Pengaruh Sistem Pemeliharaan Ternak Intensif dan Semi Intensif Terhadap Prevalensi Nematoda Gastrointestinal Pada Kambing

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kambing
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing
ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami
tersebar di Asia, Turki dan Eropa. Ciri-ciri kambing antara lain memiliki bulu
pendek dan berwarna tunggal (putih, hitam dan coklat). Ada yang warna bulunya
berasal dari campuran ketiga warna tersebut. Kambing jantan maupun betina
memiliki tanduk namun tanduk pada jantan lebih besar. Kambing juga memiliki
telinga pendek. Janggut selalu terdapat pada jantan, sementara pada betina jarang
ditemukan. Leher pendek dan punggung melengkung (Pamungkas dkk. 2008).
Dalam klasifikasi biologi, kambing digolongkan dalam kelompok binatang
menyusui, suku ruminansia, anak suku kambing-kambingan (Caprinidae).
Kelompok anak suku itu masih dibagi-bagi lagi dalam kelompok yang lebih
kecil, yaitu terbagi dalam 11 genus. Kambing yang tersebar di alam dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kambing liar dan kambing ternak (Sarwono,
2011).


Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

5

Klasifikasi kambing menurut Linnaeus (1758):
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Artiodactyla


Famili

: Bovidae

Genus

: Capra

Spesies

: Capra aegagrus

Sub Spesies : Capra aegagrus hircus
Kambing yang ada di Indonesia dan dinyatakan sebagai kambing asli
Indonesia adalah: (a) Kambing Kacang, (b) Kambing Peranakan Ettawa (PE),
merupakan tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu; (c) Kambing
Marica, terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, merupakan kambing asli Indonesia
dan tipe pedaging, menurut laporan FAO kambing ini sudah termasuk kategori
langka dan hampir punah (endangered); (d) Kambing Samosir, kambing ini

dipelihara di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, propinsi Sumatera Utara; (e)
Kambing Muara, merupakan tipe pedaging dijumpai di daerah Kecamatan Muara,
Kabupaten Tapanuli Utara propinsi Sumatera Utara; (f) Kambing Kosta, lokasi
penyebaran di sekitar Jakarta dan propinsi Banten. (g) Kambing Gembrong,
berasal dari daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama di Kabupaten
Karangasem; dan (h) Kambing Benggala (Pamungkas dkk. 2008).
Kambing merupakan bagian penting dari sistem usahatani bagi sebagian
petani di Indonesia, bahkan di beberapa negara Asia, dan tersebar luas masuk ke
dalam berbagai kondisi agroekosistem, dari daerah dataran rendah di pinggir
pantai sampai dataran tinggi di pegunungan. Tidak jarang ditemui pemeliharaan
ternak kambing di pinggiran kota dan bahkan di tengah-tengah kota. Hal ini
didukung oleh karena ternak kambing adaptif dengan berbagai kondisi agrosistem
dan tidak mempunyai hambatan sosial, artinya dapat diterima oleh semua
golongan masyarakat (Sutama, 2011).

6

2.2. Pakan
Pakan ternak adalah makanan atau asupan yang diberikan kepada ternak yang
merupakan sumber energi dan materi bagi pertumbuhan ternak itu sendiri. Pakan

ternak terdiri atas hijauan-hijauan seperti dedaunan tertentu dan rumput. Pakan
yang berkualitas adalah pakan yang kandungan protein, lemak, karbohidrat
mineral dan vitaminnya seimbang (Kusumastuti dkk. 2010). Pakan ternak
kambing merupakan semua bahan pakan ternak yang bisa digunakan untuk
mencukupi kebutuhan hidup pokok dan bereproduksi, tidak meracuni atau
membuat ternak mati (Kahar, 2014).
Pakan dapat diberikan dua kali sehari (pagi dan sore), sedang untuk
volume kira-kira berat hijauan 10% dari berat badan kambing. Air minum
kambing jumlahnya kira-kira 1,5 – 2,5 liter per ekor per hari, dan dicampur
dengan garam berjodium secukupnya. Kambing yang sedang hamil, induk
menyusui, dan pejantan yang sering dikawinkan perlu ditambahkan makanan
penguat sebanyak 0,5 – 1 kg/ekor/hari (Seftiarini, 2011). Konsumsi pakan yang
cukup (jumlah dan kualitasnya) akan menentukan mampu tidaknya ternak tersebut
mengekpresikan

potensi

genetik

yang


dimilikinya.

Bagi

ternak

yang

digembalakan pemenuhan gizi sebagian besar/semuanya tergantung dari ternak itu
sendiri. Bagi ternak yang dikandangkan, pemenuhan gizinya tergantung dari
petani. Setiap ekor kambing harus mendapat pakan hijauan segar sekitar 10%
berat badannya. Pakan hijauan tersebut dapat berupa rumput, legum, dan limbah
hasil pertanian (jerami kedelai, kacang panjang, kacang tanah, daun jagung dan
lain-lain) (Sutama, 2011).
Pakan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi produktivitas
ternak. Kondisi pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan,
menyebabkan produktivitas ternak menjadi rendah, antara lain ditunjukkan oleh
laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah (Martawidjaja dkk. 1999).
Pemberian konsentrat pada kambing diharapkan mampu menaikkan berat badan

kambing. Konsentrat umumnya mengandung bahan kering dan zat-zat makanan
seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin-vitamin. Pemberian
konsentrat tergantung pada mutu hijauan yang diberikan. Makin tinggi kualitas
hijauan, makin sedikit zat-zat makanan yang disuplai dari konsentrat, kenaikan

7

produktivitas ternak kemungkinan hanya dapat dilakukan dengan pemberian
konsentrat yang bermutu tinggi (Rudiah, 2011).
Kebutuhan nutrisi kambing berbeda-beda sesuai dengan kondisi umur,
status fisiologi dan tingkat produktivitasnya. Pemberian pakan yang tepat akan
menjaga keseimbangan kondisi rumen sehingga dapat membantu

proses

pencernaan di dalam rumen berjalan baik. Pakan diberikan beberapa kali dengan
jumlah yang tercukupi. Semakin banyak jenis pakan yang diberikan akan semakin
baik karena sifat saling melengkapi diantara bahan-bahan pakan tersebut
(Sarwono, 2011).


2.3. Kandang
Kandang merupakan tempat beristirahat dan berteduh bagi kambing. Kandang
yang baik berfungsi memudahkan dalam pemeliharaan ternak sehari-hari, seperti
pemberian pakan dan minuman, serta pengendalian penyakit. Kandang juga
berfungsi sebagai pelindung ternak dari hewan-hewan lain yang mengganggu,
sengatan panas matahari, hujan, dan suhu dingin (Sarwono, 2011).
Kandang kambing secara umum memiliki fungsi yang serupa dengan
rumah atau merupakan tempat untuk tinggal bagi ternak. Menurut Seftiarini
(2011), membangun kandang kambing memiliki tujuan agar kambing nyaman dan
bisa bereproduksi secara normal, dan kandang hendaknya memiliki fungsi sebagai
berikut:
a. Tempat aktivitas kambing, seperti makan, tidur, minum dan lain sebagainya.
b. Tempat berlindung dari panas, hujan,dan terpaan angin.
c. Tempat berlindung dari pemangsa atau hewan penggangu lainnya.
d. Pencegah liarnya kambing atau menghindarkan kambing untuk memakan dan
merusak tanaman.
Menurut Rismaniah (2001), kandang merupakan tempat yang digunakan
oleh kambing untuk hidup dan berkembang biak. Ada beberapa macam tipe
kandang diantaranya:


8

a. Kandang koloni: ternak kambing ditempatkan dalam satu kandang, kandang
seperti ini akan menimbulkan perkawinan yang tidak direncanakan, terjadi
perkelahian yang dapat menimbulkan cedera dan persaingan makanan.
b. Kandang

kelompok:

ternak

kambing

dikelompokkan

berdasarkan

umur/ukuran tubuh, dipisahkan antara anak, dan dewasa. Kandang seperti ini
sangat cocok untuk usaha pembibitan kambing.
c. Kandang individu: kandang individu merupakan kandang pemisahan/

penempatan ternak satu ekor setiap satu kandang, kandang ini sangat cocok
untuk usaha penggemukan.
Dalam membangun kandang harus memperhatikan kondisi, konstuksi, dan
perlengkapan kandang. Kondisi kandang adalah bentuk atau model kandang yang
bias membantu ternak terhindar dari gangguan alam secara langsung seperti
hembusan angin, terpaan hujan, dan sengatan terik matahari. Konstruksi kandang
yang baik adalah kokoh, kuat, dan tahan lama. Kandang yang baik adalah kandang
yang memiliki ventilasi yang baik, dinding yang kuat dan baik, atap tidak bocor,
serta lantai yang tidak mudah lembab. Perlengkapan kandang sangat dibutuhkan
dalam rangka mempermudah pemeliharaan ternak kambing. Perlengkapan ternak
kambing yang dibutuhkan saat pemeliharaan yaitu tempat pakan, tempat minum,
tempat kompos, pintu kandang, tangga, dan ruang utama (Sarwono, 2011).

2.4. Sistem Pemeliharaan
Dalam sistem pemeliharaan ternak, dikenal atas dua macam sistem pemeliharaan
yang digunakan yaitu, sistem pemeliharaan semi intensif dan sistem pemeliharaan
secara intensif (Sarwono, 2011).

2.4.1. Sistem Semi Intensif
Sistem semi intensif adalah gabungan atau kombinasi antara sistem ekstensif dan

intensif. Proporsi pakan hijauan diperoleh dari penggembalaan saat bahan organik
berlimpah sehingga tidak harus dikandangkan. Kambing digembalakan siang hari
dan malamnya dikandangkan sambil diberikan pakan konsentrat.

9

Beternak kambing secara semi intensif adalah kegiatan pemeliharaan
kambing dengan sistem pemeliharaan yang dilakukan secara teratur dan baik.
Selain itu pemilik menyediakan kandang untuk hunian dan sebagai tempat tidur
ternaknya pada malam hari. Cara penggembalaannya yaitu kambing digembalakan
di padang rumput pada sore hari pukul 4 sore dan dikandangkan kembali pada
malam hari pukul 7 malam. Menurut Aswar (2014), pelepasan ternak pada siang
hari bertujuan untuk memanfaakan sinar matahari, untuk menjaga aktivitas otot,
dan memanfaatkan rerumputan di padang penggembalaan.

2.4.2. Sistem Intensif
Sebagaimana usaha ternak pada umumnya, pemeliharan kambing juga
memerlukan pengelolaan yang serius. Hal tersebut tidak lain agar hasil yang
diharapkan dapat tercapai secara optimal (Sarwono, 2011). Kambing yang
diternakan secara intensif membutuhkan perhatian penuh dari pemiliknya.

Perhatian tersebut diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari, baik yang dilakukan
secara rutin berupa pemberian makanan, pemberian air minum pembersihan
kandang dan pemberian obat-obatan maupun insidental. Agar ternak selalu merasa
nyaman menjalani masa pemeliharaanya maka perlu dibuatkan kandang yang
intensif (Kahar, 2014).
Kelebihan sistem pemeliharaan intensif mendapatkan perhatian penuh dari
peternak. Perawatan rutin yang dilakukan meliputi : a) pembersihan kandang, b)
pengumpulan kotoran dan c) penyediaan pakan hijauan, pakan tambahan dan air
minum. (Mulyono & Sarwono, 2008).

2.5. Nematoda
2.5.1. Karakteristik Nematoda
Nematoda mempunyai bentuk tubuh silindris atau bulat panjang (gilik),
dan tidak bersegmen. Bagian dari anterior atau daerah mulut tampak simetri
radial, dan bagian dari posterior membentuk ujung yang meruncing.

Cacing

betina berukuran lebih besar yang dibandingkan dengan cacing jantan. Cacing
jantan mempunyai ujung posterior yang berbentuk kait. Permukaan tubuh cacing

10

nematoda dilapisi kutikula untuk melindungi diri. Kutikula ini lebih kuat pada
cacing parasit yang hidup di inang daripada yang hidup bebas. Kutikula berfungsi
untuk melindungi dari enzim pencernaan inang. Cacing nematoda mempunyai
saluran pencernaan dan rongga badan. Mulut terdapat pada ujung anterior,
sedangkan anus terdapat pada ujung posterior (Levine, 1994).

2.5.2. Siklus Hidup Nematoda
Siklus hidup nematoda mengikuti pola standar yang terdiri dari telur, empat
stadium larva, dan cacing dewasa. Larva cacing nematoda biasa disebut juvenile
karena cacing ini mirip dengan cacing dewasa. Nematoda kadang-kadang
mempunyai hospes perantara tergantung pada jenisnya. Jika tidak terdapat hospes
perantara, termasuk dalam siklus hidup langsung. Sedangkan jika memiliki hospes
perantara, termasuk dalam siklus hidup tidak langsung (Levine, 1994).
Siklus hidup nematoda dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing
betina dewasa dalam hospes definitif dan dikeluarkan bersama feses. Telur
berembrio akan berkembang menjadi Larva 1 (L1), yang kemudian berkembang
menjadi Larva 2 (L2). Larva 2 (L2) akan berkembang menjadi Larva 3 (L3) yang
merupakan fase infektif. Perkembangan telur menjadi larva infektif tergantung
pada temperatur. Pada kondisi di bawah normal (kelembaban tinggi dan
temperatur hangat), proses perkembangan memerlukan waktu 7-10 hari.
Ruminansia terinfeksi dengan menelan Larva 3 (L3). Sebagian besar larva tertelan
saat merumput dan masuk ke dalam abomasum atau usus. Beberapa hari
berikutnya Larva 3 (L3) menetas menjadi Larva 4 (L4). Setelah 10-14 hari
kemudian berkembang menjadi cacing dewasa (Setiawan, 2008).

2.6. Nematoda Gastrointestinal Pada Ruminansia
Nematoda gastrointestinal merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat
pada saluran pencernaan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba,
kuda, babi dan mamalia lainnya.

Tanda klinis hewan yang terinfeksi cacing

adalah kurus, bulu kusam, tidak nafsu makan, serta kematian yang akut pada

11

hewan-hewan muda (Beriajaya, 2005). Keberadaan parasit saluran pencernaan
pada suatu daerah tertentu sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain;
curah hujan, kelembaban dan temperatur (Batubara, 2006).
Parasit yang terdapat pada kambing diantaranya berasal dari kelompok
nematoda. Nematoda pada tubuh domba dan kambing dapat berada pada kulit,
sistem pernapasan, maupun saluran pencernaan (Levine, 1994). Nematoda yang
hidup di saluran pencernaan disebut nematoda gastrointestinal (Dhewiyanti dkk.
2015). Di dalam sistem penggembalaan ternak modern, perhatian utama untuk
mencegah terjadinya infeksi cacing adalah meminimalisir jumlah larva infektif di
padang penggembalaan. Sistem ini umumnya dicapai dengan pemberian
antelmentika secara rutin (Coles et al. 2006).
Haemonchus sp., Trichostrongylus sp. dan Oesophagostomum sp.
merupakan jenis nematoda yang sering menyerang ternak ruminansia.
(Haryuningtyas & Beriajaya, 2002). Cacing ini mempunyai siklus hidup yang
langsung tanpa inang perantara. Cacing dewasa hidup di dalam abomasum dan
usus sedangkan telur dan larva cacing hidup di luar tubuh hewan yaitu di rumput
dan hijauan. Larva tiga merupakan larva infektif yang tertelan oleh hewan
sewaktu hewan memakan rumput. Larva ini kemudian berkembang menjadi larva
4 dan kemudian menjadi larva 5 dan selanjutnya menjadi cacing muda (Soulsby,
1982).
Faktor penyebab timbulnya penyakit karena adanya interaksi antara hospes
(ternak), agen penyakit (infeksi cacing) dan lingkungan. Lingkungan menentukan
pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen
penyakit. Pada lingkungan yang lembab, tingkat infeksi cacing pada ternak cukup
tinggi. Telur-telur cacing masuk ke dalam tubuh ternak melalui hijauan yang
dikonsumsi dan berkembang dalam saluran pencernaan (Andrianty, 2015).