Hubungan Paparan Zat Debu Besi Terhadap Gangguan Transportasi Mukosiliar Hidung pada Pekerja Pabrik PT. GGS Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Transportasi Mukosiliar Hidung
Pengertian transportasi mukosiliar hidung (mucociliary transport)
secara harfiah menurut Academic Dictionaries and Encyclopedias (2011)
adalah “the process by which cilia (see cilium) move a thin film of mucus
from the upper and lower respiratory tracts towards the digestive tract.
Particles of dust and microorganisms are trapped on the mucus and
thereby removed from the respiratory”. Berdasarkan definisi di atas dapat
dijelaskan bahwa

transportasi mukosiliar hidung adalah suatu proses

dimana terjadi pergerakan silia hidung dari pernafasan bagian atas dan
bawah ke organ pencernaan. Partikel, debu asap dan mikroorganisme
yang terperangkap pada palut lendir akan dikeluarkan dari saluran
pernafasan dan hal ini merupakan salah satu fungsi pertahanan lokal
pada mukosa hidung.
2.2. Anatomi Permukaan Hidung
Mukosa pada lapisan hidung merupakan mukosa respiratori berlapis

semu yang berisi sel-sel silia, basal dan goblet. Dimana sel ini ditopang
oleh membran basal, lamina propria yang berisi pembuluh-pembuluh
darah kecil, pleksus vena, duktus mukosa, kelenjar serosa, saraf-saraf
sensori, dan sel-sel darah (Ballenger JJ, 2003).

Gambar 2.1. Mukosa Hidung (Sumber: Laranti, 2012).

6
Universitas Sumatera Utara

7

Pada awal tahun 1934, Lucas dan Douglas menjelaskan bahwa
struktur palut lendir terdiri dari dua lapis. Lapisan yang melingkupi silia
adalah cairan serous yang dihasilkan oleh sel-sel yang bersilia. Bagian
atasnya terdapat cairan viscoelastic. Palut lendir di hidung terdiri dari 95%
air, 3 % glicoprotein (mucin), 2% garam, Ig A, lysozymes dan lactoferin.
Adanya palut lendir menyebabkan permukaan hidung selalu basah
sehingga setiap partikel yang masuk ke mukosa hidung bersama udara
dapat terperangkap. Saat silia bergerak, ujung dari silia akan mendorong

palut lendir (Mulyamin dkk, 2012).
Pada manusia, silia terdapat pada saluran nafas termasuk di telinga
tengah dan sinus. Silia memiliki ukuran panjang sekitar 6 m dan diameter
250 nm. Jumlah silia di saluran pernafasan adalah sekitar 109 per cm2 dan
biasanya untuk saluran pernafasan dengan penampang yang luas lebih
panjang dan tersusun lebih padat dibandingkan di daerah bronkhiolus.
Setiap silia tertanam pada badan sel yang letaknya tepat di bawah
permukaan sel. Setiap silia diselubungi oleh lanjutan membran sel atau
membrana plasma. Di dalam silia ada sehelai filamen atau fibril yang
disebut aksonema. Di bawah aksonema terdapat badan basal yang
silindris dan pendek dan pada bagian bawahnya memanjang sampai ke
sitoplasma apikal yang disebut sebagai tempat akar. Pada bagian ini silia
tertanam dengan kuat dan dari bagian ini akan meneruskan impuls saraf
dari satu silia ke silia disebelahnya sehingga timbul irama yang selaras.
Struktur cytoskeletal bagian dalam dari silia disebut aksonema memiliki
perbandingan 9 : 2 dengan struktur mikrotubulus dan sama halnya dengan
hubungan protein dengan mikrotubulus beberapa diantaranya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop elektron. Ada dua lengan yang tersusun
dengan teratur pada silia yang terdiri dari ATPase yang dinamakan
dengan lengan dyenin yang menghubungkan subfibril A dengan B dari

pasangan sebelahnya. Selain itu ada penghubung lain antara subfibril A
dan B dari pasangan sebelahnya yang tersusun teratur seperti halnya
dyenin pada interval tertentu disepanjang subfibril yang diduga berasal

Universitas Sumatera Utara

8

dari bahan elastin yang disebut neksin. (Munkholm dan Mortensen, 2014;
Ballenger JJ, 1994).
Gerakan silia terjadi karena tubulus saling meluncur diatas tubulus
lainnya, sehingga timbul gerakan seperti meluncur dan mengakibatkan
silia menunduk. Energi untuk proses ini berasal dari lengan dyenin
(ATPase) yang memecah adenosin trifosfat. Pada waktu menunduk,
terjadi proses penambatan kembali jari-jari dimana poros gerakan silia
adalah garis tegak lurus pada bidang yang menghubungkan pasangan
tubulus sentral. Sel-sel silia akan gugur dan diganti secara teratur dan
kemungkinan besar sel-sel basal mempunyai potensi untuk berdiferensiasi
menjadi sel goblet atau sel bersilia sesuai dengan kebutuhan. Saat ini
belum diketahui dengan jelas apa yang dapat mengontrol gerak silia,

tetapi kontrol saraf akan mempengaruhi komposisi mukus. Asetilkolin
akan

meningkatkan

frekuensi

gerak

silia

pada

kodok,

dan

5

hidroksitriptamin (serotonin) meningkatkan gerak silia pada moluska tapi

efeknya kecil pada mamalia. Adenosin trifosfatase merupakan sumber
energi utama pada aktivitas silia mamalia (Munkholm dan Mortensen,
2014 ; Balenger JJ, 1994).

Outer dynein arm
Radial Spoke
Outer Microtubule
Central Microtubule
Inner dynein arm
Nexin

Gambar 2.2. Pola pergerakan Mikrotubulus (Ballenger, 2003).

Universitas Sumatera Utara

9

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi
akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai

daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gerak maju dan
mundurnya silia disebut irama. Ada gerak maju yang kuat dan efektif,
dimana silia tegak dan ujungnya mencapai lapisan mukus superfisial yang
menyelimutinya. Kemudian gerak kembali dengan arah yang berlawanan
tidak begitu kuat, lebih lambat dan silianya melengkung sehingga tidak
mencapai lapisan mukus di permukaan. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini terkoordinasi dengan baik dimana gerakannya dapat
mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya dengan prinsip yang di
depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia di belakangnya.
Gerakan ini merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan
sinkron. Aktifitas koordinasi saraf dari silia belum diketahui. Aktifitas silia
suatu sel akan berjalan terus meskipun ada perubahan serius pada
sitoplasma proksimal dan intinya. Aktifitas silia dapat dilihat dari sel epitel
yang ditemukan dalam lendir encer penderita salesma. Bila epitel silia
diangkat, maka epitel akan dapat tumbuh kembali tanpa gangguan
efisiensi atau perubahan arah. (Ballenger JJ, 1994; Rubin BK, 2014).
Silia merupakan sel yang tangguh, dimana aktivitasnya berlangsung
terus menerus tanpa kehilangan kekuatan, meskipun selalu basah oleh
sekret purulen berbulan-bulan lamanya. Kebanyakan bakteri juga tidak

atau kurang berpengaruh terhadap gerak silia. Pada orang meninggal,
setelah 72 jam masih ditemukan pergerakan silia yang aktif. Pada
keadaan tanpa oksigen sel silia akan terus aktif namun kurang efisien.
Kekeringan akan menimbulkan kerusakan silia yang permanen. Silia
harus selalu diselimuti oleh lapisan lendir agar dapat tetap aktif. Beberapa
macam virus saluran pernafasan terutama virus influenza mampu
menghambat aktivitas silia, dimana akan tampak adanya partikel virus

Universitas Sumatera Utara

10

yang menempel pada silia dengan menggunakan fotomikograf elektron
(Ballenger JJ, 1994).

Gambar 2.3. Epitel Kolumnar Berlapis Semu Bersilia
(Sumber: Openstax College, 2013).
2.3. Transportasi Mukosiliar Hidung
Transport mukosiliar hidung terdiri dari dua sistem yang bekerja secara
simultan. Sistem ini tergantung pada gerakan aktif silia mendorong

gumpalan mukus. Ujung silia yang dalam keadaan tegak sepenuhnya
masuk menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah
posterior bersama-sama dengan materi asing

yang terperangkap

didalamnya ke arah faring. Lapisan cairan perisilia di bawahnya juga
dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum
diketahui dengan jelas. Di dalam faring kedua komponen palut lendir ini
ditelan atau dibatukkan. Kecepatan pembersihan oleh mukosiliar hidung
ini dapat diukur dengan mengikuti suatu partikel yang tidak larut dalam
permukaan mukosa. Partikel ini akan bergerak bersama gumpalan mukus.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan sakarin, sakarin akan menyatu
dengan cairan perisilia dan akan terasa oleh penderita pada waktu sampai
di faring. Apabila semua sistem ini macet maka materi yang terperangkap
oleh palut lendir akan sempat menembus mukosa dan dapat menimbulkan
penyakit. Pada umumnya orang yang memiliki transportasi yang lambat
kurang peka terhadap penyakit dibandingkan dengan transportasi yang
lebih cepat (Munkholm dan Mortensen, 2014 ; Balenger JJ, 1994).


Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.4. Pola pergerakan mukosiliar hidung (Ballenger, 2003).
2.4. Etiologi dan Patofisiolagi Mukosiliar Hidung
Ada dua alasan utama kenapa mukosiliar hidung dapat terganggu.
Transportasi mukosiliar hidung dapat terganggu secara langsung,
misalnya akibat gangguan genetik dari protein aksonema atau disfungsi
sementara yang diakibatkan oleh infeksi atau pengaruh lingkungan.
Namun lapisan mukosa juga merupakan alasan utama terganggunya
transportasi mukosiliar hidung dimana saat terjadi dehidrasi pada mukosa
akan meningkatkan viskositas sehingga transportasi mukosiliar hidung
menjadi tidak efektif. Selain itu, dehidrasi juga menyebabkan cairan
lapisan perisiliar akan menyusut sehingga silia akan menghimpit bagian
bawahnya dan akan menghalangi pergerakan mukosiliar hidung. Jika
lapisan cairan perisiliar semakin tipis, glycoprotein mucin dari mukosa
akan

mengikat


glycocalix

epithelial

seperti

Velcro

menghalangi

pergerakan silia secara radikal (Munkholm dan Mortensen, 2014).
Kondisi yang secara langsung mengakibatkan transportasi mukosilar
saluran nafas dibagi atas Primary and Secondary ciliary dyskinesia (PCD
and SCD). PCD merupakan gangguan autosomal resesif, namun
kadangkala X-Linked atau transmisi dominan autosomal dilaporkan dalam
keadaan baik. Keduanya secara fenotip dan genetic merupakan sebuah
kondisi yang mencerminkan kompleksitas molecular dari aksonema
dimana proses


mutasi dari beberapa gen yang berbeda dapat

Universitas Sumatera Utara

12

mengakibatkan kerusakan pada pergerakan mukosiliar hidung. Sampai
saat ini hanya beberapa mutasi yang diketahui secara pasti yang
menyebabkan PCD, dan dari beberapa mutasi ini diketahui penyebabnya
hanya sekitar 25% dari pasien-pasien yang didiagnosa. Tes genetik masih
jauh dari ketentuan umum yang berlaku. Secondary ciliary dyskinesia
disisi lain merupakan variasi yang sementara dimana kerusakan terjadi
pada pergerakan silia yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri atau
disebabkan oleh polusi udara seperti ozon, aldehida, dan asap rokok
(Munkholm dan Mortensen, 2014).
Disamping beberapa kondisi yang secara langsung mengakibatkan
terjadinya gangguan hidung, beberapa penyakit juga memiliki keadaan
mukosiliar hidung yang abnormal. Salah satunya adalah fibrosis kistik
yang disebabkan oleh mutasi pada gene encoding CFTR. Kerusakan gen
ini akan menyebabkan dehidrasi lapisan mukosa dan penyusutan lapisan
cairan perisiliar. Gangguan mukosiliar hidung juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit asma dan penyakit paru obstruktif kronik. Bagian
penting

dari

patogenesis

ini

adalah

bahwa

hipersekresi

mucin

menyebabkan jumlah mukosa yang berlebihan sehingga mengakibatkan
meningkatnya viskositas. Mukosa yang lengket ini sangat sulit untuk
dibersihkan dari saluran nafas dan pada kasus yang berat akhirnya
membentuk gumpalan lendir yang akan mengakibatkan terjadinya infeksi
dan aktelektasis (Munkholm dan Mortensen, 2014).
2.5. Pemeriksaan Transportasi Mukosiliar Hidung
Ada bermacam cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah sistem
transportasi mukosiliar hidung ini berjalan normal. Seperti pemeriksaan
ultrastruktur silia, frekuensi denyut silia, fungsi transportasi mukosiliar
hidung, konsistensi palut lendir dan pemeriksaan kandungan mukus.
Pemeriksaan transportasi mukosiliar hidung dapat digunakan uji sakarin.
Uji ini merupakan uji yang murah, sederhana dan merupakan standar
baku emas untuk uji perbandingan.

Universitas Sumatera Utara

13

Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Transportasi mukosiliar
hidung dapat diperiksa dengan menggunakan bahan yang dapat larut
seperti sakarin atau menggunakan bahan yang tidak dapat larut seperti
charcoal. Uji sakarin merupakan uji sederhana yang dapat dilakukan
berulang kali untuk menilai waktu transportasi mukosilliar hidung. Uji ini
telah dipakai secara luas untuk menilai waktu transportasi mukosiliar
hidung (Deborah dan Prathibha, 2014).
Cara penelitian dan pengukuran yang akan dilakukan pada sampel
adalah sebagai berikut :
1. Sampel diperiksa dalam posisi duduk dan diminta untuk meminum air
putih serta dikumur-kumur untuk menghilangkan rasa sisa makanan di
mulut.
2. Sampel dianjurkan untuk menghembuskan udara dari hidung untuk
mengeluarkan atau menyisihkan sekret-sekret di hidung.
3. Sampel dianjurkan untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk
dan bersin saat tablet sakarin sudah diletakkan.
4. Sebuah tablet sakarin dengan diameter sekitar 0,5 cm diletakkan 1 cm
dibelakang batas anterior konka inferior.
5. Kemudian sampel diminta untuk menelan secara periodik dan
stopwatch di hidupkan, sampel dianjurkan untuk menelan tiap ½ - 1
menit sampai penderita merasakan manis.
6. Waktu dinilai sejak tablet sakarin diletakkan di belakang konka inferior
hingga sampel pertama sekali merasakan rasa manis. Waktu ini
disebut waktu transportasi mukosilliar (Deborah dan Prathibha, 2014 ;
Balengger JJ, 2009).
Corey dan Yilmaz melaporkan bahwa transportasi mukosiliar hidung
pada orang dewasa normal adalah sekitar 17 menit (± 5 menit) sedangkan
pada anak-anak yang sehat sekitar 11 menit (±3 menit) (Corey & Yilmaz,
2009). Idealnya uji ini dilakukan dalam lingkungan yang relatif sama bagi
setiap penderita yang diuji. Perbedaan suhu dan kelembaban dapat
memberikan hasil yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

14

Sebelum dilakukan uji, sebaiknya dipastikan bahwa pasien telah
membersihkan mulutnya (Deborah dan Prathibha, 2014).
Disamping mengetahui sistem waktu transportasi mukosiliar hidung,
diperlukan juga pembahasan tentang pengecapan pada lidah dikarenakan
indikator penilaian waktu transportasi mukosiliar hidung adalah dengan
pengecapan rasa manis. Seperti diketahui bahwa beberapa sensasi di
lidah seperti rasa manis, pahit dan asin dimediasi melalui sistem Gustatori
dan dipersarafi oleh saraf kranial VII, IX dan X. Sebagian besar
pengecapan pada lidah ditemukan pada permukaan lidah dengan papilpapil yang menonjol, dimana dari empat tipe papil ini yaitu fungiform,
foliate, circumvallate, dan filiform hanya tiga yang pertama yang
berhubungan dengan pengecapan. Pengecapan secara terus menerus
dibasahi oleh sekret yang berasal dari kelenjar saliva dan kelenjar lingual.
Setiap perbedaan pengecapan rasa dipersarafi saraf kranial yang berbeda
pula, semua tergantung lokasi beradanya. Sensasi rasa pengecapan pada
papil fungiform di 2/3 lidah bagian anterior dan rasa pengecapan di
palatum molle dipersarafi oleh 2 masing-masing percabangan saraf
fasialis yaitu korda timpani dan petrosus mayor. Sementara hampir
keseluruhan dari papil circumvallate dan foliate dan 1/3 bagian belakang
lidah

dipersarafi

oleh

percabangan

tonsilolingual

dari

saraf

glossofaringeus. Rasa pengecapan dari nasofaring disuplai oleh cabang
faringeal dari saraf glossofaringeus. Pengecapan di epiglotis, lipatan
aryepiglotis dipersarafi oleh saraf vagus (Ballanger JJ, 2003).

Gambar 2.5. Uji Sakarin (Sumber: Deborah dan Prathibha, 2014).

Universitas Sumatera Utara

15

2.6. Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar Hidung
2.6.1. Kelainan kongenital
Salah satu kelainan kongenital yang berhubungan dengan gangguan
transportasi mukosiliar adalah sindrom kartagener dimana penyakit ini
diturunkan secara genetik, dan terlihat kehilangan sebagian atau seluruh
lengan dyenin luar maupun dalam.
Pada kelainan ini, motilitas silia tidak terganggu namun transportasi
mukosiliar tidak efektif karena terjadi gangguan yang sangat serius pada
kordinasi gerakan silia serta disorientasi arah denyutan. Sering disebut
sindrom silia immotil dan penderitanya sering menderita infeksi kronik
yang berulang akibat waktu transportasi mukosiliar yang sangat lambat
(Onerci dan Ferguson, 2013).
Fibrosis

Kistik

juga

merupakan

kelainan

kongenital,

dimana

ultrastruktur silia normal namun terdapat abnormalitas viskositas dari palut
lendir. Pada kelainan ini waktu transportasi mucosiliar lebih lambat dari
normal sehingga penderitanya sering menderita bronkiektasis (Onerci dan
Ferguson, 2013).
2.6.2. Alergi
Diduga

akibat

adanya

pembesaran

secara

mikroskopik

pada

sitoplasma pada penderita alergi yang menyebabkan gangguan pada
transportasi mukosiliar hidung. Namun hal ini masih dalam perdebatan
(Talbot AR, 1997).
2.6.3. Obat-obatan
Waktu transportasi mukosiliar hidung dapat semakin cepat jika
seseorang mengkonsumsi obat beta dua agonist. Selain itu waktu
transportasi mukosiliar hidung pada penderita rhinosinusitis kronik setelah
dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional yang mendapat terapi
adjuvant cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3% lebih cepat dibandingkan
dengan yang mendapat cairan isotonik NaCl 0,9% (Rubin BK, 2014).

Universitas Sumatera Utara

16

2.6.4. Struktur dan anatomi hidung
Aktivitas silia akan terganggu atau bahkan terhenti apabila permukaan
mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih dekat atau bertemu satu
dengan yang lain. Deviasi septum, konka bulosa atau kelainan struktur
lain di hidung dapat mengganggu transportasi mukosiliar hidung
(Openstax Collage, 2013).
Penelitian Takahashi dkk (2012) bertujuan membuktikan hipotesis
peradangan di sinus paranasal disebabkan oleh kelainan anatomi dan
fungsional di dinding lateral hidung. Perlakuan atau tindakan operasi
endonasal sinus endoskopik untuk sinusitis kronis adalah untuk
menghapus lesi obstruktif dan meningkatkan fungsi transportasi mukosiliar
hidung dalam sinus paranasal.
2.6.5. Infeksi
Infeksi rhinovirus merangsang produksi lendir yang berlebihan. Lendir
yang berlebihan ini dapat menyebabkan sumbatan pada jalan napas.
Rhinovirus adalah virus yang biasa dijumpai pada penderita commom cold
namun dapat menyebabkan eksaserbasi akut pada asma dan penyakit
paru obstruksi kronik. Terganggunya waktu transportasi mukosiliar hidung
dapat terjadi akibat lendir yang diproduksi menjadi semakin kental
meskipun fungsi silia tetap normal, sehingga mengakibatkan getaran
menjadi lebih lambat atau menjadi tidak teratur (Munkholm dan
Mortensen, 2014).
Dengan uji sakarin, telah dibuktikan bahwa waktu transportasi
mukosiliar hidung pada penderita PPOK lebih lambat dibandingkan
dengan orang normal. Waktu transportasi mukosiliar hidung semakin
cepat pada penderita penyakit paru obstruksi kronik yang telah menjalani
rehabilitasi (Deborah dan Prathibha, 2014).

Universitas Sumatera Utara

17

2.6.6. Merokok
Dermawan (2010) melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara waktu transportasi mukosiliar hidung perokok dengan
waktu transportasi mukosiliar hidung bukan perokok. Waktu transportasi
mukosiliar hidung pada kelompok perokok lebih lama dibanding kelompok
bukan perokok.
Nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada kelompok
perokok adalah 17,81 (SD ± A1,37) menit dan pada kelompok bukan
perokok adalah 10,23 (SD ± 0,69) menit.
2.6.7. Usia
Waktu transportasi mukosiliar hidung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Transportasi mukosiliar hidung melambat dengan
bertambahnya usia. Melambatnya transportasi mukosiliar hidung terlihat
sangat signifikan pada usia diatas 60 tahun (Valia, 2007).
2.6.8. Lingkungan
Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi
denyut silia bekerja normal pada pH 7-9. Keadaan lingkungan seperti
daerah sekitar pabrik dapat mengakibatkan perubahan pH, secara
otomatis akan berakibat pada efektifitas denyutan silia (Yasa, 2008).
Selain itu partikel yang terhirup pada saluran pernapasan secara
substansial dipengaruhi oleh ukuran partikel yaitu di bawah diameter 10
pM. Misalnya, sebagian besar dari partikel yang terhirup lebih besar dari 1
mikron dan melekat di saluran pernapasan bagian atas dan kemudian
ditransfer oleh transportasi mukosiliar ke saluran pencernaan, di mana
penyerapannya kemungkinan jauh berbeda dari partikel yang diserap dari
saluran pernafasan. Kurangnya informasi tentang ukuran partikel, bentuk
kimia, serta daya larut pada saluran pernapasan terkait dengan risiko
yang akan ditimbulkannya (Geiger A dan Cooper J, 2010).

Universitas Sumatera Utara

18

Ketika partikel melekat pada saluran pernapasan, pembersihan
partikel-partikel ini dilakukan melalui translokasi fisik partikel non-larut atau
dengan zat kimia partikel larut. Partikel larut yang melekat di saluran
napas dapat berinteraksi dengan lendir saluran pernafasan dan larut, dan
kemudian dapat diangkut keluar dari saluran pernapasan, atau partikel
tersebut diserap oleh sel-sel epitel dan kemudian diangkut ke dalam
sistem limfatik atau peredaran darah (Badenhorst, 2013).
Debu didefinisikan sebagai partikel padat kecil dengan ukuran kurang
dari 75 mikron (m). Definisi lebih luas menyatakan bahwa debu
merupakan "kecil, kering, partikel padat diproyeksikan ke udara oleh
kekuatan alam, seperti angin, letusan gunung berapi, dan oleh mekanik
atau buatan manusia proses seperti crushing, grinding, milling, drilling,
pembongkaran, menyekop, menyampaikan, skrining, mengantongi, dan
menyapu”. Partikel debu biasanya dalam rentang ukuran dari sekitar 1
sampai 100 mikron (Badenhorst, 2013).
Ada berbagai jenis debu yang ditemukan di lingkungan kerja, salah
satunya adalah debu metal, seperti besi, nikel, timah dan debu kadmium.
Biji besi direpresentasikan sebagai batuan dan mineral dimana besi bisa
digali melalui proses penambangan untuk penggunaan komersial. Besi
ditemukan dalam biji besi terutama terjadi dalam bentuk senyawa besioksida. Sumber utama senyawa besi-oksida adalah hematit, magnetit,
gutit dan limonit. Hematit (Fe2O3) berwarna merah dan terjadi dalam
segala bentuk yaitu dari batuan padat ke bumi longgar, magnetite (Fe3O4)
berwarna

hitam,

goethite

(Fe2O3)

berwarna

coklat

dan

Limonit

(Fe2O3H2O) adalah biji kuning-coklat yang merupakan campuran dari
goethite murni dan oksida besi terhidrasi. Hematit berasal dalam berbagai
bentuk batu, tetapi yang paling melimpah di formasi besi sedimen. Besi
diekstraksi dari biji hematit digunakan untuk produksi baja dan paduan
seperti ferroalloys, ferro silikon dan ferro mangan. Debu besi di udara
dapat menyebabkan berbagai efek kesehatan yang merugikan pada
sistem fisiologis, namun efek kesehatan yang dialami mungkin berbeda

Universitas Sumatera Utara

19

dengan pertambangan biji besi karena perbedaan komposisi unsur debu
dan senyawa kimia yang membentuk elemen-elemen ini. Biji besi
biasanya terdiri dari senyawa campuran kaya akan zat besi, dengan
beberapa tingkat senyawa yang memberikan kontribusi untuk kotoran.
Senyawa kimia yang merupakan kontributor pada biji besi adalah oksida
besi dan silika (Badenhorst, 2013).
Penelitian tentang dampak paparan debu besi terhadap manusia
melalui percobaan atau perlakuan pada tikus dilakukan oleh Teeguarden
dkk (2014) menyimpulkan bahwa terdapat respon paparan partikel oksida
besi pada batas 10mg/m3. Hasil ini dapat digunakan sebagai perhitungan
potensi bahaya paparan partikel atau debu besi pada manusia. Penelitian
tentang korelasi antara paparan debu perak dengan waktu transportasi
mukosiliar hidung dilakukan Suherman (2013) di Kota Gede Yogyakarta.
Hasilnya menunjukkan korelasi bermakna positif dan sangat kuat antara
lama bekerja dengan waktu transportasi mukosiliar hidung pada pekerja
kerajinan perak. Koefisien determinan dalam penelitian ini sebesar 0,793,
artinya bahwa lama bekerja berpengaruh sebesar 79,3% terhadap waktu
transport mukosiliar hidung, sedangkan 20,7 % dipengaruh oleh faktor
lain.
TUC dalam

guidance for health and safety representative (2011)

merekomendasikan perlindungan terbaik pada pekerja dari paparan debu
pada lingkungan kerja sebagai berikut: (a) lakukan penilaian risiko
termasuk bahaya debu dan bahwa pengusaha memiliki prosedur yang
tepat dalam mengendalikannya, (b) pastikan bahwa semua bagian dari
tempat kerja secara teratur dipantau untuk tingkat paparan serta setiap
pekerja berhak untuk melihat pemantauan tersebut, (c) apabila tingkat
debu di atas batas debu inhalabel dan terhirup dari 10 mg/m³ dan 4 mg/m³
maka pengusaha memiliki tanggung jawab hukum untuk mengambil
tindakan.

Universitas Sumatera Utara

20

2.7 Kerangka Konsep
Sehubungan dengan fokus penelitian ini pada paparan debu besi
dari lingkungan, maka kerangka konep penelitian sebagai berikut :

Lingkungan
Alergi

Paparan
senyawa bahan
iritan debu besi

Melekat di
Mukosa hidung

Hiperaktivitas mukosa

Kelainan
struktur
anatomi
hidung

Inflamasi Mukosa dan
Silia

Kelainan
kongenital
Infeksi

Nekrosis mukosiliar
hidung

Obat –
obatan
Gangguan Transportasi
Mukosiliar Hidung

Merokok
Usia

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian.
Berdasarkan kerangka konsep penelitian pada Gambar 2.5, dapat
dijelaskan bahwa paparan debu besi pada pekerja di lingkungan kerjanya
diduga dapat mengakibatkan gangguan transportasi mukosiliar hidung.
Dampak dari paparan debu besi tersebut diukur menggunakan tes
sakarin, yang bertujuan mengukur

gangguan transportasi mukosiliar

hidung.

Universitas Sumatera Utara