HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERNIKAHAN DENGAN KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK USIA REMAJA.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PERNIKAHAN DENGAN KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN ANAK USIA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Dyta Pratikna B77212099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala kepuasan pernikahan dan skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Subjek penelitian berjumlah 130 orang responden dari jumlah populasi sebanyak 1.307 melalui teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja, dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Arah hubungan yang positif dengan koefisien korelasi sebesar 0,520 yang berarti bahwa semakin tinggi kepuasan pernikahan maka akan diikuti semakin tinggi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja. Kata Kunci : Kepuasan Pernikahan, Keterlibatan Ayah, Remaja


(7)

xiii

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the connection between marriage satisfactions with father’s involvement for teenager. This research was correlation research by using data collection technique of scale marriage satisfaction and scale of father involvement. These subjects were 130 respondents of a population of as many as 1.307 through purposive sampling technique. Data analysis technique which is used was correlation analysis product moment. The research results showed that there was a correlation between marriage satisfactions with father’s involvement in teenager, with the significance of 0,000 < 0,05 which means Ho was rejected and Ha accepted. The positive relationship with correlation coefficient showed 0,520 that mean the higher of marriage satisfactions would follow by the higher of father’s involvement in teenager.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 18

1. Definisi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 18

2. Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 24

B. Kepuasan Pernikahan ... 27

1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 27

2. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan ... 29

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 35

C. Remaja ... 36

1. Definisi Remaja ... 36

2. Karakteristik Perkembangan Masa Remaja ... 37

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ... 45

D. Hubungan Antara Kepuasan Pernikahan dengan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak Usia Remaja ... 49

E. Kerangka Teori ... 51

F. Hipotesis ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional ... 53

1. Variabel Penelitian ... 53

2. Definisi Operasional ... 53

B. Populasi,Sampel, dan Teknik Sampling ... 54

1. Populasi ... 54


(9)

vii

1. Skala Pengukuran ... 57

D. Validitas dan Reliabilitas ... 63

1. Validitas ... 63

2. Realibilitas ... 69

E. Analisis Data ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 74

1. Deskripsi Subjek ... 74

2. Deskripsi Data ... 78

3. Reliabilitas Data ... 88

4. Uji Normalitas ... 89

5. Uji Linieritas ... 90

6. Uji Hipotesis ... 91

B. Pembahasan ... 92

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 98

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Penilaian Pertanyaan Favorable dan Unfavorable Skala

Kepuasan Pernikahan ... 58

Tabel 2 : Penilaian Pertanyaan Favorable dan Unfavorable Skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan ... 58

Tabel 3 : Blue Print Uji Coba Skala Kepuasan Pernikahan ... 59

Tabel 4 : Blue Print Uji Coba Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 62

Tabel 5 : Sebaran Aitem Valid dan Gugur Skala Kepuasan Pernikahan 64

Tabel 6 : Distribusi Aitem Skala Kepuasan Pernikahan Setelah Dilakukan Uji Coba ... 65

Tabel 7 : Sebaran Aitem Valid dan Gugur Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan ... 67

Tabel 8 : Distribusi Aitem Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Setelah Dilakukan Uji Coba ... 68

Tabel 9 : Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba ... 70

Tabel 10 : Responden Berdasarkan Usia Pernikahan ... 74

Tabel 11 : Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 75

Tabel 12 : Responden Berdasarkan Penghasilan ... 75

Tabel 13 : Responden Berdasarkan Masa Perkenalan ... 76

Tabel 14 : Responden Berdasarkan Landasan Menikah ... 77

Tabel 15 : Responden Berdasarkan Lama Jam Kerja ... 77

Tabel 16 : Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Remaja ... 78

Tabel 17 : Deskripsi Data ... 78

Tabel 18 : Deskripsi Data Berdasarkan Usia Pernikahan Responden ... 79

Tabel 19 : Deskripsi Data Berdasarkan Lama Masa Perkenalan ... 80

Tabel 20 : Deskripsi Data Berdasarkan Landasan Menikah ... 82

Tabel 21 : Deskripsi Data Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 83

Tabel 22 : Deskripsi Data Berdasarkan Penghasilan ... 84

Tabel 23 : Deskripsi Data Berdasarkan Lama Jam Kerja Responden ... 86

Tabel 24 : Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Remaja ... 87

Tabel 25 : Hasil Uji Estimasi Reliabilitas ... 88

Tabel 26 : Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov ... 90

Tabel 27 : Hasil Uji Linieritas ... 90


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Bagan Konseptual Teori ... 52 Gambar 2 : Data Jumlah Ayah yang Memiliki Anak Remaja ... 55 Gambar 3 : Grafik Uji Normalitas ... 89


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang tua menjadi pendidikan utama bagi seorang anak. Tanggung jawab dalam pengasuhan menjadi kewajiban bersama oleh kedua orang tua. Tidak hanya mengasuh, orang tua juga sebagai pendidik dan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Namun, harapan ini seringkali terbatasi oleh berbagai kendala baik dari pihak ayah maupun ibu, sehingga peran sebagai orang tua tidak bisa dijalankan bersama dengan baik. Pihak ayah nampaknya menjadi pihak yang memiliki kendala lebih besar dalam pemberian pengasuhan, mengingat segala keterbatasan waktu yang dimilikinya dan tanggung jawab besar dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga.

Dalam gambaran klasik, sosok ayah seringkali digambarkan sebagai orang kedua dalam pengasuhan anak. Di berbagai keadaan, umumnya sosok ibu lebih utama pada aktivitas keluarga yang berlangsung kontinu, terutama mengenai pengasuhan anak. Citra ayah telah digambarkan sebagai pencari nafkah utama yang banyak menghabiskan waktunya diluar rumah, sehingga komunikasi yang terjalin dengan anak terbatas. Pandangan ini nampaknya sudah terkukuh dalam masyarakat kita saat ini.

Hal inipun juga terjadi di Desa Suko Kabupaten Sidoarjo. Kondisi geografis Desa yang dekat dengan beberapa pabrik dan perusahaan yang cukup besar membuat mayoritas penduduk utamanya kepala rumah tangga


(13)

2

atau ayah lebih memilih bekerja sebagai pegawai swasta. Seperti yang kita ketahui, pada umumnya pegawai swasta bekerja tujuh hingga delapan jam kerja dalam sehari. Itu berarti ada empat puluh jam dalam satu minggu yang dihabiskan oleh seorang ayah untuk bekerja di luar rumah. Tidak hanya itu, tuntutan kebutuhan yang besar dan gaya hidup yang cukup tinggi membuat banyak ayah menghabiskan waktunya untuk bekerja. Akibatnya, keluarga menjadi salah satu dampak dari hal ini. Intensitas dan kesempatan bersama keluarga, terlebih dalam pengasuhan anak menjadi sangat kurang. Hal inilah yang menjadikan sosok ayah seringkali dikesampingkan dalam hal pengasuhan anak.

Fenomena di lapangan banyak ayah yang tidak dapat memberikan curahan kasih sayang secara maksimal kepada anak-anaknya, karena keterbatasan waktu untuk menjalin komunikasi. Tanggung jawab seorang ayah untuk mencari nafkah diluar rumah banyak menyita waktu sehingga mengurangi interaksi dengan anak. Sosok ayah umumnya lebih dipandang sebagai pendidik kedua setelah ibu. Peran ayah seringkali baru dibutuhkan ketika dalam keadaan yang mendesak atau sebagai eksekutor terakhir dalam pengambilan sebuah keputusan yang menyangkut tentang anak.

Namun seiring perkembangan zaman, peran pencari nafkah saat ini tidak hanya didominasi oleh kaum lelaki, tetapi juga oleh kaum perempuan. Akhir-akhir ini jumlah wanita yang bekerja di luar rumah terus meningkat. Seperti data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2012 dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


(14)

3

Republik Indonesia, menunjukkan persentase perempuan yang bekerja sebesar 47,91 persen. Persentase perempuan yang bekerja di perkotaan sebesar 44,74 persen, sedangkan di pedesaan sebesar 51,10 persen. Sedangkan persentase perempuan yang mengurus rumah tangga secara total adalah 36,97 persen, dilihat menurut daerah tempat tinggal persentase perempuan yang mengurus rumah tangga di perkotaan sebesar 38,52 persen, sedangkan di pedesaan sebesar 35,41 persen.

Dengan terlibatnya wanita dalam peran publik, maka tanggung jawab sebagai ibu dalam pengasuhan anak tidak lagi seutuhnya dipegang teguh. Dengan motif mencari kepuasan diri atau karena tuntutan ekonomi, banyak wanita dewasa bekerja purnawaktu di luar rumah. Dari fenomena ini tentu memunculkan persoalan baru terhadap pengasuhan anak karena mulai bergesernya peran ibu sebagai pengasuh utama. Alternatif utamanya ialah keterlibatan ayah. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan menjadi sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan permasalahan yang timbul akibat kedua orang tua yang sama-sama bekerja. Ayah diharapkan mampu terlibat aktif dalam pengasuhan anak.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan umumnya dikenal dengan istilah paternal involvement atau father involvement. Lamb (2010) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan merupakan keikutsertaan positif ayah dalam kegiatan yang berupa interaksi langsung dengan anak-anaknya, memberikan kehangatan, melakukan pemantauan dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggungjawab terhadap keperluan dan kebutuhan


(15)

4

anak. Keterlibatan ayah dapat memberikan pengaruh positif langsung bagi perkembangan anak. Beberapa hal yang dapat menjadi perhatian dalam pengasuhan ayah yaitu dalam perkembangan kognitif, emosional, sosial, dan moral anak, gaya interaksi dan juga kelekatan anak.

Namun, terlepas dari keikutsertaan istri dalam peran publik, peranan ayah itu sendiri memang penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Dagun (2002) bahwa seorang ayah dapat mengungkapkan sikap melindungi, sikap memelihara, rasa kasih sayang, rasa cinta kepada anaknya sehingga membawa dampak yang berarti dalam perkembangan anak selanjutnya. Kelak anak lebih mudah bergaul dengan orang lain.

Belsky dalam Sanderson & Thompson (2002) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan, yaitu 1) Karakteristik personal, misalnya harga diri, kemampuan sosial, introvert/ekstrovert, sikap, pengetahuan, dan keterampilan, 2) Karakteristik sosial-kontekstual, misalnya hubungan pernikahan, kepuasan akibat adanya dukungan sosial, interaksi kerja-keluarga, 3) Karakteristik anak, misalnya usia, urutan kelahiran, jenis kelamin, temperamen anak.

Lamb (2010) mengemukakan dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan diantaranya, 1) Engagement, yaitu pengalaman ayah berinteraksi langsung dan melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main, meluangkan waktu bersama, dan seterusnya, 2) Accessibility, kehadiran atau kesediaan ayah untuk anak. Orang tua ada di dekat anak tetapi tidak


(16)

5

berinteraksi secara langsung dengan anak, 3) Responsibility, sejauhmana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan merencanakan masa depan anak.

Tahap perkembangan anak yang banyak membutuhkan perhatian ialah pada tahap masa remaja. Pada tahap ini seorang anak mulai memasuki masa transisi menuju kedewasaan. Banyak perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Faktor lingkungan tentunya juga sangat mempengaruhi perubahan pada remaja. Rasa ingin tahu yang besar serta pengaruh teman sebaya menjadi faktor yang sangat dominan dalam masa ini. Apabila pada masa ini anak tidak mendapat perhatian dari orang tua, maka besar kemungkinan anak dapat terjerumus dalam hal-hal yang menyimpang seperti kenakalan remaja. Masa remaja seringkali dianggap sebagai masa krusial. Menurut Jean Piaget dalam Hurlock (1980) masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Gunarsa (2001) membagi tahapan perkembangan remaja dalam tiga tahapan, yaitu 1) remaja awal yang berkisar antara usia dua belas hingga empat belas tahun, 2) remaja tengah berkisar antara usia lima belas hingga tujuh belas tahun, 3) remaja akhir berkisar antara usia delapan belas hingga dua puluh tahun.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di usia remaja tentu sangat dibutuhkan, mengingat masa ini merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Hal ini diperkuat dalam kutipan Hurlock (1980) yang


(17)

6

mengungkapkan bahwa dengan datangnya masa remaja, terdapat beberapa perubahan yang terjadi dalam diri remaja sebagai proses peralihannya, yaitu meningginya emosi, perubahan minat dan peran dalam kelompok sosial, dan sikap ambivalen remaja. Perkembangan anak akan menjadi optimal ketika orang tua memberikan perhatian dan pengasuhan yang optimal. Anak tentu akan senang ketika orang tuanya lebih sering meluangkan waktu untuk mengajaknya mengobrol atau sekedar berbagi cerita terutama terhadap ayah yang memiliki sedikit waktu karena disibukkan oleh urusan pekerjaan.

Dari beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, salah satu faktor yang sangat berperan penting ialah kepuasan pernikahan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian yang sedang berkembang menunjukkan fakta-fakta meyakinkan bahwa seorang ibu atau ayah dalam menjalani hubungan pernikahan saat memasuki masa transisi sebagai orangtua menganggap masa ini sebagai salah satu masa yang paling susah untuk pasangan. Tidak hanya itu, sedikitnya waktu yang diluangkan untuk menikmati waktu bersama dan beraktivitas sebagai rekan dalam keluarga dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan (Menendez, Hidalgo, Jimenez, dan Moreno, 2011).

Adapun penelitian lain yang dapat menguatkan yakni penelitian yang dilakukan Boney, Kelley & Levant dalam Lee dan Doherty (2007) menyebutkan bahwa ayah dengan kepuasan perkawinan yang tinggi berhubungan dengan kegiatan umum dalam pengasuhan anak. Dari uraian urgensi diatas serta didukung oleh penelitian yang sudah pernah dilakukan


(18)

7

maka semakin menguatkan bahwa faktor kepuasan pernikahan sangat mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.

Menurut Rowe dalam Khan dan Aftab (2013) kepuasan pernikahan ialah jumlah kepuasan yang dirasakan oleh pasangan tentang hubungan mereka. Hal ini didukung oleh Sadarjoen dalam Wardhani (2012) kepuasan perkawinan dapat tercapai sejauh mana kedua pasangan perkawinan memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing dan sejauh mana kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan memberi peluang bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa sebelum perkawinan terlaksana.

Aspek-aspek yang terdapat dalam kepuasan perkawinan menurut Enrich Marital Satisfaction Scale (EMS) Fower & Olso dalam Sudarto (2014) adalah masalah kepribadian, peran yang setara, komunikasi, penyelesaian konflik, manajemen keuangan, kegiatan rekreasi, hubungan seksual, anak dan perkawinan, keluarga dan pertemanan, dan orientasi agama.

Rumah tangga yang harmonis tentu menjadi harapan bagi setiap pasangan. Salah satu kategori kebahagiaan dalam rumah tangga dapat dilihat dari bentuk kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh setiap pasangan. Kepuasan pernikahan dapat diperoleh dari sejauh mana setiap pasangan mampu memenuhi kebutuhan dalam rumah tangganya dan seberapa besar keduanya mampu memberikan kebebasan dalam memenuhinya. Kepuasan pernikahan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada kepuasan yang dirasakan oleh suami dalam masa pernikahannya.


(19)

8

Kepuasan pernikahan dalam penelitian ini ialah bentuk kepuasan yang dirasakan pasangan tentang hubungan mereka yang dapat mempengaruhi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Untuk mendukung penelitian ini, peneliti telah melakukan wawancara dengan dua orang responden yang berperan sebagai ayah dan telah memiliki anak di usia remaja. Responden satu mengungkapkan bahwa ketika seorang ayah puas dengan pernikahannya, maka secara tidak langsung ia akan melibatkan diri untuk ikut andil dalam pengasuhan anak. Sebagaimana cuplikan wawancara dibawah ini :

Hubungannya walaupun tidak langsung pasti tampak jelas. Seperti gini, kalau seorang menikah di awal ya, sudah tidak terjadi kepuasan, saya yakin sampek kebelakangpun tidak terjadi kepuasan. Termasuk juga dengan anaknya, tidak akan terjadi kepuasan apalagi mau mengasuh anaknya. Susah untuk melibatkan diri kalau mau ikut mengasuh anak. Karena dari awal sudah.. sudah apa ya.. kalau sudah warna merah sampai kebelakangpun juga akan tetap merahnya muncul, gak mungkin ndak. Tapi kalau di awal terjadi kepuasan, maka dibelakang juga akan terus sampek kebelakang merasa puas sama pernikahan ini. Walaupun, dari sekian persen bisa berubah tapi menurut saya pribadi kalau dari awal sudah tidak terjadi kecocokan pada akhirnya juga susah. Wong liat istrinya aja udah gak cocok kok ngapain ke anak-anaknya (Tri Seno, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Responden pertama juga menjelaskan bentuk keterlibatan ayah utamanya dalam pengasuhan remaja putri, sebagaimana dalam petikan wawancara berikut ini :

Yang dikhawatirkan ya itu tadi namanya anak perempuan, resikonya terlalu besar beda dengan anak laki-laki. Kalau keluar kita ngasih batas, mohon maaf takutnya sampek ke dunia-dunia yang tidak baik. Kalau kita tidak mengawasi, nanti resikonya terlalu panjang. Itu resikonya punya remaja perempuan. Jadi kita membatasi anak sampek jam setengah sepuluh. Di awal sudah diperingatkan bahwa, anak ini sudah besar, sudah tidak suka lagi diikuti ayah, kamu bergaul silahkan yang


(20)

9

baik, cari teman yang baik, kita ndak bisa bilang jangan ndak bisa. Kalau kita bilang jangan anak malah takut, pokoknya jam setengah sepuluh sudah sampai dirumah. Kalau pada waktu libur kita biasanya meluangkan waktu untuk berlibur bareng-bareng. Kita lebih berperan banyak dalam hal pendidikan dan kedisplinannya. Karena begini, ada urusan-urusan yang sekiranya dia bisa kita tidak bantu, hanya memberi arahan saja (Tri Seno, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Dari cuplikan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa seorang ayah yang memiliki anak remaja putri memiliki kekhawatiran yang sangat tinggi dibandingkan kepada anak laki-laki. Bentuk keterlibatan ayah di awal masa remaja putri yaitu dengan memberikan arahan mana tindakan yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diikuti mana yang tidak boleh. Selanjutnya ayah dapat memberikan keleluasaan terhadap pergaulan anak namun tetap masih dalam pantauan orang tua, seperti mengenali teman-temannya. Keterlibatan ayah umumnya lebih besar pada urusan yang menyangkut pendidikan dan kedisiplinan remaja. Hal ini dianggap penting karena sebagai pondasi utama dalam membentuk tingkah laku anak. Meskipun waktu yang diberikan untuk ayah tidak terlalu banyak, namun responden tetap meluangkan waktu untuk berlibur atau sekedar mendengarkan cerita anak-anaknya.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan responden dua, yaitu seorang ayah yang telah memiliki dua orang anak remaja putra. Berikut ini adalah cuplikan wawancara yang menggambarkan hubungan kepuasan pernikahan terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan remaja putra :

Kategori pertama saya merasa puas dengan pernikahan saya ketika saya diberi keturunan. Seorang istri bisa memberi keturunan. Karena anak itu


(21)

10

penting saya punya anak sebagai tabungan saya kelak. Yang bisa saya didik agar bisa mendoakan saya nanti. Karena tiga amalan yang tidak akan terputus setelah meninggal adalah shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Saya mau mendidik anak saya agar jadi anak yang sholeh. Caranya, ya karena saya terlalu sibuk dengan pekerjaan akhirnya saya les kan mengaji. Tapi meskipun sesibuk apapun saya bekerja, setiap siang hari saya akan tetap menelpon istri dan anak-anak saya untuk melakukan sholat. Karena sholat itu tiangnya agama, pondasinya itu harus kokoh. Jadi saya mengajarkan anak saya itu lebih ke agamanya harus kuat. Apalagi sekarang ini pergaulan anak remaja gak karu-karuan sejak adanya teknologi yang tambah canggih. Tapi anak saya tetap saya bekali dengan pondasi agama yang kuat. Selain itu, bentuk kepuasan saya bisa lewat menghargai masakan istri, meskipun kadang kurang garam kurang gula, tapi tetep saya makan. Itu adalah bentuk penghargaan terhadap istri. Terus kalau ada masalah saya dudukkan semua anggota keluarga saya, kita selesaikan bersama. Jadi kita itu menjalani rumah tangga iku enak.. semua-semua fairplay (Edi Gombloh, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Responden dua juga menunjukkan bentuk keterlibatan ayah untuk ikut andil dalam pengasuhan anak usia remaja putra :

Meskipun saya sibuk kerja bahkan sampai larut malam, tapi saya tetap ikut andil dalam hal pendidikan anak saya. Contohnya saja, kemaren saya ngarahkan anak saya yang pertama, le.. yo opo lek sampeyan masuk SMK otomotif ae, tapi ternyata dia punya pilihannya sendiri ke TKJ. Yasudah ndak papa, yang orang tua ikut andil mengarahkan. Kayak hari ini tadi, saya ajari anak saya buat liat ikut saya kerja. Biar tahu gimana bapaknya kerja keras nyari uang. Saya juga gak biasakan anak saya buat minta uang mbak. Kayak anak saya yang kedua, kemaren pas ulang tahun ndak saya belikan makanan sing enak-enak, tapi dia punya keinginan pengen beli printer tapi uangnya kurang. Nah bentuk dukungan saya, saya tambahin uang tabungannya biar dia bisa beli printer. Selain itu barangnya berguna dan ia butuhkan saya akan dukung.

Sebenarnya gak ada bedanya antara anak laki-laki sama perempuan. Meskipun anak saya laki-laki saya juga kasih batasan waktu. Jam setengah sepuluh anak-anak saya sudah dirumah. Saya sudah tenang kalau anak-anak saya sudah dirumah. Kayak kemaren pas anak saya baru pulang jam setengah sepuluh, yang pertama kali saya tanyakan, sudah sholat zim ? ndang sholat. Jadi itu yang pertama kali saya tanyakan. Saya juga sering ingatkan anak saya untuk hati-hati kalau diajak orang baru atau disuruh ngantarkan barang. Takutnya dia ditipu. Itu sih antisipasi saya saja.


(22)

11

Kalau ketika saya sudah pulang ternyata anak-anak saya sudah tidur semua, jalan terakhir yang saya ambil untuk melibatkan diri saya yaitu lewat berdoa mbak. Saya masuki kamarnya, saya doakan dia. Ya Allah jadikan anakku anak yang sholeh dan bertakwa kepada-Mu (Edi Gombloh, Ketapang-Desa Suko, 27/12/2015).

Dari cuplikan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa seorang ayah sebagian besar tentu ikut dalam pengasuhan anaknya. Terutama dalam hal pendidikan dan kedisiplinan. Selain itu, anak dianggap sebagai sumber rezeki. Seorang suami merasa puas dengan pernikahan ketika mereka telah dikaruniai anak yang kemudian mereka didik agar menjadi anak yang sholeh yang bisa mendoakan kedua orang tuanya. Dari kedua responden dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan remaja putra maupun putri tidak menunjukkan perbedaan jauh, hanya saja remaja perempuan lebih banyak membutuhkan perhatian karena cenderung rawan dengan pergaulan saat ini. Kedua responden juga menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan memiliki hubungan yang positif terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja.

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, Kaloeti, dan Karyono (2011) menunjukkan bahwa 86% tanggung jawab pengasuhan anak dilakukan dengan cara berbagi bersama istri. Dari 100 orang ada 6 orang yang menyatakan bahwa tugas mendidik dan mengasuh adalah tugas istri, 1 orang menyerahkan pengasuhan pada kerabat lain. Artinya, pengasuhan anak merupakan tugas dan tanggung jawab bersama suami dan istri. Ketika


(23)

12

hubungan kerjasama dalam pengasuhan anak berjalan dengan baik, maka akan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak.

Penelitian lain yang juga relevan terhadap penelitian ini ialah studi yang dilakukan Blair dalam Trahan dan Cheung (2012) yang menunjukkan kualitas partisipasi ayah cenderung akan lebih dipengaruhi oleh sedikit kepuasan pernikahan. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sanderson dan Thompson (2002) kepuasan belum cukup untuk menjelaskan porsi yang signifikan dari varian dalam tingkat keterlibatan ayah, dikarenakan desain penelitian yang tidak dapat menyajikan gambaran yang akurat akibat kendala waktu, peneliti mengukur hanya pada satu titik waktu sehingga dimungkinkan ada data yang diabaikan.

Dalam sebuah pernikahan hubungan suami istri tidak selamanya digambarkan selalu harmonis. Bila hal ini terjadi, maka kebahagiaan dalam hubungan rumah tangga menjadi sulit terjadi. Oleh karena itu penting kiranya setiap pasangan mendapatkan kepuasan dalam pernikahan untuk membangun keluarga yang bahagia, terlebih untuk sosok ayah. Seorang suami yang mempunyai kepuasan dalam pernikahannya, tidak akan segan untuk melakukan tanggung jawab dan memenuhi kebutuhan dalam rumah tangganya salah satunya kepentingan dalam pengasuhan anak.

Berdasarkan uraian, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kepuasan Pernikahan dengan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak Usia Remaja”.


(24)

13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah:

Apakah terdapat hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang ingin didapat adalah untuk mengetahui hubungan antara kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai kepuasan pernikahan dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan atau studi psikologi pada umumnya.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi orang tua khususnya bagi ayah tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan, sehingga dapat menumbuhkan kepekaan bagi ayah untuk melibatkan diri dalam pengasuhan anak utamanya usia remaja.

E. Keaslian Penelitian

Pentingnya memahami hubungan kepuasan pernikahan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak menjadikan cukup banyak peneliti


(25)

14

yang tertarik melakukan penelitian, terutama di luar negeri. Beberapa jurnal penelitian yang terpublikasi menunjukkan bahwa hubungan keduanya menarik untuk diteliti.

Penelitian terpublikasi di luar negeri diantaranya, Belsky dalam Lee dan Doherty (2007), menemukan hubungan positif dalam studi longitudinal pada 173 pasangan yang memiliki anak bayi dengan kisaran umur 3 dan 9 bulan. Hasil menunjukkan bahwa ayah dengan kepuasan pernikahan selama masa prenatal tertinggi lebih terlibat dalam perilaku pengasuhan baik secara kuantitas waktu maupun kualitas interaksinya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Boney, Kelley, & Levant dalam Lee dan Doherty (2007) tentang “A Model of Fathers’ Behavioral Involvement in Child Care in Dual-Earner Families”. Hasilnya menunjukkan bahwa ayah dengan kepuasan perkawinan tinggi berhubungan dengan partisipasi lebih dalam kegiatan umum pengasuhan anak.

Penelitian lain yang dilakukan oleh King dalam Lee dan Doherty (2007) tentang “The Influence of Religion on Fathers’ Relationships with

Their Children”. Hasil menunjukkan bahwa seorang laki-laki yang memiliki kualitas perkawinan yang baik akan lebih terlibat dengan anak-anaknya seperti kualitas hubungan, hubungan masa depan, hubungan usaha, dan sebagainya.

Disisi lain, terdapat dua penelitian yang menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan berhubungan negatif dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan, yaitu oleh Goth-Owens dalam Lee dan Doherty (2007) tentang “Marital


(26)

15

Satisfaction, Parenting Satisfaction, and parenting Behavior in Early

Infancy”. Hasil menunjukkan bahwa pada 25 keluarga yang memiliki anak bayi, diperoleh hubungan negatif antara kepuasan ayah dalam pernikahan dan perilakunya, seperti menggendong dan pemberian pengaruh positif.

Penelitian lainnya yaitu oleh Nangle dalam Lee dan Doherty (2007) tentang “Work and Family Variables as Related to Paternal Engagement, Responsibility, and Accessibility in Dual-Earner Couples with Young

Children”. Hasilnya menunjukkan bahwa 75 pasangan yang memiliki anak usia prasekolah, ditemukan bahwa kepuasan pernikahan ayah berhubungan negatif dengan tanggung jawab keseharian untuk kebutuhan anak dan aktivitasnya. Artinya lebih puas seorang ayah dalam pernikahannya maka lebih sedikit terlibat dengan anak-anak.

Di Indonesia, penelitian tentang hubungan kepuasan pernikahan dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak belum ditemukan. Penelitian yang pernah diteliti berkaitan dengan hubungan persepsi tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dengan perilaku moral anak di sekolah yang dilakukan oleh Safitri (2009). Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dengan perilaku moral anak di sekolah dengan nilai korelasi 0,599.

Purwindarini, Hendriyani, dan Deliana (2014) juga melakukan penelitian yang berjudul pengaruh keterlibatan ayah dalam pengasuhan terhadap prestasi belajar anak usia sekolah. Hasilnya menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan


(27)

16

terhadap prestasi belajar anak usia sekolah dengan nilai signifikansi 0,020. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan ditinjau dari tiap aspek keterlibatan yang tertinggi hingga rendah yaitu spiritual, sosial, intelektual, afektif, dan fisik.

Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Syarifah, Widodo, dan Kristiana (2012) tentang Hubungan persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan kematangan emosi pada remaja di SMA Negeri X. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa semakin positif persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka semakin tinggi tingkat kematangan emosi remaja. Dalam hal ini ayah dirasakan dan dinilai memberikan perhatian, meluangkan waktu, bersikap hangat serta melakukan pemantauan. Hubungan yang dekat tersebut membuat remaja mempersepsikan positif sehingga cenderung menjadikan ayahnya sebagai model dalam bersikap dan berperilaku.

Penelitian yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan pernah dilakukan oleh Ardhianita dan Andayani (2005), yang hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan kelompok yang menikah tanpa berpacaran dengan nilai mean 28,6563 lebih tinggi daripada kelompok yang menikah dengan berpacaran sebelumnya yang memiliki nilai mean 26,4063. Hal ini dapat saja disebabkan kelompok subjek yang tidak berpacaran sebelum menikah memiliki tingkat religiusitas yang tinggi dibandingkan kelompok subjek yang berpacaran.


(28)

17

Muslimah (2014) dalam penelitiannya juga menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan kepuasan pernikahan dengan nilai signifikansi sebesar 0,00 dan koefisien korelasi sebesar 0,9720. Artinya semakin tinggi tingkat komunikasi interpersonal maka akan diikuti semakin tingginya kepuasan pernikahan.

Melihat beberapa hasil penelitian yang terpublikasi baik diluar negeri maupun di Indonesia, persamaan yang muncul adalah topik keterlibatan ayah dalam pengasuhan, meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pertama, kategori subjek yang dipilih dalam penelitian ini adalah ayah yang mempunyai anak di usia remaja. Kedua, subjek dan lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda.

Penelitian ini dirasa penting mengingat topik yang dipilih sangat relevan dengan fenomena yang terjadi saat ini. Perkembangan zaman yang semakin modern, memberi pengaruh pada perilaku remaja yang seringkali menjadi kekhawatiran bagi orang tua. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia remaja sangatlah dibutuhkan untuk mengantisipasi perilaku-perilaku yang tidak diharapkan dari remaja itu sendiri. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui sejauh mana seorang ayah yang merasa puas dengan pernikahannya dapat melibatkan diri dalam pengasuhan anak usia remaja.


(29)

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

1. Definisi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013) keterlibatan berasal dari kata “libat” yang berarti melibat; membebat; menyangkut; atau membawa-bawa ke dalam urusan.

Dalam pandangan tradisional, pengertian ayah lebih menekankan pada konteks biologis. Palkovitz (2002) ayah didefinisikan sebagai orang yang menikah dengan ibu, yang secara biologis mendapatkan anak dari hasil perkawinannya, dan tinggal dengan ibu dan anak-anaknya. Lamb (2004) juga mendefinisikan ayah dipandang sebagai kekuatan leluhur yang memegang kekuasaan sangat besar di dalam keluarga. Pengertian ini kemudian berkembang bahwa ayah sebagai guru moral. Ayah juga sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk memastikan agar anak-anaknya dibesarkan dengan nilai-nilai yang tepat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013) pengasuhan berasal dari kata “asuh” yang diartikan sebagai menjaga, merawat, memelihara, mendidik anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dsb). Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak


(30)

19

menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Dari definisi-definisi diatas maka dapat ditarik menjadi teori keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan umumnya dikenal dengan istilah paternal involvement atau father involvement. Lamb (2010) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan merupakan keikutsertaan positif ayah dalam kegiatan yang berupa interaksi langsung dengan anak-anaknya, memberikan kehangatan, melakukan pemantauan dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggungjawab terhadap keperluan dan kebutuhan anak. Keterlibatan ayah dapat memberikan pengaruh positif langsung bagi perkembangan anak. Beberapa hal yang dapat menjadi perhatian dalam pengasuhan ayah yaitu dalam perkembangan kognitif, emosional, sosial, dan moral anak, gaya interaksi dan juga kelekatan anak.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak juga didefinisikan oleh Purwindarini, Hendriyani, dan Deliana (2014) adalah suatu partisipasi aktif melibatkan fisik, afektif, dan kognitif dalam proses interaksi antara ayah dan anak yang memiliki fungsi endowment (mengakui anak sebagai pribadi), protection (melindungi anak dari sumber-sumber bahaya potensial dan berkontribusi pada pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan anak), provinsion (memastikan


(31)

20

kebutuhan material anak), formation (aktivitas bersosialisasi seperti pendisiplinan, pengajaran, dan perhatian) yang merepresentasikan peran ayah sebagai pelaksana dan pendorong bagi pembentukan dalam perkembangan anak.

Palkovits (2002) menyimpulkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki beberapa definisi diantaranya :

a. Terlibat dengan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak b. Melakukan kontak dengan anak

c. Dukungan finansial

d. Banyaknya aktivitas bermain dilakukan bersama-sama

Palkovitz juga menambahkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga diartikan sebagai seberapa besar usaha yang dilakukan oleh seorang ayah dalam berpikir, merencanakan, merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan serta berdoa bagi anaknya.

Menilik dari perspektif anak, keterlibatan ayah diasosiasikan dengan ketersediaan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu, kepedulian, dukungan dan rasa aman. Anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah keikutsertaan aktif ayah dalam pengasuhan anak yang direpresentasikan dalam bentuk interaksi


(32)

21

langsung dengan anak, memberi kehangatan, melakukan pemantauan dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggung jawab terhadap keperluan anak.

2. Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Lamb (2010) mengemukakan dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan diantaranya :

a. Engagement, yaitu pengalaman ayah berinteraksi langsung dan melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main, meluangkan waktu bersama, dan seterusnya.

b. Accessibility, kehadiran atau kesediaan ayah untuk anak. Orang tua ada di dekat anak tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan anak.

c. Responsibility, sejauhmana ayah memahami dan memenuhi

kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan merencanakan masa depan anak.

Palkovitz dalam Sanderson & Thompson (2002) mengemukakan beberapa kategori keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang meliputi :

1. Communication (mendengarkan, berbincang/berbicara,

menunjukkan rasa cinta).

2. Teaching (memberi contoh peran, melakukan aktivitas dan minat yang menarik).

3. Monitoring (melakukan pengawasan terhadap teman-teman,


(33)

22

4. Cognitive processes (khawatir, merencanakan, berdoa)

5. Errands (mengurus)

6. Caregiving (memberi makan, memandikan)

7. Shared interest (membaca bersama)

8. Availability (keberadaan)

9. Planning (merencanakan berbagai aktivitas, ulang tahun)

10. Shared activities (melakukan kegiatan bersama, misal belanja, bermain bersama)

11. Preparing (menyiapkan makanan, pakaian)

12. Affection (memberi kasih sayang, sentuhan emosi) 13. Protection (menjaga, memberi perlindungan) 14. Emotional support (membesarkan hati anak)

Model keterlibatan ayah dalam pengasuhan ini dikenal dengan konsep “generative fathering”.

Sedangkan Fox dan Bruce (2001) mengemukakan konsep fathering dengan dimensi-dimensi yang diukur menggunakan aspek-aspek sebagai berikut :

a. Responsivity

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menggunakan kehangatan, kasih sayang, dan sikap suportif kepada anaknya.


(34)

23

b. Harshness

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menggunakan sikap galak, menghukum, dan pendekatan inkonsisten dalam pengasuhan kepada anaknya.

c. Behavioral engagement

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah terlibat aktivitas dengan anak.

d. Affective involvement

Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menginginkan dan menyayangi anak.

McBride, Schope, dan Rane (2002) dalam penelitiannya menggunakan 5 aspek keterlibatan ayah dalam pengasuhan yaitu :

1. Tanggungjawab untuk tugas-tugas manajemen anak 2. Kehangatan dan afeksi pada anak

3. Pekerjaan rumah yang diselesaikan bersama dengan anak 4. Aktivitas bersama yang terpusat pada anak

5. Pengawasan dari orang tua

Berdasarkan tinjauan pada beberapa dimensi yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dimensi keterlibatan yang dipakai dalam penelitian ini secara umum mengacu pada dimensi yang dikemukakan oleh Lamb yang meliputi keterlibatan secara langsung (engagement), kehadiran atau kesediaan ayah untuk anak (accessibility), memahami dan memenuhi kebutuhan anak (responsibility).


(35)

24

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Day dan Lamb (2004) menyatakan empat faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam keluarga, yaitu :

a. Motivasi

Segala hal yang membuat ayah ingin selalu terlibat dalam aktivitas bersama anaknya. Faktor motivasi ayah ini dapat dilihat dari komitmen dan identifikasi pada peran ayah. Faktor lain yang mempengaruhi motivasi ayah untuk terlibat dengan anaknya adalah career saliency. Pria yang secara emosional kurang lekat dengan pekerjaannya dapat meluangkan waktu lebih banyak waktunya untuk anak mereka. Job salience yang rendah memprediksi partisipasi yang besar dalam perawatan/pengasuhan anak.

b. Keterampilan dan kepercayaan diri (efikasi ayah)

Keterampilan fisik aktual yang dibutuhkan untuk memberikan perlindungan dan kepedulian pada anaknya. Penelitian telah menunjukkan bahwa efikasi diri dalam mengasuh berhubungan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Dalam penelitian lain, ayah melaporkan mempunyai tingkat efikasi yang lebih rendah daripada ibu. Ayah yang mempersepsi diri mereka mempunyai ketrampilan mengasuh yang lebih besar melaporkan keterlibatan dan tanggungjawab yang lebih besar untuk tugas merawat anak.


(36)

25

c. Dukungan sosial dan stres

Keyakinan ibu terhadap pengasuhan oleh ayah, kepuasan perkawinan, konflik pekerjaan-keluarga merupakan dukungan sosial dan stres yang telah ditemukan mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Interaksi emosional yang positif dengan pasangan dapat mempengaruhi pikiran pria dan menguatkan ketertarikan untuk terlibat dalam semua aspek kehidupan keluarga, salah satunya keterlibatan dalam mengasuh anak.

d. Faktor institusional

Kebijakan di tempat kerja dalam memfasilitasi upaya keterlibatan ayah. Semakin banyak jam kerja ayah, keterlibatan dengan anak akan berkurang. Makin banyak jam kerja wanita, semakin besar keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

Belsky dalam Sanderson & Thompson (2002) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pengasuhan, yaitu :

1. Karakteristik personal, misal : harga diri, kemampuan sosial, introvert/ekstrovert, sikap, pengetahuan, dan keterampilan

2. Karakteristik sosial-kontekstual, misal : hubungan pernikahan, kepuasan akibat adanya dukungan sosial, interaksi kerja-keluarga 3. Karakteristik anak, misal : usia, urutan kelahiran, jenis kelamin,


(37)

26

Hampir serupa dengan pendapat Belsky dan Parke dalam Sanderson dan Thompson (2002) mengelompokkan variabel yang berhubungan dengan keterlibatan ayah ke dalam beberapa kategori :

a. Pengaruh personal, misal : ketrampilan ayah b. Karakteristik anak, misal : jenis kelamin anak, usia

c. Pengaruh keluarga, misal : hubungan ayah-ibu, status kerja ibu d. Pengaruh budaya, misal : peran gender ayah/ibu, pengharapan

budaya, perbedaan etnis

e. Pengaruh institusional, misal : politik/kebijakan di tempat kerja Dalam Papalia, Old, dan Feldman (2008) disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, yaitu :

1. Motivasi dan komitmen

2. Keyakinan akan peran ayah, kepercayaan dirinya akan keterampilan pengasuhan yang dimilikinya

3. Kesuksesan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga 4. Keharmonisan hubungannya dengan istri

5. Tingkatan sang istri dalam mendorong keterlibatannya

Dari beberapa faktor yang dikemukakan oleh para ahli, salah satu faktor yang paling menarik untuk diteliti ialah faktor dukungan sosial yang dikemukakan oleh Day dan Lamb. Dukungan sosial yang dimaksud adalah interaksi positif antara suami dan istri yang dapat membuat ketertarikan suami untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Salah satunya yaitu kepuasan pernikahan.


(38)

27

B. Kepuasan Pernikahan

1. Definisi Kepuasan Pernikahan

Menurut Fower dan Olson (1993) kepuasan pernikahan adalah evaluasi terhadap area-area dalam perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak, keluarga dan teman, serta orientasi keagamaan. Lestari (2012), menambahkan kepuasan pernikahan merujuk pada perasaan positif yang dimiliki yang dimiliki pasangan suami istri dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan.

Nawaz, Javeed, Haneef, dan Tasaur (2014) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai suatu perasaan akan kesenangan dalam suatu pernikahan dalam hubungan suami dan istri. Pengertian diatas didukung oleh Azeez dalam Muslimah (2014) bahwa perasaan senang yang dimaksud muncul berdasarkan evaluasi subjektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan yang berupa terpenuhinya kebutuhan, harapan, dan keinginan suami istri dalam pernikahan.

Azeez dalam Muslimah (2014) juga berpendapat bahwa kepuasan pernikahan merupakan suatu sikap yang relatif stabil dan mencerminkan evaluasi keseluruhan individu dalam suatu hubungan pernikahannya. Kepuasan pernikahan ini tergantung atas kebutuhan individu, harapan, dan keinginan dari hubungan yang dijalaninya.


(39)

28

Sadarjoen dalam Wardhani (2012) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan dapat tercapai sejauh mana kedua pasangan perkawinan mampu memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing dan sejauh mana kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan memberi peluang bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa sebelum perkawinan terlaksana.

Menurut Rowe dalam Khan dan Aftab (2013) kepuasan pernikahan ialah jumlah kepuasan yang dirasakan oleh pasangan tentang hubungan mereka. Sedangkan menurut Rho dalam Khan dan Aftab (2013) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subjektif oleh seorang individu dan tingkat kebahagiaan, kesenangan atau pemenuhan dalam hubungan pernikahan itu sendiri dengan pasangan.

Lasswell dan Lasswell dalam Ardhani (2015) mengemukakan bahwa hubungan suami istri dapat membawa kepuasan atau tidak tergantung pada kemampuan suami istri memenuhi kebutuhan pasangannya dan seberapa besar kebebasan yang diperoleh dalam hubungan mereka dapat memenuhi kebutuhan masing-masing.

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan secara garis besar bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan senang dalam sebuah hubungan pernikahan antara suami istri yang ditunjukkan dengan terpenuhinya kebutuhan, harapan, dan keinginan suami istri.


(40)

29

2. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Aspek-aspek yang terdapat dalam kepuasan perkawinan menurut Enrich Marital Satisfaction Scale (EMS) Fower dan Olso dalam Sudarto (2014) adalah masalah kepribadian, peran yang setara, komunikasi, penyelesaian konflik, manajemen keuangan, kegiatan rekreasi, hubungan seksual, anak dan perkawinan, keluarga dan pertemanan, dan orientasi agama.

Azeez dalam Muslimah (2014) berpendapat bahwa ada 6 kategori perilaku yang dapat menunjukkan kepuasan pernikahan atau kegagalan, yaitu:

a. Expression of Affection

Kasih sayang dalam suatu hubungan antara suami istri diekspresikan melalui kata-kata dan tindakan. Pada tahap awal pernikahan, biasanya masing-masing pasangan saling memberi perhatian lebih dan bertindak dengan penuh pertimbangan. Hal ini adalah daya tarik utama bagi suatu hubungan. Akan tetapi, ketika kasih sayang dalam suatu hubungan yang baru terlihat sangat mudah, cara yang nyata adalah dikembangkan dan didukung oleh tingkatan kasih sayang yang sebenarnya dari waktu ke waktu.

b. Communication

Sepanjang waktu dalam hubungan pernikahan, komunikasi menjadi sebuah persoalan mengenai kemampuan saling mendengarkan pemikiran, gagasan, perasaan, dan pendapat orang lain. Dalam


(41)

30

komunikasi yang terjadi melibatkan kepercayaan, keinginan untuk mempercayai, dan kemampuan untuk mengungkapkan diri tanpa takut.

c. Consensus

Persetujuan bersama tentang perbedaan gaya hidup sangat diperlukan bagi pasangan yang ingin mencapai kepuasan dalam pernikahan. Masing-masing pasangan seharusnya membangun pemahaman diantara mereka mengenai permasalahan-permasalahan seperti uang, rekreasi, lingkungan rumah, pengasuhan, dan hubungan dengan orang lain dalam hidup mereka. Padailiki kesediaanem level tertentu penting bagi pasangan memliki kesediaan untuk berkompromi agar hubungannya dapat berfungsi dengan baik.

d. Sexuality and Intimacy

Seksualitas dan keintiman merupakan komponen utama dalam pernikahan. Seksualitas dan keintiman dapat menenteramkan hati pasangan bahwa mereka adalah yang dicintai, dihargai, dan menarik. Sepanjang waktu pernikahan, dua hal ini menciptakan ikatan pribadi yang mendalam atau menjadikan penolakan pribadi. Sebagai tambahan,seksualitas dan keintiman menyediakan keamanan hubungan dengan memuaskan kebutuhan dasar manusia.


(42)

31

e. Conflict Management

Yang paling bijaksana ketika terjadi perbedaan pendapat antar pasangan adalah mempertimbangkan bagaimana konflik tersebut ditangani dalam perkawinan. Hubungan yang sehat memberikan kesempatan pasangannya untuk tumbuh dengan potensi mereka seutuhnya dan perkawinan dapat menyediakan pondasi untuk pemenuhan bersama.

f. Distribution of Roles

Kepuasan perkawinan juga berhubungan dengan kepuasan pasangan dengan peran yang dimainkan dalam perkawinan tersebut. Masalahnya adalah peran tersebut berubah dari waktu dan kadang-kadang perubahan peran itu kurang diinginkan dalam kaitannya dengan keadaan yang diluar kendali seperti keuangan, jadwal kerja, anak-anak, dan kebutuhan anggota keluarga lainnya. Fower dan Olson (1993) dalam penelitiannya mengemukakan sepuluh aspek yang dapat mengukur kualitas atau kepuasan dalam pernikahan diantaranya :

1. Isu-isu kepribadian

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana persepsi individu terhadap perilaku dan kepribadian pasangan. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa penerimaan terhadap kepribadian pasangan dapat berdampak positif terhadap kebahagiaan perkawinan ynag dirasakan. Area ini juga melihat


(43)

32

penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan.

2. Komunikasi

Aspek ini melihat bagaimana individu merasa nyaman pada pola-pola komunikasi dalam berbagai informasi baik emosional atau kognitif bersama pasangan. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan pentingnya ketrampilan berkomunikasi agar tidak menimbulkan salah persepsi antar pasangan suami istri. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya.

3. Resolusi konflik

Aspek ini mengukur bagaimana cara individu dan pasangan menyelesaikan konflik-konflik pernikahan. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa aspek ini berfokus pada keterbukaan antar pasangan suami istri terhadap isu-isu yang menimbulkan konflik serta strategi dalam menyelesaikan konflik tersebut.

4. Kesetaraan peran

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap pasangan suami terhadap peran dalam pernikahan. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa dalam relasi suami istri pembagian peran rumah tangga sangat diperlukan. Fokusnya pada pekerjaan,


(44)

33

tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orang tua. Jika masing-masing dapat bekerja sama dalam menjalankan tugasnya, maka kepuasan dan kebahagiaan perkawinan dapat diraih.

5. Manajemen keuangan

Aspek ini mengukur bagaimana individu dan pasangan megelola keuangan keluarga. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa keseimbangan antara pendapatan dan belanja keluarga harus menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini juga terlihat dari cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan.

6. Aktivitas di waktu luang

Aspek ini dapat dilihat dari bagaimana individu dan pasangan menghabiskan waktu luang. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa pasangan harus mampu menyeimbangkan antara waktu berpisah dan waktu bersama. Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luan ang merefleksikan aktifitas yang dilakukan secara personal atau bersama.

7. Hubungan seksual

Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana perasaan individu dan pasangan terkait hubungan seksual. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa relasi seksual merupakan kekuatan


(45)

34

penting bagi kebahagiaan pasangan suami istri. Area ini lebih berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. 8. Anak dan pengasuhan

Aspek ini untuk melihat bagaimana cara individu dan pasangan dalam mengasuh serta membesarkan anak. Aspek ini merujuk pada bagaimana pasangan suami istri menjalani tanggung jawab sebagai orang tua. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan itu dapat terwujud. 9. Keluarga dan teman-teman

Aspek ini untuk mengukur bagaimana individu menjalin hubungan dengan anggota keluarga, keluarga dari pasangan, dan teman-teman. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan bahwa keluarga dan teman merupakan konteks penting dalam membangun relasi yang berkualitas. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman.

10. Orientasi religius

Aspek ini mengukur bagaimana individu dan pasangan mempercayai dan mempraktekkan adalam dalam pernikahannya. Olson dan Olson dalam Lestari (2012) menjelaskan keyakinan spiritual adalah pondasi penting dalam kebahagiaan perkawinan. Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana


(46)

35

pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang perduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah.

Clayton dalam Ardhianita dan Andayani (2005) mengemukakan aspek-aspek kepuasan pernikahan antara lain kemampuan sosial suami istri (marriage sociability), persahabatan dalam pernikahan (marriage companionship), urusan ekonomi (economic affair), kekuatan pernikahan (marriage power), hubungan dengan keluarga besar (extra family relationship), persamaan ideology (ideological congruence), keintiman pernikahan (marriage intimacy), dan taktik-taktik interaksi (interaction tactics).

Dari beberapa aspek-aspek yang dikemukakan diatas, maka aspek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Fower dan Olson yang meliputi isu-isu kepribadian, komunikasi, resolusi konflik, kesetaraan peran, manajemen keuangan, aktifitas di waktu luang, hubungan seksual, anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, orientasi religius.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Olson dan Defrain (2003) memaparkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi kebahagiaan perkawinan, faktor-faktor tersebut meliputi ekspektasi yang tidak realistik terhadap perkawinan, menikahi orang yang salah dengan alasan yang salah,perkawinan merupakan ikatan


(47)

36

yang penuh tantangan dan adanya sedikit usaha dalam untuk meningkatkan kemampuan berelasi dengan pasangan.

Nawaz, Javeed, Haneef, dan Tasaur (2014) menyatakan bahwa ada tiga faktor dalam kepuasan pernikahan berdasarkan perspektif ekologis, yaitu (a) latar belakang atau faktor kontekstual (yaitu variabel keluarga asal, faktor sosiokultural, dan kondisi saat ini), (b) sifat dan perilaku individu, dan (c) proses interaksi pasangan.

Faktor demografik yang turut mempengaruhi kepuasan pernikahan terdiri dari usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, usia pernikahan, lamanya perkenalan sebelum menikah, agama, kelahiran, status menikah, ras, status pekerjaan, status pernikahan orangtua, populasi anak, dan tempat tinggal sekarang.

Klemer dalam Ardhianita dan Andayani (2005) menunjukkan bahwa kepuasan dalam pernikahan dipengaruhi oleh harapan pasangan itu sendiri terhadap pernikahannya, yaitu harapan yang terlalu besar, harapan terhadap nilai-nilai pernikahan, harapan yang tidak jelas, tidak adanya harapan yang cukup, dan harapan yang berbeda.

C. Remaja

1. Definisi remaja

Gunarsa (2008) Istilah “adolesensia” atau diartikan dengan “remaja”, dalam pengertian yang luas, meliputi semua perubahan. J. Piaget memandang adolescentia sebagai suatu fase hidup, dengan


(48)

37

perubahan-perubahan penting pada fungsi intelegensi, tercakup dalam perkembangan aspek kognitif.

Salzman dan Pikunas dalam Yusuf (2012) Masa remaja ditandai dengan (1) berkembangnya sikap dependent kepada orang tua kearah independent, (2) minat seksualitas, (3) kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral.

Pengelompokan tahapan perkembangan menurut Gunarsa (2001) sebagai berikut :

a. 12-14 tahun: remaja awal

b. 15-17 tahun : remaja tengah (remaja) c. 18-20 tahun : remaja akhir (remaja lanjut)

Sedangkan Hurlock (1980) menyebutkan bahwa awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum.

2. Karakteristik Perkembangan Masa Remaja a. Karakteristik Umum

Karakteristik umum masa remaja yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), yaitu :

1. Masa yang penting, karena adanya akibat yang langsung terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka


(49)

38

panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode lainnya.

2. Masa transisi, karena terjadi masa peralihan dari tahap kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus berusaha meninggalkan segala hal yang bersifat kekanak-kanakan dan mempelajari pola tingkah laku dan sikap baru.

3. Masa perubahan, ketika perubahan fisik semakin terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ada empat perubahan yang berlangsung pada semua remaja, yaitu :

a. Emosi yang tinggi, hal ini bergantung pada perubahan fisik dan psikologis yang terjadi sebab di awal masa remaja perubahan emosi terjadi lebih cepat.

b. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru.

c. Perubahan nilai-nilai sebagai konsekuensi perubahan minat dan dan pola tingkah laku. Setelah hampir dewasa, remaja tidak lagi menganggap penting segala apa yang dianggapnya penting pada masa kanak-kanak.

d. Bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menghendaki dan menuntut kebebasan, tetapi sering takut bertanggung jawab akan resikonya dan meragukan kemampuannya untuk mengatasinya.


(50)

39

4. Masa bermasalah, meskipun setiap periode memiliki masalah sendiri, masalah masa remaja termsuk masalah yang sulit diatasi baik anak laki-laki maupun perempuan. Alasannya, sebagian masalah di masa kanak-kanak diselesaikan oleh orang tua dan guru sehingga mayoritas remaja tidak berpengalaman dalam mengatasinya, selain itu sebagian remaja sudah merasa mandiri sehingga menolak bantuan dan ingin mengatasi masalahnya sendirian.

5. Masa pencarian identitas, penyesuaian diri dengan standar kelompok dianggap jauh lebih penting bagi remaja daripada individualitas

6. Masa munculnya ketakutan, persepsi negatif terhadap remaja seperti tidak dapat dipercaya, cenderung merusak, mengindikasikan pentingnya bimbingan dan pengawasan orang dewasa selain itu kehidupan remaja muda cenderung tidak simpatik dan takut bertanggung jawab.

7. Masa yang tidak realistik, hal ini ditunjukan dari pandangan remaja yang cenderung subjektif karena mereka memandang diri sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya, dan bukan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam hal cita-cita.

8. Masa menuju masa dewasa, di satu sisi remaja ingin segera menyesuaikan dengan tipe orang dewasa yang sudah matang,


(51)

40

tetapi di sisi lain mereka masih belum lepas dari tipe remajanya yang belum matang.

Adapun pendapat lain dari Zulkifli (2006) tentang karakteristik umum pada masa remaja, yaitu :

a. Pertumbuhan fisik

Pertumbuhan fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan fisik mereka jelas terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, otot-otot tubuh berkembang pesat, sehingga anak kelihatan bertubuh tinggi, tetapi kepalanya masih mirip dengan anak-anak.

b. Perkembangan seksual

Seksual mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya.

Dalam perkembangan seksualitas remaja terdapat dua ciri, yaitu:

1. Ciri-ciri seks primer

Pada remaja pria ditandai dengan sangat cepatnya pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua, kemudian tumbuh secara lebih lambat, dan mencapai ukuran matangnya pada usia 20 atau 21 tahun. Sebenarnya testis sudah ada sejak lahir, namun baru 10%


(52)

41

dari ukuran matangnya. Setelah testis mulai tumbuh, penis mulai bertambah panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar. Matangnya organ-organ seks tersebut, memungkinkan remaja pria (sekitar usia 14-15 tahun) mengalami “mimpi basah”.

Pada remaja wanita, kematangan organ-organ seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium (indung telur) secara cepat. Ovarium menghasilkan ova (telur) dan mengeluarkan hormon-hormon yang diperlukan untuk menstruasi, perkembangan seks sekunder, dan kehamilan. Pada masa inilah (sekitar usia 11-15 tahun), untuk pertama kalinya

remaja wanita mengalami “menarche” (menstruasi

pertama). Peristiwa “menarche” ini diikuti oleh menstruasi yang terjadi dalam interval yang tidak beraturan. Untuk jangka waktu enam bulan sampai satu tahun atau lebih, ovulasi mungkin tidak selalu terjadi. Menstruasi awal sering disertai dengan sakit kepala, sakit pinggang, dan kadang-kadang kejang, serta merasa lelah, depresi dan mudah tersinggung.

2. Ciri-ciri seks sekunder

Ciri-ciri seks sekunder pada remaja pria yaitu, tumbuh pubik atau bulu kapok disekitar kemaluan dan ketiak,


(53)

42

terjadi perubahan suara, tumbuh kumis, dan tumbuh gondok laki (jakun).

Ciri-ciri seks sekunder pada remaja wanita yaitu, tumbuh rambut pubik atau bulu kapok disekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besar buah dada, dan bertambah besarnya pinggul.

c. Cara berpikir kausalitas

Cara berpikir kausalitas yaitu menyangkut hubungan sebab akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil. Bila guru dan orang tua tidak memahami cara berpikir remaja, akibatnya timbullah kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.

d. Emosi yang meluap-meluap

Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Kalau sedang senang-senangnya mereka mudah lupa diri karena tidak mampu menahan emosi yang meluap-luap, bahkan remaja mudah terjerumus kedalam tindakan bermoral. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis.

e. Mulai tertarik dengan lawan jenis

Dalam kehidupan sosial remaja, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya dan mulai berpacaran. Jika dalam hal ini orang


(54)

43

tua kurang mengerti, kemudian melarangnya, akan menimbulkan masalah, dan remaja akan bersikap tertutup terhadap orang tua.

f. Menarik perhatian lingkungan

Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari lingkungan, berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampung-kampung yang diberi peranan. Bila tidak diberi peranan, ia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian masyarakat. Remaja akan berusaha mencari peranan diluar rumah bila orang tua tidak memberi peranan kepadanya karena menganggapnya sebagai anak kecil.

g. Terkait dengan kelompok

Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tua di nomorduakan setelah kepentingan kelompok.

b. Karakteristik Khusus

Karakteristik khusus remaja menurut Al-Mighwar (2006) dibagi menjadi dua tahap, yaitu :

1. Remaja awal

Masa remaja awal dimulai ketika usia seorang anak telah genap 12/13 tahun, dan berakhir pada usia 17/18 tahun. Anak usia belasan tahun sering ditunjukan begi remaja awal. Gejala-gejala yang disebut Gejala-gejala fase negatif biasa terjadi pada


(55)

44

paruhan akhir periode pubertas atau paruhan awal masa remaja awal. Oleh karena itu, periode pubertas sering disebut sebagai fase negatif.

2. Remaja akhir

Di Indonesia, batasan usia remaja akhir adalah 17 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 18 tahun sampai 22 tahun bagi laki-laki. Didalamnya terjadi proses penyempurnaan pertumbuhan fisik sejak masa-masa sebelumnya yang mengarah pada kematangan yang sempurna. Pada akhir masa ini hingga masa dewasa awal, pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis dan sosial terus berlangsung. Ciri-ciri khas yang membedakan dengan remaja awal yaitu sebagai berikut :

a. Mulai stabil, pada remaja akhir mulai menunjukan peningkatan kestabilan emosi, kesempurnaan pertumbuhan bentuk jasmani, terjadi keseimbangan tubuh dan anggotanya, kestabilan dalam minat menentukan sekolah, jabatan, pergaulan, dll. Selain itu remaja akhir lebih menyesuaikan diri dalam banyak aspek kehidupan. b. Lebih realistis, remaja akhir mulai mampu menilai dirinya

apa adanya, menghargai apa yang dimilikinya, keluarganya, orang-orang lain seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan realistis ini sangat positif karena


(56)

45

akan menimbulkan perasaan puas, menjauhkan dirinya dari rasa kecewa, dan menghatarkannya pada puncak kebahagiaan.

c. Lebih matang menghadapi masalah, kematangan ini ditunjukan dengan usaha pemecahan masalah-masalah yang dihadapi baik dengan cara sendiri maupun dengan diskusi dengan teman sebayanya. Hal ini mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang lebih dapat menyesuaikan diri dalam situasi dalam perasaan sendiri dan lingkungan di sekitarnya.

d. Lebih tenang perasaannya, remaja akhir jarang mempelihatkan kemarahan, kesedihan, kekecewaan sebagaimana yang terjadi pada remaja awal. Mereka telah memiliki kemampuan pikir dan menguasai segala perasaaanya dalam menghadapi berbagai kekecewaaan atau yang mengakibatkan kemarahan.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Fatimah (2006) mendefinisikan tugas-tugas perkembangan sebagai suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosio-psikologis manusia pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks.

Havighurst dalam Hurlock (1980) menyebutkan tugas-tugas perkembangan masa remaja, diantaranya :


(57)

46

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan idiologi

Fatimah (2006) menyebutkan tugas perkembangan khusus di masa remaja yang terbagi dalam dua tahap, yakni :

1. Tugas perkembangan masa remaja I : a. Menerima keadaan fisik

b. Memperoleh kebebasan emosional c. Mampu bergaul

d. Menemukan model untuk identifikasi

e. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri

f. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma g. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan


(58)

47

2. Tugas perkembangan remaja II :

a. Meningkatkan kestabilan fisik dan psikis b. Berfikir secara dewasa

c. Menangani masalah dengan lebih tenang

d. Pengendalian perasaan dan emosional lebih stabil

Tugas-tugas perkembangan tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan karena remaja adalah pribadi yang utuh secara individual dan sosial. Namun demikian banyak hal yang harus diselesaikan selama masa perkembangan remaja yang singkat ini. Pada tugas perkembangan fisik, upaya untuk mengatasi permasalahan pertumbuhan yang “serba tak harmonis” amatlah berat bagi para remaja.

Karl C. Garrison dalam Al-Mighwar (2006) membagi tugas perkembangan menjadi enam kelompok berikut :

1. Menerima kondisi jasmani, remaja mulai menerima kondisi jasmaniahnya serta memelihara dan memanfaatkannya seoptimal mungkin

2. Mendapatkan hubungan baru dengan teman-teman sebaya yang berlainan jenis, hal ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial. Mereka ingin mendapat penerimaan dari kelompok teman sebaya lawan jenis ataupun sesama jenis agar merasa dibutuhkan atau dihargai.

3. Menerima kondisi dan belajar hidup sesuai jenis kelaminnya, remaja laki-laki harus bersifat maskulin dan lebih banyak


(59)

48

memikirkan soal pekerjaan sedangkan remaja wanita harus bersifat feminin dan memikirkan pekerjaan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga dan pola asuk anak.

4. Mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya

5. Mendapat kesanggupan berdiri sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi

6. Memperoleh nilai-nilai dan falsafah hidup

William Kay dalam Jahja (2012) mengemukakan tugas perkembangan remaja, yaitu :

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya

b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas

c. Mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atau dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup

g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan


(1)

96

pasangan hidup atas dasar pilihannya lebih mengerti pasangannya dan tidak ada paksaan didalamnya sehingga dalam menjalani pernikahan seorang ayah akan menjadi lebih puas.

Data demografi juga digunakan peneliti untuk menggambarkan variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan, yaitu jenis kelamin anak remaja, lama jam kerja ayah, dan penghasilan ayah. Hasil dari data demografi menunjukkan bahwa ayah yang memiliki anak remaja putri lebih banyak terlibat dibandingkan ayah yang memiliki anak remaja putra. Hal ini dikarenakan remaja putri seringkali dianggap menimbulkan kekhawatiran, seperti dalam pemilihan teman dan cara pergaulan. Sedangkan dari data demografi yang dilihat dari sisi penghasilan ayah, menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan ayah maka akan semakin terlibat dalam pengasuhan anak remajanya, sebab ayah yang berpenghasilan tinggi merasa dapat memberikan pemenuhan kebutuhan yang baik terhadap anak-anaknya dalam menjalankan tugas sebagai seorang ayah. Data demografi selanjutnya ialah lama jam kerja ayah. Dalam penelitian ini, lama jam kerja ayah tidak dapat digunakan untuk menggambarkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan, karena dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayah yang memiliki jam kerja lebih banyak akan semakin terlibat dalam pengasuhan. Hal ini tidak selaras dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin banyak jam kerja ayah maka akan semakin sedikit waktu yang diberikan untuk memperhatikan anak-anaknya.


(2)

97

Dalam hasil penelitian ini tentu terdapat kelebihan dan kekurangan selama proses penelitian. Kelebihan yang terdapat dari penelitian ini yaitu adanya temuan-temuan baru dari dari data demografi, seperti usia pernikahan, lama masa perkenalan, landasan menikah, pendidikan terakhir, penghasilan, jenis kelamin anak remaja, dan lama jam kerja ayah. Temuan-temuan baru dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian lanjutan yang dapat dilakukan oleh peneliti selanjutnya untuk lebih mendalami dari beberapa segi berdasarkan data demografi tersebut. Sedangkan untuk kekurangan dalam penelitian ini ialah dari cara penyebaran skala yang tidak sama pada sampel penelitian. Peneliti melakukan penyebaran skala dengan cara yang berbeda pada beberapa tempat, hal ini dikarenakan peneliti harus menyesuaikan dengan waktu dan kondisi tempat penyebaran skala. Hal ini seringkali menjadi kendala terbesar peneliti dalam melakukan penyebaran skala. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk penelitian selanjutnya memperhatikan lebih mengenai jumlah sampel penelitian dan cara penyebaran skala.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kepuasan pernikahan berhubungan dalam keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak utamanya anak usia remaja. Seorang ayah yang merasa puas dengan pernikahannya, maka secara tidak langsung akan ikut aktif dalam memperhatikan perkembangan anak remajanya melalui pengasuhan yang tepat. Penelitian ini masih dapat dikembangkan lagi menjadi lebih komprehensif dengan memaksimalkan temuan menarik dalam peneltian, namun harus tetap memperhatikan kelemahan yang telah diungkapkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mighwar, M. (2006). Psikologi Remaja. Bandung: CV. Pustaka Setia

Ardhani, F. (2015). Perbedaan Kepuasan Perkawinan pada Wanita Suku Bugis, Jawa, dan Banjar di Kecamatan Balikpapan Selatan Kota Balikpapan. e-Journal Psikologi, 3(1)

Ardhianita, I. & Andayani, B. (2005). Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Jurnal Psikologi. Vol. 32, No.2, 101-111 Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta

Azwar, S. (1998). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cabrera, N. J., Tamis-LeMonda, C. S., Lamb, M. E., & Boller, K. (1999).

Measuring father involvement in the early head start evaluation : a multidimensional conceptualization. Paper, National Conference on Health Statistic, Washington, D.C., August, 2-3

Dagun, S. M. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Day, R. D & Lamb, M. E. (2004). Conceptualizing and Measuring father Involvement. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Fatimah, E. (2006). Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung: Pustaka Setia

Fowers, B. J., & Olson, D. H. (1993). ENRICH Marital Satisfaction Scale: A Brief Research and Clinical Tool. Journal of Family Psychology. Vol. 7, No. 2

Fox, G. L., & Bruce, C. (2001). Conditional fatherhood: Identity theory and parental investment theory as alternative sources of explanation of fathering. Journal of Marriage and family, 63, 394-403.

Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. D. (2001). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Hidayati, F., Kaloeti, D. V., & Karyono. (2011). Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Psikologi Undip. Vol.9, No.1

Hoghughi, M. (2004). Parenting-An Introduction. Journal Of Cross Cultural Psychology, Western Washington University.


(4)

101

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan-Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Erlangga

Jahja, Y. (2012). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. 2014. Ketenagakerjaan. http://www.kemenpppa.go.id. Diakses pada tanggal 17 September 2015.

Khan, F., & Aftab, S. (2013). Marital Satisfaction and Perceived Social Support as Vulnerability Factors to Depression. American International Journal of Social Science. Vol.2, No.5

Lamb, M. E. (2010). The Role of Father in Child Development Fifth edition. New York: John Willey & Sonc Inc.

Landis, J. T. & Landis, M. G. (1963). Building a Successful Marriage. 4th edition. Englewood Cliffs, New York: Prentice Hall Inc.

Lee, C. Y., & Doherty, W. J. (2007). Marital Satisfaction and Father Involvement during the Transition to Parenthood. Journal of Fathering. Vol.5, No.2, 75-96

Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

McBride, B. A., Schope, S. J. & Rane, T. R. (2002). Child Characteristics, Parenting Stress, and Parental Involvement : Father versus Mothers. Journal of Marriage and the Family, 64, 998-1011

Menendez, S., Hidalgo, M. V., Jimenez, L., & Moreno, M. C. (2011). Father Involvement and Marital Relationship during Transition to Parenthood: Differences between Dual and Single-Earner Families. The Spanish Journal of Psychology, Vol.14, No.2, 639-647

Muhid, A. (2012). Analisis Statistik 5 Langkah Praktis Analisis Statistik Dengan SPSS for Windows. Sidoarjo: Zifatama

Muslimah, A. I. (2014). Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Keterampilan Komunikasi Interpersonal. Journal Soul. Vol.7 No.2

Nawaz, S., Javeed, S., Haneef, A., Tasaur, B., & Khalid, I. (2014). Perceived Social Support and Marital Satisfaction Among Love and Arranged Marriage Couples. International Journal of Academic Research and Reflection. Vol. 2, No. 2


(5)

102

Olson, D. H. & Defrain, J. (2003). Marriage and Families Intimacy, Diversity, and Strength (fourth edition). New York: Mc Graw Hill

Palkovitz, R. (2002). Involved fathering and child development: Advancing our understanding of good fathering. In C.S. Tamis-LeMonda & N. Cabrera (Eds.). Handbook of father involvement: Multidisciplinary perspectives (pp. 119-140). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Papalia, D. E., Old, S. W, & Feldman, R. D. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan) (terjemahan). Jilid 1 (bagian I-IV), edisi kesembilan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Purwindarini, S. S., Hendriyani, R., & Deliana, S. M. (2014). Pengaruh Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Terhadap Prestasi Belajar Anak Usia Sekolah. Journal Developmental dan Clinical Psychology. 3 (1)

Ruben, H. L. (1985). Super Marriage. Englewood: Prentice hall, Inc.

Safitri, I. (2009). Hubungan Persepsi tentang Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak dengan Perilaku Moral Anak di Sekolah. Skripsi. Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sanderson, S., & Thompson, V. L. S. (2002). Factors Associated with Perceived Paternal Involvement in Childrearing. Sex Roles: A Journal of research, pp.99+

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu

Shapiro, J. L. (2003). The Good Father (Terjemahan dari The Measure of a Man: Becoming the Father You Wish Your Father Had Been). Bandung: Penerbit Kaifa

Sudarto, A. (2014). Studi Deskriptif Kepuasan Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.3 No.1 Syarifah, H., Widodo, P. B., & Kristiana I. F. (2012). Hubungan antara Persepsi terhadap Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dengan Kematangan Emosi

pada Remaja di SMA Negeri “X”. Proceeding Temu Ilmiah Nasional VIII

IPPI. 230-283

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta : Pustaka Phoenix

Trahan, M., & Cheung, M. (2012). Fathering Behavior within the Context of Role Expectation and Marital Satisfaction: Framework for Studying fathering Behavior. Journal of Family Strengths. Vol. 12, Iss.1, Article 7


(6)

103

Walgito, B. (1984). Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fak. Psikologi UGM

Wardhani, N. A. K. (2012). Self Disclosure dan Kepuasan Perkawinan Pada Istri di Usia Awal Perkawinan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.1 No.1

Yusuf, S. (2012). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya