Determinan Penggunaan Kondom oleh Pekerja Seks Komersial di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penggunaan Kondom
2.1.1. Pengertian Kondom
Kondom dalam bahasa Indonesia adalah sarung kontrasepsi (sarkon).
Kondom merupakan selubung/sarung karet tipis yang dipasang pada penis sebagai
tempat penampungan air mani yang dikeluarkan pria pada saat senggama sehingga
tidak tercurah pada vagina. Bentuknya ada 2 macam, yaitu polos dan berputing.
Bentuk berputing ada kelebihannya yaitu bahwa puting pada ujung kondom tersebut
dapat menampung sperma setelah ejakulasi (Suratun, 2008).
Menurut Pinem (2009), kondom merupakan sarung/selubung karet yang
berbentuk silinder, dapat terbuat dari lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami
(produksi hewani) yang dipasang pada penis saat bersenggama. Muaranya berbentuk
tebal dan kalau digulung berbentuk rata atau mempunyai bentuk seperti puting susu.
Cara kerja kondom yaitu mencegah pertemuan ovum dan sperma atau
mencegah spermatozoa mencapai saluran genital wanita (Suratun, 2008).
2.1.2. Sejarah Kondom
Asal nama kondom dari dr. Condom yaitu dokter pribadi Raja Condos, yang
artinya untuk menyimpan gandum. Kondom dikenal sejak abad ke-18. Kondom
mulanya dibuat dari usus domba dan pada tahun 1870 telah dikembangkan dari bahan

karet tipis (Suratun, 2008).

27
Universitas Sumatera Utara

28

Kondom diperkirakan telah memiliki sejarah yang panjang dalam perannya
sebagai “alat pelindung”. Sekitar 1000 tahun sebelum Masehi, orang Mesir kuno
telah menggunakan sarung pengaman untuk mencegah penyakit. Penemuan lukisan
pada dinding batu pada gua di Combrelles, Perancis, menggambarkan manusia yang
memakai kondom. Lukisan tersebut diperkirakan berusia lebih kurang seabad
sebelum masehi. Tetapi para ahli masih sulit memastikan apa maksud lukisan itu;
bagian upacara ritual atau hanya arus mode belaka.
Sekitar tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan
percobaan alat pencegah penyakit berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle
Fallopius mengklaim menemukan kondom yang terbuat dari linen dan membuat uji
coba pada 1100 pria. Dari percobaan tersebut, tak satupun dari mereka yang terinfeksi
penyakit sifilis. Penemuan membuktikan bahwa kain linen itu bermanfaat mencegah
infeksi. Tetapi di kemudian hari kondom dikenal sebagai pencegah kehamilan. Hal itu

diawali dari percobaan terhadap kain linen yang dibasahi dengan cairan kimia tahun
1500-an. Ketika linen direndam dalam cairan kimia kemudian dikeringkan dan
dikenakan oleh pria, maka kain itu dapat mematikan sperma.
Tonggak penting sejarah kondom dimulai sekitar tahun 1640, berbarengan
dengan mulai dikenalnya penyakit kelamin. Pertama-tama kondom memang dipakai
sebagai penangkal penyakit kelamin. Kondom pada saat itu masih terbuat dari ikan
atau usus binatang. Bekas-bekas kondom ditemukan di antara fondasi reruntuhan
Dudle Castle, dekat Birmingham, Inggris. Pada saat itu timbul peperangan antara
pengikut Oliver Cromwell dan prajurit-prajurit Raja Charles I. Perang yang

Universitas Sumatera Utara

29

berlangsung lama itu juga melibatkan wanita-wanita PSK. Akibatnya para prajurit
pun tertular penyakit kelamin sehingga melemahkan gaya gempur pasukan. Guna
menanggulangi dan meredam penyakit kelamin ini, maka para prajurit menggunakan
pelindung.
Pada tahun 1861, untuk pertama kalinya kondom dipublikasikan di Amerika
Serikat pada surat kabar The New York Times. Pemakaian secara luas kondom yang

terbuat dari lateks ini baru terjadi pada tahun 1930-an. Pada tahun 1935 sebanyak 1,5
juta kondom diproduksi setiap hari di Amerika Serikat. Anehnya, meski telah tersedia
kondom yang lebih nyaman, namun masih ada yang tidak mau memakainya. Bahkan
hingga 100 tahun kemudian, antara tahun 1940-an sampai 1950-an masih dibuat
kondom yang terbuat dari usus domba. Setelah dipakai, kondom yang terbuat dari
usus domba yang telah diawetkan ini tidak langsung dibuang. Kondom tersebut
dicuci kembali, dilumuri jelly, lalu disimpan ke dalam kotak kayu. Jika diperlukan
kembali, kondom dapat langsung dipakai.
Pada awal tahun 1900-an, perjalanan karier kondom sebagai alat pelindung
belum berjalan dengan mulus. Di Amerika Serikat, para aktivis dari The American
Social Hygiene Association menentang keras pemakaiannya. Alasannya bahwa kalau
seseorang berhubungan seks dengan PSK, maka wajar bila ia tertular penyakit
kelamin. Seorang petinggi militer Angkatan Laut berpendapat, pemakai kondom
hanya dilakukan oleh mereka yang amoral. Meski demikian saat para pelaut dikirim
ke medan perang, kondom secara diam-diam dibagikan oleh asisten petinggi militer
tersebut. Pada tahun 1933 ternyata sang asisten tersebut terpilih menjadi Presiden

Universitas Sumatera Utara

30


Amerika Serikat dan memerintah selama 12 tahun sampai ia meninggal pada tahun
1945. Dia adalah Franklin Delano Roosevelt.
Pada tahun 1990-an mulai diperkenalkan kondom dengan warna dan aroma
yang berbeda-beda. Pada saat itu untuk pertama kalinya tersedia kondom
polyurethane. Pada tahun 1992 di Eropa, diperkenalkan kondom untuk wanita yang
lebih dikenal dengan femidom (BkkbN, 2007).
2.1.3. Jenis / Tipe Kondom
Sebagian besar kondom terbuat dari karet lateks halus dan berbentuk silinder
bulat, umumnya panjang 15-20 cm, tebal 0,03-0,08 mm, garis tengah sekitar 3,0-3,5
cm), dengan satu ujung buntu yang polos atau berpentil dan dipangkal yang terbuka
bertepi bulat. Namun untuk sekarang telah tersedia dalam ukuran yang lebih besar
atau lebih kecil dari standar.
Sebagai usaha untuk meningkatkan akseptabilitas, telah diperkenalkan variasi
kondom yang berpelumas, mengandung spermatiside, berwarna, memiliki rasa, dan
beraroma. Tersedia kondom anti alergi, yang terbuat dari karet lateks dengan rendah
residu dan tidak dipralubrikasi. Kondom yang lebih tebal dan melebihi standar,
dipasangkan terutama untuk hubungan intim per anus pada pria homoseks untuk
memberikan perlindungan tambahan terhadap penularan HIV/AIDS (Suratun, 2008).
2.1.4. Indikasi Penggunaan Kondom

Indikasi penggunaan kondom dapat dilihat dari sudut laki-laki, perempuan,
maupun dari pasangan laki-laki dan perempuan. (Pinem, 2009).

Universitas Sumatera Utara

31

1. Pada laki-laki
Penyakit genitalia, penis sensitif terhadap sekret vagina, dan ejakulasi dini.
2. Pada perempuan
a. Vaginitis, termasuk yang sedang dalam pengobatan.
b. Kontraindikasi terhadap penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
sedangkan pemasangan diafragma atau kap serviks tidak memungkinkan baik
secara anatomis maupun psikologis.
c. Untuk membuktikan bahwa tidak ada semen yang dilepaskan ke dalam
vagina.
d. Sebagai metoda kontrasepsi sementara:
1) Belum melakukan senggama secara teratur
2) Selama siklus pertama dari kontrasepsi oral dosis rendah
3) Selama periode awal post partum

4) Saat haid
5) Gagal memakai kontrasepsi oral dengan tepat
6) Selama mid siklus dari penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR).
7) Secara psikologis atau religius enggan menggunakan suatu alat
kontrasepsi.
8) Secara psikologis enggan atau alergi bersentuhan dengan semen (sperma).
3. Pada pasangan laki-laki dan perempuan
a. Penyakit kelamin, aktif atau tersangka.

Universitas Sumatera Utara

32

b. Herpes genitalia atau kondiloma akuminata
c. Urethritis disebabkan apapun, termasuk yang sedang dalam pengobatan.
1) Sistitis, disuria atau pyuria sampai penyebabnya ditegakkan.
2) Metoda sementara sebelum menggunakan kontrasepsi oral atau AKDR
2.1.5. Keuntungan dan Keterbatasan Kondom
Keuntungan penggunaan kondom adalah sebagai berikut :

1. Mencegah kehamilan, dapat diandalkan dan reversible.
2. Tidak mengganggu kesehatan klien.
3. Mencegah penularan IMS termasuk Hepatitis B Virus (HBV) dan HIV/AIDS dari
satu pasangan kepada pasangan yang lain (khusus kondom yang terbuat dari
lateks dan vinil).
4. Tidak memerlukan pemeriksaan medis, supervisi atau follow up.
5. Membantu mencegah terjadinya kanker serviks pada perempuan (mengurangi
iritasi bahan karsinogenik eksogen pada serviks).
6. Pria secara aktif ikut dalam program KB, pasangan saling berinteraksi
7. Mencegah imuno infertilitas
8. Efektif bila dipakai dengan baik dan benar (Pinem, 2009).
Keuntungan-keuntungan kontrasepsi tersebut akan diperoleh, kalau kondom
dipakai secara benar dan konsisten pada setiap senggama, karena umumnya
kegagalan yang timbul disebabkan pemakaian yang tidak benar, tidak konsisten, tidak
teratur atau tidak hati-hati (Hartanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

33


Keterbatasan penggunaan kondom adalah :
1. Efektivitas tidak terlalu tinggi (angka kegagalan kondom 2-12 kehamilan per 100
perempuan per tahun).
2. Cara penggunaan memengaruhi keberhasilan kontrasepsi.
3. Agak mengganggu hubungan seksual (mengurangi sentuhan langsung)
4. Pada beberapa klien dapat menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan ereksi.
5. Perlu menghentikan sementara aktivitas dan spontanitas hubungan seks untuk
memakai kondom.
6. Harus dipakai setiap kali bersenggama sehingga harus selalu tersedia.
7. Beberapa klien malu untuk membeli kondom di tempat umum.
8. Pembuangan kondom bekas mungkin menimbulkan masalah dalam hal limbah
(Pinem, 2009).
2.1.6. Penggunaan Kondom Bagi Pekerja Seks
Menurut Pinem (2009), cara penggunaan kondom/instruksi bagi pekerja seks
adalah sebagai berikut:
1. Gunakan kondom setiap kali akan melakukan hubungan seksual dengan
pelanggannya
2. Jangan menggunakan gigi, benda tajam seperti pisau, silet, gunting atau benda
tajam lainnya saat membuka kemasan
3. Agar efek kondom lebih baik, tambahkan spermisida ke dalam kondom

4. Pasangkan kondom saat penis sedang ereksi, tempelkan ujungnya pada glans
penis (kepala penis) dan tempatkan bagian penampung sperma pada ujung uretra.

Universitas Sumatera Utara

34

Lepaskan gulungan karetnya dengan jalan menggeser gulungan tersebut ke arah
pangkal penis. Pemasangan ini harus dilakukan sebelum penetrasi penis ke vagina
5. Bila kondom tidak mempunyai penampungan sperma pada bagian ujungnya,
maka saat memakai longgarkan sedikit bagian ujungnya agar tidak terjadi robekan
pada saat ejakulasi
6. Kondom dilepas sebelum penis melembek
7. Pegang bagian pangkal kondom sebelum mencabut penis sehingga kondom tidak
terlepas pada saat penis dicabut dan lepaskan kondom di luar vagina agar tidak
terjadi tumpahan cairan sperma di sekitar vagina
8. Gunakan kondom hanya untuk satu kali pakai
9. Buang kondom bekas pakai pada tempat yang aman
10. Sediakan kondom dalam jumlah cukup di rumah dan jangan disimpan di tempat
yang panas karena hal itu dapat menyebabkan kondom menjadi rusak atau robek

saat digunakan.
2.2. Pekerja Seks Komersial
2.2.1. Pengertian PSK
Pekerja Seks komersial (PSK) sering juga disebut dengan Wanita Tuna Susila
(WTS) adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan
jenis secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang syah dengan tujuan
mendapatkan imbalan uang, materi / jasa dengan kriteria usia di atas 15 tahun dan
menjajakan diri di tempat umum atau tempat terselubung (Dinsos, 2009).

Universitas Sumatera Utara

35

Kartini Kartono (2005) mengemukakan definisi pelacuran adalah bentuk
penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls atau dorongan seks yang
tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa
kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi
seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
Pelacuran atau pekerja seks komersial (PSK) dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapat upah. Pelacuran menjadi hal yang problematis.

Di satu sisi, dalam stigma ajaran agama, pelacuran merupakan kemungkaran dan
dosa. Sementara di sisi lain, pelacuran adalah kenyataan yang sulit diberantas, bahkan
kian mewabah dengan segala hal yang melatarinya. Perempuan PSK dalam menjalani
pekerjaannya mempunyai alasan-alasan yang berbeda-beda akan tetap pada umumnya
adalah mencari uang. Menjadi pelacur tidak hanya bermodal tubuh saja, tapi juga
kepiawaian dalam menjalin relasi pelanggan serta sarat kompetisi. Pelacur adalah
pekerja jasa, karenanya harus sadar betul bagaimana melayani tamu, kendati hatinya
berontak. Bagaimanapun, pelacur juga seorang manusia biasa hanya saja mereka
tidak sehat secara sosial akibat dari masalah sosial.
2.2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran
Banyak motif yang menjadi latar belakang seseorang menjadi wanita tuna
susila, diantara karena tekanan ekonomi, kelainan seksual, dan karena aspirasi yang
tinggi terhadap kesenangan. Kartini Kartono (2005), mengemukakan faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang menjadi wanita tuna susila adalah :

Universitas Sumatera Utara

36

1. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks.
2. Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo dan oknum yang
memanfaatkan pelayanan seks.
3. Dedikasi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan.
4. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat
wanita.
5. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini
6. Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum
“jual dan permintaan” yang diterapkan pula dalam relasi seks. Artinya dalam
melakukan hubungan seksual dengan para laki- laki mereka memasang tarif.
7. Peperangan dan masa-masa kacau (dikacau oleh gerombolan pemberontak) di
dalam negeri meningkatkan jumlah pelacuran, dengan adanya peperangan
mengakibatkan banyak wanita yang kehilangan suaminya karena menjadi korban
peperangan hal ini mengakibatkan gerombolan pemberontak dengan leluasa
melakukan tindakan seksual
8. Adanya

proyek-proyek

pembangunan

dan

pembukaan

daerah-daerah

pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, yang memakan waktu lama atau
berbulan-bulan maka untuk memenuhi kebutuhan biologis terutama seks maka
pria itu mendatangkan WTS atau ke lokalisasi terdekat.
9. Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri sehingga banyak
menyerap tenaga buruh serta pegawai pria, membuat daya tarik dunia
prostitusi/pelacuran berkembang.

Universitas Sumatera Utara

37

10. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat,
menimbulkan gaya pergaulan yang bebas karena pengaruh kebudayaan asing
yang bersifat negatif
Pengertian tersebut menjelaskan tentang faktor-faktor penyebab seseorang
menjadi wanita tuna susila dikarenakan faktor sosial, faktor psikologis, faktor
ekonomis, faktor biologis, dan faktor lainnya yang mencakup kondisi psikososial
yang luar biasa serta rendahnya tingkat pendidikan karena tidak memiliki
keterampilan sehingga tidak bisa melakukan aktifitas selain menjadi wanita tuna
susila. Sementara itu motif-motif seseorang menjadi wanita tuna susila secara lebih
khusus dikemukakan oleh Kartini Kartono (2005), sebagai berikut:
1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindari
diri dari kesulitan ekonomi, dan mendapatkan kesenangan melalui “jalan pendek‟
artinya bahwa mereka tidak mau bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan.
2. Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, royal
seks, histeris dan hiperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks
dengan satu pria/suami.
3. Keinginan yang tinggi pada diri wanita, kesenangan, ketamakan terhadap
pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah, namun malas kerja.
4. Gadis-gadis dari daerah slums atau kumuh (perkampungan-perkampungan
melarat dan kotor) dengan lingkungan imoril, yang sejak kecilnya selalu
melihat aktivitas hubungan seksual orang-orang dewasa secara kasar dan

Universitas Sumatera Utara

38

terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan berbagai macam tindakan
susila.
5. Oleh bujuk rayu kaum lelaki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaanpekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
6. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar
porno, bacaan-bacaan cabul, dan lain-lain.
7. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum lelaki, dan tidak sempat membawa
keluarganya. Misalnya pekerjaan mengemudi, tentara, pelaut, pedagang dan kaum
polisi, yang membutuhkan pelepasan ketegangan otot-otot dengan bermain
perempuan.
8.

Adanya kebutuhan seks yang normal bagi seorang istri akan tetapi tidak
terpuaskan oleh pihak suami impoten, suami yang lama menderita sakit, banyak
istri-istri lain sehingga sang suami jarang mendatangi istri yang bersangkutan,
suami lama bertugas di tempat jauh, dan lain-lain.

2.2.3. Tempat PSK Mencari dan Melayani Pelanggan
Menurut SUM (2011), tempat-tempat yang digunakan PSK dalam mencari
pelanggan dan pelayanan seks kepada pelanggan:
1. Tempat hiburan, seperti karaoke, diskotik, dan panti pijat
Pekerjaan seks komersil

bekerja

di tempat‐tempat

hiburan

ini dan

menyediakan layanan seks bagi klien yang berpenghasilan menengah ke atas.
Manajer menyediakan akomodasi untuk transaksi aktivitas seksual di tempat

Universitas Sumatera Utara

39

atau di luar lokasi tempat hiburan tersebut serta menetapkan harga untuk
transaksi seksual.
2. Rumah bordil / lokalisasi
Lokasi di daerah tertentu dari suatu kota dikenal sebagai tempat menjajakan seks.
Manajer rumah bordil / lokalisasi menetapkan biaya dan menyediakan ruangan
untuk hubungan seks. Harga yang ditetapkan termasuk harga menengah bagi
klien. Seringkali PSK tinggal di rumah bordil (sehingga lebih mudah untuk
menyediakan layanan kesehatan karena mereka berada di satu lokasi).
3. Jalanan
PSK yang bekerja di jalanan menjajakan seks bagi klien berpenghasilan rendah.
PSK berbasis jalanan ini menetapkan sendiri bayaran untuk klien. Seks dapat
terjadi di kamar hotel, dekat rel kereta api, taman, dan lorong‐lorong.
4. Rumahan
Perempuan di beberapa desa, dengan sepengetahuan dan persetujuan orang tua
atau pasangannya, memberikan layanan seks di rumah. Klien berasal dari
berbagai daerah di dalam dan di luar desa.
2.2.4. Pekerja Seks Komersial dan Penyakit Infeksi Menular Seksual
Kasus penyakit infeksi menular seksual (IMS) terus mengalami peningkatan,
fenomena peningkatan dan penyebaran kasus infeksi menular seksual yang terjadi
pada kelompok risiko tinggi demikian cepat, salah satu kelompok risiko tinggi adalah
wanita pekerja seks (WPS) atau PSK (Widodo, 2009). Masalah lain bahwa penyakit

Universitas Sumatera Utara

40

infeksi menular seksual sangat berpotensi meningkatkan risiko penularan HIV
melalui hubungan seksual, yang sekarang menjadi perhatian dan komitmen global
dalam pencegahan dan penanganannya (Daili, 2009).
Pekerja Seks Komersil (PSK) merupakan kelompok risiko tinggi terkena IMS
mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan
pasangan yang tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok
tersebut. Walaupun infeksi menular seksual (IMS) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi organisme, namun ternyata dalam penyebarannya sangat
dipengaruhi oleh pola perilaku dan gaya hidup seseorang (Yuwono, 2007).
Masalah utama yang ditemui dalam penggunaan kondom bagi PSK adalah
bahwa PSK harus bersaing untuk mendapatkan klien sehingga menekankan
penggunaan kondom tidak hanya buruk bagi bisnis atau kesulitan mencari pelanggan,
tapi juga secara tidak langsung mengisyarakatkan bahwa pekerja seks

tersebut

mungkin HIV positif (SUM, 2011).
Permasalahan pada para pekerja seksual komersil bukanlah masalah kesulitan
memperoleh kondom karena apabila membeli di apotek pun dilayani dengan ramah
ataupun telah disediakan oleh pemerintah melalui puskesmas. Akan tetapi
permasalahan yang muncul adalah kurangnya kesadaran menggunakan kondom
khususnya PSK untuk menghindari penyebaran penyakit HIV/AIDS. Hal ini
dibuktikan saat dibagikan kondom secara gratis tidak memperoleh respon yang baik
dari PSK (Triwibowo, 2011).

Universitas Sumatera Utara

41

2.2.5. Sejarah HIV/AIDS di Dunia dan Indonesia
Penyakit infeksi HIV/AIDS memiliki sejarah yang panjang. Hal ini dimulai
dari penemuan ilmuwan pada tahun 1926 (
1. 1926: Beberapa ilmuwan menganggap HIV menyebar dari monyet ke manusia
sekitar tahun 1926-1946.
2. 1982: Para ilmuwan menemukan sindrom yang dikenal sebagai Gay Related
Immune

Deficiency (GRID),

yakni

penurunan

kekebalan

tubuh

yang

dihubungkan dengan kaum gay.
3. 1983: Dokter di Institut Pasteur Prancis memisahkan virus baru penyebab AIDS.
Virus itu terkait dengan limfadenopati (Lymphadenopathy-Associated VirusLAV).
4. 1984: Pemerintah AS mengumumkan, Dr Robert Gallo dari National Cancer
Institute (NCI) memisahkan retrovirus penyebab AIDS dan diberi nama HTLV
111.
5. 1986: Suatu panitia internasional menyatakan bahwa virus LAV dan HTLV-III
adalah sama sehingga nama virus itu diganti menjadi HIV.
6. 15 April 1987: Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan. Seorang
wisatawan berusia 44 tahun asal Belanda, Edward Hop, meninggal di Rumah
Sakit Sanglah, Bali. Kematian lelaki asing itu disebabkan AIDS. Hingga akhir
1987, ada enam orang yang didiagnosis HIV positif, dua di antara mereka
mengidap AIDS.

Universitas Sumatera Utara

42

7. 1987-Desember 2001: Dari 671 pengidap AIDS, 280 orang diantaranya
meninggal dunia.
8. Februari 1999: Peneliti dari University of Alabama di Amerika Serikat (AS)
meneliti jaringan yang dibekukan dari seekor simpanse dan menemukan jenis
virus SIV yang hampir sama dengan HIV-1. Simpanse itu berasal dari
subkelompok simpanse yang disebut pan troglodyte yang terdapat di Afrika
Tengah Barat.
9. 2001: UNAIDS (United Nations Joint Program on HIV/AIDS) memperkirakan
jumlah Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA) 40 juta. Sampai sekarang, di
subsahara Afrika paling banyak terdapat ODHA, yakni 70 persen dari ODHA
yang ada di dunia. Sedikitnya 12 juta anak menjadi yatim piatu karena
HIV/AIDS.
10. November 2001: Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan obat untuk
AIDS dan penyakit lainnya dalam kasus tertentu boleh tidak dipatenkan.
11. 2002: 3,1 juta orang meninggal karena penyakit AIDS.
12. 9 Januari 2003: Penderita HIV/AIDS di Bali bertambah 18 orang lagi. Total
kumulatif penderita, dari 233 orang menjadi 251 orang. Sampai saat ini belum
bisa dipastikan posisi Bali dalam hal urutan jumlah penderita HIV/AIDS dalam
skala nasional.
13. Juli 2003: Salah satu kasus baru yang belum banyak diketahui orang lain adalah
merebaknya HIV/AIDS di kalangan para petugas kesehatan akibat secara tidak
sengaja tersuntik jarum suntik yang biasa digunakan oleh para penderita penyakit

Universitas Sumatera Utara

43

yang diidentikkan dengan penyakit seksual ini. Kebanyakan yang terkena adalah
para suster yang bertugas untuk menyuntikkan zat anti viral (anti virus) kepada
para pasien penderita AIDS. Tetapi entah kenapa, secara tidak sengaja jarum
suntik yang biasa digunakan untuk para penderita HIV/AIDS, berbalik menyuntik
bagian tubuh mereka. Keadaan dikhawatirkan akan menyebabkan ketakutan di
kalangan para petugas kesehatan, terutama bagi mereka yang ditugaskan untuk
merawat ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
14. 20 Agustus 2003: Generasi muda Papua lama-kelamaan dirasa akan habis karena
semakin meningkat jumlah penderita HIV/AIDS dan kurangnya penanganan
masalah HIV/AIDS bagi warga Papua oleh petugas kesehatan.
15. 22 Agustus 2003: Sebanyak 27 orang warga Kabupaten Banyuwangi dinyatakan
positif terserang AIDS dan 10 orang lainnya masih diduga terkena penyakit yang
sama. Ini merupakan Angka terbesar di Jatim setelah Surabaya, Malang, dan
Sidoarjo. Data ini berdasarkan survei Dinas Kesehatan pada 45 unit puskesmas
dan 12 lokalisasi di Kota Gandrung itu, sejak awal bulan Agustus lalu.
Kesimpulan didapat setelah dilakukan pemeriksaan contoh darah yang diuji di
laboratorium kesehatan pada Dinas Kesehatan Propinsi Jatim di Surabaya.
Penderita adalah para pekerja seks komersial (PSK), mahasiswa, ibu rumah
tangga, PNS, TKI, dan waria. Dari 27 orang yang dinyatakan positif mengidap
virus itu, lima di antaranya meninggal dunia. Sementara sisanya masih dalam
pengawasan dan penanganan pihak Diskes Banyuwangi.

Universitas Sumatera Utara

44

16. Berdasarkan data yang masuk, terdapat 306 penderita HIV/AIDS yang tersebar di
Indonesia hingga Desember 2002. Jumlah ini belum termasuk jumlah korban lain
yang tidak terdeteksi.
17. Pada akhir 2008, dilaporkan 17.880 ODHA mulai menggunakan ART
(antiretroviral terapi), dengan 10.616 (59%) masih memakainya.

2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku
Skinner dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia hasil dari
pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap
stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif
(tanpa tindakan: pengetahuan dan sikap) maupun aktif (tindakan yang nyata atau
praktek).
Menurut Taufik (2007), perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah
tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri baik yang dapat diamati maupun yang
tidak dapat diamati secara langsung.
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2010b) perilaku dibagi dalam 3 (tiga)
domain yaitu kognitif (cognitive domain), afektif (affective domain) dan psikomotor
(psychomotor domain).

Universitas Sumatera Utara

45

2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007), semua ahli kesehatan masyarakat dalam
membicarakan status kesehatan mengacu kepada Bloom. Dari hasil penelitiannya
di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom
menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap
status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil
nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling
kecil terhadap suatu status kesehatan. Green menjelaskan bahwa perilaku itu
dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : faktor predisposisi
(predisposing factor) faktor pemungkin (enabling factors), faktor penguat
(reinforcing factors).
1. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat
sosial ekonomi, dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor ini mencakup lingkungan fisik/sosial, terpaan media, ketersediaan sarana
dan prasarana atau fasilitas kesehatan masyarakat.
3. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh
agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

46

Termasuk juga di sini Undang-Undang, peraturan-peraturan baik dari pusat
maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku
sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap
positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh
(acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas lebih-lebih para
petugas kesehatan.
2.3.3. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme
atau seorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon
ini berbentuk dua macam, yakni bentuk pasif dan bentuk aktif (Notoatmodjo,
2007).
1. Bentuk pasif
Adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara
langsung dapat terlihat oleh orang lain. Misalnya : seorang ibu tahu bahwa
imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut
tidak membawa anaknya ke posyandu atau puskesmas untuk diimunisasi. Oleh
sebab itu perilaku ibu masih terselubung (tertutup).
2. Bentuk aktif
Yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya ibu
sudah membawa anaknya ke posyandu (puskesmas) atau ke fasilitas kesehatan
lainnya untuk imunisasi. Oleh karena perilaku ibu tersebut sudah tampak dalam
bentuk tindakan nyata maka disebut perilaku terbuka.

Universitas Sumatera Utara

47

2.3.4. Domain Perilaku
Notoatmodjo (2010b), berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat
kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom
seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam tiga domain
(ranah/kawasan) yaitu: pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), praktek atau
tindakan yang dilakukan (practice).
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai dengan
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui
indra pendengaran (telinga), dan penglihatan (mata) (Taufik, 2007).
Menurut Polanyi dalam Turban (2005) pengetahuan dapat pula dibagi dua
yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tersembunyi
(tacit knowledge). Pengetahuan eksplisit adalah kebijakan, petunjuk prosedural,
laporan resmi, laporan, desain produk, strategi, tujuan, misi dan kemampuan inti
dari perusahaan dan teknologi informasi insfrastruktur. Ia adalah pengetahuan
yang telah dikodifikasi (terdokumentasikan) dalam format yang dapat dibagikan
kepada orang lain atau ditransformasi ke dalam suatu proses tanpa menuntut
interaksi

antar

pribadi.

Sedangkan

pengetahuan

tersembunyi

merupakan

penyimpanan kumulatif dari pengalaman, peta mental, pengertian yang mendalam

Universitas Sumatera Utara

48

(insight) ketajaman, keahlian, know-how, rahasia perdagangan, kumpulan
ketrampilan, pemahaman dan pembelajaran yang dimiliki organisasi, juga budaya
organisasi yang telah melekat di masa lalu. Sebagai contoh penjelasan bagaimana
cara mengendarai sebuah sepeda sulit didokumentasi secara eksplisit, dan karena
itu tersembunyi.
Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena itu dari pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan
yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application). Analisis
(analysis), sintesis (synthesis), evaluation (evaluation).
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

Universitas Sumatera Utara

49

menjelaskan,

menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan,

dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada

suatu

kemampuan

untuk

meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasari pada

Universitas Sumatera Utara

50

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
ada.
Menurut Notoatmodjo (2010a), dari berbagai macam cara yang telah
digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan
Cara kuno atau tradisional dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan
secara sistematik dan logis. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini
antara lain meliputi:
1) Cara coba salah (trial and error)
Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan satu hingga beberapa
kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan
tersebut tidak berhasil maka dicoba dengan kemungkinan yang lain, sampai
masalah tersebut dapat terpecahkan.
2) Secara kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh
orang yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah ditemukannya kina
sebagai obat penyembuhan penyakit malaria. Kina ditemukan sebagai obat
malaria adalah secara kebetulan oleh seorang penderita malaria yang sering
mengembara.

Universitas Sumatera Utara

51

3) Cara kekuasaan atau otoritas
Dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan
baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli
ilmu pengetahuan.
4) Berdasarkan pengalaman pribadi
Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang
lalu.
5) Cara akal sehat (Common sense)
Akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau
kebenaran pengetahuan. Sebelum ilmu pendidikan berkembang, para orang
tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat orang tuanya, atau
agar anak disiplin menggunakan cara hukuman. Sampai sekarang
berkembang menjadi teori atau kebenaran bahwa hukuman adalah
merupakan metode bagi pendidikan anak (meskipun bukan yang paling
baik).
6) Kebenaran melalui wahyu
Ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari
Tuhan melalui para Nabi.
7) Kebenaran secara intuitif
Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui
proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir.

Universitas Sumatera Utara

52

8) Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir
manusia juga ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu
menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan
kata lain dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah
menggunakan jalan pikirannya.
b. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih
sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut Metode Penelitian Ilmiah, atau
lebih populer disebut metodologi penelitian.
2. Sikap (Attitude)
Menurut Sheriff dan Sheriff dalam Rakhmat (2008), sikap hanyalah sejenis
motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar. Sementara Allport dalam
Rakhmat (2008) melihat sikap sebagai kesiapan saraf (neural settings) sebelum
memberikan respon. Dari kedua definisi tersebut, secara khusus Rakhmat (2008)
menyimpulkan dalam beberapa hal, yaitu pertama, sikap adalah kecenderungan
bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi
atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku
dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya
pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Keempat, sikap
mengandung aspek evaluatif. Dan kelima, sikap timbul dari pengalaman, tidak
dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar.

Universitas Sumatera Utara

53

Menurut Thurstone yang dikutip Ahmadi (2007) menyatakan sikap sebagai
tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan
dengan obyek psikologi. Obyek psikologi di sini meliputi: simbol, kata-kata,
slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap
positif terhadap suatu obyek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang
favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap
obyek psikologi bila ia tidak suka atau sikap unfavorable terhadap obyek
psikologi.
Menurut Walgito (2008), sikap individu mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Sikap itu tidak dibawa sejak lahir
Ini berarti bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa sikap tertentu
terhadap suatu objek.
2. Sikap itu selalu berhubungan dengan objek sikap
Sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan objek-objek
tertentu, yaitu melalui proses persepsi terhadap objek tersebut.
3. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju kepada
sekumpulan objek-objek
Bila seseorang mempunyai sikap negara pada seseorang, maka orang tersebut
akan mempunyai kecenderungan menunjukkan sikap negatif pada kelompok
dimana orang tersebut bergabung.

Universitas Sumatera Utara

54

4. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar
Jika suatu sikap telah terbentuk dalam diri seseorang, maka akan sulit berubah
dan memakan waktu yang lama. Tetapi sebaliknya jika sikap itu belum
mendalam dalam dirinya, maka sikap tersebut tidak bertahan lama, dan sikap
tersebut mudah diubah.
5. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi.
Sikap terhadap sesuatu objek akan diikuti oleh perasaan tertentu baik positif
maupun negatif terhadap objek tersebut. Sikap juga mengandung motivasi, yang
mempunyai daya dorong bagi industri untuk berperilaku secara individu
terhadap objek yang dihadapinya.
Menurut Ahmadi (2007), sikap dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima,
mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana
individu itu berada.
2. Sikap negatif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan
atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu
berada.
Apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek ia akan
siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu.
Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka ia
akan mengecam, mencela, menyerang bahkan membinasakan obyek itu (Ahmadi,
2007).

Universitas Sumatera Utara

55

Menurut Notoatmodjo (2007) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku
manusia

adalah

masalah

pengungkapan

(assessment)

atau

pengukuran

(measurement) sikap. Ada beberapa metode pengungkapan sikap yang secara
historik telah dilakukan orang, diantaranya adalah : (Ahmadi, 2007, dan Walgito,
2008).
1. Observasi perilaku
Perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dan konteks
situasional tertentu akan tetapi interpretasi sikap harus sangat hati-hati apabila

Universitas Sumatera Utara

56

hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh
seseorang.
2. Penanyaan langsung
Pengungkapan sikap dengan penanyaan langsung memiliki keterbatasan dan
kelemahan

yang

mendasar.

Dimana

apabila

situasi

dan

kondisi

memungkinkannya untuk mengetahui hal yang sebenarnya tanpa rasa takut
terhadap konsekuensi langsung maupun tidak langsung yang dapat terjadi.
3. Pengungkapan langsung
Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan langsung secara
tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item ganda.
4. Skala sikap
Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self report yang hingga kini
dianggap sebagai paling dapat diandalkan adalah dengan menggunakan daftar
pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu yang disebut skala
sikap. Dalam pengukuran skala sikap ini dapat digunakan dengan pengukuran
sikap model Bogardus, Thurstone dan Likert. Skala Likert sangat populer saat
ini karena skala ini termasuk mudah dalam penyusunannya. Sudah banyak
peneliti yang telah mempergunakan dan menyempurnakannya. Skala Likert
terdiri dari 4 alternatif jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat
tidak setuju (Ahmadi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

57

5. Pengukuran terselubung
Metode pengukuran terselubung (cover measures) sebenarnya berorientasi
kembali ke metode observasi perilaku yang telah dikemukakan di atas, akan
tetapi sebagai objek pengamatan bukan lagi perilaku tampak yang disadari atau
sengaja

dilakukan oleh seseorang melainkan reaksi-reaksi fisiologis yang

terjadi lebih di luar kendali orang yang bersangkutan (Walgito, 2008).
3. Praktek atau Tindakan (Practice)
Menurut Notoatmodjo (2007) suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan
nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara
lain fasilitas.
Tingkat-tingkat praktek adalah persepsi (perception), respon terpimpin
(guided respons), mekanisme (mechanism), adopsi (adoption).
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
2. Respon terpimpin (guided respons)
Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh yang
telah diketahuinya.
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

Universitas Sumatera Utara

58

4. Adopsi (adoption)
Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik
artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.

2.4. Determinan Penggunaan Kondom oleh PSK
Determinan adalah faktor penentu. Konsep hidup sehat H.L.Blum sampai saat
ini masih relevan untuk diterapkan. Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi
sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk
menciptakan kondisi sehat seperti ini diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga
kesehatan tubuh. H.L Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang memengaruhi
derajat kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan
timbulnya masalah kesehatan. Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor
perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya),
faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik
(keturunan).Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang memengaruhi kesehatan
perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Diantara faktor tersebut faktor perilaku
manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar
ditanggulangi, disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor
perilaku yang lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan karena
lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat
(Notoatmodjo, 2010b).

Universitas Sumatera Utara

59

Konsep Blum dalam Notoatmodjo (2010b), ada 4 faktor determinan yang
dikaji, masing-masing faktor saling keterkaitan berikut penjelasannya :
1. Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting
untuk mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan budaya
hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri masyarakat untuk
menjaga kesehatannya. Sebagai tenaga motorik tersebut adalah orang yang
memiliki kompetensi dalam menggerakkan masyarakat dan paham akan nilai
kesehatan masyarakat. Masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat akan
menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat.
Beberapa kegiatan yang mungkin kita lakukan seperti: berolah raga, tidur,
merokok, minum, dan lain-lain. Apabila kita mengembangkan kebiasaan yang
bagus dari sejak awal, hal tersebut berpengaruh positif terhadap kesehatan tubuh.
Sekali-kali atau dalam batas-batas tertentu untuk waktu yang lebih lama, kita
bebas melakukan kebiasaan-kebiasaan harian. Namun, bagaimanapun juga sikap
yang tidak berlebihan merupakan suatu keharusan agar benar-benar sehat. Tubuh
kita memerlukan tidur, olah raga, dan rutinitas yang sehat dalam jumlah tertentu
untuk mempertahankan kesejahteraannya.
2. Lingkungan
Berbicara mengenai lingkungan sering kali kita meninjau dari kondisi fisik.
Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber
berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat kita.

Universitas Sumatera Utara

60

Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi
udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Upaya menjaga lingkungan
menjadi tanggung jawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran semua pihak.
Disamping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan. Sebagai
makhluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi individu
satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan sosial
yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan.
3. Pelayanan kesehatan
Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan
lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan
kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak
dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang
kesehatan juga mesti ditingkatkan.
Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat sangat
besar peranannya. sebab di puskesmaslah akan ditangani masyarakat yang
membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan Sarjana Kesehatan
Masyarakat sebagai manager yang memiliki kompetensi di bidang manajemen
kesehatan dibutuhkan dalam menyusun program-program kesehatan. Utamanya
program-program pencegahan penyakit yang bersifat preventif sehingga
masyarakat tidak banyak yang jatuh sakit.

Universitas Sumatera Utara

61

Banyak kejadian kematian yang seharusnya dapat dicegah seperti diare, demam
berdarah, malaria, dan penyakit degeneratif yang berkembang saat ini seperti
jantung koroner, stroke, diabetes melitus dan lainnya. Penyakit itu dapat dengan
mudah dicegah asalkan masyarakat paham dan melakukan nasehat dalam menjaga
kondisi lingkungan dan kesehatannya.
4. Genetik
Nasib suatu bangsa ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Oleh sebab itu
kita harus terus meningkatkan kualitas generasi muda kita agar mereka mampu
berkompetisi dan memiliki kreatifitas tinggi dalam membangun bangsanya.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi balita sebab pada masa inilah
perkembangan otak anak yang menjadi asset kita di masa mendatang. Namun
masih banyak saja anak Indonesia yang status gizinya kurang bahkan buruk.
Padahal potensi alam Indonesia cukup mendukung. Oleh sebab itulah program
penanggulangan kekurangan gizi dan peningkatan status gizi masyarakat masih
tetap diperlukan. Utamanya program Posyandu yang biasanya dilaksanakan di
tingkat RT/RW. Dengan berjalannya program ini maka akan terdeteksi secara dini
status gizi masyarakat dan cepat dapat tertangani.
Green dalam Notoatmodjo (2007) menganalisis perilaku manusia dari tingkat
kesehatan. Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor
predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor
pendorong (reinforcing factors).

Universitas Sumatera Utara

62

2.4.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor pemudah atau sebaliknya faktor yang dapat menghambat
perubahan perilaku secara umum mencakup: pengetahuan, persepsi, sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan serta menyangkut sistem nilai budaya yang dianut masyarakat
seperti tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk perilaku kesehatan,
misalnya: penggunaan kondom bagi pekerja seks diperlukan pengetahuan, persepsi,
sikap dan keyakinan atau kesadaran PSK terhadap manfaat penggunaan kondom, baik
bagi kesehatan PSK itu sendiri maupun bagi pelanggannya.
2.4.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Selanjutnya
Sanchez (2004) menjelaskan tiga bentuk dari pengetahuan yaitu know-how, knowwhy dan know-what. Know-how merupakan pengetahuan praktis yang dapat
memungkinkan seseorang untuk mempertahankan sistem atau proses yang telah ada
dalam urutan kerja yang baik. Know-why merupakan pengetahuan teoritis yang
memungkinkan seseorang untuk merancang sistem atau proses baru. Sedangkan
know-what merupakan pengetahuan strategik dari tujuan dimana know-how dan
know-why yang tersedia dapat diaplikasikan.

Universitas Sumatera Utara

63

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku seseorang tentang
kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom salah satunya
dipengaruhi oleh pengetahuan (faktor predisposisi). Didukung pula dengan penjelasan
menurut Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan merupakan domain kognitif yang
sangat penting terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, maka apa yang dipelajari antara lain
perilaku tersebut akan bersifat l