Bahasa dan peranannya
Bahasa dan Peranannya
Masyarakat dalam menggunakan bahasa harus memiliki pengetahuan tentang bahasa. Pengetahuan
ini berupa sistem bahasa dan konteks. Bahasa merupakan sebuah sistem. Sistem artinya cara atau
aturan. Sebagai sebuah sistem bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya
bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak secara sembarangan. Sistemis artinya
bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal tetapi terdiri juga dari sub-sub sistem atau sistem bawahan.
Bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola
tertentu dan membentuk suatu kesatuan. Jenjang subsistem dalam linguistik dikenal dengan nama
tataran linguistik atau tataran bahasa. Kajian linguistik dibagi dalam beberapa tataran yaitu tataran
fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon.
Kajian linguistik dapat dikotomikan menjadi dua, yaitu kajian mikrolinguistik meliputi teori
linguistik, linguistik deskriptif, dan linguistik historis komparatif, sedangkan kajian makrolinguistik
fonetik terapan, meliputi bidang interdisipliner (fonetik, stilistika, filsafat bahasa, psikolinguistik,
sosiolinguistik, etnolinguistik, semiotika, dll.) dan bidang terapan (pengajaran bahasa, penerjemahan,
mekanolinguistik, pembinaan bahasa khusus, dll.).
Masyarakat, khususnya individu sebagai pengguna bahasa harus memiliki pengetahuan terhadap
konteks penggunaan bahasa. Konteks ini meliputi knowledge of the world yang berupa knowledge
structures, yaitu struktur pengetahuan tentang kehidupan dan knowledge of language yang berupa
language competency.
jika pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa dapat dipahami disertai konteksnya, bahasa dapat
digunakan oleh pemakai bahasa yang tergabung dalam masyarakat bahasa. Masyarakat ini sangat
berpotensi dalam melakukan perubahan makna atau menciptakan makna baru.
Bahasa memiliki berbagai fungsi. Munif (2008) menyatakan bahwa Finocchiaro (1974) telah
membagi fungsi bahasa menjadi 6 (enam), yaitu
(1) fungsi personal, yaitu bahasa digunakan untuk mengekspresikan emosi, kebutuhan kebutuhan, ,
pikiran, sikap seseorang seseorang,
(2) fungsi interpersonal, yaitu bahasa digunakan untuk memelihara relasi relasi-relasi sosial sosial.
Contoh sapaan, ucapan selamat , dll.
(3) fungsi direktif, yaitu bahasa bisa digunakan untuk mengontrol perilaku orang lain dalam bentuk
nasihat, , perintah, ajakan, diskusi, dll.
(4) fungsi referensial, yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan objek atau kejadian dalam
lingkungan atau budaya tertentu tertentu,
(5) fungsi imaginatif, yaitu bahasa digunakan untuk melahirkan karya sastra yang berbasis pada
kekuatan imaginasi imaginasi. Contoh novel, puisi, cerpen, dll.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa menurut Halliday fungsi bahasa dibagai menjadi 9 (sembilan), yaitu
(1) fungsi instrumental, “I want function”, bahasa digunakan untuk memanipulasi dan mengontrol
lingkungan,
(2)fungsi regulatori: “Do as I tell you function”; bahasa digunakan untuk memberikan instruksi dan
aturan,
(3) fungsi interaksional; “Me and you function”; bahasa digunakan untuk menentukan dan
mengkonsolidasi kelompok,
(4) fungsi personal,
(5) fungsi heuristic, “Tell me why function”; bahasa sebagai alat untuk mempelajari sesuatu,
(6) fungsi imaginatif,
(7) fungsi informatif; bahasa digunakan untuk menjelaskan dunia nyata,
(8) fungsi permainan, dan
(9) fungsi ritual.
Untuk mengenali apa itu bahasa atau bukan dapat dilihat melalui karakter bahasa. Banyak para ahli
merumuskan karakter-karakter bahasa. Karakter-karakter ini adalah (1) bahasa merupakan seperangkat
bunyi, (2) hubungan antara bunyi bahasa dan objek referensinya, (3) bersifat arbitrer, (4) bahasa itu
bersistem, (5) bahasa adalah seperangkat lambang, dan (6) bahasa bersifat sempurna (Archibal A Hill
dalam Munif, 1998)
Widyartono (2008) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia diatur melalui politik bahasa
nasional. Kedudukan bahasa Indonesia dituangkan dalam Sumpah Pemuda dan Undang-Undang Dasar
1945. Sumpah Pemuda 1928 berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional.
Undang-undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia”. Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 memberikan dasar yang kuat bagi
pemakaian bahasa Indonesia.
Mengacu pada kedudukan bahasa yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai bahasa nasional. Melalui fungsi inilah, bahasa Indonesia menjelma sebagai
(1) identitas nasional,
(2) lambang kebanggaan nasional,
(3) bahasa pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan
(4) sarana untuk untuk memelihara, menumbuhkan, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan
nasional (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa selain dalam peristiwa Sumpah Pemuda, kedudukan bahasa
Indonesia diperkokoh dengan UUD 1945 sebagai bahasa resmi negara. Fungsi sebagai bahasa resmi
negara meliputi
(1) sebagai bahasa penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi negara,
(2) sebagai bahasa komunikasi bagi seluruh warga negara Indonesia,
(3) sebagai bahasa pengantar untuk pendidikan dan pengajaran, dan
(4) sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melalui Undang-Undang 1945 bahasa Indonesia memiliki fungsi politik bahasa nasional. Fungsi
politik ini dapat digunakan sebagai perencanaan serta pengembangan bahasa nasional, meliputi
a) fungsi dan kedudukan bahasa nasional dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain,
b) penentuan ciri-ciri bahasa Indonesia baku,
c) tata cara pembakuan dan pengembangan bahasa nasional,
d) pengembangan pengajaran bahasa nasional pada semua jenis dan tingkah lembaga pendidikan, mulai
dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi (KBBI).
Melalui fungsi politik di atas, bahasa Indonesia diharapkan menjadi alat komunikasi antardaerah,
antarbudaya, antargeografi dalam kesatuan wilayah NKRI. Oleh karena itu, sangat diperlukan
pembakuan bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat pemersatu, berkarakteristik tertentu,
berwibawa, dan sebagai acuan bersama. Fungsi pembakuan ini penting untuk mengawal pembakuan
bahasa Indonesia dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang secara tidak
langsung memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Pertambahan kosakata baru muncul dari
pengaruh bahasa asing negara maju. Warga negara Indonesia diharapkan tidak bergantung sepenuhnya
pada bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, siapa lagi yang akan menjaga bahasa Indonesia kalau bukan
warga negara Indonesia sendiri.
Keanekaragaman penduduk Indonesia dengan berbagai bahasa, daerah, dan budaya menumbuhkan
banyak varian pemakaian bahasa. Varian bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai yang berasal dari
daerah tertentu/kelompok sosial/waktu kurun tertentu disebut dialek.
Berdasarkan pengertian dialek diatas, ragam bahasa ditinjau dari kelompok penuturannya dapat
dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu
a) dialek regional, ragam bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga membedakan dengan
ragam bahasa yang dipakai di daerah lain, misalnya bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta
(Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan,
b) dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai
tingkat masyarakat tertentu, misalnya dialek wanita dan dialek remaja,
c) dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu, misalkan contohnya dialek
Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah,
d) idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang.
Meskipun bahasa yang dipakai bahasa Indonesia, tentu tiap individu memiliki dikotomi Noam
Chomsky, yaitu kompetensi dan performansi yang berbeda. Kompetensi kebahasaan tiap individu
berbeda. Karena perbedaan kompetensi ini tiap individu tentu memiliki performansi tata bahasa yang
berbeda. Hal ini juga berlaku pada pembentukan artikulator tiap indvidu yang memengaruhi pelafalan
dalam berbicara. Begitu juga dengan jumlah perbendaharaan kata tiap individu yang sangat
berpengaruh terhadap pemilihan kata (diksi) baik dalam menulis maupun berbicara.
Ditinjau dari media penyampaiannya, ragam bahasa dapat dikotomikan menjadi dua, yaitu ragam
lisan dan ragam tulis. Ragam lisan meliputi ragam percakapan, ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam
panggung, sedangkan ragam tulis meliputi ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, dan
ragam surat-menyurat.
Widyartono (2008) menyatakan bahwa ditinjau dari penggunaannya, ragam bahasa dapat dipilah
menjadi empat, yaitu
(1) ragam beku digunakan dalam khutbah Jum’at, naskah kesejarahan misalnya misalnya teks
Proklamasi, Piagam Jakarta, Sumpah Pemuda, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dll.
(2) ragam formal digunakan dalam situasi formal, misalnya pidato kenegaraan, pidato kepala
pemerintahan, sambutan resmi, dll.,
(3) ragam semiformal digunakan dalam situasi yang semiformal. Situasi ini misalkan dapat ditemukan
dalam pengajaran yang menuntut aksi-reaksi dosen/guru dengan mahasiswa/siswa. Dalam situasi
pengajaran seorang dosen/guru kurang tepat jika menggunakan ragam bahasa baku, dan
(4) ragam santai digunakan antarteman/saudara dalam situasi yang santai, akrab, hangat, antarteman,
sesama anggota keluarga, bukan dalam situasi yang formal.
Menurut Imam Syafi’i (2009) bahwa ragam bahasa dapat dibedakan menjadi lima, yaitu ragam
beku, ragam baku, ragam formal, ragam kasual, ragam sehari-hari. Masyarakat dalam menggunakan
bahasa dilandasi oleh kepentingan. Kepentingan ini dilakukan untuk memperoleh kekuasaan melalui
politik dalam menggunakan bahasa. Bahasan ini akan dibahas lebih detil dalam bab bahasa dan politik.
Telaah Kritis
Shan Wareing dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan ini tidak melakukan kajian
terhadap hakikat bahasa secara utuh. Kajian yang dilakukan hanya melihat bahasa sebagai sistem.
Walaupun fokus kajian hanya mengkorelasikan bahasa, masyarakat, dan kekuasaan tetap dipandang
perlu untuk menghadirkan karakter-karakter yang lain.
Fungsi bahasa hanya dijelaskan secara umum. Untuk mengetahui peranan bahasa dipandang perlu
untuk menjelaskan fungsi-fungsi bahasa. Melalui fungsi-fungsi ini dapat diperoleh gambaran tentang
peranan bahasa. Sebagai pengantar, fokus kajian hanya berdasarkan fungsi referensi yang mengacu
pada sesuatu dan fungsi afektif yang mengacu pada siapa yang berhak mengatakan apa, di mana. Hal
ini erat kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial. Fokus kajian ini tidak berdampak negatif karena
kajian yang akandilakukan lebih fokus terkait hubungan bahasa dan peranannya di masyarakat.
Daftar Rujukan
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Munif. 2008. Bahasa: Pengertian, Karakteristik, dan Fungsinya. (Slide Presentasi).
Syafi’I Imam. 2009. Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia. Ceramah Perkuliahan Magister
Pendidikan Bahasa Indonesia. Malang: PPS UM
Tim Penyusun dari Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Thomas, Linda dan Shan Wareing. Ibrahim, Abdul Syukur (ed). 1999. Bahasa, Masyarakat, dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Widyartono, Didin. 2008. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Ilmiah. Handout. Malang: Indus
Nesus Private
Masyarakat dalam menggunakan bahasa harus memiliki pengetahuan tentang bahasa. Pengetahuan
ini berupa sistem bahasa dan konteks. Bahasa merupakan sebuah sistem. Sistem artinya cara atau
aturan. Sebagai sebuah sistem bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya
bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak secara sembarangan. Sistemis artinya
bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal tetapi terdiri juga dari sub-sub sistem atau sistem bawahan.
Bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola
tertentu dan membentuk suatu kesatuan. Jenjang subsistem dalam linguistik dikenal dengan nama
tataran linguistik atau tataran bahasa. Kajian linguistik dibagi dalam beberapa tataran yaitu tataran
fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon.
Kajian linguistik dapat dikotomikan menjadi dua, yaitu kajian mikrolinguistik meliputi teori
linguistik, linguistik deskriptif, dan linguistik historis komparatif, sedangkan kajian makrolinguistik
fonetik terapan, meliputi bidang interdisipliner (fonetik, stilistika, filsafat bahasa, psikolinguistik,
sosiolinguistik, etnolinguistik, semiotika, dll.) dan bidang terapan (pengajaran bahasa, penerjemahan,
mekanolinguistik, pembinaan bahasa khusus, dll.).
Masyarakat, khususnya individu sebagai pengguna bahasa harus memiliki pengetahuan terhadap
konteks penggunaan bahasa. Konteks ini meliputi knowledge of the world yang berupa knowledge
structures, yaitu struktur pengetahuan tentang kehidupan dan knowledge of language yang berupa
language competency.
jika pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa dapat dipahami disertai konteksnya, bahasa dapat
digunakan oleh pemakai bahasa yang tergabung dalam masyarakat bahasa. Masyarakat ini sangat
berpotensi dalam melakukan perubahan makna atau menciptakan makna baru.
Bahasa memiliki berbagai fungsi. Munif (2008) menyatakan bahwa Finocchiaro (1974) telah
membagi fungsi bahasa menjadi 6 (enam), yaitu
(1) fungsi personal, yaitu bahasa digunakan untuk mengekspresikan emosi, kebutuhan kebutuhan, ,
pikiran, sikap seseorang seseorang,
(2) fungsi interpersonal, yaitu bahasa digunakan untuk memelihara relasi relasi-relasi sosial sosial.
Contoh sapaan, ucapan selamat , dll.
(3) fungsi direktif, yaitu bahasa bisa digunakan untuk mengontrol perilaku orang lain dalam bentuk
nasihat, , perintah, ajakan, diskusi, dll.
(4) fungsi referensial, yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan objek atau kejadian dalam
lingkungan atau budaya tertentu tertentu,
(5) fungsi imaginatif, yaitu bahasa digunakan untuk melahirkan karya sastra yang berbasis pada
kekuatan imaginasi imaginasi. Contoh novel, puisi, cerpen, dll.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa menurut Halliday fungsi bahasa dibagai menjadi 9 (sembilan), yaitu
(1) fungsi instrumental, “I want function”, bahasa digunakan untuk memanipulasi dan mengontrol
lingkungan,
(2)fungsi regulatori: “Do as I tell you function”; bahasa digunakan untuk memberikan instruksi dan
aturan,
(3) fungsi interaksional; “Me and you function”; bahasa digunakan untuk menentukan dan
mengkonsolidasi kelompok,
(4) fungsi personal,
(5) fungsi heuristic, “Tell me why function”; bahasa sebagai alat untuk mempelajari sesuatu,
(6) fungsi imaginatif,
(7) fungsi informatif; bahasa digunakan untuk menjelaskan dunia nyata,
(8) fungsi permainan, dan
(9) fungsi ritual.
Untuk mengenali apa itu bahasa atau bukan dapat dilihat melalui karakter bahasa. Banyak para ahli
merumuskan karakter-karakter bahasa. Karakter-karakter ini adalah (1) bahasa merupakan seperangkat
bunyi, (2) hubungan antara bunyi bahasa dan objek referensinya, (3) bersifat arbitrer, (4) bahasa itu
bersistem, (5) bahasa adalah seperangkat lambang, dan (6) bahasa bersifat sempurna (Archibal A Hill
dalam Munif, 1998)
Widyartono (2008) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia diatur melalui politik bahasa
nasional. Kedudukan bahasa Indonesia dituangkan dalam Sumpah Pemuda dan Undang-Undang Dasar
1945. Sumpah Pemuda 1928 berisi pengakuan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional.
Undang-undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia”. Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 memberikan dasar yang kuat bagi
pemakaian bahasa Indonesia.
Mengacu pada kedudukan bahasa yang tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai bahasa nasional. Melalui fungsi inilah, bahasa Indonesia menjelma sebagai
(1) identitas nasional,
(2) lambang kebanggaan nasional,
(3) bahasa pemersatu seluruh bangsa Indonesia, dan
(4) sarana untuk untuk memelihara, menumbuhkan, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan
nasional (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa selain dalam peristiwa Sumpah Pemuda, kedudukan bahasa
Indonesia diperkokoh dengan UUD 1945 sebagai bahasa resmi negara. Fungsi sebagai bahasa resmi
negara meliputi
(1) sebagai bahasa penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi negara,
(2) sebagai bahasa komunikasi bagi seluruh warga negara Indonesia,
(3) sebagai bahasa pengantar untuk pendidikan dan pengajaran, dan
(4) sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melalui Undang-Undang 1945 bahasa Indonesia memiliki fungsi politik bahasa nasional. Fungsi
politik ini dapat digunakan sebagai perencanaan serta pengembangan bahasa nasional, meliputi
a) fungsi dan kedudukan bahasa nasional dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain,
b) penentuan ciri-ciri bahasa Indonesia baku,
c) tata cara pembakuan dan pengembangan bahasa nasional,
d) pengembangan pengajaran bahasa nasional pada semua jenis dan tingkah lembaga pendidikan, mulai
dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi (KBBI).
Melalui fungsi politik di atas, bahasa Indonesia diharapkan menjadi alat komunikasi antardaerah,
antarbudaya, antargeografi dalam kesatuan wilayah NKRI. Oleh karena itu, sangat diperlukan
pembakuan bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat pemersatu, berkarakteristik tertentu,
berwibawa, dan sebagai acuan bersama. Fungsi pembakuan ini penting untuk mengawal pembakuan
bahasa Indonesia dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang secara tidak
langsung memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Pertambahan kosakata baru muncul dari
pengaruh bahasa asing negara maju. Warga negara Indonesia diharapkan tidak bergantung sepenuhnya
pada bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, siapa lagi yang akan menjaga bahasa Indonesia kalau bukan
warga negara Indonesia sendiri.
Keanekaragaman penduduk Indonesia dengan berbagai bahasa, daerah, dan budaya menumbuhkan
banyak varian pemakaian bahasa. Varian bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai yang berasal dari
daerah tertentu/kelompok sosial/waktu kurun tertentu disebut dialek.
Berdasarkan pengertian dialek diatas, ragam bahasa ditinjau dari kelompok penuturannya dapat
dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu
a) dialek regional, ragam bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga membedakan dengan
ragam bahasa yang dipakai di daerah lain, misalnya bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta
(Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan,
b) dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai
tingkat masyarakat tertentu, misalnya dialek wanita dan dialek remaja,
c) dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu, misalkan contohnya dialek
Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah,
d) idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang.
Meskipun bahasa yang dipakai bahasa Indonesia, tentu tiap individu memiliki dikotomi Noam
Chomsky, yaitu kompetensi dan performansi yang berbeda. Kompetensi kebahasaan tiap individu
berbeda. Karena perbedaan kompetensi ini tiap individu tentu memiliki performansi tata bahasa yang
berbeda. Hal ini juga berlaku pada pembentukan artikulator tiap indvidu yang memengaruhi pelafalan
dalam berbicara. Begitu juga dengan jumlah perbendaharaan kata tiap individu yang sangat
berpengaruh terhadap pemilihan kata (diksi) baik dalam menulis maupun berbicara.
Ditinjau dari media penyampaiannya, ragam bahasa dapat dikotomikan menjadi dua, yaitu ragam
lisan dan ragam tulis. Ragam lisan meliputi ragam percakapan, ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam
panggung, sedangkan ragam tulis meliputi ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, dan
ragam surat-menyurat.
Widyartono (2008) menyatakan bahwa ditinjau dari penggunaannya, ragam bahasa dapat dipilah
menjadi empat, yaitu
(1) ragam beku digunakan dalam khutbah Jum’at, naskah kesejarahan misalnya misalnya teks
Proklamasi, Piagam Jakarta, Sumpah Pemuda, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dll.
(2) ragam formal digunakan dalam situasi formal, misalnya pidato kenegaraan, pidato kepala
pemerintahan, sambutan resmi, dll.,
(3) ragam semiformal digunakan dalam situasi yang semiformal. Situasi ini misalkan dapat ditemukan
dalam pengajaran yang menuntut aksi-reaksi dosen/guru dengan mahasiswa/siswa. Dalam situasi
pengajaran seorang dosen/guru kurang tepat jika menggunakan ragam bahasa baku, dan
(4) ragam santai digunakan antarteman/saudara dalam situasi yang santai, akrab, hangat, antarteman,
sesama anggota keluarga, bukan dalam situasi yang formal.
Menurut Imam Syafi’i (2009) bahwa ragam bahasa dapat dibedakan menjadi lima, yaitu ragam
beku, ragam baku, ragam formal, ragam kasual, ragam sehari-hari. Masyarakat dalam menggunakan
bahasa dilandasi oleh kepentingan. Kepentingan ini dilakukan untuk memperoleh kekuasaan melalui
politik dalam menggunakan bahasa. Bahasan ini akan dibahas lebih detil dalam bab bahasa dan politik.
Telaah Kritis
Shan Wareing dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan ini tidak melakukan kajian
terhadap hakikat bahasa secara utuh. Kajian yang dilakukan hanya melihat bahasa sebagai sistem.
Walaupun fokus kajian hanya mengkorelasikan bahasa, masyarakat, dan kekuasaan tetap dipandang
perlu untuk menghadirkan karakter-karakter yang lain.
Fungsi bahasa hanya dijelaskan secara umum. Untuk mengetahui peranan bahasa dipandang perlu
untuk menjelaskan fungsi-fungsi bahasa. Melalui fungsi-fungsi ini dapat diperoleh gambaran tentang
peranan bahasa. Sebagai pengantar, fokus kajian hanya berdasarkan fungsi referensi yang mengacu
pada sesuatu dan fungsi afektif yang mengacu pada siapa yang berhak mengatakan apa, di mana. Hal
ini erat kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial. Fokus kajian ini tidak berdampak negatif karena
kajian yang akandilakukan lebih fokus terkait hubungan bahasa dan peranannya di masyarakat.
Daftar Rujukan
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Munif. 2008. Bahasa: Pengertian, Karakteristik, dan Fungsinya. (Slide Presentasi).
Syafi’I Imam. 2009. Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia. Ceramah Perkuliahan Magister
Pendidikan Bahasa Indonesia. Malang: PPS UM
Tim Penyusun dari Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Thomas, Linda dan Shan Wareing. Ibrahim, Abdul Syukur (ed). 1999. Bahasa, Masyarakat, dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Widyartono, Didin. 2008. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Ilmiah. Handout. Malang: Indus
Nesus Private