Analisis Pragmatik Terhadap Novel “100 Kai Naku Koto” Karya Nakamura Kou

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “100 KAI NAKU KOTO”, STUDI
PRAGMATIK DAN SEMIOTIK
2.1

Definisi Novel
Menurut Wicaksono (2014: 71) novel adalah suatu jenis karya sastra yang

berbentuk prosa fiksi dalam ukuran yang panjang dan luas yang di dalamnya
menceritakan konflik-konflik kehidupan manusia yang dapat mengubah nasib
tokohnya. Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih
mendalam dan halus. Selain tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar
ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan
prosa rekaan yang lain.
Menurut Badudu dan Zain dalam Furqonul Aziez dan Abdul Hasim (2010:
2) novel adalah karangan dalam bentuk prosa tentang peristiwa yang menyangkut
kehidupan manusia seperti yang dialami orang dalam kehidupan sehari-hari,
tentang suka-duka, kasih dan benci, tentang watak dan jiwanya, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Putu Wijaya (2001: 39) novel adalah uraian
mendalam tentang satu tema yang diungkapkan lewat cerita.Bukan semata-mata
kisah, tetapi juga perenungan. Sasarannya ialah memberi pengalaman baru kepada

pembaca , baik karena caranya bercerita, daya ungkap dan kemampuannya
membedah, maupun karena sudut pandang yang dipilihnya. Novel mengajak
pembaca untuk sampai pada sikap dan opininya sendiri.Novel juga mengaburkan

14
Universitas Sumatera Utara

batas imajinasi dan pengalaman konkret yang membaurkan antara emosi dan
pikiran.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa novel
adalah suatu karangan prosa fiksi yang panjang, menyangkut tentang
permasalahan kehidupan manusia yang diharapkan pengarang dapat memberikan
manfaat bagi pembaca.
Pada dasarnya, novel banyak memberikan kemanfaatan bagi pembacanya,
baik sebagai sarana hiburan maupun sebagai sarana mendidik, mendidik manusia
agar dapat lebih bermoral dan menghargai manusia, meneladani ajaran-ajaran
agama yang ada di dalamnya serta dapat menyadarkan manusia untuk meneruskan
tradisi luhur bangsa.

2.2


Resensi Novel “100 Kai Naku Koto”
Novel memiliki unsur-unsur pembentuk yang terkandung di dalamnya,

salah satunya adalah unsur intrinsik.Di dalam unsur intrinsik terdapat beberapa
unsur pembentuk seperti tema, alur, latar, penokohan dan sudut pandang.
2.2.1

Tema

Tema dapat disinonimkan dengan ide utama (central idea) dan tujuan
utama (central purpose). Tema merupakan hal penting dalam sebuah cerita.
Suatucerita yang tidak mempunyai tema dikatakan tidak ada gunanya. Meskipun
pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu dapat

15
Universitas Sumatera Utara

disimpulkan dan dirasakan oleh pembaca pada saat membaca cerita (Wicaksono,
2014: 95-96).

Berdasarkan penjelasan tentang definisi tema di atas, tema cerita dalam
novel 100 Kai Naku Koto adalah tentang perjuangan tokoh utama yaitu Fujii
menghadapi peristiwa menyedihkan yang terjadi berulang-ulang pada hidupnya.
Selain perjuangan, dalam novel ini juga diceritakan tentang sosok Fujii yang
memberi inspirasi melalui pengorbanan, sikap tanggung jawab, ketegaran, serta
kasih sayang yang tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada
makhluk hidup lainnya. Walau peristiwa-peristiwa menyedihkan yang dialami
Fujii sempat membuatnya terpuruk namun akhirnya ia berusaha mengikhlaskan
semua dan bangkit kembali menjalani hidupnya.

2.2.2

Alur (Plot)

Sudjiman (1988: 29) menyatakan bahwa alur adalahrangkaian berbagai
peristiwa yang disajikan dalam urutantertentu sehingga membangun tulang
punggung

cerita.


Peristiwa-peristiwa

yang

dipilih

akan

mempengaruhiperkembangan alur. Walau cerita merupakan deretan peristiwa
yang terjadi sesuai dengan urutan waktu secara kronologisdalam sebuah karya
fiksi, urutan peristiwa itu sering disiasatidan dimanipulasikan sehingga menjadi
kompleks.Peristiwayang dikisahkan tak harus urut dari awal sampai akhir,
melainkan dapat dimulai dari titik peristiwa mana saja sesuai dengan keinginan
dan kreativitas pengarang.

16
Universitas Sumatera Utara

Menurut Wicaksono (2014: 162-166) alur atau plot berdasarkan kriteria
urutan waktu dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Alur progresif
Alur progresif atau alur maju dikatakan progresif jika peristiwaperistiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama
diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang kemudian. Pengungkapan cerita
lebih dari sudut peristiwa-peristiwa yang terjadi dari masa kini atau
masa lalu menuju ke masa yangakan datang. Plot progresif biasanya
menunjukkankesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit,
danmudah diikuti.
b. Alur Regresif
Alur tak kronologis disebut sebagai alur sorot balik [flash-back]
atau regresif. Urutan kejadian yang dikisahkan dalamkarya fiksi yang
berplot regresif tidak bersifat kronologis, ceritatidak dimulai dari tahap
awal, melainkan dari tahap tengah ataubahkan tahap akhir, baru
kemudian tahap awal ceritadikisahkan .
c. Alur Campuran
Selain alur sorot balik, ada juga alur campuran.Alurcampuran
adalah alur yang diawali klimaks, kemudian melihat lagi masa lampau
dan dilanjutkan sampai pada penyelesaian.Alur yang diceritakan dari
masa lalu ke masa sekarang kembali lagi ke masa lalu, kemudian ke
masa yang akan datang atausebaliknya. Oleh karena itu,cerita
17

Universitas Sumatera Utara

yangmenggunakan alurini ada bagian yang menceritakan masa lalu
dan masa mendatang.
Berdasarkan uraian di atas, maka alur yang terdapat dalam novel 100 Kai
Naku Koto adalah alur campuran. Karena pada awal cerita dalam novel ini
menceritakan masa kini tokoh Fujii yang sedang menjalani kehidupannya sebagai
pekerja yang mendapat kabar dari ibunya bahwa anjingnya sekarat lalu kemudian
flashback atau mundur ke masa lalu saat ia bersama anjingnya pada masa setelah
lulus sekolah dan kembali lagi ke masa kini menjalani kehidupannya bersama
kekasihnya hingga berlanjut ke peristiwa berikutnya di masa mendatang.

2.2.3

Latar (Setting)

Abrams dalam Wicaksono (2014: 212) menyatakan bahwa latar atau
settingyang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran padapengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan.Setting secara keseluruhan dan individu merupakanelemen

penting dalam menciptakan suasana karyanya.Istilah ini terkadang digunakan
untuk menunjukkan lingkungan atausuasana tertentu yang terlihat dan dapat
diamati dalam karyasastra.
Latar tempat mengacu pada “lokasi” terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam novel. Latar waktu mengarah pada masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam novel, sedangkan latar social mencakup tentang
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
18
Universitas Sumatera Utara

dan bersikap juga termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan(Nurgiyantoro
dalam Wicaksono, 2014: 216).
Pada novel 100 Kai Naku Koto, latar tempat yang terdapat dalam cerita
bervariasi sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi yaitu di parkiran
perpustakaan saat tokoh Fujii bertemu dengan anjingnya Book untuk pertama kali,
di rumah Fujii di kampung halamannya yang berada di Akasaka saat dia
mengurus dan menjenguk Book, di jalan kota dan di pinggiran sungai Ibi saat
Fujii dan Book jalan-jalan, di kamar apartemen Fujii yang ada di Tokyo saat ia
bersama kekasihnya yang bernama Yoshimi berbicara lewat telepon, di tempat
parkir saat ia memperbaiki sepeda motornya untuk dipakai menjenguk Book yang
sakit, di pom bensin saat kegiatan memperbaiki sepeda motor Fujii masih

berlanjut, di pabrik dan kantor tempat Fujii bekerja, di beranda apartemen saat
Fujii membersihkan karburator sepeda motornya bersama Yoshimi kemudian
mengajaknya menikah, di apartemen Fujii saat ia dan Yoshimi latihan menikah, di
restoran pada lantai lima sebuah gedung tua saat mengadakan pertemuan
introspeksi antara Fujii dan Yoshimi, di rumah sakit di Chiba saat Yoshimi
berjuang melawan penyakitnya dan Fujii yang berusaha untuk selalu ada di
sampingnya, di restoran dekat halte bus saat Fujii dan ayah Yoshimi berbicara
mengenai Yoshimi dan penyakit yang dideritanya, di rumah Yoshimi yang
berlantai dua saat Fujii menjenguk Yoshimi, di rumah duka dan tempat Yoshimi
dikremasi, dan yang terakhir di jalanan tanah pinggiran sungai saat Fujii
menguburkan jasad Book.

19
Universitas Sumatera Utara

Latar waktu yang terdapat dalam novel 100 Kai Naku Koto yaitu pada
masa Jepang yang sudah modern. Hal ini bisa dilihat dari percakapan tentang kuda
Thoroughbred, penggunaan CAD, bangunan modern seperti apartemen dan rumah
berlantai dua, transportasi seperti sepeda motor 2 tak yang sudah usang, kereta,
dan mobil Porsche. Peristiwa-peristiwa dalam novel terjadi pada musim semi,

musim dingin, musim panas dan musim gugur di Jepang.
Latar sosial yang digambarkan dalam novel 100 Kai Naku Koto yaitu
kehidupan percintaan sepasang kekasih yang berakhir menyedihkan dalam era
modern masyarakat Jepang yang diisi dengan kasih sayang, perjuangan,
ketegaran, kepedulian, tanggung jawab serta kerja keras. Kemajuan dan
modernisasi Jepang tergambar dalam novel ini dengan adanya transportasi seperti
kereta dan mobil Porsche, teknologi yang digunakan Fujii saat bekerja, bangunan
seperti apartemen dan restoran, serta aktivitas masyarakat Jepang yang sibuk,
bekerja keras dan bertanggung jawab yang tercermin pada tokoh Fujii saat ia tetap
bekerja walau harus merawat Yoshimi yaitu kekasihnya yang sedang sakit.
Dalam novel ini pengarang juga menggambarkan kasih sayang yang tidak
hanya ke sesama manusia tetapi juga kepada hewan yaitu antara Fujii dan Book.

2.2.4

Tokoh dan Penokohan (Perwatakan)

Sudjiman (1988: 16) menyatakanbahwa tokoh adalahindividu rekaan yang
mengalami peristiwa atau perlakuan didalam berbagai peristiwa cerita.Tokoh pada


20
Universitas Sumatera Utara

umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda
yang diinsankan.
Waluyo dalam Wicaksono (2014: 174) berpendapat bahwa penokohan
berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilihtokoh-tokohnya
serta memberi nama tokoh itu. Perwatakan berhubungan dengan karakterisasi atau
bagaimana watak tokoh-tokoh itu, keduanya menyangkut diri tokoh-tokoh
dalamcerita rekaan.
Kesimpulannya adalah tokoh merupakan pelaku cerita, sedangkan
penokohan adalah sifat yang ada di diri para tokoh atau penggambaran tentang
tokoh oleh pengarang yang ditampilkan dalam sebuah karya fiksi.
Dalam sebuah fiksi, tokoh cerita dapat dibedakan dalam beberapa jenis
berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan seperti tokoh utama dan tokoh
tambahan.Menurut Wicaksono (2014: 185) tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.Ia merupakan tokoh
yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian. Penentuan tokoh utama dalam sebuah cerita dapat dilakukan
dengan cara melihat tokoh yang paling terlibat dengan makna atau tema, yang

paling banyak berhubungan dengan tokoh lain dan yang paling hanyak
memerlukan waktu penceritaan.Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun dalam porsi
penceritaan yang relative singkat saja.

21
Universitas Sumatera Utara

Penokohan pada novel 100 Kai Naku Koto adalah sebagai berikut:
1. Fujii yaitu tokoh utama dalam novel 100 Kai Naku Koto yang merupakan
seorang pemuda yang penuh kasih sayang dan kepedulian, pekerja keras,
bertanggung jawab, tegar dan gigih. Kepeduliannya terlihat tidak hanya
pada kekasihnya namun juga kepada hewan peliharaannya. Fujii adalah
sosok yang rela berkorban dan figur yang dapat dijadikan panutan karena
di saat terberatnya walau ia sempat terpuruk dan sedih, ia berusaha sekeras
mungkin untuk bangkit kembali sendirian dan berhasil.
2. Yoshimi merupakan tokoh tambahan yaitu kekasih Fujii. Yoshimi
merupakan sosok wanita yang kuat, mandiri dan pintar. Ia adalah wanita
yang pantas untuk dijadikan panutan. Ia mampu untuk tetap tenang saat ia
mengetahui tentang penyakit yang dideritanya serta menjelaskan tentang
penyakitnya. Saat menjelaskan tentang penyakitnya pada orang lain pun ia
tetap tenang dan tegar, serta saat menjalani pengobatan-pengobatan
menyakitkan ia tidak pernah mengeluh, ia tidak ingin merepotkan orangorang yang disayanginya. Yoshimi adalah wanita yang penuh perencanaan
dalam hidupnya, ia menjalani hidupnya secara teratur. Kepintarannya
terlihat dari caranya mengkalkulasikan suatu hal dengan rumus-rumus
yang rumit.
3. Book merupakan tokoh tambahan yang tidak berwujud manusia melainkan
hewan. Book adalah anjing peliharaan Fujii yang patuh dan mampu
memahami Fujii.

22
Universitas Sumatera Utara

Selain tokoh di atas, dalam novel 100 Kai Naku Koto, terdapat juga tokoh
tambahan lain seperti anak-anak SD yang menemukan Book bersama dengan
Fujii, Kato-san yaitu petugas pom bensin, Orangtua Fujii, Ishiyama-san yaitu
pemilik ruang percobaan, Orangtua Yoshimi dan teman-teman lama Fujii.

2.2.5

Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang merujuk pada cara atau pandangan yang digunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan pelbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
(Abrams dalam Wicaksono, 2014: 241).
Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2009: 256) dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sudut pandang persona ketiga: dia dan sudut pandang persona
pertama: aku. Berikut ini adalah penjelasan tentang sudut pandang tersebut:
1. Sudut Pandang Persona Ketiga: Dia
Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga adalah
penceritaan yang meletakkan posisi pengarang sebagai narator dengan
menyebutkan nama-nama tokoh atau menggunakan kata ganti ia, dia, dan mereka.
Sudut pandang persona ketiga dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu “dia”
mahatahu dan “dia” terbatas, “dia” sebagai pengamat.

23
Universitas Sumatera Utara

2. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Sudut pandang persona pertama “aku” merupakan sudut pandang yang
menempatkan pengarang sebagai “aku” yang ikut dalam cerita. Kata ganti “dia”
pada sudut pandang ini adalah “aku” sang pengarang. Pada sudut pandang ini
kemahatahuan pengarang terbatas. Pengarang sebagai “aku” hanya dapat
mengetahui sebatas apa yang bisa dia lihat, dengar, dan rasakan berdasarkan
rangsangan peristiwa maupun tokoh lain.
Pada novel 100 Kai Naku Koto, Nakamura Kou sebagai pengarang
menggunakan sudut pandang persona pertama karena tokoh utama diceritakan
dengan “aku”.

2.3

Biografi Pengarang
Pengarang novel 100 Kai Naku Koto adalah Nakamura Kou. Nakamura

Kou merupakan penulis novel yang lahir di Prefektur Gifu, Jepang pada tahun
1969. Nakamura memulai debutnya pada tahun 2002 dengan novel yang berjudul
“Rirekisho” dan berhasil memenangkan penghargaan Bunshun.Pada penghargaan
Akutagawa yaitu penghargaan yang diberikan kepada penulis pendatang baru atau
penulis yang belum dikenal dalam dunia penulisan sastra di Jepang, Nakamura
Kou berhasil masuk sebagai nominator dengan novelnya yang berjudul
“Natsuyasumi”.Selain itu novelnya yang berjudul “Guruguru Mawaru Suberidai”
juga mendapatkan penghargaan pada Noma Literary Prize sebagai New Face/
Newcomer pada tahun 2004.
24
Universitas Sumatera Utara

Nakamura Kou juga memiliki karya lain selain novel di atas seperti,
“Zettai, Saikyou no Uta”, “Boku gaSuki na Hito ga Yoku Nemuremasu youni”
dan 100 Kai Naku Koto. Novel 100 Kai Naku Koto merupakan novel yang bergenre drama, romantis, dan fiksi karya Nakamura Kou yang pertama kali terbit di
Jepang pada Oktober 2005 oleh penerbit Shogakukan. Lalu pada bulan juni 2013
novel ini terbit di Indonesia dalam versi terjemahan bahasa Indonesia dengan
judul Crying 100 Times yang diterbitkan oleh penerbit Haru sebagai cetakan
pertama. Novel 100 Kai Naku Koto ini juga diangkat menjadi sebuah film dengan
judul Crying 100 Times: Every Raindrop Falls yang dirilis pada 22 Juni 2013
namun dengan cerita yang berbeda dari novelnya.

2.4

Studi Pragmatik dan Studi Semiotik
Dalam penelitian ini peneliti menggunakanpendekatan pragmatik sastra

untuk menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam cerita novel 100 Kai Naku
Koto, penulis mengambil beberapa cuplikan teks yang memiliki nilai di dalam
cerita novel tersebut.Menurut Endraswara (2003: 115) pragmatik sastra adalah
cabang penelitian yang mengarah ke aspek kegunaan sastra.Penelitian ini muncul
atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang
karya sastra sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya mampu
menjelaskan makna karya sastra dari aspek permukaan saja. Maksudnya, kajian
struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi

25
Universitas Sumatera Utara

makna. Karena itu, muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastra yang
berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca.
Dari teks pragmatik, teks sastra dikatakan berkualitas apabila memenuhi
keinginan pembaca. Betapapun hebatnya sebuah karya sastra, jika tidak dapat
dipahami oleh pembaca boleh dikatakan teks tersebut gagal. Teks sastra tersebut
hanya tergolong black literature (sastra hitam) yang hanya bisa dibaca oleh
pengarangnya. Aspek pragmatik terpenting manakala teks sastra itu mampu
menumbuhkan kesenangan bagi pembaca. Dalam pragmatik sastra pembaca
sangat dominan dalam pemaknaan karya sastra. Untuk mengecek penerapan
penelitian pragmatik adalah manakala titik berat kritik berorientasi pada pembaca.
Dalam hal ini, ia menunjukkan adanya konsep efek komunikasi sastra yang sering
dirumuskan dengan istilah docere
kenikmatan), dan movere

(memberikan ajaran), delectare (memberikan

(menggerakkan pembaca).

Menurut Yudiono (2009: 42) pendekatan pragmatik memandang makna
karya sastra ditentukan oleh publik sebagai pembaca selaku penyambut karya
sastra.Dengan demikian, karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil
atau unggul apabila bermanfaat bagi masyarakat seperti manfaat sebagai media
yang menghibur, menyenangkan, atau mendidik.
Sydney dalam Siswanto (2008: 190) menyatakan bahwa konsep pragmatik
sastra mempunyai fungsi to teach(memberikan ajaran) dan delight (memberikan
kenikmatan). Pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang

26
Universitas Sumatera Utara

menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima,
memahami, dan menghayati karya sastra .
Berkenaan dengan hal itulah Horatius dan Sumardjo dalam Sikki et al
(1998: 323) menyebut sastra itu bersifat duice et utile yang berarti menyenangkan
dan bermanfaat.Dengan demikian, lewat karya sastranya pengarang mempunyai
maksud

atau

tujuan

tertentu

bagi

pembaca,

pendengar,

atau

kepada

masyarakat.Salah satu maksud atau tujuan itu adalah agar penikmat lebih beradab
dan

berbudaya,

luas

pandangannya,

halus

perasaannya

dan

bagus

bahasanya.Tujuan yang bermanfaat bagi pembaca inilah yang dianalisis secara
pragmatik.
Seperti pendapat para ahli di atas, Teeuw dalam Wicaksono (2014: 11)
juga mengemukakan bahwa berdasarkan pendekatan pragmatik, karya sastra
dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, seperti nilai atau
ajaran kepada pembaca.
Pendekatan pragmatik memiliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya
sastra dalam masyarakat, pengembangan, dan penyebarluasannya sehingga
manfaat karya sastra dapat dirasakan.Dengan indikator pembaca dan karya sastra,
tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat bagi pembaca.
Selain pendekatan pragmatik, penulis juga menggunakan teori semiotik
untuk melihat tanda (makna) nilai-nilai dalam novel 100 Kai Naku Koto dan
manfaat novel tersebut bagi para pembaca.Semiotika adalah ilmu tanda, istilah
tersebut berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti „tanda‟.Tanda

27
Universitas Sumatera Utara

terdapat di mana-mana, kata adalahtanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu
lintas, bendera, dan sebagainya.Struktur karya sastra, struktur film, bangunan
ataunyanyian burung juga dapat dianggap sebagai tanda (Aliana et al, 1997: 6).
Menurut Endraswara (2003: 64) semiotik adalah model penelitian sastra
dengan memperhatikan tanda-tanda.Tanda tersebut dianggap mewakili suatu
objek secara representatif. Pradopo dalam Aliana et al (1997: 8) mengemukakan
bahwa studi sastra yang bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis
karyasastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensiapa yang
memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Selanjutnya,dalam tulisan lain
Pradopo juga memberikan penjelasan bahwa karya sastra merupakan struktur
tanda-tanda yang bermakna.Karya sastra itu karya seni yang bermedium
bahasa.Bahasa sebagaibahan sastra sudah merupakan sistem tanda (semiotik)
tingkat pertamadan mempunyai konvensi sendiri yang menyebabkannya
mempunyai arti.Sebagai bahan karya sastra, bahasa disesuaikan dengan
konvensisastra, bahasa menjadi sistem tanda baru, yaitu makna sastra
(significance).Pradopo lebih lanjut menjelaskan bahwa studi sastrayang bersifat
semiotik itu adalah usaha menganalisis karya sastrasebagai suatu sistem tandatanda dan menentukan konvensi apa yangmemungkinkan karya sastra mempunyai
makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau
hubungan antar unsurnya, akan dihasilkan bermacam-macam makna.
Dengan demikian, penulis akan menggunakan kajian semiotik untuk
menjelaskan makna melalui tanda-tanda dalam kutipan teks novel 100 Kai Naku
Koto yang memiliki nilai pragmatik.
28
Universitas Sumatera Utara