Konstruksi Realitas Pengguna Ponsel Cerdas Berdasarkan Pesan Penempatan Merek dalam Film James Bond: Spectre

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Konteks Masalah
Samsung, Sony, Oppo, xiaoMi, dan Asus adalah beberapa contoh merek
ponsel cerdas yang ada di pasaran. Setiap merek ponsel cerdas memiliki
segmentasi pasar masing-masing, sebagai contoh adalah Samsung dan Sony.
Samsung yang dalam 3-5 tahun terakhir ini memimpin pasar ponsel cerdas dengan
seri produk Samsung Galaxy selalu identik dengan pengguna kelas atas (high-end
user). Hal ini ditunjukkan dalam iklannya yang menawarkan kemampuan
perangkat mumpuni, menyewa aktor terkenal, dan harga produk yang sangat
mahal dari sudut pandang masyarakat umum.
Citra Samsung, Sony dan merek kelas atas lain perlahan „diturunkan‟ oleh
produsennya, menyusul maraknya produk ponsel cerdas kelas menengah kebawah
(low mid-end) dengan harga yang lebih murah. Sebut saja seperti merek XiaoMi,
Oppo, dan Asus. Merek-merek ponsel tersebut memaksa merek kelas atas turut
mengeluarkan produk yang lebih murah untuk berkompetisi di pasar menengah
kebawah.
Dalam kenyataannya, keputusan seseorang dalam memilih produk ponsel
cerdas tidak selalu didasari oleh aspek pemenuhan kebutuhan informasi dan
sosial. Terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi seseorang sehingga memilih
menggunakan ponsel cerdas tertentu walaupun jelas-jelas produk tersebut tidak

sesuai dengan kebutuhannya. Faktor tersebut dapat berupa gengsi pribadi, ciri
gaya hidup, dan faktor lainnya.
Setiadi dalam bukunya Perilaku Konsumen (2003) menjelaskan beberapa
bidang yang menentukan pengambilan keputusan seorang calon konsumen ketika
akan melakukan pembelian. Menurut Setiadi, pembelian dipengaruhi oleh faktor
motivasi diri, kepribadian dan tuntutan gaya hidup, persepsi konsumen, pengaruh
dinamika kelompok, serta pengaruh kelas dan status sosial.
Selain faktor-faktor diatas, terdapat faktor lain yang mempengaruhi indivi-

Universitas Sumatera Utara | 1
Universitas Sumatera Utara

du dalam menyesuaikan dan memilih ponsel cerdas mana yang akan
digunakannya. Faktor itu adalah adanya konstruksi realitas sosial yang dibangun
oleh produsen melalui iklan media massa. Iklan, tanpa disadari atau tidak sangat
berpengaruh terhadap penggambaran individu akan realitas sosial yang
dihadapinya (Bungin, 2008:84).
Penggunaan ponsel cerdas dewasa ini sudah tidak lagi disesuaikan dengan
kebutuhan informasi sosial dari penggunanya. Terdapat ketimpangan antara
spesifikasi ponsel cerdas dan status sosial penggunanya. Sebagai contoh, banyak

anak sekolahan mempunyai ponsel cerdas yang jika dilihat dari fitur ponselnya,
harusnya lebih layak digunakan oleh pekerja ataupun pebisnis menengah atas.
Pebisnis yang aktif pasti memiliki kebutuhan informasi sosial yang
berbeda dengan anak sekolahan. Orang tua yang berumur diatas 50 tahun pasti
memiliki kebutuhan informasi sosial yang berbeda pula dengan anak-anak muda.
Kebutuhan informasi sosial tentunya berbeda jika dilihat dari kelas-kelas sosial
dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan
informasi sosial yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Terdapat kasus-kasus serupa lain yang memiliki permasalahan yang sama,
yakni terdapat ketidakcocokan antara ponsel cerdas dan penggunanya.
Ketidakcocokan yang dimaksud adalah kesalahan individu dalam menyesuaikan
antara kebutuhan informasi sosialnya dengan jenis ponsel cerdas apa yang harus
digunakannya.
Dengan banyaknya produk dan merek ponsel cerdas di pasaran, konsumen
tentunya harus memilih tipe ponsel cerdas seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan informasi sosialnya. Pemilihan biasanya akan ditentukan oleh beberapa
faktor seperti merek, spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunaknya, tren
kekikinian, dan tentunya kondisi finansial dari calon konsumen.
Iklan menurut Fowles (Bungin, 2008:79) merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari budaya populer. Iklan, seperti dapat kita lihat hampir secara
keseluruhan menggunakan simbol budaya populer. Simbol budaya populer yang

sering diperlihatkan dalam iklan adalah atribut instan, serba jadi dan praktis.

Universitas Sumatera Utara | 2
Universitas Sumatera Utara

Iklan dan konstruksi sosial tidak bisa dipisahkan. Iklan adalah salah satu
bagian dari proses panjang pengkonstruksian realitas sosial dalam kehidupan
masyarakat. Burhan Bungin dalam bukunya Konstruksi Sosial Media Massa
menjelaskan sebagai berikut:
“Iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan
mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan
demikian objek iklan tidak sekadar tampil dalam wajah yang utuh,
akan tetapi melalui proses pencitraan, sehingga citra produk lebih
mendominasi bila dibandingkan dengan produk itu sendiri. Pada
proses ini cita produk diubah menjadi citra produk” (Bungin, 2008:79)
Salah satu iklan yang mempunyai legimitasi yang kuat dalam membentuk
benak dalam masyarakat adalah iklan televisi. Bungin (2008:119) menyebut televisi dengan sebutan theatre of mind (panggung pikiran), panggung yang menguasai jalan pikiran masyarakat. Hal ini telah melenceng jauh dari tugas utama iklan
televisi yang harusnya menjual barang atau jasa, dan bukan menghibur (Bungin,
2008:121).
Dalam kaitannya dengan konstruksi realitas sosial, copywriter dan

visualizer sebuah iklan dituntut memiliki kemampuan untuk membangun realitas
media, yaitu sebuah dunia yang ada didalam media. Kedua pihak ini bekerja
setiap hari (dengan menampilkan iklan-iklan mereka di televisi) untuk membangun realitas berdasarkan dunia seperti apa yang mereka inginkan tentang
penggambaran produk yang diiklankan.
Seiring berjalannya waktu, iklan televisi dianggap tidak lagi efektif
sebagai sarana promosi yang utama. Adiwijaya & Djati dalam penelitiannya yang
berjudul “Analisa Strategi Penempatan Merek Sebagai Bagian dalam Komunikasi
Pemasaran Terpadu” (2006:4) menjelaskan sebagai berikut:
“Iklan televisi saat ini sudah tidak mencukupi lagi dalam artian agensi
iklan harus memahami fenomena ini untuk menciptakan materi POSPoint of Purchase [cetak tebal dari penulis] yang kuat yang akan
mempengaruhi keputusan para konsumen saat berbelanja (Sinar
Harapan; 2003). Kondisi tersebut menyebabkan pemasar harus selektif
di dalam memilih media iklan yang efektif serta efisien di dalam
meningkatkan ekuitas merek (brand equity) dan di dalam

Universitas Sumatera Utara | 3
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan omzet penjualan sebagai hasil dari komunikasi
pemasaran yang efektif”

Adiwijaya & Djati memberikan penggambaran bahwa penggunaan iklan
yang gencar di media televisi tidak memberikan jaminan bahwa produk tersebut
akan diserap dengan cepat oleh pasar. Pada era terdahulu memang iklan televisi
pernah menjadi raja di dunia pemasaran, namun kini bentuk iklan 30 detik sedang
mengalami penurunan.
Di Amerika Serikat sebagai kiblat dunia pertelevisian, rating acara waktu
primer (prime-time) mulai ditinggalkan seiring menurunnya waktu para pemirsa
menonton televisi. Tren ini diperkirakan tak hanya berkembang di negara-negara
Barat, tapi juga di negara dunia ketiga seiring perkembangan teknologi dan arus
globalisasi yang mempengaruhi kebiasaan menonton televisi.
Salah satu alternatif dalam media periklanan yang memiliki efek lebih
besar dari televisi adalah film. Film sejalan dengan televisi karena berisi unsur
suara dan gambar yang tidak diam (media auditif-visual-kinestetik). Dikatakan
oleh McQuail (2012:13) bahwa sebuah film dinilai memiliki sebuah pengaruh
yang besar bagi penontonnya, karena merupakan bagian dari realitas dunia
modern.
Berbeda dengan iklan di televisi, iklan di film dikemas bukan dalam
bentuk tayangan 30 detik di sela acara (commercial break), melainkan dikemas
dalam metode penempatan merek (branding placement). Penempatan merek
menurut Avery & Ferraro (Adiwijaya & Djati, 2006:15), adalah penempatan yang

dilakukan melalui program media tertentu yang ditujukan untuk meningkatkan
visibilitas sebuah merek atau produk dan jasa. Adiwijaya & Djati memaparkan
penjelasannya sebagai berikut:
“Dalam metode penempatan merek, produk ditempatkan secara halus
dalam film atau sinetron, dan ditempatkan seolah-olah merupakan satu
kesatuan dari film atau sinetron tersebut. Produk yang beriklan
ditampilkan saat sedang digunakan oleh aktor yang bersangkutan
tanpa menganggu adegan dalam film sehingga diharapkan visibilitas
merek akan terangkat”. (Adiwijaya & Djati, 2006:16)
Salah satu film yang dijadikan media dalam strategi penempatan merek

Universitas Sumatera Utara | 4
Universitas Sumatera Utara

adalah film Spectre. Spectre adalah lanjutan dari serial film James Bond yang
dirilis pada 6 November 2016. Film ini dibintangi oleh aktor Daniel Craig, yang
telah berperan sebagai James Bond selama 4 seri. Dalam catatan peneliti terdapat
kurang lebih 17 produk dan merek yang beriklan di film Spectre, mulai dari
minuman keras, pakaian, senjata, mobil, jam tangan, gawai, dan produk lainnya.
Salah satu produk yang menggunakan strategi penempatan merek di film

Spectre adalah ponsel cerdas Sony Xperia Z5. Sony Xperia Z5 diperlihatkan
sebagai ponsel cerdas dengan kualitas premium, digunakan oleh James Bond yang
notabene tokoh yang identik dengan sosok pemilih dan selalu menggunakan
produk kelas atas.
Iklan penempatan merek yang dilakukan oleh Sony sebagai produsen
Xperia Z5 merupakan proses konstruksi realitas sosial untuk konsumen ponsel
cerdas di seluruh dunia. Dengan menonton film Spectre, penonton film akan
menginterpretasi persepsi penggunaan ponsel cerdas selama adegan muncul di
film. Persepsi yang muncul mungkin akan kecanggihan ponsel, kemewahan
ponsel, atau persepsi lainnya.
Dengan adanya iklan penempatan merek di film yang menayangkan
kehebatan ponsel cerdas, perilaku masyarakat sebagai konsumen diasumsikan
dapat berubah ketika hendak memilih jenis ponsel cerdas. Faktor kebutuhan
informasi sosial yang seharusnya menjadi acuan dalam memilih spesifikasi ponsel
cerdas dapat berubah haluan karena terpengaruh gambaran dari pesan penempatan
merek.
Penempatan merek berupa produk ponsel cerdas di film Spectre inilah
yang membuat peneliti tertarik ingin meneliti sejauh mana dampak penempatan
merek dalam mengkonstruksi realitas pengguna ponsel cerdas dalam memenuhi
kebutuhan informasi sosialnya. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul “Konstruksi Realitas Pengguna Ponsel
Cerdas Berdasarkan Pesan Penempatan Merek Dalam Film James Bond: Spectre”.

Universitas Sumatera Utara | 5
Universitas Sumatera Utara

1.2. Fokus Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka penelitian ini harus dapat menjawab
pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengguna ponsel cerdas menyesuaikan diri antara
ponsel cerdas dengan kebutuhan informasi sosialnya?
2. Bagaimana pemaknaan subjektif penggunaan Sony Xperia Z5 pada
pesan penempatan merek di film James Bond: Spectre?
3. Bagaimana indentifikasi pengguna pengguna ponsel cerdas dengan
lingkungan sosialnya?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengguna ponsel cerdas menyesuaikan
diri antara ponsel cerdas dengan kebutuhan informasi sosialnya.
2. Untuk mengetahui pemaknaan subjektif penggunaan Sony Xperia Z5

pada pesan penempatan merek di film James Bond: Spectre.
3. Untuk mengetahui indentifikasi pengguna ponsel cerdas dengan
lingkungan sosialnya.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan mengenai bagaimana sebuah penempatan merek di dalam
sebuah film dapat berpengaruh terhadap konstruksi realitas khalayak
yang menonton, khususnya para pengguna ponsel cerdas.
2. Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti
lain yang ingin meneliti tentang konstruksi realitas sosial melalui
media iklan televisi dan film, serta pemaknaan subjektif melalui
penempatan merek dalam sebuah film yang belum banyak dilakukan
oleh mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara | 6
Universitas Sumatera Utara

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dari sisi produsen, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
produsen yang ingin melakukan kegiatan periklanan berupa metode
penempatan merek di film, terkait tentang sejauh mana terpaan iklan
yang dapat dijangkau proses penempatan merek serta apakah efektif
atau tidak melakukan iklan di film.
2. Dari sisi konsumen, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
pertimbangan bagi konsumen ponsel cerdas agar dapat lebih teliti
dalam memaknai pesan-pesan subjektif iklan di film, sehingga tidak
terjebak dalam konsumerisme dan menyesuaikan antara kebutuhan
informasi sosialnya dan ponsel cerdas yang harus dipilih.

Universitas Sumatera Utara | 7
Universitas Sumatera Utara