Fungsi Advokasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Dalam Memperjuangkan Hak Normatif Buruh (Studi Kasus pada Dewan Pimpinan Daerah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia 1992 Sumatra Utara)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Yang Relevan
2.1.1 Dilema Penetapan Upah Lembur dalam Kaitannya dengan Upaya

Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan Perkembangan Perusahaan
Dalam Jurnal Pengembangan Humaniora Volume 12 No. 3, Desember
2012 hasil karya Nur Hidayati dengan judul Dilema Penetapan Upah Lembur
dalam Kaitannya dengan Upaya Perlindungan bagi Pekerja/Buruh dan
Perkembangan Perusahaan, metode yang digunakan dalam penelitian ini
termasuk dalam ranah socio-legal research dengan pendekatan interaksional
simbolik dan hermeneutik. Pendekatan interaksional simbolik digunakan untuk
memahami persepsi pekerja/buruh terhadap penetapan upah lembur dalam
kaitannya upaya perlindungan bagi pekerja/buruh dan perkembangan perusahaan,
sementara pendekatan hermeneutik digunakan untuk mengukur kualitas metode
penetapan upah lembur dalam kaitannya upaya perlindungan bagi pekerja/buruh
dan perkembangan perusahaan, mengingat masih sering maraknya demo
pekerja/buruh untuk menuntut hak yang normatif sifatnya, salah satunya dalam

hal upah lembur.
Tenaga kerja merupakan faktor yang mendukung suatu perusahaan untuk
merealisasikan rencana dan tujuan perusahaan. Balas jasa yang utama bagi
seorang tenaga kerja adalah berupa pemberian upah pokok, upah lembur dan
tunjangan kehadiran sehingga diharapkan mampu memberikan dorongan serta
mempengaruhi tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja

17
Universitas Sumatera Utara

langsung. Setiap perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan produktivitasnya,
salah satu kegiatan perusahaan dalam meningkatkan produktivitasnya adalah
dengan kebijaksanaan penentuan upah yang layak bagi tenaga kerjanya. Sistem
pengupahan di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai bagian dari mekanisme
pasar untuk alokasi yang efisien dari sumber-sumber, tetapi juga memiliki fungsi
kebijakan sosial yang penting yaitu untuk melindungi yang lemah dengan
mengaitkan upah dengan sedemikian rupa. Undang-undang Ketenagakerjaan yaitu
Undang-undang No. 13 tahun 2003 Pasal 77 serta Kep. Men No.
102/Men/VI/2004 dengan tegas mengatur tentang waktu kerja lembur dan upah
kerja lembur, dimana setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja

lembur dan upah kerja lembur untuk melindungi pekerja/buruh, yang diarahkan
kepada pencapaian kebutuhan hidup layak bagi kemanusiaan.
Maraknya aksi demo para pekerja/buruh di mana-mana, mereka
melakukan aksi demo menuntut adanya hak-hak normatif yang tidak terpenuhi
yaitu upah lembur yang tidak pernah diberikan, tidak adanya cuti libur, pemberian
Jamsostek yang tidak merata ke seluruh karyawan, menuntut adanya penetapan
status karyawan dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap, serta slip gaji
harus transparan. Hal ini wajar jika pekerja/buruh menginginkan perbaikan
kehidupannya dan salah satunya berupa upah lembur untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, menyekolahkan anak, memilki rumah serta melaksanakan kewajiban
sosialnya. Persoalannya adalah dunia usaha mengalami pasang surut akibat
berbagai faktor. Pada suatu periode bisa berkembang pesat, tetapi pada periode
yang lain mungkin agak tersendat.

18
Universitas Sumatera Utara

Upah diterapkan sebagai sarana atau instrumen kebijaksanaan yang cocok
untuk memperbaiki hubungan kerja. Kerja lembur sebagai jalan keluar yang
sangat diharapkan pekerja/buruh apabila upah yang diterima dirasakan belum

memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Namun kerja lembur tidak dapat
dilaksanakan

sewaktu-waktu

sesuai

keinginan

pekerja/buruh,

melainkan

tergantung order dan kebutuhan perusahaan. Jika perusahaan membutuhkan
tenaga untuk mendorong produksi dalam rangka memenuhi permintaan pasar
secara cepat, pihak pekerja diwajibkan lembur. Bahkan hari minggu ataupun harihari bebas lainnya pekerja/buruh terpaksa harus mengikuti kerja lembur. Mereka
tidak bisa menolak, karena bagi yang menolak akan menerima akibat sampingan
yang cukup berat yaitu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau dimutasikan ke
bagian-bagian lain serta sanksi-sanksi lainnya. Jadi kerja lembur ini di satu sisi
dapat membantu pekerja dalam meningkatkan pendapatan, tapi di sisi lain dapat

membebani pekerja/ buruh.
Dilema yang dihadapi pekerja/buruh dalam kerja lembur dan berbagai
masalah lain yang dihadapi pekerja/buruh sering juga diperburuk lagi oleh
langkanya perlindungan dari pihak-pihak yang seharusnya

memberikan

perlindungan misalnya Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau SPN.
Pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun SPN masih
cenderung memihak kepada pengusaha, jika terjadi perselisihan antara
pekerja/buruh dan pihak pengusaha, SPN ditingkat lokal perusahaan lebih
merupakan perpanjangan tangan perusahaan daripada membela kepentingan
pekerja.

19
Universitas Sumatera Utara

Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati dalam
Jurnal Pengembangan Humaniora yaitu sebagai berikut:
1) Kebijakan pengupahan khususnya upah lembur dalam menyediakan akses

keadilan
Masalah

pertama,

pengupahan

yang

timbul

dalam

pengupahan

pekerja/buruh pada umumnya pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai
upah. Adanya permasalahan tersebut perlu pemahaman atas konsep upah itu
sendiri yaitu hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Secara riil di
lapangan, masalah pengupahan khususnya upah lembur ternyata masih terdapat
perusahaan-perusahaan pada sektor industri tertentu yang belum merealisasikan
kebijakan penetapan upah lembur sebagaimana perhitungan upah lembur
berdasarkan Keputusan Menteri No. Kep-102/Men/VI/2004, yaitu ketentuan yang
mengatur tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Dari data lapangan yang diperoleh peneliti, pekerja/buruh ketika
diwawancarai (Ibu Juminem, saudara Yudha Manggala) serta angket yang
dibagikan kepada mereka, pada hakekatnya tidak mengetahui dasar-dasar
perhitungan waktu kerja dan upah lembur yang ditetapkan oleh pemerintah
sebagaimana Kep.Men. No.Kep-102/Men/VI/2004. Pada hakekatnya mereka
disuruh lembur oleh perusahaan dan diberi upah berapapun mereka terima terlepas
dari asas adil yaitu apakah besarnya upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh

20
Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, jabatan pekerjaan
dan memenuhi persyaratan internal konsistensi serta asas layak dan wajar yaitu

apakah upah yang diterima setiap pekerja/buruh sudah memenuhi eksternal
konsistensi yang berlaku atau tidak. Dan ketika diwawancarai serta angket yang
dibagikan kepada pekerja/buruh mengenai kerja lembur itupun apakah sudah
tertulis dalam perjanjian kerja atau tidak, merekapun juga tidak mengetahuinya.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan pekerja/buruh itu sendiri tidak paham apa isi
perjanjian kerja itu dan kenyataannya mereka telah menandatangani perjanjian
kerja tersebut. Sehingga berakibat banyak pekerja/buruh tidak tahu akan hakhaknya yang seharusnya dapat diterima. Hal ini menunjukkan adanya akses
ketidakadilan selama dalam perjanjian kerja memang telah ditentukan oleh
perusahaan tentang upah lemburnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan pengusaha tidak menepatinya (wanprestasi).
Masalah kedua, rendahnya tingkat upah ini disebabkan karena tingkat
kemampuan manajemen yang rendah sehingga menimbulkan pemborosan dana,
sumber-sumber dan waktu. Selain itu, penyebab rendahnya tingkat upah karena
produktivitas kerja. Produktivitas kerja pekerja/buruh rendah, sehingga pengusaha
memberikan imbalan dalam bentuk yang rendah juga. Hal ini dapat dikatakan
sebagai upah wajar. Sebagaimana pendapat Barbage dan Andrew Uze (2002)
bahwa kesejahteraan buruh tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan pengusaha,
yang artinya pihak pengusaha tidak perlu mengejar keuntungan sebesar-besarnya,
melainkan keuntungan yang wajar, yang daripadanya sebagian digunakan untuk
mengembangkan perusahaan dan sebagian lagi dinikmati pengusaha dengan

buruhnya dalam suatu kehidupan yang wajar sesuai tingkatan kerjanya masing-

21
Universitas Sumatera Utara

masing secara perimbangan seadil-adilnya, pengusaha merasa puas dan
pekerja/buruhnya merasakan pula kepuasan dalam perolehannya.
Masalah ketiga, karakteristik kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan
berupa penetapan upah per satuan (piece rates) dan upah perjam (time rates).
Masalah yang muncul pada kontrak kerja akan mempengaruhi produktivitas
tenaga kerja dan tingkat keuntungan perusahaan. Jenis kontrak kerja yang dipilih
sangat penting karena pemberi kerja (pengusaha) sering tidak tahu produktivitas
pekerja yang sebenarnya, sementara pekerja menginginkan upah yang besar
dengan kerja yang sekecil mungkin. Sistem upah per satuan (piece rates)
mengkompensasi pekerja berdasarkan pada output yang dihasilkan oleh
pekerja/buruh. Sebagaimana data diperoleh peneliti pekerja/buruh garmen pada
PT.Sun-sun dibayarkan berdasarkan pada seberapa banyak jumlah celana yang
dihasilkan, para tenaga penjual dibayar sesuai dengan besarnya komisi tertentu
dari volume penjualannya. Sedangkan kompensasi upah per jam (time rates)
sangat bergantung kepada jumlah jam kerja yang dialokasikan pekerja/buruh

dalam pekerjaannya dan tidak berhubungan sama sekali dengan jumlah output
yang dihasilkan pekerja/buruh. Perusahaan yang memiliki biaya pengawasan yang
tinggi jika memberikan upah per satuan (piece rates) yang kecil kepada
pekerja/buruh maka hanya sedikit pekerja yang mau menerima upah yang
demikian sedikitnya (low take home salaries). Sehingga perusahaan yang
menghadapi biaya pengawasan yang tinggi lebih memilih upah per jam seperti
dari data yang diperoleh peneliti PT.EUDE Indonesia, PT. Tossa Sakti, sementara
perusahaan yang menghadapi biaya pengawasan yang rendah memilih tingkat
upah per satuan (piece rates). Oleh karenanya, upah per satuan (piece rates)

22
Universitas Sumatera Utara

sering dipakai untuk membayar pekerja yang output nya dapat diamati dengan
mudah misalnya jumlah celana yang diproduksi, volume penjualan pada periode
yang lalu, sementara upah per jam (time rate) ditawarkan kepada pekerja/buruh
yang outputnya sulit untuk diukur seperti pekerja/buruh pada tim produksi pada
software.
Bahkan dari data yang diperoleh peneliti di lapangan, masih adanya suatu
perusahaan seperti PT. Aparel yang tidak menerapkan upah lembur yang

ditetapkan oleh pemerintah yaitu upah lembur per jam, tetapi menurut
managemen perusahaannya yang mana apabila pekerja/buruh dipekerjakan
melebihi waktu kerja hanya diberikan kompensasi berupa hari libur untuk hari
berikutnya. Hal ini menunjukkan ketidakadilan bagi pekerja/buruh. Karena tidak
sesuai dengan sistim pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada
tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan
keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan
insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.
2) Sistem pengupahan lembur yang adil dan sejahtera baik bagi
pekerja/buruh maupun pengusaha
Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan
ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada
tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan
keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan
insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja. Kebijakan penetapan
pengupahan khususnya upah lembur dalam kerangka perlindungan upah, dewasa
ini masih menemui banyak kendala terbukti secara riil di lapangan dalam

23
Universitas Sumatera Utara


pelaksanaannya belum adanya keseragaman upah lembur antara sektor industri
yang satu dengan sektor industri lain dengan beberapa alasan: kondisi perusahaan,
ketrampilan pekerja/buruh, jenis pekerjaan. Adanya beberapa alasan tersebut
diatas perlu adanya penyusunan struktur dan skala upah termasuk dalam hal ini
upah lembur, dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah lembur sehingga
terdapat kepastian upah lembur tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan
antara upah lembur terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 Pasal 92 ayat (1).
Dalam menyusun struktur dan skala upah, termasuk upah lembur
pengusaha memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan
kompetensi. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip: Upah lembur sebagai
imbalan atas jasa kerja harus mencerminkan keadilan, berimbang, dapat
menambah pendapatan pekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pekerja
dan keluarganya secara wajar, memuat sistim insentif untuk mampu menarik
tenaga-tenaga

berkualitas,

mendorong

peningkatan

produktivitas

kerja,

menumbuhkan motivasi dan kreativitas serta menurunkan tingkat pergantian atau
perpindahan pekerja (labour turn-over), mampu menjamin kelangsungan
perusahaan, Skala upah atau gaji pokok disusun konkordan dengan struktur
jabatan dan struktur kepangkatan, perlu dijaga keseimbangan antara gaji pokok,
tunjangan-tunjangan, dan jaminan lainnya. Sedangkan dalam pelaksanaannya
diperlukan adanya peranan pemerintah dan serikat pekerja/buruh dalam
menciptakan hubungan industrial yang harmonis.
Dalam ketenagakerjaan terlibat pihak-pihak yang umumnya berada pada
posisi yang tidak seimbang baik secara sosial dan ekonomis antara pekerja/buruh

24
Universitas Sumatera Utara

dengan pengusaha. Pengusaha adalah pihak yang mampu menentukan keadaan
perburuhan/ ketenagakerjaan. Kebebasan berkontrak yang dimilki tiap-tiap
pekerja/buruh tidak lebih dari sebuah “kepatuhan secara sukarela” terhadap
kondisii yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha.
Masih adanya perusahaan-perusahaan pada sektor industri tertentu yang
belum merealisasikan kebijakan penetapan upah lembur sebagaimana Keputusan
Menteri No. Kep-102/Men/VI/2004, yaitu ketentuan yang mengatur tentang
Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur seperti pada perusahaan garmen
(PT.Sun-sun) menggunakan dasar perhitungan lemburnya berdasarkan satuan
hasil. Bahkan dengan alasan managemen perusahaannya tidak memberikan upah
lembur kepada pekerja/buruh tetapi dengan mengkompensasinya dengan hari libur
untuk hari berikutnya (PT.Aparel). Hal ini menunjukkan belum adanya akses
keadilan. Karena tidak sesuai dengan sistem pengupahan di Indonesia pada
umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang
layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja
seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas
kerja.
Sistem pengupahan lembur yang adil dan sejahtera baik bagi
pekerja/buruh maupun pengusaha adalah diperlukan adanya penyusunan struktur
dan skala upah termasuk dalam hal ini upah lembur, dimaksudkan sebagai
pedoman penetapan upah lembur sehingga terdapat kepastian upah lembur tiap
pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah lembur terendah dan
tertinggi di perusahaan yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undangundang No. 13 tahun 2003 Pasal 92 ayat (1) dengan memperhatikan prinsip-

25
Universitas Sumatera Utara

prinsip: keadilan, berimbang, dapat menambah pendapatan pekerja dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, memuat sistem
insentif untuk mampu menarik tenaga-tenaga berkualitas, mendorong peningkatan
produktivitas kerja, menumbuhkan motivasi dan kreativitas serta menurunkan
tingkat pergantian atau perpindahan pekerja (labour turn-over), mampu menjamin
kelangsungan perusahaan, Skala upah atau gaji pokok disusun konkordan dengan
struktur jabatan dan struktur kepangkatan, perlu dijaga keseimbangan antara gaji
pokok, tunjangan-tunjangan, dan jaminan lainnya.
2.1.2 Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama (Sebuah Studi
tentang Pergerakan Indonesia tahun 1988-2003)
Dalam kertas kerja yang ditulis oleh Patrick Quinn pada Mei tahun 2003 di
Jakarta mengenai Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama terdapat
beberapa poin yang berkaitan dengan masalah serikat pekerja/buruh yaitu dalam
Bab 4 Kebebasan Berserikat.
1. Dampak Undang-Undang Serikat Pekerja/Buruh No 21/2000
Gerakan Serikat Pekerja/Buruh di Indonesia merasakan dampak yang
signifikan dari diratifikasinya Konvensi ILO No 87 tentang Kebebasan
Beerserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi dan diberlakukannya
Undang-Undang No 21/2000. Hal ini ditandai dengan Federasi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (yang kemudian berganti menjadi KSPSI) terpecah menjadi
dua bagian yang saling bersaing satu sama lain yaitu FSPSI dan SPSI pada tahun
1998. Jumlah federasi semakin meningkat akibat semakin meningkatnya
kesadaran berserikat.

26
Universitas Sumatera Utara

Terdapat lebih dari 100 Serikat Pekerja bernasis perusahaan tingkat
nasional dan ribuan SP independen di provinsi-provinsi. Data dari Depnakertrans
menunjukkan peningkatan jumlah SP sebanyak 78%. Namun, data tersebut masih
diragukan karena bisa saja terjadi perhitungan dua kali. Meskipun terdapat
sejumlah kesulitan dalam menggunakan data nasional, jelaslah bahwa upaya
untuk mempromosikan kebebasan berserikat telah menghasilkan suatu tingkat
keanekaragaman dalam gerakan serikat yang tidak dijumpai sebelum tahun 1998.
2. Keanggotaan Serikat Pekerja
Hampir semua serikat pekerja/buruh di Indonesia tidak memiliki data yang
spesifik mengenai jumlah anggotanya. Selain itu, banyak serikat pekerja/buruh
yang anggotanya tidak membayar iuaran dan tidak melengkapi data keanggotaan
yang seharusnya. Total anggota pekerja menurut pengakuan KSPSI, KSPI, SBSI
dan Serikat pekerja lainnya adalah lebih dari delapan juta orang. Angka ini
diperoleh dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh Depnakertrans tahun 2002.
Depnakertrans meminta SP untuk melakukan verifikasi sendiri jumlah
anggotanya. Sejumlah SP merasa keberatan atas keabsahan verifikasi sendiri
tersebut yang menunjukkan densitas SP lebih dari 30% angkatan kerja sektor
formal. Tampaknya ini tidak mencerminkan secara akurat tingkat keanggotaan SP
karena banyak SP yang kehilangan anggota akibat krisi dan kelesuan ekonomi
pada tahun 2001.
3. Keterwakilan Serikat Pekerja
Masalah keterwakilan ini terasa relevan baik dalam kaitannya dengan
struktur perundingan dalam perusahaan maupun dalam kaitannya dengan
keikutsertaan serikat pekerja dalam struktur tripartit. Sementara jumlah serikat
27
Universitas Sumatera Utara

pekerja baru di Indonesia meningkat, pengusahaan menjadi semakin prihatin pada
dampak, baik yang aktual maupun yang mungkin terjadi, teerhadap pengaturan
perundingan yang ada saat ini. Pada saat yang sama, struktur tripartit yang
sebelumnya hanya mencakup wakil-wakil serikat pekerja dari FSPSI, semakin
berkurang legitimasinya sementara serikat-serikat pekerja baru terus menekan
untuk menempatkan wakil-wakil mereka dalam struktur-struktur tersebut.
4. Multi Serikat Pekerja dan Dampaknya Terhadap Hubungan
Industrial Bipartit
Setelah diberlakukanya UU SP/B No 21 tahun 2000 banyak diskusi
mengenai berkembangnya lingkungan multi SP di tempat kerja dan kriteria yang
dipakai untuk menetapkan aturan perundingan dalam situasi seperti ini. Pengusaha
mengeluh karena tidak adanya cara yang efektif dalam menntukan SP yang pantas
mewakili pekerja dalam perundingan dengan pengusaha.
Dalam studi yang dilakukan terhada 47 perusahaan ( Oktober-November
2001) terdapt 39 perusahaan yang memiliki satu SP dan 3 perusahaan yang
memiliki lebih dari satu SP. Multi SP yang digembar-gemborkan tampaknya
bukan masalah besar karena SP tersebut memiliki pengaruh sendiri-sendiri
terhadap divisi yang berbeda dari perusahaan tersebut. Undang-Undang No 13
tahun 2003 menyatakan bahwa bila terdapat lebih dari satu SP dalam perusahaan,
SP yang berhak mewakili pekerja dan menegosiasikkan perjanjian bersama adalah
SP yang memiliki anggota 50% dari jumlah keseluruhan pekerja yang ada di
perusahaan.
5. Penghalang Kebebasan Berserikat
a. Hal yang menghalangi perkembangan SP di tempat kerja

28
Universitas Sumatera Utara

Serikat pekerja sering kali mengeluhkan tindakan-tindakan yang diambil
oleh manajemen perusahaan untuk membatasi kemampuan mereka untuk
berorganisasi di tempat kerja. Mereka mengatakan, taktik-taktik yang digunakan
pengusaha antara lain meliputi pemecatan aktivis serikat pekerja, penurunan
jabatan, pemutasian atau pemindahan aktivis serikat pekerja ke tempat kerja lain
dan dalam beberapa hal melaporkan aktivis serikat pekerja kepada polisi.
b. Pendaftaran/pemberitahuan serikat pekerja
Sewaktu proses pembahasan undang-undang serikat pekerja berlangsung,
beberapa serikat pekerja mengeluhkan adanya kebutuhan untuk melakukan
pendaftaran. Beberapa organisasi serikat pekerja yang usianya lebih muda
berpendapat bahwa pejabat dinas tenaga kerja setempat menganakemaskan serikat
pekerja yang sudah sejak lama terbentuk dan cenderung mempersulit serikat
pekerja baru yang ingin mendaftar. Akhirnya, untuk menampung keluhan ini,
perumusan

kata

dalam

undang-undang

tersebut

diubah

sehingga

kata

“pendaftaran” diganti menjadi „pemberitahuan dan pencatatan.‟
c. Pemotongan iuran serikat pekerja
Beberapa serikat pekerja yang baru terbentuk mengeluh bahwa
pemotongan iuran keanggotaan serikat pekerja secara otomatis oleh pengusaha,
yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah check off, hanya
menguntungkan serikat pekerja yang sudah mapan dan sudah lama beroperasi di
perusahaan. Mereka juga mengeluhkan sikap pengusaha yang sangat enggan
memperluas fasilits check off kepada organisasi serikat pekerja yang baru
terbentuk. Di samping itu juga dijumpai adanya keluhan bahwa dalam beberapa

29
Universitas Sumatera Utara

kasus, iuran serikat pekerja dipotong dari upah pekerja yang bukan anggota
KSPSI dan kemudian dibayarkan kepada KSPSI.
d. Pembatasan-pembatasan yang membatasi wilayah organisasi serikat
pekerja
Pada tahun 2001 Gubernur Jakarta mengeluarkan surat edaran yang
melarang petugas penjaga keamanan yang dipekerjakan di tempat-tempat
komersial untuk bergabung dengan serikat pekerja. Padahal staf penjaga
keamanan yang dikenal dengan singkatan SATPAM (satuan pengamanan)
tersebut mewakili kelompok besar pekerja dan dalam banyak perusahaan mereka
telah bergabung dengan serikat pekerja. Gaji mereka dibayar oleh perusahaanperusahaan swasta.
e. Keterlibatan militer dan polisi dalam hubungan industrial
Keterlibatan polisi dan mileter secara berulang kali dalam hubungan
industrial tercatat dalam sejarah Orde Baru. Ketika timbul perbedaan antara
pekerja dan pengusaha, terlalu sering pengusaha beraksi dengan memanggil aparat
keamanan setempat yang mempunyai reputasi menggunakan kekerasan untuk
memberangus protes pekerja. Selama ini sudah menjadi praktik umum, dan
praktik itu masih terus berlangsung hingga sekarang, bagi perusahaan-perusahaan
di Indonesia untuk menyewa satu unit personil polisi atau militer setempat bila
mereka berpendapat memerlukan bantuan khusus pengamanan.
f. Serangan fisik terhadap pekerja
Meskipun tingkat campur tangan polisi dan militer dalam perselisihan
perburuhan telah berkurang, ada sejumlah kasus di mana “kekuatan ketiga”
melakukan kekerasan terhadap pekerja yang mogok dan aktivis serikat pekerja.

30
Universitas Sumatera Utara

Kasus yang paling mengganggu melibatkan pembunuhan dua pekerja yang mogok
pada perusahaan pemasok pelapis jok mobil, PT Kadera. Pada tanggal 16 Maret
2001, tiga ratus karyawan PT Kadera melakukan demonstrasi dan pemogokan
menuntuk kenaikan upah. Mereka berdiri di depan pabrik selama malam hari dan
pada malam tanggal 29 Maret, mereka diserang oleh kira-kira 500 laki-laki yang
tidak diketahui identitasnya.
g. Penggunaan tuntutan pidana terhadap aktivis serikat pekerja
Dalam sejumlah kasus aktivis serikat pekerja ditahan dan dituduh
melakukan tindak pidana berdasarkan KUHP padahal kegiatan-kegiatan yang
menyebabkan dikenakannya tuduhan tersebut tampaknya berkaitan dengan
kegiatan masing-masing individu sebagai aktivis serikat pekerja. Pasal 335 KUHP
melarang „perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap orang lain‟ dan ini dapat
ditafsirkan secara luas. Dalam suatu perkara sepeti itu, pada tahun 2001 seorang
aktivis serikat buruh perempuan, Ngadinah, ditangkap tak lama setelah
diwawancarai di televisi, di mana dalam wawancara tersebut ia memberikan
komentar tentang majikannya, seorang kontraktor untuk suatu perusahaan
multinasional yang terkenal. Dua hari kemudian ia ditangkap dan dituduh
melakukan tindak pidana yang diduga terjadi dalam suatu perselisihan industrial
sembilan bulan sebelumnya.
h. Tindakan-tindakan hukum lainnya
Suatu perselisihan yang banyak mend\apat sorotan dan melibatkan pekerja
di hotel Shangri La di Jakarta mulai mencuat pada bulan September 2000 setelah
terjadi kegagalan negosiasi mengenai syarat-syarat perjanjian bersama. Skorsing
yang dijatuhkan terhadap seorang wakil serikat pekerja menyebabkan perselisihan

31
Universitas Sumatera Utara

yang panjang dan sengit, yang melibatkan pemecatan anggota serikat pekerja dan
tuntutan ganti rugi atas kerusakan yang timbul terhadap pengurus serikat pekerja.
Pemecatan tersebut menjadi subyek pengajuan banding secara hukum yang
dibalas lagi dengan pengajuan banding ke tingkat yang lebih tinggi sampai
Mahkamah Agung pada bulan Desember 2002 menguatkan keputusan pemecatan
tersebut.
i. Kebebasan berserikat di sektor pelayanan sipil dan publik
Pegawai negeri dan karyawan badan usaha milik Negara (BUMN) telah
diwajibkan selama berthaun-tahun untuk menjadi anggota asosiasi pegawai
negeri, yaitu KORPRI atau Korps Pegawai Negeri. Sebelum tahun 1998, KORPRI
mempunyai hubungan yang erat dengan partai GOLKAR yang saat itu berkuasa.
Waktu itu KORPRI tidak berfungsi sebagai serikat pekerja, tetapi sekarang
KORPRI terdaftar sebagai serikat pekerja meskipun peran dan kegiatannya yang
berkaitan dengan anggota dan manajemen tampaknya tidak berubah
Keputusan Presiden No 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa seluruh
pegawai negeri adalah anggota KORPRI dan bertanggung jawab membayar iuran
kepada KORPRI. Tampaknya hal ini menunjukkan bahwa pegawai negeri tetap
wajib menjadi anggota KORPRI dan pemotongan iurang KORPRI dari gaji
pegawai negeri secara otomatis tetap terus dijalankan.
j. Kebebasan berserikat dan organisasi pengusaha
Meskipun sebagian besar pelanggaran terhadap kebebasan berserikat
menimpa serikat pekerja, hak asasi yang dimiliki pengusaha untuk berserikat juga
tidak boleh diabaikan. Semasa Orde Baru, Apindo mengalami berbagai
pembatasan dalam menjalankan perannya.16 Tetapi, konsultasi yang dilakukan

32
Universitas Sumatera Utara

dengan Apindo baru-baru ini agaknya menunjukkan bahwa mereka umumnya
puas dengan kemampuan yang mereka miliki saat ini untuk berorganisasi dan
melakukan kegiatan-kegiatan mereka. Namun ada kalanya sewaktu terjadi
perselisihan dan saat pembahasan tentang upah minimum, pengusaha menyatakan
kekuatirannya terhadap taktik yang digunakan oleh serikat pekerja.

2.2

Konsep kelas
Dalam tulisan-tulisannya Marx sering menggunakan istilah kelas, namun

Marx tidak pernah mendefenisikan secara sistematis apa yang dimaksud dengan
kelas. Marx menggunakan istilah kelas untuk menyatakan sekelompok orang yang
berada dalam situasi yang sama dalam hubungannya dengan kontrol mereka
terhadap alat-alat produksi. Kelas merupakan sebuah konsep yang tidak dapat
dipisahkan dari konsep ekonomi yang menentukan kedudukan sosial manusia
dalam hal kepemilikan harta atau benda. Kelas sosial di tentukan oleh posisi
tertentu dalam proses produksi untuk mengetahui golongan sosial dalam tatanan
masyarakat. Kelas sosial merupakan gejala yang khas dalam masyarakat
pascafeodal atau disebut kasta dalam masyarakat feodal dan kuno. Individuindividu membentuk kelas sepanjang mereka berada di dalam suatu konflik biasa
dengan individu-individu yang lain tentang nilai surplus. Dalam kapitalis terdapat
konflik kepentingan yang inheren antara orang yang memberi upah para buruh
dan para buruh yang kerja mereka diubah kembali menjadi nilai surplus. Konflik
yang inheren inilah yang membentuk kelas-kelas.
Sebuah kelas benar-benar eksis hanya ketika orang menyadari kalau dia
sedang berkonflik dengan kelas-kelas yang lain. Tanpa kesadaran ini mereka
33
Universitas Sumatera Utara

hanya akan membentuk suatu kelas di dalam dirinya. Ketika mereka menyadari
konflik maka mereka menjadi sesuatu kelas yang sebenarnya, suatu kelas untuk
dirinya. Marx menemukan dua kelas yaitu kapitalis dan proletar ketika
menganalisis kapitalisme. Kelas borjuis adalah nama khusus untuk para kapitalis
dalam sistem ekonomi modern yang memiliki alat-alat produksi dan
mempekerjakan pekerja upahan. Sedangkan proletar merupakan pekerja upahan
yang bekerja untuk para kapitalis.
2.2.1 Kesadaran Kelas
Menurut Marx, kelas-kelas sosial adalah pelaku utama dari perubahan
sosial bukan individu-individu tertentu. Kelas-kelas yang berkuasa dan kelas yang
dikuasai akan terlihat dalam setiap masyarakat. Marx membagi masyarakat
kapitalis menjadi tiga kelas yaitu, kaum buruh yang hidup dari upah. Kedua, kaum
pemilik modal yang hidup dari laba dan tuan tanah yang hidup dari rente tanah.
Dalam analisis keterasingan tuan tanah tidak dibicarakan sehingga tuan tanah
sama dengan para pemilik modal.
Dalam sistem produksi kapitalis, kelas buruh dan kelas pemilik modal
saling berhadapan. Keduanya saling membutuhkan, buruh dapat bekerja apabila
pemilik modal membuka tempat kerja untuk buruh dan pemilik modal dapat
menjalankan pabriknya dengan mempekerjakan buruh. Hubungan keduanya
saling ketergantungan namun tidak seimbang. Pemilik modal menetapkan syaratsyarat kepada buruh yang ingin bekerja dan buruh yang harus memenuhi
persyaratan yang diberikan pemilik modal dan menerima upah yang telah
ditetapkan oleh kapitalis.

34
Universitas Sumatera Utara

Hubungan antara kelas atas dan kelas bawah pada hakikatnya merupakan
hubungan penghisapan atau eksploitasi dan hubungan kekuasaan, yang satu
berkuasa atas yang lain. Kapitalis memanfaatkan keinginan buruh untuk bekerja
dan memperoleh upah agar dapat menindas buruh dan menguasai buruh untuk
bekerja seluruhnya demi pemilik modal. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan kaum
tertindas karena mereka menjual tenaga kerjanya demi memperoleh upah namun
hak dan harapan mereka dirampas.
Hukum keras dalam kapitalisme adalah persaingan, artinya hanya usahausaha besar yang dapat bertahan. Kelas buruh semakin menyadari keadaannya
yang dieksploitasi oleh kapitalis yang membuat mereka harus hidup menderita
dna kesamaan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Kaum buruh menyadari
bahwa mereka merupakan satu kelas yang memiliki kesamaan nasib dan
penanggungan.

Kaum

buruh

membentuk

organisasi

buruh

untuk

mengorganisasikan diri dengan kaum buruh lainnya. Dengan adanya organisasi ini
perjuangan mereka akan semakin efektif. Buruh yang tidak memilki pekerjaan
tidak lagi menawarkan upah yang rendah untuk tenaga mereka sehingga mereka
tidak dapat dimanfaatkan oleh kapitalis untuk menekan upah. Seperti yang
diungkapkan Marx, semakin miskin mereka maka semakin tinggi kesadaran
kelasnya dan semangat juang mereka semakin kokoh dan tak terpatahkan. Musuh
mereka buakan lagi pemilik modal melainkan kapitalis sebagai kelas. Tujuan
perjuangan buruh tidak lagi untuk kenaikan upah melainkan menghapuskan hak
milik kapitalis atas alat-alat produksi.

35
Universitas Sumatera Utara

2.3

Teori Konflik Lewis Coser
Menurut Lewis Coser, konflik tidak hanya memiliki dampak negatif.

Konflik memiliki fungsi positif bagi masyarakat melalui perubahan yang
diakibatkan oleh konflik itu sendiri. Konflik sosial dalam sistem sosial, lebih
khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan
teknis, produktivitas dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan
perubahan sosial. Lewis Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan
sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif atau fungsi positif dalam
masyarakat. Sehingga dala suatu hubungan sosial tertentu, konflik yang
disembunyikan tidak akan memberi efek positif. Perilaku bermusuhan dapat
menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik.
Menurut Lewis Coser beberapa susunan struktur merupakan hasil
persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional
struktur, tetapi juga menunjuk proses lain yaitu konflik sosial (Poloma, 2010).
Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam membentuk,
menyatukan dan memelihara struktur sosial. Konflik yang sedang berlangsung
dapat memperkuat identitas para anggotanya.
Dalam kajian sosiologis, Lewis Coser berfokus pada fungsi konflik sosial
yang dijadikan sebagai penguat kelompok sosial yang bersifat tertutup. Konflik
mendorong anggota in group membangun komunikasi untuk mengantisipasi
keadaan out group. Konflik tidak memiliki pengaruh yang sama dalam kelompok
yang berbeda, hal ini dipengaruhi oleh tipe isu dan struktur sosial yang
dipertentangkan.konflik

fungsional

memperkokoh

norma

dan

hubungan

36
Universitas Sumatera Utara

kekuasaan dalam kelompok sejalan dengan kepentingan anggota kelompok
(Maliki,2012).
a. Katup Penyelamat
Katup penyelamat (Safety-Value) adalah mekanisme yang digunakan
untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup
penyelamat membiarkan luapan konflik tersalur tanpa merusak struktur, konflik
membantu membersikan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Lewis
Coser melihat bahwa katup penyelamat sebagai jalan keluar yang meredakan
konflik, yang tanpa itu hubungan anatara pihak yang berkonflik akan semakin
tajam.

Praktek-praktek

atau

institusi

katup

penyelamat

memungkinkan

pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur (Susan, Novri. 2009).
Lembaga “safety-valve” seelain menjalankan fungsi positif untuk
mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Oleh karena katup
penyelamat bukan direncanakan atau ditujukan untuk menghasilkan perubahan
struktural, maka masalah dasar dari konflik itu sendiri tidak terpecahkan. Lewat
katup penyelamat (safety-valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling
melawan objek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya
bagi sistem sosial maupun bagi individu yaitu mengurangi tekanan untuk
menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang yang sedang
berubah maupun membendung ketegangan dalam individu, menciptakan
kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
b. Konflik Realistis
Konflik merupakan alat-alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu.
Langkah-langkah untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh kebudayaan

37
Universitas Sumatera Utara

mereka. Lewis Coser membedakan konflik menjadi dua yaitu, konflik yang
realistis dan konflik yang tidak realistis. Konflik yang realistis berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari
perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada
objek yang dianggap mengecewakan. Dengan kata lain, konflik realistis
sebenarnya mengejar: power, status yang langka, resources (sumber daya), dan
nilai-nilai. Konflik akan berhenti jika aktor dapat menemukan pengganti yang
sejajar dan memuaskan untuk mendapatkan hasil akhir. Pada konflik realistis
terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pilihanpilihan amat bergantung pada penilaian partisipan atas solusi yang selalu tersedia.
Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen
merupakan contoh konflik realistis. Konflik realistis khusunya dapat diikuti oleh
sentimen-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena
pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain.
Pemogokan melawan majikan, misalnya, dapat berupa sifat-sifat permusuhan tak
hanya sebagai akibat dari ketegangan antara buruh-majikan, akan tetapi boleh jadi
juga oleh karena ketidakmampuan menghilangkan rasa permusuhan terhadap
figur-figur yang berkuasa. Dengan demikian energi-energi agresif mungkin
terakumulasi dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi
konflik diredakan.

38
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PERANAN SERIKAT BURUH DALAM MEMPERJUANGKAN HAK-HAK KAUM BURUH (Studi Pada Buruh Demokratik Malang)

1 6 3

Peran Serikat Buruh Dalam Perlindungan Hak-Hak Buruh Di PT. Gloria Satya Kencana Gunungn Sindur Parung Bogor

1 15 132

SEJARAH GERAKAN SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA (SBSI) DI KOTA MEDAN TAHUN 1992-2012.

2 6 23

Fungsi Advokasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Dalam Memperjuangkan Hak Normatif Buruh (Studi Kasus pada Dewan Pimpinan Daerah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia 1992 Sumatra Utara)

0 0 9

Fungsi Advokasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Dalam Memperjuangkan Hak Normatif Buruh (Studi Kasus pada Dewan Pimpinan Daerah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia 1992 Sumatra Utara)

0 0 1

Fungsi Advokasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Dalam Memperjuangkan Hak Normatif Buruh (Studi Kasus pada Dewan Pimpinan Daerah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia 1992 Sumatra Utara)

0 0 16

Fungsi Advokasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Dalam Memperjuangkan Hak Normatif Buruh (Studi Kasus pada Dewan Pimpinan Daerah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia 1992 Sumatra Utara) Chapter III VI

0 1 57

Fungsi Advokasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 Dalam Memperjuangkan Hak Normatif Buruh (Studi Kasus pada Dewan Pimpinan Daerah Serikat Buruh Sejahterah Indonesia 1992 Sumatra Utara)

0 0 2

Hak-hak Serikat Buruh Dalam Pengorganisasian

0 0 30

DINAMIKA DAN PERAN SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA DALAM MEMPERJUANGKAN HAK-HAK BURUH DI SURAKARTA TAHUN 1992 -2008

0 6 22