Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN NO. 2 Tahun 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum dengan norma fundamental negara yaitu
Pancasila dan aturan dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib dan tentram. Untuk
mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan adanya upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum yang merata bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Berbicara mengenai kepastian hukum, terdapat berbagai problematika hukum
di Indonesia yang salah satunya yaitu mengenai hukum waris. Akibat dari kematian
seorang manusia di dunia ini dalam bidang hukum adalah masalah status harta benda
yang ditinggalkannya. Bila status ini dihubungkan dengan seorang manusia lain yang
masih hidup, maka timbullah apa yang dinamakan masalah warisan. Hukum waris
adalah :
"suatu

rangkaian

ketentuan-ketentuan,


dimana,

berhubungan

dengan

meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur
yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal,
kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun
dengan pihak ketiga.”1

1

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, ( Jakarta : Rineka Cipta,
1997), hal. 7.

1

Universitas Sumatera Utara


2

Hukum yang mengatur masalah warisan dinamakan kewarisan dan setiap
lembaga hukum mempunyai hukum kewarisannya masing-masing. Indonesia masih
terdapat pluralisme hukum, sehingga dikenal hukum kewarisan Islam merupakan
ketentuan Al-Quran dan Hadits, hukum kewarisan adat yang beraneka, tergantung di
lingkungan mana masalah warisan itu terbuka dan hukum kewarisan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).2
Hukum kewarisan mengenai harta peninggalan berlaku setelah kematian
seseorang. Sebelum harta warisan dibagi, diawali dengan penentuan siapa-siapa yang
akan menjadi ahli waris dari harta peninggalan. Untuk menentukan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris perlu dibuktikan dengan suatu surat keterangan waris.
Ketentuan pembuatan surat keterangan waris di Negara Indonesia sampai saat
ini msih didasarkan pada pembagian golongan penduduk yang merupakan politik
Belanda untuk penduduk di wilayah jajahannya yaitu Hindia-Belanda. Negara
Indonesia merupakan negara yang pernah mengalami masa penjajahan yaitu
kolonialisasi Belanda. Selama penjajahan, masyarakat Indonesia dibedakan
berdasarkan unsur suku, agama, ras dan golongan. Pembagian dilakukan secara
sistematis, terstruktur oleh Belanda. Pada saat itu penduduk dibedakan menjadi

beberapa golongan seperti dalam Pasal Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) juncto
Pasal 109 Regerings Reglement (RR), yaitu golongan Eropa, golongan Bumi
2

Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek ( Kitab UndngUndangHukum Perdata ), ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986, hal. 13

Universitas Sumatera Utara

3

Putera/Pribumi, dan golongan Timur Asing. Pembedaan pada golongan penduduk ini
membawa pula perbedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan
tersebut yang diatur dalam Pasal 131 IS juncto 73 RR. Penggolongan penduduk dan
hukum yang berlaku untuk setiap golongan itu merupakan politik hukum dari
pemerintah kolonial untuk mengawasi penduduk yang berada di daerah jajahannya
dengan politik pembodohan dan politik devide et impera (politik adu domba) untuk
penduduk di wilayah Hindia-Belanda pada saat itu.3
Setelah merdeka, Indonesia menjelma menjadi negara hukum. Eksistensi
Indonesia sebagai negara hukum disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD 1945) yang kemudian dipertahankan pada perubahan UndangUndang Dasar Negara. Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)

dalam Pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum”. Setiap
aspek tindakan pemerintahan dalam suatu negara hukum, baik dalam lapangan
pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan, harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas.4 Artinya pemerintah tidak dapat
melakukan kebijakan-kebijakannya tanpa dasar kewenangan. Namun, perundangundangan sebagai dasar kewenangan tidak dibuat sesuka hati. Terdapat suatu hierarki
tata susunan, berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis di mana suatu norma yang lebih
3
Sonny Tobelo Manyawa, 2011, “Warisan dan Wasiat” (online), http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/11/warisan-wasiat.html, diakses pada tanggal 15 Januari 2014.
4
Jazim Hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hal.
153.

Universitas Sumatera Utara

4

rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut maka dikeluarkanlah Surat

Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember
1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian
Kewarganegaraan yuncto Pasal 42 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah yuncto ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 8 Tahun 2012 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perkaban No. 8 Tahun
2012), dapat dibuat dalam bentuk surat keterangan hak waris yang kewenangan
pembuataannya dibedakan berdasarkan ras dan golongan penduduk, sebagai berikut:
1. Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang
dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris
pada waktu meninggal dunia;
2. Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta surat keterangan
waris dari Notaris,
3. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat
keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Universitas Sumatera Utara

5


Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya.
Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian jika
seorang Notaris melakukan suatu tindakan di luar wewenangnya yang telah
ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Bagi warga
Negara Indonesia keturunan tionghoa, berdasarkan Perkaban No. 8 Tahun 2012
tersebut di atas maka surat keterangan warisnya dibuat oleh Notaris. Notaris dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris
No. 2 Tahun 2014 (UUJN No. 2 Tahun 2014 ). Wewenang Notaris tercantum dalam
Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN No. 2 Tahun 2014, yaitu Pasal 15 ayat
(1) menyebutkan :
‘Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. Pasal 15 Ayat (2) menyebutkan :
Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah

tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;

Universitas Sumatera Utara

6

b. Membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
g. Membuat akta risalah lelang.
Pasal 15 Ayat (3) menyebutkan : “ Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.”
Penyebutan wewenang Notaris yang lebih luas berdasarkan Pasal 15 ayat (1)
dan (3) UUJN Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tidak menyebutkan

secara tegas mengenai wewenang Notaris untuk membuat Surat Keterangan Waris.
Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang Notaris adalah membuat akta,
bukan membuat surat, seperti Surat Keterangan Waris ( SKW ). Dalam Peraturan
Jabatan Notaris ( PJN ) tidak ditemukan ketentuan yang menegaskan bahwa Notaris
mempunyai kewenangan membuat Surat Keterangan Waris5, demikian pula dalam
5
Menurut I Gede Purwaka, apabila kita teliti pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW), ternyata tidak dijumpain adanya pasal yang mengatur mengenai ketentuan yang
berhubungan dengan ketentuan hak mewaris yang harus dibuat di hadapan/oleh Notaris. Yang ada
adalah ketentuan yang berhubungan dengan pembagian dan pemisahan harta peninggalan sebgaimana

Universitas Sumatera Utara

7

UUJN tidak mengaturnya. Dalam Wet op het Notarisambt (1842) Pasal 38 ayat (2)
dimasukkan ketentuan bahwa Notaris berwenang membuat verklaring van erfrecht
ketika Wet op het Notarisambt (1842) diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda) ke
dalam Het Regelement op het Notarisambt in indonesie (Nederlandsc Indie) 1860
(kemudian diterjemahkan menjadi PJN) ketentuan Notaris berwenang membuat

veklaring van erfrech tidak dimasukkan. Dengan demikian Notaris membuat SKW
hanya merupakan kebiasaan saja (kebiasaan yang berasal dari para Notaris Belanda
yang pernah paraktek di Indonesia yang kemudian diikuti oleh para Notaris
Indonesia)6. Pembuatan keterangan waris oleh seorang Notaris di Indonesia tidak
mempunyai dasar dalam undang-undang Indonesia, seyogyanya kebiasaan ini
dijadikan dasar suatu undang-undang baru.7 Meskipun Notaris di Indonesia sekarang
diatur berdasarkan UUJN, mengenai Notaris berwenang membuat SKW tetap tidak
diatur. Hal ini berbeda dengan Wet op het Notarisambt (1982) dalam Pasal 47
menegaskan bahwa Notaris berwenang membuat veklaring van erfrecht yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Kebiasaan tersebut sebaiknya
secara tegas dijelaskan dalam pengaturan kewenangan Notaris di UUJN No. 2 Tahun
2014, sehingga SKW tersebut merupakan kewenangan Notaris dan mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta otentik.
diatur dalam pasal 1074 KUH Perdata. Dalam Pasal ini ditentukan bahwa Akta Pembagian dan
Pemisahan Harta Peninggalan harus dibuat dihadapan Notaris. I Gede Purwaka, Keterangan Hak
Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris, (Program Spesialis Notariat dan Pertanahan, Jakarta : Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1999), hal. 17.
6
Selanjutnya I Gede Purwaka menegaskan bahwa, Notaris berwenang membuat Keterangan
Hak Mewaris, hanya berdasarkan kepada penafsiran peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Ibid, hal. 20.
7
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), hal. 362.

Universitas Sumatera Utara

8

Pada dasarnya hukum memberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan, namun demikian tidak berarti setiap kerugian terhadap pihak ketiga
seluiruhnya menjadi tanggung jawab Notaris, ada kalanya Notaris yang beritikad
baik. Hukum sendiri memberikan batas-batas atau rambu-rambu tanggung jawab
Notaris, sehingga tidak semua kerugian merupakan tanggung jawab Notaris. Inilah
yang dalam ilmu hukum dikenal bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris
sebagai pejabat umum yang bertugas memberikan pelayanan masyarakat. Mengenai
ketentuan yang mengatur batas tanggung jawab Notaris dapat dilihat pada Pasal 65
UUJN No. 2 Tahun 2014.
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktina sempurna, namun
apabila melanggar ketentuan tertentu atau dapat dikatakan cacat, maka akta tersebut

akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan, kedudukan akta Notaris yang kemudian mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan merupakan penilaian atas suatu
alat bukti.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan
beberapa permasalahan hukum yaitu bagaimana kekuatan hukum akta pembuatan
Surat Keterangan Waris (SKW), bagaimana hak uji materil bagi Notaris atas
pembuatan SKW, dan bagaimana pula perlindungan hukum bagi Notaris yang
beritikad baik. Perumusan masalah hukum yang berkaitan tersebut dalam penelitian

Universitas Sumatera Utara

9

ini diberi judul “Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris
Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014”.
B. Perumusan Masalah
Ada beberapa pokok permasalahan hukum yang akan dibahas dalam
penyusunan penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana kekuatan hukum Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris
mengandung cacat hukum?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap Surat Keterangan Waris yang
dibuat Notaris mengandung cacat hukum?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
Penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Surat Keterangan Waris yang
dibuat Notaris mengandung cacat hukum.
2. Untuk mengetahui dan mengalisis bagaimana tanggung jawab Notaris
terhadap Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat
hukum.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

10

1.

Secara Teoritis
Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya di
bidang Hukum Waris.
2.

Secara Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat

berharga bagi berbagai pihak yang terkait. Adanya dikriminasi terhadap golongan
penduduk sehingga mengakibatkan perbedaan institusi/pejabat yang berwenang
membuat bukti sebagai ahli waris bagi golongan penduduk tersebut, hal ini
bertentangan dengan norma fundamental negara yaitu Pancasila dan aturan dasar
negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sudah seharusnya hal ini untuk dipahami
dan dikaji oleh pihak legeslatif maupun eksekutif agar memberikan kepastian hukum
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum waris khususnya
pada kewenangan Notaris yang diharapkan sebagai pejabat satu-satunya dalam
menerbitkan Surat Keterangan Waris, sehingga dikriminasi tersebut dapat
diahapuskan dan memberikan kepastian hukum dan kekuatan hukum bagi pihak yang
membuatnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan Penelitian dan Penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap
hasil-hasil yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan khususnya pada

Universitas Sumatera Utara

11

perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, mengenai penelitian
dengan judul “Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris
Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014”
belum pernah dilakukan.
Menurut hasil penelusuran di perpustakaan Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara pernah ada penelitian yang juga membahas mengenai keterangan hak
waris, tapi khusus mengenai keterangan hak waris yang diterbitkan untuk warga
negara Indonesia golongan Tionghoa, yang dilakukan oleh Aida Verwati Wahab,
Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Tahun 2000, dengan Judul :Keterangan
Hak Waris Dalam Hukum Perdata (Suatu Kajian Terhadap Warga Negara Indonesia
Keturunan Cina di Kota Medan). Di dalam hasil penelitian tersebut membahas
mengenai :
1.

Pejabat yang berwenang mengeluarkan surat keterangan hak waris bagi warga
negara keturuanan cina;

2.

Kekuatan pembuktian dari keterangan hak waris yang dikeluarkan oleh Notaris
tanpa melakukan pengecekan ke Daftar Pusat Wasiat, dan

3.

Mengapa masih ada dualisme dalam penerbitan surat keterangan hak waris bagi
golongan penduduk yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Disamping itu juga ada peneletian mengenai keteragan hak waris oleh Fitreni

Chris Lily, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Tahun 2003, dengan Judul

Universitas Sumatera Utara

12

Pengaturan Mengenai Bukti Keterangan Hak Waris Yang Berlaku Bagi Warga
Negara Indonesia. Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai :
1. Apakah peraturan yang sudah ada dapat menjamin tercapainya kepastian
hukum dalam hal penentuan hak-hak kewarisan warga negara Indonesia;
2. Penyebab tidak adanya unifikasi mengenai kewenagan hak waris, dan
3. Bentuk keterangan hak waris yang paling idela yang dikehendaki dalam
praktek.
Dalam penelitian ini yang berjudul Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris
Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan
UUJN No. 2 Tahun 2014 akan membahas mengenai :
1. Bagaimana kekuatan hukum Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris
mengandung cacat hukum?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap Surat Keterangan Waris yang
dibuat Notaris mengandung cacat hukum?
Dengan demikian stressing point dalam penelitian yang dilakukan ini
sangatlah berbeda. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi
maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori

memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita
bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak dan berdiri sendiri bisa

Universitas Sumatera Utara

13

disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan
demikian

memberikan

penjelasan

dengan

cara

mengorganisasi

dan

mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.8
Michalos (1980) membagi pengertian teori dalam lima kategori, yaitu:9
a. Teori sebagai pernyataan yang aksiomatis (axiomatic)10 untuk memberi
makna atau pengertian tentang serangkaian fakta yang sebelumnya
membingungkan atau tidak bermakna.
b. Teori sebagai upaya menyusun data dan fakta secara sistematis walaupun
pernyataan-pernyataannya belum tentu aksiomatis.
c. Teori dianggap sebagai generalisasi tak terbatas tentang kebenaran universal
yang ditaati oleh para ilmuan; di sini teori dianggap sebagai “hukum” tentang
kebenaran.
d. Teori sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan ilmiah, tanpa

bentuk

yang pasti atau seragam.
e. Teori sebagai aturan-aturan untuk mengambil kesimpulan dalam proses
penelitian.
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun dan memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.11
8

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012 ), hal. 269.
Internet, http://eprints.rclis.org/17564/1/Penggunaan%20Teori%20dalam%20Penelitian
%20Ilmu%20Perpustakaan.pdf, diakses pada tanggal 30 Januari 2014.
10
Dalam dunia ilmu pengetahuan, sebuah aksiom disebut juga postulat atau rumus dasar,
merupakan sebuah pernyataan yang dianggap logis dan mengandung kebenaran.
9

Universitas Sumatera Utara

14

Kerangka teori juga dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan
(problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau
tidak disetujui,12 yang nantinya merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.
Menurut Soerjono Soekanto, kerangka teoritis bagi suatu penelitian
mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut :13
a. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang
hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.

11
12

Jimly Asshiddigie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Konstitusi Pres, 2006), hal. 61.
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994),

hal. 80.
13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121.

Universitas Sumatera Utara

15

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata
sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan
dan hukum jaminan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam
penelitian ini dengan aliran hukum positivisme yang analitis dari Hans Kelsen. Dalam
aliran hukum positivismenya menjelaskan bahwa “law is a coercive order of human
behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction” (hukum adalah
sesuatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer
yang menetapkan sanksi-sanksi).14
Penelitian ini berusaha untuk menganalisis Bagaimana kekuatan hukum
kekuatan hukum akta pembuatan SKW hak uji materil bagi Notaris atas pembuatan
SKW dan Bagaimana perlindungan hukum bagi Notaris yang beritikad baik.
Sejarah asal-muasal Bangsa Indonesia menemukan berbagai macam ragam
suku atau etnis di Indonesia. Bangsa Indonesia tidak tidak dihuni dan dibangun oleh
salah satu etnis saja, tetapi semua etnis yang ada di Indonesia telah memberikan
kontribusi dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Bahkan sebelum masa penjajahan
Portugis, Belanda dan Jepang para penduduk yang ada pada waktu itu tidak
tersegmentasi atau dipisah-pisahkan berdasarkan etnis atau golongan, mereka hidup
saling berdampingan dan tidak mempersoalkan darimana mereka berasal.
Pemisahan penduduk Indonesia berdasarkan etnis dan golongan muncul
setelah penjajahan kolonial Belanda mencengkram Indonesia, untuk kepentingan

14

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), hal 55.

Universitas Sumatera Utara

16

politiknya telah mengeluarkan aturan yang membagi 3 (tiga) golongan penduduk dan
hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan tersebut. Penggolongan
penduduk Indonesia (Hindia –Belanda) berdasarkan ketentuan Pasal 163 IS dan Pasal
109 RR dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk berdasarkan Pasal
131 IS dan Pasal 75 RR yang berasal dari warisan Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda.15
Adanya penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk tiap
golongan penduduk tersebut merupakan Politik Hukum dari pemerintah Kolonial
untuk mengawasi penduduk yang berada di daerahnya jajahannya dan Politik
Pembodohan dan politik devide et impera (adu domba) untuk penduduk di wilayah
Hindia-Belanda pada waktu. Adanya berbagai peraturan perundangan-perundangan
tersebut di atas, tidak terlepas dari kehadiran peraturan perundang-undangan produk
Kolonial yang sampai saat ini masih dinyatakan berlaku berdasarkan ketentuan Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945.
Pasal 163 IS dan Pasal 109 RR mengenai penggolongan penduduk sebagai
berikut :
1. Golongan Eropa, meliputi :
Semua orang Belanda, semua orang yang berasal dari Eropa, tetapi bukan
Belanda; semua orang Jepang; semua orang yang berasal dari tempat lain,
15

R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Pradnya Paramita,
Jakarta, 1988), hal.

Universitas Sumatera Utara

17

tetapi tidak termasuk orang Belanda atau orang yang berasal dari Eropa bukan
Belanda, yang di negaranya tunduk kepada hukum keluarga yang asas-asasnya
sama dengan hukum Belanda. Anak sah atau yang diakui menurut undangundang dan keturunan selanjutnya dari orang-orang yang berasal dari Eropa
bukan Belanda dan semua orang yang berasal dari tempat lain, tetapi bukan
Belanda atau Eropa yang lahir di Hindia-Belanda.
2. Golongan Bumiputera, meliputi :
Semua orang yang termasuk rakyat asli Hindia-Belanda dan tidak pernah
pindah ke dalam golongan penduduk lain dari golongan Bumiputera;
golongan penduduk lainnya yang telah meleburkan diri menjadi golongan
Bumiputera dengan cara meniru atau mengikuti kehidupan sehari-hari
golongan Bumiputera dan meninggalkan hukumnya atau karena perkawinan.
3. Golongan Timur Asing, meliputi :
Mereka yang tidak termasuk golongan Eropa dan golongan Bumiputera.
Golongan Timur Asing ini dibedakan atas Timur Asing Tionghoa dan Timur
Asing Bukan Tionghoa, seperti Arab, India.
Pasal 131 IS dan 75 RR mengadakan 3 (tiga) golongan hukum yang berlaku
untuk tiap golongan penduduk sebagaimana tersebut di atas, dan ditegaskan sebagai
berikut :

Universitas Sumatera Utara

18

1.

Hukum Perdata dan dagang, hukum pidana beserta hukum acara perdata dan
hukum acara pidana harus dikodifisir, yaitu diletakkan dalam suatu kitab
undang-undang. Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut (dicontoh)
perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (azas konkordansi).

2.

Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing jika ternyata bahwa
kebutuhan masyarakat mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan
untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun
dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu
peraturan baru bersama; untuk lainnya harus diindahkan aturan-aturan yang
berlaku di kalangan mereka, dari aturan-aturan mana boleh diadakan
penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan
kemasyarakatan mereka.

3. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum
ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan orang Eropa,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk orang
Eropa, penundukkan boleh dilakukan baik seluruhnya maupun hanya
mengenai suatu perbuatan tertentu.
Sebelum hukum untuk orang Indonesia ditulis di dalam undang-undang, maka
bagi mereka akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, ialah
hukum adat asli orang Indonesia.16

16

R. subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Alumni, bandung, 1975), hal. 11

Universitas Sumatera Utara

19

Penggolongan penduduk seperti itu dan hukum yang berlaku untuk tiap
golongan penduduk tersebut17 seharusnya sudah tidak lagi, tetapi dalam kenyataanya
masih diberlakukan, antara lain telah dijadikan dasar hukum dalam pembentukan
aturan hukum yang berlaku setelah Indonesia merdeka untuk pembuatan bukti
sebagai ahli waris seperti tercantum dalam :18
1. Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat
Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20

Desember 1969, nomor

Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian
Kewarganegaraan.19
2. Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
17
Melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966,
telah diteapkan penghapusan pembedaan golongan penduduk di Indonesiadengan dasar pertimbangan
bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan
homogeny, serta adanya perasaan persamaan nasib di anatar sesama bangsa Indonesia.
18
Mengenai Pembuktian sebagai ahli waris sebagaimana tersebut di atas sebenarnya tidak
berlaku umum, tapi hanya untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau pembebanan
yang berlaku pada Kantor Pendaftaran Tanah atau pada Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional
(BPN) yang dikaitkan dengan kewarganegaraan seseorang sehingga ( menurut kedua aturan hukum
tersebut ) etnis atau golongan penduduk harus diperhatikan, tapi kedua aturan hukum tersebut seakanakan menjadi aturan hukum yang umum dalam pembuktian sebagai ahli waris yang masih
diskriminatif. Dengan menempatkan Notaris sebagai satu-satunya pejabat/instusi yang berwenang
membuat bukti ahli waris dalam bentuk formal akta pihak (Akta Keterangan Ahli Waris ), maka telah
mengakhiri semua dikriminasi dalam pembuatan bukti ahli waris tersebut. Habib Adjie, Pembuktian
Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notari (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris), (Bandung : CV.
Mandar Maju, Bandung, 2008), hal. 7.
19
Mengenai Pembuktian Kewarganegaraan sudah tidak berlaku lagi, karena sudah dicabut
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaarn, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4634).

Universitas Sumatera Utara

20

Kedua aturan hukum tersebut menetukan, bahwa untuk golongan Eropa,
Cina/Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), selama ini
pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris
(SKW), dalam bentuk Surat Keterangan. Golongan Timur Asing (bukan
Cina/Tionghoa), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan SKW
yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Pribumi (Bumiputera), selama ini
pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan SKW yang dibuat di bawah
tangan, bermaterai, oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh
Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris.20
Kantor Pertanahan/BPN hanya akan menerima peralihan hak atas sebidang
tanah yang berasal dari warisan kepada ahli warisnya, jika bukti ahli warisnya
berdasarkan etnis atau golongan penduduk. Notaris/PPAT akan meminta bukti
sebagai ahli waris sesuai dengan etnis dan isntusi yang membuatnya, jangan berharap
Kantor Pertanahan/BPN dan Notaris/PPAT akan melayaninya. Padahal Kantor
Pertanahan/BPN tidak membuat arsip sertipikat atau peralihan hak dicatat tersendiri
berdasarkan etnis/ras.
Hal ini menunjukkan bahwa instansi yang terkait mempunyai jiwa penjajahan
Kolonial Belanda, bahkan ada kemungkinan Pemerintah Belanda sekarang ini akan
tertawa jika ternyata bangsa Indonesia masih mempertahankan dan memberlakukan
aturan hukum seperti tersebut di atas masih berdasarkan etnis.

20

Habib Adjie, Ibid, hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

21

Masalahnya bila terjadi pencampuran etnis melalui perkawinan, sangat sulit
untuk menulusuri bahwa mereka termasuk dalam ketiga golongan tersebut betul etnis
berdarah Eropa, Cina/Tionghoa, Timur Asing dan Pribumi. Sesuai dengan
perkembangan zaman sudah tentu penggolongan penduduk seperti itu harus sudah
ditinggalkan sebagaimana dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu
bagaimana jadinya jika bukti ahli waris masih harus berdasarkan etnis orang yang
bersangkutan.
Adanya pembedaan pembuktian bukti sebagai ahli wais berdasarkan kepada
golongan penduduk seperti merupakan tindakan diskriminatif sekaligus rasialis, dan
melanggar prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia (HAM), maka dengan demikian,
aturan hukum dalam pembuktian sebagai ahli waris yang masih harus berdasarkan
etnis dan instusi yang membuatnya yang berbeda harus segera diakhiri, disamping itu
tidak ada akibat hukum apapun dengan adanya pembedaan bukti ahli waris
berdasarkan etnis tersebut.
Menjadikan Notaris sebagai satu-satunya lembaga atau institusi yang
berwenang untuk membuatnya. Sesuai dengan aturan hukum yang ada, maka Notaris
sebagai satu-satunya lembaga yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris tanpa
berdasarkan kepada golongan penduduk atau etnis, agama apapun, tapi untuk seluruh
rakyat Indonesia, dan perkembangannya saat ini Notaris telah bertebaran di seluruh
wilayah Indonesia yang akan melayani seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa
melihat etnis apapun. Untuk menghilangkan dan menghapus dikriminasi dalam

Universitas Sumatera Utara

22

bentuk formal dan pejabat/isntitusi yang mebuat bukti ahli waris untuk Warga Negara
dan Penduduk Indonesia, maka Notaris diharapkan berperan sebagai satu-satunya
pihak (pejabat/isntitusi) yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris tersebut.
Notaris diharapkan secara aktif ikut serta mengimplementasikan nilai-nilai
kemerdekaan dalam suatu tindakan nyata, menjadi agen pembahuruan dalam
membuat bukti ahli waris bagi seluruh Warga Negara Indonesia tanpa melihat
golongan/etnis/suku ataupun agama.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan Notaris sebagai
unifikasi hukum pengaturan Notaris. Kewenangan Notaris terdapat pada Pasal 15 ayat
(1) dan (2) (ius constitutum), sedangkan Pasal 15 ayat (3) akan berlaku dan mengacu
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian (ius constituendum).
Kalau dikaji secara cermat, bahwa SKW yang dibuat oleh para Notaris berdasarkan
kebiasaan yang tidak ada dasar hukumnya sama sekali. Dalam praktik Notaris di
Indonesia telah biasa membuat SKW untuk mereka yang termasuk ke dalam etnis
Cina. Praktik Notaris seperti ini tidak pernah ada pengaturannya dalam Peraturan
Jabatan Notaris (Peraturan Jabatan Notaris sebelum lahirnya UUJN No. 2 Tahun
2014), tapi hanya merupakan kebiasaan Notaris yang sebelumnya, kemudian diikutin
secara langsung oleh Notaris yang datang kemudian, tanpa mencari maksud dan
tujuannya bahwa SKW dibuat dibedakan berdasarkan etnis. Hal tersebut merupakan
bentuk diskriminasi dalam pembuatan bukti ahli waris. Meskipun telah menjadi
kebiasaan bagi Notaris untuk membuat SKW , ternyata kebiasaan tersebut tidak

Universitas Sumatera Utara

23

dimasukkan dalam UUJN dan hal ini berakibat tidak adanya wewenang Notaris
dalam membuat SKW yang diatur dalam Pasal 15 UUJN.21
Pembuatan keterangan waris oleh Notaris di Indonesia tidak mempunyai dasar
hukum dalam undang-undang Indonesia, hal ini perlu diperhatikan dan diharapkan
agar pembuatan keterangan waris oleh Notaris dijadikan dasar suatu undang-undang
yang baru.
Pada awalnya jabatan Notaris di Indonesia dan ketentuan-ketentuan untuk
menjalankan jabatan tersebut diatur dalam undang-undang yang dikenal sebagai
Peraturan Jabatan Notaris atau Reglemnent op het Notarisambt tertanggal 11 Januari
1860 dengan Staatsblad 1860 Nomor 3. Peraturan jabatan Notaris yang berlaku di
Indonesai disusun hampir seluruhnya menurut text dari Wet op het Notarisambt di
Negeri Belanda yang dimuat dalam Staatsblad 1842 Nomor 20. Hanya beberapa
peraturan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia pada masa penjajahan.
Pada masa itu polotik Pemerintah Kolonial Belanda menganut prinsip
konkordnasi (concordantie beginsel), yaitu dalam bidang hukum dan peundangundangan pemerintah menggunakan dasar-dasar yang berlaku di Negeri Belanda
untuk ditetapkan di Indonesia.
Juga dalam bidang kenotariatan diperlakukan prinsip konkordansi tersebut.
Oleh sebab itu isi, penulisan text dan penggunaan istilah-istilah dari Peraturan Jabatan
21

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Refika Aditama, Bandung, 2008), hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

24

Notaris tidak banyak berbeda dengan ini dan text dari Wet op het Notarisambt. Hanya
mengenai keterangan hak waris yang diatur dalam Pasal 38 Wet op het Notarisambt
terdapat perbedaan.
Pasal tersebut dikonkordansikan ke dalam Pasal 35 Reglement op het
Notarisambt tersebut dalam ayat (2)-nya ada beberapa perbuatan yang di Wet op het
Notarisambt disebutkan tetapi dalam Reglement op het Notarisambt tidak
dicantumkan, antara lain mengenai verklraing van erfrecht atau keterangan hak waris.
Pasal 38 ayat (2) Wet op het Notarisambt ternyata tidak dikutip dengan lengkap ke
dalam Pasal 35 ayat (2) Reglement op het Notarisambt sehingga dasar hukum
pembuatan keterangan hak waris oleh Notaris di Indonesai sama sekali tidak ada
dalam Peraturan Jabatan Notaris.
Pada tahun 1913 di Negeri Belanda dikeluarkan undang-undang yang
bernama de Wet op de Grootboeken der National Schuld yang ada mengatur tentang
bentuk dan isi dari verkraing van erfecht, Pasal 14 dari de Wet op de Grootboeken der
Nationale Schuld antara lain berbunyi :
1. Para ahli waris seseorang yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam bukubuku besar hutang-hutang nasional harus membuktikan hak mereka dengan
suatau keterangan hak waris setelah kematian pewaris dibuktikan;
2. Keterangan hak waris harus memuat data-data berikut :
a.

Nama, nama kecil serta tempat tinggal terakhir pewaris;

Universitas Sumatera Utara

25

b.

Nama, nama kecil, tempat tinggal dan jika masih di bawah umur, tanggal
dan tahun kelahiran mereka yang mendapat hak dengan menyebutkan
bagian mereka menurut undang-undang dan surat wasiat atau surat
pemisahan dan pemabgian (boedelscheiding);

c.

Sedapat mungkin nama, nama kecil dan tempat tinggal wakil anak-anak
di bawah umur (yaitu wali, pemegang kekuasaan orang tua), termasuk
para pengurus khusus (bewindvoerder);

d.

Suatu perincian tetap surat wasiat, atau dalam hal pewarisan menurut
undang-undang, hubungan antara pewaris dan para ahli waris, yang
menjadi dasar diperolehnya hak itu;

e.

Semua pembatasan yang ditentukan oleh pewaris terhadap hak untuk
memindahtangankan apa yang diperoleh, dengan menyebut nama, nama
kecil dan sedapat mungkin tempat tinggal mereka yang boleh
menerimanya

dan

mereka

yang

harus

membantunya

apabila

pemindahtangan harus dilakukan;
f.

Suatu pernyataan pejabat yang membuat keterangan hak waris bahwa dia
telah meyakinkan diri atas kebenaran dari apa yang ditulisnya;

3. Jika warisan itu terbuka dalam negeri ini (Negeri Belanda), keteangan hak
waris dibuat oleh seorang Notaris. Akta yang dibuat dari keterangan itu harus
dikeluarkan in originali;

Universitas Sumatera Utara

26

4. Jika warisan itu terbuka di wilayah jajahan atau di luar negeri, keterangan hak
waris harus dibuat oleh seseorang pejabat yang berwenang di wilayah atau
negeri itu;
5. Dokumen-dokumen untuk membuktikan fakta-fakta tertulis di dalam
keterangan itu harus dilampirkan dengan keterangan hak waris;
6. Para penerima hibah wasiat harus membuktikan hak mereka dengan cara yang
sama sephka erti ahli waris. Disamping itu mereka harus pula membuktikan
bahwa hibab wasiat itu telah diserahkan kepada mereka sesuai degan Pasal
1006 N.B.W (Pasal 959 ayat 1 I.B.W) atau bahwa para ahli waris dan para
legimaris mengakui hak mereka;
Singkatnya, keterangan hak waris harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Nama lengkap dan alamat terakhir pewaris;
2. Nama lengkap dan tempat tinggal para ahli waris, kalau ada ahli waris
yang belum dewasa sedapat mungkin dicatat hari dan tahun kelahirannya;
3. Ada tidaknya pewaris meninggalkan surat wasiat;
4. Disebutkan hak bagian dari para ahli waris;
5. Nama lengkap dan alamat lengkap para wakil;
6. Penyebutan dasar hubungan pewaris dengan ahli waris;
7. Semua pembatasan kewenangan yang diamatkan oleh pewaris dan
mereka yang terkena pembatasan;

Universitas Sumatera Utara

27

8. Suatu pernyataan dari pejabat yang membuat akta bahwa ia yakin akan
kebenaran semua yang termuat di dalamnya.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa keterangan hak waris tidak
perlu memuat keterangan lain dari pada yang disebutkan di atas. Keterangan hak
waris menyebutkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut diri pewaris yang tidak
relevan untuk menentukan ahli waris, pewaris, dan pembagian warisan.
Dengan adanya dasar hukum tersebut di atas, para Notaris di negeri Belanda
membuat keterangan waris secara leluasa atas permintaan yang berkepentingan.
Masyarakat di negeri itu memberi penghargaan yang tinggi kepada keterangan hak
waris tersebut, khususnya karena dibuat oleh seorang Notaris yang dianggap ahli
dalam hukum waris.
Bahkan di Belanda para Notaris menjalankan fungsinya yang mirip dengan
hakim. Telah menjadi suatu kenyataan bahwa Notaris yang baik sering berhasil
mencegah dibawanya suatu sengketa ke pengadilan, khususnya dalam hal
penyelesaian urusan warisan. Di Negeri Belanda sedikit sekali terjadi perkara dalam
bidang warisan berkat pekerjaan yang efektif dan bersifat mendamaikan yang
dilakukan oleh Notaris.
Kebiasaan membuat keterangan hak waris serta kepercayaan masyarakat
tersebut dibawa oleh penjajahan ke Indonesia. Keadaan di negeri jajahan
memungkinkan diterimanya kebiasaan ini tanpa suatu peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan khusus untuk Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

28

Keterangan hak waris adalah salah satu dari alat bukti bagi pihak yang
berkehendak membuktikan haknya atas harta peninggalan pewaris terhadap pihak
ketiga, akan tetapi hanya sebagai alat bukti permulaan saja. Yang penting bagi pihak
ketiga adalah bahwa ia dengan itikad baik sepatutnya dapat dipercaya, bahwa surat
keterangan hak waris sebagai surat bukti yang dipergunakan tersebut membutikan
kebenaran.
Perbuatan keterangan hak waris oleh seorang Notaris bagi orang-orang yang
tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada dasar hukumnya dalam
hukum tertulis yang berlaku di Indonesia.
Karena pembuatan surat keterangan hak waris di Indonesai tidak mempunyai
dasar hukum positif, walaupun dibuat oleh seorang Notaris, surat keterangan hak
waris di Indonesia tetap tidak mempunyai kekuatan sebagai alat pembuktian otentik.
Dengan demikian selama ini surat keterangan waris untuk etnis/golongan
penduduk eropa, cina/tiongha, timur asing (kecuali orang arab yang beragama islam)
tidak mempunyai landasan hukum (berdasarkan hukum positif) sama sekali, tetapi
tindakan hukum tersebut hanya merupakan kebiasaan Notaris sebelumnya yang
kemudian diikuti oleh Notaris berikutnya apa adanya, tanpa mengkaji lebih lebih jauh
kewenangan Notaris untu membuat SKW. Bahkan tindakan Notaris seperti itu dapat
dikualifikasikan sebagai tindakan di luar wewenang Notaris.
2.

Konsepsi
Dalam pemberian suatu konsep atau pengertian merupakan salah satu unsur

pokok yang penting dalam suatu penelitian, pentingnya konsepsional untuk

Universitas Sumatera Utara

29

menghindari perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang digunakan.
Maka perlu diuraikan beberapa konsep yang menjadi pegangan dalam proses
penelitian yaitu :
a.

Pewaris
Orang yang meninggal dan meninggalkan harta kekayaan.

b. Ahli Waris
Orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya.22
Orang yang berhak menerima pusaka ( peninggalan ) dari orang yang
meninggal.23
c.

Hukum waris
Keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang mengatur akibat
hukum dari meninggalnya seseorang, terhadap harta kekayaan, perpindahannya
kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.

d. Warisan
Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik itu berupa aktiva
maupun pasiva.
e.

Keterangan Hak Waris
Suatu surat yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi pemrintah yang
berwenang, atau dibuat sendiri oleh segenap ahli yang kemudian dibenarkan dan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurah atau Camat, yang dijadikan alat bukti yang
22

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, Cetakan Pertama, (Rajawali Pers, Jakarta, 1995),

hal. 41.
23

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Cetakan Kelima (Balai Pustaka,
Jakarta), hal. 1148.

Universitas Sumatera Utara

30

kuat tentang adanya suatu peralihan hak atas suatu harta peninggalan dari
pewaris kepada ahli waris.24.
f.

Akta
Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu
peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.25

g.

Pejabat umum
Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan
umum (pemerintah), dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani
publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan
pemerintah.26

h. Notaris
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan Notaris,
notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut
Sutrisno, Pasal 1 angka 1 UUJN tersebut merupakan pengertian mengenai notaris
secara umum, untuk definisi apa itu notaris, diuraikan lebih lanjut di dalam Pasal
15 ayat (1) UUJN. Jadi, bila digabung Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1),
terciptalah definisi notaris, yaitu :27

24

I Gede Purwaka, Op. Cit, hal. 5
Rocky Marbun, CS, Kamus Hukum Lengkap, (Visimedia, Jakarta, 2012), hal. 12.
26
Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I,
Medan, 2007, hal. 119.
27
Ibid, hal. 117.
25

Universitas Sumatera Utara

31

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik,
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan

perundang-undangan

dan/atau

yang

dikehendaki

oleh

yang

berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
G. Metode Penelitian
Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian
hukum adalah kaedah, norma atau das sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti
fakta atau das sein.28 Sebagai suatu penelitian yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan
penelitian diawali dengan pengumpulan data hingga analisis data yang dilakukan
dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:
1.

Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan deskriptif

analitis, yaitu memaparkan dan menganalisis data secara sistematis dengan maksud
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejalagejala lainnya. Deskriptif mengandung arti, bahwa penulis ingin menggambarkan dan
28

Soedikno Mertokesumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Liberty, Yogyakarta,
2001), hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

32

memberikan data yang seteliti mungkin, sistematis dan menyeluruh. Analisis
mengandung makna, mengelompokkan, menghubungkan dan membandingkan aspek
yang berkaitan dengan masalah secara teori dan praktek.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yang merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan historis dan
perundang-undangan (statute approach) serta sinkronisasi vertical dan horizontal
dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan
menurut Soerjono Soekamto mencakup :29
a. penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. penelitian terhadap sitematik hukum;
c. penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal;
d. perbandingan hukum;
e. sejarah hukum.
2.

Sumber Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung

penelitian lapangan, sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.30

29
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 7
30
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Rajawali Press, 1995), hal.39.

Universitas Sumatera Utara

33

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :
a)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
(UUJN).
c)

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
e)

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2012.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian
dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan SKW.
3) Bahan Hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum
seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan SKW.
b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait
dengan penelitian ini, yaitu melakukan wawancara kepada 1 (satu) orang dari
praktisi Pejabat Notaris Kota Medan, 1 (satu) orang Pejabat Lurah,

1

(satu) orang dari Balai Harta Peninggalan.
3.

Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni

dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Universitas Sumatera Utara

34

Bahan Hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan akta otentik yang
mengandung konflik yang dapat menyebabkan notaris menjadi tersangka. Bahan
hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier
adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan
dokumen yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian
lapangan hukum primer dan sekunder.
Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua metode pengumpulan
data, yaitu studi pustaka/studi dokumen (documentary study) dan penelitian lapangan
(Field Research).
Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini dimaksudkan untuk
memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu
mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan, akurasi datanya serta
aktualitas.
Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini juga didukung oleh data
primer yang diperoleh melalui Penelitian lapangan (Field Research). Penelitian ini
dilakukan dengan wawancara mendalam yang menggunakan pedoman wawancara
(interview) kepada 1 (satu) orang dari praktisi Pejabat Notaris Kota Medan, 1 (satu)
orang dari Pejabat Lurah, 1 (satu) dari Pegawai Balai Harta Peninggalan.

Universitas Sumatera Utara

35

4.

Alat Pengumpul Data
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:
a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait

dengan

permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku- buku, hasil
penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan
selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada

yang terkait

penelitian lapangan.

b. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur
kepada responden yang telah ditetapkan yang terkait dengan SKW.
5.

Analisis Data
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya analisis terhadap data yang

ditemukan yang gunanya akan memberikan jawaban terhadap

Dokumen yang terkait

Kekuatan Pembuatan Akta Otentik Yang Membatalkan Akta Notaris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 347/PDT.G/2012/PN-MDN)

2 91 133

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MEMUAT KETERANGAN PALSU DITINJAU DARI UU NO.2 Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik yang Memuat Keterangan Palsu Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

0 3 16

SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik yang Memuat Keterangan Palsu Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

0 2 12

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA NOTARIS MENGENAI YAYASAN YANG DIBUAT TIDAK BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 37 PP NO. 63 TAHUN 2008 PADA SAAT AKTA DIBUAT.

1 10 127

Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN NO. 2 Tahun 2014

0 3 16

Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN NO. 2 Tahun 2014

0 0 2

Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN NO. 2 Tahun 2014

0 0 35

Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN NO. 2 Tahun 2014

0 1 5

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK YANG DIBUAT OLEH NOTARIS PADA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA

0 0 12

BAB II PEMBUATAN KOMPARISI AKTA OTENTIK A. Tinjauan Umum Akta Otentik 1. Pengertian Akta dan Akta Otentik - Analisis Yuridis Komparisi Penghadap Dalam Akta Notaris Berdasarkan Putusan No. 51 Pk/Tun/2013

0 6 30