertentu adalah hal yang biasa terjadi di masyarakat. Mereka cenderung berkumpul di satu tempat favoritnya dan menjadikan tempat tersebut sebagai basecamp bagi kelompok mereka. Peneliti menganggap

fenomena ini menarik untuk diteliti dilihat dari bagaimana mereka bisa membuat suatu tempat berkumpul itu favorit bagi mereka. Mereka


(17)

7

kemudian loyal terhadap tempat tersebut dan cenderung tidak berpindah ke tempat lain. Kegiatan anak muda ini disebut“nongkrong”.

“Nongkrong” merupakan kegiatan yang sering dilakukan para remaja dan orang-orang yang masih masuk dalam kategori produktif. Kegiatan ini dapat dilakukan dimana saja, termasuk di cafe-cafeatau tempat berkumpul

lainnya. Nongkrong bagi anak muda merupakan salah satu kegiatan untuk

mengisi waktu luang mereka setelah penat bekerja atau sekolah. Bagi para penyuka kegiatan nongkrong ini, mereka membutuhkan sarana dan

prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana itu berupa tempat, kenyamanan yang ditawarkan, dan juga produk yang tersedia.

Analisa hasil riset sindikasi terhadap hampir 800 responden anak muda di 6 kota besar di Indonesia, SES A-B, Umur 16-35, yang dilakukan bulan Februari-Maret 2010 oleh MarkPlus Insight berkerjasama dengan Komunitas Marketeers menemukan bahwa anak muda dan nongkrong

adalah dua hal yang sudah melekat. Mereka melakukannya seusai jam pelajaran di sekolah, kampus, bahkan sepulang kerja. Topik bahasan anak muda ini bisa berupa rapat membicarakan kegiatan atau kepanitiaan, mendiskusikan topik-topik yang dianggap serius, atau hanya sekadar membuang waktu sambilngegosipatau malah main kartu.

Menurut analisis riset tersebut, bagi anak muda, nongkrong itu yang

terpenting adalah adanya kedekatan afeksi dengan teman-temanpeer group


(18)

8

(http://tekno.kompas.com/read/2010/12/12/15401069/Nongkrong.di.Mana. Kita.Hari.Ini).

Dilihat dari usia golongan yang paling dominan banyak penikmat kopi di tempatcafeadalah usia Dewasa. Secara umum masa dewasa dibagi atas 3

golongan yakni masa dewasa awal berkisar antara (18-40 tahun), masa dewasa madya berkisar antara (40-60 tahun), dan masa dewasa akhir berkisar antara (60-meninggal). Dalam penelitian ini memilih dewasa awal sebagai topik pembahasan yang terjadi dilapangan. Masa dewasa awal sendiri merupakan suatu masa atau periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru.

Menurut seorang ahli psikologi perkembangan Santrock (2007) bahwa orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik

(physically trantition),transisi secara intelektual(cognitive trantition),serta

transisi peran sosial (social role trantition). Menurut Santrock (2002)

mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2007) mengemukakan masa muda (youth)adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan

antara ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara sosial. Banyaknya pengunjung orang dewasa awal yang memadati arena cafe

dengan beragam tujuan misal hanya ingin menyeduh secangkir kopi dengan rekan kerja maupun rekan kuliah dan juga ingin berkuliner dengan menu-menu yang ada di cafe tersebut. Budaya nongkrong di cafe pun muncul


(19)

9

sebagai trend, dan kopi bukanlah satu-satunya hal yang dicari di sebuah

cafe, melainkan suasananya yang bisa dibilang nyaman untuk bersantai,

baik itu sendiri atau pun bersama teman-teman.

Pada dasarnya membeli kopi maupun nongkrong di cafe hanyalah

mengikuti trend dunia modern yang sudah ada seperti saat ini. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut tergolong seperti kaum kapitalisme. Kekuasaan kapitalisme, yaitu layaknya sebuah kerajaan yang berdiri diluar kerajaan tuhan, Artinya kapitalisme adalah kerajaan Ekonomi, surga bagi para pemilik usaha dan modal dan siapa saja yang memiliki daya beli, yang menempatkan keuangan sebagai tujuan utama. Ia menghadirkan sebuah standar moral terbaru yang menempatkan manusia dalam kondisi “selalu kurang”, karena kehadirannya menjanjikan sesuatu yang lebih. Amin Abdullah (dalam Dimyati, 2009).

Dari segi keagamaan Komunitas cafe ini dapat di definisikan sebagai

berikut, Sesuai dengan Ayat Al-Qura’an :

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali

-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan -kalian dan se-kali--kali

janganlah syetan yang pandai menipu memperdayakan kalian tentang

Allah”. (Fathir:5)

Menurut Dimyati (2009) Permasalahan modernisasi disini berkaitan dengan gaya hidup. Gaya hidup boleh kita artikan, pola tingkah laku sehari-hari yang patut dijalankan oleh kelompok sosial di tengah masyarakat, sesuai tuntunan agama. Seperti melakukan kebiasaan yang baik untuk


(20)

10

menciptakan hidup sehat setiap hari, sebaliknya menghindari menghindari kebiasaan buruk yang berpotensi mengganggu kesehatan. Dewasa ini bangsa kita menghadapi persoalan serius dalam masalah gaya hidup, hingga ada pameo; selagi muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga. Imbas dari terbukanya jalur transportasi, komuniksi dan informasi membuat sebagian masyarakat kita terjebak dalam pola hidup instan.

Sahabat Ali Bin Abi Thalib R.A. berpesan, “Barang siapa yang merasa aman menghadapi Zaman, maka zaman akan menipunya. Dan siapa yang

tinggi hati atau arogan menghadapinya, maka (ia) zaman akan

merendahkannya. Dan siapa yang bersandaran pada tanda-tanda zaman,

maka zaman akan menyelamatkan hidupnya”. Wahid Abdul (dalam Dimyati, 2009).

Sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Kusasi mengenai makna kafe (dalam Hasrullah, 2012) bahwa:

“Elemen penting dari sebuah kafe sejak awal adalah fungsi sosialnya

yang menyediakan tempat agar orang dapat bertemu, ngobrol, menulis dan

membaca, baik sendiri maupun bersama teman-teman. Dalam ruang-ruang

kafe pun, kita dapat menikmati suatu tempat yang seperti bukan di rumah

tapi juga bukan di luar rumah”.

Pernyataan tersebut tercermin pada kondisi cafe saat ini, dimana cafe

kini telah bertransformasi menjadi bagian dari kebiasaan ataupun bagian dari suatu gaya hidup sekelompok individu. Pada kalangan bisnis misalnya,


(21)

11

memanfaatkan cafe sebagai tempat untuk membicarakan berbagai hal

mengenai bisnis mereka dalam setting yang tidak terlalu formal.

Dari segi kenyamanan pun, cafe memang memiliki nilai lebih karena

suasananya tidak terlalu formal dan bisa jauh lebih santai. Bisnis cafe

memang tidak bertujuan seratus persen menjual secangkir atau segelas kopi karena mereka juga menjual suasana dan gaya hidup yang baru yaitu gaya hidup ala eksekutif yang suka akan kepraktisan dan tempat yang nyaman. Istilah cafe sendiri banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan karena

dianggap lebih modern sebab lebih banyak menawarkan berbagai konsep, mulai dari penyediaan menu, tempat baca dan ada pula cafe yang

mengusung konsep gemerlap, hingga penyediaan fasilitas internet yang saat ini sudah banyak diminati oleh para pengunjung. Padirman (dalam Hasrullah, 2012).

Begitu juga dengan motif berafiliasi yang berupa kebutuhan untuk memperoleh hubungan timbal balik dengan orang lain merupakan salah satu hal yang cukup mendasar dalam menentukan seseorang untuk bergabung dengan kelompok. Dengan bergabung ke dalam kelompok, seseorang akan lebih banyak berinteraksi dan saling menerima diantara sesamanya. Hal itu merupakan suatu kebutuhan yang sangat tidak disadari oleh banyak anak muda namun sangat terlihat akan kebutuhan untuk berkumpul, kebutuhan tersebut merupakan Kebutuhan afiliasi dimana kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan untuk berteman, bersosialisasi, bertegur sapa bergabung dan hidup bersama dengan orang lain, bekerjasama dan


(22)

12

bercakap-cakap dengan orang lain, serta untuk mendapatkan afeksi dari orang lain.

Seringkali motif afiliasi itu terlihat pada budaya nongkrong di sebuah

cafe yang mana banyak para pengunjung rame-rame berdatangan dengan

pasangannya, ada juga yang datang dengan para sahabat mereka maupun rekan kerja mereka. Kebersamaan berkumpul dengan saling ngobrol merupakan intensitas dalam mereka berinteraksi lebih dekat jika dalam kondisi biasa mereka jarang bertemu. Adanya fasilitas ditempat tersebut membuat para pengunjung merasa puas untuk menyalurkan hasrat berafiliasi mereka karena disamping mereka dapat berbagi komunikasi satu dengan yang lain mereka juga bisa menikmati hidangan yang mereka pesan dan juga menikmati suasana tempat tersebut.

Begitu juga organisasi atau kelompok yang dibentuk masyarakat sebagian besar disebabkan adanya kesamaan dalam hal latar belakang, pengalaman, maupun pandangan anggota-anggotanya. Berdasarkan teori pembandingan sosial menekankan bahwa keinginan individu untuk berafiliasi terjadi karena ingin membandingkan perasaan yang dimilikinya dengan kelompok yang diikutinya. Motif afiliasi individu timbul karena adanya kesamaan antara yang dimilikinya dengan orang lain atau kelompok. Festinger (dalam Dimyati, 2009) menyatakan bahwa kehadiran orang yang sama akan memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengadakan evaluasi terhadap perasaan, keyakinan dan ketrampilan. Seseorang mungkin bergabung dengan suatu kelompok karena dia


(23)

13

mempunyai tujuan pribadi yang hanya dapat dicapai melalui afiliasi dengan orang lain atau kelompok, aktivitas-aktivitas yang dilakukan kelompok akan bisa mempengaruhi anggotanya.

McClelland (dalam Ulfah, t.t) mendefinisikan motif afiliasi sebagai keinginan untuk meluangkan waktu dalam aktivitas dan hubungan sosial. Keinginan tersebut merupakan keinginan dasar untuk membentuk dan mempertahankan beberapa hubungan antarpribadi yang penting, positif dan bertahan lama. Individu yang mempunyai motif afiliasi yang tinggi menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mempertahankan hubungan sosial, bergabung dengan kelompok-kelompok, dan selalu ingin dicintai.

Individu akan sangat memperhatikan hubungan interpersonal yang dimilikinya, individu ini tidak terlalu suka mengatur orang lain sebaliknya akan lebih banyak menuruti kelompok sosialnya demi menjaga hubungannya. Hubungan sosial dianggap sangat penting untuk dijaga karena hubungan sosial yang dimiliki seseorang seringkali mempengaruhi pola perilaku yang dimiliki oleh orang tersebut. Seseorang akan merasa senang, aman, dan berharga ketika dirinya diterima dan memperoleh tempat di dalam kelompok. Sebaliknya, akan merasa cemas, kurang berharga, atau cemas ketika dirinya tidak diterima atau disisihkan oleh kelompoknya.

Berdasarkan fenomena yang ada di atas sangat menarik untuk dikaji, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimanakah motif berafiliasi pada dewasa awal yang sedang nongkrong di cafe, selain itu aspek-aspek apa sajakah yang melandasi motif berafiliasi pada seseorang. Dimana kebutuhan


(24)

14

untuk berkumpul bersama orang-orang terdekat merupakan tujuan utama mereka, kebutuhan tersebut merupakan Kebutuhan afiliasi yang merupakan kebutuhan untuk berteman, bersosialisasi, bertegur sapa, bergabung dan hidup bersama dengan orang lain, bekerjasama dan bercakap-cakap dengan orang lain, serta untuk mendapatkan afeksi dari orang lain.

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah motivasi berafiliasi pada dewasa awal yang nongkrong di cafe

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dari motivasi berafiliasi pada dewasa awal yang nongkrong di cafe

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pada ilmu psikologi terutama dalam ranah psikologi sosial.

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi pembaca dalam mengetahui secara pasti bentuk dan proses dari motivasi berafiliasi.


(25)

15

E. Keaslihan Penelitian

Penelitin tentang motivasi berafiliasi cukup banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Baik peneliti luar negeri maupun peneliti dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi berafiliasi merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Berikut hasil penelitian sebelumnya dengan tema motif berafiliasi:

Penelitian Pribadi, dkk.(2011) menunjukkan hasil bahwa remaja memiliki dan menggunakan akun facebook dengan motif afiliasi terbesar adalah untuk berteman dan mencari informasi yang digunakan untuk semakin memperluas jaringan pertemanannya, sedangkan motif afiliasi terkecil adalah untuk medapatkan perhatian orang lain. Selain itu ada motif-motif afiliasi lainnya yang muncul berkaitan dengan intensitas hubungan yang lebih kuat seperti motif mempertahankan hubungan antar individu, empati yang simpatik diwujudkan dalam sikap bersahabat, memiliki keinginan baik, dan membina hubungan yang penuh kepercayaan.

Penelitian Yoseptian (t.t) menunjukkan hasil penelitian yang diperoleh antara lain ada hubungan positif yang antara kebutuhan afiliasi dengan keterbukaan diri pada remaja pengguna facebook (r = 0.514, p < 0.01). Kemudian, aspek sosial comparison dari kebutuhan afiliasi memiliki korelasi yang paling besar dengan perilaku keterbukaan diri pada remaja. Selain itu ditemukan pula remaja wanita memiliki kebutuhan afiliasi dan perilaku keterbukaan diri yang lebih tinggi dibanding remaja pria. Perilaku keterbukaan diri juga tampak lebih besar pada remaja yang paling suka


(26)

16

mengganti profile picture.Berdasarkan analisis data yang dilakukan menggunakan teknik korelasi bivariate one tailed dengan bantuan SPSS versi 17.0, ditemukan bahwa koefisien korelasi antara kebutuhan afiliasi dengan keterbukaan diri sebesar 0.514 dengan taraf signifikansi sebesar 0.000 (p < 0.01). dari hasil tersebut, terlihat adanya hubungan positif yang signifikan antara kebutuhan afiliasi dengan keterbukaan diri pada remaja pengguna facebook.

Penelitian Tiara Amalia Ulfah (t.t) menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara motif afiliasi dengan gaya hidup hedonis pada mahasiswa yang mengunjungi tempat hiburan malam yang ditunjukkan dengan nilai rxy= 0,026 dengan p= 0,818 (p>0,05), sehingga hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada hubungan positif antara motif afiliasi dengan gaya hidup hedonis pada mahasiswa yang mengunjungi tempat hiburan malam, sehingga hipotesis penelitian yang diajukan oleh peneliti ditolak.

Penelitian Kusumadewi dan Rachmawati (2008) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara pemenuhan kebutuhan berafiliasi dengan konformitas pada mahasiswa semester pertama. Jadi hipotesis diterima, dapat diartikan semakin tinggi pemenuhan kebutuhan berafiliasi maka semakin tinggi pula tingkat konformitas pada mahasiswa semester pertama.

Penelitian Anton P. Aryana (t.t) menunjukkan hasil bahwa ada korelasi antara motif berprestasi dengan prestasi akademik. Berdasarkan hasil penelitian, didapat simpulan bahwa belum tentu ada hubungan antara motif


(27)

17

afiliasi dengan prestasi akademik peserta didik di SMU Pangudi Luhur ’van Lith’. Sementara itu, ada hubungan antara motif berprestasi dan prestasi akademik.

Penelitian Klein dan Schnackenberg (2000) menunjukkan hasil bahwa tinggi peserta afiliasi menyatakan secara signifikan motivasi lebih penerus dari peserta afiliasi rendah untuk bekerja dengan orang lain. Rendahnya peserta afiliasi menyatakan secara signifikan motivasi lebih penerus dari peserta afiliasi tinggi untuk bekerja sendiri. Akhirnya, hasil menunjukkan bahwa tingginya afiliasi dipamerkan secara signifikan lebih pada on-tugas perilaku kelompok (bergiliran, berbagi bahan, diskusi kelompok konten) dan secara signifikan lebih di perilaku off-tugas dari afiliasi rendah.

Melihat beberapa hasil penelitian diatas, persamaan yang muncul adalah tentang topik motif berafiliasi. Meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain Jika dalam penelitian sebelumnya kebanyakan bertema tentang motif berafiliasi dengan adanya hubungan maupun tidak dan juga berkorelasi namun di penelitian ini mengangkat fenomenologi yang merupakan suatu kejadian menarik yang sedang terjadi saat ini. Penulis mengangkat motivasi berafiliasi pada dewasa awal dengan klasifikasi usia (20-30 tahun), dan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologis. Dalam hal ini penelitian yang terkait Motivasi Berafiliasi pada Dewasa Awal yang Nongkrong di Cafe belum peneliti jumpai pada jurnal-jurnal yang terkait penelitian tersebut.


(28)

18 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Motivasi Berafiliasi A. Pengertian Motif

Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan / mendesak.

Motif berasal dari bahasa latin movere yang berarti bergerak atau to

move . Branca (dalam Walgito 2010). Karena itu motif diartikan sebagai

kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat atau merupakandriving force.

Menurut Guralnik (dalam Sobur, 2003) motif: suatu perangsang dari dalam, suatu gerak hati, dan sebagainya, yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu.Sedangkan menurut R.S. Woodworth (dalam Sobur, 2003) mengartikan motif sebagai suatu set yang dapat atau mudah menyebabkan individu untuk melakukan kegiata-kegiatan tertentu (berbuat sesuatu) dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Hawkins (dalam Ulfah, t.t) mendefinisikan motif sebagai pembentukan yang menunjukkan kekuatan dalam diri yang tidak teramati yang


(29)

19

merangsang serta mendorong respon perilaku dan memberikan tujuan khusus terhadap respon tersebut.

Pendapat yang hampir sama juga dinyatakan oleh Jahja (dalam Ulfah, t.t) bahwa motif adalah dorongan yang datang dari dalam untuk melakukan sesuatu. Dorongan dari dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berarti motif sebagai kekuatan yang ada dalam diri manusia yang menyebabkan bertindak atau berbuat untuk memenuhi kebutuhannya maupun mencapai tujuan tertentu dan lebih menekankan pada dorongan internal dalam diri individu.

Lindzey dkk. (dalam Ahmadi, 1999) motif adalah sesuatu yang menimbulkan tingkah laku. Sedangkan menurut Gerungan (dalam Ahmadi, 1999) motif itu merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.

Martaniah (dalam Ahmadi, 1999) motif adalah suatu konstruksi yang potensial dan laten, yang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman, yang secara relatif dapat bertahan meskipun kemungkinan berubah masih ada, dan berfungsi menggerakkan serta mengarahkan perilaku ke tujuan tertentu. Sedangkan menurut Atkinson (dalam Ahmadi, 1999) motif sebagai suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi ataupun kekuasaan.

Menurut Ahmadi (2002) motif adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan. Motif manusia merupakan dorongan, keinginan, hasrat, dan


(30)

20

tenaga penggerak yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif.

Hill (dalam Pribadi, dkk., 2011) berpendapat munculnya dorongan yang berwujud motif itu dipengaruhi oleh beberapa hal:

1) Karakteristik budaya atau kebiasaan yang sudah diyakini kebenaran sehingga motif untuk dipenuhi oleh individu.

2) Intensitas komunikasi antara individu dengan obyek atau orang lain. Semakin intensif dan bermakna dan itu merupakan kebutuhan pokok manusia maka akan dipenuhi.

3) Tingkat kesulitan atau hambatan artinya apabila tingkat kesulitan dan hambatan itu tinggi, maka kemungkinan akan tertundanya pemenuhan motif itu atau bahkan tidak akan dipenuhi.

4) Tingkat urgensi artinya tingkat kepentingan atau mendesak tidaknya motif itu dipenuhi. Semakin mendesak maka motif itu dengan cepat akan dipenuhi.

5) Kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki seseorang dalam memenuhi motif itu.

6) Kesempatan atau peluang waktu yang dimiliki seseorang untuk memenuhi motif itu.

7) Konsep diri yang dimiliki seseorang sebagai dasar dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman hidup.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motif merupakan tahap awal dari proses motivasi, sehingga motif baru merupakan suatu kondisi intern


(31)

21

atau disposisi (kesiap-siagaan) saja. Sebab motif tidak selamanya aktif. Motif aktif pada saat tertentu saja, yaitu apabila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat mendesak. Motif yang telah menjadi aktif inilah yang disebut dengan motivasi.

B. Pengertian Motivasi

Sedangkan motivasi sendiri menurut Chaplin (1997) adalah sebagai suatu energi yang mengorganisasi perilaku secara terpelihara, terarah pada tujuan tertentu yang ditimbulkan oleh suatu ketegangan dalam diri individu sebagai factor penggerak organisme.

Menurut M. Utsman Najati, motivasi adalah kekeuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas pada makhluk hidup, dan menimbulkan tingkah laku serta mengarahkannya menuju tujuan tertentu. Motivasi ini memiliki tiga komponen pokok, yaitu :

a) Menggerakkan

Dalam hal ini motivasi menimbulkan kekuatan pada individu, membawa seseorang untuk bertindak dengan cara-cara tertentu.

b) Mengarahkan

Berarti motivasi mengarahkan tingkah laku. Dengan demikian ia menyediakan suatu orientasi tujuan. Tingkah laku individu diarahkan terhadap sesuatu.


(32)

22

Artinya, motivasi digunakan untuk menjaga dan menopang tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan intensitas dan arah dorongan-dorongan dan kekuatan-kekuatan individu.

Winskel (1987) mengungkapkan bahwa, motivasi adalah

suatukomponen yang paling penting dari pembelajaran dan suatu komponen yang paling sukar untuk diukur.

Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandaidengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.

Sudah dijelaskan di muka bahwa motif dalam psikologi mempunyai arti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku. Karena dilatarbelakangi adanya motif, tingkahlaku tersebut disebut “tingkahlaku bermotivasi”. Tingkahlaku bermotivasi itus endiri dapat dirumuskan sebagai “tingkahlaku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu tujuan, agar suatu kebutuhan terpenuhi dan suatu kehendak terpuaskan.

Dari pengertian yang dikemukakan tersebut mengandung tiga elemen penting, yaitu :

a. Bahwa motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam system

”Neurophysiological” yang ada pada organisme manusia.


(33)

23

motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.

b. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa “feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah manusia.

c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yakni tujuan.

Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi

kemunculannya karena terangsang / terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Dari ketiga elemen diatas, maka dapat dikatakan bahwa motivasi itu sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong karena adanya tujuan, kebutuhan dan keinginan.

Begitu juga dalam teori kebutuhan Maslow (dalam Sobur, 2003), Maslow berpendapat bahwa manusia sebagai pendorong (motivator) membentuk suatu hierarki atau jenjang peringkat. Maslow menggolongkan kebutuhan manusia pada lima tingkat kebutuhan yakni:


(34)

24

2. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs)

3. Kebutuhan cinta dan memiliki-dimiliki (belongingness and love

needs)

4. Kebutuhan penghargaan (esteem needs)

5. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs)

C. Pengertian Afiliasi

Afiliasi merupakan kebutuhan untuk berada di dekat orang lain dan saling membahagiakan satu sama lain. Murray (dalam Friedman, dkk., 2008).

Menurut Murray (dalam Walgito, 2010) Afiliasi (affiliation) yaitu motif

atau kebutuhan yang berkaitan dengan berteman, untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.

Menutut Mc Clelland (dalam Pribadi, dkk., 2011) kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan hubungan yang hangat dan akrab dengan orang lain. Tampak pada segi hubungan pribadi dan bekerjasama dengan orang lain, serta dicapainya persetujuan atau kesepakatan dengan orang lain.

Motivasi berafiliasi muncul karena secara riil orang mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi apabila ingin kehidupannya berjalan terus. Seseorang menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, dirinya menjadi perantara satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuannya. Jika kebutuhan akan afiliasi mendesak, maka orang akan


(35)

25

bersikap dan bertindak untuk membentuk orang lain yang menyenangkan dan saling pengertian.

Menurut Kulsum, dkk.(2014) bahwa Kebutuhan afiliasi adalah motif dasar untuk mencari dan mempertahankan relasi interpersonal. Kebutuhan afiliasi juga terkait dengan kecenderungan untuk memebentuk pertemanan dan untuk bersosialisasi, berinteraksi secara dekat dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain dengan cara yang bersahabat, dan jatuh cinta.

Murray, Hall dkk. (dalam Kusumadewi, dkk., 2008) mengemukakan bahwa kebutuhan afiliasimerupakan keinginan untuk mendekatkan diri, bekerja sama, saling menerimadan memberi kepada orang lain yang mempunyai persamaan dengan dirinya,menyenangkan orang lain dan mencari afeksi dari mereka, serta patuh dan setiakepada teman.

Menurut Mc Clelland (dalam Kusumadewi, dkk., 2008) ciri-ciri tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan berafiliasi yang tinggi akan nampak sebagaiberikut, yaitu: lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalampekerjaan daripada segi-segi tugas yang ada pada pekerjaan itu, melakukanpekerjaannya lebih efektif bila bekerjasama bersama orang lain dalam suasanayang lebih kooperatif, mencari kesepakatan atau persetujuan dari orang lain, serta lebih suka bersama orang lain daripada sendirian.


(36)

26

Mc Clelland (dalam Kusumadewi, dkk., 2008) bahwa kebutuhan berafiliasi itu sangat baik dijelaskan dengan kata persahabatan. Pengukuran kebutuhan berafiliasi ditentukan oleh sifat-sifat menjalin, membina, atau memulihkan persahabatan dengan orang lain.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian afiliasi merupakan suatu kebutuhan untuk bersama dengan orang lain, kebutuhan untuk berbagi rasa, beramah-tamah dan juga saling membahagiakan satu sama lain.

D. Kesimpulan Motivasi Berafiliasi

Di Indonesia dan juga di tempat-tempat lain, individu tidak akan dapat menjalani kehidupannya tanpa kehadiran orang lain, karena pada hakikatnya, individu mempunyai kebutuhan untuk hidup bersama dengan orang lain yang tentu saja kebutuhan tersebut tidaklah sama antara individu yang satu dengan individu yang lain. Martaniah (dalam Aryana, t.t), Kebutuhan ini merupakan bagian dari motif afiliasi.

McClelland (dalam Aryana, t.t) menyatakan bahwa motif afiliasi mendorong adanya keramahan pada orang lain, upaya penjagaan hubungan baik dengan orang lain dan usaha untuk menyenangkan orang lain. Swenson (dalam Aryana, t.t) menambahkan bahwa motif afiliasi terefleksikan dalam perilaku yang ditujukan kepada orang lain.

Menurut Mc Clelland (dalam Pribadi, dkk., 2011) kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan hubungan yang


(37)

27

hangat dan akrab dengan orang lain. Tampak atau kesepakatan dengan orang lain. Motif berafiliasi muncul karena secara riil orang mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi apabila ingin kehidupannya berjalan terus. Seseorang menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, dirinya menjadi perantara satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuannya.

McClelland (dalam Pribadi, dkk., 2011) menyatakan bahwa motif afiliasi mendorong adanya keramahan pada orang lain, upaya penjagaan hubungan baik dengan orang lain dan usaha untuk menyenangkan orang lain. Pencapaian prestasi yang tinggi akan mendorong terjadinya persaingan antar individu yang akan merusak hubungan antar individu.Orang yang mempunyai motif berafiliasi tinggi akan mempunyai dorongan untuk membuat hubungan dengan orang lain, karena berkeinginan untuk disukai. Seseorang mampu untuk memunculkan motif berafiliasinya, akan muncul suatu keseimbangan perilaku pada dirinya untuk mencoba agar disukai orang lain, masing-masing orang akan mencoba untuk menyesuaikan satu dengan yang lain.

Motif afiliasi pada diri seseorang memungkinkan seseorang selalu membutuhkan kehadiran orang lain karena dengan kehadiran orang lain, seseorang dapat melakukan kerja sama dan membuat kesepakatan dengan orang lain dalam melakukan suatu pekerjaan. Hubungan pribadi dengan orang lain melekat dalam dirinya dan tertanam dalam pribadi yang


(38)

28

Mc Clelland (dalam Ulfah, t.t) mendefinisikan motif afiliasi sebagai keinginan untuk meluangkan waktu dalam aktivitas dan hubungan sosial. Keinginan tersebut merupakan keinginan dasar untuk membentuk dan mempertahankan beberapa hubungan antarpribadi yang penting, positif dan bertahan lama.

Individu yang mempunyai motivasiberafiliasi yang tinggi cenderung menghabiskan lebih banyak waktunya untuk mempertahankan hubungan sosial, bergabung dengan kelompok-kelompok, dan selalu ingin dicintai.Individu akan sangat memperhatikan hubungan interpersonal yang dimilikinya, individu ini tidak terlalu sukar mengatur orang lain sebaliknya akan lebih banyak menuruti kelompok sosialnya demi menjaga hubungannya.

McClelland (dalam Aryana, t.t) menyatakan bahwa ada lima karakteristik individu dengan motivasi berafiliasi yang tinggi, yaitu:

1. menunjukkan performa yang lebih baik ketika insentif afiliatif tersedia.

2. memelihara hubungan interpersonal. 3. kooperasi, konformitas, dan konflik. 4. perilaku managerial.

5. takut untuk ditolak.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditegaskan bahwa motivasiberafiliasi dalam konteks penelitian ini adalah dorongan, hasrat, keinginan yang


(39)

29

berasal dari dalam diri dengan melakukan pengembangan dalam memelihara hubungan yang positif dan berafeksi dengan orang lain, tujuan untuk disukai dan diterima.

Berikut ini peneliti menggunakan aspek-aspek dari motif berafiliasi sebagai bagian dari motivasi berafiliasi,

2. Aspek motif berafiliasi

Aspek-aspek motif afiliasi menurut Weiss dkk (dalam Ulfah, t.t) sebagai berikut:

a. Social comparison

Kebutuhan untuk mengatasi ketidakjelasan tentang identitas dirinya denga jalan mencari informasi dari lingkungan sosial tempat individu berada.

b. Emotional support

Berwujud kebutuhan untuk mendapatkan simpati dari orang lain.

c. Positive stimulation

Kebutuhan akan situasi afektif maupun kognisi yang menyenangkan dalam proses afiliasi.

d. Attention

Kebutuhan akan perasaan, harga diri, pujian, memiliki kompetensi dalam pergaulan, diakui orang lain.


(40)

30

Pendapat yang hampir sama juga dinyatakan oleh Hill (dalam Ulfah, t.t) bahwa aspek dari motif afiliasi, yaitu:

a. Stimulus Positif (Positive Stimulation)

Merupakan kebutuhan seseorang akan kondisi yang menyenangkan dalam proses afiliasi melalui kedekatan hubungan antar personal yang diwujudkan melalui kontak fisik yang melibatkan perasaan dan emosi yang mendalam dan membina hubungan yang harmonis, kasih sayang dan rasa cinta.

b. Dukungan Emosional (Emotional Support)

Adalah kebutuhan untuk mendapatkan simpati atau berteman saat mempunyai masalah dan keinginan untuk diperhatikan yang berguna untuk mengurangi perasaan negatif, yaitu rasa takut atau tekanan situasi dengan percaya pada orang lain.

c. Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Merupakan suatu kebutuhan individu untuk membina hubungan sosial dan mengurangi ketidakjelasan mengenai identitas diri dalam hubungan dengan orang lain dengan cara melakukan perbandingan dengan orang lain.

d. Perhatian (Attention)

Merupakan kebutuhan seseorang untuk diperhatikan dan dipuji sebagai rasa penghargaan atas kemampuannya


(41)

31

dalam pergaulan, serta kebutuhan akan dorongan untuk membina hubungan sosial melalui persetujuan dan dukungan orang lain.

3. Dimensi Atribut dan Indikator Motivasi Berafiliasi sebagai berikut: 1. Stimulus Positif (Positive Stimulation)

a) Hubungan interpersonal melalui perasaan b) Membina hubungan yang harmonis c) Mencurahkan kasih sayang

2. Dukungan Emosional (Emotional Support)

a) Ingin mendapatkan simpati dari orang lain b) Kepercayaan terhadap orang lain

3. Perbandingan Sosial (Social Comparison)

a) Membina hubungan sosial dalam hal berinteraksi b) Selalu membandingkan diri sendiri dengan

kemampuan dan pendapat orang lain 4. Perhatian (Attention)

a) Membutuhkan perhatian dan pujian dari orang lain b) Ingin dihargai orang lain

c) Ingin mendapatkan pengakuan diri dari orang lain 4. Dewasa Awal yang Nongkrong di Cafe

Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (dalam Hurlock, 1996). Definisi


(42)

32

masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa awal diharapkan memainkan peran baru, seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, keinginan-keinginan baru, mengembangkan sikap-sikap baru, dan nilai-nilai baru sebagai tugas baru ini (dalam Hurlock, 1996).

Hurlock (1996), menguraikan secara ringkas ciri-ciri dewasa yang menonjol dalam masa-masa dewasa awal sebagai berikut:

1. Masa dewasa dini sebagai masa pengaturan

Masa dewasa awal merupakan masa pengaturan. Pada masa ini individu menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Yang berarti seorang pria mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditangani sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

2. Masa dewasa dini sebagai usia reproduktif

Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang kawin berperan sebagai orang tua pada waktu saat ia berusia duapuluhan atau pada awal tigapuluhan.

3. Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah

Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dengan dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumya.


(43)

33

Pada usia ini kebanyakan individu sudah mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi secara baiksehingga menjadi stabil dan lebih tenang.

5. Masa dewasa dini sebagai masa keterasingan sosial

Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir, sehingga keramahtamahan masa remaja diganti dengan persaingan dalam masyarakat dewasa.

6. Masa dewasa dini sebagai masa komitmen

Setelah menjadi orang dewasa, individu akan mengalami perubahan, dimana mereka akan memiliki tanggung jawab sendiri dan memiliki komitmen-komitmen sendiri.

7. Masa dewasa dini sering merupakan masa ketergantungan

Meskipun telah mencapai status dewasa, banyak individu yang masih tergantung pada orang-orang tertentu dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua yang membiayai pendidikan.

8. Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai

Perubahan karena adanya pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dan nilai-nilai itu dapat dilihat dari kacamata orang dewasa. Perubahan nilai ini disebabkan karena beberapa alasan yaitu individu ingin diterima oleh anggota kelompok orang dewasa, individu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku.


(44)

34

9. Masa dewasa dini masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru. Masa ini individu banyak mengalami perubahan dimana gaya hidup baru paling menonjol dibidang perkawinan dan peran orang tua.

10. Masa dewasa dini sebagai masa kreatif

Orang yang dewasa tidak terikat lagi oleh ketentuan dan aturan orang tua maupun guru-gurunya sehingga terbebas dari belenggu ini dan bebas untuk berbuat apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatifitas ini tergantung dengan minat dan kemampuan individual.

Pada penelitian menyebutkan bahwa salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal (18-40 tahun) adalah mencari pasangan hidup (Havighurst dalam Monks, 2001), yang selanjutnya akan diteruskan pada proses membentuk dan membina keluarga. Pada akhir usia 20 tahun pemilihan struktur hidup menjadi semakin penting. Pada usia natara 28-33 tahun pilihan struktur kehidupan ini menjadi lebih tetap stabil. Dalam fase kemantapan (33-40 tahun) orang dengan kematangannya mampu menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk memajukan karier sebaik-baiknya. Pekerjaan dan kehidupan keluarga membentuk struktur peran yang memunculkan aspek-aspek kepribadian yang diperlukan dalam aspek tersebut (Levinson dalam Monks, 2001).

Secara hukum seseorang dikatakan dewasa bila ia sudah menginjak usia 21 tahun (meski belum menikah) atau sudah menikah (meskipun belum berusia 21 tahun). Di indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun juga. Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan


(45)

35

selanjutnya dianggap sudah mempunyai tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya (Monks, 2001). Dikatakan oleh Hurlock (1990) bahwa seseorang dikatakan dewasa bila telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal, siap berproduksi, dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat diharapkan memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat.

Setiap kebudayaan dapat membuat perbedaan usia seseorang dapat dikatakan dewasa secara resmi, yang pada umumnya didasarkan pada perubahan-perubahan fisik dan psikologik tertentu. Dalam hal ini Hurlock (1990) membagi masa dewasa menjadi tiga periode, yaitu:

1. Masa Dewasa Awal (18-40 tahun)

Pada masa ini perubahan-rubahan yang nampak antara lain perubahan dalam hal penampilan, fungsi-fungsi tubuh, minat, sikap, serta tigkah laku sosial.

2. Masa Dewasa Madya (40-60 tahun)

Pada masa ini kemampuan fisik dan psikologis seseorang terlihat mulai menurun. Usia dewasa madya merupakan usia transisi dari Adulthood ke masa tua. Transisi itu terjadi baik pada fungsi fisik maupun psikisnya.

3. Masa Dewasa Akhir (60-meninggal)

Pada masa dewasa lanjut, kemampuan fisik maupun psikologis mengalami penurunan yang sangat cepat, sehingga seringkali individu


(46)

36

tergantung pada orang lain. Timbul rasa tidak aman karena faktor ekonomi yang menimbulkan perubahan pada pola hidupnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia antara 18 tahun hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan dalam hal penampilan, fungsi-fungsi tubuh, minat, sikap serta tingkah laku sosial. Individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya, serta masa untuk bekerja, terlibat dalam hubungan masyarakat maupun sosial, dan menjalin hubungan dengan lawan jenis.

Hurlock (1980) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal, antara lain:

a. Memilih teman bergaul (sebagai calon suami atau istri) b. Belajar hidup bersama dengan suami istri

c. Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga d. Dituntut adanya kesamaan cara serta faham

e. Mengelolah rumah tangga

f. Mulai bekerja dalam suatu jabatan

g. Mulai bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak h. Memperoleh kelompok sosial yang sesuai dengan nilai-nilai atau fahamnya.

Penelitian secara spesifik memilih masa dewasa awal dengan batasan usia 20-30 tahun sebagai klasifikasi usia subjek penelitian, karena pada usia tersebut memasuki masa ketegangan emosional, masa bermasalah, masa


(47)

37

keterasingan sosial, juga masa ketergantungan sebagaimana pada ciri-ciri masa dewasa awal yang dikemukakan oleh Hurlock (1996), dengan begitu di usia ini seseorang sangat membutuhkan dukungan dari orang disekitarnya. Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat saat ini dalam mencari kelompok sosial kebanyakan seseorang memilih tempat cafe sebagai tempat menongkrong untuk mencari maupun membina kelompok sosial yang menyenangkan. “Nongkrong” merupakan kegiatan yang sering dilakukan para remaja dan orang-orang yang masih masuk dalam kategori produktif. Kegiatan ini dapat dilakukan dimana saja, termasuk di cafe-cafe atau tempat berkumpul lainnya. Nongkrong bagi anak muda merupakan

salah satu kegiatan untuk mengisi waktu luang mereka setelah penat bekerja atau sekolah. Bagi para penyuka kegiatan nongkrong ini, mereka

membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana itu berupa tempat, kenyamanan yang ditawarkan, dan juga produk yang tersedia.

Dalam hal ini cafe menjadi suatu media bersosialisasi pada berbagai kalangan, yang mana kita dapat menjumpai cafe yang dipenuhi oleh kalangan anak muda yang berkumpul bersama relasinya dan terlibat dalam suatu pembicaraan ringan seputar kehidupan mereka khususnya pada golongan masa dewasa awal yang banyak terlihat di tempat tersebut. Dan yang lebih romantis tentu saja kafe sebagai lokasi kencan.Pengunjungnya pun berasal dari latar belakang yang beragam, mulai dari kalangan pengusaha, pegawai (negeri dan swasta), mahasiswa/pelajar bahkan sampai


(48)

38

ada juga komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas gank motor, komunitas bloggers, komunitas sosialita dan lain sebagainya.

Dari segi kenyamanan pun, kafe memang memiliki nilai lebih karena suasananya tidak terlalu formal dan bisajauh lebih santai (dalam Hasrullah, 2012).Untuk itulah cafe banyak dipilih sebagai tempat dalam pemenuhan afeksi seseorang dalam mendapatkan dukungan dari sahabat maupun kelompok sosialnya. Begitu juga pada subjek penelitian ini yang suka mengunjungi cafe sebagai sarana dalam mengembangkan motivasi berafiliasinya dengan sahabat dekatnya.

5. Batasan Konsep Penelitian

Batasan Konsep penelitian ini dijelaskan bahwa Motivasi Berafiliasi pada dewasa awal dengan rentan usia 20 hingga 30 tahun disini merupakanpengembangan dari proses sebuah dorongan dan juga hasrat keinginanyang muncul dari dalam diri individu yangbertujuan untuk membina dan memelihara hubungan interpersonal yang positif dan berafeksi, keinginan untuk disukai dan diterima dilingkungan sosialnya dengan melibatkan para sahabat sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan berafiliasi serta menjadikan sebuah cafe sebagai salah satu objekyang berada di luar rumah sebagai tempat dalam mencurahkan atau menyalurkan dorongan berafiliasi dari individu tersebut.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Kualitatif yaitu sesuatu yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat berpisah-pisah menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan (Arikunto, 2006).Menurut Creswell (2013), penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsirkan makna data.

Fokus dalam penelitian ini adalah Motivasi Berafiliasi Pada Dewasa

Awal Yang Nongkrong Di Cafe. Guna mendalami fokus tersebut penelitian

ini akan menggunakan metode kualitatif. Laporan akhir untuk penelitian ini memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel. Siapapun yang terlibat dalam penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya interpretasi, yang berfokus terhadap apa yang dialami individual untuk pemberian makna atas apa yang dialaminya tersebut, dan menerjemahkannya ke dalam suatu persoalan yang terjadi di lapangan.


(50)

40

penelitian kualitatif menurut Sutopo dan Arief (dalam Susilo, 2011) merupakan penelitian yang ditujukan untuk melakukan deskripsi dan anilisis terhadap: fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, persepsi dari setiap individu maupun pada kelompok tertentu. Penelitian jenis ini bersifat induktif, dimana data di lokasi riset akan menjadi sumber utama adanya fenomena dan permasalahan dalam proses pengamatan yang dilakukan.

Akhirnya suatu Penelitian kualitatif harus sistematis, solid dan direncanakan dengan baik untuk menjadikannya kredibel/dapat dipercaya dan mengikat. Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk angka. Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam bentuk uraian naratif.

Hakikat pemaparan dalam penelitian kualitatif adalah, data pada umumnya menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu fenomena dapat terjadi, untuk itu peneliti dituntut memahami dan


(51)

41

menguasai bidang ilmu yang ditelitinya, sehingga dapat memberikan justifikasi mengenai konsep dan makna yang terkandung dalam data.

Aspek- aspek yang perlu dipertimbangkan dalam riset kualitatif meliputi:

1. Pengembangan metode penelitian kualitatif terdiri dari 5 langkah yaitu (Bungin dalam Susilo, 2011):

a. Langkah Pertama: Mencari makna. b. Langkah Kedua: Berawal fakta.

c. Langkah Ketiga: Melakukan observasi, mencatat semua fakta secara holistik dan bersifat alamiah (naturalistik).

d. Langkah Keempat: Memahami/intepretasi fakta, membuat

deskripsi fenomena yang diamati.

e. Langkah Kelima: Perumusan generalisasi bersifat teoritis; proposisi, konsep, teori.

Menurut Creswell (2013), peneliti kualitatif membangun makna tentang suatu fenomena berdasarkan pandangan-pandangan dari para partisipan. Untuk penelitian yang satu ini, peneliti berusaha menyelidiki suatu isu yang berhubungan dengan marginalisasi individu-individu tertentu. Untuk meneliti isu ini, cerita-cerita dari individu tersebut dengan menggunakan pendekatan naratif. Individu-individu ini kemudian diwawancarai untuk mengetahui bagaimana mereka secara pribadi mengalami penindasan dan marginalisasi.


(52)

42

Penelitian kualitatif dipilih karena fenomena yang diamati perlu pengamatan terbuka, lebih mudah berhadapan dengan realitas, kedekatan emosional antar peneliti dan responden sehingga didapatkan data yang mendalam, dan bukan pengangkaan. Penelitian kualititatif memiliki tujuan untuk mengeksplorasi kekhasan pengalaman seseorang ketika mengalami suatu fenomena sehingga fenomena tersebut dapat di buka dan dipilah sehingga dicapai suatu pemahaman yang ada.

karakteristik penggunaan pendekatan kualitatif lebih lanjut akan nampak pada tahap pengembangan metodologis penelitian. Metodologi penelitian merupakan sebuah strategi penelitian yang menggerakkan asumsi filosofis dasar pada desain riset dan pengum-pulan data. Pilihan metode penelitian berpengaruh pada cara yang ditempuh peneliti dalam mengumpulkan data.

Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Denny Moeryadi (dalam Hajaroh, t.t).


(53)

43

Donny (dalam Hajaroh, t.t) menuliskan fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.

Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti. Smith (dalam Hajaroh, t.t).

Dalam studi fenomenologis ini dibantu dengan Analisis Fenomenologi Interpretatif (AFI) atau Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA). IPA dalam Smith dan Osborn (dalam Hajaroh, t.t) bertujuan untuk mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan sosialnya. Sasaran utamanya adalah makna berbagai pengalaman, peristiwa, status yang dimiliki oleh partispan. Juga berusaha mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada pesepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang obyek atau peristiwa.


(54)

44

Teknik wawancara yang dipilih adalah teknik wawancara mendalam, karena didalamnya peneliti menyelidiki peristiwa, aktivitas, program dan proses individu di masa lalu.Dalam konteks penelitian yang akan dikaji dan yang menjadi fokus utama dari penelitian ini adalah motivasi berafiliasi pada dewasa awal yang sedang menongkrong di cafe.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian seperti wawancara dan dokumentasi. Lokasi pengambilan data pada subjek utama di Cafe Cangkul, porong-Sidoarjo dan subjek pertama adalah MD. Dan untuk significant other MD dilakukan pengambilan data ditempat yang sama.

Sedangkan pada lokasi penelitian subjek kedua yakni YP adalah di Royal Plaza Surabaya. Untuk significant other subjek kedua ini adalah sahabat dekat YP dan tempat penelitian berlokasikan yang sama.

Untuk subjek ketiga adalah IH, penulis melakukan pengambilan data di rumah subjek yang beralamatPerum. Sumorame Candi-Sidoarjo. Sedangkan untuk significant other subjek ketiga ini adalah sahabat dekat IH yang juga sebagai kakak dari IH sendiri dan dalam hal penelitian akan dilakukan di tempat yang sama.

3. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2008) Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti dokumen dan lain sebagainya. Terdapat dua


(55)

45

jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. (Bungin, 2001).

Sumber data primer adalah data yang diambil dari sumber pertama yang ada dilapangan. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data kedua sesudah data primer.

1. Sumber Data Primer.

Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data utama adalah salah seorang Karyawan di salah satu perusahaan di kawasan gempol-pasuruan. Kemudian yang menjadi sumber data utama kedua adalah Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunana-Ampel daerah Surabaya dan yang menjadi sumber data utama ketiga adalah Mahasiswa Universitas Airlangga di Surabaya. Pada penelitian ini menggunakan tiga subjek agar hasilnya nanti lebih variatif.


(56)

46

Tabel 3.1. Identitas Subjek

Subyek Ke

Nama Usia

Jenis Kelamin

Jabatan

1 MD 22 th Perempuan Karyawan

2 YP 23 th Perempuan Mahasiswa

3 IH 20 th Perempuan Mahasiswa

2. Sumber data Sekunder

Yang menjadi data sekunder atau data pendukung untuk significant other subjek pertama adalah HI sahabat MD. Yang menjadi data sekunder pada subjek kedua adalah SR sahabat dari YP. Sedangkan untuk data sekunder dari subjek ketiga adalah BKP yang merupakan sahabat IH.

Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998), prosedur pangambilan sampel dalam penelitian kualitatif adalah umumnya menampilkan karakteristik yaitu:

a) Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. b) Tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah

baik dalam jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.


(57)

47

c) Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan kecocokan konteks.

Alasan dalam memilih significant other secara teoritik:

Menurut Kulsum, dkk.,(2014) bahwa Kebutuhan afiliasi adalah motif dasar untuk mencari dan mempertahankan relasi interpersonal. Kebutuhan afiliasi juga terkait dengan kecenderungan untuk memebentuk pertemanan dan untuk bersosialisasi, berinteraksi secara dekat dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain dengan cara yang bersahabat, dan jatuh cinta. Lebih lanjut Mc Clelland (dalam Kusumadewi, dkk., 2008) mengatakan bahwa kebutuhan berafiliasi itu sangat baik dijelaskan dengan kata persahabatan.

Dalam hal ini pengukuran motivasi berafiliasi ditentukan oleh sifat-sifat menjalin, membina, atau memulihkan persahabatan dengan orang lain. Sedangkan persahabatan adalah suatu hubungan antar pribadi yang akrab atau intim yang melibatkan setiap individu sebagai suatu kesatuan. Persahabatan dan hubungan pertemanan merupakan hasil dari suatu hubungan formal dan suatu tingkat permulaan dalam perkembangan suatu persahabatan.

Hubungan pertemanan dibutuhkan dalam masyarakat kita. Hubungan pertemanan dapat berkembang ke persahabatan. Dalam kenyataannya, berteman dengan seseorang biasanya merupakan tingkat permulaan dari dikukuhkannya suatu persahabatan. Banyak waktu yang dihabiskan dalam hubungan persahabatan ini (dalam Kulsum, dkk.,2014).


(58)

48

Beberapa ciri persahabatan yang dapat disebutkan antara lain adalah: 1. Mereka menghargai satu sama lain lebih dalam secara

pribadi daripada keuntungan yang diperoleh dari persahabatan itu sendiri. Meskipun dari persahabatan diperoleh beberapa keuntungan yang bersifat sekunder, namun sebenarnya, timbulnya persahabatan dahulu bersumber dari rasa saling menyukai dan saling

memelihara hubungan, bukan karena saling

menguntungkan atau tidak.

2. Persahabatan sebagai suatu hubungan antar pribadi lebih menekankan pada kualitas yang objektif satu sama lain. 3. Saling bertukar barang-barang antar teman tidak

didasarkan nilai ekonomi, tetapi pada kesukaan, harapan, dan keinginan di antara mereka. Terdapat pula kebiasaan saling memberi tanpa mengharapkan imbalan.

4. Persahabatan terjadi karena keunikannya dan sulit digantikan orang lain kerena keunikannya tersebut. Persahabatan tidak begitu saja diputuskan hanya karena telah ditemukan teman lain yang lebih baik. Persahabatan selalu memperlihatkan adanya keintiman, individualis dan kesetiaan.

Berdasarkan pengertian dan juga ciri-ciri yang ada diatas bahwa sahabat merupakan alasan yang tepat untuk dijadikan significant other dalam


(59)

49

penelitian ini. Karena dalam teori motif berafiliasi dimana relasi maupun sahabat merupakan faktor kebutuhan utama dalam melakukan motivasi berafiliasi.

Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memilih subjek dan informan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Dengan pengambilan subjek secara purposif (berdasarkan kriteria tertentu), maka penelitian ini menemukan subjek yang sesuai dengan tema penelitian.

Alasan memilih significant other secara praktis:

Significant other dipilih karena satu dari sekian orang yang lebih dekat dengan subjek, yang lebih tau tentang kehidupan subjek, dan paling mengerti dengan keadaan subjek dalam kondisi apapun dengan kata lain sahabat yang dekat dengan subjek merupakan pengganti dari keluarga dekat subjek yang mengetahui segalanya tentang subjek. Untuk itu subjek juga mempercayakan sahabat terdekatnya untuk menjadi significant other dalam penelitian ini sebab, bagi subjek hanya sahabatnyalah yang lebih mengerti banyak hal tentang subjek dan selalu ada untuk subjek jika subjek membutuhkan dibandingkan teman-teman subjek yang lainnya.

Adapun kriteria utama dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Dewasa awal dengan rentan usia 20–30 tahun 2. Seorang Mahasiswa


(60)

50

4. Bersedia menjadi subjek penelitian

Untuk mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian tersebut, penulis mencari informasi dari beberapa warga Surabaya-Sidoarjo. Dengan demikian penulis menemukan subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian tersebut dan memilih MD, YP dan IH sebagai subjek dalam penelitian ini.

Adapun kriteria utama significant other adalah sebagai berikut : 1. Memiliki kedekatan yang baik dengan subjek

2. Telah mengetahui subyek dan mengetahui keseharian subjek

Untuk mencari significant other yang sesuai dengan kriteria penelitian tersebut, penulis mencari informasi dari subjek. Dengan demikian penulis menemukan subjek significant other yang sesuai dengan kriteria penelitian tersebut dan memilih HI, SR dan BKP sebagai significant other dalam penelitian ini.

Sedangkan untuk significant other subjek pertama adalah sahabatMD yaitu HI sesuai dengan rekomendasi MD. Untuk significant other subjek kedua adalah sahabat yang paling dipercaya oleh YP yaitu SR. SR terpilih sebagai significant other juga atas rekomendasi dari YP.Sedangkan untuk significant other subjek ketiga adalah BKP, yang merupakan sahabat terdekat IH. BKP mengaku sebagai orang yangpaling dekat dengan IH karena tidak hanya sebagai sahabat saja namun juga kakak kandung dari IH, jadi BKP lebih tau banyak hal tentang IH. Dan IH juga menyarankan BKP sebagai significant othernya.


(61)

51

4. Teknik Pengumpulan Data

Guna mendapatkan data yang akurat dan kredibel, dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengambilan data. Teknik pengambilan data sangat beragam. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode wawancara, dan dokumentasi sebagaimana berikut :

1. Wawancara

Interview yang sering disebut juga dengan wawancara adalah merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan tanya jawab baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sumber data. (dalam Ali, 1987).

Metode Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh data dan informasi dari yang diwawancarai. Metode wawancara/interviewini peneliti digunakan untuk mengumpulkan data yang dilaksanakan melalui proses tanya jawab secara langsung untuk mendapatkan informasi atau keterangan.

Metode ini digunakan untuk menggali data yang terkait dengan motif berafiliasi pada subjek.

Peneliti harus memperhatikan cara-cara yang benar dalam melakukan wawancara, diantaranya adalah sebagai berikut: (dalam Ali, 1987)

1) Pewawancara hendaknya menghindari kata yang memiliki arti ganda, ataupun yang bersifat ambiguitas.


(62)

52

panjang hendaknya dipecah menjadi beberapa pertanyaan baru.

3) Pewawancara hendaknya mengajukan pertanyaan yang konkrit dengan acuan waktu dan tempat yang jelas.

Panduan Interview

Agar pertanyaan dalam wawancara tetap terarah dan tidak bertanya tentang hal-hal yang tidak mendukung atau pertanyaan mengalir terlalu jauh, maka diperlukan adanya paduan wawancara. Panduan wawancara berisi tata laksana tentang apa saja pertanyaan yang akan diberikan kepada subyek, yakni sebagai berikut :

Panduan interview

1. Ceritakan dengan siapa anda berbagi perasaan pribadi anda maupun hal-hal kecil lainnya?

2. Gambarkan seperti apa kedekatan anda dengan sahabat? 3. Bagaimana cara anda dalam membina hubungan agar tetap

harmonis?

4. Ceritakan bagaimana cara anda menyampaikan rasa sayang anda kepada sahabat?

5. Gambarkan upaya anda agar mendapatkan simpati dari orang terdekat?

6. Gambarkan bentuk dari rasa percaya terhadap sahabat? 7. Ceritakan komunikasi anda sejauh ini dengan sahabat?


(1)

90

keharmonisan hubungan persahabatannya kemudian mengembangkan

hubungan sosial dalam hal berinteraksi serta membina dengan baik hubungan interpersonalnya yang melibatkan perasaan.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan juga pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek penelitian sama-sama memiliki motif berafiliasi yang tinggi, tingginya motif berafiliasi tersebut dapat diukur melalui dorongan atau keinginan yang ada pada tiap subjek penelitian dalam hal menjalin hubungan dengan sahabat, dorongan dalam membina suatu hubungan yang

dekat dan harmonis, dorongan dalam hal memulihkan hubungan

persahabatannya dan dorongan untuk bersosialisasi serta berinteraksi secara dekat dengan sahabat.Dorongan tersebut menghasilkan suatu proses pencapaian yang disebut dengan motivasi berafiliasi. Pada penelitian ini motivasiberafiliasi pada subjek dewasa awal dengan rentan usia 20 hingga 30 tahun menjadikan sebuah cafe sebagai salah satu tempat dalam mencurahkan atau menyalurkan dorongan berafiliasinya.

Hasil wawancara di lapangan ditemukan bahwa antara subjek dengan sahabatnya saling mengungkapkan motivasi berafiliasinya melalui sikap saling terbuka, saling melibatkan satu sama lain dalam hal pengambilan keputusan, saling membutuhkan dan banyak hal lain yang saling bersinergi. Untuk itu dalam mengungkapkan motivasi berafiliasinya subjek penelitian melakukan proses tersebut secara langsung maupun tidak langsung.Dengan begitu motif afiliasi disinimerupakan dasar dalam hubungan yang afektif


(3)

92

antara subjek penelitian dengan sahabatnya, kemudian berkembang menjadi motivasi berafiliasikarena terdapat proses pencapaiandari suatu dorongan atau motifuntuk berafiliasi dengan sahabat.

B. Saran

Sebagai akhir dari laporan penelitian ini, akan disampaikan atau direkomendasi yang ditujukan untuk:

1. Para peneliti selanjutnya; disarankan untuk waktu melakukan penelitiandiperbanyak lagi dan lebih dikembangkan lagi terkait dengan judul penelitian yang sudah ada.

2. Bagi dewasa awal yang suka menongkrong dicafe sebagai bentuk dari pemenuhan afeksinya dengan orang-orang terdekat dikhawatirkan akan menjadi ketergantungan jika afeksi tersebut tidak dikontrol dengan baik dan akan berimbas pada gaya hidup yang hanya memilih tempat cafe sebagai pemenuhannya dalam berafiiasi, hal tersebut menjadi tidak baik dan merusak moral seseorang jika terus ingin nongkrong dengan dalih untuk pemenuhan afiliasinya tersebut, padahal berafiliasi dengan orang terdekat tidak harus nongkrong di tempat cafe.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2002.Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ahmadi, A. 1999.Psikologi Sosial.Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ali, M.. 1987.Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa

Arikunto, S. 2006.Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Aryana,A.P. Studi KorelasiMotif Afiliasi Dan Motif BerprestasiDengan Prestasi Akademik Pada Siswa Kelas 2 Smu Pangudi Luhur ’Van Lith’Muntilan. Fakultas Psikologi. Universitas Widya Mandala Madiun.

Aulia, M. 2010. Hubungan Antara Kebutuhan Afiliasi Dengan Kecanduan Facebook. Jakarta: Fakultas Psikologi

Baar P.P, Ryan R.M, dkk. 2004. Intrinsic Need Satisfaction: A Motivational Basis Of Performance And Well-Being In Two Work Settings.By: V.H. Winston & Son, Inc. Baron, RA. Dan Byrne. 1984. Social Psychology: Understanding Human Interaction.

Boston: Allyn and Bacon.

Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial:Format-format penelitian kuantitatif dan kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.

Chaplin, J. P., Kartini, K. K., 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Creswell, J. W. 2013. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Penterjemah Achmad Fawaid.

Dimyati, N.S. 2009. Komunitas Cafe Sebagai Gaya Hidup. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Friedman, H.S., Schustack M.W. 2008. Kepribadian Teori Klasik Dan Riset Modern Jilid 1. Hal. 320-321, & 376. Penerbit Erlangga: PT. Gelora Aksara Pratama.

Hajaroh, M. Paradigma, Pendekatan Dan Metode Penelitian Fenomenologi.Dosen Program Studi Kebijakan Pendidikan FIP UNY. Bidang Keahlian Penelitian Dan E valuasi Pendidikan.

Hall, C.S dan Lindzey, G. 1995. Psikologi Kepribadian 2: Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Hasrullah. 2012. “Eksistensi Usaha Kafe Di Kota Makassar”. Makassar: Universitas Hasanuddin

http://antonaryana.byethost13.com/artikel/Korelasi%20Ach%20Aff%20PA%20van%20Lith. pdf


(5)

✂ ✄

http://www.google.com /25/05/2011. penelitan-fenomenologi.

Hurlock,E.B.1990.Psikologi Perkembangan:Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan(edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. 1994, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.(Terjemahan oleh Istiwidayanti). Jakarta: Erlangga.

Kulsum, U.,Jauhar, M. 2014. Pengantar Psikologi Sosial. Hal. 235-240. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Kusumadewi, D.R., Rachmawati, M.A. 2008. Hubungan Antara Pemenuhan Kebutuhan Berafiliasi Dengan Konformitas Pada Mahasiswa Semester Pertama. Yogyakarta: Fakultas psikologi dan ilmu sosial budaya. Universitas islam indonesia.

Klein, J.D. 2000. Effects of Informal Cooperative Learning and the Affiliation Motive on

Achievement, Attitude, and Student Interactions.Contemporary Educational Psychology 25, 332341. ByAcademic Press

McClelland, D.C. 1985. How Motives, Skills, And Values Determine. What People Do. Harvard University. By: The American Psychological Assosiation.

Mercer, J., Clayton, D. 2012. Psikologi Sosial. Penerbit Erlangga. PT. Gelora Aksara Pratama.

Moleong, L.J. 2002.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Monks, F.J. 2001.Psikologi Perkembangan: Batasan Masa Dewasa Awal. Jakarta: Erlagga. Poerwandari, K. 1998. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta :

Fakultas Psikologi UI

Pribadi, P., dkk. 2011.Motif Afiliasi Pengguna Aktif Facebook. Vol. 6 (2): 50-57.

Santrock.2002.Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup).Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Santrock, J.W. 2007. Remaja, edisi kesebelas. Alih Bahasa: Shinto. B & Saragih. Jakarta: Erlangga.

Smeker, N.J.,Baltes P.B, dkk. 2001. International Encyclopedia Of The Social &Behavioral Sciences. Elsevier Science Ltd.

Smith, J.A., Flowers, Paul., and Larkin. Michael. 2009. Interpretative phenomenological analysis: Theory, method and research. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington: Sage.

Smith, J.A. (ed.). 2009.Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset. Terjemahan dari Qualitative Psychology A Practical Guide to Research Method. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

☎ ✆

Suharno, H. 1996.Hubungan antara Motif berafiliasi, Motif Berprestasi dan Motif Berkuasa dengan Disiplin Tata Tertib Sekolah. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Pasca SarjanaPsikologi Universitas Gajah Mada.

Susilo,W.H. 2011. Penelitian Kualitatif. Aplikasi Pada Penelitian Ilmu Kesehatan. Penerbit: Susilo & Ivy. Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com

Swenson, D.X. 2000. ”David McClelland’s 3-Need Theory Achievement, Affiliation, Power” dalam www.ccs.edu/users/dswenson/web/LEAD/McClelland.html

Ulfah,T.A.Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa Yang MengunjungiTempat Hiburan Malam Ditinjau Dari Motif Afiliasi. Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

Wahyudi. Memadukan Motif Sosial Dalam Kehidupan Sehari-hari. dalam

http://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Arah%20Reformasi%20Indonesia/no 3 7november2007/Motif%20Sosial_%20Wahyudi.pdf

Walgito,B. 2002.Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta:Andi

Walgito, B. 2004.Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Walgito,B. 2010.Pengantar Psikologi Umum. Hal. 240-253. Yogyakarta: C.V Andi Offset. Yoseptian. Kebutuhan Afiliasi dan Keterbukaan Diri pada Remaja Pengguna