Teknologi Pengawetan Dan Pengolahan Kuli

Teknologi Pengawetan Dan Pengolahan Kulit
Pendahuluan
Pemanfaatan kulit ternak /hewan untuk kepentingan manusia itu berjalan
searah dengan perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk
sampingan hasil pemotongan ternak, maka kulit merupakan produk yang
memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi. Berat kulit pada sapi, kambing
dan kerbau memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh Secara ekonomis kulit
memiliki harga berkisar 10-15% dari harga ternak .
Sejak masa prasejarah pemanfaatan kulit telah dikenal oleh masyarakat.
Hal tersebut terbukti dari peninggalan tertulis maupun pahatan/relief pada
batu

yang

menunjukkan

bagaimana

proses

pengolahan


kulit

dan

kegunaannya pada manusia sebagai pakaian serta rumah tenda dari bahan
kulit (bangsa Indian).Di Semenanjung Asia terutama India dan China
ditemukan bukti tertulis. Di Afrika khususnya Mesir ditemukan pakaian dari
kulit yang dipakai untuk membungkus mummy. Di Eropa, pengembaraan
bangsa Moor telah membawa budayanya sampai Spanyol sehingga teknologi
pengolahan kulit berkembang sampai negara-negara Eropa lainnya. Di
Museum Berlin disimpan batu yang menggambarkan proses pengolahan kulit
harimau.

Demikian pula di British Museum kini tersimpan pakaian dan

sepatu dari kulit (mummy) dari masa prasejarah. Perkembangan proses
pengolahan kulit secara sederhana dan pemanfaatannya di Asia disebarkan
ke


Asia

dan

Afrika

oleh

Marcopolo.

Potensi hasil ikutan berupa kulit di Indonesia masih sangat besar, hal ini
disebabkan masih sedikitnya industri besar yang mengelola secara intensif.
Kalaupun ada kapasitasnya belum mampu memenuhi permintaan pasar.
Sebagai contoh industri kulit hanya mampu menghasilkan 350.000.000
sqft/tahun sedangkan permintaan untuk industri alas kaki maupun untuk
barang jadi sebesar 673.000.000 sqft/tahun sehingga setiap tahunnya
terjadi

kekurangan


323.000.000

sqft.

Sebelum era krisis moneter, pihak pemerintah dengan syarat tertentu masih

mengizinkan industri-industri penyamakan kulit untuk mengimpor kulit
mentah dan awetan dari luar negeri, dengan maksud untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku kulit dalam negeri yang sepenuhnya belum
mencukupi. Namun demikian sejak dimulainya krisis moneter, pemerintah
akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit mentah
maupun kulit setengah jadi dari luar negeri dengan alasan tingginya harga
dasar barang (naik + 300-400%) dan pajak impor yang harus ditanggung
oleh importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing. Dengan langkah
kebijakan

tersebut

para


pengusaha

dalam

negeri

tentunya

harus

menyediakan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Masalah yang timbul, apakah mutu kulit mentah maupun kulit awetan yang
dihasilkan oleh masyarakat di dalam negeri sudah memenuhi standar yang
sesuai atau paling tidak telah mendekati standar kualitas yang telah
ditetapkan . Sebuah fenomena yang patut kita ingat bahwa pada saat
industri perkulitan mengalami kejayaan pesat, ekspor kulit samak (leather)
merupakan sumber devisa negara non migas selain kayu, tekstil dan
elektronik.

Berdasarkan gambaran tersebut, tentunya banyak hal yang


harus dikaji dan terpulang kepada, bagaimana perkembangan ilmu dan
teknologi khususnya ilmu dan teknologi pengolahan kulit ke depan serta
kualitas SDM peternakan yang dimiliki. Pada bagian-bagian selanjutnya akan
dikaji mengenai teknik penanganan dan pengolahan pada kulit.
A.
Teknologi
Pengawetan
pada
Kulit
Mentah
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses
untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam
jaringan kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang
tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme
perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai
tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme
tidak mampu untuk tumbuh (± 5-10%).
Pengawetan kulit memiliki beberapa tujuan antara lain :
1.


Mempertahankan struktur dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan
untuk sementara waktu sebelum dilakukan proses pengolahan/penyelesaian

2.

Untuk tujuan penyimpanan dalam waktu yang relatif lebih lama

3.

Agar kulit dapat terkumpul sehingga dapat dikelompokkan menurut besar
dan kualitasnya serta mengantisipasi terjadinya over produksi karena stok
kulit yang terlalu banyak
Secara umum proses pengawetan kulit mentah yang dikenal di
Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni :

1.

Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia


2.

Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan

3.

Pengawetan dengan cara garam basah

4.

Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)
1. Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia
Kulit segar yang baru dilepas dari ternak selanjutnya dilakukan pengawetan
dengan maksud untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit
hingga

mencapai

batas


minimum

kadar

air

yang

diperlukan

untuk

persyaratan hidup bakteri perusak. Adapun urutan pelaksanaannya adalah
sebagai berikut :
a.

Pencucian dan pembuangan daging
Kulit yang baru dilepas dicuci dengan air mengalir dan kelebihan daging
maupun lemak yang masih melekat dibuang. Pisau yang digunakan harus
tajam dan bentuknya melengkung untuk mencegah robeknya kulit. Setelah

semua lemak dan daging telah bersih selanjutnya dicuci kembali dengan air
mengalir
b. Pengetusan (Pentirisan)
Kulit yang telah dicuci kemudian disampirkan atau ditiriskan diatas kudakuda kayu dan dibiarkan menetes selama 30 menit.

c.

Pemberian zat kimia
Kulit direndam dalam bak yang berisi zat kimia jenis Natrium Arsenat 0,5%
selama 5-10 menit. Setelah proses tersebut selesai, kulit masih disampirkan
diatas bak agar sisa-sisa zat kimia masih tetap menetes kembali ke dalam
bak

d. Pementangan
Setelah zat kimia menetes dengan baik, kulit dipentang dan ditarik dengan
tali pada kerangka kayu (pentangan kulit).

Pentangan untuk kulit sapi,

kerbau maupun kuda menggunakan kayu bulat dengan diameter kira-kira 510 cm yang menyerupai model bingkai gambar. Ukuran panjang maupun

lebarnya disesuaikan dengan kondisi kulit dengan acuan bahwa pentangan
tersebut dapat menampung luas maksimal dari kulit.

Kulit yang akan

dipentang dilubangi pada bagian pinggirnya dengan jarak kira-kira 2-3 cm
dari batas pinggir kulit dan ditarik hingga posisi kulit terpentang dengan
sempurna tanpa adanya pengkerutan dan pelipatan pada bagian pinggir
maupun tengah.
kambing

maupun

Proses pementangan untuk kulit kecil seperti domba,
reptil

dapat

dilakukan


diatas

papan

dan

teknik

pementangannya tidak perlu menggunakan tali tapi cukup dilakukan dengan
menggunakan paku
e.

Pengeringan
Kulit

yang

telah

dipentang

selanjutnya

siap

untuk

dijemur.

Proses

pengeringan tidak boleh dilakukan terlalu cepat, sebab zat-zat kulit pada
lapisan luar akan mengering lebih cepat dibanding pada bagian dalam dari
kulit.
Temperatur

yang

terlalu

tinggi

menyebabkan

zat-zat

kulit

(kolagen)

mengalami proses gelatinisasi menjadi gelatin yang bersifat mengeras dan
tentunya dapat menghalangi proses penguapan air pada bagian dalam. Bila
hal tersebut terjadi mengakibatkan kulit akan membusuk pada saat disimpan
dalam jangka waktu yang lama.

Untuk mengantisipasi hal tersebut

beberapa petunjuk teknis sederhana tentang posisi letak kulit dalam proses
penjemuran kulit dibawah sinar matahari.
Penjemuran pertama dimulai pada bagian daging (flesh). Pukul 09.00-11.00
dan pukul 15.00-17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar matahari
tegak lurus dengan permukaan kulit. Pada waktu siang hari yaitu pukul
11.00-15.00 penjemuran dengan arah sinar matahari sejajar dengan arah
datangnya sinar matahari. Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering,

maka posisi kulit dapat dibolak balik sedemikian rupa hingga semua
pengeringan dapat merata disemua permukaan kulit. Proses pengeringan
kulit dapat selesai dalam waktu kurang lebih 2-3 hari dengan kondisi panas
matahari yang cukup dan penguapan yang teratur.
Beberapa petunjuk sederhana untuk mengetahui apakah proses pengeringan
telah cukup, yakni apabila :
-

Keadaan kulit terlihat tembus cahaya (transparan)

-

Keadaan kulit tegang (kaku)

-

Bagian daging dan bulu telah mengering

-

Penampang kulit bila diketuk akan berbunyi nyaring

f.

Pelipatan
Setelah kulit menjadi kering selanjutnya dilepas dari pentangannya dan
dilipat dua dengan arah lipatan membujur dari pangkal ekor menuju ke
kepala sejajar dengan garis punggung dan membagi dua bagian tubuh yaitu
kiri dan kanan. Bagian daging atau bulu dapat ditempatkan pada bagian
dalam maupun luar.

Setelah dilakukan pelipatan kemudian kulit dapat

disimpan sebagai kulit awetan.
2.

Pengawetan

dengan

cara

kombinasi

penggaraman

dan

pengeringan
Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun
kotoran yang melekat (seperti cara -1) kemudian direndam dalam dalam
cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 2024oBe selama 1-2 hari.

Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada

dibawah 20oBe. Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut
Baume meter. Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya
ditambah dengan garam. Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar
salinitas dapat diprediksi dengan formulasi berikut.
Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka
dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut,
sedangkan bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat

air pelarut. Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara
ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam
kotor) yang banyak dijual di pasaran.
Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1
kg garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam teknis.
Berdasarkan acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan tingkat
kepekatan 20oBe, berarti untuk penggunaan garam murni dibutuhkan 20 kg
(20 x 1% x 100 = 20) dan untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 = 30).
Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut,
yakni dengan melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk. Bila garam
tidak dapat larut lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah
jenuh , Kulit yang telah direndam ditiriskan pada bagian atas bak
perendaman. Bagian daging dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan
garam dengan persentase 10% dari berat kulit basah dan kulit didiamkan
selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi peresapan.

Kulit kembali

dipentang pada bingkai kayu (seperti cara-1) dengan waktu pengeringan 3-5
hari.

Kulit yang telah kering selanjutnya dilipat (seperti cara-1).

Dalam proses ini memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara
lain :
a.

Keuntungan

-

Selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun
pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat
musim penghujan.

-

Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1)
oleh karena serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain

-

Kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman
(soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi

b.

Kerugian
Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding cara-1
karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula

3. Pengawetan dengan cara garam basah
Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam
(seperti pada cara-2).

Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan

seperti (cara-2), tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya
telah ditaburi dengan garam. Kulit yang berada pada posisi paling bawah
diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging
menghadap

keatas.

Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah
perendaman).

Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi

pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi,
kerbau dan kuda. Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan
bagian bulu posisi kedua.

Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan

maksimal 1 meter. Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi
sebagai penutup sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan
semula yaitu bagian bulu menghadap ke atas. Tumpukan kulit didiamkan
selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit demi sedikit. Kulit
yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya
cairannya bisa seluruhnya keluar. Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk
diperdagangkan

atau

disimpan

sebagai

kulit

garaman.

Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih
dari1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan. Pengawetan
dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim
dingin/sejuk yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini digunakan pula
untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti
kulit ikan dan kulit reptil.

Seperti halnya cara-2 jenis pengawetan ini

memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :
a.

Keuntungan :

-

Pengawetan tidak tergantung dengan sinar matahari

-

Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit

-

Proses

perendaman

(soaking)

membutuhkan waktu yang singkat

dalam

proses

penyamakan

kulit

-

Pelaksanaan cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas

b.

Kerugian :

-

Untuk

daerah

tropik

seperti

di

Indonesia

pengawetan

dengan

menggunakan garam basah masih disangsikan keberhasilannya mengingat
temperatur ruangan yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri khususnya
bila penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Bakteri
yang seringkali

ditemukan

pada

kulit

garaman adalah jenis

bakteri

halapofilik yang diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.
-

Biaya pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang
relatif lebih banyak serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur
yang rendah.
4.

Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)
Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit

domba (terutama di New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit
yang berskala besar lainnya). Untuk keperluan ekspor kulit dipickle selama 2
bulan atau lebih. Pengawetan kulit dengan cara dipickle dikerjakan untuk
kulit-kulit yang telah dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran
(liming), buang kapur (deliming) dan telah didegradasi sebagian protein
penyusunnya yang disebut bating (beitzing) (Prosesnya sama dengan tahap
pendahuluan dalam proses

penyamak

kulit).

Proses bating tersebut

dilakukan dengan mereaksikan enzim dengan kulit. Setelah proses bating
selesai, kulit diputar dalam cairan asam (pickle) yang terdiri dari garam
dapur (NaCl), asam dan air. Komposisi yang digunakan adalah 15% NaCl +
1,2% H2SO4 atau asam lain + 100% air pada pH ± 2,5. Persentase bahanbahan yang dipakai diperhitungkan dari berat kulit. Kepekatan cairan pickle
antara 10-12 oBe. Kulit dimasukkan ke dalam cairan pickle secara bersamabersama diputar dalam drum berputar (paddle) selama 2 jam dan
selanjutnya dilakukan proses pemerasan (sammying).

Kulit yang telah

diperas dilipat seperti cara terdahulu yaitu membujur dari pangkal ekor

menuju ke bagian kepala membagi bagian tubuh menjadi dua yakni kiri dan
kanan. Kulit dimasukkan ke dalam tong kayu dengan bagian dasarnya diberi
dengan garam begitu pula di antara lapisan-lapisan lembar kulit. Bagian
kulit paling atas ditaburi garam dan ditutup rapat.

Kandungan air

diusahakan tidak lebih dari 40% dengan pH 2-2,5.
Dari keempat jenis pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis
pengawetan memiliki keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya
proses pengawetan yang dilakukan tentunya mengarah kepada suatu upaya
bagaimana kulit mentah tersebut memiliki umur simpan yang maksimal
hingga memasuki tahap pengolahan. Selama proses penyimpanan tersebut
struktur penyusun kulit sangat rentan sekali oleh pengaruh mikroorganisme.
Selain itu tentunya perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur
penyusun

diupayakan

dapat

diminimalisir.

Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini
menunjukkan

bahwa,

produk

kulit

mentah

merupakan

produk

hasil

sampingan pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus
setelah

lepas

dari

tubuh

ternak

Selain zat-zat kimia tersebut, di dalam kulit yang masih segar terdapat pula
beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri
yakni enzim cathepsin, collagenase, dan dopa oxidase. Enzim collagenase
disintesis oleh sel fibroblast. Selama hewan masih hidup enzim tersebut
dalam bentuk pro-collagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan
dipotong pro-collagenase tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase
yang dapat mencerna serabut kolagen. Selama kulit masih segar setelah
lepas dari tubuh dan sebelum mengalami pengawetan dalam kondisi
lingkungan yang sesuai,

enzim cathepsin bersama-sama dengan enzim

collagenase mencerna zat-zat dalam kulit. Kejadian tersebut lazim disebut
autolisis.

Enzim dopa oxidase memiliki pengaruh yang besar terhadap

perubahan warna pada kulit ternak/hewan pada saat masih hidup. Akibat
pengaruh sinar ultraviolet, tirosin berubah menjadi dopa yang selanjutnya

dopa teroksidasi menjadi senyawa melanin yakni butir zat warna pada kulit
(Sarkar,

1995).

Warna

kulit

yang

gelap

(pada

saat

masih

hidup)

kemungkinan disebabkan oleh terekspose dibawah terik matahari dalam
jangka waktu lama. Warna kulit berpengaruh terhadap cara pengawetan,
dimana warna kulit yang gelap bila diawetkan dengan cara pengeringan,
akan cepat mengubah protein kolagen menjadi gelatin (Djojowidagdo,
1999).
Selain enzim-enzim yang terdapat dalam kulit itu sendiri juga terdapat pula
enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyerang kulit seperti
halnya bakteri, jamur maupun mikroorganisme lain. Gabungan enzim-enzim
dari kulit itu sendiri dengan enzim dari mikroorganisme tersebut akan
mempercepat

proses

degradasi

terhadap

komponen

kulit

dan

hasil

digestinya disebut lisis.
Komponen kulit yang paling penting untuk dipertahankan adalah
protein kolagen, karena kolagen merupakan struktur utama yang dibutuhkan
dalam proses penyamakan kulit dan sangat menentukan kualitas akhir dari
kulit tersamak (leather).

Dalam upaya mempertahankan struktur kulit

sangat perlu dilakukan proses pengawetan

sebelum dilakukan proses

penyimpanan.
B. Teknologi Penyamakan Kulit
Penyamakan kulit merupakan suatu proses untuk mengubah kulit
mentah (hide/skin) yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik,
kimia dan biologis) menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut
yang biasa disebut kulit tersamak (leather).
Jenis penyamakan yang kita kenal ada 4, yakni :
1.

Penyamakan mineral
Jenis bahan penyamak yang sering digunakan dalam penyamakan ini antara
lain yang berasal dari golongan aluminium seperti tawas putih (K 2SO4
Al2(SO4)3 24 H2O), golongan chrome seperti Cr2O3 (produk komersial dengan
merek Chromosal-B) dan Zirkonium. Produk kulit jadi (leather) yang biasa

dihasilkan melalui penyamakan ini antara lain : kulit untuk bahan jaket, tas
kantor, sepatu dan lap (chamois)
2.

Penyamakan nabati
Jenis bahan penyamak yang digunakan adalah bahan-bahan yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan seperti akar, batang dan daun. Prinsipnya bahwa
semua tumbuh-tumbuhan yang mengandung tannin

dapat digunakan.

Contoh tumbuhan yang sering digunakan antara lain : mahoni, pisang, teh,
akasia, bakau. Tumbuhan yang mengandung tannin dicirikan oleh rasa yang
sepat dan reaksi dengan besi seperti pisau menghasilkan warna ungu
kehitaman.

Produk kulit jadi yang dihasilkan adalah sepatu sol (sepatu

kerja/sepatu militer/polisi)
3.

Penyamakan sintetis
Penyamakan sintetis menggunakan bahan-bahan dari golongan fenol yang
telah dibesarkan molekulnya melalui proses sulfonasi dan kondensasi.
Produk komersial dijual dengan merek Basyntan, Irgantan dan Tanigan.
Tujuan yang diharapkan dari penyamakan ini adalah memperoleh kulit jadi
dengan menampilkan kesan aslinya. Seperti kulit reptil (ular, buaya biawak)
maupun pada kulit kaki ayam. Melalui teknik penyamakan ini relief (rajah)
khas yang dimiliki masing-masing kulit tetap dipertahankan dan akan tetap
tampak sebagai suatu seni (art) tersendiri.

4.

Penyamakan minyak
Jenis bahan penyamak yang digunakan adalah berasal dari minyak ikan
salah satu contohnya adalah minyak ikan hiu. Dalam perdagangan biasa
dikenal dengan nama minyak ikan kasar.

Minyak ikan yang digunakan

memiliki ikatan C rangkap atau bilangan yodium berkisar 80-120. Produk
kulit jadi yang dihasilkan misalnya kulit bulu (zemleer).
C. Hasil-hasil Olahan Kulit untuk Pangan dan Non Pangan
A .Hasil olahan kulit untuk pangan
Hasil olahan yang berasal dari kulit yang dapat dikonsumsi manusia
dapat berupa kerupuk kulit dan gelatin. Jenis olahan ini telah dikembangkan
oleh Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Unhas

(Abustam dkk., 2003). Sampai saat ini produk kerupuk kulit sudah banyak
dikonsumsi oleh masyarakat baik yang berasal dari ternak besar maupun
yang berasal dari unggas (ayam). Misalnya saja kerupuk kulit cakar ayam
maupun kerupuk kulit tubuh ayam. Di pulau Jawa sendiri, Jenis kerupuk ini
telah lama berkembang, begitu pula di Sulawesi Selatan jenis kerupuk ini
sedikit demi sedikit telah mulai dikenal oleh masyarakat. Di Sumatra Barat
sendiri telah diproduksi secara massal dengan nama “kerupuk jangat” yang
sebagian besar diproduksi dengan bahan dasar kulit kerbau begitu pula di
daerah Mataram kegiatan produksi kerupuk dari kulit telah berkembang
dengan pesat.
Pemanfaatan lain dari kulit dalam dunia pangan adalah dalam bentuk
gelatin. Gelatin adalah produk hasil denaturasi dari kolagen. Kulit yang
secara kimiawi komposisi proteinnya terdiri atas 80-90% merupakan protein
kolagen.

Protein kolagen ini secara ilmiah dapat “ditangkap” untuk

dikonversi menjadi gelatin.

Gelatin secara kimiawi diperoleh melalui

rangkaian proses hidrolisis kolagen yang terkandung dalam kulit. Reaksi
yang terjadi adalah :
C102H149N31O38 + H2O

C102H151N31O39

Kolagen

Gelatin

Beberapa negara maju maupun negara berkembang menggunakan
banyak

produk

gelatin

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Gelatin

banyak

digunakan sebagai bahan kosmetik (salep, cream rambut), makanan
(pembuatan es krim, permen karet, pengental, mayonnaise,

maupun

penjernih anggur buah), bidang teknik (rol cetak, sablon dalam screen
printing, perekat pentil korek api dan alas hektograf), bidang fotografi
(medium pengulas bahan film serta kertas potret), bidang farmasi dalam
bentuk kapsul dan alas makanan dalam bidang mikrobiologi.
Saat ini gelatin sudah dapat diproduksi dari kulit kaki ayam melalui
proses ekstraksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit kaki ayam ras
pedaging (broiler) yang dicuring dengan asam cuka 1% selama 3 hari telah
menghasilkan gelatin dengan kuantitas dan kualitas yang baik (Abustam

dkk., 2002). Berdasarkan data yang ada bahwa Indonesia selama ini masih
mengimpor gelatin dari Eropa dan Amerika yang bahan bakunya kebanyakan
berasal dari kulit babi, meskipun diantaranya berasal dari tulang sapi
maupun kulit sapi. Berita terakhir menyebutkan bahwa bagi warga Eropa
dan Amerika sendiri sudah banyak meragukan kualitas gelatin yang mereka
hasilkan dengan merebaknya kasus penyakit sapi gila (madcow) dan
zoonosis yang menyerang ternak ruminansia khususnya sapi di daerah
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut diketahui pula bahwa masyarakat
Indonesia mayoritas beragama Islam sehingga produk gelatin impor yang
kemungkinannya berasal dari kulit babi tersebut merupakan suatu masalah
yang cukup serius (LP.POM-MUI,1997). Berdasarkan kasus-kasus tersebut
berkembanglah suatu pemikiran untuk memproduksi gelatin yang relatif
lebih aman untuk dikonsumsi dalam hal ini akan terbebas dari kontaminasi
penyakit yang membahayakan tersebut serta halal bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
B. Hasil olahan kulit untuk non pangan
Hasil olahan kulit dalam bentuk non pangan lebih banyak dalam
bentuk kulit tersamak (leather) melalui proses penyamakan. Beberapa jenis
produk leather yang kita kenal adalah sebagai berikut :
Ø Kulit sol
Kulit sol biasanya berasal dari kulit tebal yang mempunyai struktur serat
yang kuat dan padat misalnya kulit sapi dan kerbau. Jenis kulit ini kaku dan
sulit dibengkokkan.
militer/polisi

serta

Penggunaannya sebagai bahan sol sepatu untuk
pekerja

pabrik.

Kulit

sol

diolah

dengan

melalui

penyamakan nabati.
Ø Kulit vache
Kata vache berasal dari bahasa Perancis “la vache” yang berarti sapi. Kulit
ini lebih lemas dibanding sol dan banyak digunakan untuk sol dalam dan kap
pembuatan sepatu cara modern. Kulitnya berasal dari sapi .
Ø Kulit raam

Kulit raam adalah jenis kulit vache digunakan untuk menyambung kulit
atasan dengan kulit bawahan dan diperdagangkan sebagai lajuran dengan
lebar 12-18 mm dan tebal 1,8-2,2 mm. Warna biasanya disesuaikan dengan
warna kulit sapi.
Ø Kulit box
Kata box merupakan contoh dari kulit atasan yang berasal dari kulit sapi
melalui penyamakan chrome. Sifat kulit ini lemas, struktur kuat serta nerf
tidak mudah pecah dan lepas. Banyak digunakan sebagai bahan sepatu
kantor atau kerja.
Ø Kulit fahl
Kulit fahl merupakan bahan untuk kulit atasan berasal dari kulit sapi yang
disamak nabati dan diberi gemuk tidak berwarna atau berwarna kehitaman.
Sifatnya tahan air, lemas dan kekuatan tariknya tinggi. Banyak digunakan
sebagai bahan sepatu gunung, militer maupun sepatu lapangan
Ø Kulit tahan air
Kulit ini merupakan kulit atasan melalui proses penyamakan chrome,
kombinasi dan nabati.

Kulit diberi gemuk agar tahan terhadap air dan

banyak digunakan sebagai bahan pembuatan sepatu berat, laras, sport dan
ski. Kadar gemuknya mencapai 15-21%. Jenis kulit ini berasal dari kulit sapi
Ø Kulit nubuk dan velour
Kulit ini berasal dari kulit sapi yang disamak chrome dan pada bagian atas
(nerf) digosok sedikit sehingga bila diraba akan terasa seperti beludru.
Ø Kulit chevrau
Kulit ini dibuat dari kulit kambing yang disamak chrome yang digunakan
sebagai bahan kulit atasan. Kulit ini biasa juga disebut kulit glase.
Ø Kulit chevrette
Kulit ini berasal dari domba yang disamak chrome. Kekuatannya sedikit
berada dibawah kulit chevrau sehingga kebanyakan dibuat untuk jenis
sepatu rumah.
Ø Kulit blank

Kulit ini kebanyakan diolah dengan samak nabati sifatnya elastis

tidak

mudah dibengkokkan dan kuat. Digunakan sebagai bahan untuk sadel, tas,
ransel. Bahannya berasal dari kulit sapi.
Ø Kulit vachet
Kulit ini berbahan mentah kulit sapi dan digunakan sebagai bantal pada kursi
dan peralatan-peralatan rumah tangga lainnya.
Ø Kulit mebel
Kulit ini mirip dengan kulit blank namun jumlah gemuk yang diberikan lebih
banyak, elastis dan kuat.
Ø Kulit halus
Yang tergolong kulit ini adalah kulit sampul buku dan kulit tas.

Bahan

mentahnya berasal dari kulit sapi, kambing dan domba yang disamak nabati
Ø Kulit reptil dan kulit ikan
Kulit reptil antara lain kulit ular, biawak dan buaya. Produk ini dipergunakan
untuk produksi sepatu, tas wanita, dompet maupun ikat pinggang. Proses
penyamakannya melalui penyamakan nabati dan chrome. Untuk kulit ikan
diperoleh dari kulit anjing laut, ikan hiu dan pari.
Ø Kulit ban mesin
Jenis kulit ini berasal dari kulit sapi yang diproses dengan penyamakan
nabati dan chrome.

Sifatnya harus kuat, lemas dan sedikit mengalami

kemuluran
Ø Kulit manchet
Jenis kulit ini banyak dipergunakan untuk peralatan pompa, pipa air, pentil.
Kulit ini berasal dari kulit sapi dan kambing.
Ø Kulit tekstil
Jenis kulit ini digunakan untuk keperluan alat-alat teknik antara lain bagianbagian dari alat tenun misalnya pecker, roda gigi (dapat berjalan tanpa
berbunyi). Bahannya berasal dari kulit sapi dan kerbau.
Ø Kulit pelindung kerja

Jenis kulit ini banyak dipakai sebagai bahan untuk pembuatan barang-barang
yang berfungsi dalam perlindungan bagi tubuh seperti sarung tangan dan
peci. Bahan mentahnya berasal dari kulit sapi dengan konsistensi lemas
Ø Kulit sarung tangan
Jenis kulit harus tipis, lemas dan lentur. Biasanya putih atau berwarnawarni. Bahan mentahnya dapat berasal dari kulit kambing, domba rusa dan
babi. Prosesnya melalui penyamakan chrome, kombinasi chrome dengan
minyak.
Ø Kulit pakaian
Yang termasuk dalam produk ini adalah barang kulit berupa mantel ataupun
jaket. Bahan mentah berasal dari kulit domba, kambing, sapi dan kuda.
Ø Kulit pengisap keringat
Kulit ini biasanya dipasang pada topi.

Prosesnya dengan penyamakan

nabati. Bahan mentahnya berasal dari kulit domba, kambing dan babi

Pengolahan Kulit Sapi
2 April , 2013 , Category : Uncategorized

Proses awal terdiri atas
peredaman (untuk mengembalikan kadar air yang hilang selama proses pengeringan sebelumnya,
kulit basah lebih mudah bereaksi dengan bahan kimia penyamak, membersihkan dari sisa
kotoran, darah, garam yang masih melekat pada kulit),
Pengapuran (membengkakan kulit untuk melepas sisa daging, menyabunkan lemak pada kulit,
pembuangan sisik, pembuangan sisa daging, pembuatan kapur (deliming) (untuk menghilangkan

kapur dan menetralkan kulit dari suasana basa, menghindari pengerutan kulit, menghindari
timbulnya endapan kapur), pengikisan protein, pengasaman (picle) (untuk memberikan suasana
asam pada kulit sehingga lebih sesuai dengan senyawa penyamak dan kulit lebih tahan terhadap
serangga bakteri pembusuk). Pada kulit sapi dilakukan proses pembuangan bulu menggunakan
senyawa Na2S.
Sesuai dengan jenis kulitnya, tahapan proses penyamakan bisa berbeda.
Kulit dibagi atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit dari binatang besar seperti kulit sapi, kerbau,
kuda dan lain-lain), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dan lain-lain). Jenis zat
penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang diperolah. Penyamak nabati (tannin)
memberikan warna coklat muda atau kemerahan, bersifat agak kaku tapi empuk, kurang tahan
terhadap panas. Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamakan krom
menghasilkan kulit yang lebih lembut/lemes, dan lebih tahan terhadap panas. Lewat proses
penyamakan, dilakukan proses pemeraman yaitu menumpuk atau menggantung kulit selama 1
(satu) malam dengan tujuan untuk menyempurnakan reaksi antara molekul bahan penyamak
dengan kulit.
Proses penyelesaian (finishing) adalah untuk menentukan kualitas hasil akhir (leather). Terdiri
atas beberapa tahapan proses yang bervariasi sesuai dengan jenis kulit, bahan penyamak yang
digunakan, dan kualitas akhir yang diingingkan. Proses finishing akan membentuk sifat-sifat
khas pada kulit seperti, kelenturan, kepadatan, dan warna kulit. Proses perataan (setting out)
bertujuan untuk menghilangkan lipatan-lipatan yang terbentuk selama proses sebelumnya dan
mengusahakan terciptanya luasan kulit yang maksimal. Proses perataan sekaligus juga akan
mengurangi kadar air karena kandungan air dalam kulit akan tergolong keluar (striking out).
Beberapa proses lanjutan lainnya adalah pengeringan (mengurangi kadar air kulit sampai batas
standar biasannya 18-20 %), pelembaban (menaikan kandungan air bebas dalam kulit untuk
persiapan perlakukan fisik di proses lanjutan), pelemasan (melemaskan kulit dan mengembalikan
kerutan-kerutan sehingga luasan kulit menjadi normal kembali), pementangan (untuk menambah
luasan kulit), pengamplasan (untuk menghaluskan permukaan kulit). Kulit samakan bisa di cat
untuk memperindah tampilan kulit.
sumber : www.materialkulit.com