Proposal Disertasi Tentang Pondok Pesant

PROPOSAL DISERTASI PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENGGUNAAN MODUL BAGI MENINGKATKAN KEMANDIRIAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN MODEREN GONTOR DARUL MA’RIFAT KEDIRI, JAWA-TIMUR

Komisi Promotor :

PROF. DR. H. FIRMAN, M.Pd (Kons)

PROF. DR. H. MUKHAIYAR. M.Pd.

PROF. DR. H. MUDJIRAN, M.S. (Kons)

Oleh :

Reza Fahmi

(NIM 20721)

PRPGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI PADANG

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pondok Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Selain sebagai lembaga pendidikan juga berfungsi sebagai lembaga sosial, artinya keberadaan suatu pondok pesantren dengan lingkungan sekitarnya bersifat saling mempengaruhi. Oleh karena itu sistem pendidikan dalam pesantrenpun mengalami perkembangan sejalan dengan fase-fase perkembangan masyarakat sekitarnya. Namun demikian ada karakter pesantren yang tidak pernah berubah dari fase-fase perkembangannya tersebut yaitu watak kemandiriannya.

Watak kemandirian inilah yang menyebabkan dunia pesantren mampu mempertahankan eksistensinya di tengah transformasi sosial budaya yang sangat kompleks. Sebab dengan prinsip tersebut setiap pesantren bebas menentukan kebijaksanaan dalam upaya merealisasikan misi agama dan pendidikan yang diembannya sesuai dengan perkembangan masyarakat dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing pesantren. (Nurmawati, 1999: 4)

Seterusnya pondok pesantren dapat dikatakan merupakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan Islam yang juga memerlukan inovasi dalam pendidikan, bukan hanya pendidkan Islam saja melainkan pendidikan umum yang juga diperlukan santri. “Manusia harus mampu hidup secara seimbang antara segi dunia dan akherat, lahiriah dan batiniah, individu dan masyarakat..” (Tafsir, 2001: 201). Kemudian pendidikan di Pondok Pesantren umumnya lebih mengedepankan pendidikan agama, karena pendidikan agama dipandang sebagai bagian pendidikan yang sangat penting dan berkenaan dengan aspek-aspek sikap serta nilai. Agama mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan dirinya sendiri yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kebahagiaan lahir batin.

Dengan demikian, pesantren mempunyai tuntutan dan tanggungjawab yang sangat besar dalam merealisasikan tujuan pendidikan nasional (mencerdaskan kehidupan bangsa) tersebut, demi terwujudnya peserta didik yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual. Dalam hal ini disebut santri menjadi manusia yang mandiri dan mempunyai ekstra kecakapan, sehingga nantinya mereka mempunyai bekal dalam menghadapi beranekaragaman kehidupan dan tantangan zaman.

Sebagai salah satu lembaga pendidikan pondok pesantren mampu memberi pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan, baik jasmani, ruhani, maupun intelegensi, karena sumber nilai dan norma-norma agama merupakan kerangka acuan dan berfikir serta sikap ideal para santri. Sehingga pesantren sering disebut sebagai alat tranformasi kultural. Fungsi pokok pesantren adalah mencetak ulama yang intelek. Kegiatan pembelajaran yang terjadi di pesantren tidaklah sekedar pemindahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan tertentu tetapi yang terpenting adalah penanaman dan pembentukan nilai-nilai tertentu kepada santri.

Terdapat tiga aspek pendidikan yang terpenting yaitu psikomotorik, afektif, dan kognitif diberikan secara stimulan dan seimbang kepada peserta didik (Rahim, 2001: 26). Sebuah lembaga pendidikan akan dinilai berhasil oleh masyarakat bukan sekedar dilihat dari tingginya nilai mata pelajaran siswa, namun lebih dilihat pada kemampuan Spiritual Quotient dan Emotional Quotient, yang berarti kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai masalah, bersikap sabar, memiliki kepercayaan diri, dan bersikap mandiri jauh lebih penting.

Semua ini dapat muncul tak lepas dari peran serta para kiai atau ustadz, kakak kelas, yang selama dua puluh empat jam terus menerus senantiasa memberi bimbingan, pengarahan sehingga setiap gerak gerik mereka selalu terawasi dengan seksama. “Pesantren adalah sistem pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai, dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadz-santri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari. (Qomar, 2007 : 64)”.

Di antara cita-cita pendidikan pesantren adalah menghasilkan anak didik (santri) yang mandiri dan membina diri agar tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain (Rahim, 2001: 26). Sebagai salah satu lembaga pendidikan, Pondok Pesantren telah membuktikan bahwa dirinya telah berhasil mencetak santri-santri yang mandiri, minimal tidak selalu menggantungkan hidupnya pada orang lain. Hal ini disebabkan selama di pesantren para santri tinggal jauh dari orang tua. Para santri dituntut untuk dapat menyelesaikan masalahnya secara mandiri. Kemandirian dalam belajar maupun bekerja didasarkan pada disiplin terhadap diri sendiri, santri dituntut untuk lebih aktif, kreatif, dan inovatif.

Sungguhpun Pondok Pesantren telah membekalkan sikap kemandirian terhadap para santri / peserta didik, melalui berbagai kegiatan harian yang mewajibkan mereka melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sendiri. Misal; mencuci pakaian, memasak, merapihkan kamar, membersihkan lingkungan dan sebagainya. Namun peran Kiai dan Ustadz / guru masih lagi mendominasi keputusan yang kan diambil oleh para santri dalam menentukan prilaku apa yang akan mereka kerjakan.

Sebagai contoh di Pondok Moderen Gontor 3 Darul Ma’rifat, dari 1676 0rang santri maka sebagain besar mereka berasal dari berbagai Propinsi di Tanah Air dan bahkan banyak pula yang berasal dari negara lain, seperti; Malaysia sebanyak 87 orang, Singapura sebanyak 1 orang, Thailand sebanyak 173 orang, Selandia Baru sebanyak 1 orang, Australia sebanyak 1 orang dan beberapa negara Timur Tengah (Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) sebanyak 3 orang. Dengan hal yang sedemikian untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin sebagai konsulat (pemimpin atau ketua perwakilan di tingkat wilayah tertentu, misal; konsulat Sumatera Barat, konsulat Riau, konsulat DKI, konsulat Luar Negeri dan sebgainya) keputusan diambil oleh para Ustad / guru. Kemudian untuk kegiatan pengabdian (magang) yang akan dijalankan sebagai proses penempaan diri untuk mempersiapkan para santri untuk kembali ke masyarakat sebelum mereka memperoleh ijazah ke lulusan juga sangat ditentukan oleh para Kiai atau Ustadz yang membimbing mereka. Disamping itu pemilihan posisi atau jabatan tertentu yang akan diberikan kepada pelajar senior dalam membimbing adiknya (dalam proses pengkaderan), ketika mereka akan memasuki kelas 5 juga ditentukan oleh para Ustadz dan Kiai. Apakah mereka akan menjadi mudhabir / pembimbing di asrama, apa mereka akan ditempatkan membantu pada bagian penerimaan tamu, apa mereka akan ditempatkan membantu administrasi atau apa mereka akan ditempatkan untuk membantu unit usaha yang dikembangkan Pondok Moderen Darussalam Gontor (PMDG) 3, apa mereka ditempatkan pada bagian keamanan dan sebagainya juga sangat ditentukan oleh Kiai dan para Ustadz.

Penjelasan di atas memberikan gambaran pada kita bahwa Pondok Pesantren pada satu pihak membekalkan para santri sikap kemandirian, namun tidak sepenuhnya kemandirian tersebut diberikan untuk para santri. Dilain pihak peran Kiai dan Ustadz sangat menentukan bagi langkah-langkah yang akan ditempuh para santri dalam mengembangkan diri mereka masing-masing.

Untuk lebih mengoptimalkan proses pemilihan santri sesuai dengan kompetensi dan keterampilan yang dimilikinya maka, perlu diberikan modul bagi para santri bagi pembinaan karakter mereka sehingga para santri bisa memotret diri mereka secara mandiri, kemudian para santri bisa memberikan masukan ke arah mana mereka akan melangkah (memilih posisi atau kedudukan serta menentukan tempat pengabdian atau magang serta menentukan kelayakan diri mereka sebagai pimpinan konsulat).

Menurut Dharma (2008:3) modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitas. Dalam pandangan lain Mulyasa (2004:43) menyatakan modul adalah satu pembelajaran mengenai suatu satuan kompetensi tertentu yang disusun secara sistematis, oprasional dan terarah yang digunakan oleh para peserta didik serta pedoman penggunaannya oleh para guru.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut :

  1. Para santri belum memiliki kemandirian untuk menentukan posisi atau jabatan tertentu yang akan mereka emban dalam proses pengkaderan yang dilakukan pada saat mereka berada di kelas 5.

  2. Para santri belum memiiki kemandirian untuk menentukan tempat pengabdian (magang) yang akan mereka lakukan sebagai tanggungjawabnya yang menjadi prasyarat untuk dapat memperoleh ijazah kelulusan dari PMDG Gontor 3.

  3. Para santri belum memiliki kemandirian untuk menentukan siapa yang akan memimpin konsulat dari masing-masing wilayah atau daerah asal. Sehingga proses ini juga diasumsikan sebagai pemilihan yang tidak bersifat demokratis.

  4. Perlunya modul pembinaan karakter pada para Ustadz / guru agar mereka mengetahui bagaimana pembinaan karakter yang perlu mereka lakukan. Sehingga mellaui pembinaan tadi maka, para santri akan menyadari apakah mereka layak untuk menduduki jabatan tertentu, melakukan pengabdian atau magang di tempat tertentu. Kemudian para santri menyadari kelayakan dirinya untuk menjadi konsulat atau tidak.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan batasan masalah penelitian sebagai berikut:

  1. Modul pendidikan karakter yang menurut para ahli layak untuk dimanfaatkan oleh para Ustadz / guru.

  2. Diskripsi tingkat keterpaian modul pendidikan karakter untuk peningkatan kemandirian para santri PMDG Gontor 3 Darul Ma’rifat.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada batasan masalah, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

  1. Apakah modul pendidikan karakter yang dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian para santri layak menurut para ahli untuk dimanfaatkan oleh para Ustadz / guru di Pondok Pesantren Moderen Darussalam Gonot 3?

  2. Apakah modul pendidikan karakter yang dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian para santri dapat dimanfaatkan oleh para Ustadz / guru di Pondok Pesantren lain?

E. Tujuan Pengembangan

Berdasar rumusan masalah yang telah ditetapkan tersebut maka tujuan dari pengembangan ini adalah:

1. Menghasilkan modul pendidikan karakter yang layak menurut para ahli untuk dimanfaatkan oleh para Ustadz / guru di Pondok Pesantren Moderen Darussalam Gontor 3.

2. Mendeskripsikan tingkat keterpaian modul pendidikan karakter untuk peningkatan kemandirian para santri PMDG Gontor 3 Darul Ma’rifat.

F. Pentingnya Pengembangan

Rasional yang melandasi pengembangan modul pendidikan karakter bagi peningkatan kemandirian para santri di PMDG Gontor 3 Darul Ma’rifat sebagai berikut :

  1. Belum ada modul yang membahas pendidikan parakter di Pondok Pesantren.

  2. Kondisi yang terjadi saat ini masih ditemukannya sikap ketidak mandirian santri di Pondok Pesantren.

G. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

1. Asumsi

Asumsi yang mandasari dikembangkannya modul pendidikan karakter bagi peningkatan kemandirian santri di Pndok Pesantren Moderen Gontor 3 Darul Ma’rifat adalah sebagai berikut :

  1. Siswa memiliki kesempatan untuk melatih diri, belajar secara mandiri dan memberikan kesempatan untuk menguji kemampuan diri sendiri dengan mengerjakan latihan yang ada di dalam modul.

  2. Para Ustadz / guru dapat memanfaatkan modul karena mengurangi ketergantungan terhadap ketersediaan buku teks memperluas wawasan karena menggunakan berbagai referensi dan membangun komunikasi yang efektif antara para Ustadz dengan para santri karena pembelajaran tidak harus berjalan secara tatap muka.

2. Keterbatasan Pengembangan

Penelitian pengembangan yang dilakukan ini tidak bermaksud untuk menggenralisasi produk yang telah dihasilkan serta penyempurnaan dari segi bahasa dan segi perwajahan ( ukuran huruf, warna dan daya tarik) Hasil penelitian ini hanya sebatas pada uji validasi ahli dan uji kelompok kecil.

H. Definisi Istilah

Penelitian ini berjudul “Pengembangan Model Pendidikan Karakter Melalui Modul Bagi Peningkatan Kemandirian Santri di PMDG Gontor 3 Darul Ma’rifat Kediri, Jawa Timur”. Untuk tidak terjadi kesalah pahaman mengenai judul yang diajukan maka dikemukakan penjelasan sebagai berikut :

  1. Pendidikan Karakter adalah dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang relegius, nasionalis, produktif, dan kreatif.

  2. Modul sebuah media yang disusun secara sistematis, yang membahas tentang pendidikan karakter bagi peningkatan kemandirian para santri. Modul ini dimanfaatkan oleh para Ustadz dalam memberikan pembinaan kepada para santri.

  3. Kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan serta memiliki keinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, sampai batas kemampuannya.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disertasi didasarkan pada Buku Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh Pascasarjana Universitas Negeri Padang Tahun 2011. Adapun sitematika penulisan modul memperhatikan masukan dari promotor, para ahli dan sumber lain yang relevan.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sejarah Pondok Pesantren di Tanah Air

Hingga saat ini belum diketahui secara jelas kapan pesantren pertama kali didirikan, namun ketika masa walisongo (abad 16 – 17 M) sudah terlacak sebuah pesantren yang didirikan Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Konon pesantren yang didirikan tersebut merupakan pesantren pertama dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Namun Zamachsjari Dhofier mendefinisikan pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti sebagai tempat tinggal para santri (Zamakhsari Dhofier. 1982). Sementara Manfred Ziemek, sebagaimana di kutip oleh Haidar Putra Daulay menguatkan dengan menyatakan secara etimologi pesantren adalah pesantrian yang berarti tempat santri (Haidar Putra Daulay, 2007). Sementara Menurut Mastuhu, sebagaimana di kutip oleh Fatah Syukur, mengatakan secara definitif pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan mementingkan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Fatah Syukur, 2004).

Lembaga pendidikan Islam yang memainkan perannya di Indonesia jika dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilakksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran secaran Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatan pendidikannya. Kedua, pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model Barat yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam dilembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja (Yasmadi, 2005). Dalam perspektif sejarah pesantren sebenarnya tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan lanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-Islam, yang disebut dengan mandala. Konon mandala ini telah ada sejak zaman sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan (semacam sekolah) dan keagamaan. Mandala dianggap oleh orang Hindu-Budha sebagai tempat suci karena disitu tinggal para pendeta atau pertapa yang memberikan kehidupan yang patut dicontoh masyarakat sekitar karena kesalehannya. Mandala juga disebut sebagai wanasrama yang dipimpin oleh siddapandita yang bergelar muniwara, munindra, muniswara, maharsi, mahaguru atau dewa guru (Ismawati, 2004).

Oleh karenanya, pesantren di Indonesia umumnya mengakar pada budaya setempat yang dari dulu hingga sekarang sangat mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosio demografi, masyarakat kita masih sangat menonjolkan perilaku ketokohan seseorang di dalam lingkungan pesantren (Tjahjo Kumolo, 2007). Diakui atau tidak, pesantren dengan berbagai bentuk dan variasi proses pembelajarannya, merupakan bagian dari peradaban bangsa yang telah melekat kuat dalam sejarah bangsa. Keunggulan pesantren terletak pada prinsip “memanusiakan manusia” dalam proses pembelajarannya (MH Said Abdullah, 2007).

Dengan demikian pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berakar masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup, dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pesantren berusaha mendidik para santri, kemudian dapat mengajarkannya pada masyarakat. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial sehigga diharapan dapat menumbuhkan kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat. Diantara banyak faktor yang mempengaruhi mengapa pertumbuhan pesantren berkembang dengan pesat adalah karena kebiasaan santri yang setelah selesai atau tamat dari belajar pada seorang kyai, ia di beri izin untuk atau ijazah oleh kyai untuk membuka dan mendirikan pesantren baru di daerah asalnya. Dengan begini, perkembangan pesantren semakin merata pada berbagai daerah, di tanah air terutama di perdesaan.

Manakala sejauh Pendidikan Islam di Indonesia juga terkait pesantren modern yang dihormati ketika mereka menerapkan gaya pesantren baru. Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, telah didirikan 20 September 1926 oleh tiga saudara laki-laki- KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fannani, dan KH. Imam Zarkasyi. Madrasa ini adalah juga disebut pondok modern (madrasah modern), dalam beberapa hal bahwa itu tidak hanya mengadopsi sistim madrasah tetapi juga mengajar mengenai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris kepada para santriyang secara intensif dan pada kenyataannya dalam percakapan sehari-hari di antara para santridi dalam pesantren, semua santri berkewajiban berbicara Bahasa Arab atau Bahasa Inggris- mereka tidaklah diijinkan untuk berbicara Indonesia. Sebagai tambahan, tidak sama dengan mayoritas dari madrasah yang lain, Pondok Pesantren Moderen Islam (Darul Ma'Rifat lebih dikenal dengan istilah Gontor 3) menganut pembaharuan dalam kurikulumnya. Sasaran Pesantren Gontor, seperti benteng atau tombak yang kokoh dan juga menghasilkan kader pemimpin bagi perjuangan Islam, dengan kombinasi keunggulan kedua-duanya pesantren dengan sistem pendidikan modern dan tradisional. Sebagai tambahan, pesantren juga menghimbau santri tentang arti seni. Seperti; musik, olahraga dan aktivitas ekstra kurikuler lain yang juga mendapatkan perhatian dari para pemimpin pesantren. Pesantren adalah juga diharapkan untuk menyediakan pendidikan yang mampu menjawab tantangan dunia Islam di antara pola hidup dan kultur sosial bagi masyarakat Indonesia yang mulai masuk dunia modern (Reza Fahmi, 2012)..

Perjalanan panjang Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada abad ke-18. Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang padanya. Maka setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia dinikahkan dengan putri Kyai dan diberi kepercayaan untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. Selanjutnya Gontor adalah sebuah tempat yang terletak lebih kurang 3 km sebelah timur Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari kota Ponorogo.

Pesantren Gontor dikelola oleh Badan Wakaf yang beranggotakan tokoh-tokoh alumni pesantren dan tokoh yang peduli Islam sebagai penentu Kebijakan Pesantren dan untuk pelaksanaannya dijalankan oleh tiga orang Pimpinan Pondok(Kyai) yaitu KH Hasan Abdullah Sahal (Putra KH Ahmad Sahal). Dr. KH Abdullah Syukri Zarkasy (putra KH Imam Zarkasy)dan KH Syamsul Hadi Abdan,S.Ag. Tradisi pengelolaan oleh tiga pengasuh ini, melanjutkan pola Trimurti (Pendiri).

Dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan berkualitas, Pondok Modern Darussalam Gontor bercermin pada lembaga-lembaga pendidikan internasional terkemuka. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok Modern Gontor adalah: (1) Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di Universitas tersebut. (2) Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran. (3) Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para pengasuhnya. (4) Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan kedamaiannya.

B. Visi, Misi, Tujuan Motto dan Strategi PMDG Gontor Darussalam

Visi Gontor adalah : Sebagai lembaga pendidikan pencetak kader-kader pemimpin umat, menjadi tempat ibadah talab al-’ilmi; dan menjadi sumber pengetahuan Islam, bahasa al-Qur’an, dan ilmu pengetahuan umum, dengan tetap berjiwa pesantren. Manakala misi yang dijalankan Gontor adalah sebagai berikut : (1) Membentuk generasi yang unggul menuju terbentuknya khaira ummah. (2) Mendidik dan mengembangkan generasi mukmin-muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengeta-huan luas, dan berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat. Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju terbentuknya ulama yang intelek. Mewujudkan warga negara yang berkepribadian Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

Untuk mewujudkan visi dan misi yang digariskan pendiri Gontor maka, dirumuskan bahwa tujuan pendirian Gontor adalah sebagai berikut : (1) Terwujudnya generasi yang unggul menuju terbentuknya khaira ummah. (2) Terbentuknya generasi mukmin-muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat. (3) Lahirnya ulama intelek yang memiliki keseimbangan dzikir dan pikir. (4) Terwujudnya warga negara yang berkepribadian Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

Kemudian motto yang diusung oleh PMDG Gontor ini adalah : (1) Berbudi tinggi, (2) Berbadan sehat. (3) Berpengetahuan luas, (4) Berpikiran bebas Kehidupan Pondok dengan segala totalitasnya menjadi media pembelajaran dan pendidikan. Pendidikan berbasis komunitas: segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami oleh para santri dan warga Pondok dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Program reguler untuk lulusan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan masa belajar hingga enam tahun. Kelas I-III setingkat dengan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) jika mengacu pada kurikulum nasional dan kelas IV-VI setara dengan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (MA). Program intensif KMI untuk lulusan SMP/MTs yang ditempuh dalam 4 tahun. Bahasa Arab dan bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar pendidikan, kecuali mata pelajaran tertentu yang harus disampaikan dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Arab dimaksudkan agar santri memiliki dasar kuat untuk belajar agama mengingat dasar-dasar hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab. Bahasa Inggris merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan/umum.

Pengasuhan santri adalah bidang yang menangani kegiatan ekstrakurikuler dan kurikuler. Setiap siswa wajib untuk menjadi guru untuk kegiatan pengasuhan pada saat kelas V dan VI jika ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di ISID, mereka tidak akan dipungut biaya, tetapi wajib mengajar kelas I-VI di luar jam kuliah.mengajar kuliah dan membantu pondok itulah yang di lakukan sebagai bentuk pengabdian dan pengembangan diri.

Kehidupan Pondok dengan segala totaliasnya menjadi media pembelajaran dan pendidikan. Pendidikan berbasis komunitas: segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami oleh para santri dan warga Pondok dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Program reguler untuk lulusan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan masa belajar hingga enam tahun. Kelas I-III setingkat dengan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) jika mengacu pada kurikulum nasional dan kelas IV-VI setara dengan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (MA). Program intensif KMI untuk lulusan SMP/MTs yang ditempuh dalam 4 tahun. Bahasa Arab dan bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa pergaulan dan bahasa pengantar pendidikan, kecuali mata pelajaran tertentu yang harus disampaikan dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Arab dimaksudkan agar santri memiliki dasar kuat untuk belajar agama mengingat dasar-dasar hukum Islam ditulis dalam bahasa Arab. Bahasa Inggris merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan/umum. Pengasuhan santri adalah bidang yang menangani kegiatan ekstrakurikuler dan kurikuler. Setiap siswa wajib untuk menjadi guru untuk kegiatan pengasuhan pada saat kelas V dan VI jika ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di ISID, mereka tidak akan dipungut biaya, tetapi wajib mengajar kelas I-VI di luar jam kuliah.mengajar kuliah dan membantu pondok itulah yang di lakukan sebagai bentuk pengabdian dan pengembangan diri.

1. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter saat ini sangat relevan diterapkan dalam lingkungan keluarga dan sekolah sebagai wadah yang berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter anak. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Hasan dkk, 2010:3).

Selanjutnya Zubaedi (2011:11) berpendapat bahwa Character is the sum of all the qualities that make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, your actions. Artinya karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Dengan demikian, karakter dapat disebut sebagai jati diri seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etis dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya. Pengembangan karakter dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai etika dasar (core ethical values) sebagai basis bagi karakter yang baik. Tujuannya adalah terbentuknya karakter yang baik. Indikator karakter yang baik terdiri dari pemahaman dan kepedulian pada nilai-nilai etika dasar, serta tindakan atas dasar inti nilai etika yang murni.

Menurut Megawangi (dalam Kesuma,dkk 2011:5) Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Seterusnya Konteks kajian Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) (Kesuma dkk, 2011:5) mendefinisikan pendidikan karakter dalam setting lembaga pendidikan yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Definisi ini mengandung makna: (1) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran; (2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya anak merupakan organisme menusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan; (3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk lembaga pendidikan. Untuk itu, penekanan pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-nilai yang baik, namun lebih dari itu menjangkau pada bagaimana menjadikan nilai-nilai dan menyatu dalam totalitas pikiran dan tindakan. Pendidikan karakter dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya.

Dengan demikian pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang relegius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Pendidikan karakter merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkarakter kuat Pekerti luhur dan berwatak bangsa yaitu sesuai dengan falsafah Pancasila.

Menurut Gede Raka dkk. (2010:16) grand design yang dikembangkan secara psikologis dan sosial kultur pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Selanjutnya Gede Raka dkk (2010, xi-4) menjelaskan adapun tujuan pendidikan karakter adalah : pertama, melindungi mayarakat dari berbagai penyakit masyarakat dan perusakan lingkungan. Misal : prilaku korupsi, penggunaan kekerasan terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan, suku dan golongan, maraknya pelanggaran lalu lintas, rusaknya lingkungan alam atau hayati. Kedua, membangun sumber kekuatan, sumber kemajuan, sumber kesejahteraan dan martabat yang melalui kecerdasan dan kekuatan rakyatnya.

Menurut Muhtadi Ali (2014:21) materi pendidikan karakter antara lain ; pengajaran tentang keadilan, amanah, pengampunan, antisipatif, arif, baik sangka, kebajikan, keberanian. Bijaksana, cekatan, cerdas, cerdik, cermat, pendaya guna, demokratis, dermawan, dinamis, disiplin, efisien, empan papan, empati, fair play, gigih, gotong royong, hemat, hormat, kehormatan, ikhlas, inisiatif, inovatif, kejujuran, pengendalian diri, rajin, ramah, sabar, santun, produktif, mandiri dan sebagainya.

Hasan (dalam Zubaedi, 2011:18). Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter. menjelaskan pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan. Pertama, mengembangkan potensi kalbu atau nurani peserta didik yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Selanjutnya Zubaedi (2011:18) berpendapat bahwa pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila. Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpatisipasi dan bertanggungjawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa yang bermartabat. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter, nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi dari empat sumber: (1) Agama, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama; (2) Pancasila, NKRI ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yaitu Pancasila; (3) Budaya, nilai budaya dijadikan dasar karena tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari nilai-nilai budaya; (4) Tujuan pendidikan nasional, berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Hasan dkk, 2010:8).

Berdasarkan keempat nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah 18 nilai untuk pendidikan karakter yaitu: (1) religius; (2) semangat kebangsaan; (3) jujur; (4) cinta tanah air; (5) toleransi; (6) menghargai prestasi; (7) disiplin; (8) bersahabat atau komunikatif; (9) kerja keras; (10) cinta damai; (11) kreatif; (12) gemar membaca; (13) mandiri; (14) peduli lingkungan; (15) demokratis; (16) peduli sosial; (17) rasa ingin tahu; (18) tanggung jawab. Kemudian menurut Zubaedi (2011:201) Kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah di mana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, pendidik dan peserta didik, dan anggota kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, displin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah. Nilai-nilai karakter akan mampu memperkuat norma, nilai, dan keyakinan yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam lingkup sekolah, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang turut berperan dalam menentukan keberhasilan sekolah.

Ramly dkk (2011) menjelaskan bahwa pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu: (a) Kegiatan Rutin, dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman; (b) Kegiatan spontan, dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana; (c) Keteladanan, Merupakan perilaku, sikap guru, tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain; (d) Pengkondisian, penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kebersihan badan dan pakaian, toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak di sekolah dan di dalam lembaga pendidikan.

2. Kurikulum yang diimplementasikan di pondok pesantren

Terkait dengan kurikulum pesantren dan kitab kuning dewasa ini setidaknya terdapat dua model pesantren. Model pertama, penulis sebut sebagai pesantren kitab kuning atau juga biasa dikenal orang sebagai pesantren murni salafi. Kini, pesantren ini terhitung amat langka dan hanya menyelenggarakan sekolah diniyah (Madrasah Diniyah Ula/Wustho/Ulya). Ukuran kelulusan dan keberhasilan seorang santri betul-betul ditentukan oleh kepiawaiannya dalam penguasaan kitab kuning Penguasaan dalam hal ini adalah tidak sekedar bisa membaca dengan benar, tapi juga memahami, mengungkapkan, mengembangkan dan mengkontekstualisasikan kandungannya. Kalau pun toh ditemukan „kitab putih‟ (non kitab kuning) pada pesantren salafi dalam kurikulumnya, itu pasti hanya bagian yang sangat kecil, dan sifatnya tak wajib atau hanya sekedar pengayaan. Pesanten kitab kuning (salaf), adalah pesantren yang masih mewarisi genuine karakteristik khazanah Islam Indonesia. Pesantren jenis ini perlu dipertahankan dan dibina agar dapat menjaga karakteristik serta tradisi keilmuannya tidak luntur dan tetap berperan besar sebagai pialang budaya sekaligus subkultur dari masyarakat pesantren.

Model kedua, pesantren kolaboratif yang lazim disebut kholaf. Pengelolaan pembelajarannya merupakan perpaduan antara sekolah formal dengan kurikulum standar pemerintah (pendidikan formal) dan madrasah diniyah dengan standar kurikulum kitab kuning. Dalam pelaksanaan pembelajarannya, santri harus bersekolah dua kali dalam sehari, misalnya sekolah formal pada pagi hari dan madrasah diniyah pada malam hari dengan kurikulum kitab kuning. Inilah yang penulis masud dengan kolaborasi “kitab kuning” dengan “kitab putih”. Dengan demikian, output alumninya diharapkan menjadi sosok yang faqih fi ulumuddin, juga yang faqih fi mashalihil ummah (Ali Mas‟udi 2015).

Secara garis besar, pesantren kolaboratif ini dimaksudkan untuk merespon modernisasi dalam pendidikan Islam di Indonesia yang tujuannya ingin mengkolaborasikan antara tafaqquh fi al-din dan penguasaan ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian, pengelolaan kurikulum pondok pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis agama, juga melengkapi dengan kurikulum yang menyentuh dan terkait erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian. Oleh karena itu, desain pengembangan kurikulumnya perlu dirancang sesuai wacana yang berkembang dalam proses integrasi pendidikan Islam dalam hal ini pendidikan pesantren ke dalam pendidikan nasional.

Kurikulum merupakan rangkaian kegiatan yang menampung kerangka, guna membantu para guru untuk melaksanakan segala kegitan pembelajaran Kegiatan ini memberikan peluang yang lebih besar kepada para santri sebagai wujud kepedulian pesantren. Di samping itu, kemampuan santri dalam menguasai materi kurikulum pesantren (madrasah diniyah) untuk diintegrasikan sebagai landasan kenaikan kelas pada pendidikan formal. Dari sini diharapkan kemampuan santri dalam menguasai ilmu agama (kepesantrenan) dan ilmu umum (pendidikan formal) dapat seirama.

Berdasarkan uraian tersebut, maka desain kurikulum pesantren yang digunakan untuk melayani santri secara garis besarnya dapat dikembangkan melalui; 1) melakukan kajian kebutuhan (need assessment) untuk memperoleh faktor-faktor penentu kurikulum serta latar belakangnya, 2) menentukan mata pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan kebutuhan dan lingkup urutannya, 3) merumuskan tujuan yang diharapkan, 4) menentukan standar hasil belajar yang diharapkan sehingga keluarannya dapat terukur, 5) menentukan kitab yang dijadikan pedoman materi ajar dan ditentukan sesuai urutan tingkat kelompoknya, 6) menentukan syarat yang harus dikuasai santri untuk mengikuti pelajaran pada tingkat kelompoknya, 7) menentukan trategi pembelajaran yang serasi serta menyediakan berbagai sumber dalam proses pembelajaran, 8) menentukan alat evaluasi penilaian hasil belajar dan 9) membuat rancangan rencana penilaian kurikulum secara keseluruhan dan stategi pengembangan berkelanjutan.

Walau bagaimanapun PMDG menerapkan kurikulum tersendiri yang berbeda dengan kedua model kurikulum yang telah dijelaskan di atas. Di mana kurikulum yang dijalankan di PMDG menekankan pada lima komponen yakni : (1) Pendidikan Agama Islam. (2) Pendidikan Bahasa (Indonesia dan Inggris). (3) Ke-Indonesiaan. (4) Ilmu Umum dan (5) Karakter dan Kemandirian.

3. Model pendidikan karakter di pondok pesantren.

Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri). Hal itu karena : Adanya Jiwa dan Falsafah. Pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang ditanamkan kepada anak didiknya. Jiwa dan falsafah inilah yang akan menjamin kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan menjadi motor penggeraknya menuju kemajuan di masa depan.

Transformasi nilai-nilai pendidikan pesantren yang berlangsung sepanjang tahun, melalui berbagai sarana (lisan, tulisan perbuatan dan kenyataan), telah mampu memadukan seluruh komponen pesantren dalam satu barisan. Sehingga tidak terjadi tarik-menarik kepentingan dan orientasi antara satu pihak dengan lainnya. Semuanya melandasi gerak langkahnya dengan bahasa keikhlasan, kesederhanaan, kesungguhan, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah. Semua mempunyai pengertian dan keterpanggilan akan tanggungjawab untuk merealisasikan visi dan misi pendidikan pesantrennya. Semua mempunyai keterikatan pada sistem hingga kultur yang sudah terbentuk di pesantren. Karena mereka semua mempunyai kesadaran, keterpanggilan dan loyalitas baik kepada nilai, sistem maupun pemimpin. Soliditas ini menumbuhkan kekuatan yang dahsyat dalam proses pendidikan karakter di pesantren. Sehingga terciptalah tri pusat pendidikan yang terpadu (Ali Mas’udi, 2015).

Keberhasilan pendidikan tidak terlepas dari tiga faktor yang saling menopang dan mendukung, yaitu pendidikan sekolah, pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat, yang semua itu harus mendapat dukungan dari Pemerintah. Bila diluar lingkungan pendidikan pesantren hal ini sulit direalisasikan secara ideal dan optimal, alhamdulillah di pesantren, ketiga faktor pendidikan ini dapat dipadukan. Para santri hidup bersama dalam asrama yang padat kegiatan dan berdisiplin, dibawah bimbingan para guru dan pengasuh.

Integralitas Tri Pusat Pendidikan membantu terwujudnya integralitas kurikulum antara intra, co dan ekstra kurikuler yang saling menguatkan. Juga mewujudkan Integralitas ilmu pengatahuan, antara ilmu agama dan pengetahuan umum yang tidak terdikotomikan, serta menciptakan integralitas antara ilmu dan amal dalam kehidupan. Pesantren menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh santri adalah pendidikan. Selain menjadikan keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan miliu juga sangat penting. Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik.

Pengaturan kegiatan dalam pendidikan Pesantren ditangani oleh Organisasi Pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, sepertti bagian Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkunan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga dan Penggerak Bahasa.

Kegiatan Kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan koordinator urusan kesekretariatan, Andalan koordinator urusan keuangan, Andalan koordinator urusan latihan, Andalan koordinator urusan perpustakaan, Andalan koordinator urusan perlengkapan, Andalan koordinator urusan kedai pramuka dan pembina gugus depan.

Pendidikan organisasi ini sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government. Sementara itu pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap club olah raga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Bapak Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok.

Pengawalan secara rapat, berjenjang dan berlapis-lapis ini dilakukan oleh para santri senior dan guru, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena semua santri, terutama santri senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan Pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan program, pendekatan manusiawi (personal) dan pendekatan idealisme.

C. Kemandirian

Istilah kemandirian berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Menurut Desmita (2010) konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy. Menurut Chaplin (2002) kemandirian adalah kebebasan individu untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Rober (Santrock, 2008) bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat, dan kenyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut seorang remaja diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kemampuan untuk mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh dengan kemauan, dan dorongan dari orang lain. Masrun dkk (2006) menyatakan bahwa kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri, mengejar prestasi, penuh keyakinan dan memiliki keinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu mengatasi persoalan yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakan, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki, menghargai keadaan diri dan memperoleh kepuasan atas usaha sendiri.

Havighurst (dlm. Desmita, 2010) membedakan kemandirian dalam bentuk a. Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantung kebutuhan emosi pada orang lain. b. Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidaktergantungan kebutuhan ekonomi pada orang lain. c. Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi masalah berbagai masalah yang dihadap. Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.

Menurut Nasution (2007) kemandirian dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain: a. Faktor eksogen, faktor eksogen merupakan faktor yang berasal dari luar yaitu yang berasal dari keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok teman sebaya. b. Faktor endogen, faktor endogen merupakan faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis diantaranya kondisi fisik sehat dan tidak sehat atau sempurna dan tidak sempurna, sedangkan faktor psikologis meliputi: bakat, minat, motivasi, IQ dan kepribadian.

Masrun dkk (2006) mengemukakan aspek-aspek kemandirian yaitu: a. Bebas. Aspek ini ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena individu lain dan tidak pula tergantung pada individu lain b. Progresif dan ulet. Aspek ini yang ditunjukkan dengan adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh ketekunan, perencanaan serta mewujudkan harapan-harapan. c. Inisiatif. Yang termaasuk dalam aspek ini adalah kemampuan untuk berfikir dan bertindak secara original dan penuh kreatif. d. Pengendalian dari dalam (Internal Locus of Control). Yang termasuk dalam aspek ini adalah adanya perasaan mampu untuk menghadapi masalah yang dihadapi, kemampuan mengendalikan tindakannya serta kemampuan mempengaruhi lingkungannya dan atau usahanya sendiri. e. Kemantapan diri (Self esteem, self confidence). Aspek ini mencakup rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya.

Dengan demikian kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan serta memiliki keinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, sampai batas kemampuannya. Skala kemandirian yang disusun berdasarkan teori Masrun, dkk (2006) meliputi aspek-aspek : bebas, progresif dan ulet, inisiatif, pengendalian dari dalam, kemantapan diri.

D. Penelitian Relevan