Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-EL di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir (Studi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir )

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah menerapkan e-Government yang bertujuan untuk mewujudkan
pemerintahan yang demokratis, transparan, bersih, adil, akuntabel, bertanggung jawab,
responsif, efektif dan efisien. e-Government memanfaatkan kemajuan komunikasi dan
informasi pada berbagai aspek kehidupan, serta untuk peningkatan daya saing dengan
negara-negara lain. Seperti yang tercantum dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. e-Government menerapkan sistem
pemerintahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan,
meningkatkan transparansi, dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat, serta
meningkatkan pelayanan publik.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh pemenrintah. Berbagai metode yang digunakan oleh pemerintah agar
kemudian orientasi dari pelayanan public bisa kemudian dilaksanakan dengan prima dan
bisa menyentuh secara langsung kepada rakyat. (Dewi Sheila, 2013:1)
Implementasi e-Government dalam pelayanan publik dengan penggunaan
teknologi dan informasi yang saat ini sedang dilaksanakan dalam bidang pemerintahan
adalah KTP-el. Melihat dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, Pemerintah

memerlukan program kependudukan yang akurat.

1

Universitas Sumatera Utara

KTP-el adalah kartu tanda penduduk elektronik sebagai identitas penduduk
resmi negara Indonesia yang berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan). Inisiasi
KTP-el dimulai tahun 2009 dan mulai diterapkan secara nasional pada bulan Februari
2011. KTP-el diprakarsai mengingat sudah banyak negara di dunia yang menggunakan
sistem serupa, oleh karena itu Indonesia berusaha mengembangkan sistem administrasi
pemerintahan dengan menerapkan KTP-el. Fungsi KTP-el adalah:
1) Sebagai identitas jati diri.
2) Berlaku secara nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk
pengurusan izin, pembukaan rekening bank, dan sebagainya.
3) Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP.
4)Terciptanya

keakuratan


data

penduduk

untuk

mendukung

program

pembangunan.
Penyelenggaraan administrasi kependudukan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang Undang No. 23 Tahun 2006 adalah terwujudnya Tertib Database
Kependudukan, Tertib Penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Tertib Dokumen
Kependudukan, untuk mewujudkan tujuan utama penyelenggaraan administrasi
kependudukan tersebut, perlu penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang Berbasis
NIK Secara Nasional (KTP Elektronik) untuk setiap penduduk wajib KTP. Pemanfaatan
e-KTP diharapkan dapat berjalan lancar karena memiliki fungsi dan kegunaan yang
sangat membantu pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan dalam hal pemberian
dan pemanfaatan pelayanan publik. (Nenden Fitri, 2012:1-2)


2

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan KTP-el dipandang sangat relevan dengan rencana pemerintah dalam
upaya menciptakan pelayanan publik yang berkualitas dan berbasis teknologi untuk
mendapatkan hasil data kependudukan yang lebih tepat dan akurat. KTP-el merupakan
KTP nasional yang sudah memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam Undang
Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden
No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan
secara nasional, dan Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas
Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009.
Pemerintah perlu melaksanakan program tersebut dengan sebaik-baiknya,
sehingga nantinya akan mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari
lembaga pemerintah dan swasta karena KTP-el merupakan electronic KTP yang dibuat
dengan sistem komputer, sehingga dalam penggunaannya nanti diharapkan lebih mudah,
cepat dan akurat. Pemerintah membuat kebijakan program KTP-el baik bagi
masyarakat, bangsa dan negara dimaksudkan agar terciptanya tertib administrasi. Selain
itu diharapkan agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mencegah dan

menutup peluang adanya KTP ganda atau KTP palsu yang selama ini banyak
disalahgunakan oleh masyarakat dan menyebabkan kerugian bagi negara. Untuk
mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat, khususnya yang
berkaitan dengan data penduduk wajib KTP yang identik dengan data penduduk pemilih
pemilu (DP4), sehingga DPT pemilu yang selama ini sering bermasalah tidak akan
terjadi lagi.(Nenden, Fitri, 2012:2-3)

3

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Pusat telah menetapkan 5 (lima) tahapan agar menjamin keakuratan
data dari setiap warga sehingga KTP-el tersebut tidak dapat diperbanyak atau
digandakan. Berikut 5 (lima) tahap dalam pembuatan KTP-el, yaitu:
1. Pembacaan biodata; warga datang berdasarkan waktu yang telah ditentukan
dengan membawa surat pengantar yang telah diberikan oleh pihak RT/RW
setempat.
2. Foto; Warga diharuskan melakukan foto diri terlebih dahulu. Foto yang
dilakukan sebaiknya memakai pakaian yang rapi, karena foto KTP-el ini hanya
dilakukan satu kali saja dan tidak bisa diganti dalam jangka waktu 5 (lima tahun)

kecuali kartu tersebut rusak atau hilang sebelum masa perpanjangan.
3. Perekaman tanda tangan; Warga diwajibkan melakukan tanda tangan untuk
kemudian direkam ke dalam komputer dan disimpan untuk identitas warga.
4. Scan sidik jari; Scan sidik jari ini dilakukan dengan kelima jari warga,
jikawarga mengalami kecacatan pada jari, maka dapat dilakukan dengan jari
yang ada saja.
5. Scan retina mata; Tahap ini dilakukan untuk menjamin keakuratan dari warga
tersebut karena scan jari tidak dapat menjamin keakuratan KTP-el, bisa saja
ketika dilakukan tahap scan jari, warga tersebut memakai jari orang lain. Untuk
itu dilakukan scan retina karena retina mata tidak dapat digantikan oleh orang
lain.

4

Universitas Sumatera Utara

Faktanya masih banyak penerapan KTP-el tidak berjalan dengan lancar, berikut
terdapat masalah terkait tidak lancarnya penerapan program e-KTP yang terjadi
diberbagai daerah diantaranya:
1. Lanti, Yuniar (2012:11)

Implementasi Kebijakan KTP-el di Kecamatan Singkil Kota Manado.
Jumlah penduduk di Kota Manado 41.866 jiwa, yang sudah meneriman KTP-el
28.233 jiwa dan 12.649 jiwa yang belum melakukan perekaman. Pelaksanaan
KTP-el masih terlaksana sekitar 75% dikarenakan oleh beberapa factor
diantaranya kelalaian dalam perekaman, masih ada masyarakat yang belum
mendapat undangan pembuatan KTP-el, adanya sebagian dari masyarakat
Kecamatan Singkil sedang berada diluar kota, dan beberapa masyarakat yang
kehilangan NIK.
2. Abu Bakar, Raja Shah (2012:18-19)
Implementasi Kebijakan KTP-el di Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjung
Pinang.
Adapun masalah yang didapat terkait implementasi kebijakan KTP-el adalah
masih kurangnya sosialisasi tentang penerapan KTP-el kepada masyarakat
Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjung Pinang, masih kurangnya sarana dan
prasarana dalam keberhasilan implementasi kebijakan, dan masih kurangnya
staff yang ahli dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
3. Rahmaningsih, Eni (2010:13-14)
Impelementasi Kebijakan Pembuatan KTP-el di Kecamatan Pontianak Utara.

5


Universitas Sumatera Utara

Jumlah penduduk kecamatan Pontianak Utara sebanyak 148.044 jiwa.
Pengimplementasian kebijakan KTP-el masih belum berjalan dengan lancar
karena masih ada penduduk yang belum melakukan perekaman sekitar 23,15%,
masih banyak warga yang telah wajib KTP tetapi belum terdata, kurangnya
informasi terkait penerapan kebijakan KTP-el, dan masih terbatasnya alat untuk
proses pembuatan KTP-el membuat proses tersebut menjadi terlambat
dikarenakan jumlah penduduk yang begitu besar.
4. Thoifur Arif, Ahmad dan Hambali (2011:71-72)
Implementasi Kebijakan Program KTP-el di Kecamatan Purwosari Kabupaten
Pasuruan.
Adapun masalah yang terdapat terkait penerapan kebijakan KTP-el meliputi
masih banyaknya warga yang telah wajib KTP tetapi belum terdata, SDM yang
kurang optimal dan siap, kurangnya informasi yang didapat warga terkait
pengetahuan tentang KTP-el tersebut, pemerintah Kabupaten Pasuruan kurang
melakukan koordinasi dan komunikasi yang baik dengan Kecamatan Purwosari,
dan operator yang menangani program KTP-el kurang konsisten dalam
menjalankan tugas yang diberikan.

5. Ireine, Purnawati (2010:6-7)
Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-el di Kecamatan Amurang Barat
Kabupaten Minahasa Selatan.
Terdapat 1.200 jiwa warga Kecamatan Amurang Barat yang belum terdata untuk
perekaman KTP-el, kemampuan SDM dalam menangani pembuatan KTP-el
masih kurang siap dan optimal, kurangnya pemberian pelayanan yang baik oleh

6

Universitas Sumatera Utara

pegawai operator kepada masyarakat, kurangnya fasilitas yang mendukung
pembuatan KTP-el, kurangnya sosialisasi sehingga menyebabkan informasi
yang didapat warga terkait pelaksanaan KTP-el, dan adanya ketidakdisiplinan
yang dilakukan oleh pegawai operator dalam pelaksanaan program KTP-el.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik melakukan
penelitian untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan implementasi pelayanan KTP-el
yang dilakukan pegawai Kabupaten Samosir kepada masyarakat wilayah Kabupaten
Samosir. Adapun judul yang diangkat peneliti adalah “Implementasi Kebijakan
Pelayanan KTP-el Di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Samosir.”
1.2 Fokus Masalah
Dalam penelitian kualitatif perlu dibuat batasan masalah yang berisi fokus atau
pokok permasalahan yang diteliti. Ini bertujuan untuk memperjelas dan mempertajam
pembahasan. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
bagaimana penerapan kebijakan pelayanan KTP-el Dalam Pelayanan Publik Di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir.
1.3 Rumusan Masalah
Perumusan sangat penting agar diketahui arah jalannya suatu penelitian dan
untuk lebih memudahkan penelitian nantinya. Hal ini senada dengan pendapat “Agar
penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis merumuskan
masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, ke mana harus pergi dan dengan
apa” (Arikunto, 1998:17)

7

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dalam melakukan penelitian ini
merumuskan masalah “Bagaimana implementasi kebijakan pelayanan KTP-el Di

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil?”
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dituliskan di atas maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi
Kebijakan Pelayanan KTP-el di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Samosir.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberi manfaat:
1. Secara subyektif, bermanfaat bagi peneliti dalam melatih dan
mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, dan sistematis dalam
mengembangkan kemampuan penulis dalam karya ilmiah.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
yang berguna bagi instansi terkait.
3. Secara akademis, peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang ingin melakukan
penelitian dibidang yang sama.

1.6 Kerangka Teori
Dalam rangka menyusun penelitian ini dan untuk mempermudah penulis
didalam menyelesaikan penelitian ini, maka dibutuhkan suatu landasan berfikir yang

dijadikan pedoman untuk menjelaskan masalah yang sedang disorot. Pedoman tersebut
disebut kerangka teori. Menurut Sugiono (2010:7) menyebutkan landasan teori perlu

8

Universitas Sumatera Utara

ditegakkan agar penelitian ini mempunyai dasar yang kokoh, dan buka sekedar
perbuatan coba-coba.
1.6.1 Kebijakan Publik
Menurut William N Dunn (2003:10) kebijakan publik dalam arti historis yang
paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai
pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan
dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan
pengetahuan dan tindakan.

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam
kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang
mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh
warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya
yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang
mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).

Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan
publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya
sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu
yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi
isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati
oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi
suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan

9

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik
tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.

Thomas R. Dye (2005:10) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apa saja
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, apabila pemerintah
memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan negara tersebut
harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan
pemerintah atau pejabatnya. Di samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh
pemerintah juga termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak
dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan
“sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah.
Kebijakan Publik merupakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi orangorang banyak pada tataran strategis atau yang bersifat garis besar yang dibuat oleh
pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik tersebut, maka
kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yaitu mereka yang menerima
mandat dari publik atau orang banyak, pada umumnya melalui suatu proses pemilihan
untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan
oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama dari kebijakan publik dalam negara modern
yaitu pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh
negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang
banyak. Menyeimbangkan peran negara yang memiliki kewajiban dalam menyediakan
pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi. Pada sisi yang lain

10

Universitas Sumatera Utara

menyeimbangkan berbagai kelompok di dalam masyarakat dengan berbagai
kepentingan, serta untuk mencapai amanat konstitusi.
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:

Gambar 1.1 Tahap Kebijakan Publik
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Penyusunan agenda (Agenda Setting) adalah sebuah fase dan proses yang sangat
strategis dalam realitas kebijakan publik. Sebelum kebijakan ditetapkan dan
dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan
memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas.
Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin
untuk diseleksi. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut
sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah
isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas
dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya
publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk
menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue
kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy

11

Universitas Sumatera Utara

problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara
para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Penyusunan agenda kebijakan
seharusnya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga
keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi,
esensi, dan keterlibatan stakeholder.
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulating)
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil
untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption)
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan
rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus
percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung
berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar
untuk mendukung pemerintah.

12

Universitas Sumatera Utara

d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian
dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala.
Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di
lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan.
Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta
berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam
implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus
dapat diatasi sedini mungkin.
e. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi
dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa
meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan
untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak
kebijakan.

1.6.2 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan

13

Universitas Sumatera Utara

kebijakan

publik,

ada

dua

pilihan

langkah

yang

ada,

yaitu

langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat
atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat
diamati dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model
tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya
manajemen sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang
kemudian diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatankegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasama
pemerintah dengan masyarakat.
Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno, 2008:146-147) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam keputusan-keputusan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusankeputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun
dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik
yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan. Adapun makna
implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana
dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa:
Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-

14

Universitas Sumatera Utara

usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata
pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau
diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu
proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran sendiri
kebijakan itu.
1.6.3 Model Implementasi Kebijakan
1.6.3.1 Model Implementasi Edward III
Edward III (dalam Subarsono, 2008: 90-92) berpandangan bahwa implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
1. Faktor Komunikasi
Proses penyampaian pesan, ide dan gagasan dari satu pihak kepada pihak lain yang
dilakukan dalam implementasi kebijakan electronic Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) di
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir. Sehingga dapat
diketahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada
yang dirugikan. Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat
kebijakan dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu
hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.

15

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Sumber Daya
Pelaksana yang bertanggung jawab untuk melaksanakan Implementasi kebijakan
elektronik Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Samosir. Jika para personil yang mengimplementasikan kebijakan
kurang bertanggung jawab dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan
pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.
3. Faktor Disposisi (pelaksana)
Kecenderungan-kecenderungan sikap positif pelaksana untuk melaksanakan kebijakan
yang menjadi tujuan dalam implementasi kebijakan electronic Kartu Tanda Penduduk
(KTP-el) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir. Menurut
Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya
harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai
kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
4. Faktor struktur birokrasi
Struktur organisasi, pembagian wewenang dalam implementasi kebijakan electronic
Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Samosir. Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu
kebijakan sudah mencukupi dan para implementor mengetahui apa dan bagaimana cara
melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi
kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienan sturktur
birokrasi yang ada. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama

16

Universitas Sumatera Utara

banyak orang. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung
kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang
baik. Menurut Edward III terdapat 2 karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja
struktur birokrasi kearah yang lebih baik yaitu dengan melakukan Standart Operating
Prosedures (SOP) dan fragmentasi.
a. Berdasarkan Permendagri No. 35 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan: Standard Operating
Prosedures (SOP) adalah mekanisme, sistem dan prosedur pelaksana kebijakan,
pembagian tugas pokok, fungsi kewenangan, dan tanggung jawab dalam implementasi
kebijakan electronic Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Samosir.
b. Fragmentation (penyebaran tanggung jawab) adalah penyebaran tanggung
jawab atas bidang kebijakan antara beberapa unit organisasi oleh pelaksana dalam
implementasi kebijakan electronik Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir.
Struktur Birokrasi menurut Edwards (dalam Budi Winarno, 2008: 203) terdapat
dua karakteristik utama, yakni Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentasi:
“SOP atau prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar berkembang sebagai
tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana
serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang
kompleks dan tersebar luas. Sedangkan fragmentasi berasal dari tekanan-tekanan diluar
unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan

17

Universitas Sumatera Utara

pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi pemerintah.”
1.6.3.2 Model Implementasi Merilee S.Grindle
Model implementasi kebijakan selanjutnya dikemukakan oleh Grindle
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa
setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan hasilnya
ditentukan oleh implementability. (Nugroho, 2008: 445). Menurutnya keberhasilan
implementasi kebijakan dapat dilihat dari dua hal yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi
kebijakannya.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua
faktor, yaitu:
a. Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan
kelompok
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok
sasaran dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh tingkat
implementability kebijakan itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of Policy dan
Context of Policy, Grindle (dalam Agustino, 2006:1168).

18

Universitas Sumatera Utara

1. Content of Policy menurut Grindle adalah
a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, berkaitan dengan berbagai
kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan, indikator ini
berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak
kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh
terhadap implementasinya.
b. Jenis manfaat yang bisa diperoleh. Pada poin ini Content of Policy berupaya
untuk menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat
beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Setiap kebijakan mempunyai target
yang hendak dan ingin dicapai. Adapun yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah
bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu
implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d. Letak pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan
mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini
harus dijelaskan di mana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak
diimplementasikan.
e. Pelaksana program. Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus
didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi
keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus terdata atau terpapar dengan baik pada
bagian ini.

19

Universitas Sumatera Utara

f. Sumber-sumber daya yang digunakan. Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus
didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaanya berjalan
dengan baik.
2. Context of Policy menurut Grindle adalah
a. Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat.
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan,
kepentingan-kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor guna
memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak
diperhitungkan

dengan

matang,

besar

kemungkinan

program

yang

hendak

diimplementasikan akan jauh panggang dari api.
b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa. Lingkungan di mana suatu
kebijakan dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian
ini ingin dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu
kebijakan.
c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Hal lain yang dirasa
penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari
para pelaksana. Maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh mana
kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan yang ditentukan oleh isi atau konten dan lingkungan atau
konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan
dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat

20

Universitas Sumatera Utara

diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga tingkat
perubahan yang diharapkan terjadi.
Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif
akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima
implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor
implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
1.6.3.3 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier
Menurut

Mazmanian

dan

Sabatier

(dalam

Subarsono,

2011:

94)

mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel:
1. Variabel Independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan
dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2. Variabel Intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses

implementasi

dengan

indikator

kejelasan

dan

konsistensi

tujuan,

dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis
diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan
pejabat pelaksana dan keterbukaaan kepada pihak luar. Sedangakan variabel diluar
kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator
kondisi sosio-ekonomi dan teknomogi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari
konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas
kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

21

Universitas Sumatera Utara

3. Variabel Dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan,
yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan
pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut dan
akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut
ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
1.6.3.4 Model Implementasi Donald S.Van Meter dan Carl. E. Van Horn
Implementasi menurut Van Meter dan Vanhorn dalam buku The Policy
Implementation Process: A Conceptual Framework, menjelaskan bahwa:
“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu
individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan” (Meter dan Vanhorn, 1975:447).
Berdasarkan pengertian implementasi di atas Van Meter dan Van Horn
(1975:462-478) mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan
suatu implementasi yang disebut dengan A Model of The Policy Implementation, yaitu:
1. Sasaran (Standar) dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya
jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di
level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal
(bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan

di

level

warga,

maka

agak

sulit

merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

22

Universitas Sumatera Utara

2. Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan

sumber

daya

yang

terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap
tertentu dari keseluruhan proses implementasi menurut adanya sumber daya manusia
yang

berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah

ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber
daya itu nihil, maka sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi di luar sumber daya manusia,
sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan
sumber daya waktu. Karena mau tidak mau ketika sumber daya manusia yang kompeten
dan kapabel telah tersedia sedangkan pencairan dana melalui anggaran tidak tersedia,
maka menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh
kebijakan publik tersebut. Demikian halnya dengan sumber daya waktu, saat sumber
daya manusia giat bekerja dan pencairan dana berjalan dengan lancar tetapi terbentur
dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal itu pun dapat menjadi penyebab
ketidakberhasilan implementasi kebijakan.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi non
formal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting
karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciriciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Misalnya implementasi
kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia

23

Universitas Sumatera Utara

secara radikal, maka agen pelaksana proyek itu haruslah berkarakteristik keras dan
ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu
merubah perilaku dasar manusia maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak
sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama. Selain itu cakupan atau luas
wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak
menentukan agen pelaksana. Maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan,
Van Meter dan Van Horn mengemukakan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh
terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan yakni:
a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan
b. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan sub unit dan proses dalam
badan-badan pelaksana
c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara
anggota legislative dan eksekutif)
d. Vitalitas suatu organisasi
e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai
jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertical secara bebas serta
tingkat kebebasan yang secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu
diluar organisasi
f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan “pembuat keputusan” atau
“pelaksana keputusan”

24

Universitas Sumatera Utara

4. Komunikasi antar organisasi aktivitas pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik.
Semakin baik komunikasi dan koordinasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk
terjadi. Dan begitu pula sebaliknya.
5. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
Hal lain yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan publik
dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauhmana
lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah
ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi
penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk
mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan lingkungan
eksternal. Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan
ekonomi, sosial, dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi
karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan
pencapaian itu sendiri. Kondisi-kondisi lingkungan sangat berpengaruh pada keinginan
dan kemampuan yuridiksi atau organisasi dalam mendukung struktur, vitalitas, dan
keahlian yang ada dalam badan-badan administrasi maupun tingkat dukungan politik
yang dimiliki. Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh pada kecenderungankecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh
suatu program begitu berat dan para warga negara swasta serta kelompok-kelompok
kepentingan dimobilisasi untuk mendukung suatu program maka besar kemungkinan

25

Universitas Sumatera Utara

para pelaksana menolak program tersebut. Van Meter dan van Horn lebih lanjut
menyatakan bahwa kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana suatu
kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu. Namun
akhirnya variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung
pelayanan publik yang dilakukan. Dengan kata lain, kondisi-kondisi lingkungan
mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungankecenderungan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga
mempunyai pengaruh terhadap implementasi program.
6. Disposisi/Kecenderungan dari para pelaksana/impelementor
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.

Hal

ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil
formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang
mereka rasakan. Melainkan kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah
kebijakan “dari atas ke bawah” (top down) yang sangat mungkin para pengambil
keputusannya tidak mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan,
keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
1.6.4 Administrasi Kependudukan
1.6.4.1 Pengertian Administrasi Kependudukan
Berdasarkan Undang Undang No. 24 pasal 1 tahun 2013 Administrasi
Kependudukan adalah, merupakan rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam

26

Universitas Sumatera Utara

penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, catatan
sipil, pengelolaan informasi aminduk serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan
publik dan pembangunan sektor lain.
1.6.4.2 Tujuan Administrasi Kependudukan
1. Tertib Database Kependudukan
a.

Terbangunnya

database

kependudukan

yang

akurat

di

tingkat

Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat;
b. Database kependudukan Kabupaten/ Kota tersambung (online) dengan
Provinsi dan Pusat dengan menggunakan Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan (SIAK);
c. Database kependudukan Depdagri dan daerah tersambung (online) dengan
instansi pengguna.
2. Tertib Penerbitan NIK
a. NIK diterbitkan setelah penduduk mengisi biodata penduduk per keluarga (F1.01) dengan menggunakan SIAK;
b. Tidak adanya NIK ganda;
c. Pemberian NIK kepada semua penduduk harus selesai akhir tahun 2011.
3. Tertib Dokumen Kependudukan (KTP, KK, AKTA CAPIL)
a. Prosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. Tidak adanya dokumen kependudukan ganda dan palsu.

27

Universitas Sumatera Utara

1.6.4.3 Ruang Lingkup Administrasi Kependudukan

1. Pendaftaran Penduduk
a. Pencatatan biodata
b. Pencatatan Atas Pelaporan Peristiwa Kependudukan, meliputi:
1. Penerbitan NIK
2. Perubahan alamat
3. Pindah dalam wilayah Indonesia
4. Pindah antar Negara
5. Penduduk pelintas batas
6. Pendataan penduduk rentan aminduk
7. Pelaporan penduduk yang tidak mampu mengantar sendiri
2. Pencatatan Sipil
a. Pencatatan Atas Pelaporan Peristiwa Penting, meliputi:
1. Kelahiran
2. Lahir mati
3. Perkawinan
4. Pembatalan Perkawinan
5. Perceraian
6. Pembatalan Perceraian
7. Kematian
8. Pengangkatan Anak
9. Pengakuan anak
10. Pengesahan anak
11. Perubahan nama

28

Universitas Sumatera Utara

12. Perubahan status kewarganegaraan
13. Peristiwa penting lainnya
14. Pelaporan penduduk yang tidak mampu mengantar sendiri

1.6.4.4 Perubahan Mendasar dalam UU No.24 tahun 2013/ Adminduk
1. Masa berlaku KTP-el (KTP elektronik)


Semula 5 (lima) tahun diubah menjadi berlaku seumur hidup sepanjang tidak ada
perubahan elemen data dalam KTP (Pasal 64 ayat 7 huruf a Undang Undang No.
24 Tahun 2013).



KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum berlakunya Undang Undang No. 24
Tahun 2013 ini, ditetapkan berlaku seumur hidup (Pasal 101 point c Undang
Undang No. 24 Tahun 2013).
2. Penggunaan Data Kependudukan Kementerian Dalam Negeri



Data Kependudukan Kementerian Dalam Negeri yang bersumber dari data
kependudukan kabupaten/kota, merupakan satu-satunya data kependudukan
yang digunakan untuk semua keperluan: alokasi anggaran (termasuk untuk
perhitungan DAU), pelayanan publik, perencanaan pembangunan, pembangunan
demokrasi, penegakan hukum, dan pencegahan kriminal (Pasal 58 Undang
Undang No. 24 Tahun 2013).
3. Pencetakan Dokumen/ Personalisasi KTP-el



Pencetakan dokumen/personalisasi KTP-el yang selama ini dilaksanakan
terpusat di Jakarta akan diserahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan

29

Universitas Sumatera Utara

Sipil Kabupaten/Kota pada Tahun 2014 (Pasal 8 ayat 1 huruf c Undang Undang
No. 24 Tahun 2013).
4. Penerbitan Akta Kelahiran yang Pelaporannya melebihi Batas Waktu 1
(satu) Tahun


Semula penerbitan tersebut memerlukan penetapan Pengadilan Negeri, diubah
cukup dengan Keputusan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten/Kota. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal
30 April 2013.
5. Penerbitan Akta Pencatatan Sipil



Semula dilaksanakan di tempat terjadinya Peristiwa Penting, diubah menjadi
penerbitannya di tempat domisili penduduk.
6. Pengakuan dan Pengesahan Anak



Dibatasi hanya untuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah sah
menurut hukum agama tetapi belum sah menurut hukum negara (Pasal 49 ayat
2). Pengesahan anak yang selama ini hanya dengan catatan pinggir diubah
menjadi Akta Pengesahan Anak (Pasal 49 ayat 3 Undang Undang No. 24 Tahun
2013).
7. Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Tidak Dipungut
Biaya (Gratis)



Larangan untuk tidak dipungut biaya semula hanya untuk penerbitan KTP-el,
diubah menjadi untuk semua dokumen kependudukan seperti KK, KTP-el, Akta
Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Kematian, Akta Perceraian, Akta Pengakuan
Anak, dan lain-lain (Pasal 79A Undang Undang No. 24 Tahun 2013).

30

Universitas Sumatera Utara

8. Pencatatan Kematian


Pelaporan pencatatan kematian yang semula menjadi kewajiban penduduk,
diubah menjadi kewajiban RT atau nama lain (Kepling) untuk melaporkan setiap
kematian warganya kepada Instansi Pelaksana (Pasal 44 ayat 1 Undang Undang
No. 24 Tahun 2013).



Pelaporan tersebut dilakukan secara berjenjang melalui RW atau nama lain,
Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
9. Stelsel Aktif



Semula stelsel aktif diwajibkan kepada penduduk, diubah menjadi stelsel aktif
diwajibkan kepada pemerintah melalui petugas.
10. Petugas Registrasi



Petugas Registrasi membantu Kepala Desa atau Lurah dan Instansi Pelaksana
dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Pasal 12 ayat 1 Undang
Undang No. 24 Tahun 2013). Petugas Registrasi diangkat dan diberhentikan
oleh Bupati/Walikota. Petugas Registrasi harus PNS, diubah diutamakan PNS
(Pasal 12 ayat 1 Undang Undang No. 24 Tahun 2013).
11. Pengangkatan Pejabat Struktural pada Unit Kerja Administrasi
Kependudukan



Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani administrasi kependudukan di
provinsi, diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri atas usulan
Gubernur (Pasal 83A ayat 1 Undang Undang No. 24 Tahun 2013).

31

Universitas Sumatera Utara

12. Pendanaan Program dan Kegiatan Adminduk dibebankan pada APBN


Pendanaan

untuk penyelenggaraan

program

dan

kegiatan

administrasi

kependudukan, baik di provinsi maupun kabupaten/kota dianggarkan dalam
APBN (Pasal 87A Undang Undang No. 24 Tahun 2013)
13. Penambahan Sanksi


Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan
manipulasi data kependudukan dan/atau elemen data penduduk dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 75.000.000 (Pasal 94 Undang Undang No. 24 Tahun 2013).
1.6.5 Konsep Pelayanan Publik
1.6.5.1 Pengertian Pelayanan Publik
Undang Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan

pelayanan publik sebagai berikut: pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Sedangkan Lewis dan Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik
sebagai berikut: pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap
pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan
secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan publik yang
adil dan dapat dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan

32

Universitas Sumatera Utara

etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk
mewujudkan pemerintah yang baik.
Pelayanan publik menurut Wasistiono (Hardiyansyah 2011 : 11) adalah
pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak
swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan
dan atau kepentingan masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa
pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya
menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di pusat, di daerah,
dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan. Menurut (Juliantara,
2005:10) tujuan pelayanan publik adalah memuaskan atau sesuai dengan keinginan
masyarakat/pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas/mutu
pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan. Dan
hakekat dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat
yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.
1.6.5.2 Dimensi Pelayanan Publik
Fitzsimmons dalam Sedarmayanti (2004:15) mengemukakan bahwa kualitas
pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauh mana
kualitas dari pelayanan tersebut, dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu :

33

Universitas Sumatera Utara

1. Reliability (Handal), kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar,
jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.
2. Responsiveness (Pertanggungjawaban), kesadaran atau keinginan untuk
membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.
3. Assurance (Jaminan), pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan,
kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respon terhadap konsumen.
4. Empathy (Empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan,
memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan
kebutuhan konsumen.
5. Tangibles (Terjamah), penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya,
seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.

1.6.5.3 Standart Pelayanan Publik
Menurut Undang Undang RI No. 25 tahun 2009 Penyelenggaraan pelayanan
publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya
kepastian

bagi

penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang

dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi
dan atau penerima pelayanan:
1) Prosedur pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan
termasuk pengadaan.
2) Waktu penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai
dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
3) Biaya pelayanan

34

Universitas Sumatera Utara

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang dititipkan dalam
proses pemberian pelayanan.
4) Produk Pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
5) Sarana dan prasarana
Penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadai moleh penyelenggara
pelayanan publik.
6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat
berdasarkan

pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang

dibutuhkan.

1.6.6 Konsep KTP-el
1.6.6.1 Pengertian KTP-el
Menurut Undang Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, definisi dari KTP-el atau kartu tanda penduduk elektronik adalah
dokumen kependudukan yang memuat system keamananan atau pengendalian baik dari
sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada pada database
kependudukan nasional.
Penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor
Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan
berlaku seumur hidup. Nomor NIK yang ada di KTP-el nantinya akan dijadikan dasar

35

Universitas Sumatera Utara

dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas H