188055961 Volkanisma Dan Evolusi Geologi
VOLKANISMA DAN EVOLUSI GEOLOGI
1. Distribusi Batuan Beku
Gunungapi adalah fenomena utama yang menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini
merupakan hasil nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi. Mengambil
konsep kevulkanikan dalam arti luas, sebagai sebuah proses internal maupun
eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama dalam evolusi kerak bumi.
Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi singkat dari tesis ini. Sejumlah busur
orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen.
Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi batuan beku dari berbagai umur.
Pencirian dapat dibuat oleh batuan beku pra orogen, ofiolit hasil geosinklin, batuan
hasil geantiklin berafinitas Pasifik, variasi orogen akhir dari batuan berafinitas
Mediteran serta ekstrusi basal olivin pasca orogen.
Kepulauan di Paparan Sunda.
Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem
busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini
pada Palaesoikum Muda – Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di
kepulauan Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat
daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton. Di kepulauan Anambas batuan beku
basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua
yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan ini
sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat.
Di
kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit,
diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang
radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi ofiolit radiolaria yang dapat dikorelasikan
dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di
bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan
konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan batuan berumur
Trias bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda. Batuan ini
diintrusi oleh batolit granit pasca Trias. Pulau Midai yang sangat kecil di barat
daya kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen.
Kepulauan Riau-Lingga
Batuan vulkanik dapat disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di
Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias.
Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit
granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca Trias, atau mungkin Yura.
Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias. Cebakan
timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di
sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini meluas ke tenggara
sampai Bangka dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat
disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai
busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang
sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar
(basement) regional dari batuan plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda
sangat berhubungan dengan intrusi granit pasca Trias (atau intra Yura), dan
pengaruh ikutannya.
Kalimantan
Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan
geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra Karbon. Kegiatan
ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan
andesit dari Seri Molengraaff’s Pulau Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias,
diikuti oleh penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga
batolit-batolit
tersingkap, terjadi proses transgresi
Trias Atas. Sedimentasi
berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam
sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi
Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van
Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam.
Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi
berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen
(terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya). Di
bagian Tersier bawah Cekungan Ketunggan juga merupakan diorit holokristalin
seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven (1939). Pada zaman Kwarter,
batuan basal muncul di seputar
andetis horblena Niut, sehingga dapat
dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik
“Schwaner Zona” merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat.
Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum
muda sampai Mezosoikum tua Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari
pembentukan kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi
pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian
endapan batugamping. Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang dimulai
dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku
dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap,
pengendapan pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies
vulkanik
Trias Atas yang ditemukan di Zona Schwaner.
Selanjutnya terjadi
perlipatan yang diikuti oleh alterasi hidrotermal epimagmatik.
Pengangkatan
berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi selama Tersier .Bagian selatan
Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik,
batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang.
Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit
granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan
gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks Ketapang berumur Trias Atas.
Batuan non metamorf di komleks tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan
Tersier
Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya.Di Kalimantan
Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier berarah utara –
selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif lebih muda dibanding
dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur
Mesosoikum akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses
pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai.
Zaman Yura
geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino.
Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan Tenggara sama dengan
batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino
dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang
pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam yang sangat beragam (dunit,
peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik. Setelah
pengangkatan pertama batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami
penurunan kembali. Pada zaman Kapur tengah sampai atas terjadi pengendapan
dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik
peridotit dan granit. Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-vulkanik. Pada akhir
Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik
berlangsung sampai Tersier Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas
siklus orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus
pembentukan pegunungan. Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin
yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal
mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin
ini disertai dengan dua kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman
Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa batolit granit yang
diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan aktivitas vulkanik
dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.
Filipina
Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari batuan beku, sedang batuan sedimen
hanya tipis di bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat
dan tenggara, evolusi orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang
diikuti dengan intrusi dan ekstrusi batuan basa dan ultrabasa (ofiolit). Hanya saja
prosesnya terjadi dalam umur yang lebih muda. Batuan plutonik basa dan ultrabasa
merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi granit yang jarang terjadi.
Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling tua, walaupun banyak beberapa
argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan. Maluku Utara.
Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan
di Filipina. Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di
kelompok Halmahera kemungkinan terjadi setelah kepulauan Sula dan Obi. Batuan
abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit
tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi
selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen. Pada
endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam.
Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate dan pulau-pulau kecil lainnya.
Sulawesi
Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini. Bagian utara dan barat
Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali kapur berumur Tersier. Sepanjang pantai
barat sampai lengan selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang
melampar luas. Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan utara. Di Sulawesi
timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan
batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara, barat dan tengah
hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa
batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit
banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di
lengan timur.
Maluku Utara dan Busur Banda.
Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada
Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan
Sistem Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai
dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini
merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem
Seram) dan selatan (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan
busur Banda yang hadir sampai Tersier. Evolusi busur banda ini secara umum sesuai
dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia.Saat ini Sistem
usur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa
pada jalur ini terdapat energi potensial yang diperkirakan merupakan busur inti dan
kerak batuan sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan
kuat, mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan
kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan
gaya vertikal jika kondisi memungkinkan.
Kepulauan Sunda Kecil.
Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi
orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis
batuan beku dalam sistem ini (Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm,
berupa kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan
vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan geosinklin. Setelah itu Sistem
Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit – split, yang berumur
Pra Miosen. Batuan ini merupakan bagian dalam dari geosinklin, yang juga dapat
dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai
karakter Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat
potasik, dierupsikan pada saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur
vulkanik. Contoh dari batuan ini adalah lava yang mengandung leusit dari erupsi G.
Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur vulkanik
Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit Tersier. Di Flores terdapat bantuan
berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur
Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen
Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh
intrusi batolit granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah
permukaan. Pengangkatan terakhir terjadi pada Plio-Plistosen disebabkan oleh
pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan
gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.
Jawa.
Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada
zaman Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara.
Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen Pra Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo
dan Ciletuh, Jawa Barat. Batuan Pra Tersier di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro
dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra Tersier di Ciletuh juga mengandung batuan
beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit)
dengan sekis klorit dan filit. Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses
pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik.
Akhir Tersier merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen
diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra Tersier. Selanjutnya
pada akhir Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai,
dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari
vulkanik Pasifik).Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit
sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang
sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di
Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit
atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas
Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh
pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus
sejak Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga
vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang
menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona
Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan
karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang menghasilkan leusit hadir
di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit).
Sumatra
Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan.
Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang
berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat
membetuk isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan
masih terdapat batuan non-vulkanik. Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan
berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur
ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di sepanjang SuligiLipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau
Singkarak dan Jambi. Umur granit di bagian utara jalur (pada granit pembawa
timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan
berumur Karbon dan Permokarbon, dan sebagian pasca Trias. Kemungkinan granit
di Lampung yang mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar
tua merupakan bagian dari lipatan ini.Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan
Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma. Siklus
pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen.
Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari
batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh
erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam
dengan jumlah yang sangat besar.Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas
vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen.
Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang
berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba). Demikian juga tufa asam
Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda
dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan
kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada
erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini
terdapat di tepi perisai kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan
erupsi efusif basal di Midai, Niut – Karimun Jawa.
Pulau Barat Sumatra.
Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan
Sunda. Selama zaman Tersier jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan.
Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada
zaman Kwarter pembentukan busur geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut
sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada jalur ini menandakan adanya energi
potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini
seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi
orogen di Kepulauan Indonesia.
Kepulauan Andaman dan Nikobar
Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang serupa terjadi di kepulauan ini. Seri
Serpentinit representasi dari ofiolit vulkanik palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi
menurut Chiber (1934) lapisan basal Eosen juga bercampur dengan
batuan
vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di Nias.
New Guinea.
Di pulau ini terdapat dua sistem orogenesa. Rangkaian pegunungan bagian tengah
merupakan dari Sistem Circum-Australian, dan bagian utara merupakan bagian dari
Sistem Melanisia. Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di bagian dalam dan
busur non-vulkanik di bagian luar. Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada
zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh busur luar non-vulkanik dari Sistem
Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat aktifitas diatrofisma Pra
Tersier yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku. Di pegunungan
Cyclope utara tersingkat batuan-batuan ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang
diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit). Di Vogelkop intrusi granit
mengalami metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang
teralterasi. Bagian tengah New Guinea mengalami penurunan geosinklin sejak
zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada zaman Oligosen tidak memunculkan batuan
vulkanik. Aktivitas vulkanik baru hadir selama Miosen, berikut intrusi batuan
plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan lainnya. Akhirnya
morfologi saat ini dibentuk akibat aktivitas vulkanisma selama Kwarter.
Pulau Christmas.
Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan vulkanik bersifat basa dari afinitas
Atlantik berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan aktivitas
vulkanik lainnya yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hinidia. Yang
membedakan dengan kepulauan Indonesia adalah kehadiran alkali kapur dari seri
Pasifik yang dominan.
2. Evolusi Magmatik dan Orogenesa
Tinjauan terhadap hubungan antara orogenesa dan aktivitas batuan beku di
kepulauan Indonesia akan mengikuti kecdenderungan aturan umum. 1.
Batuanbatuan dengan afinitas Atlantik berada di luar jalur orogen. Erupsi akan terjadi
selama tahap awal proses penurunan cekungan geosinklin, sebagai awal
pembentukan pegunungan.2.
Siklus pembentukan pegunungan dimulai dengan
penurunan geosinklin. Pada pusat geosinklin diatrofisma terbentuk. Orogenesis
memencar secara radial sebagai gelombang permukaan yang besar (Anambas,
Banda) 3.
Batuan-batuan ofiolit dengan komposisi basa dan ultrabasa
dierupsikan dari cekungan muka busur dari gelombang permukaan tersebut.
Gunungapi bawah laut ini berasosiasi dengan rijang radiolaria dan endapanendapan laut dalam. 4.
Setelah perioda penurunan geosinklin berlangsung
(dalam jutaan atau puluhan juta tahun) muka busur melengkung ke atas
membentuk struktur geantiklin. Secara umum beberapa peristiwa pengangkatan
terjadi, dan disisipi oleh fase penurunan yang tenang. 5.
Pengangkatan
geantiklin jalur orogen secara umum menghadirkan batuan non-vulkanik, yang
selanjutnya diikuti oleh aktifitas vulkanik orogen dengan batuan-batuan alkali-kapur
dari afinitas Pasifik. Hanya geantiklin termuda dari Sistem Pegunungan Sunda dan
Filipina yang menunjukkan cekungan samudra selama terjadi pengangkatan. Tahap
akhir dari evolusi jalur orogen selalu menghadirkan batuan beku potasik dengan
afinitas Mediteran. 6.
Setelah melewati beberapa fase diatrofisma dengan
berbagai pengaruh intrusi dan ekstrusi batuan beku, jalur orogen terkonsolidasikan
menjadi kerak yang kaku seperti karakter kontinen. Fokus diatrofisma yang asli
akhirnya terkonsolidasikan ke blok kerak yang kaku, yaitu pada jalur orogen yang
telah menyebar radial setahap demi setahap ke seluruh busur. 7.
Jalur orogen
ini, yang berada di sekitar daerah diatrofisma tua yang telah terkonsolidasi, dapat
dibedakan dari busur dalam vulkanik dan busur luar non-vulkanik melalui struktur
lipatan sentrifugal. Daerah yang terkonsolidasikan dapat membentuk peneplain di
bawah permukaan, atau berada di bawah kerak utama sehingga mencapai
kedalaman beberapa kilometer di bawah permukaan laut. 8. Di sepanjang tepi
Sistem Dataran Sunda basal olivin dierupsikan pada zaman Kwarter (Midai, Niut,
Murai, Beluh, Karimunjawa, Sukadana).
3. Asal Batuan beku
Sulit menguraikan hubungan timbal balik antara berbagai gejala tektonogenesis,
vulkanik, anomali gravitasi dan gempabumi, apabila tidak mempunyai hipotesis
kerja tentang asal mula magma. Penting melalukan penafsiran evolusi dan
merekontruksi hubungannya agar mampu mempunyai konsep yang umum
mengenai asal mula batuan beku, yang selaras dengan semua hal yang
berhubungan dengan geologi, vulkanologi dan geofisika. Sebagian besar teori
geotektonik yang diusulkan di masa lalu melalaikan sisi ini. Nampaknya evolusi
geokimia bumi mempunyai arti penting bagi evolusi orogen ( van Bemmelen, 1948).
Problem Granit
Asal mula granit menjadi topik hangat pada setiap dikusi. Tulisan mengenai hal
tersebut antara lain dikemukakan oleh Grout (1941), P. Niggli (1942), Reinhard
(1943), Read (1943), Holmes (1945), Backlund (1945), Raguin (1946), Reynolds
(1947), Eskola (1948), Glangeaud (1948), Bowen (1948), Brouwer (1947), King
(1947), Nieuwenkamp (1948).
Ada dua pendapat yang saling berlawanan.
Pertama, granit berasal dari erupsi efusif magma yang mengintrusi kerak bumi.
Teori ini berdasarkan penelitian kimia-fisika pelelehan silikat di laboratorium. Bowen,
Nigli dan peneliti lain mengeluarkan teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi.
Berdasarkan teori ini magma granit berasal dari magma induk yang lebih basa dari
komposisi basal. Faktor utama dari diferensiasi adalah kristalisasi dan fraksinasi
dibawah pengaruh gaya gravitasi. Konsep ini tidak dianggap bertentangan dengan
klasifikasi klasik tentang batuan beku menurut Rosenbusch. Asal mula magma
granit ini diadopsi oleh sebagian besar ahli petrologi.Konsep lain mengikuti alur
pemikiran yang dikemukakan oleh ahli petrologi Perancis Ami Bout, Fournet, Termier, Lacroix, Perrin. Roubault, Lelubre, Raguin (1946). Konsep ini menyatakan
bahwa magma bermula dari aktifitas pancaran pada pra kondisi batuan (praexisting rocks). Menurut pendapat ini granit berasal dari pra kondisi batuan yang
berasal dari komposisi kimia dan mineralogi yang berbeda akibat introduksi dan
perubahan unsur dalam jumlah yang besar. Proses granitisasi ini terjadi dalam
bentuk padat, tanpa melalui bentuk magma granit. Migrasi material terjadi secara
difusi (Ramberg, 1944; Bugge, 1945; Wahl, 1946, dll.). Dalam tahun-tahun
berikutnya beberapa petrologis Inggris, Scandinavia dan negara lainnya mengikuti
teori ini. Teori ini berdasarkan riset kimia fisika tentang difusi dan reaksi intrakristalin dalam kondisi padat, menggantikan reaksi silika cair. Teori granitisasi ini
menempatkan granit pada kelompok batuan metamorf. Granit menurut konsep
tersebut adalah hasil metamorfisma lanjut.Teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi
memberikan klasifikasi batuan beku dan proses-proses yang berhubungan dari
pnematolitik dan metamorfosa hidrotermal dalam aura kontak. Tetapi studi
mengenai hubungan batuan beku di lapangan dan perubahannya menjadi batuan
metamorfik telah memunculkan keraguan dan pantas dipertimbangkan. Kebenaran
dari konsep asal mula batuan beku harus melalui langkah magmatisma nyata.
Reinhard (1943) menjelaskan hubungan ini, ”Alam tidak mengambil isyaratnya dari
teori, tetapi kita yang harus menyesuaikan teori kita ke alam. Ketika observasi
geologi lapang bertentangan dengan magma induk batuan beku, kita perlu mencari
kemungkinan lainnya”.
Kontroversi Antara Magmatists dan Transformists
Sekian lama setelah Hutton meninggal (1797) beda pendapat tentang mencari
kebenaran antara Volcanists dan Neptunist, yaitu kontroversi antara Magmatist dan
Transformist, masih terjadi. Pangkal permasalahnnya adalah tentang keberadaan
granit. Dalam pemahaman lama mengenai kristalisasi, batuan yang dicairkan
merupakan proses yang bisa menjelaskan asal granit. Pendapat lainnya adalah
difusi dalam kondisi padat. Alterantif lain adalah kristalisasi ulang dalam status
sedimental padat, sebagai perubahan kimia fisika yang disempurnakan oleh difusi
melalui kenaikan suhu dan statusnya yang padat.Oleh karena itu pertanyaan
pertama yang harus dipecahkan dan penjadi postulat para magmatis adalah
melihat magma sebagai magma sebenarnya yang merupakan cairan silikat.
Karakter plutonik granit bukanlah suatu jaminan asal magma. Pernyataan behwa
batuan plutonik merupakan hasil kristalisasi magma adalah suatu hipotesis murni.
Jawaban atas pertanyaan ”apakah magma?” dalam pandangan kaum ortodok
adalah suatu cairan pijar berupa larutan molekular dengan komposisi utama silika,
dengan unsur-unsur yang mudah menguap, terutama air, yang mendorongnya
bersifat mobile. Dalam konsepsi modern, magma dipahami seperti bubur beras
(”milky rice pudding”), campuran kristal dan air. Magma ini tidak terlalu berbeda
dengan konsep sekarang. Menurut konsepsi ortodok, asal granit berasal dari intrusi
magma dan mengalami kristalisasi sebagian; sementara fase berikutnya
menyebabkan metamorfosa yang melibatkan batuansamping dan merubah
komposisinya. Konsep ini nampaknya tidak cukup. Setidaknya untuk kasus
Indonesia.Secara teoritis terdapat 3 jenis granit. (1) granit juvenil, yang dibentuk
oleh kristalisasi dan deferensiasi magma, (2) granit palingenetic, yang dibentuk
oleh anatexix (peleburan) dari batuan dengan komposisi kimia seperti granit
(serpih, geneis, batupasir, granit) atau oleh pencampuran batuan yang berbeda
komposisi, (3) granit metasomatik, yang dibentuk oleh proses metasomatis dari
batuan tua, yang dapat dikenali dengan adanya struktur palimsest. Ketiganya ada
dialam ini, tetapi tidak ada ukuran yang tepat untuk masing-masing batuan granit
tersebut. Pada saat ini batuan plutonik tersingkap dengan berbagai asal kedalaman,
dan granit relatif melimpah. Kita harus mengasumsikan bahwa magma induk
(parental) basa harus berada lebih dalam daripada tingkat denudasi. Kita hanya
dapat meneliti batuan plutonik, tersingkap sebagai intrusi pada kerak bumi; itu
merupakan hasil interaksi dari magma induk bagian atas. Kita tidak dapat meneliti
magma plutonik. Untuk menyatakan bahwa batuan plutonik itu berasal dari suatu
magma adalah tidak lebih dari sebuah hipotesis yang memerlukan bukti
dukungan.Reinolds (1947) menyatakan bahwa banyak kejadian yang membuktikan
bahwa pembentukan granit dapat berlangsung melalui transformasi bentuk pada
pra kondisi batuan. Alterasi metasomatik progresif memungkinkan merubah bentuk
batuan plutonik menjadi lebih asam dan mempunyai kristal lebih kasar. Menurut
Hou dan Harwood (1937) konsentrasi energi untuk magmatisasi secara lengkap oleh
pancaran adalah suatu konsekuensi dari beberapa faktor: tingkat energi yang
memancar, reaksi eksoterm dengan material yang dikenai, serta temperatur setelah
proses. Sementara Hausas (1944) menafsirkan bahwa proses magmatisasi dari
metasomatisme memerlukan keseimbangan: (1) pancaran yang datang, (2) asal
energi, (3) material kerak bumi, dan (4) pancaran lain.Proses granitisasi selalu
disertai dengan proses basifikasi atas batuan itu. Bahkan kehadiran granit akan
lebih sedikit. Ini disebabkan komposisi endapan geosinklinal lebih banyak
mengandung unsur basa dibanding granit. Proses granitisasi dan basifikasi dikenal
pula sebagai diferensiasi metamorfosa, yang merupakan hasil difusi metamorfosa.
Beberapa Massa Granit Plutonik di Indonesia
Orogenesis di Kepulauan Indonesia diikuti oleh intrusi seperti batolit granit sebagai
inti geantiklin. Granit ini berumur Permo-Triassic sampai Tersier akhir, sedemikian
sehingga mereka menyebar secara berangsur lebih muda di jalur orogenesa dari
pusat diastrofisma yang berbeda.Di pusat orogenesa pasti mempunyai tahap
diatrofisma dan granit yang paling tua, kemudian gejalanya menjadi lebih muda ke
arah busur sebelah luar. Perkecualian dibentuk oleh granit Sumba berumur
Mesosoikum. Di dataran Sunda sebaran massa plutonik dari yang bagian dalam ke
sebelah luar sudah jelas. Poros Daratan Sunda dibentuk oleh jalur AnambasSchwaner yang berumur Permotrias. Perjalanan ke utara dari poros ini, ditemukan
pertama Zona Natuna-Semitau dengan umur lebih tua, sekitar Trias. Di Seberuwang
didapatkan diorit berumur Kapur Akhir. Di Ketungau batuan berumur Tersier Tengah
diduga diorit. Granodiorit berumur Tersier tengah juga di Kalimantan Utara
(Kinabalu), yang belakangan menjadi anggota busur orogenesa Pilipina. Intrusi diorit
di daerah Telen Kalimantan Timur menduduki suatu posisi terisolasi. Mereka
mungkin menjadi anggota Zona Semitau. Dari zona Anambas-Schwaner ke arah
selatan dijumpai granit Malaya berumur Yura di Kepulauan Riau-Lingga, Bangka,
Billiton, Karimata Pulau dan Kalimantan Barat. Zone ini dapat dibagi menjadi dua
jalur. Di bagian dalam cebakan timah jarang dijumpai, dan sebelah luar
membentuk jalur timah.Di Sumatra busur bagian dalam dari Sistem Pegunungan
Sunda terdapat jalur dengan massa seperti granit di unit terlipat. Jalur berumur
Kapur akhir ini meluas dari timur melalui Pulau Jawa ke Flores. Di Ambon, Kaibodo,
Manipa dan Kellang tempat busur Banda ini berakhir dijumpai batuan seperti granit
berumur Tersier Tengah.Dari Kalimantan ke timur kita bertemu granit berumur
Kapur Meratus, dan kemudian granit berumur Tersier di Sulawesi utara. Distribusi
granit ini betul-betul menyatakan bahwa telah ada suatu pertumbuhan granit sejak
Mesosoikum dari Anambas-Schwaner ke arah Sistem Pegunungan Sunda. Di bagian
pusat sekarang membentuk kerak bumi yang kaku seperti karakter kontinental.
Intrusi granit terjadi secara bertahap sesuai evolusi orogenesa. Pada puncak dari
geantiklin kita temukan aktivitas jenis magma volkanis seri Pacific, dengan
komposisi basalik-andesit. Aktivitas ini di dalam jalur geantiklin didahului oleh
tekanan dan intrusi ofiolit di geosinklin; langkah-langkah berikutnya terjadi evolusi
orogenesa dan magma Mediteran. Oleh karena itu diperlukan memandang masalah
dari asal granit Kepulauan Indonesia dalam hubungan dengan formasi dari asal
magma granit.
Asal Berbagai Variasi Magma Di Indonesia
Di Indonesia terdapat berbagai rangkaian batuan beku. Hubungan satu dengan
yang lainnya dapat dicermati.Tahap pra orogen berupa pembentukan suatu
cekungan geosinklin di selama Palaesoikum. Proses ini termasuk yang terjadi di
Timor oleh erupsi traki basal dari seri Lautan Atlantik (De Roever, 1940). Tahapan ini
diikuti oleh suatu evolusi orogen di dalam geosinklin selama Mesosoikum, Tersier
dan Kwarter sebagai proses pembentukan jalur geantiklin dan cekungan geosinklin.
Secara bertahap jalur orogen ini menyebar keluar pusat cekungan geosinklin.
Foredeep melengkung atas ke dalam suatu geantiklin dan bergeser keluar lebih
jauh. Selanjutnya pada dasar cekungan orogen, ofiolit basa sampai ultrabasa
mengalami ekstrusi dan intrusi dari asosiasi ofiolit radiolaria dan intrusi peridotit
dan serpentinit. Selama proses pembentukan geantiklin batuan ofiolit bercampur
dengan naiknya migmatit sehingga dasar tubuh batolit granit terjadi. Biasanya
terdapat tiga atau lebih gerakan pengangkatan pada setiap jalur orogen.
Pengangkatan pertama masih bukan batuan volkanik, pengangkatan kedua kedua
proses erupsi lava basa, menengah maupun asam, dari seri lava Pasifik, dan
langkah ketiga vulkanik padam. Masing-masing pengangkatan diikuti oleh intrusi
batuan plutonik berkomposisi menegah dan asam. Tahap lanjut dari evolusi jalur
orogen ini adalah hadirnya erupsi batuan tipe Mediteran. Akhirnya tahap akhir
orogen sebagai tahap pembentukan kontinen terbetuk. Dataran Sunda telah
dikonsolidasikan oleh tahap diastrofisme Mesosoikum Tua, sedang proses
pembentukan pegunungan berlanjut bergeser ke keluar membentuk orogen jalur
Sunda saat ini. Pusat Datara Sunda sekarang membentuk baselevel sebagai suatu
peneplain khas. Pada akhir Kwarter di sepanjang tepi blok yang terkonsolidasi ini
terjadi aliran lava basal olivine.Cakupan batuan beku begitu luas dan sangat
berkaitan dengan evolusi kerak bumi. In memberi kesan bahwa peristiwa yang
berkaitan dengan proses yang terjadi pada pembentukan batuan beku merupakan
hal penting dalam proses pembentukan pegunungan. Pertanyaan selanjutnya,
dengan demikian, sebenarnya adalah, dalam hal ini mana magma juvenile dan
mana magma induk? Kelihatannya hanya erupsi awal basal trakitik yang dapat
diperlakukan seperti itu. Pra kondisi kerak bumi berkomposisi sialik berumur Perm
harus diikuti oleh kekar dan patahan utama agar magma di bawah permukaan
dapat hadir ke permukaan. Steinmann, Kossmat, dkk mempertimbangkan ophiolites
berasal dari magma juvenil. Tetapi peridotites, di Sulawesi Timur mengalir ke
permukaan dengan tenang dan menggantikan seluruh komplek batuan dasar yang
kristalin. Dia tidak diproduksi oleh diferensiasi kristalisasi dari intrusi basal yang
sangat besar, sebab mereka secara langsung ditimpali oleh endapan bawah laut
berumur Kapur yang berumur sama dengan intrusi tersebut. Di Seram Barat,
Manipa dan Kellang bagian intrusi tersingkap. Situasi yang sama ditemukan di
Kawasan Meratus, ketika
tubuh peridotit secara berturut-turut diintrusi dan
digantikan (replace) oleh gabro, diorit, diorit kuarsa dan granit plagioklas. Situasi ini
justru kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi
pada kasus diferensiasi
kristalisasi dan fragsinasi. Batuan menjadi lebih asam dengan terus bertambahnya
kedalaman. Anomali isostatik negatif di Sulawesi Timur dan Seram menunjukkan
bahwa peridotit menandakan adanya masa peridotit yang sekarang mendasari kaki
pegunungan granit.Situasi ini mendorong ke arah pemikiran bahwa pada seri
batuan basa sampai ultrabasa dari geosinklin berukuran sangat besar, bagian
permukaannya merupakan akumulasi magma asam (granit). Ini merupakan hasil
berbagai proses evolusi kimia di bagian permukaan kerak bumi. Proses hypodifferentiation tersebut merupakan hasil gangguan keseimbangan lapisan tengah
basal tectonosphere karena penurunan
cekungan. Penurunan cekungan
menyebabkan terjadinya pembebasan tekanan akibat relief, sekaligus terjadi
peningkatan gradien geotermal di lapisan dasar dan menengah. Dengan proses
hypo-differentiation tersebut, dalam waktu berjuta-juta tahun, kerak basal akan
terbagi-bagi menjadi batuan ultrabasa (anti root) dan granit (mountainroot).Mengenai gunungapi strato dapat dipahami sebagai konsentrasi saluransaluran dari peningkatan pancaran dalam jumlah yang besar dari bagian magma
yang mudah menguap. Gunungapi itu merupakan cerobong di atas intrusi batolit.
Kita tidak bisa bayangkan pernah magma juvenil bisa naik menerobos astenolit dan
membuat zona migmatit selama tahapan evolusi geantiklin dari suatu jalur orogen.
Kedalaman intrusi dari batolit granodiorit Tersier Tengah pasti tidak lebih dari 2 km,
dan granodiorit Tersier Akhir di Wetar dan Lirang mungkin lebih tinggi. Pada kasus
erupsi paroksismal Kwarter Ranau dan Toba di Sumatra, bagian puncak intrusi granit
diledakkan. Oleh karena itu magma palingenic Pacific mungkin dibentuk dekat di
bawah permukaan. Intrusi dangkal ini berasimilasi dengan batugamping Tersier,
sehingga menyebabkan menyimpang dari kebiasaan (menghasilkan produk letusan
Mediteran. Akhirnya, setelah konsolidasi dari kerangka batuan beku jalur orogen ini,
kekar utama memotong kerak bumi sampai ke lapisan magma. Erupsi efusif basal
olivine dari Daratan Sunda lekat menyerupai batuan basal dari jalur orogen.
Mereka dicemari oleh material kerak. Oleh karena itu magma induk riil mungkin
lebih banyak trakit basal. Ringkasan ini memberi kesimpulan utama dari diskusi di
depan. Kita adalah sungguh sadar akan fakta bahwa sebagian dari aktivitas batuan
beku berbeda dari konsep petrologi “klasik”. Tetapi kita sudah mencoba untuk
mempertimbangkan dan menghubungkan dengan gejala geofisika dan geologi yang
mengikuti evolusi batuan beku ini, untuk memberi suatu sintesis berdasarkan fakta
mengenai gambaran umum tentang evolusi orogen. Sintesis ini berdasar pada teori
geosinklin dari Hall dan Dana. Baru-baru ini Knoff (1948) telah memberi suatu
tambahan ringkasan teori ini. Doktrin geosinklin adalah suatu prinsip dasar dalam
ilmu pengetahuan geologi, dan sangat bernilai untuk penafsiran evolusi orogen di
Indonesia. Di kepulauan ini kita temukan banyak contoh perubahan bentuk jalur
geosinklin ke dalam rantai pegunungan. Lebih dari itu, kita dapat melacak evolusi
ke samping daerah ini dari jalur orogen lebih tua ke dalam yang lebih muda, serta
hubungan antara jalur orogen dan aktivitas batuan beku, isostasi, dan seismisitas.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa sejarah yang berhubungan geologi, baik
permukaan bumi maupun planet kita ini secara keseluruhan, tidak cukup
memberikan informasi tanpa mempertimbangkan evolusi geokimia.
1. Distribusi Batuan Beku
Gunungapi adalah fenomena utama yang menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini
merupakan hasil nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi. Mengambil
konsep kevulkanikan dalam arti luas, sebagai sebuah proses internal maupun
eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama dalam evolusi kerak bumi.
Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi singkat dari tesis ini. Sejumlah busur
orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen.
Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi batuan beku dari berbagai umur.
Pencirian dapat dibuat oleh batuan beku pra orogen, ofiolit hasil geosinklin, batuan
hasil geantiklin berafinitas Pasifik, variasi orogen akhir dari batuan berafinitas
Mediteran serta ekstrusi basal olivin pasca orogen.
Kepulauan di Paparan Sunda.
Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem
busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini
pada Palaesoikum Muda – Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di
kepulauan Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat
daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton. Di kepulauan Anambas batuan beku
basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua
yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan ini
sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat.
Di
kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit,
diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang
radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi ofiolit radiolaria yang dapat dikorelasikan
dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di
bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan
konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan batuan berumur
Trias bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda. Batuan ini
diintrusi oleh batolit granit pasca Trias. Pulau Midai yang sangat kecil di barat
daya kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen.
Kepulauan Riau-Lingga
Batuan vulkanik dapat disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di
Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias.
Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit
granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca Trias, atau mungkin Yura.
Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias. Cebakan
timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di
sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini meluas ke tenggara
sampai Bangka dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat
disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai
busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang
sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar
(basement) regional dari batuan plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda
sangat berhubungan dengan intrusi granit pasca Trias (atau intra Yura), dan
pengaruh ikutannya.
Kalimantan
Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan
geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra Karbon. Kegiatan
ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan
andesit dari Seri Molengraaff’s Pulau Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias,
diikuti oleh penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga
batolit-batolit
tersingkap, terjadi proses transgresi
Trias Atas. Sedimentasi
berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam
sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi
Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van
Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam.
Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi
berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen
(terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya). Di
bagian Tersier bawah Cekungan Ketunggan juga merupakan diorit holokristalin
seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven (1939). Pada zaman Kwarter,
batuan basal muncul di seputar
andetis horblena Niut, sehingga dapat
dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik
“Schwaner Zona” merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat.
Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum
muda sampai Mezosoikum tua Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari
pembentukan kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi
pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian
endapan batugamping. Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang dimulai
dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku
dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap,
pengendapan pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies
vulkanik
Trias Atas yang ditemukan di Zona Schwaner.
Selanjutnya terjadi
perlipatan yang diikuti oleh alterasi hidrotermal epimagmatik.
Pengangkatan
berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi selama Tersier .Bagian selatan
Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik,
batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang.
Bagian dari batuan komplek Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit
granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan
gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks Ketapang berumur Trias Atas.
Batuan non metamorf di komleks tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan
Tersier
Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya.Di Kalimantan
Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier berarah utara –
selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif lebih muda dibanding
dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur
Mesosoikum akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses
pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai.
Zaman Yura
geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino.
Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan Tenggara sama dengan
batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino
dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang
pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam yang sangat beragam (dunit,
peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik. Setelah
pengangkatan pertama batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami
penurunan kembali. Pada zaman Kapur tengah sampai atas terjadi pengendapan
dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik
peridotit dan granit. Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-vulkanik. Pada akhir
Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik
berlangsung sampai Tersier Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas
siklus orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus
pembentukan pegunungan. Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin
yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal
mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin
ini disertai dengan dua kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman
Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa batolit granit yang
diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan aktivitas vulkanik
dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.
Filipina
Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari batuan beku, sedang batuan sedimen
hanya tipis di bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat
dan tenggara, evolusi orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang
diikuti dengan intrusi dan ekstrusi batuan basa dan ultrabasa (ofiolit). Hanya saja
prosesnya terjadi dalam umur yang lebih muda. Batuan plutonik basa dan ultrabasa
merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi granit yang jarang terjadi.
Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling tua, walaupun banyak beberapa
argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan. Maluku Utara.
Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan
di Filipina. Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di
kelompok Halmahera kemungkinan terjadi setelah kepulauan Sula dan Obi. Batuan
abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit
tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi
selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen. Pada
endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam.
Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate dan pulau-pulau kecil lainnya.
Sulawesi
Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini. Bagian utara dan barat
Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali kapur berumur Tersier. Sepanjang pantai
barat sampai lengan selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang
melampar luas. Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan utara. Di Sulawesi
timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan
batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara, barat dan tengah
hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa
batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit
banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di
lengan timur.
Maluku Utara dan Busur Banda.
Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada
Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan
Sistem Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai
dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini
merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem
Seram) dan selatan (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan
busur Banda yang hadir sampai Tersier. Evolusi busur banda ini secara umum sesuai
dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia.Saat ini Sistem
usur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa
pada jalur ini terdapat energi potensial yang diperkirakan merupakan busur inti dan
kerak batuan sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan
kuat, mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan
kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan
gaya vertikal jika kondisi memungkinkan.
Kepulauan Sunda Kecil.
Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi
orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis
batuan beku dalam sistem ini (Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm,
berupa kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan
vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan geosinklin. Setelah itu Sistem
Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit – split, yang berumur
Pra Miosen. Batuan ini merupakan bagian dalam dari geosinklin, yang juga dapat
dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai
karakter Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat
potasik, dierupsikan pada saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur
vulkanik. Contoh dari batuan ini adalah lava yang mengandung leusit dari erupsi G.
Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur vulkanik
Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit Tersier. Di Flores terdapat bantuan
berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur
Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen
Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh
intrusi batolit granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah
permukaan. Pengangkatan terakhir terjadi pada Plio-Plistosen disebabkan oleh
pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan
gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.
Jawa.
Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada
zaman Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara.
Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen Pra Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo
dan Ciletuh, Jawa Barat. Batuan Pra Tersier di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro
dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra Tersier di Ciletuh juga mengandung batuan
beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit)
dengan sekis klorit dan filit. Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses
pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik.
Akhir Tersier merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen
diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra Tersier. Selanjutnya
pada akhir Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai,
dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari
vulkanik Pasifik).Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit
sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanik-vulkanik Andesit Tua yang
sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di
Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit
atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas
Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh
pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus
sejak Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga
vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang
menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona
Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan
karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang menghasilkan leusit hadir
di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit).
Sumatra
Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan.
Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang
berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat
membetuk isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan
masih terdapat batuan non-vulkanik. Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan
berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur
ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di sepanjang SuligiLipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau
Singkarak dan Jambi. Umur granit di bagian utara jalur (pada granit pembawa
timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan
berumur Karbon dan Permokarbon, dan sebagian pasca Trias. Kemungkinan granit
di Lampung yang mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar
tua merupakan bagian dari lipatan ini.Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan
Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma. Siklus
pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen.
Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari
batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh
erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam
dengan jumlah yang sangat besar.Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas
vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen.
Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang
berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba). Demikian juga tufa asam
Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda
dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan
kerucut-kerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada
erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini
terdapat di tepi perisai kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan
erupsi efusif basal di Midai, Niut – Karimun Jawa.
Pulau Barat Sumatra.
Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan
Sunda. Selama zaman Tersier jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan.
Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada
zaman Kwarter pembentukan busur geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut
sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada jalur ini menandakan adanya energi
potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini
seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi
orogen di Kepulauan Indonesia.
Kepulauan Andaman dan Nikobar
Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang serupa terjadi di kepulauan ini. Seri
Serpentinit representasi dari ofiolit vulkanik palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi
menurut Chiber (1934) lapisan basal Eosen juga bercampur dengan
batuan
vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di Nias.
New Guinea.
Di pulau ini terdapat dua sistem orogenesa. Rangkaian pegunungan bagian tengah
merupakan dari Sistem Circum-Australian, dan bagian utara merupakan bagian dari
Sistem Melanisia. Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di bagian dalam dan
busur non-vulkanik di bagian luar. Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada
zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh busur luar non-vulkanik dari Sistem
Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat aktifitas diatrofisma Pra
Tersier yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku. Di pegunungan
Cyclope utara tersingkat batuan-batuan ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang
diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit). Di Vogelkop intrusi granit
mengalami metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang
teralterasi. Bagian tengah New Guinea mengalami penurunan geosinklin sejak
zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada zaman Oligosen tidak memunculkan batuan
vulkanik. Aktivitas vulkanik baru hadir selama Miosen, berikut intrusi batuan
plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan lainnya. Akhirnya
morfologi saat ini dibentuk akibat aktivitas vulkanisma selama Kwarter.
Pulau Christmas.
Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan vulkanik bersifat basa dari afinitas
Atlantik berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan aktivitas
vulkanik lainnya yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hinidia. Yang
membedakan dengan kepulauan Indonesia adalah kehadiran alkali kapur dari seri
Pasifik yang dominan.
2. Evolusi Magmatik dan Orogenesa
Tinjauan terhadap hubungan antara orogenesa dan aktivitas batuan beku di
kepulauan Indonesia akan mengikuti kecdenderungan aturan umum. 1.
Batuanbatuan dengan afinitas Atlantik berada di luar jalur orogen. Erupsi akan terjadi
selama tahap awal proses penurunan cekungan geosinklin, sebagai awal
pembentukan pegunungan.2.
Siklus pembentukan pegunungan dimulai dengan
penurunan geosinklin. Pada pusat geosinklin diatrofisma terbentuk. Orogenesis
memencar secara radial sebagai gelombang permukaan yang besar (Anambas,
Banda) 3.
Batuan-batuan ofiolit dengan komposisi basa dan ultrabasa
dierupsikan dari cekungan muka busur dari gelombang permukaan tersebut.
Gunungapi bawah laut ini berasosiasi dengan rijang radiolaria dan endapanendapan laut dalam. 4.
Setelah perioda penurunan geosinklin berlangsung
(dalam jutaan atau puluhan juta tahun) muka busur melengkung ke atas
membentuk struktur geantiklin. Secara umum beberapa peristiwa pengangkatan
terjadi, dan disisipi oleh fase penurunan yang tenang. 5.
Pengangkatan
geantiklin jalur orogen secara umum menghadirkan batuan non-vulkanik, yang
selanjutnya diikuti oleh aktifitas vulkanik orogen dengan batuan-batuan alkali-kapur
dari afinitas Pasifik. Hanya geantiklin termuda dari Sistem Pegunungan Sunda dan
Filipina yang menunjukkan cekungan samudra selama terjadi pengangkatan. Tahap
akhir dari evolusi jalur orogen selalu menghadirkan batuan beku potasik dengan
afinitas Mediteran. 6.
Setelah melewati beberapa fase diatrofisma dengan
berbagai pengaruh intrusi dan ekstrusi batuan beku, jalur orogen terkonsolidasikan
menjadi kerak yang kaku seperti karakter kontinen. Fokus diatrofisma yang asli
akhirnya terkonsolidasikan ke blok kerak yang kaku, yaitu pada jalur orogen yang
telah menyebar radial setahap demi setahap ke seluruh busur. 7.
Jalur orogen
ini, yang berada di sekitar daerah diatrofisma tua yang telah terkonsolidasi, dapat
dibedakan dari busur dalam vulkanik dan busur luar non-vulkanik melalui struktur
lipatan sentrifugal. Daerah yang terkonsolidasikan dapat membentuk peneplain di
bawah permukaan, atau berada di bawah kerak utama sehingga mencapai
kedalaman beberapa kilometer di bawah permukaan laut. 8. Di sepanjang tepi
Sistem Dataran Sunda basal olivin dierupsikan pada zaman Kwarter (Midai, Niut,
Murai, Beluh, Karimunjawa, Sukadana).
3. Asal Batuan beku
Sulit menguraikan hubungan timbal balik antara berbagai gejala tektonogenesis,
vulkanik, anomali gravitasi dan gempabumi, apabila tidak mempunyai hipotesis
kerja tentang asal mula magma. Penting melalukan penafsiran evolusi dan
merekontruksi hubungannya agar mampu mempunyai konsep yang umum
mengenai asal mula batuan beku, yang selaras dengan semua hal yang
berhubungan dengan geologi, vulkanologi dan geofisika. Sebagian besar teori
geotektonik yang diusulkan di masa lalu melalaikan sisi ini. Nampaknya evolusi
geokimia bumi mempunyai arti penting bagi evolusi orogen ( van Bemmelen, 1948).
Problem Granit
Asal mula granit menjadi topik hangat pada setiap dikusi. Tulisan mengenai hal
tersebut antara lain dikemukakan oleh Grout (1941), P. Niggli (1942), Reinhard
(1943), Read (1943), Holmes (1945), Backlund (1945), Raguin (1946), Reynolds
(1947), Eskola (1948), Glangeaud (1948), Bowen (1948), Brouwer (1947), King
(1947), Nieuwenkamp (1948).
Ada dua pendapat yang saling berlawanan.
Pertama, granit berasal dari erupsi efusif magma yang mengintrusi kerak bumi.
Teori ini berdasarkan penelitian kimia-fisika pelelehan silikat di laboratorium. Bowen,
Nigli dan peneliti lain mengeluarkan teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi.
Berdasarkan teori ini magma granit berasal dari magma induk yang lebih basa dari
komposisi basal. Faktor utama dari diferensiasi adalah kristalisasi dan fraksinasi
dibawah pengaruh gaya gravitasi. Konsep ini tidak dianggap bertentangan dengan
klasifikasi klasik tentang batuan beku menurut Rosenbusch. Asal mula magma
granit ini diadopsi oleh sebagian besar ahli petrologi.Konsep lain mengikuti alur
pemikiran yang dikemukakan oleh ahli petrologi Perancis Ami Bout, Fournet, Termier, Lacroix, Perrin. Roubault, Lelubre, Raguin (1946). Konsep ini menyatakan
bahwa magma bermula dari aktifitas pancaran pada pra kondisi batuan (praexisting rocks). Menurut pendapat ini granit berasal dari pra kondisi batuan yang
berasal dari komposisi kimia dan mineralogi yang berbeda akibat introduksi dan
perubahan unsur dalam jumlah yang besar. Proses granitisasi ini terjadi dalam
bentuk padat, tanpa melalui bentuk magma granit. Migrasi material terjadi secara
difusi (Ramberg, 1944; Bugge, 1945; Wahl, 1946, dll.). Dalam tahun-tahun
berikutnya beberapa petrologis Inggris, Scandinavia dan negara lainnya mengikuti
teori ini. Teori ini berdasarkan riset kimia fisika tentang difusi dan reaksi intrakristalin dalam kondisi padat, menggantikan reaksi silika cair. Teori granitisasi ini
menempatkan granit pada kelompok batuan metamorf. Granit menurut konsep
tersebut adalah hasil metamorfisma lanjut.Teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi
memberikan klasifikasi batuan beku dan proses-proses yang berhubungan dari
pnematolitik dan metamorfosa hidrotermal dalam aura kontak. Tetapi studi
mengenai hubungan batuan beku di lapangan dan perubahannya menjadi batuan
metamorfik telah memunculkan keraguan dan pantas dipertimbangkan. Kebenaran
dari konsep asal mula batuan beku harus melalui langkah magmatisma nyata.
Reinhard (1943) menjelaskan hubungan ini, ”Alam tidak mengambil isyaratnya dari
teori, tetapi kita yang harus menyesuaikan teori kita ke alam. Ketika observasi
geologi lapang bertentangan dengan magma induk batuan beku, kita perlu mencari
kemungkinan lainnya”.
Kontroversi Antara Magmatists dan Transformists
Sekian lama setelah Hutton meninggal (1797) beda pendapat tentang mencari
kebenaran antara Volcanists dan Neptunist, yaitu kontroversi antara Magmatist dan
Transformist, masih terjadi. Pangkal permasalahnnya adalah tentang keberadaan
granit. Dalam pemahaman lama mengenai kristalisasi, batuan yang dicairkan
merupakan proses yang bisa menjelaskan asal granit. Pendapat lainnya adalah
difusi dalam kondisi padat. Alterantif lain adalah kristalisasi ulang dalam status
sedimental padat, sebagai perubahan kimia fisika yang disempurnakan oleh difusi
melalui kenaikan suhu dan statusnya yang padat.Oleh karena itu pertanyaan
pertama yang harus dipecahkan dan penjadi postulat para magmatis adalah
melihat magma sebagai magma sebenarnya yang merupakan cairan silikat.
Karakter plutonik granit bukanlah suatu jaminan asal magma. Pernyataan behwa
batuan plutonik merupakan hasil kristalisasi magma adalah suatu hipotesis murni.
Jawaban atas pertanyaan ”apakah magma?” dalam pandangan kaum ortodok
adalah suatu cairan pijar berupa larutan molekular dengan komposisi utama silika,
dengan unsur-unsur yang mudah menguap, terutama air, yang mendorongnya
bersifat mobile. Dalam konsepsi modern, magma dipahami seperti bubur beras
(”milky rice pudding”), campuran kristal dan air. Magma ini tidak terlalu berbeda
dengan konsep sekarang. Menurut konsepsi ortodok, asal granit berasal dari intrusi
magma dan mengalami kristalisasi sebagian; sementara fase berikutnya
menyebabkan metamorfosa yang melibatkan batuansamping dan merubah
komposisinya. Konsep ini nampaknya tidak cukup. Setidaknya untuk kasus
Indonesia.Secara teoritis terdapat 3 jenis granit. (1) granit juvenil, yang dibentuk
oleh kristalisasi dan deferensiasi magma, (2) granit palingenetic, yang dibentuk
oleh anatexix (peleburan) dari batuan dengan komposisi kimia seperti granit
(serpih, geneis, batupasir, granit) atau oleh pencampuran batuan yang berbeda
komposisi, (3) granit metasomatik, yang dibentuk oleh proses metasomatis dari
batuan tua, yang dapat dikenali dengan adanya struktur palimsest. Ketiganya ada
dialam ini, tetapi tidak ada ukuran yang tepat untuk masing-masing batuan granit
tersebut. Pada saat ini batuan plutonik tersingkap dengan berbagai asal kedalaman,
dan granit relatif melimpah. Kita harus mengasumsikan bahwa magma induk
(parental) basa harus berada lebih dalam daripada tingkat denudasi. Kita hanya
dapat meneliti batuan plutonik, tersingkap sebagai intrusi pada kerak bumi; itu
merupakan hasil interaksi dari magma induk bagian atas. Kita tidak dapat meneliti
magma plutonik. Untuk menyatakan bahwa batuan plutonik itu berasal dari suatu
magma adalah tidak lebih dari sebuah hipotesis yang memerlukan bukti
dukungan.Reinolds (1947) menyatakan bahwa banyak kejadian yang membuktikan
bahwa pembentukan granit dapat berlangsung melalui transformasi bentuk pada
pra kondisi batuan. Alterasi metasomatik progresif memungkinkan merubah bentuk
batuan plutonik menjadi lebih asam dan mempunyai kristal lebih kasar. Menurut
Hou dan Harwood (1937) konsentrasi energi untuk magmatisasi secara lengkap oleh
pancaran adalah suatu konsekuensi dari beberapa faktor: tingkat energi yang
memancar, reaksi eksoterm dengan material yang dikenai, serta temperatur setelah
proses. Sementara Hausas (1944) menafsirkan bahwa proses magmatisasi dari
metasomatisme memerlukan keseimbangan: (1) pancaran yang datang, (2) asal
energi, (3) material kerak bumi, dan (4) pancaran lain.Proses granitisasi selalu
disertai dengan proses basifikasi atas batuan itu. Bahkan kehadiran granit akan
lebih sedikit. Ini disebabkan komposisi endapan geosinklinal lebih banyak
mengandung unsur basa dibanding granit. Proses granitisasi dan basifikasi dikenal
pula sebagai diferensiasi metamorfosa, yang merupakan hasil difusi metamorfosa.
Beberapa Massa Granit Plutonik di Indonesia
Orogenesis di Kepulauan Indonesia diikuti oleh intrusi seperti batolit granit sebagai
inti geantiklin. Granit ini berumur Permo-Triassic sampai Tersier akhir, sedemikian
sehingga mereka menyebar secara berangsur lebih muda di jalur orogenesa dari
pusat diastrofisma yang berbeda.Di pusat orogenesa pasti mempunyai tahap
diatrofisma dan granit yang paling tua, kemudian gejalanya menjadi lebih muda ke
arah busur sebelah luar. Perkecualian dibentuk oleh granit Sumba berumur
Mesosoikum. Di dataran Sunda sebaran massa plutonik dari yang bagian dalam ke
sebelah luar sudah jelas. Poros Daratan Sunda dibentuk oleh jalur AnambasSchwaner yang berumur Permotrias. Perjalanan ke utara dari poros ini, ditemukan
pertama Zona Natuna-Semitau dengan umur lebih tua, sekitar Trias. Di Seberuwang
didapatkan diorit berumur Kapur Akhir. Di Ketungau batuan berumur Tersier Tengah
diduga diorit. Granodiorit berumur Tersier tengah juga di Kalimantan Utara
(Kinabalu), yang belakangan menjadi anggota busur orogenesa Pilipina. Intrusi diorit
di daerah Telen Kalimantan Timur menduduki suatu posisi terisolasi. Mereka
mungkin menjadi anggota Zona Semitau. Dari zona Anambas-Schwaner ke arah
selatan dijumpai granit Malaya berumur Yura di Kepulauan Riau-Lingga, Bangka,
Billiton, Karimata Pulau dan Kalimantan Barat. Zone ini dapat dibagi menjadi dua
jalur. Di bagian dalam cebakan timah jarang dijumpai, dan sebelah luar
membentuk jalur timah.Di Sumatra busur bagian dalam dari Sistem Pegunungan
Sunda terdapat jalur dengan massa seperti granit di unit terlipat. Jalur berumur
Kapur akhir ini meluas dari timur melalui Pulau Jawa ke Flores. Di Ambon, Kaibodo,
Manipa dan Kellang tempat busur Banda ini berakhir dijumpai batuan seperti granit
berumur Tersier Tengah.Dari Kalimantan ke timur kita bertemu granit berumur
Kapur Meratus, dan kemudian granit berumur Tersier di Sulawesi utara. Distribusi
granit ini betul-betul menyatakan bahwa telah ada suatu pertumbuhan granit sejak
Mesosoikum dari Anambas-Schwaner ke arah Sistem Pegunungan Sunda. Di bagian
pusat sekarang membentuk kerak bumi yang kaku seperti karakter kontinental.
Intrusi granit terjadi secara bertahap sesuai evolusi orogenesa. Pada puncak dari
geantiklin kita temukan aktivitas jenis magma volkanis seri Pacific, dengan
komposisi basalik-andesit. Aktivitas ini di dalam jalur geantiklin didahului oleh
tekanan dan intrusi ofiolit di geosinklin; langkah-langkah berikutnya terjadi evolusi
orogenesa dan magma Mediteran. Oleh karena itu diperlukan memandang masalah
dari asal granit Kepulauan Indonesia dalam hubungan dengan formasi dari asal
magma granit.
Asal Berbagai Variasi Magma Di Indonesia
Di Indonesia terdapat berbagai rangkaian batuan beku. Hubungan satu dengan
yang lainnya dapat dicermati.Tahap pra orogen berupa pembentukan suatu
cekungan geosinklin di selama Palaesoikum. Proses ini termasuk yang terjadi di
Timor oleh erupsi traki basal dari seri Lautan Atlantik (De Roever, 1940). Tahapan ini
diikuti oleh suatu evolusi orogen di dalam geosinklin selama Mesosoikum, Tersier
dan Kwarter sebagai proses pembentukan jalur geantiklin dan cekungan geosinklin.
Secara bertahap jalur orogen ini menyebar keluar pusat cekungan geosinklin.
Foredeep melengkung atas ke dalam suatu geantiklin dan bergeser keluar lebih
jauh. Selanjutnya pada dasar cekungan orogen, ofiolit basa sampai ultrabasa
mengalami ekstrusi dan intrusi dari asosiasi ofiolit radiolaria dan intrusi peridotit
dan serpentinit. Selama proses pembentukan geantiklin batuan ofiolit bercampur
dengan naiknya migmatit sehingga dasar tubuh batolit granit terjadi. Biasanya
terdapat tiga atau lebih gerakan pengangkatan pada setiap jalur orogen.
Pengangkatan pertama masih bukan batuan volkanik, pengangkatan kedua kedua
proses erupsi lava basa, menengah maupun asam, dari seri lava Pasifik, dan
langkah ketiga vulkanik padam. Masing-masing pengangkatan diikuti oleh intrusi
batuan plutonik berkomposisi menegah dan asam. Tahap lanjut dari evolusi jalur
orogen ini adalah hadirnya erupsi batuan tipe Mediteran. Akhirnya tahap akhir
orogen sebagai tahap pembentukan kontinen terbetuk. Dataran Sunda telah
dikonsolidasikan oleh tahap diastrofisme Mesosoikum Tua, sedang proses
pembentukan pegunungan berlanjut bergeser ke keluar membentuk orogen jalur
Sunda saat ini. Pusat Datara Sunda sekarang membentuk baselevel sebagai suatu
peneplain khas. Pada akhir Kwarter di sepanjang tepi blok yang terkonsolidasi ini
terjadi aliran lava basal olivine.Cakupan batuan beku begitu luas dan sangat
berkaitan dengan evolusi kerak bumi. In memberi kesan bahwa peristiwa yang
berkaitan dengan proses yang terjadi pada pembentukan batuan beku merupakan
hal penting dalam proses pembentukan pegunungan. Pertanyaan selanjutnya,
dengan demikian, sebenarnya adalah, dalam hal ini mana magma juvenile dan
mana magma induk? Kelihatannya hanya erupsi awal basal trakitik yang dapat
diperlakukan seperti itu. Pra kondisi kerak bumi berkomposisi sialik berumur Perm
harus diikuti oleh kekar dan patahan utama agar magma di bawah permukaan
dapat hadir ke permukaan. Steinmann, Kossmat, dkk mempertimbangkan ophiolites
berasal dari magma juvenil. Tetapi peridotites, di Sulawesi Timur mengalir ke
permukaan dengan tenang dan menggantikan seluruh komplek batuan dasar yang
kristalin. Dia tidak diproduksi oleh diferensiasi kristalisasi dari intrusi basal yang
sangat besar, sebab mereka secara langsung ditimpali oleh endapan bawah laut
berumur Kapur yang berumur sama dengan intrusi tersebut. Di Seram Barat,
Manipa dan Kellang bagian intrusi tersingkap. Situasi yang sama ditemukan di
Kawasan Meratus, ketika
tubuh peridotit secara berturut-turut diintrusi dan
digantikan (replace) oleh gabro, diorit, diorit kuarsa dan granit plagioklas. Situasi ini
justru kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi
pada kasus diferensiasi
kristalisasi dan fragsinasi. Batuan menjadi lebih asam dengan terus bertambahnya
kedalaman. Anomali isostatik negatif di Sulawesi Timur dan Seram menunjukkan
bahwa peridotit menandakan adanya masa peridotit yang sekarang mendasari kaki
pegunungan granit.Situasi ini mendorong ke arah pemikiran bahwa pada seri
batuan basa sampai ultrabasa dari geosinklin berukuran sangat besar, bagian
permukaannya merupakan akumulasi magma asam (granit). Ini merupakan hasil
berbagai proses evolusi kimia di bagian permukaan kerak bumi. Proses hypodifferentiation tersebut merupakan hasil gangguan keseimbangan lapisan tengah
basal tectonosphere karena penurunan
cekungan. Penurunan cekungan
menyebabkan terjadinya pembebasan tekanan akibat relief, sekaligus terjadi
peningkatan gradien geotermal di lapisan dasar dan menengah. Dengan proses
hypo-differentiation tersebut, dalam waktu berjuta-juta tahun, kerak basal akan
terbagi-bagi menjadi batuan ultrabasa (anti root) dan granit (mountainroot).Mengenai gunungapi strato dapat dipahami sebagai konsentrasi saluransaluran dari peningkatan pancaran dalam jumlah yang besar dari bagian magma
yang mudah menguap. Gunungapi itu merupakan cerobong di atas intrusi batolit.
Kita tidak bisa bayangkan pernah magma juvenil bisa naik menerobos astenolit dan
membuat zona migmatit selama tahapan evolusi geantiklin dari suatu jalur orogen.
Kedalaman intrusi dari batolit granodiorit Tersier Tengah pasti tidak lebih dari 2 km,
dan granodiorit Tersier Akhir di Wetar dan Lirang mungkin lebih tinggi. Pada kasus
erupsi paroksismal Kwarter Ranau dan Toba di Sumatra, bagian puncak intrusi granit
diledakkan. Oleh karena itu magma palingenic Pacific mungkin dibentuk dekat di
bawah permukaan. Intrusi dangkal ini berasimilasi dengan batugamping Tersier,
sehingga menyebabkan menyimpang dari kebiasaan (menghasilkan produk letusan
Mediteran. Akhirnya, setelah konsolidasi dari kerangka batuan beku jalur orogen ini,
kekar utama memotong kerak bumi sampai ke lapisan magma. Erupsi efusif basal
olivine dari Daratan Sunda lekat menyerupai batuan basal dari jalur orogen.
Mereka dicemari oleh material kerak. Oleh karena itu magma induk riil mungkin
lebih banyak trakit basal. Ringkasan ini memberi kesimpulan utama dari diskusi di
depan. Kita adalah sungguh sadar akan fakta bahwa sebagian dari aktivitas batuan
beku berbeda dari konsep petrologi “klasik”. Tetapi kita sudah mencoba untuk
mempertimbangkan dan menghubungkan dengan gejala geofisika dan geologi yang
mengikuti evolusi batuan beku ini, untuk memberi suatu sintesis berdasarkan fakta
mengenai gambaran umum tentang evolusi orogen. Sintesis ini berdasar pada teori
geosinklin dari Hall dan Dana. Baru-baru ini Knoff (1948) telah memberi suatu
tambahan ringkasan teori ini. Doktrin geosinklin adalah suatu prinsip dasar dalam
ilmu pengetahuan geologi, dan sangat bernilai untuk penafsiran evolusi orogen di
Indonesia. Di kepulauan ini kita temukan banyak contoh perubahan bentuk jalur
geosinklin ke dalam rantai pegunungan. Lebih dari itu, kita dapat melacak evolusi
ke samping daerah ini dari jalur orogen lebih tua ke dalam yang lebih muda, serta
hubungan antara jalur orogen dan aktivitas batuan beku, isostasi, dan seismisitas.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa sejarah yang berhubungan geologi, baik
permukaan bumi maupun planet kita ini secara keseluruhan, tidak cukup
memberikan informasi tanpa mempertimbangkan evolusi geokimia.