Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STIE Muhamma

OPINI
OLEH

: INDAH PRATIWI

Mahasiswa Akuntansi
Semester 4
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Muhammadiyah Palopo

PERTANGGUNG JAWABAN SOSIAL PERUSAHAAN
(Corporate Social Responsibility)
DALAM PERSPEKTIF LUWU
Perusahaan memiliki hak sepenuhnya dalam hal memilih metode penyaluran dana
CSR. Mayoritas suatu perusahaan melakukan pertanggungjawaban sosial di manifestasikan
dalam bentuk materil seperti:pemberian beasiswa, pengadaan fasilitas umum masyarakat,
reboisasi lingkungan, perekrutan tenaga kerja masyarakat sekitar, dan aktivitas lainnya.
Dalam perspektif luwu Hal tersebut belum bisa sepenuhnya di kategorikan pertanggung
jawaban sosial yg sebenarnya dan juga belum mampu sepenuhnya mengatasi patologi sosial
di masyarakat. Hal ini disebabkan hadirnya perusahaan baik itu lokal dan asing yang saat ini
mayoritas menganut sifat kapitalis yang semata-mata hanya mengejar target laba yang
sebesar-besarnya. Kehadiran berbagai perusahaan kapitalis di tengah-tengah masyarakat

luwupun akan berdampak pada pola kehidupan dan melunturkan eksistensi nilai-nilai positif
budaya leluhur masyarakat. Perspektif masyarakat luwu mengartikan tujuan dari pertanggung
jawaban sosial perusahaan itu sebenarnya bagaimana perusahaan bisa mengtransformasikan
nilai-nilai sosial pada stakeholder atau masyarakat sekitar.
Masyarakat luwu dikenal dengan nilai budaya siri’ atau maseddisiri yang diartikan
malu yang memiliki turunan seperti sipakalebbi, sipakatau, sipakaraja yang artinya adalah
sikap saling menghormati, menghargai, dan memuliakan sesama manusia Dulunya suatu
pekerjaan yang dapat dilakukan bersama diaplikasikan secara bersama tetapi saat munculnya
organisasi kapitalisme yang terstruktur membuat benih-benih kapitalis/individualistik itu
pada masyarakat. Bahkan terlebihnya lagi berbagai lini kehidupan masyarakat luwu mulai
dari aktivitas ekonomi, dunia kerja, lembaga pendidikan telah mengtransfer nilai-nilai
kapitalisme yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai leluhur terutama dalam ajaran
islam. Kalimat yang biasa didengungkan oleh CEO sebuah perusahaan “ Tidak Ada
perusahaan Yang Tidak Merusak/menganggu” tengah diartikan salah terhadap departemen
dalam perusahaan. Ini menunjukan ketidakinginan perusahaan atau CEO terhadap apapun
yang dapat mengganggu aktivitas produksi. Akhirnya kalimat ini menjadi budaya bagi siapa
saja yang terikat atau mengikatkan diri pada perusahaan. Penanaman kembali nilai-nilai
budaya masyarakat luwu sangat diperlukan sebagai pertanggung jawaban social perusahaan.
Yuniardi(2004:50) menggambarkan pengaruh nilai-nilai budaya berpengaruh terhadap
nilai pribadi dan kebutuhan yang keduanya akan mempengaruhi sikap dan keyakinan

seseorang serta pada akhirnya akan melahirkan tingkah laku. Nilai dalam kehidupan manusia,
berfungsi sebagai standar tingkah laku dari berbagai cara pengambilan keputusan rasional,
sebagai rencana umun dalam menyelesaikan konflik, sebagai motivasi dimana nilai memiliki
komponen motivasional yang kuat, sebagai pengarah perilaku serta tujuan akhir yang ingin
dicapai. Demikian halnya nilai budaya budaya siri’ ataupun maseddisiri’ Budaya
maseddisiri’ merupakan satu ikatan hubungan kemanusiaan yang didasari atas ketulusan dan
penerimaan sepenuh hati. Tanpa syarat dan senantiasa harus dibuktikan baik dalam ucapan,
tingkah laku setiap individu kepada individu lainnya ataupun individu kepada kelompok

ataupun sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut nilai perusahaan dan
membentuk konsep pertanggungjawaban sosial.

budaya lokal dapat

Contoh kecilnya yaitu hadirnya perusahaan tambang di wilayah luwu salah satunya
PT VALE yang aktivitas tambangnya merusak kesuburan dan menghabiskan kekayaan alam
tana luwu. Bisa dibayangkan apabila perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi sudah
dipastikan wilayah lahan purna tambang tersebut wilayah tidak dapat dimanfaatkan dan tidak
bisa menghidupi masyarakat yang berada disekitarnya lagi. Lahan purna tambang hanya
dapat di tumbuhi rumput dan jenis tumbuhan yang tidak memiliki nilai ekonomis. Hilanglah

justifikasi Sawerigading tentang daerah luwu yang tercatat tanah Luwu ini adalah tanah yang
dihamparkan bagai permadani yang indah dan ditaburi dengan begitu banyak perhiasan yang
membuat tanah ini semakin indah. Tanah ini mampu menghidupi masyarakatnya dengan
catatan bahwa seluruh yang hidup di dalamnya masih menyandarkan seluruh urusan kepada
adat yang berlaku.
Mengeksploitasi alam sedemikian rupa, untuk memaksimal target/laba dilakukan
dengan membuat kezaliman yang legal, memperkuat perkataan “Tidak ada perusahaan yang
tidak merusak/mengganggu”, memberikan aura kesombongan, individualistik, dan
ketidakpedulian Disini perusahaan tidak melihat bahwa ma-syarakat adalah bagian dari
dirinya, konsep individualistik terlihat dengan sangat jelas. apa yang telah dilakukan oleh
perusahaan selama ini hanyalah upaya untuk melancarkan aktivitas produksi dan
maksimalisasi laba. Perusahaan telah meninggalkan tradisi kebersamaan bahkan terkesan
berupaya untuk memisahkan diri sejauh mungkin dari masyarakat.Tidak ada perasaan satu
rasa yang dicontohkan oleh perusahaan, yang ada adalah kesan memisahkan diri dan tidak
ingin bersentuhan secara langsung dengan komunitas yang ada disekitarnya.
Akar budaya Luwu dalam menaggapi hal tersebut adalah siri’ (malu). Siri’ untuk
melakukan hal-hal yang melampaui batas, siri’ ketika tidak mampu ber-sikap adil baik
kepada sesama manusia maupun alam. Siri’ apabila dibawa dalam konteks realitas adalah
berarti pengakuan adanya satu ikatan kepada orang lain maupun kelompok yang statusnya
sama dengan diri sendiri. Gesekan sosial bisa saja terjadi dan pemicunya adalah tidak

singkronnya antara ucapan dan perbutan yang dilaku-kan oleh perusahaan Ikatan
maseddisiri’ merupakan perjanjian tanpa kata yang selalu menuntut untuk dibuktikan, baik
dalam ucapan tingkah dan laku maupun kebijakan. Satu “rasa” yang menginginkan pihak
yang lain ikut merasakan apa yang sedang dirasakan. Idealnya, perusahaan dapat lebih bijak
melihat kenyataan ini sehingga antara ucapan, sikap, dan laku tetap seiring. Sehingga
perusahaan masih memiliki nilai Siri’ dalam setiap tindakannya. Rasa malu karena aktivitas
maupun kebijakan perusahaan telah merugikan masyarakat, rasa malu karena belum
memberikan solusi atas permasalah an yang ditimbulkan.
Padahal untuk mengantisipasi hal tersebut itu sederhana, menjadikan masyarakat
bagian tak terpisah dari kebijakan perusahaan, tidak bersikap eksklusif yang menonjolkan
perbedaan dan berinteraksi dengan hati. Memahami bahwa Pengakuan ikatan masseddisiri’
bagi orang Luwu tidak pernah dilafaskan dengan lisan, tetapi selalu menuntut bukti lewat
tingkah laku, sikap atau bukti nyata. Hubungan perusahaan dengan masyarakat semestinya

merupakan upaya optimal dari perusahaan untuk melibatkan dan menjadikan masyarakat
adalah bagian dari perusahaan. Dengan melibatkan masyarakat menjadi bagian dari
perusahaan maka konsep maseddisiri’ merupakan konsep bersama dan tanggung jawab
bersama. Sehingga apapun yang menjadi target perusahaan dalam produksi juga menjadi satu
dambaan masyarakat yang ada disekitarnya. Apabila ada kenyataannya perusahaan tidak
mampu memenuhi target maka ini akan menjadi beban siri’ masyarakat juga. Inilah

pemahaman atas ikatan maseddisiri’ yang menginginkan seluruh aktifitas dilakukan didasari
oleh kemanunggalan rasa atau perasaan solidaritas. Mengedepankan unsur sipakalebbi (saling
menghargai), sipakatau (saling menghormati) dan sipakainge’ (saling mengingatkan).
(Referensi Rismawati).