Penggunaan Jilbab sebagai Simbol Kesopan

Lutfiyah Rahma
4415122364
Pendidikan Sejarah 2012 Kelas A

Penggunaan Jilbab
sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan

Pemakaian jilbab pada kaum wanita merupakan sebuah fenomena sosial yang
sudah lumrah akhir-akhir ini di negara Indonesia, karena telah kita semua ketahui
bahwa Indonesia merupakan negara mayoritas pemeluk agama Islam di mana aturan
mengenakan jilbab pada kaum wanita telah tersurat dalam kitab suci umat Islam, AlQur’an.
Fenomena pemakaian jilbab pada kaum wanita bukan berarti tidak
menimbulkan suatu permasalahan apa-apa. Apabila ditinjau dari segi sosial dan
budaya, penggunaan jilbab merupakan suatu simbol fundamental. Berjilbab
merupakan fenomena yang kaya makna dan penuh nuansa. Ia berfungsi sebagai
bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya, sebuah praktik yang
telah hadir dalam legenda sepanjang zaman. Jilbab juga memiliki posisi penting
sebagai simbol identitas dan resistensi.

1


Dalam karya tulis ini, penulis mengambil kasus mengenai fenomena
penggunaan jilbab sebagai suatu simbol kesopanan dan juga perlawanan. Dalam
kajian terhadap kasus ini, penulis menggunakan teori interaksionalisme simbolik
sebagai landasan atau dasar teori sosial budaya untuk lebih memperkuat bahwa
penggunaan jilbab dalam masyarakat, yakni pada masyarakat kaum wanita
merupakan salah satu kasus sosial yang seharusnya tidak dianggap sebagai angin lalu
saja. Namun, dibalik itu, dalam penggunaan jilbab mengandung sebuah interaksi
sosial.
Menyoal pada salah satu teori sosial, yakni teori interaksionisme simbolik,
penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai teori interaksionisme simbolik
sebelum membahas kasus yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini.
Interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori sosial yag terkenal. Teori
interaksionisme simbolik adalah teori yang menunjukkan jenis-jenis aktivitas
manusia dalam memandang pentingnya memahami kehidupan sosial. Interaksionisme
simbolik mengacu pada interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol, yaitu
bagaimana cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang
mereka maksud, dan juga dapat dijadikan sebagai suatu alat komunikasi satu sama
lain, dari interpretasi simbol iniah kemudian dapat mempengaruhi kelakuan pihakpihak yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.

2


Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan
sosial dinamis yang terjadi pada kehidupan manusia. Bagi perspektif ini, individu
bersifat aktif, reflektif, dan kreatif yang mammpu menafsirkan, menampilkan
perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham atau teori ini menolak gagasan
bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus
berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi, interaksi sosial lah
yang dianggap sebagai suatu variabel penting yang menentukan perilaku manusia,
bukan struktur masyarakat. Struktur sendiri tercipta dan berubah disebabkan adanya
interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil
terhadap seperangkat objek yang sama.
Persepektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut
pandang subjek. Persepektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku
mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain, situasi, objek dan bahkan
diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak
dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau
tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi dan penafsiran atas
objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan apabila frase-frase “definisi

situasi”, “realitas terletak pada mata yang melihat” dan “bila manusia mendefinisikan

3

situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan
dengan interaksionisme simbolik.1
Salah satu tokoh yang menganut teori interaksionimse simbolik ini adalah
Herbert Mead. Sedikit mengenai riwayat Herbert Mead, beliau dilahirkan pada 27
Februari 1863 di Hadley Selatan, Massachussets, Amerika Serikat. Ayahnya bernama
Hiram Mead dan ibunya bernama Elizabeth Storrs Mead, sedangkan saudara
perempuannya bernama Alice. Ayahnya adalah seorang Pastor di Orbelin College dan
ibunya juga semapat mengajar di Orbelin College selama dua tahun. Mead
mendapatkan gelar B.A. di Oberlin College, lalu mengajar di sana selama 4 bulan.
Setelah itu ia melanjuktan sekolahnya di Harvard University dimana ia sangat tertarik
dengan filsafat dan psikologi. Setelah menyelesaikan disertasinya, ia pun pindah ke
University of Michigan, dan kemudian ia pindah lagi ke University of Chicago, di
sana ia bertemu dengan Charles Horton Cooley dan John Dewey. Merekalah yang
mempengaruhi pemikirannya. Mead mengajar di University of Chicago hingga akhir
hayatnya.2
Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an

ketika beliau menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun, gagasangagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para
mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliah dari Mead. Terutama melalui
1 Deddy Mulyana, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 70.
2 http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead. (Diakses pada tanggal 2 Januari
2015, pukul 10.15 WIB).

4

buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self
and society.3
Karya Mead yang paling terkenal tersebut menggarisbawahi tiga konsep kritis
yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term
interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (self
dengan orang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat
(society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang
lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial
masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan
interaksi menjadi bahan bagi penelaahan dalam tradisi interaksionalisme simbolik.

1. Pikiran (Mind)
Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang
dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran
adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses
sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial
mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi,
pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif.
Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk
memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga
respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran.
3 Op.cit., hlm.68.

5

Melakukan sesuatu berarti member respon terorganisir tertentu, dan
bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa
yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari
konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui
kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan
mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara

pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada
penyelesaian masalah.4
2. Diri (Self)
Pemikiran Mead tentang pikiran, melibatkan gagasannya mengenai
konsep diri. Pada dasarnya diri adalah kemampua untuk menerima diri
sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk
menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni
komunikasi antar manusia. Diri, muncul dan berkembang melalui aktivitas
dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan
diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah
diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak
sosial.
3. Masyarakat (Society)
Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat
(society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan
diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di
4 Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta :
Kencana, 2005), hlm. 280.

6


tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan
tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku”
(me). Menurut pengertian individual ini masyarakat memperngaruhi
mereka, member mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk
mengendalikan mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang
masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.
Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai
sejumlah pemikiran tentang pranata sosial. Secara luas, Mead
mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau
“kebiasaan hidup komunitas”.secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa,
keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan
tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat
respon yang sama di pihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan
pranata”.5
Persepektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah paying persepektif
yang lebih besar lagi, yakni persepektif fenomenologis atau persepektif interpretatif.
Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal
dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau
kejadian-kejadian yang secara sadar kita lami. Fenomenologi melihat objek-objek dan


5 Ibid., hlm. 287-288.

7

peristiwa-peristiwa dari persepektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena
adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu.6
Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,
interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut. Pertama, individu
merespon suatu simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan
sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut
bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak
melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga,
makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Dalam merelevansikan kerangka teori mengenai interaksionisme simbolik pada
kasus sosial yang terjadi di dalam masyarakat, maka berikut pembahasan mengenai
topik yang diambil oleh penulis.
Banyak istilah kata yang digunakan dalam menyebut kain penutup kepala

tersebut, ada yang menyebutnya hijab, kerudung, atau pun jilbab. Dalam bahasa
Inggris, jilbab dikenal dengan sebutan veil, biasa dipakai untuk merujuk pada penutup
tradisional kepala, wajah, atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat ungkapan :
6 Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness Dalam
Komunikasi Antaretnis, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 44.

8

1. Kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala, bahu, dan
kadang-kadang muka
2. Rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita, yang
dipakai untuk memperindah atau melindungi kepala dan wajah
3. a. Bagian tutup kepala biarawati yang melingkari wajah terus ke bawah
sampai menutupi bahu.
b. kehidupan atau sumpah biarawati
4. Secarik tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau
menyembunyikan sesuatu yang da di baliknya, sebuah gorden.7
Dapat disimpulkan bahwa sederet makna yang diterapkan dalam istilah veil
meliputi empat dimensi, yaitu material, ruang, komunikatif, dan religious. Dimensi

material berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab dalam arti bagian dari
pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah atau dalam arti hiasan yang menutup
topi dan menggantung di depan mata. Dalam penggunaan ini, veil tidak saja menutupi
wajah, tapi terus memanjang sampai kepala dan bahu. Dimensi ruang mengartikan
veil sebagai layar yang membagi ruang secara fisik, sedangkan dimensi komunikatif
menekankan pada makna penyembunyian dan ketidaktampakan. Dalam dimensi
religius, bermakna pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual.
Penggunaan jilbab memiliki sejarah yang sangat panjang bagi kehidupan
manusia. Jilbab tidak hanya dikenal pada kalangan umat muslim saja, tetapi ada juga
aturan memakai jilbab atau penutup kepala pada wanita-wanita Nasrani dan Yahudi.
Namun, pada masa dewasa ini jilbab lebih dikenal sebagai simbol dari agama Islam.
7Fadwa El Guindi, Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan
(Jakarta : Serambi, 1999), hlm. 29.

9

Jilbab adalah sebuah benda yang kemunculannya akibat dari dorongan syariat,
artinya munculnya ide budaya materi jilbab adalah berasal dari hukum Allah yang
jelas, telah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti
apa sesuatu itu bisa disebut sebagai jilbab, semuanya tertulis jelas dalam kitab suci

Al-Qur’an, surat An-Nur ayat 23. Dapat ditafsirkan bahwa awalnya jilbab masih
sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang
memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang utuk dilihat oleh orang
lain dan untuk menghindari maksiat bagi yang melihat.
Masyarakat pendukung atau yang menggunakan jilbab pada awalnya masih
memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang jilbab, dan belum terfikirkan
untuk mengubah makna jilbab itu sendiri. Ketika Islam pada abad 9 sampai 12
mengalami perkembangan dan persebaran, sehingga mengalami akulturasi dengan
kebudayaan lainnya, seperti di sebagian negara Timur Tengah berkembang model
jilbab dengan cadar, burqa8, niqab9. Kemudian berkembang pula di Nusantara atau
Melayu pada abad 19 jilbab dalam bentuk selendang yang tidak sepenuhnya menutupi
kepala digunakan oleh kaum wanita yang telah memeluk agama Islam. Hal ini
menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan dalam upaya utuk menafsirkan
jilbab. Faktornya tentu banyak sekali, hal ini bisa terkait dengan kondisi sosial
budaya, lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.
8Burqa adalah

sebuah pakaian yang membungkus seluruh tubuh yang dikenakan oleh
sebagian perempuan Muslim di Afganistan, Pakistan, dan India utara.
9 Niqab adalah sesuatu yang dijadikan penutup muka oleh para wanita. Atau istilah
yang ma'ruf pada dewasa ini adalah cadar.
10

Misalnya, di Jawa pada abad 19 masih sedikit masyarakat yang memakai jilbab
yang sesuai dengan ketentuan dalil, mereka hanya mengenakan sebatas selendang
yang diselampirkan di kepala, beberapa pendapat mengemukakan bahwa hal ini
sebagai dampak pola penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo
sangat toleran dengan budaya lokal sehingga Wali Songo baru menyampaikan
masalah Teologis dan belum sampai pada masalah fiqih tentang pemakaian jilbab,
karena mereka menyadari bahwa hal ini akan mengubah budaya berpakaian
masyarakat Jawa.
Hingga abad-abad selanjutnya, pemahaman manusia atas dalil agama yang
menyebutkan keharusan dalam berjilbab mulai dimaknai sebagai materi yang sakral,
karena ini adalah perintah Allah, dan penggunaan jilbab pada pola pemikiran seperti
ini merupakan penggunaan jilbab masih dalam lingkup simbol kesopanan, karena
mereka yang menggunakan jilbab ingin menutupi aurat mereka, yakni bagian anggota
tubuh dari seorang wanita yang harus disembunyikan dari pandangan masyarakat
umum yang bukan menjadi mahram atau tidak memiliki hubungan darah dengan
wanita pemakai jilbab tersebut. Selain itu, simbol kesopanan ini menggambarkan
akan ketaatan pada perintah Tuhannya yang sudah tercantum di dalam kitab
agamanya.
Kasus penggunaan jilbab di samping menjadi sebuah kesopanan dan ketaatan
pada agama ialah sebagai simbol dari suatu gerakan atau perlawanan.

11

Semisal yang terjadi di Mesir, jilbab kontemporer merepresentasikan sebuah
pergerakan yang telah melewati beberapa kali fase transisi sejak tahun 1970-an, yang
telah menyebar di seluruh wilayah Arab dan belahan dunia yang lain. Rupanya,
pakaian termasuk jilbab telah memainkan sebuah simbol yang sangat penting, peran
ritual dan politik dalam fenomena yang dinamis.10
Pada tahun 1970-an, ketika beberapa wanita muda Mesir memakai jilbab,
pemerintah yang sekularis mulai merasakan ancaman dari militansi Islam dan
mencari berbagai solusi. Pada tahun 1993, menteri pendidikan (Husain Kamal Baha’
al-Din) tampaknya berusaha memerangi aktivisme Islam dengan memberlakukan
beberapa perubahan dalam area pendidikan, seperti transfer atau penurunan pangkat
guru-guru yang berkecenderungan aktivis, revisi kurikulum, dan pembatasan
pemakaian jilbab. Namun, larangan pemakaian jilbab pada universitas-universitas
ditolak oleh pengadilan. Menjelang 1994, usaha untuk membatasi pemakaian jilbab di
sekolah-sekolah hanya bagi siswa yang memperoleh izin dari orang tuanya menerima
kritik tajam. Menteri pendidikan mulai berputar balik, menyerah dengan mengiinkan
gadis-gadis pelajar berjilbab walaupun tanpa kesediaan orang tua. Campur tangan
pemerintah dalam urusan jilbab masih kontroversial di Mesir.
Selanjutnya, selama dekade pertama pergerakan yang terjadi di Mesir, kode
berpakaian untuk wanita dihubungkan dengan tingkat pengetahuan dan bacaan
mengenai Islam, juga sampai pada tahap skala kepemimpinan di kalangan wanita.
10 Fedwa El Guindi, op.cit., hlm. 210.

12

Semakin intensif seorang wanita di perguruan tinggi menutup tubuhnya, yakni
dengan mengenakan jilbab sampai rapat dan panjang, maka semakin “serius” perilaku
publiknya, semakin banyak pula pengetahuannya terhadap sumber-sumber Islam, dan
semakin tinggi skala kepemimpinannya di kalangan wanita. Ia akan memimpin
diskusi-diskusi, seperti di masjid-masjid dan dalam ruang-ruang mahasiswa di selasela kuliah. Namun penghubungan ini kemudian agak pudar ketika gerakan itu telah
menyebar di luar kampus dan jilbab menjadi bagian dari kehidupan normal,
bercampur dengan lingkungan sekuler di Kairo dan kota-kota besar lainnya.11
Lalu di Turki, pada tahun 1970-an terdapat serangkaian upaya untuk
menciptakan “gaya pakaian asli bagi wanita muslim dan untuk melegitimasi pakaian
Islam tradisional”. Wanita turki mulai memakai jubah panjang dan selendang kepala,
aksi ini merupakan akibat dari perpecahan yang terjadi antara sekularis dan pembela
Islam.
Di negara-negara Timur Tengah lainnya, berjilbab bagi wanita perguruan tinggi
yang oleh banyak orang ditolak karena dianggap “iseng” saja, berbalik menjadi
sebuah gerakan sosial dan politik yang kuat dan ulet. Walaupun mungkin dimulai
oleh wanita, tren itu berkembang dan memiliki pesan tegas untuk disampaikan.
Pakaian melembagakan sebuah kode sosial moral dan berfungsi sebagai alat sentral
bagi pesan ini. dalam konteks ini, faktor-faktor lokal, regional, dan global berpadu

11 Ibid., hlm. 233.

13

ketika berjuang untuk meraih kemerdekaan dari kekuasaan kolonial atau
pemerintahan kolonial dan para wanita berjuang untuk emansipasi.
Perlawanan dengan pakaian wanita dan jilbab lainnya terjadi juga di Aljazair.
Aljazair sebagai negara jajahan dari Prancis, rakyatnya yang sebagian besar pemeluk
agama Islam mengadakan perlawanan kepada Prancis. Pada akhir tahun 1980-an,
Prancis melakukan sebuah gerakan yakni gereja dan pastur kulit putih terlibat dalam
kegiatan misionaris yang agresif untuk mencari pengikut baru. Namun, bagaimana
pun hal ini mengalami kegagalan total. Di Aljazair, sebagaimana di kawasan Arab
lainnya, misionaris Kristen tidak mampu menggantikan Islam. Dan di sisi lain
gerakan nasionalis Aljazair mulai terbentuk. Pemerintahan Prancis mulai menyerang
letupan-letupan anti Prancis tersebut, sebagian besar dengan cara membuat patokanpatokan untuk meruntuhkan kebudayaan Aljazair.
Strategi lainnya yang dilakukan oleh Prancis ialah dengan mengadakan
asimilasi kelas atas Aljazair dengan mem-Pranciskan wanita Aljazair. Latarbelakang
melakukan hal tersebut ialah apabila wanita telah tercerabut dari akar budayanya,
maka yang lainnya akan mengikuti. Jilbab menjadi target strategi kolonial untuk
mengontrol dan mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya. Penjajah
tersebut bersikap hormat kepada wanita yang tidak berjilbab di Aljazair. Proses
tersebut diperkuat dengan alasan bahwa aturan-aturan tersebut dibuat untuk
memodernisir Aljazair agar sesuai dengan selera penjajah. Akan tetapi, aljazair
sebagaimana seperti semua nasionalis Arab lainnya memandangnya sebagai taktik

14

untuk menghina akar budaya. Taktik seperti itu membuat orang-orang Arab
menghubungkan proses pelepasan jilbab wanita muslim dengan strategi kolonial
untuk menghina dan menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan
terhadap apa yang dilakukan oleh Prancis dan mereka malah memperkuat jilbab
sebagai bagian dari simbol nasionl dan kultural perjuangan wanita Aljazair, yang
memberikan jilbab vitalitas baru.
Pada masa itu, jilbab merupakan simbol resistensi melawan hukum penjajah
asing, melawan penjajahan kontemporer di tanah Palestina, dan melawan rezim yang
tidak disahkan oleh pemilu, tapi tetap menegaskan tradisi dan identitas Aljazair.
Perjuangan Aljazair masih terus berlangsung, pada tahun 1998 Aljazair masih
membebaskan dirinya dari hukum kolonial Prancis, walaupun telah merdeka sejak
1956. Pada Juli 1998, Aljazair telah menetapkan (kembali) bahasa Arab sebagai
bahasa resmi negara itu.
Isu jilbab di negara Iran juga menuai polemik yang berarti. Pada masa
kepemimpinan Syah Reza pada tahun 196, dalam perjuangan Westernisasinya ia
melarang penggunaan jilbab pada masyarakatnya, dan para polisi menahan wanitawanita yang memakai jilbab dan dengan paksa melepasnya, serta para ulama
dianiaya. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ini mendapat sambutan yang baik
oleh laki-laki dan perempuan dari kelas atas dan mereka yang telah ter-Baratkan,
yang memandangnya dalam istilah liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan
hak-hak wanita. Sejak itulah isu jilbab menajdi luka dalam bagi politik Iran,

15

membangkitkan emosi kuat bagi semua pihak. Isu ini juga menjadi arena utama
konflik antara kekuatan modernitas melawan otentisitas Islam, di mana setiap pihak
telah memproyeksikan visi mereka sendiri akan moralitas.12
Setelah Syah Reza turun tahta pada tahun 1941, kewajiban melepas jilbab tidak
diberlakukan lagi, walaupun kebijakan itu masih utuh di sepanjang era Pahlevi.
Antara tahun 1941 sampai 199, memakai jilbab tidak lagi dianggap melanggar
hukum, tetapi jilbab masih merupakan penghalang untuk meningkatkan karir sosial,
sebuah lambang untuk keterbelakangan dan penanda kelas. Sehelai kain pun yang
menutupi kepala para wanita di Iran dapat menghambat kesempatan untuk maju
dalam bekerja dan bermasyarakat.
Di Indonesia yang juga sebagian besar penduduknya merupakan pemeluk
agama Islam, telah mengalami pula masa-masa pelarangan untuk menegnakan jilbab
bagi kaum wanita, sehingga bagi siapa saja yang melanggar pemerintahan saat itu dan
tetap menggunakan jilbab maka dianggap sebagai aksi perlawanan terhadap
pemerintah. Adalah rezim orde baru pada tahun 1980-an, hampir mustahil
menemukan perempuan yang berjilbab di Indonesia yang bekerja sebagai sekretaris
di perusahaan multinasional, atau instansi pemerintahan lainnya.
Pada era Orde Baru, pemerintah mengeluarkan SK 052/1982 tentang larangan
berjilbab di sekolah dan mengasosiasikan pemakainya sebagai gerakan politik yang

12 Ibid., hlm. 276.

16

menentang rezim.13 Larangan pemakaian jilbab ini juga berlaku bagi pegawai negeri
sipil. Larangan ini membuat ratusan perempuan muslim bernegosiasi, mereka
menggunakan jilbab di rumah, tetapi tidak menggunakannya apabila mereka
beraktivitas di kantor pemerintahan. Bahkan beberapa sekolah dan universitas
mengusulkan agar para pelajar wanita tidak menggunakan jilbab untuk foto di ijazah
dengan alasan agar mudah dalam mencari pekerjaan. Hal ini mengakibatkan
muslimah berjilbab memiliki keterbatasan pada pilihan karir di era Orde Baru.
Dari pembahasan mengenai fenomena penggunaan jilbab yang ternyata
dijadikan sebagai simbol, baik dari kesopanan maupun perlawanan, maka dapat
disimpulkan bahwa jilbab sebagai simbol dalam kesopanan seorang wanita adalah
karena perintah untuk mengenakan jilbab telah jelas tertulis dalam kitab suci AlQur’an sebagai perintah Allah swt. yang wajib untuk dilaksanakan. Simbol jilbab
dalam arti kesopanan berarti seorang wanita yang menggunakan jilbab tealah
menutupi auratnya. Aurat ialah bagian tubuh yang harus dilindungi dan tidak boleh
diperlihatkan secara public oleh seorang wanita tersebut selain kepada keluarga atau
orang yang telah menjadi mahramnya atau memiliki hubungan darah. Serta agar
wanita tersebut mampu menjaga pandangan dan perbuatannya ketika ia mengenakan
jilbab yang menutupi kepalanya, karena jilbab tersebut merupakan suatu benda yang
sakral.

13 http://www.rahima.or.id/, (Diakses pada 02 Januari 2015, pukul 15.59 WIB.)

17

Sedangkan penggunaan jilbab sebagai simbol perlawanan, merujuk pembahasan
dari beberapa negara yang mengalami hal demikian, maka dapat ditarik pula
kesimpulan bahwa kaum berjilbab yang melakukan perlawanan ialah mereka yang
ingin mempertahankan nilai-nilai Islam melawan pemerintahan atau pihak yang
menganut sekularisme dan merasa terancam apabila pemakaian jilbab pada umat
Islam diperbolehkan.
Hal ini berkaitan dengan anggapan dunia Barat atau penganut paham
sekularisme bahwa agama atau tradisi pada agama Islam merupakan agama yang
keras dan kejam, menurut anggapan mereka Islam selalu menggunakan cara
kekerasan dan sama sekali tidak menghormati dan selalu merendahkan kaum wanita.
Akibat dari hal itulah kemudian para pemerintah atau golongan sekularian sangat
menentang dengan keras penggunaan simbol agama Islam seperti jilbab dalam negara
atau pemerintahannya. Dengan demikian, siapa saja yang berani melanggar aturan
larangan pemakaian jilbab tersebut maka dengan terang-terangan mereka menentang
rezim atau pemerintah yang mengeluarkan peraturan itu.
Ketegangan antara negara dan simbol-simbol agama yang terjadi baik di
Indonesia maupun belahan lain di dunia adalah akibat dari pergumulan semangat
sekularisme dan aliran politik yang menggunakan semangat agama, yang kemudian
berujung pada prasangka dan salah pengenalan antara yang religius dan yang politis.

18

Dalam kasus penggunaan jilbab di Indonesia pada masa rezim Orde Baru ialah
korban dari kecurigaan rezim terhadap kelompok Islam Politik. Jilbab oleh Orde Baru
diartikan secara sederhana sebagai representasi kelompok Islam ekstrimis yang bisa
mengganggu keamanan negara. Jilbab bukan lagi dianggap sebagai pilihan religius
individu, tapi sejenis bentuk pemberontakan sehingga setiap muslimah yang
menggunakan jilbab dicurigai ideologinya dan kesetiaannya pada negara. Pada
tingkat ini lah jilbab yang idealnya merupakan sebuah pilihan dan hak individu dalam
mengartikan agamanya kemudian ditarik ke ranah politik oleh Orde Baru.
Jilbab merupakan metafora yang penuh kekuatan, sanggup mengayomi
berbagai makna dan membentuk banyak fungsi. Pemberdayaan jilbab dapat menjadi
sangat kuat sebagaimana pelarangannya. Sementara jilbab tidak diragukan lagi
membatasi sebagian wanita, jilbab juga mengemansipasikan yang lain dengan
melegitimasi kehadiran mereka di tengah kehidupan publik. 14
Tentu saja persepsi mengenai jilbab adalah representasi dari politik yang anti
negara sekuler merupakan tuduhan yang ahistoris dan tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Pada perkembangannya, kita menemui banyak perempuan berjilbab
menempati posisi penting di pemerintahan yang menyokong negara sekuler.
Di Indonesia sendiri, penggunaan jilbab telah mengalami kemajuan yang luar
biasa dengan mengembalikan jilbab sebagai hak muslimah dan tidak

14 Fedwa El-Guindi, op.cit., hlm. 28.

19

mencampuradukannya dengan pandangan politik pengguna walaupun hal ini
memerlukan waktu selama lebih kurang 15 tahun.

Daftar Pustaka
Buku :
El Guindi, Fadwa. Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta :
Serambi. 1999.
Mulyana, Deddy. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2001.

20

Rahardjo, Turnomo. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness Dalam
Komunikasi Antaretnis. Jogjakarta: Pustaka Pelajar 2005.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.
2005.

Sumber Penunjang Lainnya :
http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead. (Diakses pada 02 Januari 2015,
pukul 10.15 WIB).
http://www.rahima.or.id/. (Diakses pada 02 Januari 2015, pukul 15.59 WIB)

21