Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Secara kultural, teungku adalah panggilan/gelar kehormatan yang diberikan
masyarakat Aceh kepada seseorang yang berpredikat sebagai alim ulama/seorang
ulama. Mereka merupakan tamatan dari dayah. 1 Hal ini dipahami karena sampai
sekarang ini dayah untuk kultur Aceh masih dipandang sebagai soko guru pendidikan
agama dan keulamaan. Demikian juga orang-orang yang terlibat dalam lembaga
keagamaan desa umumnya adalah lulusan dari dayah. 2
Gelar teungku diperoleh seseorang dengan dua syarat:
-

Pernah belajar di lingkungan dayah dan mempunyai pengetahuan kuat tentang
Agama Islam,

-

Mendapat pengakuan dari masyarakat. 3
Syarat pertama dapat dipenuhi seseorang setelah menempuh pendidikan


agama, baik pendidikan formal maupun informal. Syarat kedua, baru dapat dipenuhi
sesudah masyarakat melihat ketaatannya terhadap ajaran Islam serta pengetahuannya
1

Dayah merupakan istilah yang disebutkan oleh masyarakat Aceh yang dikenal di Jawa dan
berbagai tempat lainnya sebagai pondok pesantren. Dayah mempunyai fungsi sebagai tempat belajar
berbagai ilmu Agama Islam, membentuk karakter keislaman bagi para santri, tempat para remaja
mendapat status terhormat dalam masyarakat dan menjadi sebuah lembaga yang mengingatkan dan
mengarahkan mereka yang telah jauh dari ajaran Islam. Lihat Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah
Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003, hlm. 33.
2
Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnets Press,
2004, hlm. 1
3
Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: Lembaga Ekonomi dan
Kemasyarakatan Nasional – LIPI, 1976, hlm. 14.

1
Universitas Sumatera Utara


tentang Islam yang mendalam. Mengetahui tanpa mengamalkan pengetahuan itu,
tidak cukup membuat masyarakat mengakui bahwa dia pantas untuk menjadi seorang
ulama. Hal ini disebabkan karena pengakuan sebagai ulama, di iringi dengan
penghormatan terhadap yang diakui tersebut. 4
Dalam sejarah Aceh, terdapat hubungan yang kuat antara ulama dan
masyarakat. Hal ini terlihat dari kebersamaan mereka berjuang mempertahankan
Aceh. Pada masa itu posisi ulama malah di depan bertindak sebagai pemimpin
rakyat. 5 Ulama yang dimaksud disini adalah Teungku Chik Di Tiro Muhammad
Saman yang berasal dari Tiro, Pidie.
Kejatuhan istana/ keraton dan dikuasainya Aceh Besar pada agresi Belanda ke
II di bawah komando Jendral Van Swieten pada 16 Maret 1874, membuat para
pejuang memutuskan menyingkir ke daerah pedalaman karena dari segi kekuatan
baik dari jumlah tentara maupun persenjataan Belanda lebih unggul dibandingkan
pejuang Aceh. 6
Keberhasilan Van Swieten merebut Keraton Aceh dipelajarinya dari
kegagalan Agresi Pertama yang di pimpin oleh Jendral J.H.R Kohler sebagai
pemegang pimpinan militer dan Niuwhuyzen sebagai pimpinan sipil. Maka Van
Swieten mendapat mandat memangku dua jabatan tersebut sekaligus yaitu sebagai
pimpinan militer dan sipil. Srategi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda


4

Ismuha, loc. cit.
Ismail Jakub, Teungku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): Pahlawan Besar Dalam Perang
Atjeh (1881-1891), Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1952, hlm. 35.
6
Ibid., hlm. 36.
5

2
Universitas Sumatera Utara

pada Agresi ke II tersebut sukses merebut Aceh Besar yang kemudian diganti
namanya menjadi ”Kutaraja”. 7
Perlawanan rakyat Aceh untuk dapat merebut kembali Aceh Besar khususnya
tidak pernah berhenti, mereka mempunyai modal kekuatan yaitu keikutsertaan semua
lapisan masyarakat, para Tuanku (keluarga Sultan) uleebalang, ulama, rakyat,
sehingga perang ini dapat dikatakan perang rakyat semesta (volks oorlog). 8
Peperangan di Aceh juga merupakan perang terlama dalam sejarah pendudukan
Belanda di Nusantara. 9

Untuk tetap meneruskan perjuangan para pejuang Aceh yang ingin tetap
melakukan perlawanan berkumpul di gunung Biram dekat Lamtamot, kira-kira 10 km
dari Seulimun untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk
membahas langkah-langkah lebih lanjut dalam menghadapi situasi saat itu. Hasil dari
pertemuan itu memutuskan untuk mencari bantuan ke luar Aceh Besar. 10
Bantuan tersebut harus berasal dari ulama karena ulamalah yang mempunyai
pengaruh besar dalam menghadapi kondisi yang sulit seperti itu. Mereka kemudian
mengirimkan beberapa utusan ke daerah Tiro (Pidie). Pemilihan daerah tersebut
disamping karena memiliki tokoh ulama, juga merupakan daerah yang terdekat dan
lebih mudah dihubungi. Salah satu ulama yang terkenal di Tiro saat itu adalah

7

Paul Van’t Veer, Perang Aceh, Jakarta: Graviti Pers, 1985, hlm. 69.
Uleebalang adalah golongan yang memerintah negeri. Mereka merupakan kepala wilayah.
Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99.
9
Muhammad Ibrahim, dkk., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991, hlm. 119.
10

Ismuha, op. cit., hlm. 35.
8

3
Universitas Sumatera Utara

Teungku Chik Dayah Cut Muhammad Amin, beliau adalah tokoh yang sangat
dihormati dan disegani masyarakat Tiro karena memiliki pengetahuan yang luas
dalam agama Islam dan merupakan pimpinan pesantren di Tiro. Faktor lain karena
daerah Tiro belum dikuasai Belanda, kecuali daerah Sigli saja. 11
Untuk menghindari dari mata-mata musuh, utusan dari gunung Biram
berangkat menuju Tiro melalui bukit barisan dipinggir Gunung Seulawah. Ulama
yang dijumpai pada saat itu adalah Teungku Chik Dayah Cut. Kepada beliaulah
utusan gunung Biram menyampaikan amanah yang dibawa langsung dari Aceh Besar.
Selanjutnya, Teungku Chik Dayah Cut mengundang orang-orang terkemuka di
sekitar Tiro untuk melakukan rapat di Dayah Krueng (Tiro). Dalam rapat pertama,
utusan Gunung Biram menjelaskan suasana Aceh Besar pada waktu itu. Kemudian
Teungku Chik Dayah Cut memberikan komentar seperlunya. Rapat kedua diadakan
di Dayah Lampoh raya (Tiro) untuk menentukan sikap dan bantuan yang dapat
diberikan kepada pejuang yang masih ada di Aceh Besar. Rapat kedua ini juga untuk

menentukan siapa pemimpin yang akan diutus ke Aceh Besar, guna membantu
perjuangan menghadapi Belanda di Aceh Besar.
Dalam rapat kedua Teungku Chik Dayah Cut berbicara dengan keponakannya
yang baru pulang dari Mekkah yaitu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman.
Kemudian Syekh Muhammad Saman maju kedepan untuk berpidato yang isinya :
“Saya bersedia pergi memimpin perang ke Aceh Besar, bila hadirin sekalian
menaruh kepercayaan dan bersedia membantu dari belakang. Benar kesulitan
demikian memuncak, tetapi semangat keimanan dan contoh yang diperlihatkan
11

Hasbi Amiruddin, 2004, op. cit., hlm. 49.

4
Universitas Sumatera Utara

Junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W., beliau tegak seorang diri
mengemukakan kebenaran di tengah-tengah tanah Arab, mendorong kita untuk
maju kemuka dan tidak berputus asa. Sekiranya dibiarkan terus musuh leluasa
menjalankan usahanya menaklukan negeri kita dari satu daerah ke satu daerah,
niscaya pada suatu masa kelak, kita akan terusir ke gunung-gunung ataupun

musnah dari permukaan bumi. Seluruh daerah sudah habis diambil musuh, hanya
tinggal lagi sekeping tanah ditempat kita ini. Bila ini pun kita lepaskan, maka
lenyaplah seluruh negeri kita ditelan musuh. Dari itu saya bersedia menerima
seruan utusan Gunung Biram dengan segala senang hati.” 12
Semua yang hadir dalam rapat itu menyambut hangat dan dengan suara bulat
menyetujui beliau menjadi Panglima Perang. 13
Semenjak itu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman yang lebih dikenal
dengan nama Teungku Chik Di Tiro memegang pimpinan perjuangan melawan
Belanda di Aceh. Beliau dengan keberanian tampil ke depan sebagai pimpinan
peperangan yang sudah terbengkalai. Maka dimulailah pembinaan lasykar-lasykar
muslimin, bermodalkan semangat jihad. Perjalanan Teungku Chik Di Tiro dimulai
dari Tiro kabupaten Pidie, menuju ke medan peperangan di Aceh Besar, dengan
mendapat bantuan dari segenap golongan rakyat, baik berupa alat-alat perang, bekal
makanan, materi, maupun tenaga sukarela. Mereka bergabung menjadi lasykar
muslimin yang dibentuk mencapai jumlah puluhan ribu.
Tidak ada satu keluarga Aceh pun pada waktu itu, yang mempunyai peran
besar dalam Perang Aceh, selain keluarga Teungku di Tiro, dan tidak ada satu pun
keluarga Aceh lainnya, yang meneruskan perjuangan sampai titik darah penghabisan,
selain keluarga tersebut. Teungku Chik Di Tiro-lah tokoh yang paling besar perannya


12
13

Ismuha, op. cit.,hlm. 38.
Ibid., hlm. 34-35.

5
Universitas Sumatera Utara

untuk mengatur srategi mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Dialah yang berhasil
menghimpun angkatan perang dengan jumlah yang besar pada masanya. 14
Melihat sepak terjang Teungku Chik Di Tiro yang sangat berpengaruh besar
bagi perjuangan di Aceh, Belanda mulai mengatur siasat untuk melenyapkannya.
Menurut Belanda, bila Teungku Chik Di Tiro tidak ada lagi, maka perlawanan akan
berakhir dan Aceh akan menyerah. Dengan bantuan seorang perempuan bernama
Nyak Ubit, Teungku Chik Di Tiro berhasil dibunuh. Pembunuhan terhadap Teungku
Chik Di Tiro dilakukan oleh Nyak Ubit dengan cara membubuhi racun pada
makanannya pada saat Teungku Chik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seulimeng
(Aceh Besar) bagian sagi XXII. Racun itu dimasukkan kedalam daging burung
berkik. Tiga hari kemudian beliau meninggal dunia dengan meninggalkan pesan pada

panglima-panglima dan kaum keluarganya. Pesan beliau adalah, sekiranya dipanggil
Allah

SWT,

hendaklah

peperangan

diteruskan.

Siapapun

kelak

yang

menggantikannya, hendaklah dipilih bersama-sama. Beliau meninggal di benteng
Aneuk Galong (Aceh Besar) pada malam selasa tanggal 10 djumadil akhir tahun 1308
hijriah bertepatan dengan bulan 28 Januari tahun 1891, dalam usia 55 tahun. 15

Wafatnya Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman tidak menyebabkan
perjuangan rakyat Aceh melemah. Perjuangan tetap dilanjutkan silih berganti oleh
keturunannya. Dimulai dari Tengku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal
dengan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin, anak tertua dari Tungku Chik Di

14
15

H.C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1983, hlm. 16.
Ismail Jakub, op. cit., hlm. 141-143.

6
Universitas Sumatera Utara

Tiro Muhammad Saman. Dari tahun 1891 sampai tahun 1896, Teungku Muhammad
Amin meneruskan program yang telah digariskan oleh ayahnya untuk mengusir
Belanda. Lima tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juli 1896, Teungku Chik
Muhammad Amin tewas setelah Belanda menyerang benteng Aneuk Galong (Aceh
Besar). 16 Perjuangan selanjutnya secara bergantian dipimpin oleh Tengku Chik Di
Tiro Mahyiddin, dan Teungku Chik Di Buket Tiro, sampai tahun 1911.

Besarnya peran Teungku-teungku Di Tiro dalam perjuangan melawan
Belanda di Aceh Besar, tentu sangat penting untuk dituliskan. Selama ini orang hanya
mengenal Teungku Chik Di Tiro saja, sedangkan peran keluarga dari Teungku Chik
Di Tiro tidak banyak yang mengetahui. Mereka berperan besar dalam menentang
kekuasaan Belanda di Aceh Besar. Skop waktu penelitian ini di awali tahun 1874
karena tahun tersebut merupakan awal dari kejatuhan Keraton Aceh ke tangan
Belanda. Adapun tahun 1911 sebagai batasan akhir dari penelitian ini karena pada
tahun tersebut berakhirnya perjuangan ulama dari Tiro.

16

Ibid., hlm. 148.

7
Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan suatu landasan yang digunakan untuk
mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibahas dan menjadi akar permasalahan dalam
sebuah penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas untuk mempermudah
menghasilkan penelitian yang objektif, maka perlu diberikan batasan masalah
terhadap penelitian tentang “Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh
Besar 1874-1911”, untuk itu dibuatlah pokok permasalahan yang kemudian
dirangkum dalam pertanyaan, antara lain :
1. Apa latar belakang Keluarga Teungku Di Tiro ikut dalam perang melawan
Kolonialisme Belanda di Aceh Besar?
2. Bagaimana peranan Keluarga Teungku Di Tiro dalam memimpin perjuangan
di Aceh Besar pada periode 1874-1911?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Di dalam sebuah penelitian tentunya memiliki suatu tujuan dan manfaat dari
penelitian yang dilakukan. Sehingga sedikit banyaknya dapat menjawab mengapa
penelitian tersebut dilakukan. Dalam prosesnya penelitian bertujuan untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi Keluarga Teungku Di
Tiro ikut dalam perang melawan Kolonialisme Belanda di Aceh Besar.

8
Universitas Sumatera Utara

2. Untuk mengetahui peran Keluarga Teungku Di Tiro dalam memimpin
perjuangan di Aceh Besar pada periode 1874-1911.
Manfaat penelitian yang dilakukan ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah wawasan dalam bidang
kesejarahan mengenai peranan Keluarga Teungku Di Tiro dalam menghadapi
Kolonialisme Belanda di Aceh Besar.
2. Untuk menambah wawasan sejarah perjuangan Aceh dalam menghadapi
Belanda kepada generasi penerus bangsa.
3. Dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan rujukan yang penting di bidang
kesejarahan untuk masa sekarang dan yang akan datang.

1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam penyelesaian penelitian ini tentunya dibutuhkan buku-buku yang
berhubungan dengan penelitian tentang Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam
Perang di Aceh Besar 1874-1911 sehingga dilakukan tinjauan pustaka. Dalam hal ini
buku-buku yang digunakan antara lain, Hasbi Amiruddin dalam bukunya
“Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik”, (2004), Ismuha dalam bukunya
“Ulama Aceh Dalam Perspektip Sejarah”, (1976), Ismail Jakub dalam bukunya
“Teungku Chik Di Tiro (Muhammad Saman) Pahlawan Besar Dalam Perang Aceh
(1881-1891)”, (1952), H.C. Zentgraaff dalam bukunya”Aceh”, (1983), Ibrahim
Alfian dalam bukunya Perang di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912 ,(1987).
Muhammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, Paul Van’t Veer dalam
9
Universitas Sumatera Utara

bukunya Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985). Dan Snouck
Hurgronje dalam bukunya Aceh Di Mata Kolonialis (1985).
Hasbi Amiruddin dalam bukunya Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik
(2004), menjelaskan pandangan masyarakat Aceh tentang ulama, karena golongan
ulama merupakan salah satu kelompok yang sangat penting karena posisinya sebagai
pemimpin informal di Aceh. 17 Dalam buku ini juga diterangkan hubungan ulama
dengan masyarakat dan pemerintah yang kuat, seperti dicontohkan pada masa
perjuangan mempertahankan negara dari agresi Belanda, bahkan juga dalam usaha
mengusir bangsa penjajah Belanda di Aceh. 18 Buku ini memberikan pengetahuan
bagi penulis bagaimana aspirasi dan peran yang diberikan oleh ulama dalam
penyelesaian konflik di Aceh.
Ismuha dalam bukunya Ulama Aceh Dalam Perspektip Sejarah (1976),
merupakan buku yang memberikan keterangan tentang dasar pengakuan masyarakat
Aceh terhadap seorang yang diberi gelar ulama, syarat tersebut ada dua yaitu
mempunyai pengetahuan Agama Islam dan mendapat pengakuan masyarakat. Selain
itu dalam buku ini menceritakan tentang kisah pengangkatan Teungku Haji Syekh
Muhammad Saman sebagai panglima perang laskar Aceh yang berjuang ke Aceh
Besar untuk merebut kembali wilayah Aceh Besar yang telah dikuasai Belanda. 19
Buku ini di anggap penting oleh penulis karena berisi tentang keberanian ulama dan
perannya pada perang Aceh.
17

Hasbi Amiruddin, 2004, op. cit., hlm. 1.
Ibid., hlm. 48.
19
Ismuha , op. cit., hlm. 38.
18

10
Universitas Sumatera Utara

Ismail Jakub dalam bukunya Teungku Chik Di Tiro (Muhammad Saman)
Pahlawan Besar Dalam Perang Aceh (1881-1891). Buku ini melukiskan perjalanan
Teungku Chik Di Tiro semasa hidupnya. Buku ini juga bisa dikategorikan sebagai
biografi dari Teungku Chik Di Tiro Sendiri, dan memberikan keterangan penting
dalam masa perjuangan beliau dengan keberanian sehingga diangkat menjadi
panglima perang sabil. 20 Di dalam buku ini juga diterangkan cerita pilu dibalik
terbunuhnya beliau yang diakibatkan pengkhianatan atas gagasan Belanda untuk
menyingkirkan salah satu tokoh penting dalam perjuangan Aceh pada masa
Kolonialisme Belanda. Kemudian perjuangan diambil alih oleh putra tertua Teungku
Chik Di Tiro Sendiri yaitu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin untuk
meneruskan perjuangan yang telah digariskan oleh ayahnya sendiri. 21 Buku ini di
anggap penting oleh penulis karena berisi tentang perjuangan Teungku Chik Di Tiro
menentang Belanda semasa hidupnya.
H.C. Zentgraaff dalam bukunya Aceh (1983), menerangkan peran Teungku
Chik Di Tiro dalam menghimpun setiap orang agar ikut dalam perjuangan melawan
Belanda. Dan, barang siapa yang tidak mampu memegang senjata, wajiblah memberi
sumbangan untuk membiyai peperangan. 22 Dalam buku ini juga dijelaskan surat-surat
yang dikirim oleh Teungku Chik Di Tiro berisi panggilan untuk ikut bertempur
melawan Belanda yang ditujukan kepada para Uleebalang, Imam, Teungku,

20

Ismail Jakub, op. cit., hlm. 51.
Ibid., hlm. 143.
22
H.C. Zentgraaff, op. cit., hlm. 16.
21

11
Universitas Sumatera Utara

Panglima, dan akhirnya kepada semua masyarakat. 23 Buku ini di anggap penting oleh
penulis karena Teungku Chik Di Tiro dianggap mampu memobilisasi pejuang untuk
melawan Belanda dalam perang Aceh.
Ibrahim Alfian dalam bukunya yang berjudul Perang di Jalan Allah, Perang
Aceh 1873-1912 (1987). Dalam buku ini menjelaskan peran-peran ulama yang sangat
penting dalam kancah peperangan di Aceh. 24 Tulisan ini juga menjelaskan tentang
kemampuan agama memobilisasi kekuatan masyarakat untuk ikut dalam peperangan
melawan Belanda. Hal ini tidak terlepas dari ideologi perang sabil ketika terjun ke
medan peperangan. Dari buku ini dapat ditarik kesimpulan bahwa keberanian pejuang
Aceh dalam menentang Belanda tidak lepas dari semangat dan ideologi yang di
berikan para ulama untuk terus kuat mempertahankan wilayah Aceh.
Muhammad Said dalam bukunya yang berjudul Aceh Sepanjang Abad jilid II.
Dalam buku ini banyak di ceritakan tentang perjuangan menentang keberadaan
Belanda di berbagai tempat di Aceh. 25 Kemudian penulis juga menceritakan tentang
keberanian sosok panglima perang seperti Teungku Chik Di Tiro dalam memangku
jabatan sebagai panglima perang. Dari buku ini dapat di ambil sebuah kesimpulan
bahwa Aceh Sepanjang Abadnya tidak pernah berhasil dijajah oleh bangsa asing.
Paul Van’t Veer dalam bukunya Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck
Hurgronje (1985). Dalam tulisan ini menjelaskan tentang perang terdahsyat dan
23

H.C. Zentgraaff, op. cit., hlm. 23.
Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987, hlm. 66.
25
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid II, Medan: P.T. Harian Waspada Medan, 1985,
hlm. 111.
24

12
Universitas Sumatera Utara

terlama yang pernah dihadapi Belanda. 26 Dalam tulisan ini juga menceritakan
kegagalan-kegalan Belanda serta beberapa babak perang yang terjadi di Aceh yang
dimulai pada tahun 1874. Buku ini memberikan sebuah fakta sejarah bahwa
Indonesia tidak sepenuhnya dapat dijajah Belanda selama 350 tahun lamanya
sehingga buku ini menjadi salah satu sumber penting dalam penulisan ini.
Snouck Hurgronje dalam bukunya Aceh Di Mata Kolonialis (1985). Buku ini
bisa dikatakan sebuah buku yang menyerupai sebuah laporan tentang segala aspek
sosial kultural dan keagamaan masyarakat Aceh yang berguna untuk mencari siasat
untuk menundukkan Aceh tanpa kekerasan. 27 Selanjutnya buku ini juga menceritakan
tentang Perang Aceh dan posisi ulama yang berperang penting bagi masyarakat. Buku
ini sangat penting bagi penulis untuk dijadikan sebuah sumber bagi penulisan ini agar
menjadi sebuah karya yang baik.

1.5 Metode Penelitian
Dalam rangka menuliskan sebuah peristiwa bersejarah ini penulis
menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses menguji
dan menganalis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat

26

Paul Van’t Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: PT Grafiti
Pers, 1985, hlm. 41.
27
Snouck Hurgronje, op. cit., hlm. 167.

13
Universitas Sumatera Utara

dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu dapat menjadi kisah sejarah
yang dapat dipercaya. 28
Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian sejarah antara lain :
1. Heuristik yaitu langkah awal untuk mengumpulkan sumber yang terkait dengan
objek penelitian penulis. Dalam hal ini penulis menggunakan metode library
research (studi kepustakaan) yaitu mengumpulkan berbagai sumber tertulis
seperti buku, skripsi (belum diterbitkan), makalah dan sumber-sumber lainnya
yang dianggap penting. Sebagian sumber buku, penulis dapatkan di perpustakaan
Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Arsip Aceh (PDIA), Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh dan beberapa buku penulis
dapatkan dari dosen pembimbing. Penelitian ini tidak menggunakan sumber lisan
seperti wawancara, karena penelitian ini berkisar sekitar abad 19.
2. Kritik sumber (verifikasi) yaitu proses yang dilakukan peneliti untuk mencari
nilai kebenaran dari data yang telah dikumpulkan. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh keaslian sumber yang telah dikumpulkan melalui kritik eksternal dan
kritik internal. Kritik eksternal digunakan untuk mengetahui asli atau tidaknya
sumber seperti buku, skripsi (belum diterbitkan), makalah dan lain-lain.
Sedangkan kritik internal dilakukan untuk mendapatkan fakta sejarah dari sumber
dengan meneliti isi sumber tersebut.

28

Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press,
1985, hlm. 32.

14
Universitas Sumatera Utara

3. Interpretasi yaitu tahap dimana peneliti berusaha untuk menghubungkan data-data
yang didapatkan dilapangan dengan fakta yang ada. Sehingga diharapkan data
tersebut menjadi data yang objektif dalam penulisan.
4. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil
penelitian yang disusun secara kronologis untuk menjadi sebuah skripsi.

15
Universitas Sumatera Utara