UPAYA PEWARISAN BUDAYA BELAGHAM MELALUI PENDIDIKAN DAN PERSONALISASINILAI DALAM KELUARGA : Studi Kasus Dalam Upaya Menemukan Model Pewarisan Budaya Belagham Suku Serawai di Bengkulu Selatan.

DAFTAR ISI

Halaman :
PERSETUJUAN……………………………………………………..

i

PERNYATAAN…………………………………………………….

ii

DO’A DAN RENUNGAN…………………………………………

iii

ABSTRAK………………………………..………………………..

iv

ABSTRACT ………………………………………………………..


v

KATA PENGANTAR……………………………………………….

vi

UNGKAPAN RASA TERIMA KASIH …………………………..

viii

DAFTAR ISI…………………………………………………………

xii

DAFTAR TABEL……………………………………………………

xv

DAFTAR GAMBAR……………..…………………………………


xvi

DAFTAR BAGAN…………………………………………………..

xvii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………

xviii

PETA KABUPATEN BENGKULU SELATAN……………………

xix

PETA PENDUKUNG BUDAYA DI DAERAH BENGKULU….

xx

BAB I


PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG...........................................
1. Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Umum.
2. Peran Keluarga Dalam Masyarakat Saat Ini.
3. Keluarga Agen Pewaris Nilai Budaya............
4. Deskripsi Antropologi Masyarakat Suku
Serawai ......................................................

1
1
1
2
3

B. FOKUS DAN RUMUSUNAN MASALAH..............
C. TUJUAN PENELITIAN.......................................
D. MANFAAT PENELITIAN....................................
E. PROSEDUR PENELITIAN..................................
F. DEFINISI OPERASIONAL..................................


7
9
9
10
12

KAJIAN TEORETIK UPAYA PEWARISAN BUDAYA..
BELAGHAM MELALUI PENDIKAN DAN
PERSONALISASI NILAI DALAM KELUARGA

17

BAB II

A. POSISI PENDIDIKAN UMUM DALAM
PENDIDIKAN KELUARGA...............................
1. Makna Pendidikan Umum...........................
2. Makna Dalam Pendidikan Keluarga.............

i


5

17
17
20

BAB III

B.PENDIDIKAN NILAI DALAM KELUARGA ..........
1. Pengertian Nilai...........................................
2. Pengertian Pendidikan Nilai.........................
3. Landasan Pendidikan Nilai Dalam Keluarga..
4. Iklim Emosional Dalam keluarga..................
5. Sumber dan Media Penerimaan Nilai............
6. Metode pendidikan Nilai Dalam Keluarga......
7. Evaluasi Pencapaian Personalisasi Nilai........

25
25

26
28
29
31
32
36

C.PROSES PERSONALISASI NILAI PADA ANAK.....
1. Tahap-Tahap pertumbuhan Nilai..................
2. Proses Penerimaan Nilai...............................
3. Pengaruh Budaya Dalam personalisasi Nilai

40
40
48
49

D. MODEL PENDIDIKAN NILAI
1. Makna Model..............................................
2. Karakteristik Model pendidikan Nilai..........

3. Model Kepedulian........................................
4. Model Pertimbangan....................................
5. Model Tindakan ..........................................

57
57
59
60
62
67

E. BUDAYA MASYARAKAT SERAWAI....................
1. Bentuk Keluarga Pada masyarakat Serawai.
2. Fungsi Anak Pada Masyarakat Serawai........
3. Pendidikan Keluarga Pada Suku Serawai ....
4. Sistem Kemasyarakatan Suku Serawai .......

68
68
73

74
76

METODE PENELITIAN...........................................

81

A. PENDEKATAN PENELITIAN...............................
B. DESAIN PENELITIAN........................................
1. Penelitian Awal............................................
2. Memilih Lokasi Penelitian............................
3. Strategi Penentuan Sumber Informasi........
4. Eksplorasi Lapangan...................................
5. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data......

81
83
85
86
87

88
89

C. JENIS DAN SUMBER DATA PENELITIAN..........
D. KEHADIRAN PENELITI DI LAPANGAN..............
E. STRATEGI PENGUMPULAN DAN ANALISIS
DATA
1. Strategi Pengumpulan Data........................
2. Analisis Data..............................................

90
92

F. PENGECEKAN KEABSAHAN DATA..................

97

ii

93

93
96

BAB IV

DESKRIPSI, INTERPRETASI DAN PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
A. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI.......................
1. Gambaran Umum Lokasi...........................
2. Keluarga Sumber Informasi .......................
3. Pelaksanaan Pendidikan Nilai Dalam
Keluarga ....................................................
4. Proses Personalisasi Nilai ............................
5. Model dan Pendekatan Pendidikan Nilai
Dalam Keluarga..........................................

99

99
99

104
112
149
156

B.PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN....................
1. Pelaksanaan Pendidikan Nilai......................
2. Proses Personalisasi Nilai.............................
3. Model Pendidikan Nilai Budaya Belagham....
BAB V

158
158
192
200

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI...
207
A. KESIMPULAN....................................................
B. IMPLIKASI........................................................
C. REKOMENDASI................................................
DALIL-DALIL ...................................................
MANUAL MODEL PERSONALISASI NILAI
BUDAYA BELAGHAM .....................................

207
216
223
228
230

Daftar Pustaka....................................................................
Lampiran-lampiran..............................................................

iii

245
258

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1

Tahap-tahap Dalam Perkembangan Psikososial
Erikson

44

Tabel 2.2

Tahap Pertumbuhan Nilai

47

Tabel 3.4

Nilai-nilai Budaya Belagham

162

Tabel 4.4

Sumber Norma Moral/etika

165

Tabel 5.4

Nilai-nilai Budaya Asli dan Pengaruh Budaya
Islami

193

Tabel 6.4

Perkembangan Pribadi dan Nilai Pada Anak

197

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.1

Dialog Anak dengan Lingkungan Keluarga

Gambar 2.2

Siklus Kepribadian Kebudayaan

51

Gambar 3.2

Keluarga Menyerap Pengaruh Budaya Dari
Masyarakat

52

Gambar 4.4

Proses Anak Menerima Nilai Dalam
Keluarga

199

Gambar 5.4

Pendidikan Dan Personalisasi Nilai Budaya
Belagham

200

Gambar 6.5

Konfigurasi Pribadi Belagham

244

v

5

DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan 1.1

Desain Penelitian

11

Bagan 2.2

Proses Pewarisan Nilai Budaya

57

Bagan 3.3

Langkah-langkah kegiatan Penelitian

85

Bagan 4.3

Kegiatan Menemukan Model Hipotetik

98

Bagan 5.5

Konfigurasi Model Personalisasi Nilai Budaya
Belagham Pada Perkembangan Anak Dalam
Kehidupan Keluarga

vi

243

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1.

Nasihat Berupa Ungkapan-Ungkapan

258

2.

Makna Bahasa Serawai yang Terdapat Dalam
Disertasi

263

3.

Evaluasi Pencapaian Nilai Dalam Keluarga

268

4.

Lembaran Protokol Observasi dan Wawancara

271

5.

Foto aktivitas Masyarakat Dusun Seginim

273

6.

Bagan Kekerabatan Suku Serawai

282

7.

Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana UPI

288

8.

Riwayat Hidup

284

vii

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Umum
Fokus Pendidikan Umum tertuju pada persiapan anak didik
agar mampu menghadapi kehidupan. Tujuan Pendidikan Umum di
arahkan pada pengembangan kemampuan manusia yang terdidik
seutuhnya. Untuk itu Pendidikan Umum perlu dilaksanakan bagi
semua anak didik dan pada semua jalur pendidikan, baik jalur
formal, nonformal dan informal. McConnell (1952: 4), Wolfgang
Klafki, Hand dan Bidna (1970) dalam Sumaatmadja (2002: 112),
mengemukakan, tujuan Pendidikan Umum ialah mengembangkan
pemikiran, keterampilan dan nilai-nilai sebagai bekal anak bagi
kehidupannya.

Proses

pendidikannya,

dilakukan

dengan

cara

membina aspek-aspek emosional, sosial dan moral secara utuh.
Proses pembinaan dilakukan pendidik, dengan jalan pemberian
bantuan kepada anak agar mengalami dan menyadari nilai-nilai.
Dengan begitu anak akan mempribadikan nilai-nilai secara utuh
dalam seluruh aspek kehidupannya (Mardiatmadja, 1986 dalam
Mulyana, 2004: 119; Seetharam, 2004:1; Maheshwari, 2004:2).
Konsep ini memberi makna bahwa Pendidikan Umum yang
dilaksanakan
kepribadian

dalam
secarah

keluarga
utuh

dan

diarahkan

pada

pembinaan

bermuatan

nilai.

Nilai yang

mempribadi pada anak dimaksudkan sebagai bekal memenuhi

2

kepuasan hidupnya. Bekal tersebut akan bermanfaat dalam
memenuhi kepuasan hidup, sebab pribadi yang bermuatan nilai
akan memiliki kepekaan sosial dan rasa kemanusian yang tinggi.

2. Peran Keluarga Dalam Masyarakat Saat Ini
Kehidupan masyarakat saat ini sarat dengan pertentangan
dalam tatanan nilai. Pertentangan tersebut dipicu oleh kemajuan
IPTEK yang menciptakan tatanan nilai dan norma baru yang
kadangkala

bertentangan

dengan

nilai

budaya

masyarakat

Indonesia (Djahiri, 2005:3). Nilai dan norma itu dengan mudah
masuk dalam lingkungan keluarga, baik sesuai maupun tidak
sesuai bagi keluarga dan masyarakat. Kondisi ini membawa
perubahan tatanan nilai secara global dan dapat merapuhkan
nilai-nilai yang telah ada (Osler, 1994:12). Dampak dari kondisi
ini, terjadinya konflik nilai, yaitu antara nilai pragmatis dan nilai
ideologis (Buchori, 2001:82). Perubahan nilai dalam kehidupan
dapat dilihat dari fenomena penyimpangan perilaku dan distorsi
nilai kemanusiaan, terutama terjadi di kalangan generasi muda.
Telah diketahui secara umum bahwa di antara generasi muda
banyak terjadi pelanggaran nilai-nilai sosial, seperti tawuran, tidak
disiplin, dan kurang empati (Madjid, 200:95. Moedjiarto, 1998:77.,
dan Syarief,1999:4). Kehidupan seperti ini, menghadapkan orang
tua

pada

suatu

tantangan

yang

sangat

kompleks

dalam

menanamkan nilai yang positif kepada anak. Kehidupan keluarga
yang berlangsung dalam subkultur budaya di masyarakat, tidak
dapat mengelak dari kondisi pertentangan dan pergeseran nilai.
Keadaan ini dikarenakan keluarga menyerap pengaruh subkultur
kelompoknya (Soelaeman, 1994:22). Dalam menghadapi banyaknya

3

pergeseran dan distorsi nilai di kalangan generasi muda, keluarga
merupakan ujung tombak pelaksana pembinaan nilai budaya bagi
mereka.

3. Keluarga Agen Pewarisan Nilai Budaya
Keluarga sebagai suatu masyarakat kecil yang hidup dalam
subkultur, mengambil bagian secara intensif (Soelaeman, 1994:
22). Konsep ini bermakna bahwa, kebudayaan sekitar akan tercermin dalam kehidupan keluarga. Kehidupan budaya seperti adat
istiadat, kebiasaan, pola pikir, perilaku, selera, tujuan hidup,
bahasa, dialek, semuanya akan menjadi kebiasaan di mana
keluarga itu berada. Ditinjau dari sudut pandang ini, keluarga
dianggap sebagai agen kebudayaan (Soelaeman, 1994:28; Sokanto,
1990:22). Di dalam keluarga anak menerima nilai-nilai budaya
yang membina kepribadiannya (Sumaatmadja, 2002:51). Dengan
begitu dapat dikatakan bahwa keluarga berperan sebagai salah
satu lembaga pewarisan budaya pada anak. Sebagai generasi
penerus anak harus memiliki jati diri masyarakat dan bangsanya.
Untuk itu nilai budaya lokal dan nasional, hendaknya diwariskan
secara mendasar agar melekat dan menjadi jati diri bangsa pada
masing-masing individu (Tilaar, 200:30). Pewarisan nilai dasar
budaya, sangat mungkin dilakukan oleh keluarga, karena keluarga
merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak.
Esensi keluarga sebagai agen pewarisan nilai, mencakup
dua dimensi, yaitu dimensi pedagogis dan dimensi substantif
(Soelaeman, 1994:30). Dimensi pedagogis berupa kegiatan mendidik yang dilakukan orang tua dan dimensi subtantif meliputi
pewarisan nilai-nilai kehidupan, seperti pengetahuan, ekonomi,

4

estetik, sosial, politik, dan religi. Dalam melaksanakan dimensi
pedagogis, keluarga melakukan pembinaan dan pengembangan
manusia seutuhnya. Dimensi ini mengembangkan pribadi yang
mencerminkan nilai budaya dan nilai Islami dari perintah Tuhan.
Sebagaimana firman Tuhan dalam Surat Ali-‘Imran 104 yang
maknanya “hendaklah ada di antara kamu ada segolongan orang
yang mengajak pada kebaikan, menyuruh orang berbuat baik dan
melarang perbuatan mungkar” (Depag RI, 1995:93).

Pemikiran tentang kehidupan masa depan anak, memiliki
implikasi bagi upaya pengembangan personalisasi nilai, terutama
kegiatan pendidikan umum dalam keluarga. Telah diketahui secara
umum bahwa seseorang terlebih dahulu menerima pengaruh yang
sangat kuat dari keluarga sebelum ia mendapat pengaruh dari
lingkungan lain. Kuatnya pengaruh keluarga terhadap seseorang
disebabkan, pada kehidupan keluarga terdapat kedekatan emosional
antara anggotanya (Hurlock, 1986: 351). Tidaklah mengherankan
apabila kualitas keunggulan kepribadian seseorang ditentukan
oleh kualitas keunggulan nilai keluarganya. Pengaruh keluarga
terhadap keunggulan kepribadian seseorang sangat besar, seperti
dikemukakan Hafifhudin (2003), jika keluarga-keluarga memiliki
perilaku baik dan terpuji, maka akan baik dan terpuji pula
masyarakatnya.

Dengan

demikian

dapat

dikatakan

bahwa

keluarga merupakan lembaga yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan nilai dalam pribadi anak. Pengaruh keluarga
terhadap perkembangan nilai pada anak, dapat digambarkan
seperti di bawah ini:

5

Kesan dan pengaruh yang didapat anak dari keluarga
Sebagai hasil komunikasi dalam keluarga

Keluarga menggugah perhatian
dan mempengaruhi anak

Anak mengarahkan perhatian dan mengolah
pengaruh dari lingkungan keluarga

Gambar 1.1: Dialog Anak Dengan Lingkungan Keluarga
Modifikasi Dari Soelaiman M.I (1994:47).

4. Deskripsi Antropologi Masyarakat Suku Serawai
Kemajuan di bidang IPTEK yang membawa nilai dan norma
baru telah memasuki kehidupan seluruh masyarakat, tidak terkecuali pada masyarakat Serawai. Walaupun nilai dan norma telah
merasuk dalam masyarakat luas,

namun

nilai-nilai budaya

Serawai masih tetap dipegang oleh individu-individunya dalam
kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian tim Depdikbud Provinsi
Bengkulu

(1995,

1996,

1997) mengungkapkan

bahwa

pada

masyarakat Serawai di beberapa desa, dalam kehidupan sehariharinya

selalu

memandang

tinggi

nilai-nilai

sopan

santun,

kepedulian, gotong royong, musyawarah, kerukunan, ketaatan,
toleransi,

hormat,

rela

berkorban,

dan

sabar,

dan

mereka

berupaya mengimplementasikannya. Pribadi yang memiliki nilainilai tersebut di atas oleh masyarakat Serawai disebut pribadi
yang Belagham.
Pribadi belagham dalam pergaulan sehari-hari memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Kepedulian ini dapat
dilihat saat kegiatan tolong menolong, bertegur sapa dengan orang

6

yang ditemui. Baik pada orang yang sudah dikenal maupun yang
belum dikenal. Individu ini dengan ramah akan menyapa dan
menawarkan orang yang ditemui untuk mampir ke rumahnya.
Kepedulian terhadap sesama pada masyarakat sampai saat ini
masih terjaga. Sikap ini ditunjukkan dengan peduli terhadap
segala sesuatu yang menimpa anggota masyarakatnya. Masingmasing individu merasa punya kewajiban untuk peduli dan
menolong

sesama,

serta

membalas

pertolongan

yang

telah

diterimanya. Bila ada anggota masyarakat yang tidak peduli
terhadap sesama, ia akan terisolasi dan tidak dipedulikan. Apabila
orang yang terisolasi ini mendapat musibah dan memerlukan
bantuan, dia hanya dibantu alakadarnya. Bantuan itu sebagai
bentuk toleransi terhadap sesama, sikap toleransi ini tampak saat
orang tersebut menyelenggarakan bimbang (pesta perkawinan),
masyarakat yang diundang akan hadir hanya sebagai tamu.
Masyarakat tidak memberikan bantuan tenaga untuk menyukseskan acara bimbang tersebut. Sebaliknya apabila orang yang
melaksanakan bimbang adalah orang yang suka menolong, maka
warga tidak akan segan utuk memberi bantuan baik moril
maupun materil. Pribadi belagham juga memiliki sikap hormat
pada sesama, terutama pada orang tua. Sikap ini diaplikasikan pada
pelaksanaan aturan sapaan (tutughan). Setiap anggota masyarakat
akan menyapa yang lainnya dengan sapaan yang melekat pada
diri orang yang bersangkutan.
Pada masyarakat Serawai anak laki-laki dan perempuan
yang sudah akil baligh dan belum menikah, disebut budak bujang
(untuk laki-laki) dan budak gadis (untuk perempuan). Istilah ini
digunakan sesuai dengan fungsi mereka sebagai suruhan orang di

7

dusun. Pemuda dan pemudi itu dengan suka rela menerima dan
melaksanakan peran yang diberikan masyarakat kepadanya.
Mereka mendapat tugas untuk membantu apabila salah satu
anggota masyarakat sedang melakukan kegiatan yang membutuhkan banyak tenaga. Pergaulan antara budak bujang dan
budak gadis yang bersaudara, disebut juga pergaulan antara
kelawai (untuk perempuan) dengan muanai (untuk laki-laki).

Pergaulan itu mempunyai batasan-batasan dan aturan-aturan
tertentu. Aturan pergaulan antara mereka dimaksudkan sebagai
penghormatan, serta untuk mencegah munculnya perilaku yang
tidak pantas dan pelanggaran norma sosial.

B. Fokus dan Rumusan Masalah Penelitian
Pendidikan dalam keluarga menempati tempat utama yang
strategis dan menentukan. Dikatakan menentukan karena dalam
keluarga dilakukan pembinaan personalisasi nilai. Pembinaan
yang dilakukan keluarga, dalam mengembangkan nilai pada
pribadi anak merupakan hal yang sangat penting. Pendidikan nilai
di dalam keluarga yang menentukan dan sangat diperlukan dalam
mengembangkan kepribadian tersebut, sebagaimana dikemukan
oleh Noor (1997:274), “pendidikan kepribadian dan kebangsaan
dalam

rumah

tangga

tokoh-tokoh

bangsa

Indonesia

telah

mempribadikan nilai-nilai budaya kebersamaan dalam diri tokohtokoh tersebut”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa sistem nilai
budaya yang dianut keluarga akan menjadi patokan dan acuan
perilaku dalam berinteraksi dengan sesama. Begitu penting dan
strategis peranan keluarga dalam mengembangkan dan membina
kepribadian, dikemukakan pula oleh Kadarusmadi (1996:217),

8

“pendidikan dalam keluarga membantu anak menemukan dan
mengembangkan diri serta mewarisi nilai-nilai yang berguna
dalam menghadapi kondisi kehidupan di masa depan”.
Kegiatan dan proses pendidikan nilai dalam keluarga, merupakan masalah yang menarik untuk dicermati. Terutama terhadap peran dan pelaksanaan dalam membina, mengembangkan
dan mempribadikan nilai kepada anak. Pertanyaan yang dialamatkan
pada peran dan kegiatan pendidikan dalam keluarga ini bukanlah
sesuatu yang janggal, apabila melihat fenomena pada masyarakat
umum yang mengalami krisis nilai-moral. Sementara ada fenomena
lain yang ditunjukkan oleh masyarakat Serawai yang secara umum
masih memegang dan menganut nilai-nilai budayanya. Keadaan ini
menyebabkan penulis ingin mendapatkan informasi lebih mendalam
tentang bagaimana nilai-nilai itu masih menjadi pedoman dalam
kehidupan personal dan sosial mereka. Penelitian ini difokuskan
pada pelaksanaan pendidikan dan personalisasi nilai budaya
belagham dalam keluarga.

Bertolak dari latar belakang masalah, identifikasi masalah
serta fokus penelitian, maka permasalahan utama penelitian
dirumuskan sebagai berikut ”Apa yang dilakukan keluarga Suku
Serawai dalam mewariskan budaya belagham melalui pendidikan
dan personalisasi nilai kepada anak”. Masalah utama ini dijabarkan ke

dalam rumusan pertanyaan-pertanyaan penelitian di bawah ini:
1. Mampukah keluarga mewariskan nilai-nilai budaya belagham
melalui pendidikan dan personalisasi pada anak. Apa saja
alasan yang melatarbelakangi pewarisan budaya itu.
2. Bagaimanakah praktek pelaksanaan pendidikan dan personalisasi nilai yang dilaksanakan oleh keluarga suku Serawai.

9

Bagaimana

susana

pendidikannya,

apa

tujuannya

dan

bagaimana pula cara mencapai tujuan itu.
3. Sejauh mana kemampuan keluarga suku Serawai melaksanakan dan mengembangkan fungsi pendidikan nilai di dalam
keluarga sebagai lembaga pendidikan (umum) bagi anak.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan:
1. Model pewarisan budaya belagham melalui pendidikan dan
personalisasi nilai kepada anak dalam keluarga suku serawai.
Model tersebut akan menggambarkan, kegiatan, landasan, tujuan,
pendekatan dan metode, sumber dan media, suasana pelaksanaan,
dan evaluasi pendidikan nilai dalam keluarga.
2. Respons anak terhadap aktivitas pembinaan nilai budaya
belagham yang dilaksanakan orang tua dan aturan berperilaku

di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
3. Praktek pendidikan dan personalisasi nilai dalam keluarga
pada masyarakat Serawai secara konseptual.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:
1. Menampilkan model pewarisan budaya belagham yang akan
memperkaya dan memperluas khasanah Pendidikan Umum.
Model ini juga dapat memberi kontribusi pada pendidikan nilai
di sekolah melalui penerapan nilai-nilai instrinsik budaya belagham
dalam mengembangkan pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan
dan pembinaan budi pekerti di sekolah.

10

2. Perluasan

cakrawala

pengetahuan

tentang

budaya

yang

terdapat di tanah air Indonesia dan model pendidikannya. Di
samping itu temuan di lapangan, dapat memberikan kontribusi
bagi peningkatan kualitas pendidikan nilai budaya di keluarga
suku Serawai khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Temuan ini juga dapat memberi masukan yang bermanfaat bagi
masyarakat bagaimana mewariskan dan pengembangkan nilainilai dalam pribadi anak berdasarkan budaya pada masyarakat
setempat.

E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naturalistik. Pendekatan ini dipilih, karena peneliti ingin
menyingkap segala sesuatu yang sedang berlangsung secara
alami. Informasi yang akan dicari adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanan pendidikan nilai dalam keluarga
secara utuh. Sesuai dengan pendekatan penelitian, studi ini lebih
menitikberatkan pada pengkajian proses dan fenomena secara
menyeluruh yang saling terkait. Pendekatan naturalistik melihat
sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling
terkait (McMillan and Schumacher, 2001; Creswell, 1998; Gall,
Gall, & Borg, 2003).
Sumber informasi penelitian adalah dua keluarga inti.
mereka ditemukan karena dapat memberikan informasi yang kaya
bagi studi (Patton, 1990 dalam McMillan, 2001:400) dan sebagai
informasi kunci. Dalam menemukan sumber informasi digunakan
jaringan kerja bola salju. Instrumen penelitian adalah peneliti
sendiri. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara

11

mendalam, dan dokumentasi. Data yang telah diperoleh di lapangan,
dianalisis sejak tahap orientasi sampai tahap pelaporan hasil
penelitian.

Proses

analisis

data

melalui

analisis

selama

di

lapangan dengan cara: (1) membuat kategorisasi temuan dan menyusun
kodenya, (2) menata sekuensi atau urutan permasalahannya
(Muhajir, 1990:185). Sementara analisis setelah kembali dari
lapangan dilakukan dengan langkah-langkah: (1) mereduksi data,
(2) mengambil kesimpulan dan verifikasi (Nasution, 1988: 129).
Keabsahan data dicek dengan cara: (1) memperpanjang waktu di
lapangan, (2) strategi multi metode, (3) catatan ucapan partisipan,
(4) mengumpulkan referensi dari berbagai sumber, dan (5)
pemeriksaan

dengan

kelompok

atau

teman

sejawat,

dan

melakukan trianggulasi. Lokasi penelitian di dusun Seginim dan
Pagar Batu, Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu.
Desain penelitian sebagai berikut:
Pendidikan nilai
budaya belagham
dalam keluarga
suku Serawai

Analisis

Personalisasi nilai
pada anak

Pelaksanaan
Instrumen
Peneliti
Sendiri

Met/Pendekatan
Kual, Naturalistik
Studi Kasus

Bagan 1.1: Desain Penelitian

Pengamatan,
Wawancara,
Dokumentasi

Cek keabsahan
data

Temuan

Model Hipotetik
Personalisasi
nilai budaya
Belagham

Dalil-Dalil

12

D. Definisi Operasional
Untuk menyamakan persepsi terhadap topik penelitian yang
dikemukakan dan untuk memperjelas ruang lingkup serta ramburambu penelitian, dipandang perlu menjelaskan beberapa konsep
mendasar melalui definisi operasional, berikut ini:

1. Pewarisan Budaya Belagham
Pewarisan budaya Belagham adalah suatu aktivitas pengalihan
atau transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu
dari orang tua kepada anak. Aktifitas ini dimaksudkan untuk
mempertahankan, menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai
belagham dalam diri anak. Pewarisan nilai dasar budaya (pikiran,

sikap, perilaku, dan norma) yang dilakukan orang tua melalui,
pendidikan, sosialisasi, inkulturisasi, dan internalisasi (Koentjaranigrat,
1990: 227-234), sehingga mempribadi pada anak. Belagham dalam
bahasa Serawai adalah suatu konsep yang menunjukkan karakter
pribadi bermuatan nilai. Nilai-nilai itu adalah, sopan santun dan
penghormatan, kepatuhan, kerukunan, gotong royong, kepedulian, toleransi dan rela berkorban, demokrasi, kepercayaan, dan
keyakinan beragama (Achmad, 1989:24-52).
Seseorang dikatakan belagham apabila orang itu menunjukkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai tersebut di atas secara
mantap dan konsisten pada setiap tindakan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengoptimalan pendidikan nilai budaya belagham
dalam keluarga, akan membantu anak menjadi generasi penerus
yang unggul. Usaha ini merupakan suatu proses membudayakan
anak didik (Tilaar, 200:30). Pengembangan pribadi anak tidak lain
untuk

membudayakan

anak,

agar

menjadi

manusia

yang

13

bermoral. Perwarisan nilai-nilai budaya belagham dimaksudkan
supaya nilai-nilai tersebut menjadi nilai yang tercernakan dalam
diri anak. Nilai yang tercernakan (personalized value) merupakan
suatu landasan dari reaksi-reaksi yang diberikan secara otomatis
terhadap situasi-situasi tingkah laku yang ada. Nilai tercernakan
tidak dapat dipisahkan dari pribadi seseorang. Nilai ini membentuk landasan bagi hati nurani (Sulaeman, 1998:20). Bila
terjadi pemaksaan terhadap nilai-nilai ini, maka akan timbul rasa
malu atau rasa bersalah yang sangat sulit untuk dihilangkan.
Nilai yang tercernakan, akan dihayati dan dijiwai oleh orang yang
bersangkutan.

2. Personalisasi Nilai
Personalisasi

dalam

bahasa

asing

disebut

dengan

personalized atau personalizing. Kata personalized dalam “The

Contemporary Dictionary” mengandung makna menjadikan milik
pribadi (Salim,1989:1392). Dari pengertian ini maka personalisasi
dapat dimaknai sebagai proses kepemilikan terhadap sesuatu
sehingga menjadi milik pribadi. Nilai menurut Shaver & Strong
(1982:17), are our standars and principles...They are the criteria by
which we judge “things” (peopel, objects, ideas, actions, and
situations) to be good, worthwhile, desirable, or, on the other hand
bad, worthless, despicable. Nilai adalah ukuran-ukuran dan

prinsip-prinsip

kita.

Ukuran-ukuran

dan

prinsip-prinsip

itu

sebagai kriteria dalam menilai sesuatu (orang, objek, ide-ide,
tindakan-tindakan, dan situasi-situasi), apakah baik, berharga,
diinginkan atau buruk, tidak berharga, tidak diinginkan. Dengan
demikian personalisasi nilai adalah suatu proses pemilikan prinsip-

14

prinsip dan standar-standar penilaian tentang sesuatu (orang,
objek, ide-ide, tindakan-tindakan dan situasi-situasi), apakah baik,
berharga, dinginkan atau buruk, tidak berharga, tidak diinginkan.

Personalisasi nilai dapat pula dimaknai sebagai bersatunya sistem
nilai dengan sistem personal seseorang (Djahiri: 1996:20). Proses
Personalisasi nilai adalah suatu proses penyerapan nilai oleh anak
dari interaksi dalam keluarga. Proses penyerapan nilai itu melalui
imitasi, identifikasi terhadap apa yang diindera dengan mata dan
telinga. Penginderaan itu dilakukan anak terhadap segala tindakan, sikap, ucapan dan sosok pribadi orang tua dan anggota
keluarga. Dari proses ini anak memilih nilai-nilai dan mempribadikannya dalam diri. Tujuan personalisasi nilai, agar anak memiliki
jati diri sesuai dengan budayanya. Nilai yang mempribadi itu
sebagai bekal dalam berhadapan dengan konflik dan perubahan
nilai di masyarakat. Koencaraningrat (1990:52) mengungkapkan,
mempribadinya nilai-nilai pada anak, akan menjadi filter terhadap
nilai-nilai asing dan perilaku yang tidak cocok dengan budaya dan
kepribadian bangsa. Isi pendidikan nilai berhubungan dengan
segala aspek nilai budaya, adat-istiadat, kebiasaan dan keyakinan
yang dianut oleh keluarga. Dengan begitu personalisasi nilai
budaya merupakan persemaian nilai kehidupan suatu masyarakat, serta revitalisasi moral pada masyarakat itu sendiri (Tilaar,
2000).

3. Pendidikan Nilai Dalam Keluarga
Pendidikan nilai yang dimaksud adalah upaya orang tua
dalam membimbing dan membina anak agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan melalui proses pembiasaan

15

bertindak yang konsisten (Mulyana: 2004:119). Pengertian ini
bermakna bahwa pendidikan nilai adalah bantuan dan upaya yang
dilakukan oleh orang tua dalam membimbing dan menanamkan
nilai pada anak. Dari pendidikan itu anak mendapatkan pengalaman dan pembiasaan berperilaku yang bermuatan nilai. Anak
akan mejadikan nilai-nilai sebagai pedoman dalam kehidupan.
Dengan demikian pendidikan nilai bertujuan untuk mengarahkan
pemikiran anak dalam memilih nilai-nilai personal, sosial, moral
dan spiritual. Di samping itu agar anak memiliki kesadaran untuk
melaksanakan, mengembangkan, memperdalam, dan menghormati nilai-nilai itu.
Pendidikan

nilai dalam keluarga

dilakukan

orang tua

dengan cara memberikan bimbingan, latihan dan pembiasaan
pada aturan yang mengandung nilai-nilai di dalam keluarga.
Orang tua juga berperan sebagai model dalam bersikap dan
berperilaku. Kegiatan pendidikan dimaksudkan agar anak berkembang perilakunya (akhlaknya), ke arah lebih baik, berkembang
pula kepribadiannya secara menyeluruh. Dengan kata lain bila
orang tua telah berupaya mendidikan nilai pada anak, diharapkan
nilai itu mempribadi dalam diri anak. Pada akhirnya nilai itu akan
menjadi tabiat dan watak dalam kepribadiannya.
Keluarga yang dimaksud adalah suatu lingkungan sosial
yang terkecil atau suatu kelompok yang terikat oleh ikatan
perkawinan dan pertalian darah. Anggota-angotanya terdiri dari,
suami dan isteri yang menjadi orang tua. Anak-anak dari hasil
perkawinan suami isteri sebagai anggota keluarga. Pada lingkungan itulah orang tua melaksanakan tugas mendidik dan membimbing anak-anaknya. Keluarga yang dimaksud dalam studi ini

16

adalah

dua

Bengkulu

keluarga

yang bertempat tinggal di Kabupaten

Selatan, Kecamatan Seginim, Dusun Seginim dan

Dusun Pagar Batu.

4. Model Pendidikan Nilai
Berdasarkan pengertian nilai dan pendidikan nilai yang
telah dikemukakan para ahli, model pendidikan nilai adalah, “a
way of thinking about the processes of caring, judging, and acting in
an educational setting” (Hersh, Miller, Fielding, 1980:7). Konsep ini

memberi makna bahwa model pendidikan nilai adalah suatu
proses pemikiran yang berhubungan dengan kepedulian, pertimbangan dan tindakan yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan.
Suatu model meliputi teori atau sudut pandang tentang bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan nilai pada anak. Model
meliputi seperangkat strategi atau prinsip-prinsip untuk meningkatkan pertumbuhan nilai. Penggunaan model membantu pendidik

menerapkan

prosedur

pendidikan

nilai

secara

efektif.

Dengan kata lain model pendidikan nilai merupakan suatu
perencanaan yang mejadi pedoman melaksanakan pendidikan
nilai. Suatu model, beremuatan pemikiran tentang kepedulian,
pertimbangan, dan tidankan-tidankan yang akan diambil oleh
pendidik, untuk meningkatkan, mengembangkan nilai-nilai anak
pada “setting” pendidikan. Pada pelaksanaan model pendidikan

nilai

terdapat

tujuan

yang

akan

dicapai,

langkah-langkah

kegiatan, interaksi sosial, pendekatan dan penggunaan berbagai
metode, sumber dan media, serta evaluasi pencapaian nilai.

17

81

BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan deskripsi
analitik terhadap fenomena upaya pewarisan budaya belagham
melalui pendidikan dan personalisasi nilai dalam keluarga di
masyarakat Suku Serawai. Dalam menggali dan memahami makna
dari data empirik yang akan menghasilkan temuan dari penelitian
ini akan digunakan prosedur penelitian, (1) pendekatan penelitian,
(2) desain penelitian, (3) jenis dan sumber data penelitian, (4) kehadiran
peneliti di lapangan, (5) strategi pengumpulan dan analisis data (6)
pengecekan keabsahan data. Masing-masing prosedur kegiatan ini
akan diuraikan berikut.

A. Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan arah penelitian, studi ini tidak dimaksudkan
untuk menguji suatu teori, tetapi lebih pada upaya memaparkan
secara naratif dan mendalam tentang fenomena-fenomena yang
terjadi dan ditemukan berdasarkan perspektif partisipan. Dengan
demikian dapat diketahui tahapan dan metode serta proses personalisasi nilai kepada anak, yang dilakukan secara menyeluruh.
Sesuai dengan pemaparan di atas, maka penelitian ini lebih
menitikberatkan pada pengkajian suatu proses dan fenomena
yang saling terkait. Karenanya pendekatan utama yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif. McMillan dan Schumacher (2001),
Creswell (1998), Gall, Gall, dan Borg (2003) mengungkapkan,

82

penelitian kualitatif didasarkan pada asumsi bahwa realitas
merupakan sesuatu yang bersifat ganda. Saling terkait dan di
dalamnya terjadi saling bertukarnya pengalaman sosial yang
diinterpretasikan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok.
Pendekatan kualitatif lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya
dalam satu kesatuan yang saling terkait (Creswell:1998; Gall, Gall,
Borg: 2003, McMillan dan Schumacher: 2001).
Fenomena atau peristiwa yang terjadi dan ditemukan dalam
penelitian akan diuraikan secara rinci dan mendalam. Dengan
pendekatan kualitatif, peneliti beranjak mendapatkan sejumlah
informasi yang lengkap dan detail berdasarkan perspektif partisipan.
Partisipan pada penelitian ini adalah individu-individu dalam
suatu keluarga. Dari aktivitas pendidikan dalam keluarga, akan
didapatkan makna pada setiap fenomena dan peristiwa yang ditemukan. Fenomena dan peristiwa berdasarkan perspektif partisipan itu akan diteliti dalam rangka memperoleh justifikasi bagi
kelayakan temuan, yang berhubungan dengan tujuan, proses,
metode, dan landasan pendidikan dalam keluarga. Karena itu,
kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kerangka pikir induktif. Untuk itu kajian dalam studi ini tidak
diredusir pada variabel-variabel yang telah diatur atau sebuah
hipotesis yang direncanakan sebelumnya. Akan tetapi dilihat
sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang holistik.
Sesuai dengan pendekatan kualitatif yang digunakan, penelitian ini mengharuskan peneliti untuk berinteraksi secara
langsung dan intensif dengan keluarga dan masyarakat Suku
Serawai. Interaksi secara langsung dan intensif dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi apa adanya melalui observasi dan

83

wawancara. Gall, Gall dan Borg (2003: 437), Moleong (1991: 125152), McMillan dan Shumacher (2001:396), mengemukakan, fenomena dan peristiwa dapat dimaknai secara baik jika dilakukan
interaksi melalui observasi dan wawancara mendalam dengan
sumber informasi.
Pendekatan kualitatif dipergunakan mulai dari proses perencanaan penelitian, penentuan lokasi, pemilihan sumber informasi,
melakukan pengamatan partisipatif, dan pelaksanaan wawancara
mendalam terhadap proses pendidikan nilai oleh orang tua di
keluarga. Pengamatan dilakukan terhadap semua peristiwa dan
fenomena yang ada di lingkungan keluarga saat melaksanakan
pendidikan pada anak. Pengamatan ini, dilakukan terhadap segala
kegiatan dan tata cara hidup setiap anggota keluarga dalam
kegiatan sehari-hari. Wawancara mendalam dilakukan pada orang
tua, anak-anak, dan orang-orang terdekat dengan keluarga yang
menjadi sumber informasi. Pengamatan dan wawancara mendalam
dilakukan secara terus menerus guna merekam seluruh kegiatan
pendidikan nilai dalam keluarga. Pendekatan kualitatif ini menggunakan model studi kasus. Penelitian ini lebih diarahkan pada
desain penelitian studi kasus.

B. Desain Penelitian
Studi kasus terfokus pada suatu fenomena dalam kelompok
sosial-budaya atau suatu sistem yang dipahami secara mendalam
dari perspektif partisipan (Gall, Gall dan Borg, 2003: 441; Creswell,
1997: 87; McMillan dan Shumacher, 2001: 398). Aktivitas penelitian
yaitu, melakukan pengamatan dan mempelajari pola-pola perilaku,
adat-istiadat, dan cara-cara kehidupan suatu kelompok (Harris,

84

1968. Goetz, LeCompte, 1984. Wolcott, 1994. dan creswell 1998).
Informasi diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumen
(artifak) yang dapat membantu menyusun dan menggambarkan
aktivitas yang terjadi. Cara mengumpulkan data utama melalui
observasi dan wawancara yang intensif (Wolcott, 1994).
Dari obervasi partisipan terhadap kehidupan keluarga yang
diteliti, ditambah wawancara pada angota-anggota keluarga, akan
dapat dipelajari makna-makna dari perilaku, bahasa, dan interaksi
antar anggota keluarga yang bersangkutan (Agar, 1980). Kegiatan
lapangan dilakukan untuk merekam, menyusun pola-pola perilaku,
cara hidup, dan tata aturan yang ada dalam keluarga. Untuk itu,
studi kasus harus peka terhadap isu-isu di lapangan (Hammersley
& Atkinson, 1995., wolcott,1996).
Pilihan pada model studi kasus, disebabkan peneliti ingin
menyingkap peristiwa dan fenomena yang sedang berlangsung,
yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan nilai dalam
keluarga secara utuh. Sebagaimana diungkapkan oleh Gall, Gall,
dan Borg (2003:486-487), ciri studi kasus yaitu, “it is in-depth
study of instance of a phenomenon in its natural context and from
the perspective the participants involved in the phenomenon”. Studi

ini akan dilakukan pada setting keluarga di masyarakat suku
Serawai dan yang akan diteliti adalah upaya mewariskan budaya
belagham kepada anak di dalam keluarga. Informasi yang akan

digali di lapangan, mulai dari kondisi: kehidupan keluarga, peran
setiap anggota keluarga (ayah, ibu dan anak), dan peristiwaperistiwa khusus yang terjadi dalam aktifitas pendidikan, termasuk
pada kehidupan keluarga yang khas dengan latar Suku Serawai
dari perspektif budaya Serawai (data emic). Di samping itu dari

85

interpretasi peneliti tentang kehidupan sosial dalam perspektif
Pendidikan Umum, khususnya pendidikan nilai (data etik). Langkahlangkah kegiatan penelitian bila divisualisasikan sebagai berikut:
Studi awal

Tahap
perenca
naan

Analisis

Pelaksanaan
(observasi,
interview,
dokumen)

Mempertajam fokus
dan
perumusan
masalah
penelitian

Temuan

Pengecekan
keabsahan
data

Simpulan
hasil penelitian,
rekomendasi,
dalil-dalil

MODEL
HIPOTETIK
PERSONALI
SASI NILAI
BELAGHAM

Bagan 3.3: Langkah-Langkah Kegiatan Penelitian

Studi ini mempelajari bagaimana nilai budaya mempribadi
pada anggota pendukungnya. Nilai budaya yang dimaksud terrefleksi pada keyakinan, kebiasaan, tabu, gaya hidup dan aspekaspek lain sebagai tipe kebudayaan yang mempribadi dan menentukan perilaku. Penelitian ini terfokus pada perspektif orang Serawai,
dilaksanakan dalam setting yang alami. Langkah-langkah kegiatan
penelitian adalah: 1) melakukan penelitian awal, 2) memilih lokasi
penelitian, 3) mentukan subjek penelitian, 4) eksplorasi ke lapangan.

1. Penelitian Awal
Sebelum mengajukan rancangan penelitian, dilakukan penelitian awal. Pada penelitian awal ini, peneliti melakukan pengamat-

86

an dan bergaul dengan masyarakat Serawai. Kegiatan itu dimaksudkan untuk melihat, adakah sesuatu yang patut menjadi
perhatian, yaitu adat istiadat pergaulan Suku Serawai. Untuk
memenuhi rasa

ingin tahu yang lebih dalam tentang nilai-nilai

budaya yang tercermin dari perilaku pergaulan dalam kehidupan
sehari-hari, peneliti menemui orang-orang tua yang dituakan oleh
masyarakat dan Kepala Desa. Pertemuan seperti ini, tidak hanya
pada satu lokasi, melainkan beberapa lokasi, seperti desa Masat,
ibu kota kabupaten (kota Manna), desa Seginim, desa Padang
Kapuk. Dari beberapa lokasi dan dari pergaulan dengan orangorang yang berasal dari Suku Serawai, peneliti menemukan adat
istiadat dan perilaku yang memiliki pola relatif sama.
Kegiatan penelitian awal menemukan berbagai permasalahan. Permasalah yang menggelitik itu antara lain adalah, bagaimana
kebiasaan-kebiasan yang terpola pada individu-individu menjadi
value personalized pada pendukung budaya Serawai. Dengan

munculnya masalah, selanjutnya dilakukan identifikasi masalah.
Dari identifikasi ternyata ada suatu masalah yang menarik perhatian untuk dijadikan fokus penelitian. Fokus itu diangkat
menjadi topik penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini.
Kemudian peneliti membuat suatu rancangan penelitian dalam
bentuk proposal. Rancangan penelitian kemudian diajukan pada
forum seminar Program Pascarasjana untuk mendapatkan masukan bagi penelitian di lapangan.

2. Memilih Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berdasarkan tempat di mana orang-orang
yang diperlukan bertempat tinggal. Lokasi yang dipilih, berhu-

87

bungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sedangkan
sumber informasi berdasarkan pada masalah penelitian, tujuan
studi, teknik pengumpulan data utama dan tersedianya informasi
yang kaya. Penentuan sumber penelitian kualitatif sebagaimana
dikemukakan oleh McMillan dan Schumacher (2001:404), dengan
cara mempertanyakan: apa tujuan studi, apa fokus studi, apa
strategi utama teknik pengumpulan data, apakah tersedia informan,
dan apakah informasi menjadi berlebihan.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah desa Seginim. Terpilihnya
lokasi ini berdasarkan kesesuaian dengan tujuan penelitian dan
terdapat sumber informasi yang kaya bagi pengumpulan data.
Untuk itu, peneliti menetapkan dua keluarga yang sesuai dengan
kriteria yang peneliti tetapkan. Keluarga yang dimaksud adalah
keluarga inti yang berdiam di lingkungan budaya Serawai.

3. Strategi Penentuan Sumber Informasi
Sumber informasi penelitian ditentukan dengan menggunakan
pendekatan bola salju. Setelah peneliti memilih suatu situs kelompok
sosial-budaya, selanjutnya diputuskan siapa dan apa yang akan
diteliti. Tujuan penentuan sumber ialah untuk memilih informasi
yang kaya bagi kedalaman studi. Sebelum sumber ditemukan,
terlebih dahulu dicari infomasi tentang variasi sub-sub unit.
Kemudian meneliti informasi-informasi yang kaya untuk dijadikan
informasi kunci dalam mempelajari individu-individu, kelompokkelompok, peristiwa-peristiwa, atau tempat-tempat. Mereka dipilih
karena memiliki pengetahuan mengenai informasi-informasi yang
dibutuhkan.

88

Untuk mendapatkan sumber informasi pendidikan nilai
dalam keluarga yang mengacu pada budaya belagham, digunakan
beberapa prosedur yang dikemukakan oleh Fetterman (1989)
dalam Creswell (1998:120) yang merekomendasi cara kerja dengan
pendekatan jaringan besar. Pertama peneliti bergaul dengan setiap
orang. Kemudian peneliti mempertimbangkan untuk memilih
kelompok-kelompok dari sub-budaya atau unit berdasar pada
pertanyaan penelitian dan menentukan kriteria dalam melakukan
pemilihan. Di samping itu, adanya kesediaan partisipan juga
merupakan dasar bagi pemilihan sumber informasi. Seleksi ini
dimulai dengan mendiskripsikan profil orang-orang yang diharapkan memiliki pengetahuan sesuai dengan topik penelitian. Peneliti
menyaring

setiap

orang

yang

potensial

untuk

diobservasi,

diwawancara dan hanya orang-orang yang memenuhi kriteria saja
yang dijadikan partisipan dalam penelitian.

4. Eksplorasi Lapangan
Sebelum turun ke lapangan, terlebih dahulu dilakukan
penyusunan foreshadow penelitian sementara. Selanjutnya dilakukan persiapan, yaitu membuat surat permohonaan izin melaksanakan penelitian kepada kepala daerah Kabupaten Bengkulu
Selatan, sekaligus melakukan orientasi lapangan. Dari orientasi
ini ditentukan sumber informasi dengan beberapa pertimbangan
dan sesuai kriteria penentuan sumber yang telah dikemukakan
terlebih dahulu. Selanjutnya menetapkan dua keluarga yang akan
menjadi sumber informasi.
Tahap eksplorasi lapangan dilakukan dengan eksplorasi terpusat.
Antara tahap orientasi dan tahap eksplorasi berjarak selama dua

89

minggu. Ini dilakukan karena data yang telah terhimpun pada
tahap orientasi perlu disusun dalam rangka proses analisisnya.
Tenggang waktu ini dimaksudkan agar pengumpulan data selanjutnya lebih terarah pada informasi yang diperlukan. Peran
peneliti di samping melakukan observasi partisipan dan observasi
penuh, juga melakukan wawancara. Peran-peran ganda tersebut
bervariasi, seperti berdialog dan berinteraksi untuk memperoleh
data dengan para partisipan. Melakukan hubungan-hubungan sosial,
dan bergerak dari satu kelompok atau orang ke kelompok atau
orang yang lain. Partisipasi dilakukan untuk mengembangkan
kepercayaan dan keberterimaan sebagai orang luar oleh orang
dalam. Setelah peneliti terjun ke lapangan dengan seperangkat
masalah-masalah bayangan, peneliti berinteraksi dengan subjek
penelitian untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukan.
Kemudian membina hubungan baik dengan masyarakat suku
Serawai di Seginim, selanjutnya mulai dilakukan observasi dan
wawancara pada subjek penelitian secara mendalam.

5. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data
Sebelum dilakukan pengumpulan data, peneliti menemui
Kepala Desa untuk memohon izin berkunjung ke lokasi penelitian.
Setelah ada kesepakatan antara peneliti dan Kepala Desa, selanjutnya peneliti menemui orang-orang yang dapat membantu memasuki lokasi untuk mengumpulkan informasi di lapangan. Kegiatan
itu dilakukan dalam upaya menjalin hubungan baik dengan lingkungan yang menjadi lokasi penelitian, mencari dukungan dan
bantuan dalam mendapatkan informasi. Hammersley & Atkinson,
(1995) dalam Creswell (1998:117) mengemukakan,

90

In an study, access typically begins with a “gatekeeper”, an
individual who is a member of or has insider status with a
cultural group. This gatekeeper is the initial contact for the
researcher and leads the researcher to other informants.
Observasi partisipan memungkinkan peneliti memperoleh
persepsi-persepsi orang tentang peristiwa dan proses yang diekspresikan dalam tindakan, perasaan, pemikiran, dan keyakinan.
Persepsi-persepsi tersebut ditemukan dalam tiga bentuk yaitu:
verbal, nonverbal dan pengetahuan-pengetahuan yang diucapkan.
Untuk memperoleh persepsi-persepsi tersebut, peneliti menyimaknya
melalui semua indera yang dimiliki.

C. Jenis dan Sumber Data
Sumber data penelitian adalah sumber primer dan sumber
sekunder. Data primer penelitian adalah orang tua sebagai pendidik
di keluarga dan anak sebagai subjek didik. Informasi yang digali
adalah kegiatan pelaksanaan pendidikan nilai. Objek penelitian
adalah seluruh tahapan kegiatan pendidikan. Aktivitas pendidikan
ini dalam situasi adegan yang wajar dan apa adanya. Subjek
penelitian adalah orang tua dan anak didik. Orang tua sebagai
subjek karena kedudukannya dalam keluarga sebagai penanggung
jawab pendidikan anak. Anak sebagai subjek, karena ia yang dikenai pendidikan dan mempribadikan nilai-nilai (value personalized).
Di samping itu orang tua dan anak dalam situasi pendidikan
mengadakan jalinan interaksi yang timbal balik.
Data dikumpulkan melalui pengamatan, untuk mengungkapkan pelaksanaan pendidikan. Pengamatan dilakukan pada
aktivitas pendidikan melalui interaksi antara orang tua dan anak.

91

Selain itu digunakan juga wawancara pada subjek untuk menggali
dan memahami tentang kehidupan subjek serta pandanganpandangan dan pejelasan-penjelasan perilaku yang ditampakkan
dari perspektif subjek. Data dikumpulkan secara holistik agar
memberikan kesatuan konteks sehingga mudah dipahami.
Penyaringan informasi dari sumber yang akan digali, dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria: (1) keluarga tersebut
keluarga inti, (2) keluarga itu memiliki anak balita, anak usia
sekolah dasar dan remaja, (3) orang tua (ayah, ibu berasal dari
Suku Serawai), (4) keluarga tersebut bertempat tinggal di lingkungan sosial-budaya masyarakat Serawai, (5) keluarga tersebut masih
memegang adat istiadat Suku Serawai.
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh bukan
dari subjek utama, melainkan dari orang-orang di sekitar subjek
utama. Sumber data lain adalah dokumen-dokumen yang mendukung data sekunder yang terdapat di lingkungan latar penelitian,
baik dokumen tidak resmi maupun dokumen resmi. Data sekunder
digunakan untuk memperkuat dan menguji keabsahan data yang
diperoleh dari subjek utama.
Sumber data sekunder terdiri dari, (1) lingkungan, yakni
keluarga dekat dan tetangga yang memiliki informasi yang banyak
tentang subjek penelitian, (2) teman sebaya, diperkirakan dapat
memberikan informasi karena banyak mengetahui kondisi sumber
informasi dari kegiatan permainan, (3) tokoh masyarakat atau
orang yang dituakan, (4) para ahli yang terkait, (5) bahan
bacaan/literatur.

92

D. Kehadiran Peneliti di Lapangan
Kehadiran peneliti di lapangan adalah sebagai partisipan
sekaligus sebagai instrumen penelitian. Sebagai instrumen, peneliti sendiri yang terjun ke lapangan mengumpulkan data yang
diperlukan. Dalam mengungkap peristiwa dan fenomena yang ada,
peneliti bertindak secara langsung mengamati, mengobservasi,
membaca situasi serta menangkap fenomena pendidikan yang dilakukan orang tua dan fenomena perilaku anak dalam latar
penelitian. Peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian, karena
hanya manusia sajalah yang paling tepat berhubungan dengan
responden yang sedang ditelitinya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Moleong (1991:5), “hanya manusia saja sebagai alat yang
dapat berhubungan dengan responden dan objek lainnya, dan
hanya

manusia

yang mampu

memahami kaitan kenyataan-

kenyataan di lapangan”. Di samping itu manusia sebagai instrumen
dapat melakukan penilaian apakah kehadirannya menjadi faktor
pengganggu. Apabila terjadi hal demikian ia dengan cepat akan
menyadarinya serta dapat mengatasinya. Sebagai pedoman dalam
menjaring data di lapangan, peneliti berpegang pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Berusaha menceburkan diri dengan sumber informasi dan
semua situasi sehingga dapat mengumpulkan semua hal
yang sedang berlangsung di lapangan.
2. Berusaha merespon segala stimulus yang ada di lingkungan
penelitian yang diperkirakan bermakna bagi penelitian, supaya
peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat direkam dan didapat
maknanya.

93

3. Berusaha memahami dan menghayati sumber informasi di
lapangan.

E. Strategi Pengumpulan dan Analisis Data
1. Strategi Pengumpulan Data
Strategi pengumpulan

data

melalui beberapa

tahapan,

McMillan (2001:405), mengemukakan ada 5 fase pengumpulan
data yaitu, “phase planning, phase beginning, phase basic, phase
closing data collection, and phase completion”. Dalam kegiatan di

lapangan antara fase-fase ini tidak berlaku secara terpisah melainkan sebagai satu siklus yang saling berkaitan antara satu fase
dengan fase berikutnya.
Pada fase perencana