Faktor faktor yang Menyebabkan Melemahny

Faktor-faktor yang Menyebabkan Melemahnya Nilai Tukar
Rupiah

Rendy Sentosa
Jurusan Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika
Universitas Surabaya

ABSTRAK
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui penyebab pelemahan
nilai tukar Rupiah pada 2013. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui
penyebab melemahnya nilai tukar Rupiah adalah dengan mencari faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan dan penawaran Rupiah. Faktor-faktor yang
paling berpengaruh terhadap pelemahan Rupiah pada 2013 adalah inflasi,
kebijakan pemerintah dan pendapatan negara. Meningkatkan suku bunga menjadi
salah satu cara pemerintah untuk mengurangi tekanan pada Rupiah.
Kata kunci : permintaan dan penawaran, inflasi, suku bunga, pendapatan
negara, kebijakan pemerintah

Bab 1
Pendahuluan
Perekonomian Indonesia pada 2013 mencatatkan kinerja yang kurang

baik. Nilai tukar Rupiah terhadap USD mengalami depresiasi sepanjang 2013 1.
Titik terendah yang sempat dicapai adalah di atas Rp 12.000,00 per USD 1.
Pertumbuhan PDB Indonesia mengalami perlambatan, pertumbuhan PDB

Indonesia turun dari 6,2% pada 2012 menjadi 5,8% pada 20132. Inflasi
mengalamai lonjakan sejak Juni 2013 mencapai lebih dari 8%3.
Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan nilai tukar melemah yaitu
rencana pengurangan stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat dan defisit
neraca perdagangan (Husein: 2013, halaman)4. Rencana pengurangan stimulus
oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, menyebabkan investor asing menarik
keluar dana yang mereka investasikan di Indonesia 4. Defisit neraca perdagangan
Indonesia mencapai 5,65 miliyar USD sejak Januari hingga Juni 2013 4. Kedua
faktor tersebut membuat permintaan akan USD meningkat dan penawaran
terhadap Rupiah meningkat.
Nilai tukar mata uang sangat penting untuk diperhatikan oleh para pelaku
ekonomi. Para pelaku ekonomi harus mengetahui variabel-variabel yang
menyebabkan fluktuasi nilai tukar mata uang. Dengan demikian mereka dapat
memperkirakan arah pergerakan nilai tukar dan mengurangi resiko terjadinya
kerugian akibat fluktiasi nilai tukar. Perusahaan-perusahaan dapat melakukan
skenario hedging pada nilai kurs jika mereka memperkirakan Rupiah akan

melemah. Banyak manfaat yang didapatkan dengan melakukan hedging, salah
satunya adalah perusahaan tidak perlu khawatir hutang mereka dalam mata uang
USD akan membengkak jika Rupiah terdepresiasi.
Menurut

Madura

(2012:

107)

faktor

utama

yang

menentukan

keseimbangan nilai tukar mata uang adalah permintaan dan penawaran mata uang

tersebut5. Jika permintaan mata uang meningkat maka mata uang tersebut akan

mengalami apresiasi, sebaliknya jika penawaran mata uang meningkat maka mata
uang tersebut akan mengalami depresiasi. Madura (2012:107) mengungkapkan
bahwa terdapat 5 faktor utama yang mempengaruhi permintaan dan penawaran
mata uang, yaitu: tingkat inflasi, tingkat suku bunga, tingkat pendapatan suatu
negara, kontrol pemerintah dan ekspektasi dari pelaku ekonomi terhadap nilai
tukar di masa depan5. Semakin tinggi tingkat inflasi dan tingkat pendapatan suatu
negara maka semakin besar resiko mata uang negara tersebut mengalami
depresiasi karena menyebabkan penawaran suatu mata uang semakin tinggi,
sebaliknya semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin besar peluang
apresiasi mata uang negara tersebut karena permintaan mata uang tersebut akan
meningkat (Madura, 2012: 108-110)5. Ekspektasi pelaku ekonomi dan kontrol
pemerintah hanya mempengaruhi penawaran dan permintaan mata uang secara
kualitatif (Madura, 2012: 111)5.

Bab 2
Pembahasan
Megginson, Smart dan Graham(2010: 655) menyatakan bahwa nilai tukar
adalah harga suatu mata uang dalam mata uang lainnya6. Tajul menyatakan bahwa

pada dasarnya perbedaan nilai tukar mata uang ditentukan oleh jumlah supply dan
demand mata uang tersebut (Oktavia, Sentosa, Aimon: 2013) 7. Pada ilustrasinya
pada buku yang berjudul Financial Management, Megginson, Smart dan Graham
(2012: 656) menjelaskan bahwa apresiasi adalah saat mata uang uatu negara dapat
membeli mata uang negara lain lebih banyak 6. Sebaliknya depresiasi adalah saat
mata uang suatu negara dapat membeli mata uang negara lain lebih sedikit
(Megginson, 2012: 565)6. Berdasarkan ilustrasi Madura (2012: 106), dapat
disimpulkan bahwa ekuilibrium nilai tukar adalah harga mata uang yang tercipta
dari interaksi permintaan dan penwaran mata uang tersebut5.
Pada kasus ini, pelemahan Rupiah tahun 2013 , faktor yang berpengaruh
signifikan adalah kontrol pemerintah, pendapatan negara, inflasi dan suku bunga.
Pada kasus ini, kontrol pemerintah lebih mengarah pada pemerintah Amerika
Serikat terhadap jumlah uang beredar dengan melakukan tappering off.
Pendapatan negara menyebabkan konsumsi meningkat dan meningkatkan import.
Inflasi memicu kenaikan harga barang secara keseluruhan dan melemahkan
Rupiah. Suku bunga dalam hal ini di gunakan oleh bank sentral Indonesia untuk
menjaga nilai tukar agar nilai tukarnya bisa stabil.

Quantitave easing merupakan stimulus yang diberikan oleh bank sentral
Amerika Serikat, The Fed, untuk memacu pertumbuhan ekonomi9. Stimulus ini

diberikan oleh The Fed untuk mengatasi ekonomi Amerika yang mengalami
kelesuan akibat krisis 20084. Stimulus ini diberikan dengan cara bank sentral
membeli obligasi jangka panjang berupa obligasi pemerintah Amerika Serikat
maupun kredit perumahan sebesar 85 miliyar USD setiap bulan9. Dana timulus ini
sebagian masuk ke Indonesa pada tahun 2011 sehingga juga turut menggerakan
perekonomian Indonesia. Stimulus ini tentunya hanya bersifat sementara, setelah
perekonomian membaik stimulus ini akan dicabut9.
Tappering off merupakan langkah pengurangan stimulus yang diberikan
oleh The Fed9. Tappering off dilakukan karena kondisi perekonomian Amerika
Serikat telah pulih4, hal ini ditunjukan dengan GDP Amerika Serikat yang mulai
tumbuh positif pada tahun 2011 dan 2012 10. Rencana pengurangan stimlus ini
dikemukakan pada pertengahan tahun 2013 dan direspon oleh penarikan modal
secara besar-besaran oleh investor yang sebelumnya menginvestasikan uangnya di
negara-negara berkembang saat ekonomi negara-negara maju terpuruk4. Hal inilah
yang menyebabkan permintaan USD meningkat dan penawaran Rupiah
meningkat. Meskipun pada akhirnya stimulus The Fed hanya berkurang sebesar
10 miliyar USD per bulan9, tetapi keadaan ekonomi negara-negara berkembang
masih tidak kembali seperti sebelum adanya rencana pengurangan stimulus.
Menurut Tajul (2005:5) inflasi adalah kondisi saat harga-harga meningkat
secara drastis yang terjadi secara berkelanjutan dalam jangka panjang dan disertai

penurunan nilai intrinsik mata uang negara tertentu8. Penyebab utama inflasi pada

2013 adalah tindakan pemerintah memotong subsidi BBM dengan cara menaikan
harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500,00 menjadi Rp 6.500,00 pada pertengahan
2013. Dampak kenaikan BBM adalah memicu terjadinya kenaikan biaya secara
keseluruhan dalam perekonomian Indonesia karena BBM berpengaruh pada setiap
aspek perekonomian di Indonesia. Kenaikan biaya ini kemudian direspon oleh
para pelaku ekonomi dengan menaikan harga-harga agar keuntungan dari usaha
mereka tidak berkurang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya inflasi.
Teori purchasing power parity (PPP) dapat menjelaskan hubungan antara
inflasi dengan pelemahan nilai tukar Rupiah. Madura (2012, 247) menyatakan
bahwa harga barang yang sama di dua negara yang berbeda harus sama jika
diukur dengan semua mata uang5. Madura (2012, 248) menyimpulkan bahwa
penyesuaian nilai tukar diperlukan agar daya beli konsumen di negaranya maupun
di negara lain tetap sama5. Dengan demikian saat di Indonesia terjadi inflasi yang
lebih tinggi dari negara-negara lain maka nilai tukar Rupiah mengalami
depresiasi. Hal ini terjadi supaya permintaan negara lain terhadap produk-produk
Indonesia tidak berkurang.
Semakin tinggi pendapatan suatu negara, semakin tinggi juga konsumsi
negara tersebut. Konsumsi yang tinggi akan membuat import semakin besar jika

produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri dan
menyebabkan terjadi defisit neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan
menandakan bahwa eksport Indonesia lebih kecil dari import, berarti permintaan
akan USD semakin meningkat dan penawaran Rupiah juga meningkat. Defisit
neraca perdagangan mengakibatkan nilai tukar Rupiah melemah. Pemerintah

harus mengatasi defisit neraca perdagangan ini supaya permintaan terhadap USD
bisa turun dan Rupiah tidak terdepresiasi terus menerus.
Nopirin (1996) mengemukakan bahwa arti suku bunga adalah biaya yang
ditanggung oleh peminjam atas uang yang diterimana dan merupakan imbalan
bagi peminjam atas investasinya8. Suku bunga merupakan salah satu alat yang
digunakan pemerintah untuk menjaga nilai tukar Rupiah. Dengan menaikan
tingkat suku bunga, diharapkan dapat mengurangi tekanan pada Rupiah dan nilai
tukar Rupiah bisa stabil. Peningkatan suku bunga membuat masyarakat lebih suka
menabung daripada membelanjakan uangnya sehingga jumlah uang beredar akan
menurun8. Meski demikian peningkatan suku bunga menyebabkan pertumbuhan
ekonomi mengalami perlambatan karena orang lebih memilih untuk menabung
daripada berinvestasi.

Bab 3

Penutup

Dari kasus ini, dapat dilihat bahwa ketergantungan Indonesia terhadap
negara asing masih cukup tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya
ketergantungan ini adalah konsumsi dalam negeri. Konsumsi dalam negeri yang
tinggi menjadi penopang perekonomian Indonesia saat perekonomian negaranegara maju mengalami keterpurukan akibat krisis 2008. Konsumsi dalam negeri
yang tinggi ini tidak diiringi dengan produksi dalam negeri yang memadai
sehingga Indonesia harus mengandalkan Import dari negara lain untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Saat perekonomian Indonesia tumbuh pesat, konsumsi
juga ikut meningkat dan import juga ikut membengkak.
Perbaikan perekonomian Amerika Serikat dapat menjadi ancaman bagi
stabilitas perekonomian Indonesia. Perbaikan ekonomi Amerika Serikat
berpotensi menyebabkan arus modal keluar karena investor asing akan menarik
dananya dari Indonesia untuk diinvestasikan di sana. Perbaikan perekonomian
Amerika diikuti dengan pengurangan stimulus oleh The Fed sehingga penawaran
USD menurun. Pengurangan stimulus sebesar 10 miliar USD saja sudah
mengakibatkan depresiasi pada Rupiah seperti pada 2013, tentunya Rupiah akan
terdepresiasi lebih parah jika tappering off dilanjutkan. Pemerintah harus berhati-

hati karena tentunya stimulus The Fed akan berkurang lagi seiring dengan

membaiknya perekonomian Amerika Serikat.
Pemerintah harus melakukan perbaikan pada perekonomian Indonesia.
Pemerintah harus meningkat investasi agar Indonesia tidak perlu lagi melakukan
import

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pemerintah

sebaiknya mengutamakan investasi dalam negeri didanai oleh investor lokal agar
dan mengurangi ketergantungan terhadap penanaman modal asing. Pembatasan
import juga perlu dilakukan pemerintah agar produk-produk dalam negeri dapat
bersaing dengan produk asing. Diharapkan langkah-langkah pemerintah ini dapat
mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara lain dan permintaan mata
uang negara asing bisa menurun sehingga stabilitas nilai tukar dan perekonomian
Indonesia bisa terjaga.

Daftar Pustaka
1.

http://finance.yahoo.com/echarts?s=IDR
%3DX+Interactive#symbol=IDR=X;range=1d (diakses pada 22 Juni

2014)

2.

https://www.google.co.id/search?

q=tabel+pertumbuhan+pdb+indonesia+2013&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei
=_aCxU8TIAs2RuASLuYKICw&ved=0CAYQ_AUoAQ&biw=1360&bih=643#q
=pertumbuhan+ekonomi+indonesia+2013&tbm=isch&facrc=_&imgdii=_&imgrc
=y-EyVeRI2z_HwM%253A%3BY1fS__9n0LifdM%3Bhttp%253A%252F
%252Fwww.setneg.go.id%252Fimages%252Fstories%252Fimage-news
%252Fkontributor%252Fdujak%252F012114grafik1.jpg%3Bhttp%253A%252F
%252Fwww.setneg.go.id%252Findex.php%253Foption%253Dcom_content
%2526task%253Dview%2526id%253D7660%3B883%3B463 (diakses pada 22
Juni 2014)
3. http://www.bi.go.id/en/moneter/inflasi/data/Default.aspx (diakses pada 29 Juni
2014)
4. Hussein, M., 2013., Krisis Mata Uang Rupiah 2013: Penyebab dan Dampaknya.
http://indoprogress.com/2013/09/krisis-mata-uang-rupiah-2013penyebab-dan-dampaknya/ (diakses pada 29 Juni 2013)


5. Madura, Jeff. 2012. International Corporate Finance 11 rd Edition. Kanada:
Nelson Education Ltd
6. Megginso, W.L., Smart, L.B., & Graham, J (2010). Financial Management 3 th
Edition. United Kingdom: Cengage Learning

7. Oktavia, Sentosa & Aimon. Jurnal Kajian Ekonomi Vol. 1 No. 02. Januari 2013.
Analisis Kurs dan Money Supply di Indonesia
8. Muhammadinah. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi (JENIUS) Vol. 1
No. 02. Mei 2011. Pengaruh Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia dan Tingkat
Inflasi Terhadap Nilai Tukar Rupiah atas Dolar Amerika
9. Amri, A.B., Forddanta D.H., Prayogo, O.R. & Kharismawati, M.E., 2013., Apai
itu Quantitative Easing? Apa itu Tappering?
http://fokus.kontan.co.id/news/apa-itu-quantitative-easing-apa-itutapering (diakses pada 29 Juni 2013)

10.

https://www.google.co.id/search?

q=pertumbuhan+ekonomi+amerika+2013&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ei=c
MCxU7OZAYG9uATu7oDgBQ&ved=0CAcQ_AUoAg&biw=1360&bih=643#q=
gdp+us+2013&tbm=isch&facrc=_&imgdii=_&imgrc=Up3qYYowdtxFEM
%253A%3BM1LjfkVam64P2M%3Bhttp%253A%252F
%252Fwww.floatingpath.com%252Fwp-content%252Fuploads
%252F2013%252F05%252FUS-GDP-Growth-Second-Estimate-Q1-2013.png
%3Bhttp%253A%252F%252Fwww.floatingpath.com
%252F2013%252F05%252F30%252Fus-gdp-growth-at-2-4-in-second-estimatefor-q1-2013%252F%3B961%3B601
(Diakses 29 Juni 2014)

Lampiran
Lampiran 1
Gambar 1: Nilai tukar Rupiah terhadap USD tahun 2013

Lampiran 2

Gambar 2: Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Indonesia
(1990-2013)

Lampiran 3

Gambar 3: Data inflasi Indonesia 2013

Lampiran 4

Krisis Mata Uang Rupiah
2013: Penyebab dan
Dampaknya
23 September 2013
Mohamad Zaki Hussein
Harian Indoprogress
SEJAK Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama
juga dialami oleh mata uang beberapa negaraemerging markets (negara
berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat)
lainnya. Selama Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10
persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar
Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen.[1] Trend melemahnya nilai
tukar mata uang beberapa negara emerging markets selama Juni-Agustus
2013 bisa dilihat dalam grafik di bawah ini:

Grafik 1
Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS, Januari-Agustus

2013
Indeks, 15 Mei 2013 = 100

Sumber: Wells Fargo Securities Economics Group, LLC, Weekly Economic & Financial 
Commentary, 30 Agustus 2013, hlm. 
4,https://www.wellsfargo.com/downloads/pdf/com/insights/economics/weekly­
commentary/WeeklyEconomicFinancialCommentary_08302013.pdf.

Kenapa Nilai Tukar Rupiah Melemah?
Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh relasi penawaran-permintaan
(supply-demand) atas mata uang tersebut. Jika permintaan atas sebuah mata
uang meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka nilai
tukar mata uang itu akan naik. Kalau penawaran sebuah mata uang
meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar
mata uang itu akan melemah. Dengan demikian, Rupiah melemah karena
penawaran atasnya tinggi, sementara permintaan atasnya rendah.

Namun, apa yang menyebabkan penawaran atas Rupiah tinggi, sementara
permintaan atasnya rendah? Setidaknya ada dua faktor. Pertama, keluarnya
sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi
portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam proses ini,
investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk diinvestasikan
di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah. Adapun
indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan
kecenderungan menurun dari Rupiah. Dalam grafik di bawah, kita bisa lihat
bahwa IHSG mengalami kecenderungan menurun sejak Juni 2013:
Grafik 2
IHSG April-Agustus 2013

Sumber: Bloomberg, http://www.bloomberg.com/quote/JCI:IND/chart.

Kenapa investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia? Alasan yang
sering disebut adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk
mengurangi Quantitative Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the
Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei 2013. Tidak lama
setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging markets pun anjlok (lihat

Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk
mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari
bank-bank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank
di AS demi pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.
Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS menyehat.
Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan naik.
Inilah ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan modalnya dari
negara-negara emerging markets. Mereka melihat bahwa di depan, investasi
portofolio di AS akan lebih menguntungkan daripada di negaranegara emerging markets. Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka
panjang pemerintah AS sendiri telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi 10tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam
tiga bulan terakhir.[2]
Faktor kedua yang menyebabkan penawaran tinggi dan permintaan rendah
atas Rupiah adalah neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya,
ekspor lebih kecil daripada impor. Dalam Tabel 1 di bawah, kita bisa lihat,
defisit neraca nilai perdagangan Indonesia selama Januari-Juli 2013 adalah
-5,65 miliar Dollar AS. Sektor nonmigas sebenarnya mengalami surplus 1,99
miliar Dollar AS. Namun, surplus di sektor nonmigas tidak bisa mengimbangi
defisit yang sangat besar di sektor migas, yakni sebesar -7,64 miliar Dollar
AS.
Tabel 1
Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013
(Miliar US$)
Ekspor

Impor

Neraca

Bulan Miga Nonmiga Total Miga Nonmiga Total Miga Nonmiga Tota
s

Januari 2,66

s

s

12,72 15,38 3,97

s

s

11,48 15,45 -1,31

s

l
1,24

0,07

Februar 2,57

12,45 15,02 3,64

11,67 15,31 -1,07

0,78

-

i
Maret

0,29
2,93

12,09 15,02 3,90

10,99 14,89 -0,97

1,10

0,13

April

2,45

12,31 14,76 3,63

12,83 16,46 -1,18

-0,52

1,70

Mei

2,92

13,21 16,13 3,44

13,22 16,66 -0,52

-0,01

0,53

Juni

2,80

11,96 14,76 3,53

12,11 15,64 -0,73

-0,15

0,88

Juli

2,28

12,83 15,11 4,14

13,28 17,42 -1,86

-0,45

2,31

JanJuli

18,61

87,57 106,1 26,25
8

85,58 111,8 -7,64

1,99

3

5,65

 Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, No. 58/09/Th. XVI, 2 September 2013, hlm. 
14,http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_02sep13.pdf.

Dinamika ekspor-impor memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang.
Ekspor meningkatkan permintaan atas mata uang negara eksportir, karena
dalam ekspor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan
mata uang negara eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir
membutuhkan hasil akhir ekspor dalam bentuk mata uang negerinya agar
bisa ia pakai dalam usahanya. Sebaliknya, impor meningkatkan penawaran
atas mata uang negara importir, karena dalam impor, biasanya terjadi
pertukaran mata uang negara importir dengan mata uang negara asal.
Karena selama Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih kecil daripada
ekspornya, maka situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.

Apa Dampak Melemahnya Rupiah?
Apa dampak pelemahan Rupiah? Ketika nilai tukar sebuah mata uang
melemah, maka yang biasanya mencolok terkena dampaknya adalah harga

komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi
(bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor dipatok
dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan
jatuh, harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar
Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar
AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%.
Komoditi yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150 ribu menjadi Rp1,65
juta.
Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu
meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus,
inflasi menurun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus)
2013 adalah 7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak
2009.[3] Untuk barang konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya
barang-barang konsumsi impor, namun juga barang-barang konsumsi yang
diproduksi di dalam negeri, tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya,
terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe, misalnya, naik 20-25
persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor.[4]
Saya belum mendapat data tentang proporsi alat-alat produksi impor dari total
alat produksi di Indonesia. Namun, kita bisa mendapat gambaran kasar
tentang hal ini dari perbandingan antara impor barang konsumsi, bahan
baku/penolong dan barang modal di Indonesia. Kalau kita lihat Tabel 2,
proporsi impor terbesar pada Januari-Juli 2013 adalah impor bahan
baku/penolong, yakni 76,16% dari total impor. Kemudian urutan kedua
ditempati oleh impor barang modal (mesin-mesin, dan sebagainya), sebesar
16,87% dari total impor. Di urutan terakhir baru kita dapati impor barang
konsumsi dengan besaran 6,97% dari total impor. Dari data ini, kita bisa
menduga bahwa penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri
Indonesia cukup tinggi.
Tabel 2
Impor Indonesia Menurut Golongan Penggunaan Barang Januari-Juli
2013

Nilai CIF (Juta Peran terhadap Total
Penggunaan Golongan

US$)

Barang

Januari-Juli

Impor Januari-Juli
2013 (%)

2013

Barang Konsumsi

7.799,0

6,97

Bahan Baku/Penolong

85.162,4

76,16

Barang Modal

18.867,0

16,87

111.828,4

100,00

Total Impor

Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, op. cit., hlm. 12.

Siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan harga komoditi impor
ini? Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas bawah, sejauh
pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua,
pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai
pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut.
Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam
sudah menghentikan aktivitas usahanya.[5] Ketiga, para usahawan yang
berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat produksinya, terutama
bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki, kemasan, dan
sebagainya.[6] Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi
konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh
pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor,
kenaikan nilai utang luar negeri (dibahas di bawah), dan penyusutan pasar
dalam negeri.
Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga
komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan
nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok
dengan mata uang asing.[7] Logikanya sama dengan dampak pelemahan
Rupiah pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding
Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang yang dipatok

dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013, total
utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang
pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang
swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS.[8]
Apa dan siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari
utang luar negeri Indonesia ini? Pertama, untuk utang swasta jelas (1)
pengusaha yang berutang, dan (2) para pekerjanya yang akan ditekan oleh
pengusaha yang berutang tersebut. Kedua, untuk utang pemerintah, yang
akan terpukul adalah (1) anggaran negara atau APBN, dimana ketika
anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut
subsidi untuk rakyat, sehingga (2) rakyat secara umum juga akan terkena
dampaknya. Ketiga, pembayaran utang luar negeri cenderung akan
meningkatkan penawaran atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki
pengutang harus ditukar dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya,
nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.
Lalu, siapa yang diuntungkan oleh krisis Rupiah? Jika mata uang suatu
negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan
bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT Energizer
Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya
diekspor,[9] eksportir udang,[10] dan eksportir kakao di Sulawesi Selatan.
[11] Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena
banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga
keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan”
oleh harga bahan baku impornya yang mahal.[12]

Catatan Penutup
Berdasarkan paparan di atas, kita dapati bahwa jatuhnya nilai tukar Rupiah
disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yakni (1) keluarnya sejumlah besar
investasi portofolio asing dari Indonesia akibat rencana pengurangan QE oleh
the Fed; (2) neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit. Adapun
dampaknya adalah (1) kenaikan harga komoditi impor, baik yang menjadi

obyek konsumsi maupun alat produksi. Adapun kenaikan harga alat-alat
produksi impor bisa berdampak pada kenaikan harga komoditi yang
diproduksi di dalam negeri, tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya
impor; (2) kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri. Kedua dampak ini,
pada gilirannya, akan memukul berbagai lapisan masyarakat.
Namun, perlu disebutkan di sini bahwa “penyebab” yang dipaparkan di atas
barulah “penyebab langsungnya” (immediate causes), bukan “akar
masalahnya.” Pembahasan tentang akar masalah berada di luar lingkup
tulisan ini. Tetapi, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan sebagai titik
berangkat untuk menelusuri akar masalahnya.Pertama, terkait dengan
keluarnya investasi portofolio asing dari Indonesia, ini sebenarnya merupakan
masalah klasik mengenai mobilitas kapital antar-negara. Tingkat mobilitas
kapital yang tinggi menyebabkan volatilitas mata uang. Pertanyaannya, apa
yang memungkinkan adanya tingkat mobilitas kapital seperti itu? Dan
mengingat efek destruktifnya, bagaimana cara melawan mobilitas kapital
yang seperti itu? Kedua, terkait dengan tingginya impor Indonesia,
pertanyaannya adalah kenapa impor kita bisa seperti itu? Dan bagaimana
cara melepaskan ketergantungan ekonomi kita terhadap impor? ***
Mohamad Zaki Hussein, anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP). Penulis
beredar di Twitterland dengan akun @mzakih
http://indoprogress.com/2013/09/krisis-mata-uang-rupiah-2013penyebab-dan-dampaknya/

Lampiran 9

Apa itu Quantitative Easing? Apa itu
Tapering?
Oleh Asnil Bambani Amri, Dityasa H Forddanta, Oginawa R Prayogo, Margareta Engge
Kharismawati - Senin, 23 Desember 2013 | 08:23 WIB

JAKARTA. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed)
akhirnya membuat keputusan terkait pengurangan stimulus pada Rabu (18/12)
lalu. The Fed memutuskan mengurangi stimulus (tapering off) dari semula US$ 85
miliar per bulan menjadi US$ 75 miliar per bulan berlaku Januari 2014.
Keputusan itu diambil setelah the Fed menyimpulkan adanya perbaikan ekonomi
AS usai mengalami resesi terburuk sejak 1930. "Seiring kemajuan yang di pasar
tenaga kerja yang positif, the Fed memutuskan mengurangi nilai pembelian aset,"
jelas pernyataan the Federal Open Market Committee (FOMC) di Washington,
Rabu (18/12).
Quantitative easing atau pembelian aset oleh the Fed dibagi menjadi dua, yakni:
US$ 40 miliar untuk membeli surat utang AS dan US$ 35 miliar untuk membeli
obligasi kredit perumahan yang akan dilakukan dimulai Januari tahun 2014.
Namun, pemangkasan stimulus yang dilakukan Januari itu belum usai. Sebab, the
Fed akan melakukan pengurangan stimulus lanjutan jika ekonomi AS membaik
lagi. "Jika kondisi tenaga kerja dan tingkat inflasi sesuai target, komite akan
kembali mengurangi stimulus secara bertahap," jelas the Fed.
Namun, sebelum membicarakan lebih lanjut dampak kebijakan tersebut terhadap
Indonesia, sebaiknya kita bahas dulu apa itu quantitative easing(QE) dan apa
itu tapering off? Dan siapa itu Federal Reserve?
Siapa Federal Reserve?
The Federal Reserve disingkat the Fed merupakan Bank Sentral Amerika Serikat
(AS) yang merupakan gabungan dari bank sentral yang ada di negara-negara
bagian AS. Seperti bank sentral Indonesia, The Fed memiliki tugas utama
mengontrol suplai uang tunai dolar AS.

Selain itu, The Fed juga mengatur ribuan bank swasta di seluruh AS dan juga
memberikan pinjaman darurat kepada mereka, jika bank swasta itu mengalami
kekurangan uang tunai.
Apa itu tapering off?
Sebelum memahami tapering off, sebaiknya kita memahami dulu sikap The Fed
ketika membuat keputusan membeli obligasi di pasar keuangan. Keputusan
membeli obligasi inilah kemudian disebut pasar sebagai pelonggaran kuantitatif
atau quantitative easing (QE).
Lantas, apa pula quantitative easing (QE)?
Seperti bank sentral lainnya, the Fed mengelola perekonomian AS dengan cara
menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan. Namun, Fed tak tidak bisa
menurunkan suku di bawah nol, di mana telah dipertahankan selama hampir lima
tahun.
Jadi, the Fed mencoba cara lain guna merangsang ekonomi AS, dengan cara
memompa uang langsung ke dalam sistem keuangan. Caranya adalah, the Fed
mengeluarkan uang untuk membeli obligasi jangka panjang , baik itu obligasi
berupa surat utang AS dan obligasi kredit perumahan. Harapannya adalah, uang
itu kemudian bisa digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lainnya.
Yang jelas, kebijakan QE dari The Fed itu telah membantu AS yang dilanda resesi
sejak 2009. Namun, belum diketahui seberapa membantu kebijakan QE tersebut
itu bagi pertumbuhan ekonomi AS sejak 2009 sampai tahun ini.
Sampai akhir tahun 2013, The Fed telah membeli obligasi US$ 85 miliar per bulan.
Alhasil, sampai 11 Desember lalu, The Fed mengantongi hampir US$ 4 triliun
dalam bentuk obligasi. Bandingkan aset yang dimiliki The Fed sebelum krisis
keuangan yang hanya US$ 800 miliar.
Jadi apa tapering itu?
Yang jelas, the Fed tak ingin terus-terusan melakukan pembelian obligasi. Maka
itulah, bank sentral AS ingin mengurangi stimulus berupa pembelian obligasi itu
secara bertahap. Proses pengurangannya pembelian obligasi secara bertahap
itulah yang kemudian dikenal dengantapering off.
Sebab, sedikit saja perubahan yang dilakukan The Fed, bisa mengundang
respons pasar, tak hanya di AS tetapi juga bagi pasar di seluruh dunia. Yang jelas
The Fed ingin kembali dalam kondisi normal, alias tak ada lagi program pembelian
obligasi atau menyuntik dollar ke sistem keuangan ekonomi AS.
Kapan The Fed melakukan tapering?
Nah, pada bulan Juni 2013 lalu, Ketua the Fed Ben S. Bernanke sudah
mengusulkan agar the Fed segera memulai pengurangan pembelian obligasi pada
tahun 2013. Saat itu, Bernanke berharap pada musim panas tahun 2014 program
QE sama sekali sudah berakhir.
Namun, di bulan September 2013 lalu, pasar yang sempat menanti kabar
keputusan the Fed mengurangi stimulus bisa bernafas lega. Sebab, secara tiba-

tiba rapat FOMC (Federal Open Market Committee) memutuskan menunda
pengurangan stimulus dengan alasan ekonomi AS masih dalam kesulitan.
Hingga pada 7-18 Desember lalu, barulah rapat FOMC memutuskan untuk
mengurangi pembelian stimulus berupa pembelian obligasi dari US$ 85 miliar
menjadi US$ 75 miliar per bulan. Artinya, The Fed mengurangi pembelian US$ 10
miliar untuk obligasi.
Apa dampak tapering off AS bagi Indonesia?
Kita mungkin masih ingat bulan Juli 2013 lalu, ketika itu indeks harga saham
gabungan (IHSG) tumbang sangat dalam. Bahkan IHSG saat itu, IHSG jatuh lebih
dari 20%, atau sudah memasuki fase bearish. Nah, salah satu penyebab dari
tumbangnya IHSG kala itu berasal dari rencana the Fed mengurangi stimulus.
Maklum, keinginan the Fed mengurangi stimulus atau tapering off telah membuat
dana asing yang parkir di Indonesia ramai-ramai keluar dari Indonesia.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun ini saja, investor
asing yang mencatatkan net sell asing di pasar saham sebesar Rp 15,29 triliun.
Nilai dana asing yang keluar itu hampir sama dengan nilai dana asing yang masuk
tahun 2012, sebesar Rp 15,2 triliun.
Kepala Riset Batavia Prosperindo Sekuritas, Andy Ferdinand bilang, salah satu
faktor yang membuat hengkangnya dana asing itu karena adanya spekulasi the
Fed yang mengurangi stimulus.
Menurut Andy, fund manager asing cenderung memburu untung ke negara
berkembang. Namun, sejak muncul spekulasi adanya rencana tapering, mereka
mengubah portofolio, sehingga banyak dana asing di negara berkembang ditarik
kembali ke negara asalnya.
Setelah tapering off pada18 Desember lalu, apa yang terjadi?
Sehari setelah the Fed memutuskan pengurangan stimulus, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) pada Kamis (19/12) indeks justru ditutup di zona hijau dengan
penguatan 35,70 poin atau menguat 0,85% menjadi 4.231,98.
IHSG rupanya memberikan respons positif atas pengurangan stimulus dari The
Fed. Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Securities menilai, kenaikan IHSG itu
menyusul indeks Dow Jones yang juga naik tajam setelah the Fed mengumumkan
penurunan stimulus.
Pasalnya, kata Edwin, meski The Fed mengurangi stimulus, namun bank sentral
AS itu tetap mempertahankan suku bunga rendah. Menurut Edwin, yang menjadi
perhatian investor saat ini adalah suku bunga acuan atau Fed Rate, bukan lagi
pembatasan stimulus.
Jika Fed Rate naik, barulah hot money yang selama ini ada di negara berkembang
termasuk di Indonesia akan hengkang dan kembali ke negaranya. "Jika itu terjadi,
maka pasar seperti kolam yang sedang dikeringi," tandasnya. Untungnya, kata
Edwin, the Fed tetap mempertahankan bunga rendah.
Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities juga bilang hal senada.
Menurutnya, pelaku pasar sudah menemukan kepastian yang selama ini nantikan.

Sebelumnya, banyak investor wait and seedan menunggu keputusan pengurangan
stimulus. “Karena keputusan sudah diumumkan, maka indeks menguat," kata
Reza.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro menilai,
keputusan The Fed mengurangi stimulus menjadi US$ 75 miliar per bulan mulai
Januari tidak mempengaruhi pasar dalam negeri. Sebab, kata Bambang, pengaruh
kebijakan The Fed itu sudah terasa sejak Mei lalu.
Salah satu pengaruhnya itu adalah, keluarnya hot money di pasar dalam negeri di
bulan Juli dan setelahnya. “Sehingga keputusan kemarin (The Fed) tidak
menimbulkan gejolak, karena pasar sudah meresponsnya sejak bulan Mei lalu,”
terang Bambang.
Selain itu, kata Bambang, rencana pengurangan stimulus oleh AS itu sudah
terdeteksi jauh-jauh hari. Sehingga, pemerintah dan Bank Sentral Indonesia sudah
mempersiapkan antisipasi sejak jauh-jauh hari pula.
Namun kata Bambang, pengurangan stimulus mulai Januari 2014 oleh The Fed
bukanlah akhir dari masalah tapering di AS. Bambang bilang, yang saat ini mesti
diwaspadai adalah, adanya pengurangan stimulus lanjutan dengan nilai yang lebih
besar.
Apa antisipasi Indonesia hadapi tapering lanjutan?
The Fed sudah mengeluarkan pernyataan, bahwa pengurangan stimulus akan
terus berlanjut dengan cara bertahap mengikuti perbaikan kondisi ekonomi AS.
Untuk mengantisipasi hal itu, Bambang mengaku sudah mempersiapkan jurus jitu.
Salah satu antisipasi yang dipersiapkan pemerintah dalam menyambut
pengurangan stimulus yang lebih besar dari The Fed adalah;
mengeluarkan Bonds Stabilization Framework (BSF), kebijakan yang
memungkinkan pemerintah melakukan buyback atas surat utang milik negara dan
BUMN.
Sementara itu, BI juga sudah mempersiapkan amunisinya jika ada tapering
lanjutan dari the Fed dieksekusi. BI menurut Agus sudah membuat Bilateral Swap
Arrangement (BSA) dengan Bank of Japan (BoJ) senilai US$ 22,78 miliar.
Selain itu, BI juga menandatangani perjanjian ASEAN Swap Arrangement senilai
US$ 2 miliar, BSA dengan China senilai US$ 15 miliar, dan Korea Selatan senilai
US$ 10 miliar. Di samping itu, BI juga memiliki fasilitas dana siaga dalam
bentuk deferred drawdown option (DDO) senilai US$ 5,5 miliar.
"Ini adalah bentuk kesiapan kami. Kami tidak perlu berharap untuk menggunakan
itu. Itu sifatnya hanya berjaga-jaga," Kata Gubernur Bank Indonesia, Agus
Martowardojo.
Adanya BSA dengan beberapa negara tersebut dijadikan sebagai second line of
defence ekonomi Indonesia. Dana tersebut akan dicairkan jika keadaan ekonomi
sudah dalam tahap genting. Lantas, kapan tapering lanjutan akan dilakukan The
Fed? Kita tunggu saja.
Editor: Asnil Bambani Amri

http://fokus.kontan.co.id/news/apa-itu-quantitative-easing-apa-itutapering
Lampiran 10
Gambar 4: Pertumbuhan GDP Amerika Serikat

GRAFIK NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP USD SELAMA TAHUN 2013

Sumber:
http://finance.yahoo.com/echarts?s=IDR
%3DX+Interactive#symbol=IDR=X;range=1d
(diakses Minggu, 22 Juni 2014, pukul 13.00)

Tema
Pelemahan nilai tukar mata uang suatu negara memiliki akan
berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian suatu negara.
Pemerintah harus menjaga agar nilai tukar mata uang tetap
stabil sehingga perekonomian dapat bertumbuh dengan baik.

Topik

A. Nilai Tukar
1. Pengaruh fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap kinerja eksport
dan import Indonesia.
2. Pengaruh pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap inflasi
Indonesia.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan melemahnya nilai tukar
Rupiah
B. Perekonomian
1. Pengaruh tingkat pengangguran terhadap perekonomian
Indonesia
2. Pengaruh penduduk kelas menengah terhadap perekonomian
Indonesia
3. Dampak pengurangan
perekonomian Indonesia

stimulus

The

Fed

terhadap

C. Pemerintah
1. Dampak kebijakan pemerintah menaikan suku bunga bank
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
2. Dampak pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap hutang
pemerintah.
3. Pengaruh pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah terhadap
inflasi Indonesia.

Kerangka Paragraf
Paragraf 1: Kinerja perekonomian Indonesia tahun 2013
paragraf pendukung:
- Nilai tukar Rupiah
- Titik terendah Rupiah
- Pertumbuhan PDB
- Inflasi

Paragraf 2: Faktor penyebab pelemahan nilai tukar
paragraf pendukung:
- Pengurangan stimulus
- Defisit neraca perdangan
- Pengaruh terhadap permintaan dan penawaran Rupiah

Paragraf 3: siapa yang harus memperhatikan nilai tukar
paragraf pendukung:
- Apa yang harus diperhatikan
- Manfaat mengetahui faktor penyebab fluktuasi nilai tukar
- Cara menyiasati pelemahan nilai tukar
- Manfaat hedging

Paragraf 4: Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar
paragraf pendukung:
- Hubungan permintaan dan penawaran terhadap nilai tukar
- Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan

- Hubungan Inflasi, suku bunga dan pendapatan negara terhadap
nilai tukar
- Hubungan kontrol pemerintah dan ekspektasi pelaku ekonomi

Paragraf 5: Arti nilai tukar
paragraf pendukung:
- Penyebab perbedaan nilai tukar
- Apresiasi
- Depresiasi
- Keseimbangan nilai tukar

Paragraf 6: Faktor yang berpengaruh signifikan pada 2013
paragraf pendukung:
- Kontrol pemerintah
- Pendapatan negara
- Inflasi
- Suku bunga

Paragraf 7: Quantitative easing
paragraf pendukung:
- Tujuan Quantitative Easing
- Cara pemberian stimulus
- Peran quantitative easing bagi Indonesia
- Jangka waktu stimulus

Paragraf 8: Tappering of
paragraf pendukung:

- Alasan dilakukan tappering of
- Respon investor terhadao tappering of
- Pengaruh tappering of terhadap permintaan dan penawaran
Rupiah
- Realisasi rencana tappering of

Paragraf 9: Inflasi
paragraf pendukung:
- Penyebab inflasi
- Dampak kenaikan BBM
- Respon pelaku ekonomi terhadap kenaikan BBM

Paragraf 10: Purchasing Power Parity
paragraf pendukung:
- Harga barang di semua negara
- Perlunya penyesuaian nilai tukar
- Pergerakan nilai tukar saat inflasi tinggi
- Alasan pelemahan nilai tukar

Paragraf 11: Pendapatan negara
paragraf pendukung:
- Pengaruh konsumsi terhadap import
- Defisit neraca perdagangan
- Dampak defisit neraca perdagangan
- Perlunya penanganan pemerintah

Paragraf 12: Tingkat suku bunga

paragraf pendukung:
- Peran tingkat suku bunga
- Tujuan peningkatan suku bunga
- Pengaruh kenaikan tingkat suku bunga
- konsekuensi kenaikan tingkat suku bunga

Paragraf 13: Ketergantungan Indonesia pada negara asing
paragraf pendukung:
- Penyebab ketergantungan
- Peran konsumsi terhadap perekonomian Indonesia
- Alasan Indonesia tergantung pada import
- Penyebab pembengkakan import

Paragraf 14: Perbaikan Ekonomi Amerika
paragraf pendukung:
- Pengaruh perbaikan ekonomi Amerika
- Pengaruh perbaikan ekonomi Amerika terhadap penawaran USD
- Kondisi nilai tukar Rupiah jika tappering of berlanjut
- Perlunya perhatian pemerintah

Paragraf 15: Perbaikan perekonomian Indonesia
paragraf pendukung:
- Mencukupi konsumsi dalam negeri
- Meningkatkan investasi lokal
- Pembatasan penanaman modal asing
- Tujuan perbaikan ekonomi Indonesia