Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan Di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang mencerminkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan di wilayah
pesisir dan antara makhluk hidup itu sendiri, yang terpengaruh pasang surut
air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang mampu tumbuh
dalam perairan asin/payau. Indonesia mempunyai luas hutan mangrove 25%
dari luas hutan mangrove yang ada di dunia (Sanudin dan Harianja, 2009).
Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan
dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut
beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi. Salah
satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan
di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang
menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga dapat
mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut.
Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka, yang
dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut (Kawaroe, 2001).
Perlu diketahui bahwa hutan mangrove tidak hanya melengkapi pangan
bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga dapat menciptakan suasana iklim yang
kondusif bagi kehidupan biota aquatik, serta memiliki kontribusi terhadap

keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Kekhasan tipe perakaran beberapa
jenis tumbuhan mangrove seperti Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia
sp. dan kondisi lantai hutan, kubangan serta alur-alur yang saling berhubungan
merupakan perlidungan bagi larva berbagai biota laut (Pramudji, 2001).

Universitas Sumatera Utara

7

Interaksi

vegetasi

mangrove

dengan

lingkungannya

mampu


menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan hidup beberapa
organisme akuatik, sehingga dimana terdapat mangrove berarti di situ juga
merupakan

daerah perikanan

yang subur.

Hal ini didukung dengan hasil

penelitian Wei-dong, dkk. (2003), yang melaporkan bahwa jumlah spesies ikan di
daerah mangrove dapat mencapai lebih dari 100 spesies.
Mangrove, dalam skala ekologis merupakan ekosistem yang sangat
penting, terutama karena daya dukungnya bagi stabilitas ekosistem kawasan
pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan mempunyai pengaruh yang sangat
luas tehadap kelestarian wilayah pesisir. Mangrove sebagai ekosistem hutan,
memiliki sifat dan ciri yang sangat khas, tumbuh pada pantai berlumpur dan
muara sungai (Karminarsih, 2007).


Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove di Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta
hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar di luar kawasan hutan.
Kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau
44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan 4,2 juta hektar atau 87,50
persen, antara tahun 1982-1993 telah terjadi pengurangan hutan mangrove seluas
513.670 ha atau 46.697 ha per tahunnya (Gunawan dan Anwar, 2005). Menurut
Asian Wetland Bureau luas hutan mangrove Indonesia hanya tersisa 2,5 juta ha,
dan untuk pemulihan fungsi hutan mangrove diperlukan rehabilitasi atau restorasi.
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat
cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran
lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti

Universitas Sumatera Utara

8

badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati
mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai,
menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan dan Winarno,

2006).
Di lain pihak, ekosistem ini mengalami berbagai tekanan yang sangat berat
akibat perluasan dari berbagai keinginan pemanfaatan lainnya. Seringkali
pemikiran pemanfaatannya hanya didasarkan atas evaluasi ekonomi yang sempit,
yang hanya terfokus pada satu penggunaan mangrove. Padahal jika dikaji secara
luas, ekosistem mangrove memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks, yang
meliputi fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi. Untuk itu perlu dilakukannya
pengelolaan (Karminarsih, 2007).
Kekayaan sumberdaya alam mangrove berupa formasi vegetasi yang
unik, satwa serta asosiasi yang ada di dalam ekosistem mangrove memiliki
potensi

yang

dapat dijual

sebagai

obyek


wisata,

khususnya ekowisata.

Sebagai sebuah kawasan ekowisata yang menawarkan konsep pendidikan dan
konservasi sekaligus tempat rekreasi

alternatif

di

alam

terbuka,

hutan

mangrove harus bersaing dengan banyak kawasan yang lebih menarik.
Dengan demikian pengembangan potensi wisata dilakukan melalui kemasan
yang menarik, antara lain melalui pengembangan mangrove-resort yang

memiliki peran wisata dalam kegiatan konservasi dan pemeliharaan ekosistem
mangrove (Wardhani, 2011).

Zonasi Mangrove
Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi
sesuai dengan faktor lingkungan yang mendukung mangrove untuk tumbuh

Universitas Sumatera Utara

9

subur. Pada sebagian besar hutan mangrove yang sudah dipengaruhi kegiatan
manusia (antropogenik) pada umumnya zonasi sulit ditentukan, selain itu
zonasi mangrove juga bisa dipengaruhi tingginya sedimentasi dan perubahan
habitat. Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi
tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove
(Samsumarlin, dkk., 2015).
Banyak faktor lingkungan yang diduga sebagai pengendali zonasi
mangrove. Namun faktor yang diduga dominan mengontrol zonasi vegetasi
mangrove masih menjadi perdebatan para peneliti. Hasil penelitian pada

komunitas mangrove di Pantai Napabalano Kabupaten Muna provinsi Sulawesi
Tenggara menunjukkan bahwa pola zonasi mangrove berhubungan dengan
panjang dan berat propagul. Individu yang mempunyai propagul lebih berat dan
panjang akan menempati zona luar dan sebaliknya akan menempati zona yang
lebih dalam (Jamili, dkk., 2009).

Peranan Ekosistem Mangrove
Peranan ekosistem mangrove yang unik dan penting sudah banyak
diketahui orang. Mangrove dibagi menjadi dua bagian, dipandang dari sudut
ekosistemnya dan dari sudut komponennya. Dari sudut ekosistem, dilihat
kegunaan hutan secara utuh, termasuk daerah litoral dan pantai di sekitarnya,
untuk berbagai keperluan dan kesejahteraan manusia dan lingkungan secara
umum. Sedangkan dari sudut komponen, dilihat komponen biotik utama, terutama
tumbuhan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan manusia (Wibowo dan
Handayani, 2006).

Universitas Sumatera Utara

10


Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting di lingkungan
pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis.
Fungsi fisik adalah sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan
ombak, pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologis
adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery
ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota
laut lainnya. Fungsi ekonomis adalah sebagai penghasil kayu untuk bahan baku
dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut
adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan
menstabilkan ekosistem laut maupun daratan (Hiariey, 2009).
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien
dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut.
Ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang
akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga
berfungsi

sebagai

penjebak sedimen


(sediment

trap)

sehingga

sedimen

tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem
terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak
(gelombang) dan arus laut. Keberadaan hutan mangrove juga penting bagi
pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan
angin, air pasang, dan badai (Rusdianti dan Sunito, 2012).
Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove,
Bann (1998) membaginya kedalam 4 domain yaitu: (i) fungsi produksi yang
berkelanjutan, (ii) fungsi pengatur lingkungan, (iii) fungsi konversi, dan (iv)
adalah fungsi informasi.

Universitas Sumatera Utara


11

Faktor Pertumbuhan Mangrove
a. Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting
dalam

pertumbuhan,

daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan

mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 ppt - 30 ppt.
Salinitas yang tinggi akan berdampak pada tajuk mangrove semakin jauh dari
tepian

perairan

secara umum

menjadi


kerdil

dan

berkurang komposisi

spesiesnya (Wantasen, 2013).
Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi
terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada
lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air. Avicennia sp.
merupakan jenis yang paling memiliki kemampuan toleransi tinggi terhadap
kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Avicennia sp.
mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati air tawar sampai
dengan salinitas 90 ‰. Pada kondisi salinitas yang ekstrim ini, pohon
tumbuh kerdil, dan kemampuan untuk menghasilkan buah menjadi hilang.
Namun demikian, tumbuhan mangrove tidak dapat bertumbuh pada lingkungan
yang benar-benar tawar (Noor, dkk., 2006).
b. Suhu
Suhu air sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang jatuh ke
permukaan air yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian lagi
diserap dalam bentuk energi panas. Pengukuran suhu sangat diperlukan untuk
mengetahui karakteristik perairan. Suhu air merupakan faktor abiotik yang
memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan.

Universitas Sumatera Utara

12

Penurunan biomassa dan keanekaragaman organisme ketika suhu air meningkat
lebih dari 28oC (Barus, 2004).
Keadaan suhu yang baik, akan menentukan proses fisiologis seperti
fotosintesis

dan

respirasi.

Kisaran

suhu optimum

untuk

pertumbuhan

beberapa jenis mangrove, yaitu : Avicennia sp. tumbuh baik pada suhu 18-20
ºC, Rizhophora sp., Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera
racemosa, pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC,
suhu optimum Bruguiera spp. 27 ºC, Xylocarpus granatum spp. berkisar
antara 21-26 ºC dan X. granatum 28 ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik
memerlukan suhu rata-rata minimal 20ºC. Temperatur rata-rata udara yang
penting untuk pertumbuhan mangrove berkisar 20º-40ºC (Tomascik, dkk., 1997).
c. pH
Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya
proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah. Apabila pH turun,
maka yang akan terjadi antara lain: penurunan oksigen terlarut, konsumsi
oksigen menurun, peningkatan aktivitas pernapasan, dan penurunan selera
makan. Rentang toleransi pH sekitar 6,0-9,0, dan pH yang optimal sekitar
7,0-8,5. Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting
dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove (Wantasen, 2013).
pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran
dengan melihat tingkat keasaman atau kebasaan air yang dikaji, terutama oksidasi
sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi kalsium dan magnesium
pada proses pembasaan. Besarnya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan
indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

13

ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang amat bermanfaat bagi
kehidupan vegetasi akuatik (Asdak, 2007).
Nilai pH tanah dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada
tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh dikawasan

tersebut. Jika kerapatan

rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak
berbeda, yaitu antara 4,6 – 6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (Arief,
2003).
d. Pasang surut
Faktor ombak yang kuat akibat tiupan angin yang cukup kencang, juga
berpengaruh terhadap keberhasilan propagule menjadi semai. Di Pulau Kaledupa
angin dengan kecepatan 20 knot/jam terjadi antara bulan Desember-Februari dan
pada musim timur kecepatan angin 7-15 knot/jam. Aktivitas pasang surut mampu
membawa propagule-propagule dari semua ukuran (dan spesies) ke semua bidang
zona pasang surut. Di Pulau Kaledupa, pada surut terendah substrat di depan
formasi mangrove terluar dapat mencapai kurang lebih 600 m ke arah laut (Jamili,
dkk., 2009).

Aliran Energi pada Ekosistem Mangrove
Sebagai suatu ekosistem di wilayah pesisir, hutan Mangrove memiliki
fungsi dalam menunjang perkembangan serta kelestarian potensi sumberdaya
alam hayati lainnya. Hutan Mangrove dapat memberikan kontribusi besar
terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi
biota di perairan sekitarnya. Proses dekomposisi daun Mangrove menciptakan
rantai makanan detritus yang kompleks, sehingga memperkaya produktivitas
hewan bentos

yang

hidup

di

dasar

perairan. Kehadiran organisme

Universitas Sumatera Utara

14

dekomposer yang melimpah merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis
larva ikan, udang, dan biota lainnya yang sudah beradaptasi sebagai pemakan
dasar. Detritus yang dihasilkan tidak hanya menjadi dasar bagi pembentukan
rantai makanan di ekosistem Mangrove, tetapi juga penting sebagai sumber
makanan dan nutrien bagi biota di perairan pantai yang berada dekat dengan
estuaria (Noer, 2009).
Hasil dari produksi serasah di mangrove berperan sebagai bahan
makanan

bagi

makrobentos

dan menyokong

rantai

makanan

di

hutan

mangrove yang terdiri dari ikan, krustasea, dan invertebrata serta penghasil unsur
hara bagi perairan sekitarnya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus
yang merupakan sumber makanan bagi organisme laut. Besarnya sumbangan
detritus dari ekosistem mangrove berkaitan dengan proses dekomposisi serasah
dalam ekosistem mangrove. Melalui proses ini hara dalam jumlah yang cukup
besar dapat dihasilkan (Muhammad, dkk., 2013).

Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut
Nilai ekonomi yang terkandung dalam ekosistem sumberdaya pada
dasarnya terdiri atas nilai manfaat langsung (direct use value) dan nilai manfaat
tidak langsung (indirect use value). Nilai manfaat langsung (direct use value)
adalah output (barang dan jasa) yang terkandung dalam ekosistem yang secara
langsung dapat dimanfaatkan, seperti ikan, udang, kepiting, dll. Nilai ini
didapatkan dengan melakukan survey langsung ke masyarakat untuk mengetahui
jumlah tangkapan dan harga jual dari masingmasing komoditi yang dihasilkan
(Putera dan Sallata, 2015).

Universitas Sumatera Utara

15

Menurut Barbier, dkk. (1997), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah
ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total
valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem
dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu,
misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial
analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan
pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga
total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat.
Besarnya manfaat yang ada pada ekosistem hutan mangrove, memberikan
konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin
tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada
degradasi lingkungan yang cukup parah. Sebagai contoh adalah berkurangnya
luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Masyarakat hanya menilai hutan
mangrove dari segi ekonominya saja tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik
dan juga biologi yang ditimbulkan (Suzana, dkk., 2011).

Universitas Sumatera Utara

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan (Desember 2016 - Februari
2017) di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat
Provinsi Sumatera Utara. Peta lokasi disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Deskripsi Lokasi Penelitian
Stasiun 1
Terletak berdekatan dengan tepi pantai, secara geografis memiliki
koordinat 04 o07’39,71”LU, 098o30’97,87”BT. Area ini memiliki ketersediaan
mangrove jenis Rhizophora spp. dan Avicennia spp. yang jumlahnya melimpah.
Kondisi stasiun 1 berdekatan dengan bibir pantai dan terpengaruh oleh pasang
surut air laut. Kondisi stasiun 1 dapat dilihat pada Gambar 3.

Universitas Sumatera Utara

17

Gambar 3. Stasiun 1
Stasiun 2
Terletak pada anak sungai yang langsung berbatasan dengan muara.
Secara geografis, letak stasiun 2 berada pada koordinat 04o02’36,799”LU, 098o
17’46,498”BT. Area ini di dominasi oleh tanaman Avicennia spp. dan Rhizophora
spp. Di area tersebut terdapat kegiatan penangkapan udang dalam bentuk
perangkap. Stasiun ini memiliki substrat berlumpur. Kondisi stasiun 2 dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Stasiun 2
Stasiun 3
Terletak pada anak sungai yang berhubungan langsung dengan perairan
sekitar muara. Stasiun ini terletak pada koordinat 04o03’06,302”LU, 098o
16’26,133”BT. Area ini dijumpai tumbuhan Rhizophora spp. yang melimpah.
Dan tidak ditemukan lagi tumbuhan Avicennia spp. Stasiun ini memiliki substrat
yang pada umumnya lumpur. Kondisi dari stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 5.

Universitas Sumatera Utara

18

Gambar 5. Stasiun 3
Stasiun 4
Terletak pada anak sungai yang berhubungan langsung dengan muara
sungai dan tempat pertemuan dari beberapa anak sungai lainnya. Letak geografis
dari stasiun 4 adalah 04o03’43,682”LU, 098o16’47,364”BT. Beberapa dijumpai
tumbuhan Sonneratia spp. dan didominasi oleh Rhizophora spp. Stasiun 4
memiliki substrat berlumpur. Kondisi stasiun 4 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Stasiun 4
Stasiun 5
Terletak pada anak sungai lebih ke hulu dan tidak berbatasan langsung
dengan muara. Pada stasiun ini dijumpai beberapa aktivitas warga seperti kebun
sawit, dan terhubung pada anak sungai pada Ekowisata Mekar. Letak geografis
dari stasiun 5 adalah 04

o

06’70,65”LU, 098o 28’20,10”BT. Pada stasiun ini

terdapat Sonneratia spp. dalam jumlah yang melimpah. Stasiun 5 memiliki

Universitas Sumatera Utara

19

substrat berlumpur. Kondisi stasiun 5 dapat dilihat pada Gambar 7. Keadaan
umum dari lokasi penelitian di Setiap Stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 7. Stasiun 5
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning
System (GPS), meteran, tali plastik, gunting, kantong plastik, timbangan, kamera,
thermometer, litter trap, litter bag, hand refraktometer, buku identifikasi
mangrove (Noor, dkk., 2006) dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah serasah daun mangrove,
kertas label, karet gelang, tally sheet, spidol permanen, dan tisu.

Prosedur Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara
dan observasi. Metode wawancara ini mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Diharapkan
dengan cara ini dapat mengumpulkan informasi mengenai nilai dan manfaat dari
ekosistem mangrove untuk perikanan. Metode observasi pada penelitian ini
dilakukan dengan cara pencatatan secara sistematis terhadap jenis pohon, jumlah
pohon, dan produksi serasah. Dalam metode ini akan dihasilkan data primer yang

Universitas Sumatera Utara

20

digunakan dalam mengestimasi produksi perikanan melalui produksi serasah
(Romadhon, 2008).
Objek penelitian adalah ekosistem mangrove, sumberdaya perikanan, dan
masyarakat.

Obyek

penelitian

dipilih

secara

sengaja

(purposive)

(Yuningsih, dkk., 2013). Peneliti menggunakan metode tersebut dengan
pertimbangkan bahwa ada keterkaitan antara kawasan mangrove dengan
sumberdaya perikanan di sekitarnya.

Jenis dan Sumber Data
Data primer meliputi karakteristik pohon mangrove, parameter fisika dan
kimia lingkungan, produktivitas primer ekosistem mangrove, data sosial ekonomi
nelayan dan petambak terkait dengan pemanfaatan ekosistem mangrove.
Sedangkan data sekunder meliputi data produksi perikanan, jumlah nelayan,
jumlah petambak, luas tambak dan mangrove (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis Data Penelitian
No.
1.

Data
Kondisi Umum Lokasi

Alat
Kertas dan
Bulpen

2.

Karakteristik Mangrove
(Kerapatan, Tinggi,
diameter, dan Jenis)

GPS, Kamera,
Meteran, Tali

3.

Parameter Lingkungan
(Suhu, Salinitas,
Tekstur Sedimen)
Serasah Mangrove
untuk menduga
produksi perikanan

Refraktometer
Termometer
Plastik
Kantong plastik
litter trap 1x1 m2.
litter bag,
timbangan, tali
raffia
Bulpen, kertas,
dan laptop
Kertas dan
Bulpen
Kertas dan
Bulpen

4.

5.
6.
7.

Nilai Pemanfaatan
(Konsumen Surplus)
Luas mangrove dan
tambak
Jumlah nelayan dan
petambak

Metode
Wawancara dan
Pengamatan
Langsung
Transek kuadran
10x10 m dan
pengamatan visual
Jenis : Noor dkk.
(2006)
In situ

Jenis
Primer dan
Sekunder

Sampel dioven pada
suhu 105 oC selama
24 jam. Setelah itu
ditimbang.

Primer

Kuisioner

Primer

Survey

Primer dan
Sekunder
Primer dan
Sekunder

Survey

Primer

Primer

Universitas Sumatera Utara

21

Karakteristik Ekosistem Mangrove
Karakteristik ekosistem mangrove meliputi: kerapatan, jenis dan diameter
batang. Untuk pengambilan sampel dilakukan pengamatan transek kuadran
secara purposive sampling pada lima (5) stasiun, yang dianggap mewakili
mangrove yang berbatasan dengan laut (stasiun 1 dan 2), dan mangrove bagian
hulu (3, 4, dan 5). Pengambilan data mangrove dilakukan dengan cara menarik
transek sejauh 100 m yang dibuat tegak lurus dari garis pantai. Pada setiap stasiun
terdiri dari 3 plot dengan ukuran 10 x 10 m (pohon), sebagai ulangan (Bengen,
2004). Pada setiap plot yang telah ditentukan, hitung jumlah pohon mangrove
untuk menghitung kerapatan pohon setiap stasiunnya. Pada setiap zona sepanjang
transek garis, ukur parameter lingkungan yang ditentukan dan pada setiap petak
contoh (plot), amati dan catat tipe substrat. Prosedur pengamatan dan
pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 8.

Arah Rintis

Gambar 8. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon

Universitas Sumatera Utara

22

Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia
Parameter Fisika dan kimia yang diamati meliputi jenis substrat, suhu,
salinitas. Stasiun pengambilan sampel dilakukan pada beberapa titik yaitu tiga
titik yang berada pada plot dalam stasiun.

Produksi Serasah Mangrove
Produksi serasah mangrove dihitung dengan menggunakan metode litter
trap. Litter trap berukuran 1 × 1 m² (Ashton, dkk., 1999) terbuat dari jaring
waring dipasang di bawah kanopi pohon pada ketinggian kira-kira 1-1,5 m di atas
permukaan tanah pada tiap-tiap petak atau plot. Tiap stasiun diletakkan 5 buah
litter trap secara acak (Mahmudi, 2010). Serasah yang jatuh di atas jaring diambil
dan dimasukkan ke dalam kantong plastik setiap 14 hari selama empat (4) kali
(Aida, dkk., 2014). Selanjutnya serasah dipisahkan berdasarkan komponen daun,
ranting dan buah. Setiap komponen ditimbang berat sebelum dioven (berat basah)
dan setelah dioven pada suhu 105 ºC sampai beratnya konstan (berat kering)
(Ashton, dkk., 1999). Desain dan ilustrasi pemasangan perangkap serasah selama
penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Desain dan ilustrasi pemasangan perangkap serasah

Universitas Sumatera Utara

23

Pemanfaatan Ekosistem Mangrove untuk Perikanan
Manfaat

mangrove

bagi

masyarakat

diidentifkasi

dari

kegiatan

pemanfaatan perikanan seperti nelayan dan aktifitas pemanfatan habitat seperti
tambak. Manfaat diperoleh dengan mengetahui pendapatan, harga ikan,
pendidikan, umur, dan jumlah keluarga nelayan dan petambakdengan teknik
wawancara. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling.
Kemudian data tersebut diolah dengan Microsoft Excel dan software Maple 11
untuk mengetahui surplus konsumen dan nilai ekonomi pemanfaatan (Raharja,
dkk., 2014).
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Langkat. Data sekunder yang digunakan meliputi:
1. Statistik perikanan tangkap Kabupaten Langkat Tahun 2016.
2. Statistik perikanan budidaya Kabupaten Langkat Tahun 2016.
3. Data jumlah nelayan dan petambak di Desa Lubuk Kertang Tahun 2016.
4. Luas mangrove dan tambak Tahun 2016

Analisis Data
Analisis Hubungan Karakteristik Mangrove dan Parameter Fisika Kimia
Hubungan antara karakteristik mangrove dengan parameter lingkungan
dianalisis dengan

Agglomerative Hierarchical Clustering (AHC) untuk

dikelompokkan dalam kelas yang memiliki karakteristik yang sama atau
berdekatan (Aida, dkk., 2014). Analisis untuk mengelompokkan

stasiun

penelitian yang memiliki karakteristik yang sama atau mirip ke dalam satu
kelas sehingga dapat dibedakan produksi serasah mangrove yang dihasilkan.

Universitas Sumatera Utara

24

Analisis Indeks Nilai Penting
Menurut Bengen (2004), nilai penting ini memberikan gambaran tentang
peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem dan dapat juga digunakan untuk
mengetahui dominansi suatu spesies dalam komunitas. Indeks Nilai Penting untuk
pohon merupakan penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi
relatif.
INP = KR + FR + DR
Keterangan:
KR (Kerapatan relatif) =

x 100 %

FR (Frekuensi Relatif) =

x 100 %

DR (Dominasi Relatif) =

x 100 %

Analisis Indeks Keragaman (H’) Shannon-Wiener
Indeks keragaman (H’) menggambarkan keragaman, produktivitas,
tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem (Bengen, 2004).
H’ =
Keterangan :
Pi
= ∑ni/N
H’
= Indeks Keragaman Shannon-Wiener
Pi
= Jumlah individu suatu spesies/jumlah total seluruh spesies
Ni
= Jumlah individu spesies ke-i
N
= Jumlah total individu
Kisaran nilai hasil perhitungan indeks keragaman (H’) menunjukkan bahwa jika:
H’ > 3 : Keragaman spesies tinggi
1

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan Di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

1 8 107

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan Di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan Di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan Di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

1 1 6

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan Di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

1 3 29

Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 1 2

Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Berandan Barat Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

1 4 3