Determinan Penggunaan Kondom oleh Pekerja Seks Komersial di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Baru

15

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Kondom diperkirakan telah memiliki sejarah yang panjang dalam perannya

sebagai “alat pelindung”. Sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi, orang Mesir kuno
telah menggunakan sarung pengaman untuk mencegah penyakit. Tahun 1500-an
untuk pertama kali dipublikasikan deskripsi dan percobaan alat pencegah penyakit
berupa kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim menemukan
kondom yang terbuat dari linen dan membuat uji coba pada 1.100 pria. Dari
percobaan tersebut, tak satupun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis.
Penemuan membuktikan bahwa kain linen itu bermanfaat mencegah infeksi
(BkkbN. 2007).
Seiring dengan berkembangnya teknologi, proses pembuatan kondom
menghasilkan kondom yang lebih kuat, lebih tipis, lebih lentur saat dipakai sehingga
para pengguna kondom tidak hanya dapat merasa aman tetapi juga merasa nyaman.

Pemakaian kondom mulai meredup seusai perang dunia II. Pada akhir 1960-an terjadi
revolusi perilaku seksual manusia, terutama di Amerika. Hubungan seksual sebelum
menikah dan di luar pernikahan makin terbuka, khususnya pada kaum wanita. Mereka
menuntut hak yang sama seperti kaum pria yang bebas melakukan hubungan seksual
dengan siapa saja. Akibatnya, para pria lebih memilih berhubungan seks dengan
wanita bukan PSK (Pekerja Seks Komersial) yang dianggap lebih “bersih”. Kondom

Universitas Sumatera Utara

16

dianggap tidak diperlukan lagi. Penggunaan kondom semakin menurun semenjak
munculnya obat-obat antibiotik baru yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit
kelamin klasik seperti sipilis atau gonorrhea. Selain itu, dengan ditemukannya alatalat kontrasepsi baru yang lebih praktis dan nyaman, seperti Intra Uterine Device
(IUD) dan pil, membuat orang lebih memilih mereka daripada kondom. Penggunaan
kondom mulai dikenal baik pada tahun 1980-an saat Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS) mulai merebak ke segala penjuru dunia. Meskipun bukan satusatunya cara, kondom masih terbilang cara yang paling praktis dan gampang untuk
mencegah penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS, terutama bagi
orang-orang yang bekerja di dunia pelacuran (Vita, 2007).
Dunia pelacuran merupakan fenomena yang tidak berujung karena dianggap

sebagai salah satu pekerjaan tertua yang dilakukan manusia di muka bumi ini.
Pekerjaan itu dianggap bergelimang dosa karena merupakan penyimpangan dari
aspek norma, moral, dan agama. PSK adalah seseorang yang menjual jasanya untuk
melakukan hubungan seksual demi uang. Di Indonesia, pekerja seks komersial sering
disebut sebagai pelacur, wanita jalang, WTS (wanita tuna susila), pecun, perek, lonte,
bondon, sundal atau sundel dan banyak lagi sesuai dengan daerahnya. Ini
menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu begitu sangat buruk, hina dan
menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak
ketertiban. Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan
diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur sudah dikenal di

Universitas Sumatera Utara

17

masyarakat sejak berabad lampau, ini terbukti dengan banyaknya catatan dari masa
ke masa (Widodo, 2012).
Tidak dapat disangkal bahwa menjadi pekerja seks komersial (PSK) bukanlah
sebuah cita-cita dan mungkin banyak orang menyebutnya sebagai penyimpangan
“moral”. Berbicara masalah pelacuran sangat erat kaitannya dengan kesehatan

reproduksi dan masalah ketimpangan sosial kaum perempuan. Perilaku seksual yang
selalu berganti pasangan membuat para pekerja seks mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terkena penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV dan
AIDS dibandingkan perempuan lain (Widyastuti, dkk, 2009).
Sejak kasus pertama Human Immuno Virus (HIV) positif pada manusia
ditemukan pada tahun 1959 dan kemudian kasus pertama AIDS pada tahun 1981 di
Amerika Serikat, HIV/AIDS menjadi permasalahan utama bagi kesehatan di seluruh
dunia (Kenderwis, 2008). Data World Health Organization (WHO) dalam laporan
kemajuan 2011 (Global HIV/AIDS Respons, Progress Report 2011) melaporkan
bahwa pada akhir tahun 2010 diperkirakan 34 juta orang (31.600.000-35.200.000)
hidup dengan HIV di seluruh dunia, termasuk 3,4 juta anak-anak berumur kurang dari
15 tahun. Ada 2,7 juta (2.400.000-2.900.000) baru terinfeksi HIV pada tahun 2010,
termasuk 390.000 anak diantaranya berumur kurang dari 15 tahun.
Angka kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS juga berbeda di setiap
bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah, sejumlah orang meninggal karena
AIDS meningkat lebih dari 10 (sepuluh) kali lipat antara tahun 2001 dan 2010 (dari
sekitar 7.800 menjadi 90.000). Pada waktu yang sama, sejumlah orang meninggal

Universitas Sumatera Utara


18

karena AIDS meningkat 60% di Afrika Tengah dan Afrika Utara (dari 22.000
menjadi 35.000) dan lebih dari dua kali lipat terjadi di Asia Timur (dari 24.000
menjadi 56.000) (WHO, Progress Report 2011).
Data laporan dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan (2011), angka kasus HIV/AIDS di Indonesia terus
mengalami peningkatan, sampai Desember 2010 terdapat 24.131 kasus HIV dan
17.998 kasus AIDS, dengan jumlah kematian 1.994 ODHA (37,8%). Proporsi kasus
AIDS pada jenis kelamin laki-laki mencapai 62,7% dan perempuan adalah 37,3%.
Hasil penelitian Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011
yang melakukan penelitian di 23 Kabupaten/Kota di 11 Provinsi di Indonesia
mendapatkan hasil bahwa Prevalensi HIV tertinggi terdapat pada Pengguna Napza
Suntik (Penasun) yaitu 41%, diikuti waria yaitu 22%, Wanita Penjaja Seks Langsung
(WPSL) yaitu 10%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) yaitu 8%, Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) yaitu 3%, Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL)
yaitu 3%, dan pria potensial risiko tinggi yaitu 0,7% (Kemenkes RI, 2011).
Bila dikaitkan dengan indikator keberhasilan program pengendalian HIVAIDS di Indonesia, maka hasil STPB 2011 menunjukkan bahwa persentase
penggunaan kondom dalam seminggu terakhir pada perempuan (dalam hal ini WPSL)
adalah sebesar 35% dan pada laki-laki (dalam hal ini pria potensial risiko tinggi)

dalam setahun terakhir adalah sebesar 14%. Dengan demikian, pencapaian indikator
keberhasilan penggunaan kondom pada kelompok berisiko tinggi tahun 2011 adalah

Universitas Sumatera Utara

19

sebesar 100% pada perempuan (target tahun 2011: 35%) dan 70% pada laki-laki
(target tahun 2011: 20%) (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan data dari profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2010
bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita HIV/AIDS meningkat tajam.
Jumlah kasus HIV (+) meningkat dari 883 kasus pada tahun 2009 menjadi 2.063
kasus, dan kasus AIDS meningkat dari 1.351 kasus menjadi 1.476 kasus.
Berdasarkan karakteristik penderita diketahui bahwa penderita terbanyak adalah pria
(77,8%), wanita (20,4%), dan waria (1,8%). Sumber penularan terbanyak melalui
hubungan heteroseksual 44,5% dan pengguna jarum suntik 40,4%. Berdasarkan
golongan umur yaitu 82,53% adalah kelompok usia 20-39 tahun. Penderita
HIV/AIDS terbanyak adalah kota Medan yaitu 1.715 kasus (68,30%) dari total
seluruh penderita (Dinkes Propsu, 2011).
Jumlah penderita HIV-AIDS seperti fenomena gunung es, maksudnya jumlah

kasus yang belum terungkap lebih besar dibandingkan dengan kasus yang sudah
terdata. Data Profil Kesehatan Kabupaten Deli Serdang tahun 2011 menunjukkan
bahwa jumlah penderita infeksi menular seksual (IMS) sebanyak 2.203 orang yang
terdiri dari perempuan sebanyak 2.030 orang, sedangkan laki-laki sebanyak 173
orang. Jumlah orang yang diidentifikasi HIV sebanyak 73 orang sedangkan jumlah
penderita AIDS sebanyak 78 orang. Data yang diperoleh dari 33 puskesmas seKabupaten Deli Serdang, jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi pada tahun 2011
yaitu di Bandar Baru sebanyak 15 orang (Dinkes Kab. Deli Serdang, 2012).

Universitas Sumatera Utara

20

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Bandar Baru bahwa jumlah
PSK sebanyak 84 orang yang tersebar di tempat-tempat khusus atau barak yaitu
Barak Agen Gurusinga, Barak Sembiring, Barak Erik, Barak Novi, Barak Agung,
Barak Bukit Indah, Barak Leni, Barak Maria, Barak Sempurna, Barak Hadi, Barak
Lina, Barak Sagu, Barak Ayu Wulandari, Barak Ani, Barak Gres / Ines, Barak Mira,
Barak Winto, Barak Oukup dan Barak Salon.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Puskesmas Bandar Baru pada tahun
2012 sebanyak 10 orang. Pada bulan Januari sebanyak 4 orang, bulan Februari

sebanyak 2 orang, bulan Juli sebanyak 1 orang, bulan November sebanyak 2 orang,
dan bulan Desember sebanyak 1 orang. Untuk pencegahan penyebaran penyakit
HIV/AIDS pihak Puskesmas Bandar Baru membagikan kondom secara gratis kepada
para PSK di barak-barak yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru. Jumlah
kondom yang dibagikan kepada PSK setiap bulan sebanyak 1.500 kondom
(Puskesmas Bandar Baru, 2012).
Berbagai upaya telah dilakukan Puskesmas Bandar Baru dalam menurunkan
angka

kejadian

IMS

termasuk

HIV/AIDS,

seperti

dengan


membagikan

(mendistribusikan) kondom kepada PSK tetapi upaya tersebut kurang mendapatkan
tanggapan dari pemilik barak maupun dari PSK itu sendiri. Distribusi kondom dari
gudang obat Puskesmas Bandar Baru yang dibagikan setiap bulan tidak pernah habis
atau hanya sekitar 60%-65% terpakai setiap bulan. Persediaan kondom di gudang
obat Puskesmas menumpuk tidak sebanding dengan permintaan penggunaan kondom
oleh para pemilik barak.

Universitas Sumatera Utara

21

Berbagai alasan dikemukakan pemilik barak seperti dengan adanya promosi
kondom menurunkan jumlah pelanggan ke barak mereka, sedangkan alasan PSK
mengapa tidak konsisten dalam menggunakan kondom ketika berhubungan karena
pasangan tidak mau menggunakan kondom dengan alasan tidak nyaman, pelanggan
yang sudah terlanjur nafsu tidak mau menggunakan kondom, pelanggan adalah raja
sehingga kemauan pelanggan harus dituruti termasuk untuk tidak menggunakan

kondom saat melakukan hubungan seks.
Penolakan penggunaan kondom oleh pelanggan juga dilakukan dengan
berbagai cara. Selain meminta diskon tarif jika dipaksa menggunakan kondom,
pelanggan juga mengancam pindah ke barak lain jika tetap diminta untuk memakai
kondom saat berhubungan. Hal tersebut menyulitkan, karena para PSK tentu saja
butuh pelanggan agar mendapat penghasilan. Sikap pelanggan yang berkeras tidak
mau menggunakan kondom tidak lepas dari pengaruh latar belakang mereka. Hal ini
disebabkan profesi dan pendidikan sebagian para pengguna jasa PSK rendah dan
pengetahuan tentang penyakit menular seksual juga rendah sehingga membuat
mereka kurang sadar terhadap bahaya penyakit jika berhubungan seksual tanpa
kondom. Dengan berkerasnya pelanggan tidak mau menggunakan kondom sehingga
stok kondom yang ada di barak seringkali hanya menumpuk. Kondom yang
dibagikan pada PSK dari puskesmas untuk ditawarkan pemakaiannya pada para
pelanggan banyak yang tidak terpakai walaupun usaha pendistribusian kondom tetap
dilakukan oleh Puskesmas Bandar Baru.

Universitas Sumatera Utara

22


Pendistribusian kondom pada pekerja seks terbukti mampu menurunkan
penularan penyakit IMS. Di Kongo, proyek 3 (tiga) tahun di Khanshasa pada PSK
dengan memberikan kondom gratis dan konsultasi pada 531 yang terinfeksi HIV
telah meningkat penggunaan kondom dari 11% hingga 52% setelah 6 bulan dan
menjadi 68% setelah 36 bulan. Di Bali, Indonesia, program distribusi kondom kepada
PSK dan manajernya telah meningkat pengetahuan mereka tentang AIDS dan
penyakit lainnya yang meningkat penggunaan kondom dari 18% hingga 75% di satu
daerah studi dan dari 29% hingga 62% di daerah studi lain (Population Reports,
2009).
Suatu kenyataan penting bahwa seks komersial tidak mungkin diberantas
dengan tuntas di negara mana pun juga. Penutupan lokalisasi pelacuran bukanlah
solusi untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, melainkan malah sering kali berakibat
sebaliknya. Begitu sebuah lokalisasi ditutup, para pekerja seks akan menyebar ke
jalanan, dan mereka pun sulit terjangkau lagi oleh berbagai upaya pencegahan
tersebut di atas. Kendala lain ialah pada umumnya para pekerja seks perempuan tidak
mempunyai kekuatan tawar-menawar dengan pelanggannya agar pelanggan memakai
kondom.
Hasil penelitian Kenderwis (2008), Kemampuan Tawar Penjaja Seks
Komersial Dalam Penggunaan Kondom Untuk Mencegah HIV/AIDS di jalan Lintas
Sumatera Wilayah Kabupaten Langkat dalam judul: Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kemampuan tawar penggunaan kondom oleh PSK kepada pelanggannya
hasilnya adalah faktor predisposing, yaitu pengetahuan dengan nilai taraf signifikan

Universitas Sumatera Utara

23

(0,007), sikap dengan nilai taraf signifikan (0,000), faktor enabling, yaitu tingkat
kerumitan dengan nilai taraf signifikan (0,000), kenyamanan pelanggan dengan nilai
taraf signifikan (0,002) dan faktor reinforcing, yaitu faktor peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dengan nilai taraf signifikan (0,000).
Hasil penelitian Pakpahan (2008), bahwa di Desa Firdaus terdapat pihak yang
peduli terhadap PSK Warung Bebek. Pihak tersebut memiliki tugas untuk memantau
dan memberi bimbingan dalam hal pencegahan HIV/AIDS. Pihak tersebut berasal
dari pihak pemerintah dan non pemerintah. Pihak pemerintah terdiri dari KPA dan
Dinas Sosial sedangkan dari pihak non pemerintah antara lain Yayasan Peduli AIDS
(YPA). Hasil penelitian yang diperoleh adalah posisi tawar PSK Warung Bebek
rendah, walaupun mereka mengetahui bahaya HIV/AIDS dan memiliki strategi dalam
meningkatkan posisi tawar.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Priadi (2004) mengenai Perilaku Pemakaian
Kondom Pada Pekerja Seks Komersial di Kabupaten Pontianak mendapatkan hasil
bahwa sebagian besar pekerja seks komersial kurang baik dalam pengetahuannya
tentang kondom sedangkan pengetahuan lain sudah baik, keyakinan dan sikapnya
terhadap pemakaian kondom pada saat melakukan hubungan seksual sudah baik.
Dukungan teman, majikan (mucikari) dalam menyediakan kondom masih kurang
baik. Upaya yang dilakukan oleh pekerja seks komersial akan pencegahan penularan
penyakit HIV/AIDS sebagian besar sudah baik.
Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), pemakaian
kondom di kelompok berisiko tertular HIV, yakni pekerja seks komersil cenderung

Universitas Sumatera Utara

24

menurun setiap tahunnya. Selain alasan pelanggan tidak mau memakai kondom,
kebanyakan wanita PSK malas menggunakan kondom perempuan karena alasan sulit
memakainya. Dibutuhkan edukasi lebih mendalam, agar tumbuh kesadaran kritis dari
orang yang berisiko tersebut untuk melindungi dirinya. Mengubah perilaku memang
tidak mudah kalau seseorang tak punya kesadaran kritis akan kesehatan dirinya.
Makanya, kalau mereka memakai kondom hanya karena disuruh mucikarinya pasti
sifatnya sementara (Anna, 2012).
Penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial merupakan bagian dari
perilaku kesehatan. Green dalam Notoatmodjo (2007) mencoba menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan. Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor
yaitu faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, persepsi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor
pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan sosial, ketersediaan
atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan. Faktor pendorong (reinforcing
factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain
dalam memberikan pendidikan kesehatan, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
Berdasarkan teori Green di atas, peneliti mencoba menganalisis determinan
penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial yaitu faktor predisposisi
(predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, persepsi. Faktor
pendukung (enabling factors), yaitu ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan,

Universitas Sumatera Utara

25

dan kenyamanan pelanggan. Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu
dorongan petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa ada pengaruh faktor predisposing,
enabling, dan reinforcing dalam penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial.
Dengan demikian peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang determinan
penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas Bandar
Baru.

1.2.

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian

yaitu apakah faktor predisposisi (pengetahuan, persepsi, sikap), faktor pendukung
(ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan, kenyamanan pelanggan),

faktor

pendorong (dukungan petugas kesehatan) memengaruhi penggunaan kondom oleh
pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru.
1.3.

Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, persepsi,

sikap),

faktor

pendukung (ketersediaan

fasilitas

atau

sarana

kesehatan,

kenyamanan pelanggan), faktor pendorong (dukungan petugas kesehatan)
terhadap penggunaan kondom oleh pekerja seks komersial di wilayah kerja
Puskesmas Bandar Baru

Universitas Sumatera Utara

26

1.4.

Hipotesis
Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, persepsi, sikap), faktor

pendukung (ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan, kenyamanan pelanggan),
faktor pendorong (dukungan petugas kesehatan) terhadap penggunaan kondom oleh
pekerja seks komersial di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru

1.5. Manfaat Penelitian
1. Menjadi masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli
Serdang sebagai pertimbangan perumusan kebijakan program kesehatan
reproduksi esensial dalam upaya pencegahan dan penanggulangan serta
menurunkan angka prevalensi HIV/AIDS.
2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi bagian gudang obat Puskesmas
Bandar Baru dalam pendistribusian kondom terhadap PSK yang terlibat
langsung dalam pengendalian penyakit menular seksual, sehingga dapat
memberikan kontribusi positif dalam menurunkan angka kejadian IMS dan
HIV/AIDS.

Universitas Sumatera Utara