FAKTOR FAKTOR PENENTU KEJADIAN TUBERKULO

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA PENDERITA ANAK
YANG PERNAH BEROBAT
DI RSUD W.Z YOHANES – KUPANG
Daud Imanuel Sandy Illu1, Intje Picauly2, Ruslan Ramang3
1-3
Program Studi Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
Background:Tuberculosis (TB) is a public health problem that very serious and must be a concern of all
public element in the world. The disease is presumably a number one killer disease among many other
infectious diseases.
Objective: This study aims to know the determinants factors of prevalance pulmonary tuberculosis in
childern patients who had medical treatment in RSUD W.Z. Yohannes - Kupang and analize the determine of
factors.
Methods: The study was observational with cross sectional analytic study. The research was conducted at
the RSUD W.Z. Yohannes - Kupang started from August to November 2012. The sample in this study 50
people taken by purposive sampling from population of 179 people. Computerized data were analyzed using
logistik regression test.
Results: The results showed, anthropometric factors, behavior, lifestyle of parents, the home environment,
nutritional status, and immune status significantly determine of the prevalence of pulmonary TB treatment at
Children's ever take medicine in RSUD W.Z. Yohannes - Kupang. Factor of socio-economic conditions of the

family did not significantly affect the prevalence of pulmonary TB treated at Children's Hospital ever WZ
Yohannes - Kupang. The influence of each individual factor can be seen from the r square index are
anthropometric factor 0,180 (18,0%), the behavior 0,395 (39,5%), the parental lifestyles 0,331 (33,1%),
home environment 0,754 (75,4%), nutritional status 0,478 (47,8%), BCG of immune system 0,173 (17,3%),
and the socio-economic condition 0,039 (3,9%). So, the most determine variable is home environment in
amount of 75,4 %.
Keywords
: Determinants Factors, Pulmonary Tuberculosis.
Bibliography : 66 (2000-2012)
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan salah suatu
masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius
dan wajib menjadi perhatian berbagai elemen
masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini
disinyalir merupakan penyakit pembunuh nomor
satu di antara sekian banyak penyakit-penyakit
infeksi lainnya.
World
Health
Organization

(WHO)
memperkirakan bahwa, hingga saat ini sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis. Menyikapi hal ini,
maka sejak tahun 1993, WHO telah
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia
(global emergency), dan berbagai tindak telah
dilakukan untuk menekan angka kasus ini.
Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak
tahun 2003, diestimasikan masih terdapat sekitar
9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang
meninggal akibat TB di seluruh dunia (World
Health Organization, 2010).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2010 yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan
RI, menyebutkan estimasi kasus baru TB di

Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus/100.000
penduduk/tahun dan pada tahun 2010 turun
menjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun.

Fakta ini sekaligus menempatkan TB sebagai
penyebab kematian utama untuk semua kelompok
umur terbesar kedua yaitu sebesar 7,5% setelah
penyakit stroke, dan merupakan nomor satu
terbesar dalam kelompok penyakit infeksi
(Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),
penyakit TB paru juga merupakan masalah yang
serius. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kasus
TB paru untuk tahun 2006 – 2010 mengalami
fluktuasi di mana pada tahun 2006 terdapat 3.528
kasus TB paru BTA positif, tahun 2007
meningkat menjadi 3.773 kasus, pada tahun 2008
terdapat 3.622 kasus TB paru BTA positif, tahun
2009 menurun menjadi 3006 kasus TB paru BTA
positif, dan tahun 2010 meningkat lagi menjadi
3705 kasus TB paru BTA positif 1.
Laporan
Program
Penanggulangan

Tuberkulosis (P2TB) Dinas Kesehatan Kota
Kupang menegaskan bahwa jumlah kasus TB
paru BTA positif untuk wilayah Kota Kupang
juga fluktuatif selama tahun 2007-2010. Pada

tahun 2007 terdapat 233 kasus, tahun 2008
sebanyak 281 kasus, pada tahun 2009 jumlah
kasus TB paru BTA positif sebesar 228 kasus, dan
pada tahun 2010 jumlah kasus TB paru BTA
positif sebesar 233 kasus. Cakupan penemuan
penderita TB baru atau Case Detection Rate
(CDR) untuk wilayah Kota Kupang selama 20072010, masih di bawah dari target Program
Penanggulangan TB nasional yaitu 70% di mana
pada tahun 2007 angka CDR sebesar 39,2%,
tahun 2008 meningkat menjadi 40,3%, tahun
2009 kembali menurun menjadi 36,9%, dan tahun
2010 meningkat menjadi 65%.
Penularan TB pada anak menggambarkan
transmisi TB yang terus berlangsung di suatu
populasi tertentu. Menurut data Poli DOTS

RSUD W.Z. Yohannes – Kupang, dalam dua
tahun terakhir jumlah penderita TB anak yang
pernah berobat pada rumah sakit dimaksud
berjumlah 179 orang. Persoalan TB pada anak ini
masih amat memerlukan perhatian yang lebih
baik dalam program pengendalian TB. Anak-anak
yang sistem imunnya masih lemah rentan untuk
terjangkit penyakit ini. Selain itu, aksesbilitas
anak-anak untuk bersentuhan dengan lingkungan
yang tidak sehat rentan penularan TB paru cukup
tinggi.
Faktor lingkungan sangat memegang
peranan penting dalam penularan penyakit ini.
Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi
syarat merupakan salah satu faktor utama yang
memberikan pengaruh besar terhadap status
kesehatan buruk bagi penghuninya. Begitu pula
lingkungan sosial ekonomi, seperti pendidikan,
pekerjaan, dan pendapatan yang tidak memenuhi
syarat juga adalah faktor-faktor penentu yang

berpengaruh.
Pada kasus TB Paru, lingkungan rumah
yang lembab, gelap, tidak memiliki ventilasi,
padat penghuni, dan tidak memenuhi syarat
kesehatan lainnya memberikan andil besar bagi
seseorang
terjangkit
Mycobacterium
tuberculosis. Biasanya pencemaran oleh bakteri
ini terjadi pada rumah yang penuh dengan orang,
namun memiliki ventilasi yang buruk. Sejatinya,
syarat fisiologis perumahan sehat bebas TB
adalah mencakup pencahayaan, kelembaban, dan
suhu yang cukup, kepadatan yang standar, jenis
dinding dan lantai yang memenuhi syarat, serta
ventilasi yang memadai. Selain indikatorindikator faktor lingkungan tersebut, faktor
antropometri responden (umur dan jenis kelamin),
gaya hidup dan perilaku yang tidak sehat, status
gizi, serta kondisi sosial ekonomi keluarga juga
turut berperan sebagai faktor-faktor penentu

terjadinya kejadian TB Paru. Selain itu,
pencegahan dengan Imunisasi merupakan
tindakan yang cukup efektif yang dapat membuat
seseorang mempunyai ketahanan tubuh yang
lebih baik, sehingga mampu mempertahankan diri

terhadap penyakit atau masuknya kuman dari luar
termasuk Mycobacterium tuberculosis.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut,
maka peneliti menganggap penting dan telah
melakukan penelitian dengan judul “FaktorFaktor Penentu Kejadian Tuberkulosis Paru pada
Penderita Anak yang Pernah Berobat di RSUD
W.Z Yohanes – Kupang”.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
observasional analitik dengan pendekatan
asosiatif. Rancangan dalam penelitian ini
menggunakan cross sectional study. Penelitian ini
dilaksanakan di RSUD W.Z. Yohanes – Kupang.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan

Agustus – November 2012.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
penderita TB paru anak yang pernah berobat di
RSUD W.Z Yohanes – Kupang dua tahu terakhir
yang berjumlah 179 orang. Sementara itu, sampel
pada penelitian ini adalah sebagian penderita TB
paru anak yang sedang dan atau selesai
melakukan pengobatan di RSUD W.Z. Yohanes –
Kupang Tahun 2012 berdasarkan dara rekam
medik. Sampel yang diambil sebanyak 50 orang
dengan
menggunakan
purposive
technic
sampling.
HASIL DAN BAHASAN
HASIL
Distribusi Penderita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penderita TB anak untuk sub variabel umur paling

banyak berada pada kategori umur > 2 tahun,
yakni sebanyak 36 orang (72,0 %) dan penderita
paling sedikit berada pada kategori umur ≤ 2
tahun yakni sebanyak 14 orang (28,0 %). Dilihat
dari sub variabel jenis kelamin, penderita TB
anak terbanyak adalah laki-laki dengan jumlah 28
orang (56,0%), menyusul perempuan dengan
jumlah 22 orang (44,0%).
Distribusi
responden
berdasarkan
pengetahuan terbanyak berada pada kategori
cukup, yakni 26 orang (52,0 %), sedangkan yang
paling sedikit berada pada kategori baik dengan
jumlah 9 orang (18,0 %). Distribusi responden
berdasarkan sikap terbanyak adalah kategori
cukup, yakni 25 orang (50,0 %), sedangkan yang
paling sedikit berada pada kategori baik dengan
jumlah 11 orang (22,0 %). Sementara itu,
distribusi responden berdasarkan tindakan

terbanyak berada pada kategori cukup, yakni 22
orang (44,0 %), sedangkan yang paling sedikit
berada pada kategori baik dengan jumlah 10
orang (20,0 %).
Dilihat dari variabel gaya hidup orang
tua, berdasarkan ada tidaknya anggota keluarga

perokok dalam rumah, paling banyak adalah
penderita TB Anak yang memiliki keluarga
perokok dalam rumah, yakni sebesar 32 orang
(64,0 %) sedangkan penderita TB Anak yang
tidak memiliki keluarga yang perokok dalam
rumah ada 18 orang (36,0 %). Sementara itu,
hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
penderita TB Anak hanya sedikit yang memliki
keluarga yang terdiagnosa menderita HIV dan
AIDS, yakni sebesar 5 orang (10,0), sementara
paling banyak yakni sebesar 45 orang (90 %)
tidak memiliki keluarga yang terdiagnosa HIV
dan AIDS.

Data penelitian, juga menujukkan bahwa
bahwa paling banyak penderita TB Anak memliki
pencahayaan dalam rumah sebesar 35 lux, yakni
sebesar 7 orang (14,0 %). Dilihat dari sub
variabel ventilasi, nampak bahwa paling banyak
penderita TB Anak memliki ventilasi seluas ≤
10% berbanding dengan luas lantai, yakni sebesar
36 orang (72,0 %). sedangkan, yang paling sedikit
adalah penderita TB Anak yang memiliki
ventilasi seluas > 10% berbanding dengan luas
lantai yakni sebanyak 14 orang (28 %). Dilihat
dari sub variabel suhu, nampak bahwa paling
banyak penderita TB Anak memliki suhu dalam
rumah sebesar < 18°C - > 30°C, yakni 26 orang
(52,0%). Sementara itu, yang paling sedikit
memiliki suhu dalam rumah sebesar 18°C - 30°C
yakni sebanyak 24 orang (48,0%). Dilihat dari
sub variabel kelembaban, terlihat bahwa paling
banyak penderita TB Anak memliki kelembaban
dalam rumah sebesar < 40% dan > 70%, yakni 38
orang (76,0%), sedangkan yang paling sedikit
memiliki kelembaban dalam rumah sebesar 40-70
% yakni sebanyak 12 orang (24,0%). Dilihat dari
sub variabel jenis lantai, terlihat bahwa paling
banyak penderita TB Anak memliki lantai yang
tidak memenuhi syarat, yakni sebesar 35 orang
(70,0%), sedangkan yang paling sedikit memiliki
lantai yang memenuhi syarat yakni sebesar 15
orang (30,0%). Dilihat dari sub variabel jenis
dinding, nampak bahwa paling banyak penderita
TB Anak memliki dinding yang tidak memenuhi
syarat, yakni sebesar 35 orang (70,0 %),
sedangkan yang paling sedikit memiliki dinding
yang memenuhi syarat yakni sebesar 15 orang
(30,0 %). Sementara itu, jika dilihat dari sub
variabel kepadatan hunian terlihat bahwa paling
banyak penderita TB Anak memliki kepadatan
hunian dalam rumah sebesar ≤ 8 m 2, yakni 35
orang (70,0 %), sedangkan yang paling sedikit
memiliki kepadatan hunian dalam rumah sebesar
> 8 m2 yakni sebanyak 15 orang (30,0 %).
Data juga memperlihatkan bahwa pada
variabel status gizi, paling banyak penderita TB
Anak memiliki status gizi sedang, yakni sebesar
24 orang (48,0 %). Sementara itu, yang paling
sedikit adalah penderita TB Anak yang memiliki
status gizi buruk yakni sebanyak 1 orang (2,0 %).

Dilihat dari variabel kondisi sosial
ekonomi keluarga, hasil menujukkan bahwa, pada
sub variabel pekerjaan paling banyak kepala
keluarga penderita TB Anak yang memiliki jenis
pekerjaan sebagai petani/nelayan, yakni sebesar
27 orang (54,0 %), sedangkan yang paling sedikit
memiliki jenis pekerjaan lain-lain yakni sebesar 2
orang (4,0 %). Ditinjau dari sub variabel
pendapatan, terlihat bahwa paling banyak
keluarga penderita TB Anak memliki pendapatan
tertinggi di bawah Rp. 925.000,-, yakni sebesar
27 orang (54,0 %), sedangkan yang paling sedikit
memiliki pendapatan ≥ Rp. 925.000,-, yakni
sebesar 23 orang (46,0 %). Sementara itu, jika
ditinjau dari sub variabel pendidikan, terlihat
bahwa pendidikan tertinggi keluarga terbanyak
adalah tamat SMA dengan jumlah 30 orang (60,0
%) dan tidak ada responden yang ada pada
kategori Tidak Sekolah, Tidak Tamat SD, dan
Tamat SD.
Data juga memperlihatkan bahwa variabel
sistem imunitas yang paling tinggi adalah
responden yang tidak memiliki sistem imunitas
BCG yakni 36 orang (72,0 %) sedangkan yang
memiliki sistem imunitas BCG sebesar 14 orang
(28 %). Dilihat dari variabel kejadian TB anak,
tabel 4.1. memperlihatkan bahwa paling banyak
adalah penderita TB yang ada pada tingkat
keparahan ringan, dengan jumlah 34 orang (68,0
%) dan yang memiliki tingkat keparahan berat
sebanyak 16 orang (32 %).
Hasil Analisis Regresi Logistik Tiap Sub
Variabel
Analisis data hasil penelitian dengan
regresi logistik, memperoleh data tentang
pengaruh setiap sub-variabel/indikator terhadap
tingkat keparahan pada penderita TB Anak yang
pernah berobat di RSUD W.Z. Yohannes Kupang. Hasil analisis tersebut dapat dilihat
dijabarkan dengan rumus prediksi: variabel
antropometri Y = 0,449X1 + 1,755X2 + 2,204,
variabel perilaku Y = 1,967X1 + 1,326X2 +
1,590X2 – 7,241, variabel gaya hidup orang tua Y
= 2,443X1 + 3,620X2 – 8,612, variabel
lingkungan rumah Y = 3,210X1 + 3,904X2 +
3,205X3 + 3,154X4 + 2,399X5 + 2,863X6 +
3,058X7 – 29,407, variabel status gizi Y =
2,525X1 – 9,259, variabel sosial ekonomi
keluarga Y = - 0,322X1 – 0,266X2 + 1,517X3 +
7,733, dan variabel sistem imunitas Y = 2,228X1
– 4,793.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
sub-variabel/indikator
jenis
kelamin,
pengetahuan, sikap, tindakan, kebiasaan merokok,
HIV dan AIDS, pencahayaan, ventilasi, suhu,
kelembaban, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan
hunian, BB/U, pendidikan, dan sistem imunitas
BCG memiliki X2 hitung > X2 tabel dan
signifikansi < 0,05. Hal ini berarti bahan sub-sub

variabel tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat keparahan pada kejadian TB
Paru Anak yang pernah berobat di RSUD W.Z.
Yohannes – Kupang.
Besar pengaruh dari setiap subvariabel/indikator tersebut di atas masing-masing
dapat dilihat dari indeks R Square yakni: jenis
kelamin 0,170 (17,0 %), pengetahuan 0,205 (20,5
%), sikap 0,331 (33,1 %), tindakan 0,202 (20,2
%), kebiasaan merokok 0,165 (16,5 %), HIV dan
AIDS 0,146 (14,6 %), pencahayaan 0,165 (16,5
%), ventilasi 0,173 (17,3 %), suhu 0,247 (24,7
%), kelembaban 0,129 (12,9 %), jenis lantai 0,196
(19,6 %), jenis dinding 0,196 (19,6 %), kepadatan
hunian 0,196 (19,6 %), BB/U 0,478 (47,8 %),
pendidikan 0,181 (18,1 %), dan sistem imunitas
BCG 0,173 (17,3 %). Data tersebut menunjukkan
bahwa sub-variabel yang paling berpengaruh
secara parsial terhadap tingkat keparahan
kejadian TB Paru pada penderita yang pernah
berobat di RSUD W.Z. Yohannes – Kupang
adalah status gizi dengan pengaruh sebesar 47,8
%.
Besar
risiko
masing-masing
subvariabel/indikator tersebut di atas masing-masing
dapat dilihat dari odds ratio berdasarkan Exp (B)
yakni: jenis kelamin 3,122 kali berisiko,
pengetahuan 4,053 kali berisiko, sikap 6,673 kali
berisiko, tindakan 3,693 kali berisiko, kebiasaan
merokok 6,222 kali berisiko, HIV dan AIDS 11
kali berisiko, pencahayaan 6,222 kali berisiko,
ventilasi 9,286 kali berisiko, suhu 7,944 kali
berisiko, kelembaban 7,714 kali berisiko, jenis
lantai 10,5 kali berisiko, jenis dinding 10,5 kali
berisiko, kepadatan hunian 10,5 kali berisiko,
status gizi 12,485 kali berisiko, pendidikan 5,426
kali berisiko, dan sistem imunitas BCG 9,286 kali
berisiko. Data tersebut menunjukkan bahwa
secara parsial sub-variabel yang paling berisiko
yang paling berpengaruh secara parsial terhadap
tingkat keparahan kejadian TB Paru pada
penderita yang pernah berobat di RSUD W.Z.
Yohannes – Kupang adalah status gizi, dengan
risiko sebesar 12,485 kali.
Sub variabel umur, pekerjaan, dan
pendapatan memiliki nilai X2 hitung > X2 tabel
dan signifikansi > 0,05, maka dapat dikatakan
sub-sub variabel tersebut tidak memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap tingkat keparahan pada
kejadian TB Paru Anak yang pernah berobat di
RSUD W.Z. Yohannes – Kupang. Adapun besar
pengaruh masing-masing sub-variabel tersebut
sangat kecil yakni umur 0,003 (0,3 %), pekerjaan
0,000 (0,0 %), dan pendidikan 0,001 (0,1 %).
Penghitungan odd ratio sub-variabel pekerjaan
dan pendidikan menunjukkan OR = 1, yang
artinya sub-variabel tersebut bukan merupakan
risiko terhadap tingkat keparahan TB Paru,
sedangkan sub-variabel umur menunjukkan OR =
0,800 atau < 1, berarti sub-variabel tersebut

bukanlah faktor risiko melainkan faktor protektif
dari tingkat keparahan kejadian TB Paru anak
yang pernah berobat di RSUD W.Z. Yohannes –
Kupang.
Hasil Analisis Regresi Logistik Tiap Variabel
Analisis data hasil penelitian dengan
regresi logistik, memperoleh data tentang
pengaruh setiap variabel tiap variabel terhadap
tingkat keparahan pada penderita TB Anak yang
pernah berobat di RSUD W.Z. Yohannes Kupang. Hasil analisis tersebut dapat dijabarkan
dalam rumus prediksi: Y = (0,449X11 + 1,755X12
+ 2,204) – (1,967X21 + 1,326X22 + 1,590X23 –
7,241) – (2,443X31 + 3,620X32 – 8,612) –
(3,210X41 + 3,904X42 + 3,205X43 + 3,154X44 +
2,399X45 + 2,863X46 + 3,058X47 – 29,407) –
(2,525X51 – 9,259) – (0,322X61 – 0,266X62 +
1,517X63 + 7,733) – (2,228X71 – 4,793).
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
faktor antropometri, perilaku, gaya hidup orang
tua, lingkungan rumah, status gizi, dan status
imunitas memiliki X2 hitung > X2 tabel dan
sigfikansi < 0,05. Hal ini berarti dapat dikatakan
variabel-variabel tersebut berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat keparahan pada
kejadian TB Paru Anak yang pernah berobat di
RSUD W.Z. Yohannes - Kupang.
Besar pengaruh dari setiap variabel
tersebut di atas masing-masing dapat dilihat dari
indeks R Square yakni: antropometri 0,180 (18,0
%), perilaku 0,395 (39,5 %), gaya hidup orang tua
0,331 (33,1 %), lingkungan rumah 0,754 (75,4
%), status gizi 0,478 (47,8 %), dan sistem
imunitas BCG 0,173 (17,3 %). Dengan demikian,
variabel yang paling berpengaruh adalah variabel
lingkungan rumah dengan pengaruh sebesar 75,4
%.
Faktor kondisi sosial ekonomi keluarga
memiliki X2 hitung < X2 tabel, maka dapat
dikatakan variabel tersebut tidak memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap tingkat
keparahan pada kejadian TB Paru Anak yang
pernah berobat di RSUD W.Z. Yohannes Kupang. Adapun besar pengaruh variabel tersebut
adalah 0,039 (3,9 %).
BAHASAN
Antropometri
a) Umur
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
umur tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa penyakit tuberkulosis menyerang pada
semua kelompok umur tidak ada kecuali. Apalagi
anak-anak amat berisiko terkena tuberkulosis. Hal
ini disebabkan sistem imunologi masih rentan

sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai
penyakit, termasuk TB paru2.
Ketidaksejalanan
tersebut
dapat
dijelaskan secara rinci bahwa distribusi umur
pada sampel dalam penelitian ini paling banyak >
2 tahun. Secara teoritik umur paling potensial
seorang anak terkena TB paru dengan risiko
keparahan yang tinggi adalah < 2 tahun.
Sejatinya, anak-anak yang umurnya < 2 tahun
sistem imunnya masih rentan, sedangkan anakanak yang umurnya > 2 tahun secara natural telah
memiliki sistem imun yang baik sehingga sulit
untuk dapat terjangkit tuberkulosis, apalagi
dengan
tingkat
keparahan
yang
tinggi
kemungkinannya sangat kecil3.
Hasil penelitian ini juga tidak sejalan
dengan penelitian sebelumnya4, yang menyatakan
bahwa insiden tertinggi tuberkulosis di Indonesia
lazimnya terjadi pada kelompok usia dewasa
muda. Sekitar 75% dari keseluruhan pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Selain itu,
penelitian kohort sebelumnya 5 juga menyatakan
bahwa terdapat suatu efek dosis respon, yaitu
semakin tua umur akan meningkatkan risiko
menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada
usia 25-34 tahun adalah 1,36 dan odds rasio pada
kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Usia
yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5
kali risiko terinfeksi tuberkulosis, karena adanya
defisit imun seiring dengan bertambahnya umur.
Kedua penelitian berbeda tersebut di atas,
dapat dijelaskan oleh salah satu penelitian yang
selaras dengan penelitian ini, yakni penelitian
sebelumnya6. Penelitian ini mengemukakan
bahwa umur memang merupakan salah satu
faktor terpenting dari host pada suatu kejadian
penyakit. Meski demikian, risiko untuk
mendapatkan tuberkulosis paru dilihat dari aspek
umur dapat dikatakan seperti halnya kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun
karena di atas 2 tahun hingga dewasa memliki
daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan
baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun
kembali ketika seseorang atau kelompok
menjelang usia tua. Infeksi tuberkulosis aktif
meningkat secara bermakna sesuai dengan umur.
b) Jenis Kelamin
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Laki-laki memiliki frekuensi
yang paling banyak, baik dari segi jumlah
penderita secara keseluruhan maupun jumlah
penderita dengan tingkat keparahan paling berat.
Penelitian ini selaras dengan penelitian
sebelumnya5 yang menunjukkan bahwa laki-laki
mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita
tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Hal ini

amat berhubungan erat dengan interaksi sosial
yang tinggi di kalangan anak laki-laki.
Insiden TB paru pada wanita meskipun
lebih rendah daripada pria, perkembangan infeksi
TB paru menjadi penyakit TB paru pada wanita
lebih cepat dibandingkan dengan pria7. Bahkan,
menurut salah satu penelitian yang tidak sejalan
dengan penelitian ini8 hampir tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur
pubertas, mengemukakan bahwa dari catatan
statistik meski tidak selamanya konsisten,
mayoritas penderita tuberkulosis paru adalah
wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan
dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat
behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan
tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk
sementara, diduga jenis kelamin wanita
merupakan faktor risiko yang masih memerlukan
evidence pada masing-masing wilayah, sebagai
dasar pengendalian atau dasar manajemen.
Penelitian berbeda tersebut di atas, dapat
dijelaskan bahwa dilihat dari aspek behavioural
anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih berisiko
terkena TB paru di mana, anak laki-laki memiliki
interaksi sosial yang cukup tinggi. Interaksi sosial
ini akan berdampak pada makin mungkinnya
seorang anak laki-laki tersebut tertular TB paru
dari anak-anak lain di lingkungan aktifitas
interaksinya. Mungkin saja, anak perempuan
memang memiliki aspek tingkat kejiwaan, sistem
pertahanan tubuh, dan tingkat molekuler yang
rendah. Akan tetapi, ketiga faktor tersebut akan
tetap bergantung pada kemungkinan seorang anak
untuk tertular kuman TB Paru dalam aktifitas di
lingkungan sekitarnya, baik itu di rumah maupun
di lingkungan bermainnya. Jika anak perempuan
memiliki aktifitas bermain yang padat seperti
pada anak laki-laki, maka kemungkinan dirinya
untuk tertular kuman TB Paru juga besar, dan
kemungkinan keparahannya juga tinggi.
Perilaku
a) Pengetahuan
Analisis data menunjukkan bahwa
pengetahuan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Penelitian ini sejalan dengan
pendapat,
yang
mengemukakan
bahwa
pengetahuan seseorang sangat mempengaruhi
perilaku individu. Dengan kata lain, semakin
tinggi pengetahuan seseorang tentang kesehatan,
maka semakin tinggi pula kesadarannya untuk
berperan serta dalam kegiatan kesehatan9.
Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat
yang mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan tahap awal bagi seseorang untuk
berbuat sesuatu, sebagaimana dengan unsur-unsur
yang dapat dilihat dari dalam diri seseorang untuk
dapat
berbuat
sesuatu
seperti
keyakinan/kepercayaan,
saran,

dorongan/motivasi. Dengan demikian, penyakit
tuberkulosis banyak terdapat pada golongan
masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang
rendah tentang cara-cara hidup sehat 4.
b) Sikap
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
sikap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat keparahan kejadian tuberkulosis paru pada
anak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian,
yang menyatakan bahwa jika seseorang memiliki
sikap yang baik, kepercayaan, dan keyakinan
terhadap upaya menjaga pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) dan pola pengobatan maka dapat
menurunkan frekuensi TB Paru baik dari segi
frekuensi maupun tingkat keparahannya 11.
Memiliki sikap yang baik adalah akibat
akumulasi pengetahuan dan emosi yang akan
membawa orang tua dari anak berpikir untuk
kesembuhan anaknya ketika menderita TB paru
dan mulai menjalani program pengobatan TB
paru selama 6 bulan secara intensif. Orang tua
lazimnya akan bertindak sendiri sebagai
pengawas minum obat (PMO), dan mulai sadar
untuk menjaga kondisi gizi anak, hygene
perorangan anak, dan sanitasi lingkungan secara
menyeluruh. Meski demikian, sikap bukanlah
pelaksanaan suatu motif tertentu, tetapi
merupakan kesiapan untuk bertindak. Dengan
kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan
9
.
c) Tindakan
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa tindakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat keparahan kejadian
tuberkulosis paru pada anak. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya di atas, bahwa sikap
adalah sebuah kecenderungan untuk bertindak,
sehingga untuk mewujudkannya menjadi tindakan
maka diperlukan adaya fasilitas atau sarana dan
pra sarana9.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian,
yang menyatakan bahwa sikap yang baik,
kepercayaan, dan keyakinan akan berujung pada
tindakan untuk menjaga pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) dan pola pengobatan secara teratur
selama 6 bulan. Jika tindakan ini terus menerus
dijaga, maka dapat menurunkan frekuensi TB
Paru baik dari segi frekuensi maupun tingkat
keparahannya. Selain itu, masalah kesehatan
lainnya pun dapat teratasi12.
Tindakan mengatasi TB Paru adalah
aktualisasi dari kepemilikan sikap yang baik yang
merupakan akumulasi dari pengetahuan dan
emosi yang telah membawa orang tua dari anak
bertindak demi kesembuhan anaknya dengan
menjalani berbagai program termasuk program
pengobatan TB paru selama 6 bulan secara
internsif, kalau perlu orang tua bertindak
langsung sebagai pengawas minum obat (PMO),
dan terus menjaga kondisi gizi anak, hygene

perorangan anak, dan sanitasi lingkungan secara
menyeluruh.
Gaya Hidup Orang Tua
a) Kebiasaan Merokok
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
ada tidaknya keluarga perokok dalam rumah
penderita TB memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Penelitian ini sejalan dengan,
yang mengemukakan bahwa keterpaparan asap
rokok memiliki hubungan dengan peningkatan
resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru,
penyakit jantung koroner, bronchitis kronik,
kanker kandung kemih, serta meningkatkan
resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali 13.
Keterpaparan asap rokok sangat berperan
sebagai salah satu faktor risiko utama penyebab
dan juga merupakan faktor memperparah
penyakit TB Paru. Asap rokok juga berperan
secara langsung maupun tidak langsung terhadap
munculnya kanker paru-paru, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
b) Infeksi HIV dan AIDS
Analisis data menunjukkan bahwa ada
tidaknya keluarga penderita TB anak yang infeksi
HIV dan AIDS memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat keparahan kejadian
tuberkulosis paru pada anak. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian, yang mengemukakan bahwa
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity) sehingga jika terjadi infeksi
oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa jika jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
tuberkulosis paru akan meningkat, dengan
demikian penularan tuberkulosis paru di
masyarakat secara luas akan meningkat pula13.
Anak-anak yang memiliki keluarga yang
telah terdiagnosa HIV juga berisiko terinfeksi
HIV lewat kontaminasi darah, lewat jarum suntik
ataupun transfuse darah. Selain itu, risiko ibu
HIV menularkan ke anaknya juga tinggi. Risiko
ibu yang terinfeksi untuk menularkan HIV ke
bayinya antara 20-40 % baik lewat plasenta
sewaktu dalam kandungan, maupun pada saat
dilakukan proses menyusui.
Anak yang terinfeksi HIV, TB
kemungkinan besar akan mencapai tingkat
keparahan yang berat, di mana TB akan menyebar
ke bagian-bagian lain dari tubuh. Hal ini
kemungkinan besar dapat mengakibatkan
meningitis tuberculosis, tuberculosis millier, dan
pembesaran kelenjar getah bening di seluruh
tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan pada makin
parahnya kondisi anak dan akan berujung pada
kematian5.

Lingkungan Rumah
a) Pencahayaan Alami
Analisis data menunjukkan bahwa
pencahayaan alami dalam rumah memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
keparahan kejadian tuberkulosis paru pada anak.
Pengukuran pencahayaan alami dalam rumah
adalah dengan menggunakan luxmeter, dengan
ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila
intensitasnya < 60 lux dan memenuhi syarat
kesehatan bila intensitas pencahayaan alami
dalam rumah antara 60-120 lux.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung
Kidul yang menunjukan adanya hubungan yang
bermakna antara pencahayaan rumah dengan
kejadian TB paru. Risiko untuk menderita TB
paru 9 kali lebih tinggi pada penduduk yang
tinggal pada rumah yang pencahayaannya tidak
memenuhi syarat kesehatan 12.
b) Luas Ventilasi
Analisis data menunjukkan bahwa luas
ventilasi rumah memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat keparahan kejadian
tuberkulosis paru pada anak. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Sikumana Kota Kupang menunjukan
bahwa bahwa seseorang yang tinggal di rumah
dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat,
mempunyai risiko menderita sakit TB paru 6,296
kali lebih besar daripada seseorang yang tinggal
di rumah dengan luas ventilasi memenuhi syarat
13
.
Kuman TB yang ditularkan melalui
droplet nuclei, dapat melayang di udara karena
memiliki ukuran yang sangat kecil, yaitu sekitar
50 mikron. Apabila ventilasi rumah memenuhi
syarat kesehatan, maka kuman TB dapat terbawa
keluar ruangan rumah, tetapi apabila ventilasinya
buruk maka kuman TB akan tetap ada di dalam
rumah. Ventilasi yang cukup bagi ruangan akan
membebaskan bakteri-bakteri termasuk bakteri
patogen karena melalui ventilasi selalu terjadi
aliran udara terus menerus 14.
c) Suhu
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa suhu dalam rumah memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat keparahan
kejadian tuberkulosis paru pada anak. Suhu udara
dalam penelitian ini adalah suhu dalam ruang
ruang tidur dengan kriteria memenuhi syarat 180C
– 300C dan tidak memenuhi syarat < 180C dan >
300C. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sikumana
Kota Kupang menunjukan bahwa bahwa
seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu
ruang tidur tidak memenuhi syarat, mempunyai
risiko menderita sakit TB paru 2,674 lebih besar

daripada seseorang yang tinggal di rumah dengan
suhu ruang tidur memenuhi syarat 13.
Suhu yang memenuhi syarat merupakan
komponen utama di dalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup secara
sehat. Selain merupakan sesuatu yang alami, suhu
juga
berkaitan
juga
dengan
masalah
keberadaan/posisi fisiologis rumah. Kondisi
rumah yang sehat dan nyaman, baik itu secara
fisiologis maupun psikologis sangat menentukan
derajat kesehatan penghuninya. Untuk itu, suhu
normal dalam rumah harus memenuhi syarat
kesehatan 180C – 300C 4.
d) Kelembaban Udara
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa kelembaban udara dalam rumah memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
keparahan kejadian tuberkulosis paru pada anak.
Pengukuran tingkat kelembaban udara dalam
rumah menggunakan hygrometer. Menurut
indikator pengawasan perumahan, kelembaban
udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam
rumah adalah 40-60 % dan kelembaban udara
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <
40 % atau > 60 %. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Sikumana Kota Kupang menunjukan bahwa
menunjukkan seseorang yang tinggal di rumah
dengan tingkat kelembaban udara tidak
memenuhi syarat, mempunyai risiko menderita
sakit TB paru 4,250 kali lebih besar daripada
seseorang yang tinggal di rumah dengan tingkat
kelembaban udara memenuhi syarat 13. Hal
tersebut dapat dipahami karena kelembaban
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan
berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
spiroket, ricketsia, virus dan mikroorganisme lain
yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara dan dapat menyebabkan terjadinya
infeksi pernapasan pada penghuninya.
e) Lantai Rumah
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis
lantai rumah dalam rumah memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat keparahan
kejadian tuberkulosis paru pada anak. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian di
wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II
Kabupaten Gunung Kidul yang menyatakan
bahwa besarnya risiko penghuni rumah penderita
TB Paru maupun pembanding yang lantai
rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan
mempunyai risiko terkena TB Paru sebesar 3 - 4
kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk
yang tinggal pada rumah yang lantainya
memenuhi syarat kesehatan 12.
Komponen yang harus dipenuhi rumah
sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab.
Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses
kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban

dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, pada musim panas
lantai
menjadi
kering
sehingga
dapat
menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya dan dapat menjadi media penular
kuman TB.
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat
dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan
kuman dan vektor penyakit. Keadaan lantai
rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air seperti tegel, semen, atau keramik.
Lantai rumah yang memenuhi syarat
merupakan salah satu komponen penting di dalam
rumah yang sehat dan sangat diperlukan oleh
manusia untuk dapat hidup secara sehat. Kondisi
rumah yang sehat dan nyaman, baik itu secara
fisiologis maupun psikologis sangat menentukan
derajat kesehatan penghuninya.
f) Jenis Dinding
Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis
dinding rumah memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat keparahan kejadian
tuberkulosis paru pada anak. Hasil penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian oleh penelitian di
wilayah kerja Puskesmas Sikumana yang
menyatakan bahwa besarnya risiko penghuni
rumah penderita TB Paru maupun pembanding
yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat
kesehatan mempunyai risiko terkena TB Paru
sebesar 2,43 kali lebih tinggi jika dibanding pada
penduduk yang tinggal pada rumah yang
dindingnya memenuhi syarat kesehatan 13.
Dinding rumah yang memenuhi syarat
merupakan salah satu komponen penting di dalam
rumah yang sehat dan sangat diperlukan oleh
manusia untuk dapat hidup secara sehat. Kondisi
rumah yang sehat dan nyaman, baik itu secara
fisiologis maupun psikologis sangat menentukan
derajat
kesehatan
penghuninya.
Dinding
berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan
hujan maupun angin serta melindungi dari
pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga
kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa
bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu,
pasangan batu bata atau batu dan sebagainya.
Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling
baik adalah pasangan batu bata atau tembok
(permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap
air sehingga mudah dibersihkan.
g) Kepadatan Hunian
Analisis data menunjukkan bahwa
kepadatan hunian dalam rumah memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
keparahan kejadian tuberkulosis paru pada anak.
Kepadatan hunian rumah merupakan luas lantai
dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota
keluarga penghuni tersebut. Kepadatan penghuni
dikategorikan menjadi memenuhi standar (≥9
m2 /orang) dan kepadatan penghuni yang tidak
memenuhi standar yaitu < 9 m2 /orang 15.

Tingkat Kepadatan hunian dalam rumah
dapat ditentukan dengan membandingkan jumlah
kamar tidur dengan jumlah penghuni rumah.
Rumah dengan kepadatan hunian memenuhi
syarat apabila sleeping density-nya  0,5% dan
dikatakan tidak memenuhi syarat bila sleeping
density-nya < 0,5%.
Status Gizi
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa status gizi pada anak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat keparahan
kejadian tuberkulosis paru pada anak. Terdapat
bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi
daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis.
Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa
maupun pada anak 5. Orang yang menkonsumsi
vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan
mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah
sayuran, buah-buahan, dan berry, secara
signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya
penyakit tuberkulosis 15.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat konsumsi energi dengan
terjadinya penyakit TB Paru. Bermaknanya
hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan
terjadinya penyakit TB Paru, disebabkan tingkat
konsumsi energi yang masih di bawah angka
kecukupan. Hsl ini dikarenakan penderita TB
Paru mempunyai gejala anoreksia atau nafsu
makan yang menurun 12. Keadaan status gizi
dengan terjadinya TB Paru berkaitan erat dan
memiliki hubungan timbal balik. Bermaknanya
hubungan antara status gizi dengan terjadinya TB
Paru disebabkan sebagian besar tingkat konsumsi
energi masih di bawah rata-rata kecukupan
sehingga mengakibatkan status gizi menurun dan
menurunya status gizi disebabkan juga karena
penyakit TB Paru itu sendiri.
Sosial Ekonomi Keluarga
a) Pekerjaan
Hasil analisis menunjukkan bahwa
pekerjaan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Hasil ini bertentangan dengan
pendapat Kenyorini, yang mengemukakan bahwa
jenis pekerjaan seseorang mempengaruhi
terhadap pendapatan keluarga yang akan
mempunyai dampak terhadap pola hidup seharihari di antara konsumsi makanan, pemeliharaan
kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi
terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah) 16.
Analisis data ini bertentangan secara
teoritik, di mana sejatinya jenis pekerjaan turut
menentukan faktor risiko terjadinya penyakit
gangguan pernapasan, termasuk TB. Bila pekerja
bekerja di lingkungan yang berdebu paparan
partikel debu di daerah terpapar akan

mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar
dapat meningkatkan morbiditas, terutama
terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan
umumnya TB paru. Jenis pekerjaan menentukan
faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar
akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang
tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama terjadinya gejala penyakit saluran
pernafasan dan umumnya TB Paru 2.
Pertentangan ini dapat dijelaskan, bahwa
sampel pada penelitian ini adalah anak-anak
sehingga faktor jenis pekerjaan bukan merupakan
faktor utama serta tidak berpengaruh secara
langsung kepada kemungkinan mereka untuk
terinfeksi tuberkulosis. Kepala keluarga dengan
jenis
pekerjaan
tertentu
hanya
dapat
memanipulasi
lingkungan
rumah
dan
memperbaiki status gizi anak agar anak-anak
tersebut
diminimalkan
kemungkinan
terinfeksinya. Sejatinya, yang terpenting dari
kondisi sosial ekonomi keluarga adalah keadaan
di mana seluruh keluarga sadar dan berusaha
untuk menjaga Pola Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).
b) Pendapatan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pendapatan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Hasil ini bertentangan dengan
pendapat Handoko yang mengemukakan bahwa
keluarga yang mempunyai pendapatan di bawah
Upah Minimum Regional akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga
sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan
akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi
di antaranya TB paru. Dalam hal jenis kontruksi
rumah dengan mempunyai pendapatan yang
kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak
memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB
paru 12.
Pendapatan keluarga sejatinya memang
merupakan hal yang sangat penting dalam upaya
pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan
yang cukup maka akan ada kemampuan
menyediakan biaya kesehatan serta mampu
menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan
makanan yang bergizi. Kemiskinan memudahkan
infeksi tuberkulosis berkembang menjadi
penyakit tuberkulosis. Sembilan puluh persen
penderita TB terjadi pada penduduk dengan status
ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada
negara berkembang termasuk Indonesia 14.
Pertentangan ini dapat dijelaskan, bahwa
sampel pada penelitian ini adalah anak-anak

sehingga faktor pendapatan bukan merupakan
faktor utama serta tidak berpengaruh secara
langsung kepada kemungkinan mereka untuk
terinfeksi tuberkulosis. Kepala keluarga dengan
pendapatan besar hanya dapat memiliki
kemampuan untuk memanipulasi lingkungan
rumah menjadi baik dan memperbaiki status gizi
anak agar anak-anak tersebut diminimalkan
kemungkinan terinfeksinya. Sejatinya, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang
terpenting dari kondisi sosial ekonomi keluarga
adalah keadaan di mana seluruh keluarga sadar
dan berusaha untuk menjaga Pola Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS).
c) Tingkat Pendidikan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pendidikan berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat keparahan kejadian tuberkulosis
paru pada anak. Hal ini sejalan dengan pendapat
yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan
seseorang
akan
mempengaruhi
terhadap
pengetahuan seseorang di antaranya mengenai
rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih
dan sehat. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang makin realitas cara berpikirnya serta
makin luas ruang lingkup cara berpikirnya.
Pendidikan
adalah
serangkaian
komunikasi dengan menggunakan media dalam
rangka
memberikan
bantuan
terhadap
pengembangan individu seutuhnya supaya dapat
mengembangkan
potensinya
semaksimal
mungkin. Potensi ini adalah potensi fisik, emosi,
sosial, sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Pendidikan itu dapat berupa pendidikan formal,
informal dan non formal. Tingkat pendidikan
sangat erat kaitannya dengan penggunaan
pelayanan kesehatan, yang berarti mengakibatkan
keadaan kesehatan yang lebih baik 9.
Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi
pada kelompok yang mempunyai pendidikan
yang rendah, di mana kelompok ini lebih banyak
mencari pengobatan tradisional dibandingkan
pelayanan medis 17.
Pendidikan tentang TB paru dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan yang memberi
pengaruh positif dalam penyembuhan. Tingkat
pendidikan yang relatif rendah pada penderita TB
paru menyebabkan keterbatasan informasi tentang
gejala dan pengobatan TB paru. Tingginya
pendidikan
orang
tua
ternyata
dapat
mempermudah pemahaman dalam memaknai
informasi khususnya tentang gizi dan kesehatan,
sehingga orang tua dapat mengatur kebutuhan
gizi keluarganya agar anaknya memiliki status
gizi yang baik yang akan berpengaruh linear
terhadap keberhasilan pengobatan TB paru anak 6.
Status Imunisasi BCG

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa status imunisasi BCG berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat keparahan kejadian
tuberkulosis paru pada anak. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang menyatakan bahwa anak
balita yang tidak imunisasi BCG sangat berperan
terhadap hubungan pemberian imunisasi BCG
dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak
balita. Anak balita yang tidak imunisai BCG
mempunyai
kecenderungan
mengalami
Tuberkulosis Paru sebesar 3,489 kali dibanding
anak balita yang mendapatkan imunisasi BCG.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
imunisasi BCG dapat mengurangi resiko kejadian
tuberkulosis paru pada anak balita 3.
Pencegahan dengan Imunisasi atau
vaksinasi
merupakan
tindakan
yang
mengakibatkan seseorang mempunyai ketahanan
tubuh yang lebih baik, sehingga mampu
mempertahankan diri terhadap penyakit atau
masuknya kuman dari luar. Vaksinasi terhadap
penyakit tuberkulosis adalah vaksinasi Bacillus
Calmette-Guerin (BCG), yang telah diwajibkan di
64 negara dan direkomendasikan di beberapa
negara lainnya. Indonesia telah melaksanakan
vaksinasi BCG sejak tahun 1952 5.
Pemberian imunisasi BCG merupakan
bagian dari faktor imunisasi yang dianalisa untuk
memprediksi kejadian TB paru pada anak.
Pemberian imunisasi BCG dapat melindungi anak
dari meningitis TB dan TB Milier dengan derajat
proteksi sekitar 86%. Pada hal ini menimbulkan
hipotesis bahwa BCG melindungi terhadap
penyebaran bakteri secara hematogen, tetapi tidak
mampu membatasi pertumbuhan fokus yang
terlokalisasi seperti pada TB Paru 3.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penemuan sebelumnya bahwa imunisasi BCG
tidak sepenuhnya melindungi anak dari serangan
Tuberkulosis Paru. Anak balita yang tidak
imunisasi BCG diperoleh dari anak yang
bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan
yang memadai dan orang tua lupa atau tidak
mengetahui informasi tentang imunisasi BCG
terhadap anaknya yang seharusnya diberikan
Imunisasi BCG dalam masa inkubasi (setelah
lahir atau sampai umur 2 bulan). Anak yang telah
diberikan imunisasi BCG (ada jaringan parut atau
scar pada lengan kanan) dan ternyata menderita
Tuberkulosis Paru besar kemungkinan karena
anak telah terinfeksi kuman Tuberkulosis sebelum
diberikan Imunisasi BCG atau anak menderita
Tuberkulosis Paru karena faktor faktor lain yang
tidak diteliti oleh peneliti seperti status gizi, bayi
berat lahir rendah, air susu ibu (ASI), pendidikan
ibu, dan kebiasaan merokok dalam keluarga 18.
Pendapat yang berbeda ini dapat
dijelaskan bahwa imunisasi BCG dilakukan agar
dapat mengurangi resiko kejadian tuberkulosis
paru pada anak, apalagi dengan risiko tingkat

keparahan berat. Pengidentifikasian faktor lain
juga merupakan faktor yang penting.
PENUTUP
SIMPULAN
1. Faktor antropometri, perilaku, gaya hidup
orang tua, lingkungan rumah, status gizi, dan
status imunitas berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat keparahan pada kejadian TB
Paru Anak yang pernah berobat di RSUD
W.Z; Yohannes - Kupang. Faktor kondisi
sosial ekonomi keluarga tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap tingkat keparahan
pada kejadian TB Paru Anak yang pernah
berobat di RSUD W.Z. Yohannes - Kupang.
2. Besar pengaruh dari setiap variabel tersebut di
atas masing-masing dapat dilihat dari indeks
R Square yakni: antropometri 0,180 (18,0 %),
perilaku 0,395 (39,5 %), gaya hidup orang tua
0,331 (33,1 %), lingkungan rumah 0,754 (75,4
%), status gizi 0,478 (47,8 %), sistem imunitas
BCG 0,173 (17,3 %), dan kondisi sosial
ekonomi 0,039 (3,9%).
SARAN
1.
Kepada
masyarakat,
memperhatikan beberapa hal yang paling
penting dalam penanganan penyakit ini
meliputi pengkondisian lingkungan yang
bersih dan sehat, pencukupan gizi keluarga
(makanan bervariasi), menjamin imunisasi
anak, perilaku hidup bersih dan sehat, dan
berbagai indikator lain yang telah dianalisis
dan dijelaskan dalam penelitian ini. Selain itu,
masyarakat yang telah didiagnosa terinfeksi
penyakit TB Paru wajib melakukan
pengobatan rutin dan beratur selama 6 bulan
penuh sehingga penyakit yang diderita dapat
dipastikan sembuh secara total.
2.
Instansi terkait dalam hal ini
dinas kesehatan dan puskesmas sebagai unit
pelaksana teknis, agar dalam upaya
penanggulangan penyakit TB paru selain
dapat mengawal serta mengembangkan
strategi DOTS dan DOTS Plus untuk
menangani permasalahan TB Paru pada
penderita anak. Pemerintah juga diharapkan
dapat bahu membahu membentuk aliansi
stategis antar instansi pemerintah, maupun
dengan pemangku kepentingan lainnnya
sehingga masalah TB Paru dapat diselesaikan
secara menyeluruh dan terpadu. Penemuan
dan pengobatan kasus langsung di lapangan
merupakan cara yang paling efektif dalam
mengatasi persoalan TB Paru di daerah ini.
Program jangka pendek yang ditawarkan
penulis adalah program yang penulis beri
nama
“Program
Penambahan
Tenaga
Penyuluh Kesehatan, Perawat, dan Bidan
Keluarga” seperti yang telah dijelaskan secara

rinci dalam manfaat penelitian. Ketika
program ini telah berjalan dengan baik, maka
beban pasien di Puskesmas dan Rumah Sakit
pasti akan lebih ringan dan selanjutkan dapat
diberlakukan pembebasan biaya pengobatan
secara penuh bagi masyarakat miskin di setiap
Puskesmas dan Rumah Sakit. Jika kondisi ini
terus berlangsung secara stabil, maka dalam
satu dasawarsa ke depan, visi sistem jaminan
kesehatan secara nasional, khusus untuk
pergumulan NTT Sehat dapat terjawab.

13

14

DAFTAR PUSTAKA
1 Dinkes Provinsi NTT. 2007-2011. Profil
Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2006-2010.
Kupang: Dinkes Provinsi NTT.
2 Subaris, Heru.,dkk. 2004. Manajemen
Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Media
Presindo.
3 Wahab, A. 2002. Sistem Imun Imunisasi dan
Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.
4 Soejadi, Tedy Bambang., dkk. 2007. Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Kasus Tuberkulosis Paru. Jurnal Ilmiah
Panmed Vol 2. No 1. Tahun 2007. Medan:
Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik
Kesehatan Depkes Medan.
5 Crofton, John., dkk. 2002. Tuberkulosis
Klinis. Jakarta: Penerbit Widya Medika
6 Karyadi, E. 2003. Aspek Gizi dan Imunitas
pada Penderita Tuberculosis. Jurnal Gizi
Medik Indonesia, No 2 Vol.6.
7 World Health Organization. 2010. Treatment
of tuberculosis Guidelines – Fourth Edition.
Geneva: World Health Organization Press.
8