Perbandingan Waktu Onset Stroke Iskemik dengan Hemoragik di IGD dan Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Tahun 2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Stroke
2.1.1. Definisi
Stroke

adalah

suatu

episode

disfungsi

neurologi

akut


disebabkan oleh iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau
meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan
(Sacco dkk, 2013).
Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan
infark fokal serebral, spinal, dan infark retinal. Dimana infark susunan
saraf pusat adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel
retina akibat iskemia, berdasarkan:
1.

Patologi, imaging atau bukti objektif dari injuri fokal iskemik
pada serebral, medulla spinalis atau retina pada suatu distribusi
vaskular tertentu.

2.

Atau bukti klinis dari injuri fokal iskemik pada serebral, medulla
spinalis atau retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥ 24
jamatau meninggal dan etiologis lainnya telah di eksklusikan
(Sacco dkk, 2013).


Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang
dengan cepat yang disebabkan oleh perdarahan di parenkim otak, atau
sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).

Universitas Sumatera Utara

6

2.1.2. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan serta
merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat,
termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan
kanker. Hampir 3⁄4 juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke
setiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 orang (90.000
wanita dan 60.000 pria) meninggal akibat stroke. Sekitar 1,5 juta
penduduk di Cina meninggal setiap tahunnya akibat stroke (Ali dkk,
2007; Sacco dkk, 2000; Caplan, 2009).
Insiden stroke bervariasi di berbagai negara Eropa, diperkirakan
terdapat 100-200 kasus stroke baru per 100.000 penduduk per tahun
(Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000

insiden stroke per tahun, dengan 4,8 juta penderita yang bertahan hidup
(Goldstein dkk, 2006). Di antara penduduk asli Amerika, Indian / Alaska
yang berumur diatas usia 18 tahun, 5,1% mengalami stroke. Diantara
orang Amerika yang berkulit hitam atau Afrika angkanya 3,2%, pada
mereka yang berkulit putih 2,5% dan pada orang-orang Asia 2,4%
(Rosamond dkk, 2007).
Prevalensi silent infark serebri diantara umur 55-64 tahun kirakira 11%. Prevalensi ini meningkat menjadi 22% diantara umur 65-69
tahun, 28% diantara umur 70-74 tahun, 32% diantara umur 75-79 tahun,
40% diantara umur 80-85 tahun dan 43% pada umur diatas 85 tahun. Bila
angka ini digunakan pada tahun 1998 pada perkiraan populasi di
Amerika maka diperkirakan 13 juta penduduk mengalami silent stroke
(Rosamond dkk, 2007).
Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat
dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita usia
muda tetapi tidak pada usia yang lebih tua (Misbach, 1999).

Universitas Sumatera Utara

7


Perbandingan insiden pria dan wanita pada umur 55-64 tahun
adalah 1,25; pada umur 65-74 tahun adalah 1,50; 75-84 tahun adalah
1,07; dan pada umur ≥85 tahun adalah 0,76 (Rosamond dkk, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Machfoed di beberapa rumah

sakit di Surabaya diperoleh data bahwa dari 1.397 pasien yang
didiagnosa dengan stroke, 808 pria dan 589 wanita. Sebanyak 1001
(71,73%) pasien adalah stroke iskemik dan 396 (28,27%) adalah stroke
hemoragik. Umur rata-rata untuk semua pasien stroke adalah 76,43 tahun
dengan umur rata-rata untuk pasien stroke iskemik 77,43 tahun dan 75,21
tahun untuk stroke hemoragik (Machfoed, 2003).

2.1.3. Klasifikasi
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab setiap
jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan, dan prognosis
yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach, 1999).
1.

Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

a. Stroke Iskemik
i. Transient Ischemic Attack (TIA)
ii. Thrombosis serebri
iii. Emboli serebri
b. Stroke Hemoragik
i. Perdarahan intraserebral
ii. Perdarahan subarachnoid

Universitas Sumatera Utara

8

2.

Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu:
a.

Transient Ischemic Attack (TIA)

b.


Stroke in evolution

c.

Completed stroke

3.

Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah:
a.

Sistem karotis

b.

Sistem vetebrobasiler

4.


Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu:
a.

Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

b.

Total Anterior Circulation Infarct (TACI)

c.

Lacunar Infarct (LACI)

d.

Posterior Circulation Infarct (POCI)

2.1.4. Patofisiologi
1.


Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak

menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi
berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur
pendukungnya (Misbach, 2007).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari
bagian inti (core) dengan tingkat iskemik terberat dan berlokasi di
sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak
ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik, terdapat daerah penumbra
iskemik. Sel-sel otak jaringan pendukungnya belum mati, akan tetapi

Universitas Sumatera Utara

9

sangat

berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit


neurologis. Tingkat iskemiknya makin keperifer makin ringan. Daerah
penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah
hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral. Daerah penumbra
iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi agar dapat direperfusi dan selsel otak berfungsi kembali (Misbach, 2007).
2.

Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya

mikroaneurisma akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di
daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik
menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100-400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut
berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid, serta timbulnya aneurisme tipe
Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang

tiba-tiba menyebabkan rupturnya arteri penetrating yang kecil. Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriol
dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga.
Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan,

2009).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuronneuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi.
Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang
menyebabkan nekrosis (Caplan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.5. Faktor Resiko
Faktor resiko stroke menurut Sofwan (2010) dibagi menjadi dua
yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin dan
kecenderungan genetik,. Faktor resiko yang terpenting adalah :
1.

Hipertensi (Tekanan darah tinggi).

Tekanan darah yang meningkat terus secara perlahan akan

merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan
mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisme, yang pada
akhirnya akan menyebabkan stroke, terutama pada orang berusia
di atas 45 tahun.

2.

Diabetes melitus (Kencing manis).

Diabetes menyebabkan perubahan pada sistem pembuluh darah,
dan berperan dalam proses aterosklerosis yang pada akhirnya
akan menyebabkan stroke. Pada orang dengan diabetes, darah
menjadi lebih kental dan beban pada dinding pembuluh darah
menjadi lebih besar sehingga dikhawatirkan lebih mudah
tersumbat (terutama di pembuluh darah yang kecil seperti di otak
dan jantung)
3.

Penyakit jantung.
Pada orang yang menderita penyakit jantung (misalnya kelainan
pada katup jantung) oleh karena fungsi jantung yang terganggu,
akan timbul embolus/gumpalan darah. Embolus tersebut akan
berjalan mengikuti peredaran hingga keotak, dan menyumbat

Universitas Sumatera Utara

11

karena ukuran diameter pembuluh darah di otak sangat kecil,
sehingga terjadilah stroke iskemik.
4.

Kegemukan (Obesitas).

Berat badan dan indeks massa tubuh berhubungan erat dengan
tekanan darah. Distribusi lemak pada tubuh juga merupakan
faktor penting dalam hubungannya dengan hipertensi, yang pada
akhirnya juga bisa memicu stroke.

5.

Kebiasaan merokok.

Merokok bukan hanya merupakan faktor risiko stroke, melainkan
juga merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dan
penyakit-penyakit
mengandung

lainnya.

banyak

zat

Seperti
kimia

diketahui
seperti

asap
tar,

rokok
nikotin,

karbonmonoksida. Merokok menyebabkan aliran darah di dalam
tubuh menjadi lebih lambat, menyebabkan darah lebih mudah
menggumpal, dan mendorong terjadinya aterosklerosis pada
pembuluh darah otak, jantung dan tungkai.
6.

Kebiasaan makan makanan yang mengandung kolesterol
tinggi.
Kolesterol berlebih dalam darah, yang disebut hiperlipidemia,
merupakan faktor risiko tidak langsung dari stroke.Karena
kolesterol yang berlebihan dalam darah ini tidak langsung
menyebabkan stroke, tetapi lebih pada meningkatnya risiko
pembentukan plak aterosklerosis pada pembuluh darah. Seperti
diketahui, plak aterosklerosis ini bertanggung jawab pada proses
terjadinya stroke karena sumbatan (stroke iskemik).

Universitas Sumatera Utara

12

7.

Gangguan hemostasis (Von Willebrand Disease).
Kelainan kualitatif atau kuantitatif protein VWF (Von Willebrand
Factor ) menyebabkan penyakit Von Willebrand yang merupakan

penyakit gangguan perdarahan yang menurun, ditandai oleh
pembentukan trombus di arteriol dan kapiler. Kurangnya VWF
sangat memicu stroke iskemik (Bender, 2012).
2.1.6. Gejala Klinis
Tabel 2.1. Perbedaan gejala stroke hemoragik dan stroke iskemik
Gejala Klinis

Stroke Hemoragik
PIS
PSA
Gelaja defisit lokal
Berat
Ringan
SIS (Stroke
Impact Amat jarang
Scale) sebelumnya
Permulaan (onset)
Menit/jam
1-2 menit
Nyeri kepala
Hebat
Sangat hebat
Muntah pada awalnya
Sering
Sering
Hipertensi
Kesadaran
Kaku kuduk
Hemiparesis
Deviasi mata
Gangguan bicara
Likuor
Perdarahan Subhialoid
Paresis/gangguan N III

Hampir
selalu
Bisa hilang

Stroke Iskemik
Berat/ringan
+ / biasa
Pelan (jam/hari)
Ringan/tidak ada
Tidak, kecuali lesi
di batang otak
Sering kali

Biasanya
tidak
Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
Jarang
Bisa ada pada Tidak ada
permulaan
Sering sejak Tidak ada
Sring dari awal
awal
Bisa ada
Tidak ada
Mungkin ada
Sering
Jarang
Sering
Dering
Selalu
Jernih
berdarah
berdarah
Tidak ada
Bisa ada
Tidak ada
Mungkin ada -

Universitas Sumatera Utara

13

Menurut Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke
adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai pada salah satu
sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan
ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan
pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas
(pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak
mampu mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh,
dan hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.

2.1.7. Diagnosis
Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999
mengemukakan bahwa diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Bustan, 2000;
Arif, 2000; Wibowo, 2001).
1.

Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang
mengerti tentang penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan
dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya waktu
kejadian, penyakit lain yang diderita, faktor-faktor risiko yang
menyertai stroke.

2.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik
umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, tekanan darah,
denyut nadi, suhu, anemia, paru dan jantung), pemeriksaan
neurologis dan neurovaskuler.

Universitas Sumatera Utara

14

3.

Pemeriksaan Penunjang
Kemajuan teknologi kedokteran memberi kemudahan untuk
membedakan antara stroke hemoragik dan stroke iskemik
diantaranya : Computerized Tomography scanning (CT Scan),
Cerebral angiografi, Elektroensefalografi (EEG),
Resonance

Imaging

(MRI),

Elektrokardiografi

Magnetic

(EKG),

pemeriksaan laboratorium dan lainnya.

2.1.8. Penatalaksanaan
Harsono (2000) membedakan penatalaksanan stroke ke dalam tahap
akut dan paska tahap akut, yang meliputi :
1.

Tahap akut (hari ke 0 – 14 setelah onset penyakit)
Pada tahap akut ini sasaran pengobatan yaitu menyelamatkan
neuron yang cedera agar tidak terjadi nekrosis, serta agar proses
patologis lainnya yang menyertai tidak mengganggu / mengancam
fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin
perfusi darah keotak adekuat dengan pemeliharaan beberapa
fungsi diantaranya respirasi yang harus dijaga agar tetap bersih
dan bebas dari benda asing. Fungsi jantung harus tetap
dipertahankan, bila perlu lakukan pemantauan jantung dengan
EKG. Tekanan darah juga harus tetap dipertahankan pada tingkat
yang optimal agar tidak menurunkan perfusi otak. Kadar gula
darah yang tinggi pada tahap akut, tidak diturunkan dengan
drastis.
Bila pasien telah masuk dalam kondisi kegawatan dan terjadi

Universitas Sumatera Utara

15

penurunan kesadaran, maka keseimbangan cairan, elektrolit dan
asam basa darah harus dipantau dengan ketat. Penggunaan obatobatan untuk meningkatkan aliran darah dan metabolisme otak
diantaranya adalah obat-obatan anti edema seperti gliserol 10%
dan kortikosteroid. Selain itu pada stroke iskemik digunakan obat
anti

agregasi

trombosit

dan antikoagulansia.Untuk

stroke

hemorragik, pengobatan perdarahan otak ditujukan untuk
hemostasis.
2.

Tahap paska akut / tahap rehabilitasi
Setelah tahap akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan
pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terjadinya
stroke berulang. Rehabilitasi yang dilakukan bertujuan untuk
pemulihan keadaan dan mengurangi derajat ketidakmampuan. Ini
dilakukan dengan pendekatan memulihkan keterampilan lama,
untuk anggota tubuh yang lumpuh, memperkenalkan sekaligus
melatih keterampilan baru untuk anggota tubuh yang tidak
mengalami kelumpuhan, memperoleh kembali hal – hal atau
kapasitas yang telah hilang dan diluar kelumpuhan, serta
mempengaruhi sikap penderita, keluarga dan therapeutic team.
Menurut Donnan et all (2007), ada 4 penatalaksanaan fase akut

untuk memperbaiki prognosis penderita stroke yakni perawatan pada
stroke unit, pemberian aspirin, hemicraniektomi, dan penggunaan
trombolisis. Agen trombolitik menunjukkan peran yang utama dalam
penatalaksanaan stroke. Trombolitik digunakan untuk memicu tingkat
rekanalisasi endogen sehingga terjadi reperfusi jaringan. Diantara agen
trombolitik tissue plasminogen activator (tPA) 0,9 mg/kgBB intravena
yang paling banyak digunakan untuk trombolisis.

Universitas Sumatera Utara

16

Satu-satunya obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah rTPA (recombinant-Tissue Plasminogen Activator ) yang diberikan pada
penderita stroke iskemik akut dengan syarat-syarat tertentu baik
intravena maupun intra arterial sebelum kurang dari 3 jam setelah
awitan (onset) stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terjadi
penghancuran trombus dan reperfusi jaringan otak dan perubahan
ireversibel pada otak yag terkena, terutama daerah penumbra (Misbach,
2011).
Berdasarkan

Guideline

Stroke

PERDOSSI 2007,

syarat

pemberian tPA adalah hanya diberikan pada 3 jam pertama sejak
serangan, tidak ada tanda perdarahan pada CT scan, tidak ada serangan
stroke maupun trauma pada 3 bulan terakhir dan tekanan darah sistolik
< 185 mmHg sedangkan menurut The European Cooperative Acute
Stroke Study (ECASS) III trial tahun 2008, penggunaan trombolitik

dalam 4,5 jam masih bermanfaat dan aman. Namun studi meta analisis
terhadap tPA, penggunaan tPA ada 90 menit pertama dua kali lebih
bermanfaat dibandingkan pada 3 jam pertama sejak serangan.
Penggunaan tPA bukan tanpa risiko. Perdarahan, angioedema, dan
sistemic embolism dilaporkan menjadi risiko dari penggunaan tPA.

Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah
tergantung keadaan dan syarat yang diperlukan untuk masing-masing
jenis terapi. Penanganan medik fase akut dilakukan pada penderita
stroke hemoragik dengan menurunkan tekanan darah sistemik yang
tinggi dengan obat-obat anti hipertensi yang biasanya kerja cepat untuk
mecapai tekanan darah pre morbid atau diturunkan kira-kira 20% dari
tekanan darah waktu masuk rumah sakit. Jika keadaan penderita cukup
berat karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang drisertai
dengan deteriorasi intubasi, hiperventilasi terkontrol dan pemantauan
diuresis. Untuk perawatan ini mungkin memerlukan perawatan ICU
(Misbach, 2011).

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.9. Prognosis
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan
neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan
melakukan aktivitas fungsional). Pemulihan neurologis terjadi awal
setelah stroke. Mekanisme yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel
otak pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang
sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya kembali sirkuit
saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi. Kemampuan
fungsional pulih sejalan dengan pemulihan neurologis yang terjadi
(Wirawan, 2009).
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih dapat
terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan
pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi
medis, yaitu untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai
kemampuan fungsional yang optimal (Wirawan, 2009).
Resolusi diaschisis telah juga dikemukakan sebagai suatu
mekanisme potensial pemulihan. Terminologi diaschisis dikemukakan
oleh Von Monakow (1996) sebagai konsep bahwa kerusakan pada satu
area otak dapat membuat tidak hanya efek lokal tetapi juga efek pada
daerah otak yang berjauhan yang dihubungkan dengan fungsi akibat lesi
primernya.
Kusumoputro

S

(1995)

mengartikan

plastisitas

sebagai

kemampuan struktur otak dan fungsi yang terkait untuk tetap
berkembang karena adanya suatu stimulus. Stimulasi sensoris mengubah
struktur dan fungsi bagian otak tertentu. Dengan stimulasi lingkungan
tersebut terjadi pertumbuhan jaringan dendrit sel dan terjadilah koneksi
antar sel neuron yang lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara

18

Dahulu dianggap bahwa plastisitas otak hanya terjadi pada masa
perkembangan otak anak. Sejak tahun 1974 Creschwind mengajukan
bahwa otak dewasa dapat terjadi plastisitas otak. Otak dewasa yang
mengalami kelainan dapat pulih dalam waktu tertentu. Perubahan
plastisitas mungkin melibatkan perubahan fungsi dan struktur pada
jaringan neuron, beberapa terjadi secara cepat (dalam beberapa menit
atau jam) dan plastisitas jangka panjang menunjukan keterlibatan
ekspresi gen dan perubahan morfologi neuron (Gusev, 2003).
Penyelidikan

pada

Cornell

Medical

Center

New

York

menunjukkan bahwa dari 107 pasien, kesembuhan (dalam arti masih
dapat hidup mandiri) terbanyak pada usia antara 51 dan 70 tahun. Di atas
rentang usia tersebut (71-80 tahun) dan di bawahnya (40 sampai dengan
50 tahun kesembuhan lebih sedikit. Angka kematian 21%, 15% terjadi
dalam bulan pertama, 19% setelah 3 bulan (Widiastuti, 2000).
Pengobatan terjadi baik pada mortalitas dan morbiditas. Dari
tahun 1965 sampai tahun 1974 penurunan angka kematian karena stroke
2,4% perahun. Selama 5 tahun berikutnya lebih menurun lagi, sampai
5,9% per tahun (Widiastuti, 2000).
Indsidens dan mortalitas dapat berbeda dari negara yang satu
dengan yang lain: ini dapat oleh karena diagnosis yang tidak akurat,
utamanya diagnosis ke dalam subtipe, dan pola pelaporan yang berbeda.
Harus diingat kemungkinan adanya perubahan subtipe Cerebrovascular
Disease (CVD), dan adanya pergeseran rata-rata usia penderita dengan

masing-masing subtipe(Widiastuti, 2000).

Universitas Sumatera Utara