Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote D 902007003 BAB VI

Bab Enam

Pemilihan Umum di Rote
M emahami peran pemerintah dalam merespon berbagai
persoalan politik adalah sesuatu yang sangat penting di tengah lebarnya
kesenjangan antara berbagai persoalan publik di satu sisi dan
kemampuan pemerintah untuk menyelesaikannya di sisi lain.
Kesenjangan tersebut sering bermuara tidak saja pada ketidakpercayaan
publik pada pemerintah tetapi, pada titik yang lebih ekstrim, memicu
delegitimasi peran dan posisi pemerintah yang tadinya dikontrak oleh
publik sebagai agen yang harus melaksanakan berbagai misi publik.
Bagi negara-negara tradisional dengan sejumlah perubahan fundamental di dalamnya seperti Indonesia, isu tersebut menjadi semakin
penting mengingat masa depan demokrasi seringkali menjadi
taruhannya. Derajat kemampuan pemerintah dalam merespon berbagai
isu publik seringkali dijadikan prasyarat oleh publik untuk mendukung
atau mempertanyakan sebuah tatanan baru pasca transisi yang
umumnya dibahasakan sebagai tatanan yang lebih demokratis.
Pemilihan Umum adalah salah satu proses demokrasi yang harus
dilalui, bab ini secara khusus membahas tentang pelaksanaan Pilkada
maupun Pemilu Nasional di Rote.


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Bagi Indonesia, isu tentang kemampuan pemerintah dalam
menjawab berbagai permasalahan publik menemukan relevansinya,
justru dan terutama ketika Indonesia berhasil melakukan transisi
menuju demokrasi. Kemampuan pemerintah untuk memastikan akses
masyarakat terhadap berbagai pelayanan dasar dan kebutuhan pokok,
untuk menegakkan hukum, menjaga stabilitas sosial dan keamanan,
serta membebaskan diri dari KKN adalah beberapa contoh yang
mempertegas kerisauan publik tentang bagaimana sebenarnya

129

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

menempatkan peran dan posisi pemerintah. Isu lain yang tidak kalah
gaungnya adalah kemampuan pemerintah dalam mengawal bekerjanya
lembaga-lembaga demokrasi kunci yang sebagian besar baru diinstalasi
pasca transisi menuju demokrasi. Salah satu lembaga demokrasi kunci
yang sering disoroti adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang
sejak Tahun 2005 dilakukan secara langsung (sesuai dengan amanah

UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
M asalah dalam Pilkada Langsung ini merupakan permasalahan
politik yang sedang berkembang belakangan ini. Pilkada yang
seharusnya menjadi langkah pembaharuan politik di daerah, ternyata
malah menimbulkan masalah baru dengan munculnya konflik-konflik
politik di dalamnya, termasuk dalam proses Pilkada di Kabupaten Rote
Ndao.

Pilkada Rote Ndao Tahun 2003
Tahun 2003 merupakan tahun bersejarah bagi perkembangan
demokrasi di Rote karena untuk pertama kalinya dipimpin oleh
pasangan Bupati dan W akil Bupati definitif untuk jangka waktu lima
tahun (2003-2008) sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 199999 tentang Pemerintahan Daerah di mana Bupati dan W akil
Bupati dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ketika masa penjaringan calon bupati dimulai, terdapat Empat
pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati yaitu: pertama, pasangan
Drs. M elkianus Adoe (Ketua Panitia Pembentukan Kabupaten Rote
Ndao/Kepala Biro Humas NTT)-Drs. Fritz Oscar Fanggidae, M .Si
(Dosen Fakultas Ekonomi-Universitas Kristen Artha W acana Kupang);

Kedua, pasangan Christian Nehemia Dillak, S.H (Penjabat Bupati Rote
Ndao)-Bernard E. Pelle, S.IP (Anggota DPRD Rote Ndao dari Partai
PKP); Ketiga, pasangan dr. Charles M esang (Anggota DPR RI dari
99

UU Nomor 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah adalah secara langsung dan tidak
melalui lembaga perwakilan rakyat (DPRD).

130

Pemilihan Umum di Rot e

Partai Golkar)-Drs. Leonard Haning, M.M (Kepala UPTD Samsat NTT)
dan keempat pasangan Benyamin M essakh, B.A (M antan Pembantu
Bupati Kupang W ilayah Rote Ndao)-Drs. J.J. Lona (Asisten III
Sekretaris Daerah Kabupaten Kupang).
Setelah melalui dinamika politik dan tarik-menarik
kepentingan di antara partai politik dan para pasangan di atas, akhirnya
DPRD Rote Ndao melalui Keputusan DPRD Rote Ndao Nomor:

43/PIM P.DPRD/RN/2003 tertanggal 7 Oktober 2003 kemudian
menetapkan pasangan Drs. M elkianus Adoe dan Drs. Fritz Oscar
Fanggidae, M .Si (diusung oleh Partai Golkar dan PDI Perjuangan) serta
pasangan Christian Nehemia Dillak, S.H dan Bernard E. Pelle, S.IP
(diusung oleh Partai di Fraksi Gabungan DPRD Rote Ndao) sebagai
kandidat yang akan dipilih sebagai Bupati dan W akil Bupati Rote Ndao
periode masa jabatan 2003-2008. Dua pasangan lainnya yakni dr.
Charles M esang-Drs. Lens Haning, M.M serta Benyamin M essakh,
B.A-Drs. J.J. Lona harus tersingkir karena tidak mendapat pintu dari
partai politik.
Pemilihan Bupati dan W akil Bupati Rote Ndao akhirnya
dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2003 oleh DPRD Rote Ndao yang
dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Rote Ndao Zacharias M anafe
yang juga Ketua DPD Partai Golkar Rote Ndao dan hasilnya
dimenangkan oleh pasangan Christian Nehemia Dillak, S.H-Bernard E.
Pelle, S.IP dengan 11 suara dan 8 suara untuk pasangan Drs. M elkianus
Adoe dan Drs. Fritz Oscar Fanggidae, M .Si serta 1 surat suara
dinyatakan rusak.
Untuk melihat ada tidaknya demokratisasi maka paling tidak
ada tiga ukuran yang dapat digunakan dalam penggambaran hal

tersebut, yaitu: (1) Adanya kontrol masyarakat; (2) Adanya penegakan
hukum; dan (3) Adanya kebebasan masyarakat dalam memberikan
suaranya. (Suwondo, 2005). Pada uraian di atas nampak dengan jelas
bahwa Pilkada Tahun 2003 merupakan Pilkada pertama untuk
Kabupaten Rote Ndao namun belum bisa dikatakan sebagai sebuah
Pilkada yang demokratis karena lemahnya posisi masyarakat dalam
131

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

melakukan pengawasan pada semua tahapan Pilkada maupun
kebebasan dalam memberikan suaranya karena dibatasi oleh UU
Nomor 22 Tahun 1999 yang berlaku saat itu bahwa mekanisme
pemilihan kepala daerah melalui lembaga perwakilan rakyat (DPRD).

Pilkada Rote Ndao Tahun 2008
Perubahan paradigma pemerintahan daerah yang semua
sentralis di masa Orde Baru, menuju paradigma yang desentralis dan
demokratis di masa reformasi, dalam pelaksanaannya di tingkat lokal
tidaklah mudah dan memunculkan beberapa masalah yang hampirhampir tidak pernah timbul sebelumnya. UU Nomor 22 Tahun 1999

merupakan UU pertama tentang Pemerintahan Daerah yang dilahirkan
di masa reformasi. UU ini “sangat menjanjikan” dipandang dari sudut
pandang demokratisasi dan pemberdayaan politik lokal. Namun karena
UU tersebut lamban dalam menciptakan peraturan-peraturan
pelaksanaannya dan pemerintah pusat sendiri cenderung “setengah
hati” dalam mendorong otonomi daerah, sehingga akhirnya setiap
daerah menginterpretasikan UU No. 22 Tahun 1999 sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Akibatnya muncul konflik-konflik di
daerah dan mismanagement seperti maraknya KKN di tingkat lokal. Di
samping itu semangat dan paradigma birokrasi lokal untuk berotonomi
masih diwarnai oleh semangat dan paradigma “orde baru” dan
kedaerahan/ kesukuan, sehingga memperumit keadaan.
M eskipun muncul beberapa negative-unintended consequences
dari implementasi UU No. 22 Tahun 1999 seperti di atas, good practices
dan inovasi-inovasi muncul di beberapa daerah. M unculnya keinginan
masyarakat di beberapa daerah untuk menghidupkan kembali adat dan
local wisdom yang hampir punah karena salah urus Orde Baru, usahausaha pemerintah daerah untuk memperbaiki pelayanan kepada
masyarakat, serta tumbuhnya bibit-bibit civil society di daerah,
merupakan beberapa “buah” atau hasil dari reformasi kebijakan
otonomi daerah.

132

Pemilihan Umum di Rot e

Pemilihan Kepala Daerah berlangsung berdasarkan UU No 32
Tahun 2004 (yang menggantikan UU No 22 Tahun 1999) merupakan
langkah lanjutan dari demokratisasi politik lokal yang perlu diapresiasi.
Perlu diingatkan bahwa otonomi daerah hanya akan efektif bila
melibatkan dan menyentuh langsung kehidupan rakyat hingga di
tingkat yang terbawah. Tanpa itu, tujuan otonomi daerah untuk
mengembangkan demokrasi lokal dan mensejahterakan rakyat akan
sulit tercapai.
Pada Pilkada Tahun 2008, terdapat 5 pasangan calon yang ikut
meramaikan pesta demokrasi tersebut dan 2 pasangan diantaranya
memilih dari jalur perseorangan (calon independen). Para pasangan
calon yang dimaksudkan adalah:

− Pasangan Christian Nehemia Dillak, S.H 100 dan Zakarias P. M anafe
(Paket NAZAR) yang merupakan calon perseorangan.
− Pasangan Drs. M arthen Luther Henuk, M.H dan Junus Fanggidae,

S.E (Paket MAJUS) yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI Perjuangan)
− Pasangan Drs. Lenonard Haning, M.M dan Drs. M arthen Luther
Saek (Paket LENTERA) yang merupakan calon perseorangan.
− Pasangan Drs. Alfred H.J. Zacharias, M.Si dan Drs. Steven A. M bate
M ooy (Paket AS) yang diusung Koalisi Ita Esa M embangun Rote
Ndao (terdiri dari PDS, PKPI, PPDI dan Partai Patriot Pancasila)
− Pasangan Bernad E. Pelle, S.Ip101 dan Nur Yusak Ndu Ufi, SE (Paket
BENAR) yang diusung Koalisi Rote Ndao Bangkit (terdiri dari
PNBK, PPP, PKB, PBSD, Partai Demokrat, Pelopor, PKPB dan PNI
M arhaenis)

Bupati Rote Ndao dan kembali bertarung dengan pasangannya yang juga Ketua
DPRD Rote Ndao
101 Wakil Bupati Rote Ndao yang sebelumnya mendampingi Bupati Christian N. Dillak
dan memilih kembali bertarung menjadi Calon Bupati

100

133


Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Sementara itu, Paket DAMAI (Drs. David Detaq, M.Si dan Drs.
Yonis M essah, S.H) yang diusung oleh Koalisi Kebangkitan Daerah
(terdiri dari PPD, PKB dan Partai Patriot Pancasila) dinyatakan tidak
lolos verifikasi oleh KPU karena dualisme kepemimpinan pada salah
satu partai politik pengusung (Partai Patriot Pancasila).102 Dari ke-6
pasangan calon yang disebutkan di atas, tidak ada satu-pun pasangan
calon yang diusung oleh Partai Golongan Karya (Golkar).
Alpanya Partai Golkar dalam pesta demokrasi ini disebabkan
oleh karena konflik internal diantara pengurus partai baik pada aras
Kabupaten, Provinsi maupun kepengurusan di tingkat Pusat, selain
panjangnya mekanisme pengambilan keputusan di Partai Golkar,
perdebatan dan pergesekan kepentingan turut serta menyebabkan
alpanya partai Golkar dalam pesta Pilkada Tahun 2008.103
Tabel 6.1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara pada Pilkada Rote Ndao
Tahun 2008 (Putaran ke-I)
NO


NAM A PASANGAN CALON
Christian N. Dillak, SH – Zacharias P. Manafe
(Paket NAZAR)
2
Drs. Marthen L. Henuk, MH-Junus Fanggidae, S.E
(Paket MAJUS)
3
Drs. Leonard Haning, MM-Drs. Marthen L. Saek
(Paket LENTERA)
4
Drs. A. J. Zacharias, M.Si-Drs. Steven A.M. Mooy
(Paket AS)
5
Bernard E. Pelle, S.Ip-Nur Yusak Ufi, SE
(Paket BENAR)
Sumber: KPU Rote Ndao, 2011

1

JUM LAH SUARA


18.706
8.439
12.612
12.181
10.584

Sebagaimana proses Pilkada lainnya yang terjadi di Indonesia,
kegiatan debat kandidat juga menjadi bagian dalam pesta demokrasi di
Rote Ndao, beberapa organisasi non pemerintah (Ornop) di Kota
102 Sumber: http://archive.kaskus.us/thread/1128038 diunduh pada tanggal 20 Oktober
2008.
103 W awancara dengan Pdt. Besly Messakh, S.Th.,M.Si, Calon W akil Bupati Rote Ndao
yang diusung oleh Partai Golkar Rote Ndao namun kemudian tidak didaftarkan ke
KPU karena konflik internal dalam tubuh Partai Golkar Rote Ndao.

134

Pemilihan Umum di Rot e

Kupang seperti Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi
Rakyat (PIAR NTT)104; Yayasan M ai Ita Fali 105 dan Kelompok Kerja
Jaringan Demokrasi (KKJD)106 di Ba’a saling bekerjasama
menyelenggarakan acara Debat Kandidat di Ba’a pada tanggal 7
Oktober 2008. M enurut Tom Therik,Ph.D salah satu panelis pada acara
Debat Kandidat menuturkan bahwa:
Demokrasi di Kabupaten Rote Ndao mundur jauh dari
sebelum daerah itu menjalani otonomi daerah. Karena visi,
misi dan program yang disampaikan para kandidat hanya
mengulangi apa kata orang dan apa yang sudah dibuat orang.
Bahkan pendidikan politik tidak lagi diingat apalagi
disampaikan oleh para calon saat berkampanye di hadapan
para pendukung dan simpatisan mereka. Materi kampanye
sudah lari jauh dan lebih banyak saling menjatuhkan. “Ada
pengikisan budaya yang terjadi saat ini ketika saya
membandingkan isi kampanye para calon yang sudah saling
menjatuhkan. Dulu, budaya orang Rote ketika duduk
berbicara tentang adat, mereka akan berbicara tentang apa
saja dan itu terbuka di hadapan orang yang dibicarakan.
Bahkan, kalau pemerintah mau bangun jalan di desa itu dan
kepala desa mau tolak, dia akan tolak langsung. Tapi,
sekarang dengan melihat kondisi yang ada, maka budaya itu
sudah luntur. Apalagi, isi kampanye yang dilakukan sudah
jauh menyimpang dan cenderung saling menjatuhkan.107

Selain tahapan kampanye yang menarik perhatian publik, salah
satu proses Pilkada yang juga mendapat sorotan tajam dari berbagai
pihak di NTT adalah peristiwa pembakaran Kantor Camat Rote Barat
Laut pada hari Sabtu, 18 Oktober 2008 sekitar pukul 11.00 W ita, di
Perkumpulan PIAR adalah organisasi non pemerintah (Ornop) yang bergerak untuk
menguatkan hak-hak politik warga. Lembaga ini semacam lembaga advokasi yang
bekerja untuk memfasilitasi jalannya tuntutan hak publik termasuk pengusutan kasus
korupsi di lembaga pemerintahan. Sehingga terkadang terkesan lembaga ini lebih
menjalankan fungsi Partai Politik. (W awancara dengan Paul Sinlaeloe, Staf Divisi
Antikorupsi PI AR NTT tanggal 20 Agustus 2009 di Kupang).
105 Yayasan Mai Ita Fali didirikan oleh tokoh masyarakat Rote Ndao yang berdomisili di
Kupang dengan tujuan membangun Kabupaten Rote Ndao. (Wawancara dengan J.N.
Manafe, B.A. Ketua Dewan Pembina Yayasan Mai Ita Fali tanggal 26 Desember 2009 di
Hotel Maya-Kupang yang sekaligus merupakan sekretariat dari Yayasan Mai Ita Fali)
106 Aliansi beberapa LSM yang berkantor di Rote (W awancara dengan Paul Sinlaeloe
tanggal 20 Agustus 2009 di Kupang).
107 W awancara tanggal 7 Oktober 2008.
104

135

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

mana Kantor Camat Rote Barat Laut dijadikan sebagai sekretariat
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Rote Barat Laut, di mana
pembakaran terjadi pada saat proses perhitungan suara telah berakhir.
M enurut penuturan Robert H. Lona, Ketua KPU Rote Ndao: Ada
kelompok massa yang masuk ke tempat penghitungan suara di PPK
Rote Barat Laut itu, mereka muncul secara mendadak, saat itu
penghitungan suara sudah selesai, petugas PPK juga sudah menanyakan
para saksi yang setuju dengan hasil penghitungan sehingga hadirin di
kantor camat bertepuk tangan. Namun, muncul sekelompok orang
merampas kotak dan surat suara lalu membakarnya di halaman kantor
dan akhirnya mereka juga membakar kantor camat. Lanjut lona,
peristiwa pembakaran tidak akan mengganggu proses perhitungan
suara.108

(Sumber foto: Timor Express, 20 Oktober 2008)

Gambar 6.1. Kantor Camat Rote Barat Laut yang Dibakar Massa

Peristiwa pembakaran Kantor Camat Rote Barat Laut yang
belakangan diketahui dipimpin oleh seorang anggota purnawirawan
Polri yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Sektor Rote
Barat Laut dan kemudian terjun ke politik praktis setelah pensiun,
108

Sumber: www.kompas.co.id diunduh pada tanggal 20 Oktober 2008

136

Pemilihan Umum di Rot e

beliau dan kelompoknya mendukung salah satu pasangan calon, dari
sini diketahui bahwa aksi pembakaran Kantor Camat Rote Barat laut
atas dasar kekecewaan kelompoknya terhadap hasil perhitungan surat
suara pada tingkat PPK Rote Barat Laut.109
Selain aksi pembakaran kantor camat di atas, aksi demonstrasi
juga turut mewarnai proses Pilkada di Rote Ndao, dan salah satu tokoh
demonstran adalah J. Danny Zacharias, S.H.,M .A 110 yang bergabung
dalam Aliansi M asyarakat Rote Ndao dan bertindak sebagai juru bicara
aliansi.
Aliansi ini dalam beberapa kali aksinya menuntut KPU Rote
Ndao agar bersikap transparan dalam menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan tahapan Pilkada atas dasar ketentuan
PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 6 huruf C. Selain itu, aliansi ini juga
menuntut Panitia Pengawas Pilkada (Panwaslu) agar mempertanggungjawabkan Keputusan Nomor 09/PAN/RND/2008 tanggal 15
Oktober 2008 tentang pemberhentian sementara proses penghitungan
suara. Panwaslu juga perlu menindaklanjuti temuan pelanggaranpelanggaran Pilkada yang dilakukan paket Nazar dan memantau proses
hukum yang sedang berjalan. Aliansi juga menuntut pihak DPRD agar
mendesak Bupati Rote Ndao mempertanggungjawabkan permasalahan
yang terjadi selama proses Pilkada yang mengakibatkan timbulnya
keresahan masyarakat dan gangguan kamtibmas. Di akhir tuntutan
tersebut, aliansi menyatakan mosi tidak percaya kepada dewan yang
telah gagal dalam melakukan fungsi kontrol dalam tahapan Pilkada dan
tidak menjalankan aspirasi masyarakat yang dibuktikan dengan tidak
kuorumnya dewan ketika ada aspirasi masyarakat yang ingin
disampaikan di kantor dewan pada 16, 17 dan 20 Oktober 2008 yang
lalu.111

Sumber: http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=27034 Diunduh
pada tanggal 26.4.2009
110 J. Danny Zacharias, S.H.,M.A adalah saksi dari Paket AS
111 W awancara dengan J. Danny Zacharias, S.H.,M.A tanggal 6 Maret 2009

109

137

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Sisi lain dari pesta demokrasi Pilkada ini adalah menangnya
pasangan Drs. Loenard Haning, M.M 112 dan Drs. M arthen Luther
Saek 113 (Paket LENTERA) atas rivalnya yakni Paket NAZAR (pasangan
Christian Nehemia Dillak, S.H 114 dan Zacharias P. M anafe115), pada
putaran kedua, di mana kedua paket sama-sama memilih jalur
perseorangan (independen). Fakta ini menunjukkan bahwa
keberadaan partai politik tidak lagi mendapat kepercayaan dari
masyarakat, di mana Paket LENTERA dan Paket NAZAR mampu
menyingkirkan rival mereka yang didukung partai politik pada
putaran pertama (lihat Tabel 6.1)
Tabel 6.2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara pada Pilkada Rote Ndao
Tahun 2008 (Putaran ke-II)
NO

NAM A PASANGAN CALON

JUM LAH SUARA

1

Christian N. Dillak, SH-Zacharias P. Manafe
(Paket NAZAR)
2
Drs. Leonard Haning, MM-Drs. Marthen L. Saek
(Paket LENTERA)
Sumber: KPU Rote Ndao, 2011

28.761
32.166

Dari gambaran di atas dapat penulis kemukakan beberapa faktor
yang menarik karena saling memiliki keterkaitan yaitu: Pertama,
Pilkada Tahun 2008 merupakan Pilkada di mana masyarakat Rote
dapat secara langsung memilih pasangan pemimpin yang
diinginkannya, berbeda dengan Pilkada Tahun 2002 di mana
pemilihannya dilakukan oleh Anggota DPRD; Kedua, Pilkada Tahun
2008 diwarnai dengan gerakan demonstrasi sekelompok massa
pendukung paket tertentu yang tidak puas dengan hasil Pilkada Tahun
2008 bahkan sampai dengan aksi anarkis berupa pembakaran salah satu
kantor camat, hal ini tidak ditemukan pada Pilkada Tahun 2003;
Ketiga, Pilkada Tahun 2008 dilaksanakan hingga dua putaran, di mana
pada putaran kedua, tersisa dua pasang calon yang sama-sama
Jabatan sebelumnya Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya NTT
Jabatan sebelumnya Staf pada Bappeda Rote Ndao
114 Jabatan sebelumnya Bupati Rote Ndao
115 Jabatan sebelumnya Ketua DPRD Rote Ndao
112

113

138

Pemilihan Umum di Rot e

merupakan calon independen yang mengalahkan 3 pasangan calon
lainnya yang diusung partai politik pada putaran pertama; Keempat,
Partai Golkar terlambat mendaftarkan pasangan calonnya ke KPU
karena konflik internal; dan Kelima, ada pasangan calon yang tidak
lolos verifikasi KPU karena dualisme kepengurusan dari partai politik
pendukung.

Pemilihan Umum (Pemilu)
Dalam sejarah perpolitikan Negara Indonesia, sejak merdeka
1945, Indonesia tercatat melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu)
yang demokratis pada Pemilu pertama tahun 1955, dengan sistem
multi partai dan dalam semangat kebangsaan yang kuat. Kemudian
dilanjutkan dengan Pemilu tahun 1971 sampai dengan Pemilu 1997, di
masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan masa Orde
Baru hampir hilang makna demokrasi karena pemilu dilaksanakan
sebagai syarat bedemokrasi tanpa melihat hakekat pemilu itu sendiri
yang harus lebih dikedepankan kebebasan rakyat dalam menentukan
sendiri pilihannya artinya Luber ketika itu hanya merupakan kata-kata
tanpa makna.
Setelah rejim Soeharto jatuh tahun 1998, tahun 1999 bangsa
Indonesia melaksanakan pesta Demokrasi, Pemilu dengan sistem multi
partai dan menggunakan sistim proporsional dengan daftar calon
tertutup artinya pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai politik.
Untuk Pemilihan Umum tahun 2004 yang menggunakan UU
Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Darah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan W akil Presiden. Pemilu dilaksanakan dengan
sistem proposional dengan daftar terbuka yang memberikan ruang
yang cukup untuk melahirkan calon legislatif yang legitimate dan
acceptable. Kemudian pada pemilu 2009 menggunakan UU Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
139

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Rakyat, Dewan Perwakilan Darah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (sebagai pengganti UU Nomor 12 Tahun 2003).
Bila dibandingkan antara pemilu 1999, 2004 dan 2009 dari
sistimnya memang dapat dikatakan pemilu tahun 2009 lebih
memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih wakilnya
dengan lebih banyak melihat orang dari pada partai politik peserta
pemilu, namun dilihat dari sisi partisipasi masyarakat dalam Pemilu,
Pemilu tahun 1999 prosentasinya lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 2004 maupun 2009 (Putra, 2009).

(Foto: W ilson Therik, 2009)

Gambar 6.2. Suasana TPS 01 Desa Bo’a Pada Pemilu 2009

Pelaksanaan pemilu nasional di Rote tidak mengalami
pergesekan politik maupun konflik politik sebagaimana yang terjadi
pada pelaksanaan Pilkada langsung, meskipun wilayah Rote yang sejak
era Orde Baru menjadi pendukung Golongan Karya (Golkar)116, namun
dengan lahirnya era Reformasi dengan sistem politik yang berbeda,
Pada era Orde Lama, W ilayah Rote Ndao merupakan wilayah basis Partai Kristen
Indonesia (Parkindo). Lihat Rupidara, (2002).

116

140

Pemilihan Umum di Rot e

membuat peta politik di Kabupaten Rote Ndao ikut berubah. Hasil
pemilu 2009 menunjukkan bahwa Partai Golkar masih mendapat
kepercayaan publik dengan perolehan 4 kursi, disusul Partai Demokrat,
Partai Gerindra dan Partai Persatuan Daerah yang sama-sama
memperoleh 3 kursi.
Para anggota DPRD Rote Ndao masa bakti 2009-2014 dapat
penulis uraikan pada Tabel 6.3. berikut ini:
Tabel 6.3. Daftar Anggota DPRD Rote Ndao Masa Bakti 2009-2014
NO

NAM A ANGGOTA DPRD
1
Cornelis Feoh, S.H 117
2
Drs. David Detaq, M.Si 118
3
Adrianus Adu, S.T 119
4
Petrus J. Pelle, S.Pd
5
Adrianus Pandie
6
Anaci N. Saleh Tassie
7
Anwar Kiah
8
Konerlis Lapaan
9
Djanu Dj. I. Manafe
10
Dora L. Natarang
11
Elisabeth Y. Dangku, S.E
12
Filadelfia Fiah, S.E
13
Frans N. Mooy, S.H
14
Hanok Lenggu, S.H
15
Hendrik Henuk
16
Hendrik A. Lapaan, B.A
17
Junianti A.Tamelan, Sp
18
Migel H. Beama, S.Pd
19
Nicolas S. Haning, S.E
20
Simsoni Balukh
21
Urbanus D. Sinlae, S.H
22
Yacob Malelak
23
Yosia A. Lau, S.E
24
Pdt. Yunus E.W. Manu, S.Th
25
Zisendorf Y. Adoe
Sumber: KPU Rote Ndao, 2011

PARTAI POLITI K
Partai Golkar
Partai Gerindra
Partai Demokrat
Partai Demokrat
Partai Gerindra
Partai Demokrat
PKB
PDI Perjuangan
Partai Patriot
PPD
PPD
Partai Hanura
PKDI
PPD
PPRN
Partai Kedaulatan
PPI B
PPI B
Partai Hanura
Partai Golkar
Partai Golkar
Partai Gerindra
Partai Golkar
PDS
PDI Perjuangan

JUM LAH SUARA

2.190
1.555
1.747
1.250
1.458
2.811
1.159
1.248
989
743
753
952
1.146
1.077
1.101
722
1.265
725
718
1.189
1.783
1.248
3.003
1.074
1.688

Ketua DPRD
W akil Ketua DPRD
119 W akil Ketua DPRD
117
118

141

Relasi Negara dan M asyarakat di Rot e

Jumlah perolehan suara untuk masing-masing partai yang pada
akhirnya memperoleh kursi dapat dilihat pada Tabel 7.3. di atas. Secara
berturut-turut adalah: Golkar (4 kursi), Partai Demokrat (3 kursi), PPD
(3 kursi), Partai Gerindra (3 kursi), PDIP (2 kursi), PPIB (2 kursi),
Partai Hanura (2 kursi), PDS (1 kursi), PKB (1 kursi), Partai Patriot (1
kursi), PKDI (1 kursi), PPRN (1 kursi), Partai Kedaulatan (1 kursi).
Dibandingkan dengan hasil Pemilu 2004 nampak tiga partai
mengalami pengurangan jumlah kursi di DPRD Kabupaten Rote Ndao
yaitu: Partai Golkar dari 8 kursi menjadi 4 kursi, PDIP dari 4 kursi
menjadi 2 kursi, Partai Patriot dari 2 kursi menjadi 1 kursi kemudian
PNBK, PKPI dan PPDI masing-masing tidak memperoleh kursi sama
sekali. Partai yang perolehan suaranya tetap yaitu PPD 3 kursi, PKB
dan PDS masing-masing satu kursi. Dua partai yang memperoleh
kenaikan jumlah kursi yaitu PPIB dari 1 kursi menjadi 2 kursi dan
Partai Demokrat dari 1 kursi menjadi 3 kursi. Lima partai pendatang
baru pada Pemilu 2009 yaitu Partai Gerindra 3 kursi, Partai Hanura 2
kursi, PKDI, PPRN dan Partai Kedaulatan masing-masing 1 kursi.
Tingkat pendidikan legislatif baru di DPRD Kabupaten Rote
Ndao cukup baik. 13 orang berpendidikan S1, 1 orang berpendidikan
S2 dan sisanya 11 orang berpendidikan SM A. Dilihat dari jumlah quota
perempuan yang akhirnya menjadi legislator hanya 12%. Hal ini
berarti bahwa quota agar jumlah perempuan dalam legislatif mencapai
30% tidak terpenuhi. Fakta ini menunjukkan bahwa peran perempuan
di dalam aspek politik praktis masih tetap terpinggirkan. Adanya
keinginan dari banyak pihak yang menghendaki jumlah perempuan
yang dapat duduk sebagai legislatif sebanyak 30% nampaknya masih
belum bisa di dekati. Lebih dari itu aturan yang menyebutkan bahwa
jumlah calon legislatif perempuan diharapkan mencapai 30% (bersifat
fakultatif dan bukan merupakan keharusan) nampaknya juga tidak
tercapai.
Aspek lain yang perlu dikemukakan tentang terbentuknya
legislator baru di DPRD Kabupaten Rote Ndao adalah banyaknya
legislator lama (periode 2004-2009) yang kembali menjabat sebagai
142

Pemilihan Umum di Rot e

legislator untuk periode 2009-2014 jumlahnya mencapai 28%. Dilihat
dari perolehan suara untuk masing-masing legislator baru
menunjukkan variasi yang besar. Yang pertama semua legislator
tersebut tidak ada satu pun yang memenuhi BPP (Bilangan Pembagi
Pemilih). Yang kedua, ada caleg yang bisa mengumpulkan suara sampai
3003 suara, namun ada pula yang hanya mengumpulkan 718 suara.
Kedua “jenis” caleg tersebut, walaupun sama-sama tidak memenuhi
BPP, pada akhirnya dengan dukungan suara dari caleg yang lain dapat
menjadi anggota DPRD Kabupaten Rote Ndao.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis kemukakan bahwa
kemenangan pasangan independen pada Pilkada 2008 menunjukkan
bahwa masyarakat (pemilih) tidak lagi percaya pada partai politik,
persoalan lainnya yang pasti kelak akan dihadapi oleh rakyat adalah
bagaimana melakukan kontrol terhadap legislator busuk (dan sekaligus
melakukan kontrol terhadap pemerintahan). Dengan demikian maka
untuk melakukan hal tersebut maka proses-proses pengembangan civil
society justru harus terus dilakukan pada proses-proses pengambilan
keputusan baik di aras desa (lokal) maupun pada aras kabupaten
(regional).

143