Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911

BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH TIRO

2.1 Geografis
Tiro adalah sebuah kecamatan di daerah Sigli, Aceh Pidie, Aceh. Tiro sendiri
terbagi menjadi beberapa desa yang dipimpin oleh seorang keuchik. 29 Statistik daerah
Kecamatan Tiro terdiri dari sembilan belas desa yaitu Blang Rikui, Panton Beunot,
Dayah Cot, Dayah Kampung Baro, Dayah Baroh, Dayah Teungoh, Pulo Keunari,
Pulau Tambo, Peunadok, Pulo Glumpang, Mancang, Panah, Pulo mesjid, Trieng
Cudo Tunong, Mampree, Trieng Cudo Baroh, Rabo, Pulo Siblah, dan Lhok Igeuh.
Ibu kota Kecamatan Tiro berada di Desa Mancang. 30
Daerah Tiro memiliki batas wilayah kecamatan sebagai berikut: sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Mutiara Timur. Sebelah timur berbatasan dengan
kecamatan Glumpang Tiga. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sakti dan
Kecamatan Titeu. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tangse. Kecamatan
Tiro memiliki luas sebesar 255 km2. Daerah ini terletak di hamparan dan lembah
pegunungan bukit barisan. Rata-rata ketinggian adalah 20-180 m diatas permukaan
laut. Secara klimatologi memiliki curah hujan rata-rata 1,485.6 mm/tahun dengan
suhu rata-rata berkisar 26-27o C.
29


Keuchik adalah sebutan masyarakat Aceh kepada kepala desa yang berfungsi sebagai
pelaksana roda pemerintahan desa. Lihat Alfian, Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, hlm. 55.
30
Kecamatan Tiro/Truseb Dalam Angka 2012, Pidie: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sigli,
2012, hlm. 1.

16
Universitas Sumatera Utara

Pada masa perang Aceh, daerah Tiro memainkan peran yang sangat penting.
Hal ini disebabkan daerah Tiro belum dikuasai Belanda dan letaknya yang jauh dari
pantauan kompeni Belanda. Faktor lain yang membuat daerah Tiro ini menjadi
penting karena pendapat menyatakan bahwa pimpinan ulama Pidie saat itu adalah di
Tiro. 31 Kenyataannya bahwa masyarakat Aceh sangat menghormati tokoh ulama
untuk dijadikan panutan dan penunjuk arah dalam kehidupan. Sehingga para laskar
Aceh berangkat ke Tiro untuk meminta pertolongan pasca Keraton Aceh jatuh ke
tangan Belanda.
Daerah Tiro terletak di pedalaman Sigli di kaki Gunung Halimon. Oleh karena
itu, daerah ini merupakan salah satu daerah penyuplai kebutuhan angkatan perang

yang berada di Aceh Besar. Selain itu, daerah Tiro menjadi pusat informasi bagi bagi
para laskar Aceh melalui Teungku Chik Dayah Cut mengenai keadaan di kawasan
Pidie dan sekitarnya.
Statistik daerah Kecamatan Tiro kecamatan tiro terdiri dari 43 dusun dengan
jumlah rumah tangga sebanyak 2061 ruta dan 7412 jiwa penduduk. Pemerintahan
desa masing-masing dipimpin oleh keuchik gampong dan kepala dusun, untuk
mempermudah administrasi desa dibantu oleh aparat desa antara lain sekretaris
keuchik serta perangkat desa.

31

Ismail Jakub, op. cit., hlm. 44.

17
Universitas Sumatera Utara

2.2 Pendidikan Keagamaan
Sebelum kedatangan Belanda, eksistensi pendidikan agama di daerah Aceh
sudah sangat kuat. Hal ini dibuktikan keberadaan meunasah 32 dan dayah yang
dijadikan sebagai sarana pendidikan agama Islam di Aceh. Di sisi lain, realitas bahwa

masyarakat Aceh merupakan penganut agama Islam fanatik yang menempatkan
ajaran-ajaran Islam sebagai satu-satunya basis nilai dan sistem pandangan dunia
(world view). 33
Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di
Aceh sangatlah penting, dan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat
yang berkualitas, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu sarat
dengan nilai ke islaman. Oleh karena itu, dayah dan meunasah di Aceh tidak sulit
untuk dijumpai dan tersebar di seluruh Aceh.
Di daerah Tiro sendiri, sebelum kedatangan Belanda telah berdiri sebuah
dayah yang yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut. Beliau sendiri merupakan
paman dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman yang maju sebagai panglima
perang Laskar Aceh dalam menghadapi Belanda di Aceh Besar. Dayah tersebut

32

Meunasah adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang berada di tiap-tiap desa di
Aceh. Meunasah mempunyai fungsi sebagai tempat beribadah, belajar, musyawarah, pusat informasi,
tempat kenduri massal di kampung, tempat menginap bagi musafir dan juga tempat pejabat-pejabat
kampung memutuskan dan memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Lihat Snouck
Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 68.

33
Nirzalin, “Krisis Agensi Politik Teungku Dayah Di Aceh”, dalam Ringkasan Disertasi,
Yogyakarta: Program Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Gadjah Mada, 2011,
hlm. 2.

18
Universitas Sumatera Utara

menjadi tempat bagi para santri yang datang dari segala penjuru Aceh untuk belajar
ilmu Agama Islam.
Selain dari dayah yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut di daerah
Tiro, di Pidie juga terdapat beberapa pusat pendidikan agama Islam seperti di Langga,
Langgo, Sriweue, Simpang, Ie Leubeue (Ayer Labu). Namun daerah Tiro mempunyai
daya tarik sendiri bagi para santri yang ingin menuntut ilmu kesana. Hal ini
disebabkan kepintaran Teungku Chik Dayah Cut dalam bidang agama Islam yang
sudah sangat dikenal di hampir daerah diseluruh Aceh. 34
Wilayah Tiro tampil terhormat dikarenakan kehadiran kader-kader ulama dan
terdapatnya makam keramat tokoh-tokoh pendahulunya. Tidak ada orang yang berani
membawa senjata di kawasan ini, walaupun pada masa perang sekalipun. Hukum dan
landasan agama mejadi landasan yang kuat di daerah Tiro. Hasilnya masyarakat yang

dibesarkan di daerah Tiro merasa sudah ditakdirkan untuk mendalami hukum agama
yang mulia sehingga Tiro terkenal sebagai daerah yang kuat dalam penegakan syariah
dan hukum-hukum agama Islam. 35

2.3 Kedudukan Teungku
Status atau gelar teungku di Aceh terkait erat dengan kualitas kewibawaan
personal serta pengetahuan tentang Agama Islam yang kuat bukan berdasarkan
genealogis (keturunan). Seseorang yang dinyatakan mempunyai kemampuan yang

34
35

Snouck Hurgronje, op. cit., hlm. 28.
Ibid., hlm. 29.

19
Universitas Sumatera Utara

baik dan layak menyandang status teungku akan nampak dari keseharian dan tingkah
lakunya. Hal itu terlihat dari kemampuannya memimpin acara keagamaan dan

menjadi panutan masyarakat dalam penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan.
Kemudian layak atau tidaknya seseorang digelar teungku juga dilihat dari ketaatannya
dalam aktivitas sehari-hari. 36
Hubungan kekuasaan teungku dengan masyarakat Aceh tidak dibangun
berdasarkan kekayaan ekonominya tetapi semata-mata berdasarkan ilmu, spiritual dan
ikatan ideologis keagamaannya dengan masyarakat. Di aceh, sawah dan kebun bukan
sesuatu yang langka di miliki masyarakat. Hal ini menyebabkan mereka tidak
bergantung pada sumber ekonomi teungku dayah bahkan sebaliknya teungku
dayahlah yang bergantung secara ekonomi pada masyarakat melalui bantuan-bantuan
agama seperti shadaqah, infaq, nadzar, dan jakeut (zakat).
Di daerah Tiro bahkan seluruh Aceh pada masa kesultanan, gelar teungku
dayah dapat dikatakan sebagai seorang ulama. Keputusan dan tindakan mereka yang
sangat dihormati masyarakat dan di anggap sebagai sebuah fatwa yang harus
dilaksanakan. Masyarakat memandang para teungku (ulama) sebagai umat yang di
istimewakan Tuhan dan merupakan pewaris nabi. Sakralitas teungku dayah yang
disokong oleh pengetahuan agama dan kekuatan spiritualnya melahirkan kepercayaan
bahwa mereka merupakan tokoh yang suci dan keramat (karamah).
Pada periode Kerajaan Aceh Darussalam peranan teungku sangat dominan.
Dengan kualitas intelektualnya, mereka tidak hanya mampu mempengaruhi struktur
36


Nirzalin, op. cit., hlm. 14.

20
Universitas Sumatera Utara

pemerintahan namun dapat mengendalikannya. Hal ini ditunjukkan pada posisi
struktural mereka sebagai Qadhi Malikon Ade (Ketua Mahkamah Agung) dan
diplomat yang handal dalam urusan-urusan internasional. Oleh karena itu, tidak
mengherankan konsep agama dan politik yang menjadi kebijakan kerajaan banyak
lahir dari mereka. 37
Eksistensi para teungku yang sangat besar di Aceh menyebabkan Perang Aceh
melawan Belanda di bawah agensi teungku. Mereka mengubah pandangan
masyarakat dari perang mempertahankan negara menjadi perang mempertahankan
negara dan agama Islam sekaligus. Keberhasilan para teungku melakukan
transformasi perang ini sebagai perang agama atau jihad fi sabilillah (perang di jalan
Allah) menyebabkan mereka dan para pengikutnya tidak lagi memaknai Belanda
sebagai musuh negara tetapi sebagai musuh agama atau kafir. 38
Menurut para teungku, kematian dalam arena perang bukanlah sesuatu yang
harus ditakuti tetapi kematian merupakan awal dari kebahagian karena diyakini

masuk surga sebagai seorang syuhada (syahid). Kegigihan, fanatisme dan tindakan
yang mengidelogi dibawah kendali teungku menyebabkan perang Aceh-Belanda ini
berlangsung lebih dari 30 tahun. Belanda juga mengakui Perang Aceh merupakan
perang terlama di nusantara yang menghabiskan banyak biaya. Suatu perlawanan
yang tidak terjadi di wilayah nusantara lainnya.

37

Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga
Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 91.
38
Nirzalin, op. cit., hlm. 19.

21
Universitas Sumatera Utara