LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMAKA DHIRA PUTTA

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMAKA
Pembuatan Simplisia Caesalpinia sappan

DHIRA PUTTAJAYA

31150010

MONICA AYUNING WARDANI

31150012

FAKULTAS BIOTEKNOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat sudah lama dimiliki oleh nenek moyang
kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara ilmiah. Pemanfaatan tanaman obat

Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap
tradisi kebudayaan memakai jamu (Gunawan, 2010). Secara tradisional, pemanfaatan
tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) oleh masyarakat sudah cukup luas. Bagian tanaman
secang yang sering digunakan adalah kayu dalam potongan-potongan atau serutan kayu.
Tetapi selain itu, bagian lain dari tanaman secang yang dimanfaatkan adalah kayu, daun,
buah, dan biji. Sampai abad ke-19, di Kalimantan kayu secang digunakan sebagai pewarna
merah coklat untuk makanan. Kayu pewarna tersebut dapat dipanen setelah berumur 6-8
tahun (Lemmens, 1992). Daun secang dimanfaatkan dalam pemeraman buah pisang dan
mangga, untuk proses pematangan. Daun secang juga digunakan sebagai obat
“Sapraenemia”, infus dingin dari daun dapat mengobati kejang (Watt, 1962).
B. Tujuan
1. Memahami dan mampu membuat simplisia yang memiliki kualitas baik.
2. Mendapatkan ekstrak kasar (crude extract) senyawa aktif suatu simplisia dengan
berbagai metode.
3. Mengetahui keberadaan kelompok senyawa alkaloid, phenolik, flavonoid, saponin,
dalam suatu simplisia.
4. Mengetahui ada tidaknya aktivitas antioksidan dalam ekstrak, fraksi, senyawa murni
bahan uji simplisia.
5. Mengetahui ada atau tidaknya aktivitas antibakteri dalam ekstrak, fraksi, senyawa
murni bahan uji simplisia.

6. Mengetahui ada atau tidaknya aktivitas antijamur dalam ekstrak, fraksi, senyawa
murni bahan uji simplisia.

BAB II

DASAR TEORI

A. Tumbuhan Secang (Caesalpinia sappan L.)
Secang tumbuh liar di daerah pegunungan yang berbatu, tetapi tidak terlalu dingin
dan kadang ditanam sebagai pembatas kebun. Tanaman ini menyenangi tempat terbuka
dan dapat ditemukan sampai ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Panenan kayu
dapat dilakukan mulai umur 1-2 tahun. Jika direbus, kayu memberi warna merah muda
dan dapat digunakan untuk pengecatan, memberi warna pada bahan anyaman, kue,
minuman, atau sebagai tinta. Perbanyakan dengan biji atau setek batang (Dalimartha,
2009).
Menurut Tjitrosoepomo (2004), taksonomi tanaman secang adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermathophyta
Subdivisi
: Angiospermae

Class
: Dicotyledonaea
Subclass
: Dialypetalae
Ordo
: Rosales
Family
: Caesalpinaceae
Genus
: Caesalpinia
Species
: Caesalpinia sappan Linn.
B. Nama Daerah
Pada setiap daerah kayu secang mempunyai nama yang berbeda-beda, antara lain:
seupeueng (Aceh), sepang (Gayo), sopang (Batak), cang (Bali), sepel (Timor), kayu
sema (Manado), sapang (Makassar), roro (Tidore) (Dalimartha, 2009).
C. Morfologi
Tumbuhan secang termasuk jenis perdu dengan tinggi 5-10 m. Batang bulat dan
berwarna hijau kecoklatan. Batang dan percabangan berduri tempel yang bengkok dan
letaknya tersebar. Daun majemuk menyirip ganda, panjang 25- 40 cm, jumlah anak daun

10-20 pasang yang letaknya berhadapan. Anak daun tidak bertangkai, bentuk lonjong,
ujung bulat, tepi rata dan hampir sejajar, panjang 10-25 mm, lebar 3-11 mm, dan
berwarna hijau. Perbungaan majemuk berbentuk malai, keluar dari ujung tangkai dengan
panjang 10-40 cm, mahkota bentuk tabung, dan berwarna kuning. Buah polong, panjang
8-10 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh, berwarna hitam jika masak, berisi biji tiga
sampai empat. Biki bulat memanjang dengan panjang 15-18 m, lebar 8-11 mm, tebal 5-7
mm, dan berwarna kuning kecoklatan (Dalimartha, 2009).
D. Kandungan Kimia

Kayu secang mengandung brazilin, brazilein, asam galat, tanin, resin, resorsin, dan
d-α-phellandrene. Daun dan ranting mengandung tetraacetylbrazilin, proesapanin A,
0,16-0,20% minyak atsiri yang berbau enak dan hampir tidak berwarna (Dalimartha,
2009).
Ekstrak kayu secang hasil penapisan mengandung lima senyawa aktif yang terkait
dengan flavonoid baik sebagai antioksidan primer maupun antioksidan sekunder (Safitri,
2002). Telah diketahui ternyata flavonoid yang terdapat dalam ekstrak kayu secang
memiliki sejumlah kemampuan yaitu dapat meredam atau menghambat pembentukan
radikal bebas hidroksil, anion superoksida, radikal peroksil, radikal alkoksil, singlet
oksigen, hidrogen peroksida (Miller, 2002).
E. Kegunaan

Di Indonesia, kayu secang dimanfaatkan sebagai pewarna merah minuman. Biji
tumbuhan ini berfungsi sebagai bahan sedatif, kayu dan batangnya dapat mengobati
TBC, diare, dan disentri, sedangkan daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pematangan buah pepaya dan mangga (Pusat Pendidikan Lingkungan
Hidup, 2007).
Kayu secang juga berkhasiat mengaktifkan aliran darah, melarutkan gumpalan
darah, mengurangi bengkak (swelling), meredakan nyeri (analgesik), menghentikan
perdarahan, dan antiseptik (Dalimartha, 2009).
F.

Zat Warna yang Terkandung
Hasil isolasi yang dilakukan terhadap ekstrak kayu secang menunjukkan bahwa
komponen utama yang terkandung di dalamnya adalah brazilin (C 16H14O5). Brazilin
merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika teroksidasi akan menghasilkan
senyawa brazilein (C16H12O5) yang berwarna merah (Holinesti, 2009; Prakash dan
Majeed, 2008). Adapun struktur kimia brazilin dan brazilein dapat dilihat pada Gambar
berikut:

Menurut Indriani (2003) Brazilin (C16H14O5) adalah kristal berwarna kuning yang
merupakan pigmen warna pada secang. Asam tidak berpengaruh terhadap larutan brazilin,

tetapi alkali dapat membuatnya bertambah merah. Eter dan alkohol menimbulkan warna
kuning pucat terhadap larutan brazilin. Brazilin akan cepat membentuk warna merah ini
disebabkan oleh terbentuknya brazilein. Brazilin jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa
brazilein yang berwarna merah kecoklatan dan dapat larut dalam air.
Dikatakan oleh Holinesti (2009), bahwa eter dan alkohol akan menimbulkan warna kuning
pucat terhadap larutan brazilin. Sedangkan apabila terkena sinar matahari maka brazilin akan
dengan cepat membentuk warna merah. Terjadinya warna merah ini disebabkan oleh
terbentuknya brazilein (C16H12O5). Brazilin termasuk ke dalam flavonoid sebagai
isoflavonoid.
Menurut Moon dkk (1992), berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin mempunyai efek
melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Selanjutnya Lim dkk (1997),
membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu secang lebih tinggi daripada
antioksidan komersial (BHT atau BHA). Peneliti lain mengungkapkan bahwa brazilin diduga
mempunyai efek anti-inflamasi (Winarti dan Nurdjanah, 2005).

BAB III
METODOLOGI
Alat :
1. Toples kaca
2. Ose

3. Petridis
4. Kain saring
5. Erlenmeyer
6. Beker
7. Destilator
8. Tabung reaksi
9. Timbangan
10. Propipet
11. Pipet tetes

12. Pipet ukur
13. Rak tabung
14. Kompor pemanas
15. Statif
16. Vortex
17. Kolom kromatografi
18. Gelas ukur
19. Plat TLC
20. Pipa kapiler
21. Penggiling

22. Kulkas

23. Mikropipet
24. Tip
25. Eppendorf
26. Microplate
27. Driglassky
28. Bunsen

29. LAF
30. Nampan
31. Kapas
32. Plastic bening
33. Karet
34. Aluminium foil

Bahan :
1. Etanol 96%
2. Kayu secang
3. Ekstrak secang

4. Akuades
5. Etanol
6. Asam asetat anhidrat
7. H2SO4
8. Akuades panas
9. NaCl 10%
10. Gelatin
11. NaCl
12. FeCl3
13. HCl 2N
14. HCN 2N
15. Larutan Mayer

16. Larutan Wagner
17. N-heksana
18. Etil asetat
19. Etanol 80%
20. HCl pekat
21. Potong Mg
22. Silica gel

23. Methanol
24. DPPH
25. Asam galat
26. Vitamin C
27. Medium NB
28. Medium PDA
29. Indicator MTT

Cara kerja :
Ekstraksi :
Dihaluskan kayu secang sebanyak 100 gr

Dimasukkan ke dalam toples

Kemudian, diisikan etanol 96% sebanyak 1,5 L

Didiamkan selama 3 hari

Digantikan pelarut setiap 24 jam


Pelarut yang diganti ditampungkan ke Erlenmeyer

Didestilasi semua yang ditampung

Ekstrak disimpan di dalam kulkas

Uji Saponin :
Tahap I :

Diambil 0,3 ml ekstrak secang

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Ditambahkan 15 ml akuades

Divorteks selama 30 detik

Diamati buih yang terbentuk (>30 detik)

Tahap II :
Diambil 0,3 ml ekstrak secang

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Ditambahkan 15 ml etanol

Dibagi ke dalam 3 tabung, setiap tabung berisi 5 ml

Tabung 1 sebagai blanko

Tabung 2 ditambahkan 1 tetes asam asetat anhidrat


Diamati warna kuning muda (+)

Tabung 3 ditambahkan 1-2 tetes H2SO4 pekat

Diamati cincin merah (+)

Uji Tanin :
Diambil 0,3 ml ekstrak secang

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Ditambahkan 10 ml akuades panas

Dihomogenkan dengan vortex

Ditambahkan 4 tetes 10% NaCl

Dihomogenkan dengan vortex

Kemudian, dibagikan ke tiga tabung reaksi, masing – masing tabung 3 ml

Tabung 1 sebagai blanko


Tabung 2 ditambahkan 3 ml gelatin + 5 ml NaCl

Diamati warna putih (+) tannin

Tabung 3 ditambahkan 3 tetes FeCl3

Diamati warna hijau hitam (+) tannin
Uji Alkaloid :
Diambil 0,3 ml ekstrak secang

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi

Ditambahkan 5 ml HCl 2N

Dihomogenkan dengan voteks

Dipanaskan selama 2-3 menit sambal di gojog

Setelah dingin, ditambahkan 0,3 gr NaCl

Diaduk dan disaring

Ditampung filtrate pada tabung reaksi yang baru


Ditambahkan 5 ml HCN 2N ke dalam filtrate

Dibagikan filtrate ke tiga tabung baru, masing – masing tabung berisi 3 ml

Tabung 1 ditambahkan 1 ditambahkan 3 tetes akuades

Tabung 2 ditambahkan 3 tetes Mayer

Tabung 3 ditambahkan 3 tetes Wagner

Diamati endapan yang ada (+) alkaloid
Uji Flavonoid :
Diambil 0,3 ml ekstrak secang

Dimasukkan ke Erlenmeyer

Ditambahkan 3 ml n-heksana dan digojog hingga tidak berwarna

Dilarutkan dengan 20 ml etanol 80%

Dibagikan ke dalam tiga tabung reaksi, setiap tabung berisi 3 ml


Tabung 1 sebagai blanko

Tabung 2 ditambahkan 0,5 ml HCl pekat dan dipanaskan

diamati warna merah terang/ungu (+) leukoantosianin

Tabung 3 ditambahkan 0,5 ml HCl pekat

Ditambahkan 4 potong Mg

Diamati warna jingga (+) flavon, merah pucat (+) flavan, merah tua (+) flavonoid

Uji TLC :
Digunting plat TLC kecil-kecil sebanyak perbandingan n-heksana : etil asetat yang digunakan
(100:0, 80:20, 60:40, 40:60, 30:70, 20:80, dan 0:100)

Dibuat garis start dan finish untuk running sampel

Setiap perbandingan diberi 1 tetes pipa kapiler

Dimasukkan plat ke dalam toples yang berisi larutan perbandingan n-heksana : etil asetat
sesuai dengan perbandingannya


Ditinggu sampel hingga mencapai garis finish

Diambil jika sudah sampai garis finish

Difoto hasil yang didapatkan

Uji Kolom Kromatografi
Dimasukkan silica gel ke dalam kolom

Setelah itu, dimasukkan kapas ke dalam kolom

Kemudian, dimasukkan ekstrak secang secukupnya ke dalam kolom

Dimasukkan larutan perbandingan n-heksana : etil asetat sebanyak 100 ml secara bergantian
(100:0, 40:60, 0:100)

Ditampung filtrate yang turun

Setelah selesai, terakhir dimasukkan methanol sebagai pencuci

Ditampung filtrate yang turun

Disimpan filtrate yang sudah ditampung ke dalam kulkas

Uji Anti-Oksidan :
Dimasukkan 25 µl ekstrak ke dalam masing-masing well

Ditambahkan 25 µl DPPH dan kontrol (asam galat dan vitamin C)

Diinkubasi selama 30 menit

Diamati perubahan warna yang terjadi

Uji Anti-Mikrobia :
Dimasukkan 40 µl NB/PDA(jamur) ke dalam masing-masing lubang well

Ditambahkan 40 µl ke dalam masing-masing well

Ditambahkan 20 µl sesuai dengan perlakuam (jamur, anti-oksidan, bakteri A, dan bakteri B)
ke dalam masing-masing well

Diinkubasi selama 24 jam

Ditambahkan 10 µl indicator MTT

Diamati perubahan warna yang terjadi :

Biru ke ungu/biru ke pink maka (+) anti-mikrobia

Dilakukan uji lanjut ke dalam petri yang berisi medium NA


Dicelupkan ose pada sampel hasil

Digoreskan ke dalam petri

Diamati hasil yang terbentuk

BAB IV
HASIL & PEMBAHASAN

A. Pembuatan Simplisia
Bagian-bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat yang disebut simplisia.
Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam
wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk (Gunawan, 2010). Simplisia atau
herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan
belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak
lebih dari 600ºC (Ditjen POM, 2000).
Simplisia merupakan bahan awal pembuatan sediaan herbal. Mutu sediaan herbal
sangat dipengaruhi oleh mutu simplisia yang digunakan. Oleh karena itu, sumber
simplisia, cara pengolahan, dan penyimpanan harus dapat dilakukan dengan cara yang
baik. Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan sediaan herbal yang
belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan
bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2005).
1. Nama tanaman
Secang (Caesalpinia sappan L.)
2. Bagian tanaman yang digunakan
Batang
3. Nama simplisia (sesuai dengan Sappan Lignum
aturan baku)
4. Fitokimia

Brazilin, brazilein, asam galat, tanin,
resin, resorsin, d-α-phellandrene

5. Khasiat

(Dalimartha, 2009).
Mengaktifkan aliran darah, melarutkan
gumpalan darah, mengurangi bengkak
(swelling), meredakan nyeri (analgesik),
menghentikan perdarahan, dan

antiseptik (Dalimartha, 2009).
Simplisia sebagai bahan baku obat tradisional sangat berperan dalam kaitannya
dengan mutu suatu produk. Rendahnya kualitas simplisia tanaman obat lebih banyak
disebabkan pada saat penanganan pasca panen, proses pengeringan bahan dan kondisi
penyimpanan. Simplisia tanaman obat yang telah terkontaminasi bakteri dan kapang dapat

terbawa sampai pada produk olahannya yang kemungkinan dapat menyebabkan rusaknya
komponen kimia yang berkhasiat dan dapat juga menghasilkan toksin yang sangat
membahayakan kesehatan (Chosdu et al. Dalam Katno, 1999).
Menurut Gunawan (2010), kualitas simplisia dipengaruhi oleh dua faktor antara
lain bahan baku dan proses pembuatan simplisia. Berdasarkan bahan bakunya, simplisia
bisa diperoleh dari tanaman liar dan atau dari tanaman yang dibudidayakan. Tumbuhan liar
umumnya kurang baik untuk dijadikan bahan simplisia jika dibandingkan dengan hasil
budidaya, karena simplisia yang dihasilkan mutunya tidak seragam.
Bahan baku yang digunakan merupakan batang secang yang telah diserut. Serutan
batang secang tersebut kemudian dijemur selama ± 1 minggu di bawah sinar matahari
untuk mengurangi kadar air, sehingga simplisia tidak mudah rusak dan tahan disimpan
dalam waktu yang cukup lama.
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda yang tergantung pada
beberapa faktor, antara lain: bagian tumbuhan yang digunakan, umur tumbuhan atau
bagian tumbuhan pada saat panen, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh. Senyawa
aktif akan terbentuk secara maksimal di dalam bagian tumbuhan atau tumbuhan pada
umur tertentu. Tumbuhan yang pada saat panen diambil kulit batang, pengambilan
dilakukan pada saat tumbuhan telah cukup umur. Agar pada saat pengambilan tidak
mengganggu pertumbuhan, sebaiknya dilakukan pada musim yang menguntungkan
pertumbuhan antara lain menjelang musim kemarau (Gunawan, 2010).
Pada dasarnya tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas
permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku akan semakin cepat
kering. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajangan khusus
sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki. Proses
pengeringan simplisia bertujuan untuk 1) menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut
tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, 2) menghilangkan aktivitas enzim yang bisa
menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif, 3) memudahkan dalam hal pengolahan
proses selanjutnya (ringkas, mudah disimpan, tahan lama, dan sebagainya) (Gunawan,
2010).

B. Ekstraksi

Sebelum diekstraksi batang secang dihaluskan atau dijadikan serbuk terlebih
dahulu, hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan ekstraksi pada tahap
selanjutnya. Menurut Ditjen POM (1995), serbuk simplisia nabati adalah bentuk serbuk
dari simplisia nabati dengan ukuran derajat kehalusan tertentu. Sesuai dengan derajat
kehalusannya, dapat berupa serbuk sangat kasar, kasar, agak kasar, halus, dan sangat halus.
Serbuk simplisia nabati tidak boleh mengandung fragmen jaringan dan benda asing yang
bukan merupakan komponen asli dari simplisia yang bersangkutan antara lain telur
nematoda, bagian dari serangga dan hama serta sisa tanah.
Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu
bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Depkes RI, 2000).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua cara yaiut ; cara
dingin dan panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu maserasi dan perkolasi,
sedangkan cara panas terbagi menjadi empat jenis yaitu refluks, soxhlet, digesti, infuse
dan dekok (Depkes RI, 2000).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar)
(Depkes RI, 2000). Maserasi berasal dari bahasa Latin macerase berarti mengairi atau
melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari
maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang
terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih
utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi
pada bagian dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses
difusi segera berakhir (Voigt, 1994).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ada
beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental, dan ekstrak kering. Ekstrak cair
jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental
jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang
dari 5% (Voigt, 1994).

Serbuk Secang (Caesalpinia sappan) dimaserasi dengan menggunakan etanol 96%
sebanyak 1,5 liter. Maserasi dilakukan setiap 24 jam sekali sampai tiga kali pengulangan
dengan penggantian etanol. Hasil maserasi disaring dengan kain saring dan disimpan di
dalam wadah tertutup agar tidak menguap. Selanjutnya, filtrat secang yang diperoleh
dijadikan satu dan dipekatkan dengan metode destilasi sampai diperoleh ekstrak cair.
Dari hasil ekstraksi sebanyak 132,8 gram serbuk secang diperoleh ekstrak cair
sebanyak 50 ml. Berikut merupakan hasil dari pengujian parameter spesifik dari ekstrak
simplisia yang meliputi identitas ekstrak dan organoleptik ekstrak :
Parameter
Nama ekstrak
Nama Latin
Bagian tanaman
Warna
Bau
Bentuk

Hasil
Identitas:
Ekstrak etanol secang
Caesalpinia sappan L.
Batang
Organoleptik:
Oranye kemerahan
Aromatis
Ekstrak cair

C. TLC
Pada TLC, cuplikan yang akan dipisahkan atau dianalisa diteteskan pada pelat dengan
menggunakan kapiler. Pemisahan dapat terjadi dengan memasukkan pelat ke dalam toples
yang telah berisi dengan pelarut dengan perbandingan yang sudah ditentukan. Pelarut akan
naik secara perlahan-lahan sepanjang pelat tersebut. Cuplikan akan terdistribusi antara fasa
diam (adsorben) dan fasa gerak (pelarut). Sebagai fase gerak umumnya zat yang kurang
polar dibandingkan dengan fasa diam sehingga komponen dalam cuplikan yang kurang
polar akan bergerak lebih cepat dari komponen cuplikan yang lebih polar. Bila larutan
mencapai ujung pelat maka pelat dikeluarkan dari toples dan dibiarkan hingga pelarut
yang menempel pada pelat menguap. Akan terlihat noda-noda pada pelat yang
menunjukan jumlah komponen yang ada dalam cuplikan. Perbandingan antar jarak
perjalanan komponen dengan jarak perjalanan pelarut disebut Rf.
Hasilnya berupa pita-pita berwarna yang terlihat sepanjang kolom sebagai hasil
pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak secang. Dalam teknik kromatografi,
sampel yang merupakan campuran dari berbagai macam komponen ditempatkan dalam
situasi dinamis dalam sistem yang terdiri dari fase diam dan fase gerak.

Untuk tujuan identifikasi, noda-noda sering dikarakterisasikan berdasarkan nilai
Rfnya. Nilai Rf adalah rasio jarak yang dipindahkan oleh suatu zat terlarut terhadap jarak
yang dipindahkan oleh garis depan pelarut selama waktu yang sama. Nilai Rf yang identik
untuk suatu senyawa yang diketahui dan yang tidak diketahui dengan menggunakan
beberapa system pelarut berbeda memberikan bukti yang kuat bah bahwa nilai untuk
kedua senyawa tersebut adalah identic, terutama jika senyawa tersebut dijalankan secara
berdampingan di sepanjang pita pada plat TLC yang sama.
Dari hasil TLC yang menggunakan perbandingan pelarut n-heksana dan etil asetat
yang paling baik hasilnya yaitu perbandingan 40:60 dikarenakan pita-pita yang muncul
terlihat lebih bagus atau jelas dibandingkan perbandingan lainnya.
D. Uji Fitokimia
Menurut Mulyono (1996) analisis fitokimia merupakan bagian dari ilmu
farmakognosi yang mempelajari metode atau cara analisis kandungan kimia yang terdapat
dalam tumbuhan atau hewan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya, termasuk cara
isolasi atau pemisahannya.
Senyawa fitokimia merupakan zat atau senyawa kimia metabolit sekunder dari tiap
tanaman (Sirait, 2007). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif adanya
golongan senyawa aktif dalam tumbuhan yang diharapkan dapat berperan sebagai
senyawa antibakteri (Indriani, 2007). Lenny (2006) menyatakan bahwa senyawa metabolit
sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas
dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk
tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil
metabolisme sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam
beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu saponin, steroid, triterpenoid, alkaloid,
fenolik (tanin dan flavanoid).
Data hasil uji fitokimia ekstrak secang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Golongan Senyawa
Alkaloid
Flavonoid
Flavon
Saponin
Steroid
Tannin
Triterpenoid
Polifenol

Hasil Penapisan
+
+

Dari uji yang dilakukan pada pengujian fitokimia di dapat bahwa ektrak dari secang
mengandung senyawa flavon, dan polifenol. Hal ini karena pada pengujian positif flavon

terdapat warna merah pucat pada ekstrak yang sudah ditetesi HCl dan dimasukkan
potongan Mg. sedangkan pada pengujian tannin pada tabung ketiga positf polifenol. Hal
ini dikarenakan bahwa terbentuknya warna hitam pada sampel tabung ketiga setelah
ditetesi FeCl3.
E. Kolom Kromatografi
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat
untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa gelas
yang dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair,
ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Dalam kromatografi
partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh distribusi sampel antara fase cair diam
dan fase cair bergerak dengan membatasi kemampuan pencampuran. Jika suatu zat terlarut
dikocok dalam sistem dua pelarut yang tidak bercampur atau saling melarutkan maka zat
terlarut akan terdistribusi di antara kedua fase (Khopkar, 2008).
Komponen-komponen dalam campuran diadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh
bahan penyerap berupa pita sempit pada permukaan atas kolom. Dengan penambahan
pelarut secara terus-menerus, masing-masing komponen akan bergerak turun melalui
kolom dan pada bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru antara bahan
penyerap, komponen campuran dan eluen. Kesetimbangan dikatakan tetap apabila suatu
komponen yang satu dengan yang lainnya bergerak ke bagian bawah kolom dengan waktu
atau kecepatan berbeda-beda sehingga terjadi pemisahan (Yazid, 2005).
Maka hasil dari kolom kromatografi membentuk tiga fragsi yang berbeda. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan larutan yang dipakai mempengaruhi komponen-komponen
yang ada di dalam silica gel untuk menyerap ekstrak secang yang sudah ditambahkan.
Sehingga pergerakan yang terjadi tergantung pada penyerapan komponen yang bergerak
dengan waktu dan kecepatan yang berbeda. Sehingga jenis pelarut menentukan waktu dan
kecepatan dari penyerapan komponen.
F. Antioksidan, anti mikrobia
Tanaman secang (Caesalpinia sappan L.) dari familia Caesalpiniaceae secara
tradisional digunakan untuk pengobatan yang memiliki variasi sifat medisinal yaitu
sebagai antikonvulsan (Baek et al, 2002), antiinflamasi, antiproliferatif, antikoagulan,
antivirus, imunostimulan, antioksidan (Badami et al, 2003) dan antimikroba (Xu HX,
Lee, 2004).
Sehingga secang memang sudah diteliti bahwa memang mempunyai
kemampuan anti mikrobia dan anti oksidan. Hal ini juga dibuktikan pada praktikum

ini yang di uji dalam microplate yang sudah di masukan bakteri dan di plating di
dalam suatu media yang berisi medium NA. Hasil membuktikan bahwa tidak ada atau
sedikit bakteri yang tumbuh, hal ini dikarenakan ada senyawa yang menghambat
pertumbuhan bakteri.

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dalam praktikum ini dapat
diketahui bahwa simplisia yang memiliki kualitas baik merupakan simplisia yang
telah melewati tahapan pemilihan bahan baku dan perlakuan yang baik pada saat
proses pembuatan. Ekstraksi dengan metode maserasi dapat menghasilkan 50 ml

ekstrak kasar (crude extract) dari serbuk secang dengan berat 132,8 gram. Uji
fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak secang mengandung flavon dan polifenol.
Ekstrak secang juga mengandung antibakteri dan antijamur serta mengandung
antioksidan yang ditunjukkan dari hasil uji antimikroba, antijamur dan uji antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA

Badami, S., S. Moorkhoth, S.R. Rai, E. Kannan, and S. Bhojraj. 2003. Antioksidant activity of
Caesalpinia sappan heartwood. Biology Pharmacy 26: 1534-1537.
Baek, S. G., & Choi, H. G. (2002). The Relationship Between Students’s Perception of Classroom
Environment and Their Academic Achievement in Korea. Asia Pacific Education Review.

[On-Line]. Available FTP:
http://www.springerlink.com/content/6702287t353463j0/fulltext.pdf Tanggal akses 14
november 2017
Dalimartha, S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 6. Jakarta: Pustaka Bunda.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Ditjen POM. 1995. Famakope Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Gunawan, Didik dan Sri, M. 2010. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Holinesti, R. 2009. Studi Pemanfaatan Pigmen Brazilein Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)
sebagai Pewawrna Alami serta Stabilitasnya pada Model Pangan. Jurnal Pendidikan dan
Keluarga UNP.
Indriani, H. 2003. Stabilitas Pigmen Alami Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) dalam Model
Minuman Ringan. Bogor: IPB.
Indriani, Y. H., 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta .Penebar Swadaya
Katno. 1999. Laporan Penelitian Pengaruh Penyimpanan Terhadap Angka Jamur dan Angka
Lempeng Total Tiga Simplisia Nabati. Tawangmangu: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Farmasi. Balai Penelitian Tanaman Obat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Lemmens, R. H. M. J, Wulijarni, Soetjipto N. 1992. Plant Resourcecs of South-East Asia No. 3
Dye and Tanin-Producing Plants. Bogor: Prosea.
Lenny, S., 2006, Senyawa Flavanoida, Fenilpropanida dan Alkaloida, Karya Ilmiah Departemen
Kimia Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.
Lim, D. K., U. Choi, dan D. H. Shin. 1997. Antioxidative Activity of Some Solvent Extract from
Caesalpinia sappan L. Korean J Food Sci 28 : 77 – 82.

Lioe, H. N., Adawiyah, D. R., dan Anggraeni, R. 2012. Isolation dan Characterization of The
Major Natural Dyestuff Component of Brazilwood (Caesalpinia sappan L.) International
Food Research Journal.
Miller, A. L. 2002. Antioxidant Flavonoid Structure Function and Clinical Usage.
Moon, C. K., K. S. Park, S. G. Kim, dan H. S. Won. 1992, Drugs and Chemical Toxicology. Drug
Chem Toxicol 15 : 81 – 91.
Mulyono, Gitosudarmo, Indriyo, Agus. 1996. Prinsip Dasar Manajemen.Yogyakarta: BPFEYOGYAKARTA.
Prakash, L., dan Majeed, M. 2008. Natural Activities Lend Color to Cosmetics. New Delhi:
Sabinsa Corporation.
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup. 2007. Warna Alami. Mojokerto: Move Indonesia.
Safitri, R. 2002. Karakterisasi Sifat Antioksidan In Vitro Beberapa Senyawa yang Terkandung
dalam Tumbuhan Secang (Caesalpinia sappan L.). Disertasi. Bandung: Universitas
Padjadjaran.
Sirait, Justine T. (2007). Memahami Aspek-aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam
Organisasi; Edisi kedua. Jakarta, Grasindo.
Tjitrosoepomo, G. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan kedelapan. Yogyakarta:
UGM Press.
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah Dr. Soendani Noerono. Edisi
Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Watt, J. M. 1962. Medical and Poisonous Plants of Southern and Eastern Africa. 2nd Edition.
London: Livingstone LTD.
Winarti, C., dan Nurdjanah, N. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Sumber
Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian 24(2), 47 – 55.
Xu H.X. and Lee S.F., 2004, The antibacterial principle of Caesalpina sappan,Phytotherapy
Research, 18 (8), 647–651.
Yazid, estien. 2005. Kimia Fisik untuk Paramedis. Yogyakarta: Andi

LAMPIRAN