Persepsi Pemilih Pemula Terhadap Partai Politik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemilih pemula merupakan pengkategorian terhadap kelompok muda yang
baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Sebenarnya di Indonesia, anggota TNI/Polri yang baru saja pensiun dan
mendapatkan hak pilihnya sebagai warga negara juga dikategorikan sebagai
pemilih pemula. Namun hal tersebut sangatlah terbatas dan tidak mencakup
pengertian pemilih pemula secara umum dikarenakan mereka baru mendapatkan
hak pilih karena kondisi tertentu. Pada umumnya pemilih pemula adalah para
pelajar, mahasiswa semester awal dan kelompok muda lainnya yang menurut
undang-undang telah memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilihan umum.
Pemisahan kelompok muda tersebut menjadi pemilih pemula memiliki
alasan tersendiri. Pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pemilih lain pada umumnya. Karakter khas pemuda seperti kritis, ingin
mencoba/penasaran dengan hal-hal baru, independen, pro perubahan dan karakterkarakter lainnya yang tidak lagi ditemukan pada orang dewasa yang telah mapan
dan biasanya telah memiliki pilihan menjadi nilai tersendiri bagi pemilih pemula.
Karakter-karakter tersebut cukup mumpuni untuk membangun komunitas generasi
pemilih cerdas. Hal ini disebabkan karakter yang ada menyebabkan pemuda
memiliki pertimbangan rasionalitas yang lebih terhadap kondisi kekinian.

Namun dikarenakan belum adanya pengalaman memilih didalam pemilu,
pemilih pemula perlu mengetahui dan memahami terlebih dahulu berbagai hal
yang terkait dengan pemilu. Seperti misalnya apa itu pemilu, mengapa perlu
adanya pemilu, bagaimana tahapan-tahapan dan cara berpartisipasi dalam pemilu,
siapa saja yang berhak menjadi peserta pemilu dan hal-hal lainnya yang berkaitan

Universitas Sumatera Utara

dengan pemilu seperti partai politik sebagai peserta pemilu. Pertanyaanpertanyaan itu penting untuk diajukan agar pemilih pemula menjadi pemilih yang
cerdas dalam menentukan pilihannya dalam pemilu.
Diperkirakan dalam setiap pemilu, jumlah pemilih pemula sekitar 20-30%
dari keseluruhan jumlah pemilih dalam pemilu. Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih
pemula sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih. Pada Pemilu 2009 sekitar 36 juta
pemilih dari 171 juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia 15-19 tahun:
20.871.086 orang, usia 20-24 tahun: 19.878.417 orang. Dengan demikian, jumlah
pemilih muda sebanyak 40.749.5035 orang.1 Jumlah itu sangat besar dan bisa
menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi
dalam pemilihan umum. Dengan demikian, jangan sampai hak mereka sebagai
warga negara menjadi tidak berarti dikarenakan kesalahan-kesalahan yang bersifat
teknis dan tidak diharapkan. Seperti tidak bisa menggunakan hak pilihnya dalam

pemilu karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan kesalahan lainnya.
Dalam pemilu, satu suara sangat mempengaruhi kemenangan politik,
apalagi jumlahnya mencapai jutaan seperti pemilih pemula. Maka dalam setiap
pemilu, pemilih pemula selalu menjadi rebutan oleh berbagai kekuatan politik.
menjelang pemilu biasanya partai politik dan peserta pemilu lainnya membuat
program dan propaganda yang ditujukan untuk menarik minat pemilih pemula.
Berbagai kegiatan hingga membentuk sebuah komunitas dikalangan muda agar
mereka mau memberikan dukungan dan suara kepada kandidat serta partai
tertentu. Tujuannya tidak lain adalah agar mereka mendapatkan jumlah suara yang
signifikan untuk memenangkan pemilu.
Pihak manapun yang mendapatkan dukungan dari kalangan pemilih
pemula akan merasakan keuntungan yang tidak sedikit. Dukungan yang ada
secara tidak langsung akan melahirkan pencitraan positif bagi partai maupun

1

Sumarno. Modul Pendidikan Pemilih Untuk Pelajar SMA, SMK dan MAN: Panduan Pemilu Untuk Pemula.
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta. 2011. hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


kandidat peserta pemilu lainnya. Setidaknya proses regenerasi kader politik yang
membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, dapat teratasi dengan
dirangkulnya kalangan pemilih pemula. Apabila tidak adanya dukungan dari
pemilih pemula, maka akan sangat merugikan sebenarnya bagi keberlangsungan
proses yang ada dalam sebuah partai maupun dampak langsung dalam pemilu,
kehilangan sumber suara potensial dengan jumlah yang signifikan.
Namun seharusnya objek kajian politis yang ada haruslah tidak berhenti
sampai tahap hitungan suara tersebut. Pembahasan yang lebih jauh sebenarnya
harus memperhatikan dengan mendalam tentang kerangka pendidikan politik yang
mencerdaskan. Perlu adanya perspektif yang dibenahi dalam menempatkan
kalangan pemilih pemula pada ruang lingkup politik yang lebih luas. Hal tersebut
adalah bagaimana meletakkan pemuda sebagai subjek pendidikan politik itu
sendiri. Selama ini kalangan pemilih pemula tersebut hanyalah sebagai objek
politik, sebagaimana masyarakat lain pada umumnya. Mereka dilihat hanya
sebagai lumbung suara dalam memenangkan pemilu, tidak lebih. Fakta yang dapat
ditemui adalah kegiatan memilih dalam pemilu dilakukan secara asal, yaitu tanpa
adanya pemahaman dan kesadaran

berpolitik. Hal ini menunjukkan belum


tercapainya kesadaran politik, tanpa mengenyampingkan progress yang sedang
berjalan.
Akibatnya bisa dirasakan ketiadaan kesadaran politik yang hadir disetiap
kenampakan partisipasi yang mereka lakukan. Hal ini tidak lebih dari sekedar aksi
ritual yang lebih mensyaratkan untuk digugurkan, tanpa makna, semoga bukan
sebagai aksi apatisme akut akibat kejenuhan emosional. Selama sudut pandang ini
tidak mengalami perubahan, sudah bisa dipastikan hanya akan memicu lahirnya
“eksploitasi politik” dikalangan pemilih pemula ini. Selamanya mereka hanya
akan menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari sekelompok golongan
yang menginginkan dukungan suara semata. Beberapa bulan terakhir telah begitu
banyak partai politik yang telah menetapkan kalangan pelajar, pemilih pemula,
sebagai target dukungan suara. Partai-partai politik secara terbuka mensosialisikan

Universitas Sumatera Utara

dirinya melalui media massa menyatakan siap merangkul kalangan ini. Fasilitas
yang dikhususkan untuk kalangan pemuda disiapkan sedemikian rupa
memungkinkan mereka untuk berekspresi sesuai minat dan hobi. Secara
mengejutkan beberapa partai politik telah menyiapkan serangkaian program yang

cukup fantastis untuk bisa menarik minat pelajar untuk terlibat secara aktif.2
Temuan Lembaga Peduli Remaja (LPR) Kriya Mandiri Solo yang
melakukan jajak pendapat pada pemilih pemula di Kota Solo tanggal 19 Februari
2009, dapat menjadi cerminan dampak yang ditimbulkan akibat pola yang terjadi
pada pemilih pemula saat ini. Menurut survei LPR, potensi golput pemilih pemula
di Solo cukup tinggi. Dari 340 responden yang dipilih secara acak dari sepuluh
SMA dan SMK di Solo, hanya 21,49% saja yang menyatakan siap memberikan
suara. Sisanya 60,51% menyatakan belum yakin apakah akan memilih atau tidak,
artinya berpotensi golput, dan 18% dengan tegas menyatakan tidak memilih. Hasil
survei juga menunjukkan 67,55% pemilih pemula belum mengetahui secara persis
tahapan dan sistem pemilu. Tidak hanya itu, sebanyak 76,40% bahkan mengaku
tidak tahu jumlah kontestan partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
ketertarikan pemilih pemula untuk berpartisipasi pada Pemilu 2009 lalu masih
sangat rendah. Sikap ini terlihat dari 91,01% responden menyatakan tidak
bersedia turut serta dalam kegiatan kampanye.3
Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa adanya bagian yang hilang
dalam proses yang seharusnya berjalan. Partai politik dan peserta pemilu hanya
menjadikan kalangan pemilih pemula sebagai objek politik untuk memenangkan
pemilu tanpa adanya pendidikan politik yang mencerdaskan. kurangnya
pemahaman dan kesadaran dalam memilih serta pengetahuan akan proses pemilu

itu sendiri kemudian menjadikan kalangan pemilih pemula berpotensi besar untuk
bersikap apatis. Padahal masa depan Demokrasi Indonesia bergantung pada tiga
2

Sekretariat Jenderal KPU. Modul 1: Pemilu Untuk Pemula. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. 2010. hal.

49.
3

Sumarno. Op. Cit. hal. 6-7.

Universitas Sumatera Utara

hal ini, pemilih pemula, partai politik/peserta pemilu serta hubungan yang terjadi
diantara keduanya. Menjadi menarik untuk diteliti berdasarkan uraian diatas
bagaimana persepsi pemilih pemula terhadap partai politik dengan keadaaan yang
demikian.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan sebelumnya pada latar belakang, partai politik
memiliki peran penting di dalam Demokrasi. Keadaan partai politik dalam proses

Demokratisasi suatu negara menentukan bagaimana sistem Demokrasi di negara
tersebut nantinya. Khususnya di Indonesia dengan berbagai permasalahan yang
ada, masyarakat sebagai warga negara mulai kehilangan kepercayaannya terhadap
partai politik. Penting untuk mengetahui bagaimana pandangan generasi muda
dikarenakan dengan keadaan seperti ini, ke arah mana perkembangan Demokrasi
Indonesia nantinya masih menjadi tanda tanya besar. Maka masalah yang
dirumuskan dalam penelitian ini adalah “bagaimana persepsi pemilih pemula
terhadap partai politik?”
C. Batasan Masalah
Untuk menjaga fokus penelitian, perlu ditetapkan batasan-batasan
permasalahan yang akan diteliti agar tidak melebar sehingga menyebabkan tujuan
daripada penelitian itu sendiri tidak tercapai. Batasan-batasan masalahnya adalah:
1. Penelitian ini menetapkan objek penelitian pada siswa kelas tiga Sekolah
Menegah Atas Negeri yang ada di Kota Medan
2. Penelitian ini mengindikasikan rentang waktu responden dikategorikan
sebagai pemilih pemula pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014
3. Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana persepsi pemilih pemula
tentang partai politik peserta Pemilihan Umum tahun 2014

Universitas Sumatera Utara


D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya persepsi pemilih pemula terhadap partai politik. Hal ini
terkait dengan partai politik yang berperan besar dalam sebuah sistem Demokrasi.
Namun keadaan partai politik itu sendiri di Indonesia mulai kehilangan
kepercayaan oleh masyarakat. Sehingga nantinya dapat diputuskan apakah perlu
adanya langkah-langkah tertentu yang harus diambil dalam menyikapi generasi
muda sekarang untuk melanjutkan proses Demokratisasi di negara ini terkait
dengan hasil penelitian ini nantinya.
E. Signifikansi Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan sebaiknya memiliki manfaat, baik itu besar
maupun kecil dampaknya. Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya
penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini dijadikan penulis sebagai sarana untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dan kompetensi dalam menulis karya ilmiah
sekaligus sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata Satu di
Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Penelitian ini secara akademis diharapkan dapat menambah objek kajian
penelitian ilmu politik khususnya di Departemen Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara serta menjadi salah satu sumber referensi bagi penelitianpenelitian berikutnya.
F. Kerangka Teori
Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

Universitas Sumatera Utara

pesan.4 Persepsi timbul karena adanya dua faktor baik internal maupun eksternal.
Faktor internal antaranya tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk di
dalamnya sistem nilai tujuan, kepercayaan dan tanggapannya terhadap hasil yang
dicapai. Faktor eksternal berupa lingkungan.5 Persepsi pada hakikatnya adalah
proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi
tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan,
perasaan, penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada
pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap
situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.6
Menurut pendapat David Krech secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu
gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari
kenyataannya. Menurut Fred Luthans persepsi itu adalah lebih kompleks dan luas

kalau dibandingkan dengan penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu interaksi
yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan, dan penafsiran. Walaupun persepsi
sangat bergantung pada penginderaan data, proses kognitif barangkali bisa
menyaring, menyederhanakan, atau mengubah secara sempurna data tersebut.
Dengan kata lain proses persepsi dapat menambah, dan mengurangi kejadian
senyatanya yang diinderakan oleh seseorang.7
Ada beberapa subproses dalam persepsi ini, dan yang dapat dipergunakan
sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif.
Subproses pertama yang dianggap penting ialah stimulus, atau situasi yang hadir.
Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu
situasi atau suatu stimulus. Situasi yang dihadapi itu mungkin bisa berupa
stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan

4

Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007. hal. 51.
Miftah Thoha. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2010.
hal. 139.
6 Ibid. hal. 142.
7 Ibid. hal. 143-144.


5

Universitas Sumatera Utara

sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses selanjutnya adalah registrasi,
interpretasi, dan umpan balik (feedback). Dalam masa registrasi suatu gejala yang
nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang
terpengaruh, kemampuan fisik untuk mendengar dan melihat akan mempengaruhi
persepsi.
Dalam hal ini seseorang mendengar atau melihat informasi terkirim
kepadanya. Mulailah ia mendaftar semua informasi yang terdengar atau terlihat
padanya. Setelah terdaftarnya semua informasi yang sampai kepada seseorang
subproses berikut yang bekerja ialah interpretasi. Interpretasi merupakan aspek
kognitif dari persepsi yang amat penting. Proses interpretasi ini tergantung pada
cara pendalaman (learning), motivasi, dan kepribadian seseorang. Pendalaman,
motivasi dan kepribadian seseorang akan berbeda dengan orang lain. Oleh karena
itu, interpretasi terhadap sesuatu informasi yang sama , akan berbeda antara satu
orang dengan orang lain. Disinilah letak sumber perbedaan pertama dari persepsi,
dan itulah sebabnya mengapa interpretasi merupakan subproses yang penting.
Subproses terakhir adalah umpan balik (feedback). Subproses ini dapat
mempengaruhi persepsi seseorang.8
Faktor-faktor

yang

dapat

mempengaruhi

pengembangan

persepsi

seseorang antara lain:9
1. Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologi.
2. Famili
Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya.
Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus didalam

8
9

Ibid. hal. 145-146
Ibid. hal. 147-148

Universitas Sumatera Utara

memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsipersepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah
satu faktor yang kuat didalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang
memandang dan memahami keadaan dunia ini.
Adapun prinsip-prinsip pemilihan persepsi berdasarkan faktor-faktor
perhatian dari luar juga dapat mempengaruhi proses seleksi persepsi yaitu:10
1. Intensitas
Prinsip intensitas dari suatu perhatian dapat dinyatakan bahwa semakin
besar intensitas stimulus dari luar, layaknya semakin besar pula hal-hal itu
dapat dipahami (to be perceived).
2. Keberlawanan atau kontras
Prinsip keberlawanan ini menyatakan bahwa stimuli luar yang
penampilannya berlawanan dengan latar belakangnya atau sekelilingnya atau
yang sama sekali diluar sangkaan orang banyak, akan menarik banyak
perhatian.
3. Pengulangan (repetition)
Dalam prinsip ini dikemukakan bahwa stimulus dari luar yang diulang
akan memberikan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan yang sekali
dilihat.
4. Baru dan familier
Prinsip ini menyatakan bahwa baik situasi eksternal yang baru maupun
yang sudah dikenal dapat dipergunakan sebagai penarik perhatian. Obyek atau
peristiwa baru dalam tatanan yang sudah dikenal, atau obyek atau peristiwa
yang sudah dikenal dalam tatanan yang baru akan menarik perhatian
pengamat.

10

Ibid. hal. 149-154

Universitas Sumatera Utara

Pemilih Pemula
Pemilih pemula adalah pemilih yang baru pertama kali melakukan
penggunaan hak pilihnya.11 Mereka biasanya adalah pelajar berusia 17-21 tahun,
namun ada juga kalangan muda lainnya yang baru pertama kali akan
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu yakni para mahasiswa semester awal
dan kelompok pemuda lainnya yang pada pemilu periode sebelumnya belum
genap berusia 17 tahun. Sedangkan pemilih itu sendiri diartikan sebagai semua
pihak yang menjadi tujuan utama dari semua pihak yang menjadi tujuan utama
para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan
kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih
dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya.
Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi
tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai
politik.12 Pemilih diartikan sebagai kelompok masyarakat yang menurut undangundang merupakan para warga yang sah dan berhak memberikan suara sewaktu
pemilihan umum.13
Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk dapat menjadi
pemilih adalah:14
1. Warga Negara Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin.
2. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya
3. Terdaftar sebagai pemilih
4. Bukan anggota TNI/Polri
5. Tidak sedang dicabut hak pilihnya
6. Terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT)
11

Sekretariat Jenderal KPU. Op. Cit. hal. 48.
Firmanzah. Marketing Politik: Antara Pemahaman Dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
hal. 87.
13 Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008. hal. 221.
14 Sekretariat Jenderal KPU. Modul 2: Siap Menjadi Pemilih. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. 2010. hal. 1.
12

Universitas Sumatera Utara

7. Khusus untuk pemilukada calon pemilih harus berdomisili sekurangkurangnya 6 (enam) bulan di daerah yang bersangkutan
Secara psikologis, pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda
dengan orang-orang tua pada umumnya. Misalnya kritis, mandiri, independen,
anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya.
Karakteristik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas
dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam
menentukan pilihannya. Misalnya karena integritasnya, track record-nya atau
program kerja yang ditawarkan. Karena belum punya pengalaman memilih dalam
pemilu, pemilih pemula perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang
terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja
tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam pemilu, bagaimana tatacara
menggunakan hak pilih dalam pemilu dan sebagainya. Pertanyaan itu penting
diajukan agar pemilih pemula cerdas dalam menentukan pilihan politiknya di
setiap pemilu.15
Adapun konfigurasi pemilih dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:16
1. Pemilih Rasional
Dalam konfigurasi ini, pemilih memiliki orientasi tinggi pada “policyproblem-solving” dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih
dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon
kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau “platform” partai bisa
dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai di masa lampau (back-ward
looking), dan (2) tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan
nasional yang ada (forward looking). Kedua hal tersebut sama-sama
memengaruhi pemilih. Mereka tidak hanya melihat program kerja atau
“platform” partai yang berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis

15
16

Sumarno. Op. Cit.
Firmanzah. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Op.Cit. hal. 120-125

Universitas Sumatera Utara

apa saja yang telah dilakukan partai tersebut di masa lampau. Kinerja partai
atau calon kontestan biasanya termanifestasikan pada reputasi dan “citra”
(image) yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini yang lebih utama
bagi partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa
membangun reputasi di depan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk
mengatasi permasalahan nasional.
2. Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada
kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan
permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang
bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih
terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah
“rational voters” untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih
jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini
menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai
politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi
kebijakan yang akan dan telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya,
pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai
/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang
melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
3. Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki jenis orientasi ideologi yang sangat
tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan
sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih
tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul,
paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik.
Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan
pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua.
Mereka tidak terlalu memusingkan diri pada kebijakan apa yang telah
dilakukan partai politik yang mereka dukung. Biasanya pemilih jenis ini lebih

Universitas Sumatera Utara

mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis
sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar
pemilih jenis ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif
dalam memegang nilai serta paham yang dianut.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih keempat adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi
yang cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga
tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk
terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang,
karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang
memedulikan “platform” dan kebijakan sebuah partai politik. Golongan Putih
(Golput) di Indonesia atau dimanapun sangat didominasi oleh pemilih jenis
ini. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka
melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa
siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa
membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu mereka
tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang
kontestan.
Partai Politik
Partai politik adalah sekelompok orang memiliki ideologi sama, berniat
merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut
pendapat mereka pribadi paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu
level (tingkat) negara.17 Partai politik kemudian didefinisikan sebagai organisasi
publik

yang

bertujuan

untuk

membawa

pimpinannya

berkuasa

dan

memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari
dukungan tersebut.18 Menurut Joseph Lapalomba dan Myron Weiner, partai
politik merupakan a creature of modern and modernizing political system. Partai
17
18

Inu Kencana, Azhari. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama. 2005. hal. 78.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Op. Cit. 2008. hal 66.

Universitas Sumatera Utara

politik memang lahir dan berkembang ketika gejala modernisasi sedang
berkembang di Eropa, setelah revolusi industri.19 untuk mengetahui secara lebih
jelas mengenai partai politik, dapat dilihat definisi partai politik menurut para
ahli:20
Menurut Carl Friederich, partai politik merupakan sekelompok
manusia yang terorganisir yang stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan

penguasaan

pemerintah

bagi

pimpinan

partai

dan

berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya,
baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya.
Menurut Roger Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara
yang terorganisir yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dengan
memanfaatkan

kekuasaannya

untuk

memilih,

bertujuan

menguasai

pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka sendiri.
Menurut Sigmund Neumann, partai politik merupakan organisasi dari
aktifitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan dengan merebut
dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Sedangkan pengertian partai politik yang ada di Indonesia adalah
organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa
dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.21

19

Koirudin. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. hal. 64.
Inu Kencana. Op. Cit. hal. 77-78.
21 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

20

Universitas Sumatera Utara

Peran dan fungsi partai politik dapat dibedakan menjadi dua. Pertama,
peran dan tugas internal organisasi. Dalam hal ini organisasi partai politik
memainkan peran penting dalam pembinaan, edukasi, pembekalan, kaderisasi dan
melanggengkan ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai
politik. Kedua, partai politik juga mengemban tugas yang lebih bersifat eksternal
organisasi. Disini peran dan fungsi organisasi partai politik terkait dengan
masyarakat luas, bangsa dan negara, kehadiran partai politik juga memiliki
tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk membawa kondisi dan
situasi masyarakat menjadi lebih baik.22
Berdasarkan kajian literatur yang ada setidaknya terdapat lima fungsi
dasar dari partai politik, yaitu:23
1. Fungsi Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan adalah suatu proses input berbagai kebutuhan,
tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam
lembaga Legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya
dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijakan publik. Pemerintah dalam
mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa
pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan masyarakat.
Oleh karena itu, warga negara atau setidak-tidaknya wakil dari suatu
kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan dan tuntutan
kelompoknya, agar dapat dimasukkan kedalam agenda kebijakan negara.
Wakil kelompok yang mungkin gagal dalam melindungi kepentingan
kelompoknya akan dianggap menggabungkan kepentingan kelompok, dengan
demikian keputusan atau kebijakan tersebut dianggap merugikan kepentingan
kelompoknya.
2. Fungsi Agregasi Kepentingan

22
23

Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Op. Cit. hal. 69-70.
Fadilah Putra. Partai Politik Dan Kebijakan Publik. Yoyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. hal. 15-20.

Universitas Sumatera Utara

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan
yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan
menjadi

alternatif-alternatif

pembuatan

kebijakan

publik.

Agregasi

kepentingan dijalankan dalam “sistem politik yang tidak membolehkan
persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas,
mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai dari rakyat dan
konsumen.” Dalam masyarakat Demokratis, partai menawarkan program
politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon
yang diajukan untuk jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar
(bargaining) pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan
tersebut mendukung calon yang diajukan.
3. Fungsi Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan nilainilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut suatu
negara. Pembentukan sikap-sikap politik atau untuk membentuk suatu sikap
dan keyakinan politik dibutuhkan waktu yang panjang melalui proses yang
berlangsung tanpa henti. Menurut Gabriel Almond dalam bukunya sosialisasi
politik, terdapat dua hal yang penting, yaitu:
a. Pertama, bahwa sosialisasi politik berjalan terus menerus selama hidup
seseorang. Sikap-sikap dan nilai-nilai yang didapatkan dan terbentuk
pada masa kanak-kanak akan selalu disesuaikan atau akan diperkuat
sementara ia mengalami berbagai pengalaman sosial.
b. Kedua, sosialisasi politik dapat berwujud transmisi dan pengajaran.
Artinya dalam sosialisasi itu terjadi interaksi antara suatu sikap dan
keyakinan politik yang dimiliki oleh generasi tua terhadap generasi
muda yang cenderung masih fleksibel menerima pengaruh ajaran.
4. Fungsi Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggotaanggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan
administratif maupun politik. Setiap sistem politik memiliki sistem atau

Universitas Sumatera Utara

prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang
direkrut/diseleksi adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang
sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau fungsi politik. Setiap partai politik
memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pola rekrutmen anggota partai
disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya.
5. Fungsi Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh
partai politik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi
informasi, isu dan gagasan politik. Media-media massa banyak berperan
sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik. Partai
politik menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan
prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan sebagainya.
Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program kerja partai
ataupun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya,
komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau
media massa yang mendukungnya.
Sistem komunikasi politik dikembangkan dengan dasar komunikasi
yang bebas dan bertanggung jawab. Setiap media massa bebas memberitakan
suatu hal selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku, tidak
membahayakan kepentingan negara dan masyarakat. Disamping itu, media
massa juga berfungsi menyuarakan suara pembangunan dan program-program
kerja pemerintah, menyuarakan ide-ide politik, membina tumbuhnya
kebudayaan politik kemudian memelihara dan mewariskannya pada generasi
pelanjut.
Sistem kepartaian adalah analisis tentang bagaimana partai politik
berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sebuah sistem politik. Maurice Duverger

Universitas Sumatera Utara

dalam bukunya Political Parties (1954) membagi sistem kepartaian menjadi tiga
klasifikasi yaitu:24
1. Sistem Partai-Tunggal
Ada pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai-tunggal
merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradiction in terminis)
sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun
demikian, istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan dipakai
baik untuk partai yang benar-benar satu-satunya partai dalam suatu negara
maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa
partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat beberapa variasi.
Terutama di negara-negara yang baru terlepas dari kolonialisme ada
kecenderungan kuat untuk memakai pola sistem partai-tunggal karena
pimpinan (sering seorang pemimpin yang kharismatik) dihadapkan dengan
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku
bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya. Dikhawatirkan
bila keanekaragaman sosial dan budaya ini tidak diatur dengan baik akan
terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha pembangunan.
Padahal pembangunan itu harus memfokuskan diri pada suatu program
ekkonomi yang future-oriented. Fungsi partai adalah meyakinkan atau
memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai
kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya.
2. Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya
diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil
memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran,
dan dengan demikian memiliki kedudukan dominan. Sistem dwi-partai pernah
disebut a convenient system for contended people dan memang kenyataannya
adalah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga
24

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008. hal 415-420.

Universitas Sumatera Utara

syarat, yaitu komposisi masyarakat bersifat homogen (social homogeneity),
adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan
politik (political consensus), dan adanya kontinuitas sejarah (historical
continuity).
Dalam sistem ini partai-partai jelas dibagi dalam partai yang berkuasa
(karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah
dalam pemilihan umum). Dengan demikian jelaslah dimana letak tanggung
jawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum. Dalam sistem ini partai yang
kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition)
terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian
bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan
memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut
dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering
dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih di tengah (median
vote).
3. Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu
masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam
antara ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan
masyarakat

lebih

cenderung

menyalurkan

ikatan-ikatan

terbatasnya

(primordial) dalam suatu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola
multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola
dwi-partai. Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem
Pemerintahan Parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan
kekuasaan pada badan Legislatif, sehingga peran badan Eksekutif sering
lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai
yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa
membentuk koalisi dengan partai-partai lain.
Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu
mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi

Universitas Sumatera Utara

kemungkina bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam
koalisis akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.
Di lain pihak, partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas
karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam
pemerintahan koalisis baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya
siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi oleh
partai masing-masing. Lagipula, seringkali partai-partai oposisi kurang
mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam sistem
semacam ini masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.
G. Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Sebagaimana tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan
penjelasan secara mendalam atas masalah penelitian, maka metode yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif. Hal ini disebabkan metode kualitatif
memberi kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar. Menurut Blaxter,
penelitian kualitatif cenderung fokus pada usaha mengeksplorasi sedetail mungkin
sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan,
dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan luas.25
penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik

atau bentuk hitungan

lainnya.26
Apabila dipandang dari karakteristik masalah berdasarkan kategori
fungsionalnya, penelitian ini termasuk kepada penelitian lapangan. Penelitian
lapangan merupakan penyelidikan mendalam (indepth study) mengenai suatu unit
sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisasikan

25
26

Lisa Harrison. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana. 2009. hal. 86.
Anselm Strauss, Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. hal.

4.

Universitas Sumatera Utara

dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial tersebut. Cakupannya dapat
meliputi keseluruhan siklus kehidupan atau dapat pula hanya meliputi segmensegmen tertentu saja. Dapat terpusat pada beberapa faktor yang spesifik dan dapat
pula memperhatikan keseluruhan elemen atau peristiwa.27 Tujuan penelitian
lapangan adalah mempelajari secara intensif latar belakang , status terakhir, dan
interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu,
kelompok, lembaga, atau komunitas.28
Untuk mendapatkan data dari populasi yang akan diteliti, penelitian ini
menggunakan sampel kuota (quota sampling). Penarikan sampel quota merupakan
teknik penarikan sampel dimana peneliti memberikan batasan dan jumlah (kuota)
agar keragaman dari populasi bisa didapat. Sampel kuota menggunakan batasan
(persyaratan tertentu) sebelum suatu sampel diambil. Ini dapat mengurangi
subjektifitas peneliti dikarenakan kemungkinan sampel diambil karena alasan
subjektif (seperti, ketertarikan peneliti) dapat dibatasi. Ada dua tahapan dari
penarikan sampel kuota. Pertama, peneliti membuat matriks kuota. Matriks ini
merupakan sebaran dari sampel yang diinginkan. Matriks ini terdiri dari dua
bagian, yakni kategori yang dipilih dan jumlah sampel untuk masing-masing
kategori. Kedua, peneliti kemudian tinggal mencari sampel sesuai dengan jumlah
dan kategori.29
Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan data-data dan informasi yang diperlukan, penelitian
ini dilakukan pada Sekolah Menengah Atas Negeri yang ada di Kota Medan.
Alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah:

27

Saifuddin Azwar. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. hal. 8.
Ibid.
29 Eriyanto. Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Kencana. 2013. hal. 156.
28

Universitas Sumatera Utara

1. Sekolah Menengah Atas Negeri dianggap merupakan representasi dari
Sekolah Menengah Atas lain karena sifatnya yang umum sehingga
diharapkan dapat mencakup segi pluralitas objek penelitian.
2. Alasan dipilihnya Kota Medan adalah sebagai Ibukota Provinsi dengan
kelengkapan fasilitas dan kemudahan informasi yang relatif lebih tinggi,
diharapkan nantinya dapat digunakan sebagai tolak ukur atau barometer
bagi daerah lainnya di Sumatera Utara.
Teknik Pengumpulan Data
Di dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, data yang diperoleh
terbagi menjadi dua macam berdasarkan cara mengumpulkannya yaitu:
1. Data Primer
Data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang
dicari.30 Teknik pengumpulan data jenis ini dapat dilakukan dengan cara
observasi, wawancara dan kuisioner.

Metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini untuk jenis data primer adalah teknik
kuisioner terhadap responden dibantu dengan wawancara. Wawancara
adalah suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan mendapatkan
informasi.31
2. Data Sekunder
Data sekunder atau data tangan ke dua adalah data yang diperoleh lewat
pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya.32
Data ini merupakan data-data atau informasi yang diambil melalui bukubuku, internet, jurnal dan lainnya ataupun berupa data dokumentasi serta

30

Saifuddin Azwar. Op. Cit. hal. 91.
James Black, Dean Champion. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. 2001.
hal. 306.
32 Saifuddin Azwar. Op.Cit.

31

Universitas Sumatera Utara

data laporan yang telah tersedia yang berkaitan dengan penelitian. Data
dan informasi berupa teori-teori ini nantinya akan menjadi panduan dan
referensi dalam proses penyusunan penelitian ini.
Teknik Analisa Data
Setelah data dikumpulkan, selanjutnya perlu diikuti pengolahan data (data
processing). Pengolahan data mencakup kegiatan mengedit (editing) data.
Mengedit data adalah kegiatan memeriksa data yang sudah terkumpul. Setelah
pengolahan data, berikutnya tinggal menganalisis dan menginterpretasikan data.
Analisis data menunjuk pada kegiatan mengorganisasikan data kedalam susunansusunan tertentu di dalam rangka penginterpretasian data, ditabulasi sesuai dengan
susunan sajian data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian.33
Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan proses
penyimpulan dan analisis pada dinamika hubungan antarfenomena yang diamati,
dengan menggunakan logika ilmiah. Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan
kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif tetapi
penekanannya tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab
pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif.34 Tahap
awal adalah mengumpulkan data- data dari sumber yang ada dalam ruang lingkup
penelitian dan menelusurinya lebih jauh agar dapat disajikan dalam pembahasan.
Setelah diproses dalam pembahasan kemudian ditarik kesimpulan dari data
berdasarkan hasil yang telah didapat.

33
34

Sanapiah Faisal. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007. hal. 33-34.
Saifuddin Azwar. Op.Cit. hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan deskripsi yang terperinci dan lebih memudahkan
didalam memahami isi dari penelitian ini, maka penulisan penelitian ini dibagi
menjadi empat bab yaitu:
I. Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
II. Kota Medan
Bab ini berisikan tentang deskripsi dan data-data tentang Kota Medan
sebagai lokasi objek penelitian yang mendukung dan berkaitan dengan
penelitian itu sendiri, serta data tentang Sekolah Menengah Atas Negeri di
Kota Medan. Pemaparan yang disampaikan adalah mengenai gambaran
umum Kota Medan, historis dan geografis Kota Medan serta data-data
pendukung lainnya.
III. Persepsi Pemilih Pemula Terhadap Partai Politik
Bab ini menjabarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan yaitu
bagaimana persepsi pemilih pemula terhadap partai politik, meliputi
penyajian dan analisis data-data yang berhasil dikumpulkan untuk
menjawab permasalahan penelitian.
IV. Penutup
Bab ini merupakan kesimpulan yang diperoleh dari penyajian dan analisis
data, yaitu jawaban atas permasalahan penelitian berikut saran-saran bagi
penulis sendiri maupun elemen lain yang terkait dalam penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara