Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Di Provinsi Sumatera Utara

(1)

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI

DI PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

FITRI YUSMAWITA

097003064/PWD

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

SE

K O L A H

P A

S C

A S A R JA


(2)

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI

DI PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

FITRI YUSMAWITA

097003064/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Fitri Yusmawita Nomor Pokok : 097003064

Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan Menyetujui

Komisi pembimbing

(Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D. Ak) (Agus Suriadi, S.Sos, M.Si

Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE)(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 29 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D. Ak Anggota : 1. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si

2. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE 3. Dr. H.B. Tarmizi, SU, M.Si


(5)

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 1984 sampai dengan 2009, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketimpangan tersebut.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik yang terdiri dari data jumlah penduduk, data PDRB Propinsi Sumatera Utara, data PDRB per kabupaten/kota, data investasi swasta, data angkatan kerja, dan data alokasi dana bantuan pembangunan untuk kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1984 sampai dengan 2009.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara yang dihitung dengan menggunakan Indeks Williamson selama periode 1984 sampai dengan 2009 menunjukkan ketimpangan semakin melebar. Nilai investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja dan dana alokasi bantuan pembangunan daerah perkapita berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara baik secara parsial maupun simultan. Nilai sebesar 0,803. Nilai koefisien determinasi ( ) sebesar 0,803 artinya variasi variabel ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh variabel-variabel investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan daerah perkapita sebesar 80,3% sedangkan sisanya 19,7% dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.

Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan Ekonomi, Investasi Swasta, Angkatan Kerja dan Dana Alokasi Bantuan Pembangunan Daerah.


(6)

ANALYZE THE DISCREPANCY OF ECONOMIC DEVELOPMENT IN PROVINCE OF NORTH SUMATRA

ABSTRACT

This research aims to analyze the discrepancy of economic development in Province of North Sumatra in the period of 1984 up to 2009 and to identify the factors influence the discrepancy significantly.

The data used in this research is the secondary data that had processed by Central Bureau of Statistic that consist of the number of population, PDRB data of North Sumatra Province, PDRB data of each regencies/cities, private investment data, labor force data, and allocation of development fund for each regency/city in North Sumatra Province in 1984 up to 2009.

The results of research conclude that discrepancy of economic in North Sumatra Province is calculated by using Williamson Index during 1984 up to 2009 that indicates the widest discrepancy. The investment value of private sector per capita, ratio of labor force and allocation of fund for the regional development per capita influence the discrepancy of economic development in North Sumatra province either partially or simultaneously. The value of R2 is 0.803. the determination coefficient (R2) is 0.803 means that the variation of discrepancy variable of economic development in North Sumatra province can be described by private investment variable per capita, labor force ratio, and allocation of regional economic development epr capita for 80.3% while its remain is 19.7% that described by another factors out of model.

Keywords : Discrepancy of Economic Development, Private Investment, Labor Force and allocation of fund for.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan tesis yang berjudul “ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA” dapat penulis selesaikan.

Dalam penulisan tesis ini penulis banyak menghadapi berbagai kesulitan yang semuanya berawal dari kekurangan penulis sendiri. Akan tetapi berkat saran dan kritik yang membangun dari Komisi Pembimbing dan Komisi Pembanding akhirnya tesis ini dapat terselesaikan.

Keberhasilan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, maka penulis tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di program studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD).

2. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE sebagai Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) sekaligus dosen mata kuliah Teori Perencanaan.

3. Ibu Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak dan Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan arahan kepada penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Dr. Drs. H. B. Tarmizi, SU, Irsyad Lubis, SE, M.Soc, Ph.D, dan Ir. Supriadi, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak kritik dan saran yang bermanfaat kepada penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

5. Bapak Bupati Serdang Bedagai, H. T. Erry Nuradi dan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Serdang Bedagai, Dra. H. Enny


(8)

Mardiana Toreh selaku atasan penulis yang telah memberikan izin untuk mengikuti perkuliahan.

6. Kedua orang tua penulis, Drs. Mhd. Nazwandi dan Yusniar, S.Pd serta abang dan adik tersayang, Mhd. Yusrizal Adi Sya Putra, SH, MH dan Mhd. Rizki Mahyuzar, atas doa, dukungan dan perhatian, sehinga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 7. Calon Suami tercinta, Arfiansyah Dalimunthe, SE, beserta seluruh keluarga atas

doa, dukungan dan perhatian, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 8. Rekan-rekan seperjuangan di PWD, khususnya kelas PP, Silvyana Sagala, Silvy

Puspita, Ade Faradilla Nst, Ardiansyah Siregar, M. Kennedy Tarigan, Bobby Nelson, dan Diego Maradona.

9. Sahabat-sahabat yang selalu setia memberikan motivasi, Roslianana Harahap, S.Si dan Wiwik Suciati, S.Pd.

10.Pegawai Biro Administrasi Sekolah Pascasarjana USU Medan yang telah memperlancar administrasi selama penulis menempuh pendidikan.

11.Dan seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan Magister di SPs USU Medan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini, oleh karenanya segala kritik dan saran yang bersifat perbaikan akan diterima dengan tangan terbuka dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhir kata, semoga penyusunan tesis ini dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan.

Medan, Desember 2011

PENULIS


(9)

RIWAYAT HIDUP

Fitri Yusmawita lahir di Araskabu, 14 Desember 1986, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dan merupakan putri satu-satunya dari pasangan Drs. Mhd. Nazwandi dan Yusniar, S.Pd. Penulis memiliki abang bernama Mhd. Yusrizal Adi Sya Putra, SH, MH yang berprofesi sebagai Dosen Swasta, dan seorang adik bernama Mhd. Rizki Mahyuzar yang masih menempuh pendidikan S1 di Universitas Riau dengan jurusan Ilmu Hukum.

Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis adalah, pada tahun 1998 lulus Sekolah Dasar dari SDN 101903 Bakaran Batu Lubuk Pakam, tahun 2001 lulus dari SLTPN 1 Lubuk Pakam, dan tahun 2004 lulus dari SMUN 1 Lubuk Pakam. Kemudian penulis melanjutkan studi S1 di Universitas Sumatera Utara jurusan Matematika dan berhasil lulus tanggal 02 Agustus 2008, kemudian di wisuda pada tanggal 20 Oktober 2008 dengan gelar S.Si.

Pada Desember 2008 berhasil lulus tes penerimaan CPNS Kabupaten Serdang Bedagai untuk formasi tenaga teknis statistisi, dan mulai bekerja pada Juni 2009 dengan penempatan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Serdang Bedagai, sampai dengan sekarang.

Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ………. .... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. .... 8

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 8

2.2 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah ... 9

2.3 Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah ... 13

2.4 Investasi ... 23

2.5 Angkatan Kerja ... 24

2.6 Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah ... 25

2.7 Indeks Wiliamson ... 26

2.8 Penelitian Terdahulu ... 27

2.9 Kerangka Pemikiran ... 28


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Lokasi Penelitian ... 32

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 32

3.3 Metode Analisa Data ... 32

3.4 Definisi Operasional ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 43

4.2 Pertumbuhan Penduduk ... 45

4.3 Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 47

4.4 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita ... 50

4.5 Perkembangan Investasi ... 53

4.6 Perkembangan Angkatan Kerja ... 59

4.7 Perkembangan Alokasi Dana Bantuan Pembangunan ... 64

4.8 Tingkat Ketimpangan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara ... 67

4.9 Pengujian Asumsi Klasik ... 69

4.10 Pembahasan ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran ... 82


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 44

4.2 Pertumbuhan Penduduk di Sumatera Utara Tahun 1984-2009 ... 45

4.3 Jumlah Penduduk Per Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2009 46

4.4 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota dan PDRB Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 (persen) ... 48

4.5 Perkembangan PDRB Perkapita Sumatera Utara Tahun 1984-2009 ... 50

4.6 PDRB Perkapita Per Kabupaten/Kota Sumatera Utara Tahun 2009 ... 52

4.7 Perkembangan Investasi di Sumatera Utara Tahun 1984-2009 ... 55

4.8 Banyaknya Proyek dan Investasi Proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang Disetujui Menurut Rencana dan Realisasi Tahun 2000-2009 ... 56

4.9 Banyaknya Tenaga Kerja Proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang Disetujui menurut Rencana dan Realisasi Tahun 2000-2009 ... 57

4.10 Banyaknya Proyek dan Investasi Proyek Penanaman Modal Asing (PMA) yang Disetujui Menurut Rencana dan Realisasi Tahun 2000-2009 ... 58

4.11 Banyaknya Tenaga Kerja Proyek Penanaman Modal Asing (PMA) yang Disetujui menurut Rencana dan Realisasi Tahun 2000-2009 ... 59

4.12 Perkembangan Angkatan Kerja di Sumatera Utara Tahun 1984-2009 ... 61

4.13 Jumlah Angkatan Kerja Per Kabupaten/Kota Sumatera Utara Tahun 2009 ... 63

4.14 Perkembangan Realisasi Dana Bantuan Pembangunan Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984-2009 ... 65 4.15 Realisasi Dana Pembangunan Per Kabupaten/Kota di Sumatera Utara


(13)

Tahun 2007-2009 ... 66

4.16 Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi, Investasi Perkapita, Rasio Angkatan Kerja, dan Dana Bantuan Pembangunan Perkapita di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984-2009 ... 68

4.17 Pengujian Multikolinearitas ... 70

4.18 Pengujian Autokorelasi ... 71


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Hubungan Tiga Variabel Independen terhadap Ketimpangan

Pembangunan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara ... 44 4.1 Uji Normalitas Data ... 69 4.2 Uji Heteroskedastisitas ... 73


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1 Jumlah Penduduk Per Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara dari

Tahun 1984-2009 ... 1 2 PDRB Per Kapita Per Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara dari

Tahun 1984-2009 ... 10 3 Realisasi Dana Bantuan Pembangunan Per Kabupaten/Kota Provinsi

Sumatera Utara dari Tahun 1984-2009 ... 19 4 Hasil Output SPSS ... 28


(16)

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 1984 sampai dengan 2009, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketimpangan tersebut.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik yang terdiri dari data jumlah penduduk, data PDRB Propinsi Sumatera Utara, data PDRB per kabupaten/kota, data investasi swasta, data angkatan kerja, dan data alokasi dana bantuan pembangunan untuk kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1984 sampai dengan 2009.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara yang dihitung dengan menggunakan Indeks Williamson selama periode 1984 sampai dengan 2009 menunjukkan ketimpangan semakin melebar. Nilai investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja dan dana alokasi bantuan pembangunan daerah perkapita berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara baik secara parsial maupun simultan. Nilai sebesar 0,803. Nilai koefisien determinasi ( ) sebesar 0,803 artinya variasi variabel ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh variabel-variabel investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan daerah perkapita sebesar 80,3% sedangkan sisanya 19,7% dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.

Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan Ekonomi, Investasi Swasta, Angkatan Kerja dan Dana Alokasi Bantuan Pembangunan Daerah.


(17)

ANALYZE THE DISCREPANCY OF ECONOMIC DEVELOPMENT IN PROVINCE OF NORTH SUMATRA

ABSTRACT

This research aims to analyze the discrepancy of economic development in Province of North Sumatra in the period of 1984 up to 2009 and to identify the factors influence the discrepancy significantly.

The data used in this research is the secondary data that had processed by Central Bureau of Statistic that consist of the number of population, PDRB data of North Sumatra Province, PDRB data of each regencies/cities, private investment data, labor force data, and allocation of development fund for each regency/city in North Sumatra Province in 1984 up to 2009.

The results of research conclude that discrepancy of economic in North Sumatra Province is calculated by using Williamson Index during 1984 up to 2009 that indicates the widest discrepancy. The investment value of private sector per capita, ratio of labor force and allocation of fund for the regional development per capita influence the discrepancy of economic development in North Sumatra province either partially or simultaneously. The value of R2 is 0.803. the determination coefficient (R2) is 0.803 means that the variation of discrepancy variable of economic development in North Sumatra province can be described by private investment variable per capita, labor force ratio, and allocation of regional economic development epr capita for 80.3% while its remain is 19.7% that described by another factors out of model.

Keywords : Discrepancy of Economic Development, Private Investment, Labor Force and allocation of fund for.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang (Sirojuzilam, 2005). Walaupun banyak mendapat tanggapan di kalangan masyarakat namun tidak dapat disangkal bahwasanya pemerataan pembangunan merupakan salah satu indikator yang lazim digunakan oleh badan-badan dunia dalam menilai keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu Negara (Todaro, 1994). Menurut Meier, pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menciptakan pendapatan riil perkapita sebuah Negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, sejumlah orang hidup di bawah garis kemiskinan mutlak tidak naik, dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Gammel, 1994).

Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan. Agar ketimpangan dan perkembangan antar suatu daerah dengan daerah lain tidak menciptakan jurang yang semakin lebar maka implikasi kebijaksanaan terhadap daur perkembangan dari pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat (Suryana, 2000).


(19)

Ketimpangan, pemerataan, dan infrastruktur sebenarnya telah dikenal cukup lama di Indonesia, misalnya melatar belakangi program padat karya berbagai pembangunan infrastruktur, seperti dalam program alam program perbaikan kampung seperti jalan, pos kampling, jalan, sungai, irigasi dan lain-lain; berbagai program jaring pengaman sosial; pembangunan jaringan infrastruktur di pedesaan, seperti jalan, irigasi, listrik, telepon, pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah. Pendapatan per kapita rata-rata suatu daerah dapat disederhanakan menjadi Produk Domestik Regional Bruto dibagi dengan jumlah penduduk. Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mendasarkan kepada pendapatan personal yang didekati dengan pendekatan konsumsi (Widiarto, 2001). Dalam pengukuran ketimpangan pembangunan ekonomi regional digunakan Indeks Williamson.

Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia yang diukur dengan indeks Williamson dari Tahun 1971 hingga Tahun 1990 berkisar antara 0,396 sampai 0,484. Hal ini menunjukkan ada peningkatan ketimpangan ekonomi regional tetapi masih relatif sedang. Indeks ketimpangan ekonomi regional dari Tahun 1991 hingga 1997 berkisar 0,643 sampai 0,671 berarti mengalami kenaikan cukup tinggi (Sjafrizal, 1997).


(20)

Studi empiris dari Brodjonegoro (1999) dan Mahi (2000) dengan menggunakan PDRB per kapita menurut harga konstan 1993 menunjukkan bahwa Indeks Williamson tahun 1995 tercatat sebesar 0,716. Pada tahun 1996, Indeks Williamson mengalami penurunan mecapai 0,712. Dan Tahun 1997, Indeks Williamson mengalami kenaikan mencapai 0,713 sebagai akibat dari krisis ekonomi di Indonesia (Thulus Tambunan, 2001).

Namun demikian, Kabupaten/Kota di Indonesia yang memiliki keuntungan relatif besar dari sumber daya alam hanya 6 propinsi (20%) dan dari 350 kabupaten/kota tidak sampai 20 kabupaten/kota (5%) yang menikmati bagi hasil yang besar (Simanjuntak, 2001). Gejala tersebut sesuai dengan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh UNSFIR, yang menyatakan bahwa perbedaan yang mencolok antara kekayaan daerah dengan kesejahteraan masyarakatnya pada daerah-daerah yang kaya sumber daya alam tersebut telah menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap sesuatu yang seharusnya dinikmati, yang disebut aspirasi terhadap ketidakmerataan (inequality). Aspirasi ini mencerminkan adanya rasa ketidak-adilan yang muncul bila tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang kaya sama atau bahkan lebih rendah dari masyarakat Indonesia pada umumnya (Tadjoeddin, 2001). Di Kalimantan Timur sebanyak 915 desa atau 72,7 persen dari 1.295 desa tergolong miskin. Sementara di Provinsi Riau 20 % dari 4,2 juta penduduknya hidup dalam kondisi prasejahtera dan hampir 70% angkatan kerjanya berpendidikan rendah (Harian Kompas, 7 Mei 2002).


(21)

Namun perlu juga diperhatikan nasib daerah-daerah yang secara absolut memang miskin sumber daya alam dan sumber daya lainnya (tenaga kerja yang trampil, teknologi, modal/investasi) sehingga pemerintah daerah juga low profile terkesan nerimo tetapi penduduk daerah-daerah tersebut semestinya mendapat perhatian lebih besar.

Ketimpangan ekonomi antar daerah secara absolut maupun ketimpangan relatif antara potensi dan tingkat kesejahteraan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam hubungan antar daerah. Falsafah pembangunan ekonomi yang dianut pemerintah jelas tidak bermaksud membatasi arus modal (bahkan yang terbang ke luar negeri saja hampir tidak dibatasi). Arus modal mempunyai logika sendiri untuk berakumulasi di lokasi-lokasi yang mempunyai prospek return atau tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan tingkat risiko yang lebih rendah. Sehingga tidak dapat dihindari jika arus modal lebih terkonsentrasi di daerah-daerah kaya sumber daya alam dan kota-kota besar yang prasarana dan sarananya lebih lengkap.

Di sisi lain gelombang pencari kerja juga mengalir mengejar kesempatan ke kota-kota besar, ke daerah-daerah yang kaya potensi. Hal ini menjadi masalah kepadatan penduduk bagi daerah yang menerima pencari kerja dari daerah-daerah miskin ke kota-kota besar. Oleh karena di kota-kota besar tersebut relatif banyak golongan ekonomi lemah dari penduduk asli ataupun dari daerah-daerah lain dapat mengakibatkan saling berebut tempat dan peluang antar kelompok daerah asal (Risfan Munir, 2003).


(22)

Untuk itulah diperlukan pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Guna meningkatkan pembangunan nasional harus didukung dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan keserasian dan keseimbangan Pembangunan Nasional.

Pembangunan pada hakekatnya merupakan upaya terencana dan terprogram yang dilakukan secara terus menerus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah (pembangunan wilayah) atau pendekatan sektoral (pembangunan daerah). Pembangunan daerah lebih menekankan pada pendekatan daerah secara administrasi dan pendekatan sektoral, yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menserasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar perkotaan, antar perdesaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan prioritas daerah serta pengembangan daerah seoptimal mungkin dengan memperhatikan dampak pembangunan (Mursid Zuhri, 1998).

Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten/kota memiliki jumlah penduduk tahun 2006 sebanyak 12.643.494 jiwa, tahun 2007 sebanyak 12.834.371 jiwa, tahun 2008 sebanyak 13.042.317 jiwa, dan tahun 2009 sebanyak 13.248.386 jiwa, menunjukkan peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya (Data BPS). Pertumbuhan penduduk yang tinggi sudah pasti diikuti pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula. Pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja di Provinsi Sumatera mencapai 5.765.643 jiwa. Salah satu permasalahan dalam pembangunan ekonomi adalah jumlah angkatan kerja yang terus menerus meningkat yang tidak sebanding dengan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan (Tambunan, 2001).


(23)

Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah perluasan kesempatan kerja yang dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan investasi. Gambaran perkembangan pembangunan daerah tidak lepas dari perkembangan distribusi dan alokasi investasi antar daerah. Sumatera Utara merupakan salah satu barometer perekonomian Indonesia dan merupakan daerah tujuan investasi. Tetapi selain itu diperlukan juga campur tangan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Dana bantuan pembangunan daerah merupakan salah satu sumber keuangan untuk melakukan pembangunan daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu diadakan suatu kajian yang berfokus pada ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dengan judul “Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa hal yang merupakan permasalahan yang difokuskan dalam penelitian ini, yakni:

a. Seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dari Tahun 1984 – 2009 ?

b. Bagaimana pengaruh investasi swasta terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dari Tahun 1984 – 2009 ?

c. Bagaimana pengaruh angkatan kerja terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dari Tahun 1984 – 2009 ?


(24)

d. Bagaimana pengaruh alokasi dana bantuan pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dari Tahun 1984 – 2009?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk memperoleh masukan yang lebih rinci dan diharapkan dapat memberikan nilai lebih pada perencanaan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara.

Adapun rincian tujuan penelitian ini adalah:

a. Menganalisis tingkat ketimpangan pendapatan regional berdasarkan Indeks Williamson dan faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 – 2009.

b. Menganalisis pengaruh investasi swasta terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dari Tahun 1984 – 2009.

c. Menganalisis pengaruh angkatan kerja terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dari Tahun 1984 – 2009.

d. Menganalisis pengaruh alokasi dana bantuan pembangunan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara terhadap tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 – 2009.


(25)

1.4. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian ini yakni memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara serta Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota tentang variabel yang signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar daerah di Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memilih alternatif kebijakan yang akan diambil untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Dan memberikan tambahan acuan untuk peneliti berikutnya, khususnya penelitian yang berkaitan dengan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi.

Sumitro Djojohadikusumo (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat

yang bersangkutan.

Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Pada tingkat permulaan, pembangunan ekonomi dibarengi pula dengan pertumbuhan dan sebaliknya (Irwan dan M. Suparmoko, 1988).

Selama tiga dasawarsa perhatian utama pembangunan pada cara mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional, baik negara maju/kaya maupun negara terbelakang/miskin, baik yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui bahwa suatu keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dimulai


(27)

berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi rendahnya mutu aparat di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output yang dihasilkan. Namun demikian penyebaran pertumbuhan pendapatan tersebut masih sangat terbatas jangkauannya, kekuatan antara negara maju dan negara berkembang tidak seimbang sehingga cenderung memperlebar jurang kesenjangan antara kelompok negara kaya dan Negara miskin.

Di negara berkembang perhatian utama terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan eknomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi dan juga pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan sauatu pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan distribusi pendapatan telah meyebar ke segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya (Todaro, 1999).

2.2. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses pemerintah daerah dan masyarakat daerah mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan


(28)

lapangan kerja baru dan untuk mendorong perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tertentu (Lincolin Arsyad, 1999).

Saat ini tidak ada suatu teori yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komperhensif. Namun demikian ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori tersebut berkisar pada metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi disuatu daerah tertentu. Secara Umum pendapat-pendapat yang mendasari bidang teori pembangunan eknomi regional yang masing-masing mempunyai asumsi yang berbeda yaitu sebagai berikut: 1. Model Neo Klasik

Model Neo Klsik mendasarkan analisa pada peralatan fungsi produksi, sama halnya dengan analisis pertumbuhan ekonomi nasional. Kelompok Neo-Klasik berpendapat bahwa unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, kemajuan teknologi. Namun demikian ada kekhususnya teori pertumbuhan regional Neo Klasik yaitu membahas secara mendalam pengaruh dari perpindahan penduduk/migrasi dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Kesimpulan dari model Neo Klasik adalah terdapat hubungan antara pertumbuhan dari suatu negara dengan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada Negara yang bersangkutan. Kelompok Neo Klasik mengatakan bahwa pada saat proses pembangunan baru dimulai (negara yang sedang berkembang), tingkat perbedaan


(29)

kemakmuran antara wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence). Ketika proses pembangunan telah berjalan dalam waktu lama (negara yang telah berkembang) maka perbedaan tingkat kemakmuran antara wilayah cenderung menurun (convergen). Alasan dikemukakan adalah bahwa lalu lintas orang dan lalu lintas modal di negara yang sedang masih belum lancer sehingga proses penyesuaian ke arah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi serta masih kuatnya tradisi yang menghalangi mobilitas penduduk, biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah. Sedangkan di negara-negara maju, proses penyesuaian tersebut terjadi dengan lancar karena telah tersedianya fasilitas perhubungan dan komunikasi. Kebenaran pendapat ini mula-mula diselidiki secara empiris oleh Williamson (1965).

2. Model Peyebab Kumulatif

Teori ini pada mulanya dikemukakan oleh Myrdal (1957) yang mengkritik teori Neo Klasik mengenai pertumbuhan yang stabil. Myrdal menyatakan bahwa perbedaan tingkat kemajuan pembangunan ekonomi antar wilayah selamnya akan menimbulkan adanya backwash effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekulibrium (disequilibrium). Perbedaan utama dari teori Neo-Kalisk dan teori dari Myrdal adalah, yang pertama menggunakan constant return to scale dan kedua menggunakan increasing return to scale. Perbedaan tingkat pertumbuhan antara


(30)

wilayah mungkin akan menjadi sangat besar jika increasing return to scale berlangsung terus. Menurut Kaldor (1970) bahwa prisnsip-prinsip dari peyebab kumulatif adalah penyederhanaan dari increasing return to scale di perusahaan. Kondisi daerah-daerah di sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan konsep dasar dari teori ini. Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperparah kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus terbelakang). Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibanding daerah-daerah lain. Hal ini disebut Myrdal sebagai backwash effects. Berdasarkan kondisi ini maka penganut teori Cummulative Causation berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar, sehingga perlu dilakukan melalui campur tangan yang efektif dari pemerintah.

3. Teori Basis Ekonomi

Teori basis ekonomi, biasa disebut analisis basis digunakan untuk mengidentifikasi pendapatan yang berasal dari sektor basis pendapatan regional akan langsung meningkat bila sektor basis mengalami perluasan, sedangkan kesempatan kerja baru terasa dalam jangka panjang. Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Petumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Keunggulan dari metode ini adalah dapat secara cepat


(31)

mengetahui sektor-sektor yang menjadi andalan/basis komparatif suatu perekonomian daerah. Kelemahan model ini adalah didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal. Pada akhirnya akan menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan pasar secara nasional maupun global. Namun demikian, model ini berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi.

4. Teori Tempat Sentral

Teori tempat sentral menanggap bahwa ada hirarki tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu permukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya.

2.3. Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah

Thee Kian Wie, (1981) menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan dari sudut pandangan ekonomi dibagi menjadi:

1. Ketimpangan pembangian pendapatan antar golongan penerima pendapatan (size

distribution income);

2. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-rural income disparities);


(32)

Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan antar daerah (Williamson, 1965). Analisis yang menghubungkan tahap pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan serta ungkapan pertumbuhan versus pemerataan sebenarnya dipicu oleh sebuah penemuan yang dimulai oleh Simon Kuznet (1955). Simon Kuznet menghubungkan laju pertumbuhan berbagai negara maju dan negara sedang berkembang dengan mengamati data time series untuk Amerika, Inggris dan Jerman serta data cross section yang mencakup tiga negara tersebut ditambah India, Srilangka serta Puerto Rico dan pada hasil pengamatan tersebut Kuznet menemukan sebuah pola yang berbentu U terbalik. Pola tersebut mensyaratkan bahwa pada tahap awal perkembangan (diwakili oleh PDB per kapita yang masih rendah), maka proses pertumbuhan diikuti oleh semakin memburuhnya distribusi pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Pembangunan dengan hasil seperti yang digambarkan oleh hipotesisi U terbalik, sebagian besar didasarkan pada model pembangunan Dualistik (Munawar Ismail, 1995).

Model pembangunan dualistik ini (Suharto, 2001) berdasarkan artikel terkenal tentang ekonomi surplus tenaga kerja dari Artur Lewis, yang memperbaharuhi model kalsik. Menurut model pembangunan pembangunan yang diajukan Lewis (Todaro, 1999), perekonomian terbelakang terdiri 2 sektor yaitu:


(33)

1. Sektor tradisionil yaitu sektor pedesaan sub sistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol. Hal ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagaian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan outputnya sedikitpun.

2. Sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsistem. Perhatian utama dari model ini diarahkannya pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan ouput pada sektor modern. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dibanding industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah dengan asumsi para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Hal ini dapat meningkatkan pangsa keuntungan pada pendapatan nasional. Tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah sektor pertanian subsisten tradisional (Todaro, 1999). Distribusi


(34)

fungsional berpindah dari penghasilan upah. Pola distribusi berbentuk U dari permulaan dan lebih lanjut tidak ada trade off antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan hanya menentukan berapa cepat sebuah negara melewati U.

Teori Lewis ini kemudian disempurnakan oleh Gustav Ranis dan John Fei. Model pembangunan ekonomi Ranis-Fei (Jhingan, 2000) bukan saja terperinci menunjukkan pengaruh dari perubahan produktivitas tenaga kerja di sektor modern kepada corak proses pembangunan akan tetapi menunjukkan juga akibat kemajuan tingkat produktivitas kegiatan-kegiatan di sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi yang akan tercipta. Di dalam mengemukakan teorinya Fei dan Rei membuat asumsi scbagai berikut:

1. Terdapat sektor pertanian tradional yang pasif dan industri yang aktif; 2. Output sektor pertanian adalah fungsi dari tanah dan buruh saja;

3. Di sektor modal tidak terdapat akumulasi modal selain dalam bentuk penggarapan tanah kembali;

4. Persediaaan atau penawaran tanah bersifat tetap;

5. Kegiatan pertanian ditandai dengan hasil (return to scale) yang tetap dengan buruh sebagai faktor variabel;

6. Diasumsikan bahwa produktivitas marginal buruh adalah nol, Jika penduduk melampaui jumlah di mana produktivitas marginal buruhnya nol, buruh dapat dialihkan ke sektor industri tanpa mengurangi output pertanian;


(35)

8. Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai fenomena eksogen;

9. Upah nyata di sektor industri dianggap tetap dan sama dengan tingkat pendapatan nyata (sebelumnya) sektor pertanian, yang disebut upah institusional;

10. Pekerja masing-masing sektor hanya mengkonsumsikan produk-produk pertanian.

Berdasarkan asumsi tersebut maka Fei dan Ranis menelaah pembangunan ekonomi surplus tenaga kerja menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Tahap pertama, para penganggur tersamar, yang tidak menambah output pertanian, dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama. 2. Tahap kedua, pekerja pertanian menambah output pertanian tetapi memproduksi

lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh. Para pekerja ini dialihkan ke sektor industri. Jika migrasi pekerja ini berlangsung terus, akan dicapai suatu titik di mana pekerja pertanian menghasilkan output yang sama dengan upah institusional.

3. Tahap ketiga, dan merupakan awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan lebih besar daripada perolehan upah intitusional. Pada tahap ini kelebihan buruh sudah terserap dari sektor pertanian menuju komersial.

Kuznet menyebutkan bahwa diantara faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi pola U, terdapat faktor penting yaitu terpusatnya modal pada kelompok pendapatan tinggi dan adanya pergeseran penduduk dari sektor pertanian tradisional menuju sektor industri modern. Banyak penelitian susulan yang mencoba membantah atau mendukung penemuan Kuznets tersebut. Satu dekade setelah adanya


(36)

hipotesa Kuznet, Williamson membuat suatu langkah dengan menganalisis hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat region di suatu negara. Williamson (1965) menjadi orang pertama yang mencoba membuktikan hipotesis U terbalik dengan menggunakan data antar wilayah. Dengan mendasarkan analisisnya pada pengalaman impiris di 24 negara selama kurun waktu 1950-1960, ia membuktikan bahwa kesenjangan antar wilayah akan memberikan pengaruh negatif pada kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Williamson juga menjelaskan hipotesa U terbalik pada lingkup wilayah bahwa pada saat pendapatan pendapatan perkapita meningkat, akan terjadi peningkatan kesenjangan wilayah, lalu bertahan dalam jangka waktu tertentu dan kemudian menurun. Implikasi yang dapat diturunkan bahwa ketimpangan pendapatan antar regional merupakan konsekuensi dari pembangunan dan akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan kedewasaan pembangunan itu sendiri. Williamson menganalisa empat faktor yang mendasari pola U terbalik dalam pengembangan wilayah yaitu: sumber daya alam, perpindahan tenaga kerja, perpindahan modal, kebijakan pemerintah pusat. Williamson menyatakan bahwa ketersediaan sumber daya alam yang berbeda akan menimbulkan pertumbuhan wilayah yang tidak seimbang pada tahap awal pembangunan. Robinson (1976) dengan hipotesa-U terbalik menyimpulkan bahwa kekuatan hukum ekonomi akan menyeimbangkan kesenjangan antar daerah.

Menurut teori Neo Klasik ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut dapat mencapai keseimbangan kembali dengan sendirinya, karena daerah-daerah tertinggal akan dengan sendirinya konvergen dengan daerah yang lebih maju. Para


(37)

ekonom Neo Klasik seperti Solow (1956), Suan (1956) dan Meade (1961) mengajukan model pertumbuhan dengan menggunakan beberapa asumsi (Sadono Sukirno, 1981) sebagai berikut (1) Full employment; (2) Persaingan sempurna; (3) Komoditi Homogen; (4) Ongkos transportasi nol; (5) Constant return to scale antar wilayah; (6) Supply tenaga kerja tetap; (7) Tingkat teknologi tetap.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka tingkat upah merupakan fungsi langsung dari rasio kapital dan tenaga kerja, sehingga akan terjadi pergerakan tenaga kerja dari daerah yang tingkat upahnya rendah ke daerah yang tingkat upahnya tinggi. Sementara modal bergerak sebaliknya.

Kekuatan konvergensi potensial lainnya (Glasson, 1990) antara lain alokasi sumber daya di daerah yang berangkat dari sektor upah rendah (seperti sektor pertanian) ke sektor dengan upah yang tinggi, dengan produktivitas tinggi akan menaikkan pendapatan rata-rata perkapita serta adanya ciri-ciri kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi yang dapat memperlambat kenaikan pendapatan perkapita di masa mendatang.

Salah satu kelompok hibrida dari teori pertumbuhan regional yang jelas-jelas mengakui bahwa pertumbuhan regional itu mungkin saja bersifat divergen dan bukannya konvergen, adalah teori-teori centre-periphery dari Hirschman, Friedman dan Myrdal (Glasson, 1990). Myrdal dan Hirschman dalam teorinya tentang kesenjangan pembangunan ekonomi menyatakan bahwa kekuatan divergensi adalah lebih kuat daripada kekuatan konvergensi dalam pola pertumbuhan ekonomi. Argumen umum dari teori dapat dijelaskan dengan membandingkan peruntungan dari


(38)

dua daerah, A dan B. Pada mulanya daerah A berkembang lebih cepat daripada B, karena ia mempunyai kemanfaatan-kemanfatan alamiah dan/atau buatan manusia. Akan tetapi bertentangan dengan banyak teori pertumbuhan, divergensi ini mungkin tidak akan hilang dengan sendirinya dan proses ini malahan dapat menjadi kumulatip, di mana yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Menurut Myrdal (Sadono S, 1981) dalam jangka panjang pendapatan perkapita antar daerah cenderung timpang. Perbedaan tersebut menurutnya disebabkan adanya dua faktor yaitu backwash effect dan spread effect. Pembangunan ekonomi antar wilayah akan menimbukan adanya backwash effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekuilibrium. Spread effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antara daerah-daerah kaya dan daerah daerah miskin. Dengan bertumbuhnya daerah kaya, maka bertambah pula permintaannya terhadap produk dari daerah yang tertinggal seperti hasil pertanian dan hasil industri barang konsumsi, dengan demikian akan yang menimbulkan pertumbuhan. Myrdal menyatakan sebab-sebab kurang mampunya daerah terbelakang berkembang secepat daerah yang maju. Hal tersebut disebabkan karena keadaan backwash effect, yang menyebabkan daerah terbelakang menghadapi lebih banyak hambatan dalam mengembangkan ekonominya. Dari masa ke masa daerah yang lebih maju akan menjadi daya penarik bagi penduduk daerah terbelakang, untuk mengadakan migrasi karena adanya keyakinan untuk mendapatkan gaji yang lebih baik/prasarana sosial yang lebih baik di daerah yang lebih maju.


(39)

Pada umumnya yang melakukan migrasi adalah kaum muda, berpendidikan dan berpengalaman cukup dan dengan demikian yang tertinggal di daerah terbelakang adalah golongan penduduk yang tingkat kecakapan maupun produktivitas rendah sehingga menyebabkan potensi yang lebih terbatas dalam menggalakkan pembangunan.

Demikian pula karena ketidaktersediaan institusi finansial dan prospek investasi yang suram akan menggiring kapital keluar menuju daerah yang maju. Berdasarkan keadaan ini, maka penganut teori Cummulative Causation berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar, sehingga perlu dilakukan melalui campur tangan yang aktif dari pemerintah.

Hirschman berkeyakinan bahwa terjadinya konsentrasi pembangunan disebabkan oleh faktor-faktor di daerah maju yang mempengaruhi dan menghambat pembangunan di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang menghambat itu dinamakan

polarization effect, namun juga terdapat kekuatan yang bersumber di daerah maju

yang akan mempengaruhi pembangunan di daerah tertinggal yang disebut tricling

down effect, tetapi kekuatan ini biasanya jauh lebih rendah daripada polarization effect.

Sementara Freedman's (1966) menyatakan bahwa atas dasar kenyataan pada sejarah proses pembangunan spasial menekankan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai kecenderungan untuk berkonsentrasi pada suatu daerah yang diawali oleh arus urbanisasi yang kemudian diikuti oleh pembangunan sarana dan prasarana.


(40)

Perroux menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak merata terjadi di berbagai daerah, tetapi mengelompok pada pusat-pusat pertumbuhan dan hal ini akan menentukan perkembangan ekonomi daerah lain yang lebih lambat perkembangan ekonominya.

Teori Pusat Pengembangan (Growth Poles Theory) akan dapat merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah (Sjafrizal, 1983:15). Teori ini dapat menggabungkan kebijakan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan secara terpadu. Menurut Perroux, konsep pole decroisumce lebih banyak menyangkut konsep economic region daripada

geographic region Karena itu suatu pusat pengembangan seringkali didefinisikan

sebuah suatu konsentrasi industri pada suatu tempat tertentu yang kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan input dan output industri utama. Konsentrasi dan saling keterkaitan adalah merupakan dua factor penting dalam setiap pusat pengembangan karena melalui faktor ini akan dapat diciptakan berbagai bentuk agglomerution

economies yang dapat menunjang pertumbuhan dari industri-industri yang

bersangkutan melalui penurunan ongkos produksi. Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan dari setiap pusat pengembangan dapat dibagi menjadi atas 3 jenis yaitu sebagai berikut:

1. Scale economies yaitu semacam keuntungan yang dapat timbul karena pusat

pengembangan memungkinkan perusahaan industri yang tergabung di dalamnya beroperasi dalam skala besar, karena ada jaminan bahan baku dan pasar.


(41)

2. Locatization economies yang dapat timbul akibat adanya keterkaitan antar

industri, sehingga kebutuhan bahan baku dan pemasaran dapat dipenuhi dengan mengeluarkan ongkos angkut yang minimum.

3. Urbanization economies yang timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan

ekonomi dapat dipergunakan secara bersama sehingga pembebanan ongkos untuk masing-masing perusahaan industi dapat dilakukan serendah mungkin. Kesimpulan yang dihasilkan bahwa bila kegiatan ekonomi yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan lebih cepat dibandingkan kalau tersebar dan berpencar. Dengan demikian bila pusat pengembangan didirikan pada suatu daerah yang relatif masih kurang berkembang dibandingkan daerah-daerah lainnya maka laju pertumbuhan pada daerah-daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan sehingga perbedaan kemakmuran antar wilayah secara bertahap akan tercapai. Akan tetapi kebijaksanaan tersebut tidak jarang malah menimbulkan kepincangan pembangunan wilayah yang makin tinggi.

Kebijaksanaan pusat pengembangan yang dilakukan oleh suatu negara dapat dikatakan berhasil dari segi pandangan nasional tetapi gagal dalam dari sudut pembangunan wilayah. Kebijaksanaan pusat pengembangan yang hanya tertuju pada beberapa tempat saja bila tidak hati-hati dapat memperbesar jurang kemakmuran antara penduduk yang berada di dalam pusat dan dengan yang berada di luarnya. Teori Hechsher-Ohlin (Amirrudin, 1992: 55) yang dikenal sebagai teori H-O menjelaskan pula penyebab kesenjangan antar daerah. Hechsher-Ohlin mencoba


(42)

menjawab mengapa perdagangan cenderung pada suatu wilayah tertentu dan menuju pada polarisasi. Hechsher-Ohlin percaya pada endowment factor yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga daerah mempunyai comparative adventage dibanding yang lain dan ini dapat menaikan pendapatan daerah tersebut. Hilhorst (1968) menyangkal pendapat teori H-O yang menyatakan keunggulan comparative sebagai penyebab terjadinya perdagangan inter-regional. Menurut Hilhorst (Hilhorst

dalam Amirrudin, 1992), ada faktor-faktor lain sebagai penyebab perdagangan

inter-regional misalnya kelancaran transportasi dan komunikasi muncul dan kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan kemudahankemudahan serta adanya jalinan kerjasama antar sesama rekanan usaha. Dengan adanya transportasi dan komunikasi, faktor-faktor produksi yang inmobil (tidak bergerak) diantara dua wilayah mulai hilang dan faktor endowment cenderung merata.

Kebijakan alokasi investasi regional menjadi penting bila tujuan pembangunan wilayah yang dicapai yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, karena dengan hal itu dapat ditentukan prioritas - prioritas yang akan dilaksanakan (Sjafrizal, 1983: 17). Dalam hal pemerataan, Rahman berpendapat bahwa unsur pemerataan pembangunan antar wilayah dapat dipertimbangkan melalui pelaksanaan switching policy. Bila menurut analisa alokasi anggaran perlu lebih banyak diarahkan pada daerah yang relatif maju, maka setelah mencapai titik tertentu maka prioritas alokasi anggaran harus dibelokkan ke daerah yang kurang maju. Dengan demikian unsur pertumbuhan dan unsur pemerataan akan dapat dipertimbangkan secara sekaligus.


(43)

2.4. Investasi

Investasi merupakan penanaman modal di suatu perusahaan tertentu. Penanaman modal bersumber dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal luar negeri. Dengan adanya penambahan investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri maka dapat menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi barang dan jasa meningkat yang pada giliranya akan menyerap angkatan kerja. Sehingga tenaga kerja tersebut memperoleh upah, dan tenaga kerja tersebut mempunyai daya beli. Dengan semakin banyak investasi yang digunakan untuk melakukan proses produksi barang jasa, di mana tenaga kerja dapat diserap lebih banyak juga sehingga terjadi pemerataan pendapatan perkapita (Sadono Sukirno, 1985).

Pemasukan Modal Asing sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Modal Asing membantu dalam industrialisasi, dalam membangun modal overhead ekonomi dan dalam menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas. Modal Asing tidak hanya membawa uang dan mesin tetapi juga keterampilan teknik. Ia membuka daerah-daerah terpencil dan menggarap sumber-sumber baru yang belum dimanfaatkan. Risiko dan kerugian pada tahap perintisan juga ditanggung modal asing. Ia meniadakan problem secara pembayaran dan menurunkan tekanan inflasi. Modal Asing membantu memodernisasi masyarakat dan memperkuat sektor Negara maupun sektor swasta. Penggunaan modal asing dengan demikian penting untuk mempercepat pembangunan ekonomi Negara-negara terbelakang. (Jhingan, 2004).


(44)

2.5. Angkatan Kerja

Besarnya penyediaan atau supply tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Diantara mereka sebagian sudah aktif dalam kegiatannya yang menghasilkan barang dan jasa yang disebut dengan golongan yang bekerja atau employmed persons. Sebagaian lain tergolong siap bekerja dan sedang berusaha mencari pekerjaan yang disebut dengan pencari kerja/penggangur. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja atau labor force (P.J. Simanjuntak, 1985).

Namun setiap negara dapat memberikan pegertian yang berbeda mengenai definisi bekerja dan menganggur, dan definisi itu dapat berubah menurut waktu. Dalam sensus penduduk tahun 1971, orang yang bekerja dengan maksud memperoleh penghasilan paling sedikit dua hari dalam seminggu sebelum hari pencacahan dinyatakan sebagai bekerja. Juga tergolong sebagai bekerja selama seminggu sebelum pencacahan tidak bekerja atau kurang dari dua hari tetapi mereka adalah (1) pekerja tetap pada kantoe pemerintah atau swasta yang sedang tidak masuk kerja karena cuti, sakit, mogok atau magkir; (2) petani-petani yang mengusahakan tanah pertanian yang sedang tidak bekerja karena menunggu panen atau menunggu hujan untuk menggarap swahnya dan (3) orang yang bekerja dalam bidang keahlian seperti dokter, konsultan, tukar cukur, dan lain-lain (P.J. Simanjuntak, 1985).


(45)

2.6. Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah

Dana bantuan pembangunan daerah merupakan salah satu sumber keuangan untuk melakukan pembangunan daerah. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembangunan diperlukan sumber dana. Untuk mencapai keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Bantuan pembangunan yang ditargetkan secara seksama dapat memberikan hasil yang lebih efektif. Bantuan Pembangunan yang diperluas, terutama upaya-upaya yang difokuskan pada kebutuhan dan kesempatan untuk mengurangi kemiskinan secara besar-besaran (Todaro, 2006).

Namun potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marisa dan Hutabarat (1988) serta Nurmanah (1989) mengidentifikasikan bahwa ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, missal dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah. Alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan pengeluaran pembangunan pemerintah pusat ke daerah kabupaten/kota.

Menurut G. Myrdal, dalam buku Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan karangan M.L Jhingan, “mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi


(46)

psikologis, idiologis, sosial, dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah”. Karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh. Menurut Prof. Lewis lingkup itu mencakup “penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalaikan fluktuasi, menjamin pekerjaan penuh dan menentukan laju investasi.”

Penyediaan overhead social dan ekonomi di Negara terbelakang sebagian besar termasuk dalam kegiatan pemerintah. Kebutuhan bagi pelayanan dasar seperti jalan kereta api, transportasi darat, telekomunikasi, gas, listrik, alat-alat irigasi dan sebagainya penting sekali bagi pembangunan masa depan. Pembangunannnya memerlukan investasi besar yang melampaui kemampuan perusahaan swasta di Negara seperti itu (Jhingan, 2004).

2.7. Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat ketimpangan daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson. Perhitungan indeks Wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1. Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks


(47)

Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi (Safrizal, 1997).

2.8. Penelitian Terdahulu

Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah.

Perhitungan ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah di Indonesia dimulai oleh Hendra Esmara (1975), dengan hasil penelitian Diluar Provinsi penghasil migas (Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah) secara umum kesenjangan antar daerah jauh lebih rendah dibanding jika termasuk daerah penghasil migas.

Peneliti lain yang menggunakan kerangka kerja Williamson dalam mengamati kesenjangan regional adalah Sjafrizal (1997), Penelitian mengenai kesenjangan regional di Wilayah Indonesia Bagian Barat dan menyatakan bahwa masalah pokok terjadinya kesejangan adalah: Berhubungan dengan permasalahan dalam pemanfaatan SDA yang tersedia, Menyangkut masalah sosial budaya yang timbul dari tingkah laku dan pola kehidupan masyarakat, Ketiga mengenai pengalokasian anggaran pembangunan.

Budiantoro (2008), melakukan analisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketimpangan


(48)

pembangunan ekonomi diProvinsi Jawa Tengah yang diukur dengan Indeks Williamson dalam kurun waktu 1981sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat.

2.9. Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya pembangunan merupakan perubahan variabel-variabel seperti penduduk, pendapatan perkapita, output selama kurun waktu tertentu dalam suatu daerah yang dibatasi secara jelas. Namun dalam proses pembangunan ekonomi masalah percepatan pertumbuhan ekonomi antar daerah adalah berbeda, sehingga mengakibatkan ketimpangan regional yang tidak dapat dihindari mengingat adanya perbedaan kekayaan sumber daya yang berbeda antar daerah dan dasar pelaksanaan pembangunan itu sendiri serta konsentrasi yang berbeda. Bagi daerah yang terlebih dulu membangun sudah barang tentu lebih banyak menyediakan sarana dan prasarana misalkan iklim usaha yang baik, jasa perbankan yang baik, sehingga menarik minat investor untuk mengadakan investasi. Proses tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan pembangunan antar daerah sebenarnya akibat dari proses pembangunan itu sendiri.

Berdasarkan atas penyebab ketimpangan regional dan tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah dari tahun ke tahun cenderung melebar maka dapat diambil suatu kerangkan pemikiran penelitian yakni ketimpangan pembangunan ekonomi yang dipengaruhi oleh investasi swasta, angkatan kerja dan alokasi dana bantuan pembangunan daerah.


(49)

Investasi swasta berupa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing antar daerah dapat mempengaruhi secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Sumatera Utara. Artinya dengan adananya peningkatan insvestasi swasta akan mengakibatkan kegiatan ekonomi dan peningkatan kemakmuran penduduk sehingga ketimpangan akan menurun.

Jumlah angkatan kerja yang ada dapat mempengaruhi tingkat ketimpangan. Dengan adanya angkatan kerja yang meningkat berarti ada kenaikan kegitan ekonomi dan tingkat kemakmuran, sehingga ketimpangan mengalami penurunan.

Jumlah angkatan kerja mempunyai pengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi. Berarti semakin meningkat angkatan kerja akan menurunkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Dengan dibukanya lapangan kerja baru tentu akan menyerap tenaga kerja baru sehingga jumlah angkatan kerja mengalami kenaikan. Sehingga ada penyerapan angkatan kerja ini yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa lebih besar yang kemudian mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak lagi dan seterusnya, dengan demikian kegiatan ekonomi akan berjalan dengan baik dan ketimpangan ekonomi akan menurun.

Keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Namun pada kenyataannya potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar wilayah. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marisa dan Hutabarat (1988) serta Nurmanah (1989)


(50)

mengidentifikasikan bahwa ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, misal dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah. Alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan pengeluaran pembangunan pemerintah pusat ke daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan uraian dari kerangkan pemikiran maka hubungan antara variabel idependen (bebas) dengan variabel dependen (terikat) dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1. Hubungan Tiga Variabel Independen terhadap Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara

Investasi Swasta

Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

Angkatan Kerja

Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah


(51)

2.10. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang akan menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: Investasi swasta berpengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

H2: Angkatan kerja berpengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

H3: Bantuan pembangunan kabupaten/kota berpengaruh secara negatif


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Dalam penulisan tesis ini, daerah penelitiannya adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik yang terdiri dari data jumlah penduduk, data PDRB Propinsi Sumatera Utara, data PDRB per kabupaten/kota, data investasi swasta, data angkatan kerja, data alokasi dana bantuan pembangunan untuk kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1984 s/d 2009.

3.3. Metode Analisa Data

3.3.1. Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang perkembangan masing-masing daerah dari segi pemerataan pembangunan, dapat diamati dengan menggunakan indeks ketimpangan pembangunan antar daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson. Perhitungan indeks Wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus sebagai berikut (Safrizal, 1997):


(53)

, ……….. (1) Di mana:

Indeks Wiliamson

Pendapatan per kapita masing-masing Kabupaten/Kota Rata – Rata pendapatan perkapita di Provinsi Sumatera Utara

Jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara

Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau . Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi.

3.3.2. Variabel yang Berpengaruh terhadap Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah

Guna memperoleh hasil dari variabel investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, maupun alokasi dana bantuan pembangunan perkapita di Provinsi Sumatera Utara, maka untuk masing-masing variabel tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut: Untuk mengukur variabel investasi swasta per kapita digunakan rumus (Hg. Suseno, 1990):


(54)

Di mana:

Jumlah realisasi Investasi di Provinsi Sumatera Utara Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara

Dan untuk mengukur ratio angkatan kerja diukur dengan rumus (Hg. Suseno, 1990):

………(3)

Di mana:

Jumlah angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara

Dan untuk mengukur dana bantuan perkapita diukur dengan rumus (Hg. Suseno, 1990):

……….. (4)

Di mana:

Jumlah realisasi dana bantuan di Provinsi Sumatera Utara Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara

Dalam menganalisis hubungan antara ketimpangan yang disebabkan oleh investasi swasta, angkatan kerja, dan alokasi dana bantuan pembangunan daerah maka pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara digunakan data time series (Gujarati, 1995). Dengan model ini diharapkan akan diketahui pengaruh variabel idependen


(55)

terhadap variabel dependen (tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi) yang berguna dalam perencanaan pembangunan.

Dari keempat variabel tersebut dapat disusun suatu fungsi Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekomomi yakni:

, ……….. (5) Dari persamaan (5) indeks ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut diperoleh persamaan seperti di bawah ini:

, ……….. (6) Di mana:

Indeks Williamson Provinsi Sumatera Utara

Investasi Swasta di Provinsi Sumatera Utara per kapita. Rasio Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara.

Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah per kapita di Provinsi Sumatera Utara

kosntanta.

koefisien masing-masing dari

t = tahun.


(56)

3.3.3. Uji Asumsi Klasik

Agar mendapatkan prediktor yang tidak bias maka diperlukan evaluasi terhadap dipenuhinya asumsi dari regresi linier klasik yaitu: asumsi normalitas, tidak terdapat autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas.

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dalam penelitian ini digunakan dengan melihat normal probability plot, yang membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan plotting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.

Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deretan waktu) atau ruang (Gujarati, 2003). Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau ganguan ui. Dengan kata lain unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun.

Uji Auto Korelasi merupakan pengujian asumsi dalam regresi di mana variabel dependen tidak berkorelasi dengan dirinya. Maksud korelasi dengan diri


(57)

sendiri adalah bahwa nilai dari variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai variabel sebelumnya, atau nilai periode sesudahnya (Santoso & Ashari, 2005: 240).

Dasar pengambilan keputusannyaadalah sebagai berikut: a. Angka Durbin Watson dibawah -2 berarti ada autokorelasi positif

b. Angka Durbin Watson diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi c. Angka Durbin Watson di atas +2 berarti ada autokorelasi negative

Multikolineritas terjadi jika terdapat hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variabel atau semua variabel independen dalam model. Pada kasus multikolinieritas yang serius, koefisien regresi tidak lagi menunjukan pengaruh murni dari variabel independen dalam model. Multikolinierity berarti adanya hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variabel atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi (Sumarno, 2003; Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik Multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation

Factor) dan Tolerance. Bila nilai VIF lebih kecil dari 10 dan nilai toleransinya di atas

0,1 atau 10% maka dapat disimpulkan dalam model bebas dari penyimpangan asumsi klasik. Multikolinieritas (Ghozali, 2005; Gujarati, 2003).

Asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan (Disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastisitas, yaitu semua standar error mempunyai varian yang sama. Pengujian terhadap gejala Heteroskedastisitas digunakan Glejtser Test (Gujarati, 2003) yaitu dengan cara meregres nilai residual absolute (sebagai variabel terikat) dari perhitungan regresi


(58)

awal dengan semua variabel bebasnya. Bila pengujian secara statistik dari hasil regresi tidak signifikan, ini berarti dalam model tidak terjadi penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas dengan demikian menerima hipotesis homoskedastisitas dan sebaliknya.

Uji Heteroskedastisitas digunakan untuk melihat apakah variabel pengganggu mempunyai varian yang sama atau tidak. Heteroskedastisitas mempunyai suatu keadaan bahwa varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain berbeda. Salah satu metode yang digunakan untuk menguji ada tidaknya heteroskedastisitas akan mengakibatkan penaksiran koefisien-koefisien regresi menjadi tidak efisien. Hasil penaksiran akan menjadi kurang dari semestinya.

Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi linier, yaitu bahwa variasi residual sama untuk semua pengamatan atau disebut homoskedastisitas (Gujarati dalam Elmasari, 2010: 53). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas yaitu dengan melihat grafik Plot antara nilai prediksi variabel terikat (dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada atau tidaknya dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik

scatterplot antara SRESID dan ZPRED di mana sumbu Y adalah Y yang telah

diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y predisi – Y sesungguhnya) yang telah di studentized.


(59)

Dasar analisisnya adalah sebagai berikut:

a. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang melebar kemudian menyempit) maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

3.3.4. Uji Statistik

Untuk menguji apakah variabel investasi swasta, angkatan kerja serta alokasi dana bantuan pembangunan daerah, berpengaruh atau tidak terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara akan diuji dengan uji-t dan uji-F. Pengujian hipotesis secara statistik dinyatakan dengan hipotesa nol yang disebut Ho. Hipotesa nol diuji terhadap hipotesa alternatif yang dinyatakan Ha. Pengujian hipotesa berkenaan dengan prosedur untuk memutuskan apakah menerima atau menolak hipotesis.

1. Uji Parsial

Prosedur pengujian hipotesis diperlukan untuk menguji kebenaran atau dugaan sementara Ho dan hipotesis alternatif (Ha). Kemudian penetuan taraf uji (significancy level) misal 1%, 5% atau 10%. Uji parsial bertujuan untuk membuat kesimpulan mengenai pengaruh masing-masing variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y). Kemudian untuk menerima atau menolak Ho dibuat atas dasar nilai statistik uji-t , yang diperoleh dari data yang dimiliki.


(60)

Di mana:

penaksir koefisien standar deviasi jumlah observasi

jumlah parameter dalam model termasuk intersep, dengan derajat keyakinan dan derajat kebebasan tertentu.

Jika t-hit > t-tabel, maka Ho ditolak, yang berarti variasi-variasi variabel Xi mampu mempengaruhi Variabel Yi.

2. Pengujian secara serentak (Uji simultan)

Pengujian semua koefisien penaksir regresi secara serentak dilakukan dengan uji-F

……….. (8) di mana:

koefisien determinasi

n = jumlah observasi

k = jumlah parameter dalam model termasuk intersep, dengan tingkat keyakinan


(61)

Jika F-hit > F-tabel maka Ho ditolak yang berarti bahwa semua variabel penjelas yang digunakan secara serentak bersama-sama dapat menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang dijelaskan secara nyata.

3.4. Definisi Operasional

Untuk memberikan kesamaan pemahaman terhadap variabel independen maupun variabel dependen dalam penelitian ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara, maka diperlukan suatu definisi operasional variabel, yakni: a. Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi diukur dengan menggunakan rumus Indeks Williamson, di mana pendapatan diukur dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993 untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 1984 sampai tahun 2009. Sedangkan Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < < 1.

b. Investasi Swasta Perkapita

Investasi swasta diperoleh dari jumlah realisasi investasi dalam negeri (Penanaman Modal Dalam Negeri) ditambah dengan realisasi investasi asing (Penanaman Modal Asing). Untuk memperoleh investasi swasta perkapita diukur dari jumlah realisasi investasi swasta dibagi dengan jumlah penduduk Sumatera Utara. Dan investasi swasta dinyatakan dalam jutaan rupiah.


(62)

c. Rasio Angkatan Kerja

Angkatan kerja diukur dari jumlah angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara yang berusia 15 tahun ke atas (BPS Provinsi Sumatera Utara). Untuk memperoleh rasio angkatan kerja diukur dari jumlah angkatan kerja dibagi dengan jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara, yang dinyatakan dalam persentase.

d. Alokasi Dana Bantuan Perkapita

Alokasi Bantuan Pembangunan diukur dari jumlah dana bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang telah dihitung berdasarkan kuota untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan alokasi bantuan pembanguan perkapita yang diukur dari jumlah alokasi bantuan pembangunan dibagi dengan jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara, yang dinyatakan dalam ribuan rupiah.


(63)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi ini merupakan wilayah multi etnis yang dihuni oleh banyak suku bangsa. Seperti Batak, Nias, Jawa dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Provinsi Sumatera Utara terletak pada Lintang Utara dan Bujur Timur. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 .

Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas pesisir timur, pegunungan Bukit Barisan, Pesisir Barat, dan Kepulauan Nias. Dengan Batas Wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Aceh dan Selat Malaka, di sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat, dan Samudera Indonesia, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.

Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relative padat konsestrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.

Di daerah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Tetapi jumlah hunian penduduk paling padat berada di daerah Timur


(64)

Provinsi ini. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.

Sumatera Utara terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota (dahulu kotamadya), 325 Kecamatan, dan 5.456 Kelurahan/Desa. Terdapat 419 pulau di provinsi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah Simuk (Kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka).


(65)

Tabel 4.1. Daftar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

No Kabupaten/Kota Ibu Kota

Kabupaten

1. Nias Gunung Sitoli

2. Mandailing Natal Panyabungan

3. Tapanuli Selatan Sipirok

4. Tapanuli Tengah Pandan

5. Tapanuli Utara Tarutung

6. Toba Samosir Balige

7. Labuhanbatu Rantau Prapat

8. Asahan Kisaran

9. Simalungun Raya

10. Dairi Sidikalang

11. Karo Kabanjahe

12. Deli Serdang Lubuk Pakam

13. Langkat Stabat

14. Nias Selatan Teluk Dalam

15. Humbang Hasundutan Dolok Sanggul

16. Pakpak Barat Salak

17. Samosir Pangururan

18. Serdang Bedagai Sei Rampah

19. Batu Bara Limapuluh

20. Padang Lawas Sibuhuan

21. Padang Lawas Utara Gunung Tua

22. Labuhanbatu Selatan Kota Pinang

23. Labuhanbatu Utara Aek Kanopan

24. Nias Utara Lotu

25. Nias Barat Lahomi

Kota

26. Sibolga -

27. Tanjungbalai -

28. Pematangsiantar -

29. Tebing Tinggi -

30. Medan -

31. Binjai -

32. Padang Sidimpuan -

33. Gunung Sitoli -


(66)

4.2. Pertumbuhan Penduduk

Sumatera Utara merupakan provinsi yang ke empat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. (Wikipedia). Menurut data BPS pada tahun 1984 jumlah penduduk Sumatera Utara 9.230.365 jiwa dan pada tahun 2009, adalah 13.248.386 jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 1984 adalah 126,48 jiwa per dan pada tahun 2009 adalah 181,53 jiwa per . Sedangkan rata-rata pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1984 - 2009 adalah 1,41% per tahun.

Tabel 4.2. Pertumbuhan Penduduk Sumatera Utara Tahun 1984 – 2009 Tahun Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Pertumbuhan (%)

1984 9.230.365 -

1985 9.422.137 2,08

1986 9.613.909 2,04

1987 9.901.862 3,00

1988 10.115.860 2,16

1989 10.330.091 2,12

1990 10.256.027 0,72

1991 10.572.769 3,09

1992 10.685.200 1,06

1993 10.813.400 1,20

1994 10.981.100 1,55

1995 11.145.300 1,50

1996 11.306.300 1,44

1997 11.463.400 1,39

1998 11.754.100 2,54

1999 11.955.400 1,71

2000 11.513.973 3,69

2001 11.722.397 1,81

2002 11.847.076 1,06

2003 11.890.399 0,37

2004 12.123.360 1,96


(67)

2006 12.643.494 2,57

2007 12.834.371 1,51

2008 13.042.317 1,62

2009 13.248.386 1,58

Rata-Rata 1,41

Sumber: BPS Sumatera Utara, data diolah

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Per Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2009

No Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

(Jiwa) %

Kabupaten

1. Nias 444.502 3,36

2. Mandailing Natal 429.889 3,24 3. Tapanuli Selatan 265.855 2,01

4. Tapanuli Tengah 323.563 2,44

5. Tapanuli Utara 271.474 2,05

6. Toba Samosir 174.453 1,32

7. Labuhanbatu 417.584 3,15

8. Asahan 700.606 5,29

9. Simalungun 859.879 6,49

10. Dairi 273.851 2,07

11. Karo 370.619 2,80

12. Deli Serdang 1.788.351 13,50

13. Langkat 1.057.768 7,98

14. Nias Selatan 273.733 2,07

15. Humbang Hasundutan 158.070 1,19

16. Pakpak Barat 42.814 0,32

17. Samosir 132.023 1,00

18. Serdang Bedagai 642.983 4,85

19. Batu Bara 389.510 2,94

20. Padang Lawas 186.643 1,41

21. Padang Lawas Utara 194.774 1,47 22. Labuhanbatu Selatan 280.562 2,12 23. Labuhanbatu Utara 351.620 2,65

24. Nias Utara - -

25. Nias Barat - -

Kota

26. Sibolga 96.034 0,72


(1)

Variables Entered/Removed

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Dana Bantuan

Pembangunan Perkapita, Rasio Angkatan Kerja, Investasi Perkapitaa

. Enter


(2)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression .071 3 .024 29.910 .000a

Residual .017 22 .001

Total .088 25

a. Predictors: (Constant), Dana Bantuan Pembangunan Perkapita, Rasio Angkatan Kerja, Investasi Perkapita

b. Dependent Variable: Indeks Ketimpangan

Coefficientsa

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

Durbin-Watson R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change


(3)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Correlations Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Zero-order Partial Part Tolerance VIF

1 (Constant) .486 .106 4.603 .000

Investasi Perkapita 3.042E-7 .000 .438 3.137 .005 .787 .556 .297 .459 2.179 Rasio Angkatan Kerja -.005 .003 -.204 -1.803 .085 .337 -.359 -.171 .701 1.426 Dana Bantuan

Pembangunan Perkapita

1.465E-7 .000 .628 4.478 .000 .839 .691 .424 .455 2.198

a. Dependent Variable: Indeks Ketimpangan


(4)

Model Dana Bantuan Pembangunan Perkapita Rasio Angkatan Kerja Investasi Perkapita 1 Correlations Dana Bantuan Pembangunan

Perkapita

1.000 -.246 -.621

Rasio Angkatan Kerja -.246 1.000 -.229

Investasi Perkapita -.621 -.229 1.000

Covariances Dana Bantuan Pembangunan Perkapita

1.070E-15 -2.233E-11 -1.969E-15

Rasio Angkatan Kerja -2.233E-11 7.674E-6 -6.160E-11 Investasi Perkapita -1.969E-15 -6.160E-11 9.401E-15 a. Dependent Variable: Indeks Ketimpangan

Collinearity Diagnosticsa

Model

Dimensi

on Eigenvalue Condition Index

Variance Proportions (Constant) Investasi Perkapita Rasio Angkatan Kerja Dana Bantuan Pembangunan Perkapita


(5)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value .2954 .4841 .3431 .05322 26

Std. Predicted Value -.896 2.650 .000 1.000 26 Standard Error of Predicted

Value

.007 .022 .010 .003 26

Adjusted Predicted Value .3004 .5185 .3442 .05656 26

Residual -.03997 .05141 .00000 .02635 26

Std. Residual -1.423 1.830 .000 .938 26

Stud. Residual -1.514 1.920 -.015 1.017 26

Deleted Residual -.05845 .05660 -.00114 .03164 26 Stud. Deleted Residual -1.563 2.057 -.014 1.040 26

Mahal. Distance .397 13.723 2.885 2.888 26

Cook's Distance .000 .636 .057 .125 26

Centered Leverage Value .016 .549 .115 .116 26 a. Dependent Variable: Indeks Ketimpangan


(6)