Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT.

INDONESIA PUTRA PRATAMA CILEGON TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

DISUSUN OLEH: NABILA DEWI ICHSANI

1111101000067

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2015


(2)

(3)

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Desember 2015

Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 xvii + 89 halaman, 19 tabel, 14 gambar, 1 bagan, 5 lampiran

ABSTRAK

Penurunan kapasitas vital paru (KVP) dapat berupa restriksi, obstruksi atau keduanya (gabungan restriksi dan obstruksi). Sejumlah faktor baik faktor non-pekerjaan dan lingkungan kerja dapat memengaruhi turunnya KVP. Debu merupakan salah satu faktor di lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan penurunan KVP pada pekerja seperti pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Penelitian dilakukan pada Juni-Oktober 2015. Faktor-faktor yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. Sampel penelitian ini sebanyak 24 pekerja. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa spirometer, EPAM 5000, thermohygrometer digital, kuesioner dan lembar observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami penurunan KVP sebanyak 20,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui variabel yang berhubungan dengan KVP adalah variabel penggunaan masker (Pvalue = 0,01).

Untuk menurunkan risiko penurunan KVP pada pekerja pengolahan batu split, disarankan agar pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah selesai, menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja, dan melakukan olahraga secara rutin.

Daftar bacaan : 85 (1978 – 2015)


(4)

iii

STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH

DEPARTEMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, December 2015

Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067

Factors Associated to Worker’s Vital Capacity at Split Stone Processing PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon 2015

xvii + 89 pages, 19 tables, 14 pictures, 1 schema, 5 attachments ABSTRACT

The decrease level of vital capacity can be restriction, obstruction or both of them. Some factors, like non jobs and environment can lead the decrease level of vital capacity. Dust is one of environment factors which can causes the decrease level of worker’s vital capacity like all split stone workers at PT. Indonesia Putra Pratama.

The goals of this research is knowing all factors that have associated with vital capacity in split stone processing workers of PT. Putra Pratama Indonesia Cilegon 2015. The research was conducted on June-October 2015. The factors of this research are dust level of PM1,0, and PM2,5, temperature, jumidity, work period, exposure period and mask utilization. The total sample of this research are 24 workers. The method of this research was cross sectional. Data was collected by using research instruments such as spirometers, EPAM 5000, digital thermohygrometer, questionnaires and observation sheets.

The results showed the percentage of workers that had the decrease level of vital capacity are 20,8%. Based on the results of statistical test, the variable that known as associated with vital capacity is mask utilization (Pvalue = 0,01).

To reduce the decrease level of stone split worker’s vital capacity, it is recommended that workers are leave the workplace right after the job is done, use mask at work site all the time and have some workout or exercise.

References : 85 (1978 – 2015)


(5)

(6)

(7)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS PRIBADI

Nama : Nabila Dewi Ichsani

Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 26 Maret 1994

Alamat Asal : Jalan Haji Djiran No. 11 RT 003 RW 001 Kelurahan Pinang, Tangerang

Alamat Sekarang : Jl. Kertamukti Gang Buni (Lap. Rohama) No. 88E RT. 005/09, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.

Agama : Islam

No. Telp : 082123187858

Email : nabilaichsani@ymail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

2011- 2015 : Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2011 : SMA Budi Luhur Tangerang

2005-2008 : SMP Budi Luhur Tangerang 1999-2005 : SDN Pinang 3 Tangerang


(8)

vii PENGALAMAN ORGANISASI

2010-2011 : Pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) SMA Budi Luhur Tangerang

2013-2014 : Anggota Environmental Health Student

Association (ENVIHSA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

PENGALAMAN KERJA

1. Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur, Tangerang Selatan

2. Pengalaman Orientasi Kerja di RS Antam Medika Pulo Gadung

3. Pengalaman Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Soekarno Hatta


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan nikmat yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT.

Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis

haturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat.

3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Dosen Pembimbing I dan II atas segala dukungan, saran, kritik, semangat, dan kepercayaannya yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

4. Dosen-dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

5. Keluarga yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa demi kelancaran penyusunan skripsi ini. Ayah, Mama, Uda Yopie, Abang Reno, Uni Ratih, Uda Bayu, Kak Ira dan Bang Ijal. Terima kasih banyak!

6. PT. Indonesia Putra Pratama yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian disana. Pak Cui, Pak Narno dan para staf yang telah membantu penelitian ini.


(10)

ix

7. Teman-teman seperjuangan kesling 2011 (Efri, Onoy, Fia, Lifi, Mba Feela, Shela, Ika, Ikoh, Rahmatika, Sarjeng, Awal, Eka, Pewe, Rois, Almen dan Hari) dan terutama untuk Ayu, Betti, Niken, Tika, Cepol, Caca, dan Inu yang telah membantu selama proses penyusunan skripsi.

8. Kak Ami yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan.

9. Para alien, Erin, Kiki dan Kadek, sahabat tersayang yang selalu memberi semangat dan tidak berhenti mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Terakhir, Ilham Eka Praditya atas semangat, dorongan, saran, perhatian dan

kesabarannya dalam menghadapi keluh kesah penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran perbaikan dari pembaca.

“Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”

Jakarta, November 2015


(11)

x DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4 Tujuan ... 9

1.4.1 Umum ... 9

1.4.2 Khusus ... 9

1.5 Manfaat Penelitan... 11

1.5.1 Bagi Perusahaan ... 12

1.5.2 Bagi Pekerja ... 11

1.5.3 Bagi Peneliti ... 11

1.6 Ruang Lingkup ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kapasitas Vital Paru ... 12

2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru ... 14

2.2 Pencemaran Udara ... 17

2.3 Batu Split ... 19

2.4 Debu ... 20

2.4.1 Sifat-Sifat Debu ... 21


(12)

xi

2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Pengendapan Partikel Debu

di Paru ... 26

2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5 ... 26

2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru . 28 2.5.1 Masa Kerja ... 28

2.5.2 Lama Paparan ... 29

2.5.3 Riwayat Penyakit ... 30

2.5.4 Riwayat Pekerjaan ... 30

2.5.5 Penggunaan Masker ... 31

2.5.6 Kebiasaan Merokok ... 32

2.5.7 Kebiasaan Olahraga ... 33

2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Pemajanan Debu ... 33

2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja ... 37

2.8 Kerangka Teori... 40

BAB III KERANGKA KONSEP ... 42

3.1 Kerangka Konsep ... 42

3.2 Definisi Operasional... 44

3.3 Hipotesis ... 46

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 47

4.1 Desain Studi ... 47

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

4.2.1 Lokasi Penelitian ... 47

4.2.2 Waktu Penelitian ... 47

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 47

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 49

4.4.1.Kriteria Inklusi ... 49

4.4.2.Kriteria Eksklusi... 49

4.5 Instrumen Penelitian... 49

4.6 Sumber Data ... 50

4.7 Pengumpulan Data ... 50

4.8 Pengolahan Data... 52


(13)

xii

BAB V HASIL PENELITIAN ... 55 5.1 Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon... 55 5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama ... 55 5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon ... 56 5.2 Analisis Univariat... 60 5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 60 5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 61 5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 61 5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indon56esia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 62 5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 63 5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 63 5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 64 5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 64 5.3 Analisis Bivariat ... 65 5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 65 5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 65 5.3.3 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 66 5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 67 BAB VI PEMBAHASAN ... 68


(14)

xiii

6.1 Keterbatasan Penelitian ... 68

6.2 Kapasitas Vital Paru ... 68

6.3 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 72

6.4 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 77

6.5 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 80

6.6 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 83

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 86

7.1 Simpulan ... 86

7.2 Saran ... 87

7.2.1 Bagi Pekerja ... 87

7.2.2 Bagi Perusahaan ... 88

7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya ... 89 DAFTAR PUSTAKA


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru... 15

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit ... 20

Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas ... 28

Tabel 2.4 Jenis dan Gambar Masker ... 32

Tabel 2.5 Jenis dan Gambar Nozzle ... 39

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 44

Tabel 5.1 Tipe Batu Hasil Produksi Hasil PT. Indonesia Putra Pratama ... 57

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 60

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 61

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 62

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 ... 62

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 63

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 64

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 64

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 65

Tabel 5.10 Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 65

Tabel 5.11 Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 66

Tabel 5.12Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 66


(16)

xv

Tabel 5.13Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ... 67


(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru... 22

Gambar 2.2 Single-strap dust masks ... 32

Gambar 2.3 Masker debu ... 32

Gambar 2.4 Respirator setangah wajah ... 32

Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah ... 32

Gambar 2.6 Solid-cone nozzle ... 39

Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle ... 39

Gambar 2.8 Flat-spray nozzle ... 39

Gambar 2.9 Fogging nozzle ... 39

Gambar 2.10 Kerangka Teori ... 41

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 42

Gambar 5.1Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu ... 59

Gambar 5.2 flat-spray nozzles ... 60


(18)

xvii

DAFTAR BAGAN


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Indonesia mempunyai potensi berbagai jenis bahan tambang yang cukup melimpah salah satunya adalah batuan bahan konstruksi dan industri. Pendayagunaan secara bijak segala jenis bahan tambang dapat meningkatkan pendapatan dan perekonomian nasional ataupun daerah (Kusuma, 2012). Pembangunan yang berwawasan lingkungan telah diterima sebagai suatu prinsip Pembangunan Nasional dengan berbagai peraturan pelaksanaannya. Walaupun demikian, dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Isu tentang pencemaran sering dijumpai di media massa akibat dan dampak dari suatu kegiatan (Sucipto, 2007).

Kapasitas vital paru (KVP) adalah total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI) dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat memberikan informasi menegani besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008, penurunan KVP dapat berupa restriksi yaitu terjadinya keterbatasan ekspansi paru (West, 2003), obstruksi yaitu penyempitan


(20)

2

jalus pernapasan (PDPI, 2013), atau bisa keduanya (gabungan restriksi dan obstruksi).

Kapasitas paru akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan kelemahan otot pernapasan (Pearce, 2008). Menurut Gill (2003), fungsi paru dapat dipengaruhi akibat sejumlah faktor non-pekerjaan antara lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan, dan kebiasaan merokok. Beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan KVP.

Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2014), menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja penggilingan divisi batu putih di PT. Sinar Utama Karya. Hal ini dapat terjadi karena semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai risiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru (Tamuntuan, 2013).

Faktor lainnya adalah lama paparan. Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna (2013), ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan.

Berdasarkan penelitian Ningrum (2009), diketahui bahwa penggunaan masker berhubungan dengan terjadi gangguan fungsi paru (KVP di bawah normal) pada pekerja unit II pengolahan NPK di industri PT. Petrokimia Gresik. Masker berfungsi untuk mengurangi polutan yang masuk lewat rongga


(21)

pernafasan. Masker yang ideal adalah masker yang mampu meminimalkan udara kotor yang masuk ke tubuh dan tidak mengganggu pernapasan (Mukono, 2003).

Lingkungan kerja juga dapat memengaruhi kapasitas vital paru. Lingkungan kerja sering dijumpai penuh dengan debu, uap, gas, dan lainnya yang merupakan hasil dari proses industri dan dapat menyebabkan pencemaran udara sehingga mengganggu kesehatan pekerja terutama kesehatan paru. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Debu sebagai salah satu zat pencemar merupakan partikel benda padat yang terjadi karena proses mekanis dan merupakan hasil sampingan dari proses industri yang menggunakan bahan baku batuan seperti halnya pengolahan batu split yang dilakukan oleh PT. Indonesia Putra Pratama. Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua, yaitu pertama deposit particulate matter atau partikel debu yang hanya berada sementara di udara, dan akan segera mengendap karena daya tarik bumi. Kedua adalah suspended particulate matter atau debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Sintorini, 2002).

Adapun proses pengolahan batu oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah pemecahan, baik primer maupun sekunder, penyortiran, dan pengiriman. Proses pengolahan batu split tersebut khususnya proses pemecahan berpotensi


(22)

4

meningkatkan kadar debu sehingga menurunkan kualitas udara di lingkungan kerja dan dapat berdampak terhadap kesehatan paru pekerja.

Debu termasuk ke dalam substansi yang bersifat toksik (racun). Menurut WHO (1993), debu menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian bernapas). Apabila debu menembus ke dalam paru, dapat mengakibatkan bronkitis toksis, edema paru atau pneumonitis. Hasil penelitian secara medis menunjukkan bahwa partikel debu yang berukuran 0,1 – 5 µm dapat tetap berada dalam alveolis sebagai debu respirabel, sedangkan partikel yang berukuran lebih besar akan tertahan membran mukosa dari hidung, tenggorokan, trakhea, dan bronkus yang selanjutnya akan dikeluarkan melalui mekanisme kerja jantung (Riyadina, 1996).

Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978).

Di Indonesia, angka sakit mencapai 70% dari pekerja yang sering terpapar debu. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat serius yaitu terjadinya penurunan kapasitas paru, dengan gejala utama yaitu sesak napas (Hesti, 2012). Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan di balai HIPERKES dan Kesehatan Kerja Sulawesi selatan pada tahun 1999


(23)

terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan, diperoleh hasil sebesar 45% responden yang mengalami restriktif, 1% responden yang mengalami obstruktif dan 1% responden yang mengalami Combination (gabungan antara restriktif dan obstruktif) (Sirait, 2010).

Tingginya angkat sakit akibat terpapar debu dapat terjadi karena minim pelayanan kesehatan bagi pekerja. Menurut WHO, akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai di negara berkembang hanya mencakup 5–10% pekerja sedangkan di negara industri 20–50% pekerja, dimana mayoritas pekerja di negara-negara Asia belum memiliki sistem yang baik untuk menjamin hak pekerjanya, terutama mengenai perlindungan penyakit akibat kerja, padahal pekerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, maupun kesehatan kerjanya (Hesti, 2012).

Selain terpapar oleh debu, kondisi lingkungan pada pengolahan batu split seperti kelembaban dan suhu udara juga berdampak terhadap kapasitas vital paru pekerja. Kelembaban udara bergantung pada berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara dan merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran


(24)

6

Ketika pekerja berada dan menghirup udara panas juga dapat memperburuk gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat memperburuk infeksi pernapasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh serbuk sari atau jamur (Healthcommunities, 2013).

Penjelasan mengenai kelembaban dan suhu didukung penelitian yang dilakukan oleh Sinurat (2013), yang menjelaskan bahwa adanya hubungan antara kelembaban udara dan kapasitas vital paru pada pekerja Di PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) juga menyatakan bahwa adanya hubungan antara suhu udara dengan kelainan faal paru (KVP dibawah normal) pada pekerja penggilingan padi.

Dari studi pendahuluan menggunakan spirometri yang dilakukan pada 10 pekerja PT. Indonesia Putra Pratama di Cilegon, diketahui bahwa pekerja yang mengalami restriksi ringan sebanyak 2 orang atau sebesar 20%, pekerja yang mengalami obstruksi dan restriksi ringan (combination) sebanyak 1 orang atau sebesar 10% dan pekerja 2 orang pekerja atau sebesar 20% mengalami keluhan sesak napas dan batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hasil pengamatan di lapangan pun menunjukkan rata-rata pekerja tidak menggunakan masker saat berada di lokasi pengolahan batu.

Berdasarkan hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1 jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5


(25)

mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3 untuk partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3 untuk partikel debu berukuran 2,5 mikron. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran 1 dan 2,5 mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 2 mg/m3.

Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan akibat hubungan kerja pada pekerja pengolahan batu.

1.2 Rumusan Masalah

Penurunan nilai KVP dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. Selain itu, lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap penurunan KVP yang disebabkan oleh kadar debu, suhu dan kelembaban.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja, terdapat 5 pekerja yang mengalami restriksi ringan, obstruksi dan combination serta, keluhan sesak nafas serta batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1 jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5 mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3 untuk


(26)

8

partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3 untuk partikel debu berukuran 2,5 mikron sehingga menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran 1 dan 2,5 mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 2 mg/m3

Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

2. Bagaimana gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

3. Bagaimana gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

4. Bagaimana gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

5. Bagaimana gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

6. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

7. Bagaimana gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?


(27)

8. Bagaimana gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

9. Apakah ada hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

10. Apakah ada hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

11. Apakah ada hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

12. Apakah ada hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?

1.4 Tujuan 1.4.1 Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

1.4.2 Khusus

1. Mengetahui gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

2. Mengetahui gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.


(28)

10

3. Mengetahui gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

4. Mengetahui gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

5. Mengetahui gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

6. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

7. Mengetahui gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

8. Mengetahui gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split di PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

9. Mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

10. Mengetahui hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

11. Mengetahui hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.

12. Mengetahui hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.


(29)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Perusahaan

Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan pemilik perusahaan untuk melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan selama proses pengolahan dan dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan.

1.5.2 Bagi Pekerja

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktivitas pekerjaannya.

1.5.3 Bagi peneliti

Aplikasi teori dan keterampilan ilmu kesehatan masyarakat dan mengembangkan ilmu Kesehatan Lingkungan serta dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini tertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses pengolahan batu split yang berada di wilayah tersebut dengan jumlah sampel sebanyak 24 orang.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner dan lembar observasi untuk mengetahui data karakteristik pekerja. Alat-alat yang digunakan adalah spirometer untuk mengetahui kapasitas vital paru, alat pengukur suhu dan kelembaban udara, yaitu thermohygrometer digital HTC-2 dari laboratorium HEN FKIK UIN Jakarta, alat pengukur debu yaitu Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) 5000 Primer dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta.


(30)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapasitas Vital Paru

Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce, 2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI) dan volume cadangan ekspirasi. Jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi paru secara maksimum dan dikeluarkan sebanyak-banyaknya adalah 4.600 ml (Tarwoto, 2009).

Pengukuran KVP dapat memberikan informasi yang berguna mengenai kekuatan otot-otot pernapasan dan aspek fungsi paru lainnya. Besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang di dapat dari pemerikasaan dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja, penurunan kapasitas vital paru mengakibatkan:


(31)

1. Restriksi

Restriksi adalah gangguan pengembangan paru oleh sebab apapun. Paru menjadi kaku, daya tarik ke dalam lebih kuat sehingga dinding dada mengecil, iga menyempit dan volume paru mengecil. Volume statis paru mengecil yaitu KV (kapasitas vital), KPT (kapasitas paru total), VR (volume residu), VCE (volume cadangan ekspirasi) dan KRF (kapasitas residu fungsional). Sebagai parameter pada spirometri diukur KV yang nilainya <80% nilai prediksi (Normal 80-120% sedangkan bila nilainya > 120% disebut over/hiperinflasi). VEP1/KVP nilainya masih di atas 75%. (PDPI, 2013).

Menurut West (2003), restriksi adalah keterbatasan ekspansi paru, baik karena perubahan pada perenkim paru maupun karena penyakit pada pleura, dinding dada, atau alat neuromuscular. Tanda-tandanya adalah penurunan kapasitas vital dan volume paru istirahat yang kecil, tetapi resistensi jalan napas (berhubungan dengan volume paru) tidak meningkat. 2. Obstruksi

Obstruksi adalah gangguan paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. Obstruksi terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Obstruksi saluran napas bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas (PDPI, 2013).


(32)

14

2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru

Pengukuran kapasitas paru berguna untuk mengevaluasi kemampuan paru, menentukan adanya gangguan dan derajat gangguan fungsi paru (Djojodibroto, 2009). Menurut National Heart Lung Blood Institute, tes yang dilakukan pada paru digunakan untuk mengukur:

1. Banyaknya udara yang dapat masuk ke dalam paru

2. Banyak dan cepatnya udara yang dapat dikeluarkan dari paru 3. Kondisi paru dalam mengirimkan oksigen ke dalam darah 4. Kekuatan otot-otot pernapasan

Pengukuran kapasitas paru terdiri dari berbagai macam metode. Berikut adalah metode pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur kapasitas paru:

1. Spirometri

Spirometri merupakan tes fungsi paru yang umum digunakan serta berguna untuk mengetahui volume paru, kapasitas paru dan kecepatan aliran udara (Giuliodori, 2004). Spirometri digunakan untuk menentukan fungsi paru, mendeteksi penyakit paru, mengevaluasi gangguan pernapasan, dan melakukan pengawasan terhadap penyakit paru terkait pekerjaan (McCarthy, 2015). Cara pemakaian spirometri yaitu pasien diminta untuk melakukan inspirasi maksimal kemudian lakukan ekspirasi maksimal ke dalam pipa yang tersambung dengan spirometer. Pengukuran dilakukan berulang hingga beberapa kali sampai didapatkan hasil yang sesuai (National Jewish Health, 2013).


(33)

Dalam pengukuran kapasitas paru dengan menggunakan spirometri, fungsi respirasi yang diukur adalah:

a. Kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capcity, FCV) yaitu jumlah total udara yang dapat dengan paksa diekspirasikan dari paru.

b. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) (forced expiratory volume in 1 second, FEV1) yaitu jumlah udara yang dapat dengan paksa diekspirasikan dalam satu detik (Francis, 2011).

Adapun klasifikasi penilaian kapasitas paru adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru

Restriksi

(KVP % atau KVP/prediksi %)

Obstruksi

(VEP1/ KVP) % atau VEP1 % (VEP1/ prediksi)

Normal > 80 % > 75 %

Ringan 60-79 % 60-74 %

Sedang 30-59 % 30-59 %

Berat < 30 % < 30 %

Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008.

2. Plethysmography paru

Plethysmography paru adalah tes yang digunakan untuk mengukur banyaknya udara yang dapat disimpan dalam paru-paru. Plethysmography paru membantu penyedia pelayanan kesehatan untuk menilai pasien dengan penyakit paru yang sering dikaitkan dengan kapasitas total paru. Pengukuran

plethymosgraphy didasarkan pada prinsip Hukum Boyle yang

menggambarkan hubungan antara tekanan dan volume gas.

Cara pemakaian plethysmography paru yaitu pasien dimasukkan ke dalam ruang kedap udara dengan posisi berdiri atau duduk. Klip akan dipasangkan ke hidung pasien agar udara tidak masuk ke dalam lubang hidung. Pasien diminta


(34)

16

untuk bernapas melalui corong saat corong terbuka dan tertutup. Terjadinya pergerakan dada saat bernapas akan merubah tekanan dan jumlah udara dalam ruang dan corong. Dari perubahan ini, didapatkan hasil yang akurat tentang jumlah udara di paru atau kapasitas total paru (Stang, 2014).

3. Peak Flow Meter

Peak Flow Meter adalah instrumen kecil yang mudah digunakan, berfungsi untuk mengetahui seberapa baik paru-paru seseorang bekerja. Hal ini dilakukan dengan mengukur aliran puncak ekspirasi untuk mengetahui seberapa cepat pasien mengeluarkan udara setalah inspirasi maksimal. Peak Flow Meter digunakan untuk membantu mengindentifikasi pola kerja paru dan memberikan informasi untuk tindakan pencegahan terhadap asma.

Pengukuran peak flow meter dilakukan dengan cara pasien diminta untuk melakukan inspirasi maksimal dalam keadaan berdiri atau duduk secara tegak, kemudian udara dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal ke dalam pipa. Ulangi proses hingga 2 -3 kali lalu pilih nilai tertinggi dari hasil pengukuran dan catat pada lembar pengukuran. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan secara rutin untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada paru-paru pasien (National Jewish Health, 2012).

Berdasarkan metode pengukuran yang telah dijelaskan, spirometri dipilih sebagai metode pengukuran kapasitas paru pada penelitian ini. Alasan pemilihan spirometri yaitu alat mudah dioperasikan dan hasil pengukuran cepat diketahui serta biaya operasional yang relatif murah.


(35)

2.2 Pencemaran Udara

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Sebagian besar udara dalam lapisan troposfer selalu berputar-putar dan terus bergerak, menjadi panas oleh sinar matahari, kemudian bergerak lagi diganti oleh udara dingin yang akan menjadi panas kembali, begitu seterusnya. Proses fisik tersebut menyebabkan terjadinya pergerakan udara dalam lapisan troposfer, dan merupakan faktor utama untuk mendeteksi iklim dan cuaca di permukaan bumi. Di samping itu pergerakan udara tersebut juga dapat mendistribusikan bahan kimia pencemar dalam lapisan troposfer (Mengkidi, 2006).

Bila udara bersih bergerak di atas permukaan bumi, udara tersebut akan membawa sejumlah bahan kimia yang dihasilkan oleh proses alamiah dan aktifitas manusia. Sekali bahan kimia pencemar masuk ke dalam lapisan troposfer, bahan pencemar tersebut bercampur dengan udara dan terbawa secara vertikal dan horizontal serta bereaksi secara kimiawi dengan bahan lainnya di dalam atmosfer. Dalam mengikuti gerakan udara, polutan tersebut menyebar, tetapi polutan yang dapat tahan lama akan terbawa dalam jarak yang jauh dan jatuh ke permukaan bumi menjadi partikel-partikel padat dan larut dalam butiran-butiran air serta mengembun jatuh ke permukaan bumi (Mengkidi,2006).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun


(36)

18

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap pembebasan bahan atau zat di udara dikatakan mencemari udara apabila berpotensi mengganggu stabilitas udara dan melewati nilai ambang batas yang telah ditetapkan.

Menurut Sumantri (2010), pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia yang dapat berupa gangguan fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya. Pengertian ini sejalan dengan yang diungkapkan Yulaekah (2007) bahwa pencemaran udara luar ruang berasal dari proses – proses alam (letusan gunung berapi, kebakaran hutan) serta akibat kegiatan manusia, meliputi sumber bergerak (transportasi) dan tidak bergerak (industri, limbah rumah tangga).

Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu: 1. Karena faktor internal (secara alamiah), seperti:

a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.

b. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas- gas vulkanik.

c. Proses pembusukan sampah organik, dll.

2. Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), seperti: a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil.

b. Debu/serbuk dari kegiatan industri.


(37)

2.3 Batu Split

Batu split merupakan hasil pemecahan batu andesit yaitu batuan primer/ vulkanis karena proses pembentukannya yang terjadi akibat pembekuan lava yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Batu andesit termasuk golongan batuan effusif, memiliki kualitas yang tinggi dengan volume beratnya 2,2 – 2,7 gr/cm3 dan kuat tekannya 600 – 2400 kg/cm3 (Mardianingsih, 2000). Batu andesit merupakan batuan sub-alkalik peralihan yang mengandung SiO2 berkisar antara 57 – 63 % dan Na2O + K2O berkisar 5%. Batuan peralihan juga memiliki kandungan CaO yang lebih tinggi dibandingkan batuan asam (Huraiová dan Ondrejka, 2013). Mineral-mineral penyusun andesit yang utama terdiri dari plagioclase feldspar dan juga terdapat mineral pyroxene (clinopyroxene dan orthopyroxene) dan hornblende dalam jumlah yang kecil (Nouval, 2009).

Komposisi kimia dalam batuan andesit terdiri dari unsur-unsur, silikat, alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium, titanium, mangan, dan fosfor. Presentase kandungan unsur-unsur tersebut sangat berbeda di beberapa

tempat. Sebagai contoh, berikut adalah komposisi kimia andesit di Šiatorská


(38)

20

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit

Senyawa Komposisi (%)

Silika krtistal (kwarsa) 61,62 Titanium dioksida 0,56

Alumunium oksida 17,65

Ferri oksida 6,43

Ferro oksida 0,00

Mangan oksida 0,15

Magnesium oksida 2,03

Kalsium oksida 6,09

Dinatrium oksida 3,18

Kalium oksida 2,03

Fosfor pentaoksida 0,18

Sumber : Huraiová dan Ondrejka, Department of Mineralogy and Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia (2013).

2.4 Debu

Debu adalah bagian padat yang dihasilkan oleh penanganan, penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan organik dan inorganik seperti batu, batu bara, bijih besi, dll (Nedved, 1991). Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/ SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan (Pudjiastuti, 2002).


(39)

1. Inhalable Dust

Inhalable dust adalah debu yang dapat masuk kedalam tubuh akan tetapi terperangkap atau tertahan di hidung, tenggorokan atau sistem pernapasan bagian atas. Inhalable dust memiliki ukuran diameter lebih dari 2,5 mikron hingga 10 mikron.

2. Respirable Dust

Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles adalah debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam.

2.4.1 Sifat-Sifat Debu

Sifat-sifat debu tidak berflokulasi kecuali oleh gaya tarik elektris, tidak berdifusi dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan keja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1994). Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002):

1. Mengendap

Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi namun karena ukurannya relatif kecil debu dapat berada di udara.

2. Permukaan cenderung selalu bersih

Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena adanya lapisan air sangat tipis yang selalu melapisi permukaan debu.


(40)

22

3. Menggumpal

Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah sehingga memungkinkan debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan.

4. Listrik statis (elektrostatik)

Debu dapatt menarik partikel lain yang berlawanan sehingga mempercepat terjadinya proses penggumpalan karena adanya partikel yang masuk ke dalam debu.

5. Opsis

Opsis adalah debu yang dapat memancarkan sinar pada ruangan gelap. 2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru-Paru

Berikut ini adalah mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru yang dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.1

Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru

Debu yang dihasilkan dari kegiatan industri seperti penanganan, penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan organik dan inorganik dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada sistem pernapasan. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Inhalasi adalah satu-satunya jalur paparan yang memiliki hubungan dengan efek langsung partikel debu dengan kesehatan manusia (WHO, 2000). Dengan menarik napas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-paru.

Debu

Industri Inhalasi

Penimbunan dalam paru

Penurunan KVP


(41)

Dari hasil penelitian, debu-debu berukuran di antara 5-10 mikron akan ditahan oleh bagian pernapasan bagian atas sedangkan debu ukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partikel-partikel yang besarnya 1-3 mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-paru (Pudjiastuti, 2002). Debu-debu yang ukuran partikelnya kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir dikarenakan adanya gerakan Brown

yang menyebabkan debu bergerak keluar dari alveoli (Suma’mur, 1996).

Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru-paru. Menurut WHO (1997), terdapat lima mekanisme penimbunan yaitu sedimentasi, inersia impaksi, difusi (hanya untuk partiker yang sangat kecil < 0,5 m), intersepsi dan pengendapan elektrostatis. Sedimentasi dan impaksi adalah mekanisme terpenting yang berhubungan dengan penimbunan debu di dalam paru.

Sedimentasi adalah penimbunan yang terjadi karena kecepatan udara pernapasan sangat rendah pada bronchi dan bronchioli sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel-pertikel debu dan menimbunkannya. Sedangkan impaksi atau inertia atau kelambanan dari partikel-partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernapasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya menimbun pada selaput lendir (Suma’mur, 1996).

Menurut Price (1995), mekanisme penimbunan debu dalam paru bermula dari debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan


(42)

24

asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring.

Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price, 1995).

Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Price, 1995).

Mukono (2003) menjelaskan paparan debu terhadap saluran pernapasan dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat terhenti sehingga


(43)

tidak dapat membersihkan saluran pernapasan. Akibat iritasi terjadi pula peningkatan produksi lendir, pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel sehingga dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan. Selain itu, dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978).

Penimbunan partikel akan merusak epitel dan pergerakan sel fagosit di dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi sekresi cairan. Partikel yang tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui permukaan cairan dan sel dan dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh (ILO). EPA juga menjelaskan adanya hubungan partikel debu terutama respirable dust dengan serangkaian masalah kesehatan yang signifikan yaitu:

1. Memperberat asma

2. Gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika bernapas

3. Bronkitis kronis


(44)

26

2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Penimbunan Partikel Debu Di Paru

WHO (2000) menjelaskan bahwa penimbunan partikel di paru-paru ditentukan oleh karakteristik partikel, anatomi saluran pernapasan, volume tidal dan pola pernapasan. Di antara karakteristik partikel yang paling mempengaruhi adalah ukuran, bentuk, muatan listrik, kepadatan dan higroskopisitas. Ukuran paru-paru, pola cabang saluran napas, diameter saluran napas, dan panjang, frekuensi, kedalaman dan laju aliran juga mempengaruhi pengendapan partikel.

Begitu menimbun di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh berbagai mekanisme clearance. Partikel yang tidak dapat larut yang menimbun pada saluran udara bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan oleh aktivitas mukosiliar dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi melalui aksi makrofag alveolar atau mekanisme alternatif. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi. Partikel debu akan dibawa oleh makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan akhirnya dikeluarkan oleh eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003).

Penyerapan penimbunan partikel oleh makrofag dapat berlangsung cepat, tetapi untuk menghilangkan makrofag dari paru-paru membutuhkan waktu beberapa minggu. Secara keseluruhan, partikel yang mengendap di paru dapat dibersihkan namun dalam jangka waktu yang berbeda-beda, baik dalam hitungan minggu, bulan bahkan tahun.

2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5

NAB adalah kadar yang dapat diterima oleh tubuh pekerja dengan tidak menunjukkan penyakit atau kelainan dalam pekerjaan sehari-hari dalam kurun


(45)

yang melebihi NAB akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hal ini juga berlaku pada paparan dengan kadar debu rendah apabila lama paparan terjadi dalam waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital paru.

Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles yang merupakan debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. Respirable dust dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti memperberat asma dan gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika bernapas, bronkitis kronis, dan penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas.

Berdasarkan komposisi kimia yang terdapat pada batu split mengacu pada tabel 2.2 maka, didapatkan nilai ambang batas menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja sebagai berikut:


(46)

28

Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas

No Senyawa NAB (mg/m3)

1. Silika kristal (kwarsa) 0,1

2. Alumunium oksida 10

3. Kalsium oksida 2

4. Ferri oksida 5

5. Magnesium oksida 10

6. Fosfor pentaoksida 0,85

Berdasarkan tabel 2.3, peneliti menggunakan NAB kalsium oksida sebesar 2 mg/m3. Hal ini dikarenakan respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2 mg/m3.

2.5 Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru

2.5.1 Masa Kerja

Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam periode kerja, semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai resiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru (Tamuntuan, 2013). Dalam penelitian Anugrah (2014), diketahui bahwa masa kerja dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pada pekerja. Apabila kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi fisiologis paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa gangguan sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai komponen pencemar. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan

menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan (Suma’mur, 1996).

Semakin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan


(47)

saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010). Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru seperti obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun.

2.5.2 Lama Paparan

Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti debu yang berada di lingkungan kerja. Bila pekerja terpapar cukup lama oleh debu yang diatas NAB kemungkinan besar akan timbul gangguan saluran

pernapasan (Suma’mur, 1996). Namun, menurut Harrington dan Gill (2003), penurunan kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun lingkungan kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi, yaitu lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan, dan kebiasaan merokok.


(48)

30

Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna (2013), ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan.

Mengkidi (2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah jam kerja yang dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu yang ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu, kadar partikel debu dan kerentanan individu

2.5.3 Riwayat Penyakit

Guyton & Hall dalam Anugrah (2014) menyatakan bahwa keadaan seperti tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru dan pleuritis fibrosa semuanya dapat menurunkan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit meliputi antara lain permulaan timbul gejala-gejala, gejala sewaktu penyakit dini, perkembangan

penyakit selanjutnya, hubungan dengan pekerjaan, dll (Suma’mur, 1996). 2.5.4 Riwayat Pekerjaan

Riwayat kerja dapat digunakan untuk mengetahui adanya kemungkinan bahwa salah satu faktor di tempat kerja atau dalam pekerjaan dapat mengakibatkan penyakit seperti adanya debu yang dihasilkan oleh penanganan, penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan (Suma’mur, 1996). Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar


(49)

dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim-musim tertentu, dll (Ikhsan, 2002).

2.5.5 Penggunaan Masker

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat,

peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat

pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja (Nedved, 1991). Sebagai usaha terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya (Nedved, 1991). Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker saat bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel yang dapat terhirup (Budiono, 2007).

Suma’mur (1996) menjelaskan, penggunaan alat pelindung diri masker berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru.

Adapun masker yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah (OSHA, 2007):


(50)

32

Tabel 2.4

Jenis dan Gambar Masker

No. Jenis Masker Gambar

1.

Single-strap dust masks, tidak dapat digunakan untuk melindung dari bahaya lingkungan. Namun, dapat digunakan untuk melindungi

dari serbuk sari atau allergen lainnya. Gambar 2.2 Single-strap dust masks Sumber: www.osha.gov

2.

Approved filtering facepieces (masker debu), dapat digunakan untuk debu, uap, asap

pengelasan, dll. Gambar 2.3

Masker debu Sumber: www.osha.gov

3.

Respirator setengah wajah, dapat digunakan untuk perlindungan terhadap sebagian besar uap, gas asam, debu atau asap pengelasan. Cartridge / filter harus sesuai kontaminan dan diganti secara berkala.

Gambar 2.4

Respirator setangah wajah Sumber: www.osha.gov

4.

Respirator seluruh wajah, lebih protektif dari respirator setengah wajah. Dapat digunakan untuk perlindungan terhadap sebagian besar uap, gas asam, debu atau asap pengelasan. Pelindung wajah untuk melindungi wajah dan mata dari iritasi dan kontaminan. Cartridge / filter harus sesuai kontaminan dan diganti secara berkala.

Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah

Sumber: www.osha.gov

2.5.6 Kebiasaan Merokok

Merokok adalah salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi paru, salah satunya adalah kapasitas vital paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran


(51)

napas, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru dan segala macam perubahan klinisnya (Depkes RI, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakana antara kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi paru pada seluruh pekerja di PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo (2010) yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan penurunan kapasitas vital paru. Berdasarkan penelitian Bajentri AL, dkk (2003), membuktikan bahwa merokok dengan jangka waktu 2-5 tahun dengan rata-rata 10 batang per hari terdapat hasil yang signifikan terhadap penurunan fungsi paru salah satunya adalah kapasitas vital paru dan cenderung menyebabkan penyempitan pada saluran udara.

2.5.7 Kebiasaan Olahraga

Adanya hubungan timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga. Gangguan pada paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya olahraga yang teratur dapat meningkatkan kapasitas paru (Sahab, 1997). Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010).

2.6 Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru

Variabel kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu adalah sebagai berikut:


(52)

34

1. Suhu Udara

Suhu yang menurun pada permukaan bumi dapat menyebabkan peningkatan kelembaban udara relatif sehingga akan meningkatkan efek korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang meningkat akan meningkat pula kecepatan reaksi suatu bahan kimia (Mukono, 2003). Pernyataan ini sesuai dengan Permenkes (2012) yang menjelaskan bahwa suhu udara yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan polutan udara. Selain berpengaruh terhadap polutan, suhu juga memengaruhi paru. Ikhsan, dkk (2010) menjelaskan bahwa suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas saat terjadinya perubahan polusi udara, perubahan alergen dan hujan debu berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Menurut Donaldson dkk (1999), penurunan fungsi paru-paru dapat disebabkan oleh peningkatan peradangan saluran napas ketika suhu rendah. Suhu lingkungan rendah dapat bertindak secara langsung melalui aktivasi sitokin untuk menginduksi perubahan inflamasi (peradangan) saluran napas. Faktor mekanik juga dapat terlibat sebagai suhu dingin yang akan menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan perpindahan perifer darah pusat sehingga dapat mengurangi kapasitas paru-paru. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa lingkungan yang dingin dikaitkan dengan penurunan nilai spirometri. Penurunan fungsi paru akan semakin memburuk selama cuaca dingin dan dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).


(53)

Suhu tinggi juga dapat memperburuk sistem pernapasan. Menurut Healthcommunities (2013), menghirup udara panas dapat memperburuk gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat memperburuk infeksi pernafasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh serbuk sari atau jamur.

Para peneliti menunjukkan bahwa gangguan termoregulasi juga mungkin memainkan peran parsial dalam menanggapi respon panas pada pernapasan Ketika tubuh tidak dapat mendinginkan diri, hasilnya adalah hipertermia, yang mencakup berbagai penyakit panas seperti heat stress, heat exhaustion dan heat stroke. Hipertermia dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat dan meningkatkan aliran darah ke kulit. Akibatnya tubuh menuntut lebih banyak oksigen karena bekerja untuk tetap dingin yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan pernapasan abnormal cepat atau dalam yang disebut hiperpnea (Healthcommunities, 2013).

Namun, apabila seseorang tinggal di daerah dengan suhu rata-rata tinggi respon termoregulasi orang tsb dapat menyesuaikan diri dengan cuaca panas. Hal ini disebabkan karena kemampuan tubuh untuk termogulasi membaik dengan paparan panas berulang, sedangkan orang-orang tidak terbiasa dengan suhu tinggi akan sulit beradaptasi sehingga dapat mengalami gangguan pernapasan (Healthcommunities, 2013).


(54)

36

2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara menyatakan banyaknya uap air di dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukkan kelembaban udara adalah kelembaban relatif. Kelembaban relatif adalah tekanan parsial dari uap air dalam udara dibagi dengan tekanan uap air pada suhu yang sama, dinyatakan sebagai persentase (Young, 2002). Menurut Mukono (2003), kelembaban udara relatif rendah (<60%) di daerah tercemar SO2, akan mengurangi efek korosif dari bahan kimia tsb. Pada kelembaban relatif lebih atau sama dengan 80% di daerah tercemar SO2, akan terjadi peningkatan efek korosif SO2 tsb.

Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1996).

Menurut Heatlhcare Inc. (2005), kelembaban tinggi merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas atau massa jenis udara meningkat dan menggangu sirkulasi udara atau menyebabkan sedikitnya aliran yang terjadi di udara. Hal ini kemudian mengakibatkan peningkatan saluran dan kerja napas sehingga menimbulkan


(55)

sesak napas sehingga dapat menurunkan kapasitas vital paru. Penjelasan lainnya adalah ketika kelembaban udara meningkat maka jumlah alergen udara ikut meningkat sehingga dapat mempengaruhi sistem pernapasan. Menurut Suma’mur (1996) kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40%-60%. 2.7 Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja

Menurut Suma’mur (1996), gangguan kesehatan dan daya tahan kerja

akibat berbagai faktor pekerjaan bisa dihindari apabila pekerja dan pimpinan perusahaan ada kemauan baik untuk mencegahnya. Tentu perundang-undangan tidak akan ada faedahnya apabila pimpinan perusahaan tidak melaksanakan ketetapan perundang-undangan yang berlaku dan juga para pekerja tidak mengambil peranan penting dalam menghindarkan gangguan tersebut:

Cara-cara mencegah gangguan tersebut adalah:

1. Substitusi, yaitu mengganti bahan berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.

2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara berdasarkan perhitungan dalam ruang kerja agar kadar dari bahan-bahan berbahaya seperti debu menjadi lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB).

3. Isolasi, yaitu megisolasi operasi atau proses yang merupakan sumber debu agar tidak tersebar.

4. Alat pelindung diri, yaitu upaya perlindungan kepada pekerja agar terlindung dari risiko dan bahaya kerja seperti terpapar debu. Misalnya: masker, kacamata, sarung tangan, sepatu, topi, dll.


(56)

38

5. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, yaitu pemeriksaan kesehatan kepada calon pekerja untuk mengetahui cocok atau tidaknya pekerjaan yang diberikan baik secara fisik maupun mentalnya.

6. Pemeriksaan kesehatan berkala, digunakan sebagai evaluasi untuk mengetahui debu di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan gangguan/kelainan pada pekerja atau tidak.

7. Pengarahan sebelum kerja, agar pekerja mengetahui dan menaati peraturan sehingga lebih berhati-hati dalam bekerja.

8. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada pekerja secara kontinu, agar pekerja tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya. Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika masih terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian atau pengontrolan terhadap debu tersebut. HSP (2011) menjelaskan beberapa teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah seperti

1. Dust collection systems, yaitu menggunakan prinsip ventilasi untuk menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian udara bersih dialirkan keluar.

2. Wet Dust Suppression Systems, yaitu dengan menggunakan cairan untuk membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu tersebut sehingga bahan tersebut tidak cenderung menghasilkan debu. Cairan yang banyak digunakan adalah air atau bahan kimia yang dapat mengikat debu.

3. Airborne Dust Capture Through Water Sprays, yaitu menyemprot debu-debu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan


(57)

kimia pengikat. Semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil (droplet) sehingga bisa menyebar di udara dan mengikat debu yang berterbangan sehingga debu dapat mengendap atau turun ke bawah.

Pada pengendalian yang menggunakan cairan atau melakukan penyiraman pada sumber debu, penggunaan nozzle sangat penting untuk mengoptimalkan proses penyiraman. Berikut adalah jenis nozzle menurut OSHA (1987):

Tabel 2.5

Jenis dan Gambar Nozzle

No. Jenis Nozzle Gambar

1.

Solid-cone nozzle, menghasilkan daya semprot dengan kecepatan tinggi ketika nozzle terletak jauh dari lokasi pengontrolan debu

Gambar 2.6 Solid-cone nozzle Sumber: www.osha.gov

2.

Hollow-cone nozzle, menghasilkan daya

semprot dalam bentuk cincin melingkat.

Nozzle ini berguna untuk proses yang

menghasilkan debu yang tersebar luas. Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle Sumber: www.osha.gov

3.

Flat-spray nozzle, menghasilkan butiran relatif besar. Nozzle ini biasa digunakan pada wet dust suppression systems.

Gambar 2.8 Flat-spray nozzle Sumber: www.osha.gov

4.

Fogging nozzle, menghasilkan uap yang sangat halus. Nozzle ini biasa digunakan pada airborne dust control systems.

Gambar 2.9 Fogging nozzle Sumber: www.osha.gov


(58)

40

2.8 Kerangka Teori

Kerangka teori diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber.

Pudjiastuti (2002), Suma’mur (1996), Price (1995), Mukono (2003), dan

Sukarman (1978) menyatakan bahwa debu dapat tertimbun dalam paru-paru dan berpengaruh terhadap kapasitas vital paru. Untuk faktor karakteristik individu diketahui bahwa masa kerja (Suma’mur (1996) dan Sirait (2010)), lama paparan

(Mengkidi, 2006), penggunaan masker (Budiono (2007) dan Suma’mur (1996)), riwayat peyakit dan riwayat pekerjaan (Suma’mur, 1996), kebiasaan merokok

(Depkes RI, 2003), dan kebiasaan olahraga (Sahab, 1997) juga memengaruhi terjadinya penurunan kapasitas vital paru.

Kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu yaitu suhu udara (Donaldson (1999) dan Healthcommunitties (2013)), kelembaban udara (Heatlhcare Inc. (2005) dan Suma’mur (1996)).Berdasarkan hasil dari modifikasi tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori sebagai berikut:


(59)

Gambar 2.10 Kerangka Teori

Sumber : 1Donaldson (1999), 2Healthcommunitties (2013), 3Heatlhcare Inc. (2005), 4Pudjiastuti (2002), 5Suma’mur (1996), 6Price (1995), 7Mukono (2003), 8Sukarman (1978), 9Sirait (2010), 10Mengkidi (2006), 11Budiono (2007), 12

Depkes RI (2003), 13Sahab (1997). Kondisi lingkungan:

1. Kelembaban udara1,2 2. Suhu udara2,3

Kadar debu PM1,0 dan PM2,54,3,5,6,7

Karakteristik individu: 1. Masa kerja5,9 2. Lama paparan10 3. Riwayat penyakit5 4. Riwayat pekerjaan5 5. Penggunaan masker5, 11 6.

Kebiasaan merokok12 7. Kebiasaan olahraga13


(60)

42 BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Dalam kerangka konsep penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kondisi lingkungan yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan masker, sedangkan variabel dependennya adalah kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split. Variabel yang tidak diteliti adalah kebiasaan merokok karena merokok otomatis menurunkan kapasitas vital paru, kebiasaan olahraga karena seluruh pekerja rutin melakukan olahraga setiap seminggu sekali sehingga akan bersifat homegen, riwayat pekerjaan karena sudah terwakili oleh masa kerja

Kondisi lingkungan: 1. Suhu udara 2. Kelembaban udara 3.

Kadar debu PM1,0 dan PM2,5

Karakteristik individu: 1. Masa kerja

2. Lama paparan 3. Penggunaan masker


(61)

dimana sebagian pekerja baru mulai pertama kali bekerja sehingga tidak memiliki riwayat pekerjaan, riwayat penyakit karena sudah dilakukan screening terlebih dahulu kepada pekerja yang akan menjadi sampel sebab seseorang yang mengalami penyakit saluran pernapasan secara otomatis menurunkan nilai KVP.


(62)

44

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala

ukur 1. Kapasitas

vital paru

Total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi

maksimum

Pengukuran menggunakan alat spirometer oleh badan teknis khusus dan kuesioner

Spirometer 1. Tidak normal (adanya Restriktif, Obstruktif, Mixed)

2. Normal

(Permenaker No. 25/MEN/XII/2008)

Ordinal

2. Kadar debu PM1,0

Partikel padat berukuran 1,0 mikron yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan baru split

Pengukuran

menggunakan alat EPAM pada 3 lokasi pengolahan selama 45 menit berdasarkan interval waktu

EPAM-5000 1. Tidak memenuhi syarat NAB (> 2 mg/m3)

2. Memenuhi syarat NAB (≤ 2 mg/m3) (Permenaker No. 13/MEN/X/2011)

Ordinal

3. Kadar debu PM2,5

Partikel padat berukuran 2,5 mikron yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan baru split

Pengukuran

menggunakan alat EPAM pada 3 lokasi pengolahan selama 45 menit berdasarkan interval waktu

EPAM-5000 mg/m3 Rasio

4. Suhu udara Derajat panas atau dingin di lingkungan kerja

Pengukuran

menggunakan alat thermohygrometer digital

Thermohygro meter digital HTC-2

o


(1)

Descriptives

Statistic Std. Error

rata2_kelembaban Mean 57.33 1.453

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 51.08

Upper Bound 63.58

5% Trimmed Mean .

Median 57.00

Variance 6.333

Std. Deviation 2.517

Minimum 55

Maximum 60

Range 5

Interquartile Range .

Skewness .586 1.225

Kurtosis . .

lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5

plant 2 7 29.2 29.2 66.7

plant 3 8 33.3 33.3 100.0

Total 24 100.0 100.0

lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid plant 1 9 37.5 37.5 37.5

plant 2 7 29.2 29.2 66.7

plant 3 8 33.3 33.3 100.0


(2)

ANALISIS BIVARIAT

1.

Hubungan Kadar Debu PM

1,0

dengan KVP

debu_PM1 * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

debu_PM1 > 2 Count 3 14 17

% within debu_PM1 17.6% 82.4% 100.0%

<2 Count 2 5 7

% within debu_PM1 28.6% 71.4% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within debu_PM1 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .359a 1 .549

Continuity Correctionb .002 1 .963

Likelihood Ratio .344 1 .558

Fisher's Exact Test .608 .462

Linear-by-Linear Association .344 1 .558

N of Valid Casesb 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46. b. Computed only for a 2x2 table


(3)

2.

Hubungan Masa Kerja dengan KVP

masa_kerja * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

masa_kerja > 5 tahun Count 3 4 7

% within masa_kerja 42.9% 57.1% 100.0%

< 5 tahun Count 2 15 17

% within masa_kerja 11.8% 88.2% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within masa_kerja 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.906a 1 .088

Continuity Correctionb 1.327 1 .249

Likelihood Ratio 2.688 1 .101

Fisher's Exact Test .126 .126

Linear-by-Linear Association 2.785 1 .095

N of Valid Casesb 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46. b. Computed only for a 2x2 table

3.

Hubungan Lama Paparan dengan KVP

lama_paparan * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

lama_paparan > 8 jam Count 5 16 21

% within lama_paparan 23.8% 76.2% 100.0%

< 8 jam Count 0 3 3

% within lama_paparan .0% 100.0% 100.0%

Total Count 5 19 24


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .902a 1 .342

Continuity Correctionb .036 1 .849

Likelihood Ratio 1.511 1 .219

Fisher's Exact Test 1.000 .479

Linear-by-Linear Association .865 1 .352

N of Valid Casesb 24

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .63. b. Computed only for a 2x2 table

4.

Hubungan Penggunaan Masker dengan KVP

masker * KVP Crosstabulation

KVP

Total tidak normal normal

masker tidak pakai Count 5 6 11

% within masker 45.5% 54.5% 100.0%

pakai Count 0 13 13

% within masker .0% 100.0% 100.0%

Total Count 5 19 24

% within masker 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.464a 1 .006

Continuity Correctionb 4.963 1 .026

Likelihood Ratio 9.405 1 .002

Fisher's Exact Test .011 .011

Linear-by-Linear Association 7.153 1 .007

N of Valid Casesb 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.29. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

Perhitungan OR dan 95% CI dilakukan dengan menggunakan software yang

diakses dari

https://www.medcalc.org/calc/odds_ratio.php


(6)

LAMPIRAN FOTO

Kondisi debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama