Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja

(1)

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia memiliki kodrat-kodrat yang harus dijalaninya. Kodrat tersebut antara lain lahir, menikah dan meninggal dunia. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia dibekali dorongan untuk menarik perhatian lawan jenisnya guna mencari pasangan hidupnya. Manusia mulai mencari pasangannya diawali dari masa pubertas yaitu suatu masa awal ketertarikan dengan lawan jenis yang berawal dari usia sekitar 12,5 – 14,5 tahun pada perempuan dan 14 – 16,5 tahun pada laki-laki (Hurlock, 1980). Masa berikutnya adalah masa pacaran dan diakhiri dengan masa pernikahan.

Menurut teori perkembangan, masa usia menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun (Papalia, Olds & Feldmann, 1998) atau usia 18-40 tahun (Hurlock, 1980). Dengan kata lain, masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Havighurst (dalam Hurlock, 1990) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup dan mulai bekerja. Hurlock (1990) menambahkan bahwa masa dewasa awal merupakan masa bermasalah karena pada masa dewasa awal banyak masalah yang ditimbulkan oleh penyesuaian diri terhadap hal-hal yang


(3)

berkaitan dengan persiapan pernikahan dan juga karir. Artinya, karir dan persiapan menuju kehidupan pernikahan adalah dua tugas penting yang hadir di waktu yang bersamaan.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa selain menikah dan membina kehidupan berkeluarga, tugas perkembangan lainnya yang dihadapi oleh individu dewasa awal adalah bekerja dan berkarir. Hal ini berarti bahwa semua individu dewasa awal dituntut untuk bekerja, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hampir sebagian besar individu dewasa awal berkecimpung dalam dunia kerja, baik laki-laki maupun wanita.

Abad 21 dicirikan dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut sangat terbuka bagi para wanita (Bhatnagar & Rajadhyaksha, 2001). Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para wanita. Pendidikan dipergunakan sebagai salah satu ukuran dari tingkat kemampuan sumber daya manusia yang menjadi bekal dalam memasuki lapangan pekerjaan (dalam Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999). Seiring dengan tingginya tingkat pendidikan dewasa ini, banyak wanita usia dewasa awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Peran pendidikan terhadap aspirasi untuk bekerja ditambahkan Papalia, Olds & Feldman (1998) dengan menyatakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi jarang menjadi pengangguran dibandingkan berpendidikan rendah.


(4)

Banyaknya wanita yang bekerja setelah mereka menyelesaikan pendidikan tingginya, membawa akibat bagi tugas perkembangan lain. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dijalani, semakin berambisi pula para wanita untuk menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen terhadap karir dan penundaan terhadap pernikahan (Betz, 1993; Spain & Bianchi, 1996). Namun demikian, Bridges (1997) mengatakan meskipun banyak wanita bekerja yang menunda untuk menikah, mereka tetap memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen pernikahan dalam hidup.

Bagi wanita, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan (Rini, 2002).

Disamping kebutuhan aktualisasi diri, wanita bekerja di luar rumah diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka (Rini, 2002). Kebutuhan finansial ini berkaitan dengan kesiapan sosial ekonomi sebelum memasuki pernikahan (Walgito, 2000). Hal ini diperkuat oleh Smock (2003) bahwa faktor sosial ekonomi menjadi faktor yang diharapkan wanita dalam pernikahan. White & Rogers (2000) mengatakan bahwa wanita yang telah bekerja sebelum menikah biasanya akan terus melanjutkan bekerja setelah ia menikah karena


(5)

kontribusi wanita dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat meningkatkan keutuhan rumah tangga.

Fenomena yang berkembang di masyarakat banyak wanita bekerja yang belum menikah merasa ragu dan bimbang tentang kesuksesan mereka memasuki kehidupan berumah tangga. Kecenderungan yang terjadi adalah penundaan pernikahan.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas muncul suatu fenomena yang patut untuk dipertanyakan yaitu “bagaimanakah kesiapan menikah wanita dewasa awal yang bekerja? Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kesiapan mereka untuk menikah ?”


(6)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Kesiapan Menikah

1. Pengertian Kesiapan Menikah

Sebelum diuraikan mengenai pengertian kesiapan menikah, terlebih dahulu diuraikan pengertian dari pernikahan itu sendiri.

Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Olds, & Feldman, 1998).

Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat, yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan sebagai isteri.

Pernikahan menurut Dariyo (2003) adalah ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holy relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang wanita telah diakui secara sah dalam hukum agama.


(7)

Kesiapan menurut Chaplin (1989) adalah tingkat perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk mempraktekkan sesuatu.

Sementara itu Corsini (2002) menyatakan bahwa kesiapan adalah berkembang atau mempersiapkan diri dalam belajar dan memperoleh beberapa tugas perkembangan atau keahlian khusus berdasarkan perkembangan fisik, sosial dan intelektual.

Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah adalah kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama, hukum dan masyarakat.

2. Kriteria Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting agar tugas-tugas perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi.

Kesiapan menikah tidak dipandang dari usia individu yang akan menikah (Duvall & Miller, 1985). Usia individu dalam menikah bervariasi disebabkan oleh


(8)

banyak hal, antara lain (1) Pencapaian pendidikan; (2) Perbedaan individu; (3) Perubahan keadaan sosial ekonomi.

Menurut Rapaport (dalam Duvall & Miller, 1985), seseorang dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria :

a. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.

b. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak. c. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan

seksual.

d. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim. e. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain. f. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.

g. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan.

h. Bersedia berbagi rencana dengan orang lain. i. Bersedia menerima keterbatasan orang lain. j. Realistik terhadap karakteristik orang lain

k. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi.


(9)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah

Walgito (2000) mengatakan bahwa kesiapan untuk memasuki dunia perkawinan dipengaruhi oleh :

a. Faktor fisiologis

Faktor fisiologis ini berkaitan dengan 3 hal yaitu segi kesehatan, keturunan dan sexual fitness.

1) Kesehatan, bahwa keadaan kesehatan seseorang dalam hubungannya dengan perkawianan merupakan satu faktor penting dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan.

2) Keturunan, masalah keturunan ini juga merupakan persoalan dalam perkawinan, karena dalam perkawinan pasangan suami isteri menginginkan keturunan yang baik oleh karena itu masalah keturunan ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.

3) Sexual Fitness, terkait dengan apakah individu dapat melakukan hubungan seksual secara wajar atau tidak.

b. Faktor sosial ekonomi

Faktor ini merupakan faktor yang perlu mendapat pertimbangan dalam perkawinan, sekalipun ada sementara pihak yang memandang hal ini bukanlah merupakan suatu faktor yang mutlak, namun perlu dipertimbangkan sebelum menikah.


(10)

c. Faktor agama dan kepercayaan

Dalam pernikahan faktor agama atau kepercayaan hendaknya menjadi perhatian pasangan. Sebaiknya pasangan memiliki agama yang sama. Dengan kesamaan agama maka akan meminimalkan munculnya perbedaan yang terkait dengan agama tersebut.

d. Faktor psikologis

Kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang dituntut dalam perkawinan. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah kematangan emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, sikap saling pengertian, saling mengerti akan kebutuhan masing-masing pihak, dapat saling memberi dan menerima kasih sayang, sikap saling mempercayai, adanya keterbukaan dalam komunikasi, kesiapan diri untuk lepas dari orang tua untuk hidup mandiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan seorang individu untuk menikah. Faktor-faktor tersebut yaitu fisiologis, sosial ekonomi, agama dan kepercayaan serta psikologis.


(11)

B Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock,1990).

Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung jawabnya tentu makin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orang tuanya (Dariyo, 2003).

Hurlock (1990) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.

Vaillant (dalam Papalia,dkk 1998) membagi tiga masa dewasa awal yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30 – 40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi (sekitar usia 40


(12)

tahun) merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak dan berusia antara 20 hingga 40 tahun.

2. Karakteristik Masa Dewasa Awal

Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tersendiri. Seperti halnya tahap perkembangan lain, masa dewasa awal ditandai dengan berbagai karakteristik khas. Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara fisik, seorang dewasa muda (young adulthood) menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik, cepat dan proaktif.

Dalam perkembangan psikososial masa dewasa awal terdapat krisis intimacy versus isolation (Erikson, dalam Papalia, dkk. 1998). Pada masa dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila individu dewasa awal tidak mampu melakukannya, maka akan merasa kesepian dan krisis keterasingan (isolation).


(13)

Vaillant (dalam Papalia, dkk. 1998) mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan. Sekitar usia dua puluhan hingga tiga puluh individu dewasa awal mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun persahabatan yang erat. Vaillant (dalam Papalia, Olds & Feldman, 1998) mengidentifikasi empat karakter dari masa dewasa awal sebagai mekanisme adaptasi yaitu menjadi matang, tidak matang, psikosis dan neurosis. Individu yang matang, secara fisik dan mental lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih puas dalam kehidupan pribadi dan pekerjaannya.

Sementara itu Havighurst (dalam Hurlock, 1990) menjelaskan beberapa tugas perkembangan pada masa dewasa awal, diantaranya mulai bekerja, memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan mulai membina keluarga.

Sejalan dengan pendapat tokoh-tokoh psikologi di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik masa dewasa awal yaitu masa yang ditandai dengan perkembangan fisik yang optimal, masa membangun hubungan baru dan membentuk komitmen pernikahan serta mulai bekerja.

C Wanita Bekerja

1 Pengertian Wanita Bekerja

Tingginya tingkat pendidikan dewasa ini membuat banyak wanita usia dewasa awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Abad 21 juga dicirikan


(14)

dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut sangat terbuka bagi para wanita (Bhatnagar & Rajadhyaksha, 2001).

Corsini (2002) mengartikan bekerja dalam berbagai kajian psikologi mengacu pada tingkah laku manusia yang memiliki tujuan, disiplin dan terstruktur dalam tugas dan waktu, memerlukan kemampuan fisik dan mental serta lebih merupakan suatu kewajiban daripada tindakan yang sukarela.

Suryadi (dalam Anoraga, 2001) mengartikan wanita bekerja sebagai wanita yang bekerja untuk menghasilkan uang atau lebih cenderung pada pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu peraturan sehingga memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain.

Dari Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah wanita yang melakukan kegiatan dengan tujuan tertentu, penuh disiplin dan terstruktur dalam tugas dan waktu untuk menghasilkan uang dan pemanfaatan kemampuan jiwa.

2. Faktor-Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja

Rini (2002) mengemukakan beberapa faktor yang mendorong wanita bekerja di luar rumah, yaitu :

a. Kebutuhan Finansial

Faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena dengan penghasilan yang diperoleh, dapat dipenuhi kebutuhan sehari-hari


(15)

b. Kebutuhan Relasional

Kebutuhan sosial dan relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja.

c. Kebutuhan Aktualisasi diri

Bekerja merupakan salah satu jalan untuk mengaktualisasika diri, sesuai dengan pendapat Maslow (dalam Rini 2002) bahwa salah satu kebutuhan bagi manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang dapat berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dengan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menghasilkan sesuatu, mendapatkan penghargaan, penerimaan dan prestasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong wanita bekerja yaitu kebutuhan finansial, kebutuhan relasional, dan kebutuhan aktualisasi diri.


(16)

BAB III PENUTUP

Masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Namun disisi lain juga dituntut untuk bekerja dan berkarir. Kondisi yang demikian berlaku untuk laki-laki dan wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita memiliki kewajiban yang sama untuk bekerja.

Ada banyak alasan yang mendorong seorang wanita bekerja di luar rumah, salah satunya yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Bekerja memberikan kesempatan kepada seorang wanita untuk mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif guna menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri. Kebanggan tesebut terutama terwujud jika prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya. Bila wanita berhasil menemukan arti dan identitas dirinya maka akan tmbul rasa percaya diri dan kebahagiaan pada dirinya.

Selain didorong oleh kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, alasan lain yang mendorong wanita bekerja di luar rumah adalah untuk memenuhi kebutuhan finansial. Kebutuhan finansial ini berkaitan dengan kesiapan sosial ekonomi sebelum memasuki pernikahan (Walgito, 2000). Hal ini diperkuat oleh Smock (2003) bahwa faktor sosial ekonomi menjadi faktor yang diharapkan wanita dalam pernikahan.


(17)

White & Rogers (2000) mengatakan bahwa wanita yang telah bekerja sebelum menikah biasanya akan terus melanjutkan bekerja setelah ia menikah karena kontribusi wanita dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat meningkatkan keutuhan rumah tangga.

Hal lain yang turut mendukung kesempatan wanita mendapatkan pekerjaan adalah semakin tingginya tingkat pendidikan yang mampu dan bisa diraih oleh seorang wanita terutama di Indonesia. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki membuat peluang wanita untuk bisa mendapatkan pekerjaan dengan level dan gaji yang lebih tinggi lebih terbuka lebar. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila banyak wanita masa kini yang menduduki level manajerial di berbagai perusahaan.

Kondisi dimana wanita memiliki peluang untuk bisa bersaing di pasar kerja lokal, nasional maupun internasional membuat mereka mampu mendapatkan penghasilan yang memuaskan. Hal ini membuat mereka cukup mapan secara ekonomi. Dengan demikian seharusnya mereka menjadi lebih siap untuk bisa memasuki jenjang pernikahan karena tidak lagi dibebani oleh masalah financial. Namun fenomena yang terjadi belakangan ini justru sebaliknya. Meskipun wanita bekerja secara umum telah mapan secara ekonomi, sebagian dari mereka masih merasa tidak siap untuk menikah dan yang terjadi adalah penundaan pernikahan.

Adanya ketakutan menghadapi krisis pernikahan dan berujung perceraian merupakan hal/kondisi yang membuat wanita bekerja ragu tentang kesiapan menikah mereka. Ditambah lagi maraknya perceraian yang dipublikasikan di media massa saat


(18)

ini sehingga perceraian dianggap menjadi fenomena biasa (“Mengapa Takut Menikah”, 2002).

Menurut Walgito (2003), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kesiapan seseorang memasuki dunia pernikahan.

Salah satu penyebab wanita bekerja memutuskan untuk menunda pernikahan adalah keraguan dapat berbagi secara mental dan emosional dengan pasangan. Ketidaksiapan menikah yang dimiliki wanita bekerja termanifestasi dengan adanya ketakutan menghadapi krisis perkawinan serta ragu tentang kemampuan mereka berbagi secara emosional dengan pasangannya kelak (Kuntowati, 2003).

Duvall (1993) mengatakan bahwa salah satu hal yang harus dipersiapkan sebelum memasuki jenjang pernikahan adalah kemampuan menguasai diri secara emosional. Kemampuan menguasai diri secara emosional ini menurut Walgito (2000) berkaitan dengan kesiapan psikologis dalam memasuki pernikahan yaitu memiliki kematangan emosi. Lebih lanjut Walgito (2000) menyatakan apabila individu telah matang emosinya dan telah mampu mengendalikan emosinya, maka individu akan berpikir secara obyektif sehingga dapat melihat permasalahan yang terjadi dalam kehidupan khususnya kehidupan rumah tangga secara baik dan obyektif pula. Hal ini diperkuat oleh Larson (2000) bahwa kematangan emosi sangat berperan dalam mengurangi konflik baik pada pasangan yang sedang menjalin hubungan intim maupun mengurangi tingkat perceraian pada pasangan suami istri.

Selain masalah kematangan emosi dan kesiapan psikologis, kondisi kesehatan seorang individu juga turut mempengaruhi kesiapannya untuk memasuki jenjang


(19)

pernikahan. Individu yang merasa dirinya kurang/tidak memiliki kondisi kesehatan yang prima cenderung untuk ragu melangkah menuju jenjang pernikahan. Misalnya, individu dengan status kesehatan yang buruk, memiliki beberapa riwayat penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, cenderung merasa takut untuk menikah dengan individu lain.

Masalah keturunan juga merupakan persoalan dalam perkawinan, karena dalam perkawinan pasangan suami isteri menginginkan keturunan yang baik oleh karena itu masalah keturunan ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian. Individu wanita yang merasa kurang subur atau berasal dari keturunan yang memiliki riwayat sulit memiliki keturunan, cenderung lebih merasa takut untuk menikah dibanding dengan wanita yang berasal dari keluarga yang subur. Atau, wanita yang merasa tidak siap untuk memiliki anak/keturunan juga cenderung takut untuk mengikat komitmen dalam ikatan perkawinan.

Hal lain yang juga turut mempengaruhi kesiapan menikah pada seorang individu adalah Sexual Fitness, terkait dengan apakah individu dapat melakukan hubungan seksual secara wajar atau tidak. Individu yang memiliki masalah seksual seperti disfungsi ereksi (pada pria) dan vaginismus (pada wanita) cenderung lebih merasa kurang siap untuk mengikat tali perkawinan dengan individu lainnya.

Dalam pernikahan faktor agama atau kepercayaan juga hendaknya menjadi perhatian pasangan. Sebaiknya pasangan memiliki agama yang sama. Dengan kesamaan agama maka akan meminimalkan munculnya perbedaan yang terkait dengan agama tersebut.


(20)

Dengan memperhatikan segala faktor-faktor tersebut di atas, individu khususnya para wanita bekerja, diharapkan mampu mengatasi ketidaksiapannya untuk menikah. Untuk mengethaui apakah anda telah siap menikah atau tidak, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan :

1. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.

2. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak. 3. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual. 4. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.

5. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain. 6. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.

7. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan. 8. Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.

9. Bersedia menerima keterbatasan orang lain. 10. Realistik terhadap karakteristik orang lain

11. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi.

12. Bersedia menjadi suami atau isteri yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya dipahami bahwa pernikahan yang mendasari pembentukan suatu keluarga dapat diumpamakan sebagai suatu perjalanan panjang yang penuh kebahagiaan dan memuaskan apabila dipersiapkan secara matang, sebaliknya dapat menyebabkan distress dan tekanan batin jika tidak dipersiapkan dengan matang


(21)

(Gunarsa, 2002). Kesiapan menikah dapat membuat suatu dunia yang berbeda dan dapat memberikan lebih banyak kebahagiaan bagi pasangan yang menikah (Silliman dalam Rahmi, 2003). Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki kesiapan menikah yang lebih baik, artinya mereka mampu mengatasi perubahan-perubahan dan beradaptasi setelah memasuki pernikahan.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. (2001). Psikologi kerja. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Betz, N. (1993). Womens’career development, psychology of women : A Handbook of Issues and Theories. Wetsport CT : Greenwood.

Bhatnagar, D., & Rajadyaksha, U. (2001). Attitudes toward work and family roles and their implication for career growth of women. Sex Roles : A Journal of Research. [On-line serial] Available FTP: findarticles.com /p/articles/mi_m2294/is_2001_oct/ai_85176435/pg_6.

Bridges, J.S. (1997). College female’s perception of adult rolesand occupational fields of women, Sex Roles : A Journal of Research [On-line] Available FTP: findarticles.com/ p/articles/ mi_m2334/ is_1987_jun/ ai_8512425/ pg_15.

Chaplin, J.P. (1989). Kamus lengkap psikologi. Jakarta : Rajawali Press. Corsini. (2002). The dictionary of psychology London : Macmillan.

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Duvall, E.M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development, (9th Ed) NY. Harper & Row Publishers.

Hurlock, E.B. (1990). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Indikator Sosial Wanita Indonesia. (1999). Badan Pusat Statistik. Jakarta : BPS. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman R.D. (1998). Human development (7th Ed).

USA. Mc.Graw Hill Companies.

Rini, J.F. (2002). Wanita bekerja. [On-line] Available FTP: e-psikologi.com .

Smock, P. (2003). Income and education linked to marriage plans-relationship. psychology today. [On-line] Available FTP:findarticles.com/p/articles/ mi_m1175/is_2_36/ai_100736606.

Spain, D., & Bianchi, S.M. (1996). Balancing act: motherhood, marriage, and employment among american women. New York : Russel Sage Foundation.


(23)

Walgito, B (2000). Psikologi sosial suatu pengantar. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

White, L. & Rogers, S.J. (2000). Economic circumstances and family outcomes : A review of the 1990’s. Journal of Marriage and The Family [On-line] Available FTP: ask.com.


(24)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat diselesaikan di tengah aktivitas yang tiada hentinya. Makalah ini ditulis dengan tujuan memenuhi persyaratan pengurusan fungsional sebagai staf pengajar di Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penulis juga berharap agar tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi banyak pihak terutama para wanita dewasa awal yang bekerja sehubungan dengan kesiapan merek untuk menikah.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya penulis mengharapkan masukan dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami dan anak-anak tercinta yang telah menyemangati hingga makalah ini dapat diselesaikan. Kepada rekan-rekan sejawat di PS Psikologi USU yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih yang mendalam untuk Pak Iskandar yang senantiasa mengingatkan dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan makalah ini.

Medan, 21 September 2006

Ika Sari Dewi, S.Psi NIP. 132 307 62


(25)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….……… ...i

DAFTAR ISI ...………..ii

BAB I PENDAHULUAN ………...……….1

BAB II LANDASAN TEORI ………...………….5

A. Kesiapan Menikah ... ...5

1. Pengertian Kesiapan Menikah ...5

2. Kriteria Kesiapan Menikah ...6

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah ...8

B. Dewasa Awal ...10

1. Pengertian Dewasa Awal ………...10

2. Karakteristik Masa Dewasa Awal …………...11

C. Wanita Bekerja ……...12

1. Pengertian Wanita Bekerja ...12

2. Faktor-faktor yang Mendorong Wanita Bekerja ...13

BAB III. PENUTUP ……… ...………...15 DAFTAR PUSTAKA


(1)

Dengan memperhatikan segala faktor-faktor tersebut di atas, individu khususnya para wanita bekerja, diharapkan mampu mengatasi ketidaksiapannya untuk menikah. Untuk mengethaui apakah anda telah siap menikah atau tidak, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan :

1. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.

2. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak. 3. Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual. 4. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.

5. Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain. 6. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.

7. Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan. 8. Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.

9. Bersedia menerima keterbatasan orang lain. 10. Realistik terhadap karakteristik orang lain

11. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi.

12. Bersedia menjadi suami atau isteri yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya dipahami bahwa pernikahan yang mendasari pembentukan suatu keluarga dapat diumpamakan sebagai suatu perjalanan panjang yang penuh kebahagiaan dan memuaskan apabila dipersiapkan secara matang, sebaliknya dapat menyebabkan distress dan tekanan batin jika tidak dipersiapkan dengan matang

Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository © 2006


(2)

(Gunarsa, 2002). Kesiapan menikah dapat membuat suatu dunia yang berbeda dan dapat memberikan lebih banyak kebahagiaan bagi pasangan yang menikah (Silliman dalam Rahmi, 2003). Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki kesiapan menikah yang lebih baik, artinya mereka mampu mengatasi perubahan-perubahan dan beradaptasi setelah memasuki pernikahan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, P. (2001). Psikologi kerja. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Betz, N. (1993). Womens’career development, psychology of women : A Handbook of Issues and Theories. Wetsport CT : Greenwood.

Bhatnagar, D., & Rajadyaksha, U. (2001). Attitudes toward work and family roles and their implication for career growth of women. Sex Roles : A Journal of Research. [On-line serial] Available FTP: findarticles.com /p/articles/mi_m2294/is_2001_oct/ai_85176435/pg_6.

Bridges, J.S. (1997). College female’s perception of adult rolesand occupational fields of women, Sex Roles : A Journal of Research [On-line] Available FTP: findarticles.com/ p/articles/ mi_m2334/ is_1987_jun/ ai_8512425/ pg_15.

Chaplin, J.P. (1989). Kamus lengkap psikologi. Jakarta : Rajawali Press. Corsini. (2002). The dictionary of psychology London : Macmillan.

Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Duvall, E.M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development, (9th Ed) NY. Harper & Row Publishers.

Hurlock, E.B. (1990). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Indikator Sosial Wanita Indonesia. (1999). Badan Pusat Statistik. Jakarta : BPS. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman R.D. (1998). Human development (7th Ed).

USA. Mc.Graw Hill Companies.

Rini, J.F. (2002). Wanita bekerja. [On-line] Available FTP: e-psikologi.com .

Smock, P. (2003). Income and education linked to marriage plans-relationship. psychology today. [On-line] Available FTP:findarticles.com/p/articles/ mi_m1175/is_2_36/ai_100736606.

Spain, D., & Bianchi, S.M. (1996). Balancing act: motherhood, marriage, and employment among american women. New York : Russel Sage Foundation.

Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository © 2006


(4)

Walgito, B (2000). Psikologi sosial suatu pengantar. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

White, L. & Rogers, S.J. (2000). Economic circumstances and family outcomes : A review of the 1990’s. Journal of Marriage and The Family [On-line] Available FTP: ask.com.


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat diselesaikan di tengah aktivitas yang tiada hentinya. Makalah ini ditulis dengan tujuan memenuhi persyaratan pengurusan fungsional sebagai staf pengajar di Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penulis juga berharap agar tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi banyak pihak terutama para wanita dewasa awal yang bekerja sehubungan dengan kesiapan merek untuk menikah.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya penulis mengharapkan masukan dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini. Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami dan anak-anak tercinta yang telah menyemangati hingga makalah ini dapat diselesaikan. Kepada rekan-rekan sejawat di PS Psikologi USU yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih yang mendalam untuk Pak Iskandar yang senantiasa mengingatkan dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan makalah ini.

Medan, 21 September 2006

Ika Sari Dewi, S.Psi NIP. 132 307 62

Ika Sari Dewi : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, 2006 USU Repository © 2006


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….……… ...i

DAFTAR ISI ...………..ii

BAB I PENDAHULUAN ………...……….1

BAB II LANDASAN TEORI ………...………….5

A. Kesiapan Menikah ... ...5

1. Pengertian Kesiapan Menikah ...5

2. Kriteria Kesiapan Menikah ...6

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah ...8

B. Dewasa Awal ...10

1. Pengertian Dewasa Awal ………...10

2. Karakteristik Masa Dewasa Awal …………...11

C. Wanita Bekerja ……...12

1. Pengertian Wanita Bekerja ...12

2. Faktor-faktor yang Mendorong Wanita Bekerja ...13

BAB III. PENUTUP ……… ...………...15 DAFTAR PUSTAKA