Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak
kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai
macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk
mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan
ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil
pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai dilapisan
paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah
(Sirojuzilam, 2015).
Pertumbuhan ekonomi diyakini oleh sebagian besar ekonom sebagai indikator
yang paling tepat dalam menggambarkan proses kemajuan pembangunan suatu
negara. Hal ini terkait dengan kemampuannya dalam menggambarkan tercapainya
suatu proses peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas
produksi nasional, peningkatan jumlah konsumsi, dan yang terpenting adalah
peningkatan pendapatan. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi
hanya menggambarkan nilai secara agregat, bukan secara parsial. Faktanya,

proses pertumbuhan ekonomi yang terjadi di dunia pada saat ini memperlihatkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu dibarengi dengan

7
Universitas Sumatera Utara

pembagian porsi pendapatan yang merata diantara para pelaku ekonomi (Lincolin
Arsyad, 2010).
Menurut Sjafrizal (2012), menyatakan bahwa teori pertumbuhan ekonomi
wilayah merupakan bagian penting dalam analisis ekonomi wilayah dan
perkotaan. Alasannya jelas, karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
unsur utama dalam pembangunan ekonomi wilayah dan mempunyai implikasi
kebijakan yang cukup luas. Sasaran utama analisis pertumbuhan ekonomi wilayah
ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat pertumbuh cepat dan
ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu, analisis pertumbuhan ekonomi
wilayah ini juga dapat menjelaskan hubungan antar pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan antar daerah dan mengapa hal tersebut terjadi.
Pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan
perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila
dibandingkan


dengan

tahun

sebelumnya.

Perkembangan

tersebut

selalu

dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan pendapatan nasional pada suatu
tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sadono Sukirno, 2006).
Pemerintah dapat jatuh atau bangun jika tingkat pertumbuhan ekonomi
rendah atau tinggi, seperti terlihat dalam keseluruhan papan statistik.
Sebagaimana dimaklumi, berhasilnya program pembangunan di suatu provinsi
sering kali dinilai berdasarkan tingkat pertumbuhan output dan pendapatan
nasional.

Menurut Profesor Simon Kuznets (1971), definisi tentang pertumbuhan
ekonomi suatu negara sebagai kenaikan kapasitas dalam angka panjang untuk

8
Universitas Sumatera Utara

menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas
tersebut dimungkinkan oleh adanya kemajuan teknologi, kelembagaan, dan
perubahan ideologi. Ketiga komponen pokok dari definisi tersebut adalah sebagai
berikut (Michael P. Todaro, 1995) :
1) Meningkatnya

output

secara

terus-menerus

merupakan


manifestasi

pertumbuhan ekonomi, sedangkan kemampuan untuk menyediakan berbagai
jenis barang merupakan tanda adanya kematangan ekonomi.
2) Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi kesinambungan
pertumbuhan ekonomi suatu kondisi yang perlu tetapi tidak cukup itu saja.
3) Dalam rangka merealisasi potensi pertumbuhan yang menyertai teknologi
baru, maka perlu diadakan penyesuaian kelembagaan, sikap, dan teknologi.
Inovasi

dibidang teknologi tanpa dibarengi dengan inovasi sosial sama

halnya dengan lampu pijar tanpa listrik (potensi ada tetapi tanpa input tidak
akan dihasilkan barang apapun).
2.2 Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah merupakan fenomena
umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah.
Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan
sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing –
masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daearah untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga
menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap

9
Universitas Sumatera Utara

daearah biasanya terdapat daerah wilayah yang relatif maju (developed region)
dann wilayah relatif terbelakang (underdeveloped region) (Sjafrizal, 2012).
Menurut Williamson (1965) Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan
pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar,
karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan
antar daerah (Kuncoro, 2004).
Ketimpangan yang paling sering dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan
per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan
kerja, dan atau antar wilayah.
Ketimpangan

pembangunan


ekonomi

dan

penghapusan

kemiskinan

merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang
mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemiskinan
dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis masalah pembangunan
yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan ini bisa dipecahkan dengan
perencanaan pembangunan yang lebih baik (Lincolin Arsyad, 2004).
Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi
sosial dalam pembangunan itu sendiri. Konsekuensi dari ketimpangan
pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat menyebabkan
kemiskinan (Colclough, 1990) dalam (Hasan Basri Tarmizi, 2011).
Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu
negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses
tersebut akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak.


10
Universitas Sumatera Utara

Kemudian pada saat proses pembangunan tersebut terus berlanjut, maka secara
berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan
menurun (Sjafrizal, 2008) dalam (Devi Sitorus, 2012).
Ketimpangan daerah yang dibiarkan secara terus menerus tersebut akan
membawa pengaruh yang merugikan (backwash effect) yang mendominasi
pengaruh yang menguntungkan (spread effect) seperti dapat mengakibatkan
adanya

kecemburuan

sosial

antar

daerah


dan

menganggu

kestabilan

perekonomian.
Menurut Neo-Klasik, ketimpangan pembangunan wilayah terjadi karena
adanya perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh tiap
daerah adalah berbeda-beda. Hipotesis Neo-Klasik merupakan dasar teoritis
terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Termasuk dalam hal ini
adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengujian terhadap
kebenaran Neo-Klasik tersebut. Menurut Neo-Klasik bahwa ketimpangan wilayah
akan berkurang dengan sendirinya. Neo-Klasik berpendapat bahwa dalam awal
pembangunan yang dilaksanakan di negara yang sedang berkembang justru
ketimpangan meningkat, hal ini dikarenakan pada saat proses pembangunan baru
dimulai di negara sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan
yang ada umumnya di manfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunan
sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak
mampu memanfaatkan peluang karena keterbatasan saran dan prasarana serta

rendahnya kualitas sumber daya manusia. Selain faktor ekonomi, faktor sosial-

11
Universitas Sumatera Utara

budaya juga turut mempangaruhi ketimpangan pembangunan wilayah (Myrdal,
1976) dalam (Harun, 2012).
Ketimpangan wilayah merupakan suatu aspek yang umum terjadi di setiap
negara baik negara miskin, negara berkembang, bahkan negara maju sekalipun
memiliki masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah walaupun dengan
ukuran yang berbeda-beda. Menurut Neo-Klasik, ketimpangan wilayah ini terjadi
karena setiap daerah memiliki perbedaan sumber daya, tenaga kerja, dan
teknologi. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong
proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidak mengherankan
apabila ada yang disebut daerah maju dan daerah yang terbelakang.
2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antarwilayah
Ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan aspek yang umum
terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Terdapat beberapa faktor utama
yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah
tersebut, yaitu sebagai berikut (Sjafrizal, 2012) :

1.

Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam
Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan ekonomi
antarwilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan
sumber daya alam pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumber
daya alam ini jelas akan memengaruhi kegiatan produksi pada daerah
bersangkutan.
Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup banyak akan dapat
memproduksi barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif murah

12
Universitas Sumatera Utara

dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya
alam lebih sedikit. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai
kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi
barang dan jasa dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya
menjadi lemah. Kondisi tersebut selanjutnya menyebabkan pula daerah

bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih
lambat.
Dengan demikian, terlihat bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam ini
dapat mendorong terjadinya ketimpangan ekonomi antarwilayah yang lebih
tinggi pada suatu negara.
2.

Perbedaan Kondisi Demografis
Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan
ekonomi

antarwilayah

adalah

bilamana

terdapat

perbedaan

kondisi

demografis yang cukup besar antardaerah. Kondisi demografis yang
dimaksudkan disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan
kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan
serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi demografis ini kemudian akan dapat pula memengaruhi ketimpangan
ekonomi

antarwilayah,

karena

hal

ini

akan

berpengaruh

terhadap

produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan
kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai tingkat

13
Universitas Sumatera Utara

produktivitas kerja yang lebih tinggi. Kondisi ini selanjutnya akan mendorong
pula peningkatan investasi yang ke daerah bersangkutan sehingga akan
cenderung pula meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan
ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu
kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif
rendahnya tingkat produktivitas kerja masyarakat setempat yang cenderung
menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi para penanam modal
(investor) sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan
cenderung menjadi lebih rendah.
3.

Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa antarwilayah dapat pula
mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan ekonomi antarwilayah.
Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan
migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan.
Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut kurang lancar, maka
kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang
membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar
menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak akan dapat
dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya.
Akibatnya, ketimpangan ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih tinggi
karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang
membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong kegiatan
ekonominya. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana, ketimpangan

14
Universitas Sumatera Utara

ekonomi antarwilayah akan cenderung relatif tinggi pada negara sedang
berkembang di mana mobilitas barang dan jasa kurang lancar karena
terbatasnya fasilitas transportasi dan komunikasi dan masih terdapatnya
beberapa daerah yang terisolir.
4.

Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah
tertentu jelas akan memengaruhi ketimpangan ekonomi antarwilayah.
Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah di
mana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi
tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi pada
suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadi
pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.

5.

Alokasi Dana Pembangunan Antarwilayah
Tidak dapat disangkal bahwa investasi merupakan salah satu unsur yang
sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah
yang mendapatkan alokasi investasi swasta ke daerahnya akan cenderung
mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Kondisi ini
tentunya akan dapat pula mendorong proses pembangunan daerah melalui
penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per
kapita yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi bilamana investasi
pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah tertentu ternyata lebih

15
Universitas Sumatera Utara

rendah, sehingga kegiatan ekonomi dan pembangunan daerahnya kurang
berkembang baik.
Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem
pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut
bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih
banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan
pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi, sebaliknya
bilamana sistem pemerintah yang dianut adalah otonomi atau desentralisasi,
maka dana investasi pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah
sehingga ketimpangan ekonomi antarwilayah akan cenderung lebih rendah.
2.4 Klassen Typology
Model yang paling populer untuk mengindetifikasi daerah tertinggal atau
perkembangan daerah-daerah berdasarkan pertumbuhan ekonominya adalah
model Typology Klassen.
Typology Klassen dikenalkan oleh Leo Klassen (1965), Klassen menganggap
daerah (regions) sebagai mikrokosmos yang diskrit (discrete microcosms), yaitu
daerah ekonomi yang dapat dipahami dengan melalui studi tentang besaranbesaran ekonominya. Dengan menggunakan pendapatan, Klassen mengajukan
suatu teknik sederhana yaitu dengan memperbandingkan tingkat dan laju
pertumbuhan pendapatan suatu daerah tertentu dengan tingkat dan laju
pertumbuhan pendapatan nasional, seperti yang ditunjukan pada table 2.1. Ada
tiga macam daerah yang permasalahannya berbeda yakni kategori II, III, dan IV
seperti tampak pada table tersebut. Daerah tipe II adalah daerah dengan tingkat

16
Universitas Sumatera Utara

pendapatan yang realtif rendah tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi,
daerah tipe III adalah daerah dengan tingkat pendapatan tinggi tetapi dengan
tingkat pertumbuhan yang rendah, dan daerah tipe IV adalah daerah dengan
tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan yang rendah. Daerah yang terakhir
merupakan daerah yang menjadi perhatian utama bagi para perencana
pembangunan daerah (Lincolin Arsyad, 2010).
Tabel 2.1
Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal
Tingkat pertumbuhan
pendapatan daerah
dibandingkan dengan
tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional

Tingkat pendapatan daerah dibandingkan dengan
tingkat pendapatan nasional
Tinggi (>1)

Tipe I
Tinggi (>1)
Daerah makmur

Rendah (