T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Menguak Identitas Lesbian di Salatiga dalam Perspektif Erving Goffman T1 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1

Teori Dramaturgi
Dramaturgi merupakan sebuah istilah teater yang awalnya dipopulerkan
oleh Aristoteles. Aristoteles menggambarkan dramaturgi sebagai sebuah
ungkapan dalam artian seni. Hal ini berbeda dengan Erving Goffman yang
mendalami dramaturgi dari segi sosiologi (Nurhadi, 2015:56-57). Melalui teori
dramaturgi yang dikembangkan oleh Goffman ini nantinya akan menggali
berbagai perilaku dalam interaksi antar manusia dalam kehidupan sehari-hari yang
menampilkan dirinya sendiri dengan karakter orang lain yang berusaha
ditampilkan sebagai sebuah drama sehingga adanya manipulasi dalam
menunjukan dirinya.
Teori dramaturgi merupakan sebuah teori yang berusaha menjelaskan
bahwa interaksi sosial akan dimaknai sama dengan pertunjukan drama. Manusia
berperan sebagai seorang aktor. Dalam sebuah peran yang ditampilkannya,
manusia

sebagai


aktor

akan

berusaha

mencapai

tujuannya

dengan

mengembangkan perilaku-perilaku yang dapat menunjang dan mendukung
perannya. Identitas yang ditampilkan dapat berubah-ubah dan tidak stabil. Hal ini
bergantung pada siapa manusia tersebut melakukan interaksi. Seorang aktor pun
dalam drama kehidupannya harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukannya
seperti halnya setting, kostum, penggunaan kata (dialog), serta tindakan-tindakan
nonverbal lainnya. Sehingga sang aktor dapat meningkatkan kesan yang baik pada
lawan interaksinya.

Dramaturgi merupakan sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia.
Dalam teori dramaturgi Erving Goffman, sebuah peran yang ditampilkan seorang
aktor dibagi menjadi dua bagian. Goffman menyebutnya sebagai bagian depan
(front) dan bagian belakang (back). Pada bagian depan (front) mencakup setting,
penampilan diri (appearance), dan peralatan untuk mengekspresikan diri.
Sedangkan pada bagian belakang (back) terdiri atas the self, yaitu semua kegiatan

8

yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan dalam menunjukan acting
seorang aktor dalam penampilan diri yang ada pada bagian depan (front).
Dalam teori ini, Goffman menggunakan kata “pertunjukan” untuk
merujuk pada argumennya. Teori ini berintikan pandangan bahwa dalam interaksi
manusia, setiap orang ingin mengelola pesan yang diharapkan dapat tumbuh pada
orang lain terhadapnya. Panggung pertunjukkan ini terbagi menjadi dua yaitu
bagian depan (front) dan bagian belakang (back) panggung.
Bagian depan yang dimaksudkan oleh Goffman (1959) di sini merupakan
hal-hal yang ditampilkan dan diperlihatkan kepada “penonton”. Dengan kata lain,
bagian depan ini berisikan apa yang dengan sengaja diperlihatkan oleh seseorang
kepada para penonton. Bagian depan ini kemudian masih terbagi lagi menjadi:

setting, peralatan untuk mengekspresikan diri, dan penampilan diri.


Setting

Layaknya dalam sebuah pertunjukkan drama, setting disini mengacu pada
perabotan, dekorasi, tata letak, dan benda-benda yang tersedia untuk
mendukung kemampuan berakting sang aktor. Setting seringkali berada
dalam posisi statis/tidak bergerak. Jadi, untuk mendapati setting yang
mendukung, aktor dituntut membawa dirinya di setting yang sesuai untuk
dapat memainkan perannya dan segera meninggalkan perannya saat
meninggalkan setting tersebut. Ada beberapa kondisi dimana setting dapat


mengikuti aktor. Hanya saja, kondisi ini masih jarang ditemui.
Peralatan untuk mengekspresikan diri
Istilah ini mengacu pada hal-hal yang melekat pada sang aktor sehingga
membuat para penonton dapat dengan cepat mengidentifikasi sang aktor.
Hal-hal ini meliputi: jabatan; cara berpakaian; jenis kelamin, usia, dan
karakteristik berdasarkan ras/keturunan; penampilan; postur tubuh; pola




berbicara; raut wajah; gestur tubuh; dan lain-lain.
Penampilan diri
Penampilan diri dapat terjadi atas dorongan dua sumber rangsangan, yaitu
penampilan dan sikap. Penampilan mengacu kepada rangsangan yang
9

memiliki fungsi untuk membuat para penonton menyadari status sosial dari
sang aktor. Rangsangan ini juga dapat menjadi sebuah bantuan untuk
menyadari keadaan mental seseorang; apakah dia sedang berada dalam
aktifitas sosial yang bernuansa formal, apakah dia berada dalam
lingkungan kerja, atau apakah orang ini sedang berada dalam suasana yang
santai. Di lain pihak, sikap mengacu kepada rangsangan yang dapat
berfungsi sebagai peringatan terhadap apa yang diharapkan sang aktor
akan terjadi dalam sebuah interaksi. Sebuah sikap yang agresif dapat
menimbulkan sebuah imej bahwa sang aktor akan menjadi orang yang
pertama memulai interaksi dan mengarahkan interaksi ini sesuai dengan
apa yang dikehendakinya. Sedangkan sikap yang empatik menimbulkan

sebuah imej dimana sang aktor akan mengikuti interaksi yang telah terjadi,
atau setidaknya, sang aktor dapat diarahkan untuk mengikuti arah interaksi
yang terjadi.
Sedangkan untuk bagian belakang (back) sendiri, Goffman (1959)
menjelaskan secara sederhana bahwa bagian belakang merupakan bagian dimana
sang aktor menyimpan dan mempersiapkan segala hal bagi penyelenggaraan
pertunjukan yang akan ditampilkannya.
2.1.2

Teori Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal atau yang sering juga disebut sebagai
komunikasi intrapribadi merupakan sebuah proses komunikasi yang berlangsung
dalam diri seseorang. Seorang individu akan berperan baik sebagai komunikator
maupun sebagai komunikan. Dalam proses pengolahan informasinya, komunikasi
intrapersonal meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir (Rohim, 2009:5963).
1. Sensasi
Tahap ini merupkan tahap yang paling awal dalam penerimaan informasi
secara intrapersonal. Sensasi ini berkaitan dengan alat indra seseorang, di
mana


alat

indra

inilah

yang

menghubungkan

organisme

dengan

lingkungannya. Alat indra berperan penting dalam menerima informasi dari
10

lingkungannya. Sumber informasi sendiri dapat berasal dari luar (eksternal)
atau dari dalam individu tersebut (internal).
Setiap individu memiliki ketajaman sensasi yang berbeda-beda.

Ketajaman sensasi ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor situasional
dan faktor personal.

Adanya perbedaan dalam ketajaman sensasi ini

disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman, lingkungan budaya, hingga
kapasitas alat indra yang beragam. Namun setiap sensasi yang dihasilkan
nantinya akan mempengaruhi persepsi.
2. Persepsi
Persepsi merupakan proses menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Dalam persepsi ini pula terjadi proses pemberian makna pada stimulus
indrawi. Sensasi merupakan bagian dari persepsi. Proses pemaknaan ini tidak
hanya melibatkan sensasi saja, namun juga melibatkan faktor lain seperti
perhatian (atensi), ekspektasi, motivasi dan memori. Dalam persepsi terdapat
dua faktor yang menentukan persepsi, yaitu faktor fungsional dan faktor
struktural.
Faktor fungsional merupakan faktor personal yang akan menentukan
persepsi seperti misalnya pengalaman masa lalu. Faktor ini bukan sebagai jenis
atau bentuk stimulusnya, namun lebih kepada karakteristik orang yang akan
memberikan respons tertenu terhadap stimulus yang diberikan. Sedangkan

faktor struktural merupakan faktor yang berasal dari sifat stimulus tersebut
serta efek-efek yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Seorang
individu mampu mengorganisasikan stimulus berdasarkan konteksnya.
Sehingga meskipun stimulus yang diterimanya tidak lengkap, namun seorang
individu tetap mampu memberikan interpretasi yang konsisten dengan
rangkaian stimulus yang dipersepsikan.
3. Memori
Memori merupakan sistem yang sangat berstruktur dan berperan dalam
merekam fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang terekam ini mampu menjadi
pengetahuan dalam membimbing perilaku seseorang. Setiap stimulus yang
mengenai indera kita akan otomatis direkam baik secara sadar maupun tidak
11

sadar. Dalam prosesnya, memori memiliki tiga tahapan, yaitu proses
perekaman, penyimpanan, dan pemanggilan. Perekaman (encoding) berperan
sebagai proses pencatatan informasi. Penyimpanan (storage) sbagai proses
yang menentukan batas waktu dalam menyimpan informasi. Baik dalam bentuk
apa, maupun di mana. Penyimpanan bisa aktif maupun pasif. Aktif apabila kita
menambahkan informasi tambahan. Pasif apabila terjadi tanpa penambahan.
Sedangkan yang ketiga yaitu pemanggilan (retrieval) sebagai tahap mengingat

kembali atau menggunakan informasi yang telah disimpan sebelumnya.
4. Berpikir
Proses berpikir merupakan proses yang mempengaruhi penafsiran
individu terhadap stimulus yang telah diterima. Dalam berpikir individu
melihat seluruh proses yang disebut sebagai sensasi, persepsi dan memori.
Individu melibatkan penggunaan lambang, fisual dan grafis dalam proses ini.
Melalui proses berpikir ini, individu mulai memiliki pemahaman terhadap
realitas untuk mengambil keputusan. Di samping itu, individu mulai mencari
pemecahan dalam sebuah persoalan dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Setelahnya individu juga mampu untuk menarik sebuah kesimpulan.
Terdapat dua macam bentuk berpikir, yaitu berpikir autistik dan berpikir
realistik. Berpikir autistik meliputi fantasi, mengkhayal, dan sebagainya yang
sering disebut pula sebagai melamun. Sedangkan berpikir realistik sering
disebut sebagai penalaran.
2.1.3

Teori Muka (Teori Komunikasi Interpersonal)
Teori muka merupakan salah satu teori yang ditulis oleh Sandra Metts dan
William Cupach yang terpusat pada sebuah wacana/interaksi (Budyatna,2015).
Teori ini memiliki pendekatan dramatistik Goffman terhadap interaksi

antarpribadi. Kata muka dapat dijelaskan dalam banyak artian. Muka dapat berarti
sebagai penampilan, kehialangan muka atau mendapat malu, dan lain sebagainya.
Sandra Metts dan William Cupach dalam tulisannya berkaitan dengan apa yang
dituliskan Goffman tentang dramaturgisnya ingin menjelaskan bahwa setiap sifat
unik yang dimiliki masing-masing individu dalam identitas psikologisnya, mereka

12

pasti memiliki gambaran umum atau diri sosial. Goffman pun menyebutnya
sebagai “penampilan” atau face yang ditunjukan seseorang dalam sebuah interaksi.
2.1.3.1 Ciri-CIri Utama Teori
Interaksi dalam kiasan yang dibuat oleh Goffman dikatakan sebagai
sebuah drama atau pertunjukan. Dalam sebuah pertunjukan, hal yang
akan ditampilkan kepada penonton merupakan hasil dari koordinasi
setiap aktor yang berperan di dalamnya. Perbuatan yang terencana
tersebut secara sadar dan tidak sadar dibentuk untuk menciptakan
kesan tersendiri bagi penontonnya.
2.2 Penelitian Terdahulu
LGBT tidak hanya menjadi buah bibir bagi masyarakat umum saja. Namun juga
menjadi perbincangan menarik bagi kalangan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa.

Tidak sedikit penelitian yang mencoba untuk memahami dan mendalami isu LGBT di
tengah masyarakat kita. Kartika Puspa Negara bersama Drs. Martinus Legowo, M.A (2014)
dari Universitas Negeri Surabaya melakukan penelitian dengan judul “Interaksi Simbolik
Femme dalam Komunitas Lesbian di Kota Malang” ingin mendapatkan gambaran secara

menyeluruh dan utuh mengenai interaksi simbolik femme dalam komunitasnya di kota
Malang, Jawa Timur. Dalam penelitian tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Peneliti melakukan analisis menggunakan teori
dramaturgi oleh Erving Goffman dan teori interaksi simbolik oleh Herbert Mead. Dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam komunitas lesbian di kota Malang memiliki
identitas yang membedakan identitasnya dengan aum heteroseksual. Di samping itu, terdapat
pula perbedaan dalam gaya berpakaian, di mana dibedakan dalam tiga label butchy, femme
dan androgene. Selain itu, peneliti juga dapat lebih memahami daya kekuatan simbol
sebagai kebebasan sejati bagi kelompok lesbian yang selama ini termarginalkan.
Penelitian lain dilakukan oleh Shendy Tamara (2016) dari Universitas Kristen Petra
Surabaya dengan judul “Self Disclosure Lesbian kepada Ayah dan Ibu Mengenai Orientasi
Seksualnya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui self disclosure yang dilakukan oleh
seorang lesbian kepada kedua orangtuanya mengenai perbedaan orientasi seksualnya.
Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Self disclosure ini dilihat berdasarkan tingkatan menurut Adler dan Roman
13

yaitu tahap klise, fakta, opini dan perasaan. Melalui penelitian tersebut ditemukan fakta
bahwa melakukan self disclosure tentang adanya perbedaan orientasi seksual kepada ayah
dan ibu memiliki manfaat memperdalam hubungan, lebih mudah untuk menjadi diri sendiri,
dan membantu dalam menghilangkan persepsi buruk tentang lesbian.
Selain penelitian di atas, ada pun penelitian lain yang dilakukan oleh Wahyudi
Yuwono (2013) dari Universitas Kristen Petra Surabaya dengan judul “Relationship
Development dalam Konteks Pesahabatan yang Dibangun Antara Perempuan Lesbian

dengan Perempuan Heteroseksual”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
relationship development dalam konteks persahabatan yang dibangun antara perempuan

lesbian dan perembuan heteroseksual. Dalam penelitian ini memeliki kecenderungan di
mana kondisi kaum lesbian lebih cenderung tertutup untuk menjalin suatu persahabatan
karena masih banyak yang berpikir secara umum bahwa lesbian dianggap sebagai sebuah
perilaku yang menyimpang. Pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Peneliti menggunakan social
penetration theory sebagai teori analisis dalam studi kasus yang diteliti serta melihat proses
relationship development melalui tahap contact, involvement, intimacy, deterioration, reoair,

dan dessolution. Penelitian tersebut menghasilkan adanya perbedaan pada teori dengan
kasus yang ada. Pada tahap involvement yang dikaitkan dengan social penetration theory,
apabila mencapai pada tahap lapisan kulit bawang ketika umumnya seseorang sudah
membuka diri terhadap orang terdekatnya. Namun hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa seorang lesbian yang memiliki teman perempuan heteroseksual belum membuka
dirinya sebagai lesbian kepada sahabat heteroseksualnya. Hal ini disebabkan karena
perempuan lesbian tersebut takut kehilangan sahabatnya apabila sahabatnya mengetahui jati
dirinya sebagai seorang lesbian.
Melihat dari penelitian terdahulu, sebagaian besar penelitian dilakukan di kota besar
seperti Surabaya atau Malang. Namun pada penelitian ini, peneliti akan melakukan
penelitian di kota Salatiga yang termasuk sebagai kota dengan tingkat toleransi yang tinggi.
Di samping itu, peneliti juga memiliki keingintahuan tentang ada atau tidaknya pengaruh
tertentu terhadap lesbian di kota Salatiga dengan adanya predikat Salatiga sebagai kota

14

paling toleran terhadap pengekspresian identitas lesbian dalam interaksinya dengan
masyarakat heteroseksual di kota Salatiga.
2.3 Kerangka Pikir
Teori
Dramaturgi

Lesbian di
Salatiga

Erving Goffman

Bagian
belakang (back)

Bagian depan
(front)

Teori komunikasi interpersonal
(Teori Muka)

Teori komunikasi
intrapersonal

Identitas lesbian di Salatiga
Bagan I. Kerangka Pikir Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian terhadap lesbian di kota Salatiga
dengan menggunakan sudut pandang dari Erving Goffman melalui teori dramaturgi. Teori
dramaturgi ini memiliki dua sub bagian yaitu bagian depan atau yang sering disebut dengan
istilah front dan bagian belakang atau back. Untuk meneliti lebih jauh lagi tentang apa yang
tampak atau ditampilkan oleh lesbian tersebut pada bagian depan, maka peneliti akan
menggunakan teori muka dalam ranah komunikasi interpersonal.

15

Dalam penggalian data, peneliti tidak hanya melakukan wawancara terhadap subjek
utama penelitian. Namun juga melakukan wawancara terhadap beberapa orang di lingkungan
sekitar subjek utama penelitian, seperti misalnya rekan kerja, teman sekolah atau kuliah, dan
teman bergaul. Sedangkan untuk lebih menganalisis bagian belakang lesbian, peneliti akan
menggunakan teori komunikas intrapersonal. Untuk memahami bagian tersembunyi atau bagian
belakang (back) dari subjek utama penelitian, peneliti akan melakukan wawancara secara
bertahap serta melakukan beberapa observasi. Observasi atau pengamatan akan dilakukan saat
melakukan wawancara untuk mengamati komunikasi nonverbal yang ditunjukan oleh subjek
penelitian. Di samping itu, peneliti juga akan mengamati cara subjek penelitian dalam melakukan
interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Sehingga setelah melakukan analisis terhadap seluruh
data yang diperlukan, penelitian ini akan mampu menunjukan identitas yang biasa ditunjukan
oleh lesbian di kota Salatiga baik dari bagian depan (front) maupun bagian belakang (back).

16