Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kawasan Ekowisata Mangrove

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniakan dengan
berbagai kekayaan sumber daya alam dengan jumlah pulau sebanyak
17.508dengan panjang pantai sekitar 81.000 km (Bohari, 2010),sehingga negara
Indonesia memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar.
Ekosistem pesisir laut merupakansumber daya alam yang produktif sebagai
penyedia energi bagi kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem
pesisir dan laut mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan
dan mineral, energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Ekosistem pesisir dan laut
meliputi estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem
pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil (Rudianto, 2014).
Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan
dan lautan yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem
hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung
kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Hutan mangrove mempunyai
peranan penting ditinjau dari sisi ekologis maupun sosial ekonomi. Dari sisi
ekologis hutan mangrove sebagai tempat yang cocok untuk daerah asuhan
(nursery group) berpinjahnya berbagai ikan, udang, mamalia, reptile, insekta dan
habitat alami biota lainnya. Secara fisik hutan mangrove menjadi zona penyangga


Universitas Sumatera Utara

dari instrusi air laut, melindungi pantai dari abrasi air laut serta menyokong
terbentuknya dataran baru. Dari segi ekonomis hutan mangrove berguna sebagai
sumber bahan bakar, bahan bangunan, daerah penangkapan ikan (finishing
ground), sumber bahan pakaian (serat sintesis), bahan mentah kertas, alkohol,
obat-obatan dan produk komersial lainnya(Asyiawati, dkk 2012).
Perkembangan zaman dan pembangunan sedikit banyak membawa
pengaruh pada keadaan hutan mangrove. Tekanan terhadap keberadaan hutan
mangrove sejalan dengan laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang
mengakibatkan kerusakan hutan sehingga penyebaran hutan mangrove semakin
berkurang. Banyak kawasan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi areal
pertambakan, pertanian, industri dan perumahan. Hal tersebut terbukti dengan
semakin berkurangnya jumlah luas hutan mangrove di Indonesia bahkan tak
sedikit wilayah mangrove yang mengalami kerusakan parah.
Anwar (2007) berdasarkan data tahun 1984, Indonesia diyakini masih
memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasarkan
hasil interpetasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta h. Bahkan
berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas mangrove Indonesia dalam kawasan

hutan hanya seluas 3,7 juta ha, itupun sekitar seluas 1,6 juta ha (43,2%)nya dalam
kondisi rusak parah. Di luar kawasan, Indonesia diperkirakan memiliki mangrove
seluas 5,5 juta ha, yang sebanyak 4,8 juta ha (87,3%) dalam kedaan rusak parah.
Kecepatan kerusakan kawasan mangrove selama 16 tahun, dengan demikian
mencapai lebih dari 134.000 ha/th.(Akhbar (2003) dalam Rahman (2013)),
menyatakan dari hasil identifikasi menunjukkan bahwa hutan mangrove di

Universitas Sumatera Utara

Sulawesi Tengah telah mengalami penurunan populasi yang sangat drastis hingga
mencapai angka 51,42% atau 23.685 Ha dari area mangrove seluas 46.000 Ha
tahun 1989,artinya daerah pesisir pantai Sulawesi Tengah yang masih bervegetasi
mangrove hanya tersisa seluas 22.377 Ha atau 48,58%. Selanjutnya disebutkan
bahwa dalam 10 tahun terakhir Provinsi Sulawesi Tengah kehilangan ekosistem
hutan mangrove seluas 2.368,5 Ha/ta.
Kerusakan mangrove juga terjadi di pulau Lombok Budhiman (2001)
menyatakan bahwa hasil pengolahan data Landsat-TM menunjukkan bahwa luas
hutan mangrove di pulau Lombok sebesar 3.426,78 ha dengan tingkat kerusakan
mangrove di kawasan potensi hutan mangrove di pulau Lombok adalah kawasan
mangrove yang rusak sebesar 1.519,85 ha dan rusak berat 906,31 ha. Begitu pula

denganProvinsi Bengkulu, Edi (2011) menyatakan saat ini provinsi Bengkulu
50% hutan bakau atau mangrove telah mengalami kerusakan dengan sebaran
sepanjang 525 km garis pantai Barat Sumatera. Diperkirakan luas hutan bakau
disepanjang pantai barat sekitar 5.250 ha, tersebar dari kabupaten Muko-Muko
sampai Kabupaten Kaur. Hutan Bakau tersebut sebagian telah rusak dan hilang.
Dari data-data tersebut bisa dilihat bagaimana kondisi mangrove Indonesia sangat
memprihatinkan.
Sebagaimana seperti yang tercantum di Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelohan Hidup, maka kita sebagai manusia
seharusnya mampu menjaga kelestarian lingkungan. Namun, akhir-akhir ini
lingkungan menjadi isu yang banyak dibicarakan. Hal ini dikarenakan oleh
tingginya

dampak

aktivitas

manusia

terhadap


lingkungan

yang

dapat

Universitas Sumatera Utara

membahayakan eksistensi lingkungan itu sendiri, terutama aktivitas dalam
halpembangunan. Salah satu kerusakan lingkungan yang paling banyak terjadi
adalah kerusakan pada hutan mangrove. Dalam upaya mengatasi kondisi tersebut
partisipasi masyarakat tentunya akan sangat membantu dalam mengatasi
permasalahan

tersebut.

Berbagai

upaya


dilakukan

Pemerintah

guna

mengembalikan, memperbaiki dan mempertahankan keberadaan hutan mangrove.
Seperti Kurnia (2010) melakukan penelitian terhadap partisipasi masyarakat
dalam merehabalitasi hutan mangrove di kota Probalinggo. Penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa salah satu program pemerintah untuk mengembalikan dan
mempertahankan kelestarian hutan mangrove dengan melakukan rehabilitasi
dengan membangkitkan semangat partisipasi masyarakat di dalam melakukan
penanaman tumbuhan mangrove kembali. Pada penelitian tersebut terdapat
beberapa strategi yang dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki kondisi hutan
mangrove yakni meliputi membangun partisipasi masyarakat, pemfasilitasan
pembibitan dan pembangunan infrastruktur mangrove itu kembali dan masyarakat
tersebut merasakan dampak dari hasil yang dirasakan pasca rehabilitasi cukup
yaitu semakin tinggi antusiasme masyarakat terhadap pelestarian dikarenakan
semakin meningkatnya hasil tangkapan nelayan pantai dengan kembalinya

kelestarian dan fungsi hutan mangrove.
Selain dengan melakukan rehabilitasi mangrove ada cara lain yang dapat
digunakan untuk melestarikan keberadaan hutan mangrove di Indonesia. Salah
satu caranya dengan melakukan pembangunan ekowisata mangrove. Ekowisata
mangrove merupakan jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan melalui

Universitas Sumatera Utara

aktivitas yang berkaitan dengan alam dan lingkungannya sehingga membuat
masyarakat tergugah untuk mencintai alam dan semuanya sering disebut dengan
back to nature (Arismayanti, 2015).

Nama Ekowisata
Kawasan Ekowisata
Mangrove Muara
Angke

Kawasan Ekowisata
Mangrove Wonorejo


Kawasan Ekowisata
Mangrove Surabaya

Kawasan Ekowisata
Mangrove Nusa
Kambangan
Kawasan Ekowisata
Berbas, Kalimantan
Timur

Kawasan Ekowisata
Mangrove Bedul,
Banyuwangi

Kawasan Ekowisata
Sei Carang Tanjung
Pinang, Riau
Kepulauan

Tabel 1.1

Berbagai Ekowisata di Indonesia Berbasis Hutan Mangrove
Karakteristik
Kawasan di utara Jakarta ini cukup unik. Di tengah hiruk pikuk modernitas kota
Jakarta, terdapat kawasan alami dengan hamparan mangrove di kawasan pantai kota.
Di kawasan ini hidup beragam hewan khas habitat payau termasuk hewan langka
macam elang bondol khas Jakarta. Anda bisa memilih menyusuri kawasan
mangrove melalui sungai ciliwung atau dari darat. Masing-masing cara memiliki
pesona yang berbeda.
Kawasan ini berlokasi pada garis pantai Rungkut Surabaya, kawasan ini lebih
menjadi kawasan penelitian, pengembangan komoditas komersial dan konservasi.
Pada kawasan ini bisa terdapat beberapa kawasan penangkaran ikan payau
komersial dan juga kawasan pelestarian sekitar 25 species burung yang berhabitat di
kawasan ini.
Kawasan ini berlokasi di Surabaya. Kawasan mangrove tumbuh mulai dari kawasan
sungai di gunung Anyar hingga ke bantaran muara sungai Kebong. Pada ekowisata
ini, kita bisa akan sungai Kebong dari gunung Anyar untuk menikmati pesona
mangrove di sepanjang jalur hingga muara. Ekowisata yang baru berdiri pada tahun
2010 ini saat ini menjadi salah satu pusat konservasi burung kuntul di Indonesia.
Pada sisi selatan dari garis pantai kawasan pulau Nusa Kambangan tumbuh kawasan
mangrove yang cukup luas. Pada beberapa tahun berlakangan ini, kawasan

mangrove ini mendapatkan eksploitasi sebagai kawasan wisata dengan dibangunnya
jalur setapak dan dermaga pancing. Keberadaan garis hutan mangrove jelas sangat
membantu dalam menjaga pantai dari gerusan ombak lautan hindia yang besar.
Kawasan mangrove ini berada di Berbas Kalimantan Timur. Dikawasan yang baru
mulai menjadi kawasan wisata pada tahun 2011 ini, sudah mulai muncul kawasan
villa, dermaga modern dan tentu saja jalur setapak. Saat ini aktivitas wisata utama
yang sudah berjalan adalah penelitian dan edukasi.
Kawasan wisata dalam taman nasional Alas Purwo ini memang menjadi salah satu
titik hutan mangrove ternama di dunia. Kawasan mangrove pada taman nasional ini
mencapai 2300 hektar dengan kesuburan mangrove yang sangat tinggi. Di kawasan
ini hidup ikan Bedul yang khas air payau yang menjadi ikon dari lokasi ini. Selain
ikan bedul juga terdapat beragam biota lain seperti elang jawa, biawak dan kera
bakau.
Kawasan ini tidak terlalu jauh dari pusat kota. Sebuah kawasan dengan hamparan
mangrove di atas kawasan perairan muara sungai Sei Carang. Kawasan ini sangat
cantik dengan adanya jalur setapak berupa jembatan kayu yang membelah seluruh
pelosok dari hutan mangrove. Kawasan ini unik karena seluruh permukaan hutan
berada di atas air, itu sebabnya jalur setapak dibuat dalam bentuk jembatan.

Universitas Sumatera Utara


Sumber:

Yudho.2015.http://www.agroraya.com/pemanfaatan-hutanmangrove-sebagai-kawasan-wisata

Ekowisata dapat menjadi sumber daya alam yang dapat memberi
keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta
kemampuannya memelihara alam. Pembangunan ekowisata mangrove di
Indonesia sudah cukup banyak di antaranya seperti tabel di atas.
Beranjak dari uraian tersebut menunjukkan Sumatera Utara juga memiliki
luas hutan mangrove sekitar ± 200.000 ha namun hasil penelitian Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara menyebutkan bahwa 90% hutan
mangrove di provinsi Sumatera Utara, mengalami kerusakan cukup parah.
Penyebabnya, antara alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit,
tambak baik ikan, maupun udang dan lain-lain. Alih fungsi menjadi perkebunan
sawit, mencapai lebih 12 ribu hektar, tambak ikan 10 ribu hektar lebih serta
penebangan Mangrove secara liar dan berlebihan (Hafni, 2016).
Rusaknya ekosistem mangrove berdampak langsung pada kehidupan
masyarakat pesisir. Seperti misalnya kerusakan mangrove di Secanggang,
menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang

paling terkena dampaknya adalah nelayan. Selain itu, sekitar 85,4% masyarakat
pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha danmendapatkan pekerjaan
dibandingkan sebelum kerusakan mangrove. Begitu juga kerusakan yang terjadi di
desa Nagalawan yang tidak jauh berbeda dengan Secanggang. Mereka bahkan
merasakan dampaknya secara langsung bilamana terjadi angin kencang yang
langsung bergerak ke rumah penduduk. Hasil tangkapan juga menurun dan
mereka harus melaut lebih jauh menuju ke tengah laut akibat rusaknya mangrove.

Universitas Sumatera Utara

Mereka bahkan tidak dapat lagi menemukan kepiting bakau yang hidup dan
berkembang biak di hutan-hutan bakau. Dalam kekrisisan itu mereka menemukan
cara untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan melakukan pengembangan
ekowisata mangrove dengan melibatkan masyarakat setempat merupakan program
sustainability development dimana masyarakat dapat terus merasakan manfaatnya
selama mangrove dikelola dengan manajemen yang baik.
Pengelolaan desa wisata mangrove melibatkan masyarakat setempat
sebagai pengelola. Mangrove yang dikelola masyarakat merupakan mangrove
yang mereka tanam sendiri secara swadaya. Awalnya, kondisi ekosistem
mangrove di desa Sei Nagalawan telah mencapai tahap kritis, namun berkat
kesadaran mereka akan pentingnya melestarikan lingkungan, lahan tersebut
ditanami kembali dan kini mereka merasakan manfaatnya. Mangrove telah
menjadi salah satu sumber pendapatan mereka (Tribowo, 2015). Keberhasilan
masyarakat desa Sei Nagalawan dalam pengelolaan desa wisata mangrove
menarik dikarenakan masyarakat terlibat menjadi subjek bukan sekedar objek
dalam pembangunan desa wisata di daerah tersebut. Hal tersebut juga dialami oleh
masyarakat pesisir di Kelurahan Sicanang.
Kelurahan Belawan Sicanang KecamatanMedan Belawan Kota Medan
merupakan Kelurahan dengan wilayah terbesar di Kota Medan yang mencapai
1.510 ha dan memiliki hutan bakau seluassekitar 575 hadengan mata pencarian
utama masyarakat adalah buruh harian lepas, nelayan laut, petambak, pedagang
dan lainnya. Jumlah penduduk Kelurahan Belawan Sicanang sebanyak 16808
jiwa yang terdiri dari 8.599 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 8.209 berjenis

Universitas Sumatera Utara

kelamin perempuan. Sementara jumlah kepala keluarga sebanyak 3.993 KK yang
tersebar di 20 lingkungan (setingkat RW). Sebagian besar penduduk usia
produktif adalah pengangguran dan mata pencarian utama masyarakat adalah
buruh harian lepas,(2.122 jiwa) nelayan/petani tambak/perikanan (694 jiwa) dan
pedagang (216 jiwa). Dari luasnya kelurahan Sicanang Belawan, lingkungan XI
memiliki potensi sumber mangrove yang dijadikan sebagai ekowisata. Dengan
jumlah penduduk sebanyak 1.160 jiwa yang terdiri dari 582 jiwa berjenis kelamin
laki-laki dan 578 jiwa berjenis kelamin perempuan dengan mayoritas pekerjaan
sebagai nelayan dan buruh harian lepas).(Profil Kelurahan Belawan Sicanang :
2013)
Dari data tersebut kita bisa melihat bahwa dengan potensi jumlah
penduduk yang tergolong tinggi diiringi dengan potensi sumber daya mangrove
membuka peluang bagi masyarakat pesisir di kelurahan Sicanang untuk dapat
melestarikan potensi ekowisata mangrove yang ada di Sicanang. Selain itu juga
membuka peluang bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan penghasilan
tambahan dari keberadaan ekowisata mangrove yang ada di kelurahan Sicanang.
Pembangunan ekowisata mangrove di lingkungan XI kelurahan Sicanang
tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat setempat. Hal tersebut terbukti
berdasarkan hasil pra observasi di lingkungan XI kelurahan Sicanang bahwasanya
telah berdiri ekowisata mangrove pada tahun 2015 dengan berbagai proses yang
dilalui oleh masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat di lingkungan XI
kelurahan Sicanang dalam setahun ini cukup signifikan. Berawal dari 5 orang
yang kini membentuk kelompok dengan beranggotakan 30 orang menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

adanya

kemajuan

dari

partisipasi

masyarakat

setempat.

Bermula

dari

pembangunan jalan untuk melalui hutan mangrove tersebut, masyarakat
menggunakan bambu-bambu hasil dari pekarangan rumah masyarakat itu sendiri
sampai dengan terbentuknya rumah-rumah pohon sebagai daya tarik tempat
perteduhan di kawasan ekowisata tersebut. Bangunan rumah-rumah pohon itu
juga berasal dari partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan kayu-kayu yang
ada di sekitar kelurahan Sicanang.
Seperti hasil dari profil desa bahwa kelurahan Sicanang didominasi oleh
jumlah penduduk yang tidak memiliki pekerjaan dan buruh harian lepas. Hal
tersebut juga tidak terlepas dari kurangnya pendidikan masyarakat pesisir yang
membuat masyarakat pesisir rentan dan identik dengan kemiskinan. Generasi
pemuda juga yang kerap mudah jatuh ke dalam pergaulan yang salah juga di
alami masyarakat di Kelurahan Sicanang. Seperti informasi yang menyatakan
bahwasanya dari dulu citra akan Kelurahan Sicanang relatif buruk dengan
banyaknya tempat prostitusi dan pemuda-pemuda yang tak lepas dari narkoba
menjadikan kelurahan Sicanang kurang diminati oleh masyarakat lainnya,
sehingga untuk membangun ekowisata mangrove tersebut juga awalnya
masyarakat ragu akan keberhasilannya. Namun dengan pendekatan kekeluargaan
yang cukup baik pemuda setempat juga dapat dirangkul dan malah ikut
berpartipasi terhadap pembangunan kawasan ekowisata mangrove tersebut.
Pembangunan kawasan ekowisata mangrove di kelurahan Sicanang hasil
dari kemampuan, kemauan yang lahir dari masyarakat itu sendiri dan belum
mendapat campur tangan dari pemerintah, sehingga partisipasi masyarakat di

Universitas Sumatera Utara

lingkungan XI Kelurahan Sicanang disebut sebagai partisipasi berbasis swadaya.
Swadaya masyarakat merupakan kemampuan dari masyarakat itu sendiri dalam
mengelola sumber daya alam yang ada di desanya Widiyahseno (dalamSuprapti
2014). Dengan mengembangkan potensi swadaya masyarakat, maka akan
mengurangi masalah-masalah yang ada. Kemampuan atau potensi yang dimiliki
masyarakat dapat memperkuat, mengembangkan, dan mengelola segala sumber
daya alam yang ada. Swadaya masyarakat bukan saja modal untuk suksesnya
pembangunan, tetapi potensinya juga sangat besar. Dalam hal ini, masyarakat
diberi kewenangan untuk mengurus dan mengelola sumber daya di daerahnya,
sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi agar desa semakin maju dan berkembang.
Untuk mengembangkan swadaya masyarakat maka dibutuhkan partisipasi
masyarakat itu sendiri dalam pembangunan.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan urainan pada latar belakang yang telah di paparkan, maka
peneliti tertarik untuk melakukan kajian yang terkait dengan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove, sebagaimana kita
ketahui bahwa masyarakat merupakan agen penting dalam melaksanakan sebuah
pembangunan. Dengan mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya banyak
masyarakat yang bergerak jika adanya stimulus dari Pemerintah. Stimulus ini
berperan untuk menggerakkan masyarakat agar mau berupaya untuk aktif dan
berperan sebagai masyarakat yang berdaya. Beranjak dari kondisi tersebut
penelitian ini juga hendak melihat bagaimana masyarakat turut berperan aktif

Universitas Sumatera Utara

dalam menggerakan pembangunan yang berbasis partisipasi. Oleh sebab itu
permasalahan yang akan diangkat pada penelitian ini adalah :
1. Mengukur tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan kawasan
ekowisata mangrove di kelurahan Belawan Sicanang di mulai dari tahap
perencanaan,

pelaksanaan,

penerimaan

dan

pemanfaatan

hasil,

pengawasan dan penilaian hasil beserta faktor-faktor pendorong
partisipasi tersebut?
2. Bagaimana keberhasilan dan kekurangan pengelolaan ekowisata sebagai
proses pemberdayaan masyarakat?

1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi tujuan ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kawasan ekowisata mangrove di kelurahan Belawan Sicanang dimulai
dari perencanaan, pelaksanaan, penerimaan dan pemanfaatan hasil,
pengawasan dan penilaian hasil beserta faktor-faktor pendorong
partisipasi masyarakat.
2. Untuk mengetahui keberhasilan dan kekurangan pengelolaan ekowisata
sebagai proses pemberdayaan masyarakat.

1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis

Universitas Sumatera Utara

Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman bagi Ilmu Sosiologi khususnya Sosiologi
Lingkungan dan Institusi Sosial untuk pengembangan Ilmu Sosiologi.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah rujukan bagi mahasiswa
mengenai penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi sebagai
bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan khususnya terkait dengan
kebijakan pelestarian Hutan Mangrove.

1.5.Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan atau saran mengenai karakteristik atau sifat-sifat
fakta yang dapat terjadi yang dianggap sebagai suatu permulaan dalam
penyelidikan ilmiah (Cramer dan Howit dalam Suwarno (2017)). Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam suatu penelitian harus diuji.
Oleh karena itu, perumusan hipotesa yang baik adalah hipotesa yang dapat diuji
kebenarannya atau ketidakbenarannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
hipotesa yang dapat dibuat dalam penelitian ini adalah:
H0 : Tidak terdapat hubungan tingkat partisipasi masyarakat terhadap
pembangunan kawasan ekowisata mangrove di Kelurahan Sicanang.
Ha : Terdapat

hubungan

tingkat

partisipasi

masyarakat

terhadap

pembangunan kawasan ekowisata mangrove di Kelurahan Sicanang.

Universitas Sumatera Utara

1.5.1. Hipotesis Kriteria Uji Perbedaan Partisipasi Berdasarkan Kelompok
Populasi dengan Uji Kruskall Wallis
1.5.2.1. Perbedaan Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Jarak Tempat
Tinggal Responden Dengan Lokasi Kawasan Ekowisata Mangrove Dalam
Pembangunan.
H0 : Tidak terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan jarak
tempat tinggal dengan lokasi kawasan ekowisata mangrove dalam
pembangunan.
Ha : Terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan jarak tempat
tinggal dengan lokasi kawasan ekowisata mangrove dalam
pembangunan.
1.5.2.2.Perbedaan Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Dalam Status
Pendidikan Responden
H0 : Tidak terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan status
pendidikan dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove.
Ha : Terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan status
pendidikan dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove.
1.5.2.3.Perbedaan Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Dalam Status
Pekerjaan Responden

Universitas Sumatera Utara

H0 : Tidak terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan status
pekerjaan dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove.
Ha : Terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan status
pekerjaan dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove
1.5.2.4.Perbedaan Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Kelompok Umur
Responden
H0

: Tidak terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan
kelompok

umur

responden

terhadap

pembangunan

kawasan

ekowisata mangrove.
Ha : Terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan kelompok
umur responden terhadap pembangunan

kawasan ekowisata

mangrove.
1.5.2. Hipotesis Kriteria Uji Perbedaan Partisipasi Berdasarkan Kelompok Jenis
Kelamin dengan Uji T-Test
H0 : Tidak terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan jenis
kelamin dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove.
Ha : Terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan jenis kelamin
dalam pembangunan kawasan ekowisata mangrove.
1.5.2.1.Hipotesis Kriteria Uji Perbedaan Pandangan terhadap Pembangunan
Berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin dengan Uji T-Test

Universitas Sumatera Utara

H0

: Tidak terdapat perbedaan pandangan masyarakat terhadap
pembangunan ekowisata berdasarkan jenis kelamin.

Ha : Terdapat perbedaan pandangan masyarakat terhadap pembangunan
ekowisata berdasarkan jenis kelamin.
1.6.Kerangka Pemikiran
Variabel Bebas (X)
PARTISIPASI
PARTISIPASI
P
e
n
g
e
t
a
h
u
a
n
S
i
k
a
p

P
e
r
i
l
a
k
u

Keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan

Keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan

Keterlibatan masyarakat dalam
penerimaan dan pemanfaatan
hasil

Keterlibatan masyarakat dalam
pengawasan dan penilaian hasil

Variabel Terikat (Y)
PEMBANGUNAN
PEMBANGUNAN
EKOWISATA
EKOWISATA

Marginal Lahan (aksesbilitas,
topografi, kemiringan tanah)

Ketersediaan Sumber Daya

Faktor Keamanan

Konflik Kepentingan

1.7.Definisi Konsep

Universitas Sumatera Utara

Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi abstrak
mengenai gejala, realita atau suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan
suatu gejala. Di samping mempermudah dan memfokuskan penelitian, konsep
juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti untuk menindaklanjuti penelitian
tersebut serta menghindari timbulnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran
dalam penelitian. Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep
yang terdapat dalam penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang
dipakai sebagai berikut:
1.Partisipasi, yaitu peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat
dalam proses pembangunan dalam bentuk pernyataan maupun dalam
bentuk kegiatan dengan memberikan masukan berupa pikiran, tenaga,
waktu, keahlian, modal atau materi, serta ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi (Cohen dan Uphoff
(1977) dalamNugroho (2015)) dalam penelitian ini memiliki beberapa
indikator dengan makna sebagai berikut :
a.

Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan merupakan tahap dimana
masyarakat ikut dilibatkan dalam suatu perencanaan suatu program.

b.

Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan merupakan suatu tahap
dimana masyarakat ikut dalam pelaksanaan suatu program.

c.

Keterlibatan masyarakat dalam penerimaan dan pemanfaatan hasil
yaitu : tahap dimana masyarakat ikut merasakan manfaat dari adanya
pembangunan atau suatu program.

Universitas Sumatera Utara

d.

Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan penilaian hasil yaitu :
dimana masyarakat merasakan kekuasaan dimiliki oleh masyarakat
dalam

hal

mengawasi

dan

memberi

penilaian

untuk

hasil

pembangunan yang dibangun bersama oleh masyarakat lainnya.
Semua keterlibatan partisipasi masyarakat diatas, semua dibingkai dalam
kerangka pengetahuan, sikap dan perilaku. Notoadmodjo (dalam Putra
2017)
a. Pengetahuan, yaitu hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris
khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
terbuka.
b. Sikap, yaitu respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek, baik yang bersifat internal maupun eksternal sehingga
manifesnya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut.
c. Perilaku, yaitu hasil dari pengalaman dan proses interaksi dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan sehingga diperoleh keadaan yang seimbang antara kekuatan
pendorong dan kekuatan penahan.
2.

Pembangunan Ekowisata, yaitu Pembangunan suatu bentuk wisata yang
dikelola dengan pendekatan konservasi dengan konsep pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi

Universitas Sumatera Utara

masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberi manfaat ekonomi
kepada masyarakat setempat.(Dokumen pengembangan Wisata Tahura
2013)dalamSumaraw (2016) Pembangunan ekowisata memiliki indikator
yang menjadi landasan dibangunnya suatu ekowisata antara lain meliputi :
a.

Marginal lahan yang meliputi aksesbilitas dan topografi. Dimana
aksesbilitas yaitu, derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap
suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Kemudahan akses
tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan
dan fasilitas umum.
Penggunaan lahan kawasan perencanaan merupakan pencerminan dari
hubungan antara alam/lahan dengan manusia dan kegiatannya.
Apabila jumlah manusia sangat kecil dibanding dengan luas wilayah,
maka dapat diartikan penggunaan lahan belum banyak bervariasi
sesuai dengan jenis kegiatan yang dilakukan. Pola penggunaan lahan
di kawasan perencanaan pada saat ini terdiri penggunaan lahan di
Kelurahan Belawan Sicanang berupa pemukiman, fasilitas pendidikan,
kesehatan, peribadatan, tambak dan mangrove dengan luasan
keseluruhan 1.510 Ha.
Penggunaan lahan di wilayah ekowisata mangrove seluas ± 575 Ha,
terdiri dari jenis penggunaan lahan perencanaan hutan mangrove
dengan luas 300 Ha atau 52,17 % dari total wilayah perencanaan
hutan mangrove sicanang, dan kawasan budidaya sebesar 275 Ha atau
47,82 % dari wilayah perencanaan mangrove sicanang. Aksesbilitas

Universitas Sumatera Utara

menjadi salah satu indikator dalam pembangunan ekowisata
dikarenakan dalam pembangunan suatu wisata tentu jalan, fasilitas
dan akses ke lokasi menjadi salah satu bagian yang sangat perlu di
perhitungkan sedangkan Topografi, yaitu kajian atau penguraian yang
terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah. Hal ini
berguna untuk mengetahui bagaimana posisi permukaan bumi pada
daerah wisata yang akan di bangun. Seperti di Kecamatan Medan
Belawan berada pada ketinggian 0 sampai 5m di atas permukaan laut.
Bentuk topografi wilayah Kecamatan Medan Belawan pada umumnya
merupakan daerah dataran, adapun yang bergelombang hanyalah
sebagian kecil saja. Dalam hal ini wilayah yang agak bergelombang
terdapat pada lahan yang memiliki sebagian tambak perikanan dan
sebagian pada lahan hutan mangrove serta rawa-rawa.
b.

Ketersedian Sumber Daya, yaitu segala sesuatu yang berasal dari alam
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Indikator ini melihat ketersediaan sumber daya mangrove yang ada
dilokasi yang bisa dijadikan ekowisata.

c.

Faktor Keamanan, yaitu sejauh mana lokasi tersebut terokulasi oleh
masyarakat maupun pihak lain.

d.

Konflik Kepentingan, yaitu sejauh mana lokasi tersebut sesuai dengan
rancangan pengelolaan kawasan pembangunan ekowisata. Dalam
suatu pembangunan terkadang diiringi dengan konflik kepentingan,

Universitas Sumatera Utara

dimana adanya pihak-pihak yang mengutamakan kepentingan sendiri
di banding kepentingan bersama.

1.8.Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variabel adalah suatu batasan yang diberikan kepada
suatu variabel dengan cara memberikan arti atau mempersepsikan kegiatan
ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur
variabel tersebut. Operasional variabel juga dimaksudkan untuk mencegah
salah tafsir dan perluasan permasalahan dari serangkaian proses penelitian ini
melibatkan dua variabel, yaitu variabel bebas (Partisipasi) antara lain :
keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan, keterlibatan dalam penerimaan dan pemanfaatan hasil,
keterlibatan dalam pengawasan dan penilaian hasil, sedangkan variabel terikat
(Pembangunan Ekowisata) antara lain : aksesibilitas, topografi, ketersediaan
sumber daya, dukungan masyarakat, faktor keamanan, potensi konflik.
Jenis Variabel
Variabel X
Partisipasi

Variabel Y

Indikator

Skala

Keterlibatan
Perencanaan

Masyarakat

Dalam

Ordinal

Keterlibatan
Pelaksanaan

Masyarakat

Dalam

Ordinal

Keterlibatan Masyarakat Dalam
Penerimaan dan Pemanfaatan Hasil

Ordinal

Keterlibatan Masyarakat Dalam
Pengawasan dan Penilaian Hasil

Ordinal

Marginal
Lahan
(Aksesbilitas,
Topgrafi, Kemiringan Tanah)

Ordinal

Universitas Sumatera Utara

Pembangunan

Ketersediaan Sumber Daya

Ordinal

Faktor Keamanan

Ordinal

Konflik Kepentingan

Ordinal

Universitas Sumatera Utara