Bona Pasogit (Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

(1)

Bona Pasogit

(Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

Disusun Oleh :

Tripresar Jhon Tuan Panjaitan 090905041

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh :

Nama : Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan

NIM : 090905041

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Bona Pasogit (Studi Etnografi tentang pewarisan budaya dalam masyarakat Batak Toba marga Panjaitan di Pematangsiantar) Medan, Januari 2014

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen

Prof.Dr.Chalida Fachruddin Dr. Fikarwin Zuska

Nip.13014221800 Nip.19621220 198903 1 005

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof.Dr.Badaruddin, Msi Nip.19680525 199203 1 002  


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Bona Pasogit

(Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Januari 2014

Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan

     


(4)

ABSTRAK

Tripresar jhon tuan panjaitan, 2013. Judul skripsi: Bona Pasogit (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar).Skripsi terdiri dari 5 Bab, 90 halaman dan 4 tabel 2 bagan.

Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarkat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut.

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang bernama Kelurahan Sitalasari. Kelurahan ini berada di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan tanah rantau. Dan yang kedua Desa Sitorang, Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa merupakan kampung halaman. Mayoritas penduduk di kedua tempat ini adalah beretnis Batak Toba dan memiliki agama Kristen Protestan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi partisipasi kepada masyarakat terkait masalah penelitian.

Permasalahan yang dibahasa adalah bagaimana proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya.

Kesimpulann yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat kembali terhadap kampung halamannya, diawali dengan terjadinya sengketa tanah adat. Melalui sengketa tanah tersebut keluarga ini berusaha mencari tahu bagaimana tanah adat tersebut bisa menjadi kepemilikannya. Pencarian tarombo

silsilah dilakukan dan mendapat dukungan masyarakat sekitar bahwa itu memang tanah leluhur turunan Raja Hasoge Panjaitan, dan melalui hal ini keluarga ini bergabung dengan network marga yang dibentuk sesuai dengan turunan leluhur yang namanya adalah Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan kesatuan ini akan berusaha mengusulkan salah satu raja yang bernama Pun Tua Radja Panjaitan menjadi Pahlawan Nasional,


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya menyadari, penulisan skripsi dengan judul “Bona Pasogit” (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar) ini sangat jauh dari harapan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Disamping itu begitu banyaknya kendala-kendala yang sering menghadang yang mewarnai konsentrasi saya dalam memaksimalkan usahanya. Saya juga menyadari bahwa untuk saat ini, inilah hasil maksimal yang dapat disumbangkan walau senantiasa tersisipkan kekurangan dan kelemahan. Lembar ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya ini sayadidedikasikan kepada orang-orang terkasih yang selalu membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan kuliah di Jurusan Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara. Rasa senang, sedih, kecewa, putus harapan, puas, bahagia, takut, cemas semua saya rasakan selama penyelesaian skripsi ini. Saya bersyukur telah melalui tahap yang paling berkesan selama berkuliah. Terima kasih tak terhingga ini saya tujukan pertama kepada Tuhan Yesus Kristus. Saya menyadari bahwa teguran Tuhan dalam Amsal 19:15 mendukung saya menyelesaikan skripsi ini. “Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak, dan orang yang lamban akan menderita lapar” (Amsal 19:15). Tanpa-Nya semua sia-sia. Amin.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga untuk orang tuaku terkasih, bapak saya, St. Raja Hasoge Timbul Panjaitan dan mama saya,


(6)

dan pengorbanan terbesar dalam hidup saya agar terus berjuang dan menjadi yang terbaik. Skripsi ini spesial saya persembahkan buat keluarga besar saya Keturunan Raja Hasoge Panjaitan, dan tak lupa kepada kakak saya seorang bidan yang jauh diperantauan Padang Sidempuan Sara Jubelta Oktobrina Panjaitan dan lae saya

Wesly Nainggolan. Terima kasih atas semangat, unek-unek dan segala dukungan materi yang telah diberikan. Saya merasa bangga memiliki saudara perempuan saya terbaik dan terhebat Nova Christalia Panjaitan .

Terima kasih juga saya ucapkan kepada dosen pembimbing skripsi saya,

Prof.Chalida Fachruddin. Beliau tidak hanya sekedar dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan perhatian serta bimbingannya kepada saya mulai dari awal penyusunan proposal sampai akhir penyelesaian skripsi ini, tetapi juga seorang motivator inspiratif bagi saya dan juga sebagai teman curhat saya. Terima kasih atas semangat dan kesabarannya dalam membimbing skripsi saya. Jasa besar beliau akan selalu saya ingat. Saya pun ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, dan Ketua Departemen Antropologi, Bapak Dr. Fikarwin Zuska serta Bapak Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan saya di kampus ini serta dengan bijaksana memberikan arahan bagi saya.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen Penasehat Akademik saya, Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.Soc.Sc yang selalu memberikan saran serta motivasi selama masa perkuliahan saya. Dan juga ibu Sabariah Bangun “ Ayok bu ibu kuat mendaki bukit dalam gua Sipege tuh” .Terima kasih


(7)

juga saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi saya selama masa perkuliahan. Demikian juga kepada staf administrasi Departemen Antropologi Kak Nurhayati dan staf bagian Pendidikan

Kak Sofi yang dengan baik hati selalu memberikan informasi dan membantu saya mengurus surat-surat yang saya butuhkan terkait skripsi saya.

Tak lupa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Lurah Sitorang I

Gosen Panjaitan dan Lurah Hutanomora Binahar Panjaitan SE, dan informan saya bapak Malatang Panjaitan, Ir.Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan dan Anton Panjaitan yang telah memberikan memberikan informasi terkait skripsi saya serta seluruh informan, bou Bintang Panjaitan dan Opung Pangaribuan

saya yang tercinta yang telah bersedia menyediakan kebutuhan saya sehari-harinya saat tinggal di bona pasogit Sitorang. Dan seluruh marga Panjaiatn yang di Sitorang yang meluangkan waktunya untuk saya wawancarai dan berbagi informasi. Terima kasih buat dukungan yang diberikan kepada saya, tanpa kalian semua skripsi saya tidak akan selesai. Dan terkhusus buat lae saya Alm. Prof. D.P Tampubolon, terimakasih lae atas doa mu tiap minggunya dan memberikan waktunya buat sharing tentang skripsi saya ini.

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada

kerabat-kerabat mahasiswa/i Antropologi FISIP USU angkatan 2009 (ANTRO CONECTION) atas pengalaman-pengalaman tak terlupakan selama masa perkuliahan, terutama kepada Odong-Odong Community Together (Sentani, Rona, Tety, Marlyna”Dongan sahuta”), “Apara” Edi Panjaitan, lae Swandy,


(8)

lae marudut, lae imanda yang selalu heboh dengan omelan-omelan kecilnya terkait masalah proposal dan skripsiku dan tak henti-hentinya memberi semangat. Para kerabat se-Indonesia melalui Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia ”JKAI” dan teman-teman yang tak dapat kusebutkan satu per satu namanya. Begitu juga kepada senior saya terima kasih banyak buat motivasi dan bantuannya serta junior-junior saya semuanya. Kalian semua adalah saudara dan keluarga buat saya.

Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada si Jugul pramugariku, Nancy Crisyanti Sitanggang buat waktu, tenaga, pikiran, maupun materi yang diberikan buat saya mulai dari pengajuan judul sampai selesainya skripsi ini. Terima kasih telah mau berbagi tawa dan air mata selama penyelesaian skripsi ini. Semangat yang kamu berikan telah membuat saya bangkit dari keterpurukan. Emosi, cemburu dan nasehat yang tanpamu mungkin saya tidak bisa menyelesaikan skripsi ini “hati-hati disaat landing pesawatnya yah”. Terima kasih buat dukungan dan semangat yang kalian berikan selama penyelesaian skripsi saya. Terima kasih juga buat suka-duka kebersamaan yang kita jalani selama ini.

Terima kasih kepada teman-teman ”KAGAWAKA” Deni, Candra, Hardi, Serep, Dermawan Purba, Adon dan junior lainnya. Kalian teman aku saat berdemo di medan ini terima kasih buat semangat “Revolusi”. Dan juga grup Facebook “Panjaitan world, PRPB, Sitorang Nauli”, Tanpa kalian skripsiku hampa adanya serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya tuliskan satu per satu, yang telah membantu saya dalam pembelajaran selama studi hingga penyelesaian skripsi, saya ucapkan terima kasih. Kiranya Tuhan Yang Maha


(9)

Kuasa membalas seluruh kebaikan yang telah saya terima selama ini.Saya yakin bahwa masih banyak hal-hal yang kurang dalam penulisan skripsi ini. Kiranya saya berharap akan adanya saran, masukan, kritik bagi skripsi ini, sehingga tercapainya suatu tulisan yang baik dan berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Januari 2014 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan, lahir pada tanggal 24 Mei 1991 di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Anak ketiga dari 3 (tiga) bersaudara dari pasangan St. Raja Hasoge Panjaitan XV dan Erita Saragih. Mengikuti Taman Kanak-kanak di TK Swasta Kalam Kudus Pematangsiantar pada tahun 1997. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD NEGERI 122393 Pematangsiantar pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Bintang Timur Pematansiantar pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Kristen Kalam Kudus Pematangsiantar tahun 2009. Kemudian pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan ke jenjang Sarjana di Perguruan Tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan spesifikasi Ilmu Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik . Alamat email: tripresarjhontuanpanjaitan@yahoo.com.

Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi, antara lain :

 Mengikuti Programming Visual, Adobe Photoshop, Macromedia ole Binus Center kerja sama dengan SMA Swasta Kristen Kalam Kudus di Pematangsiantar pada tahun 2008


(11)

 Pemenang Drama Komedi dalam Acara Pentas Kreasi SMA Kalam Kudus di Pematangsiantar pada tahun 2007

 Anggota Kepemudaan marga Panjaitan Pematangsiantar pada pahun 2009  Mengikuti Seminar Model Of Teacher Education and Class Teaching

Model oleh Prof.Dr. Paitoon Chayanara dari Universitas Nanyang Singapur bekerja sama dengan Pascasarjana Linguistics USU, dan PGSI Kota Medan pada tahun 2010

 Anggota Koordinator Litbang Laboratorium Antropologi USU di tingkat mahasiswa, yaitu sebuah organisasi minat dan bakat mahasiswa pada tahun 2011.

 Anggota Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Antropologi USU pada tahun 2011.

 Mengikuti Seminar “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik

Crossing Boundaries” pada tahun 2010.

 Mengikuti Seminar “Tindakan nyata generasi muda lewat potensi diri untuk membangun bangsa” oleh Generasi Muda Nias di Medan tahun 2010

 Mengikuti Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.

 Ditugaskan sebagai enumerator untuk surve akses Pekerja Formal Perempuan di Kota Medan. Oleh International Labour Organization kerja sama dengan Pusat Study Gender dan Perlindungan Anak Universitas Negeri Medan pada tahun 2012


(12)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi ini adalah “Bona Pasogit” (Studi Etnogarfi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar). Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berisi kajian yang berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan masyarakat marga Panjaitan yang tinggal di Pematangsiantar. Skripsi ini membahas mengenai bagaimana proses pewarisan budaya dalam masyarakat Batak Toba marga Panjaitan di Pematangsiantar . Adanya kebutuhan orang Batak Toba untuk mengetahui seluk-beluk kebudayaan mereka sebagai marga Panjaitan. Tindakan keluarga marga Panjaitan ini untuk mengetahui seluk-beluk kebudayaan keluarga mereka akan tertuang dalam kajian skripsi ini.

Kita mengetahui bahwa banyak generasi muda dalam kelurga tidak lagi mengerti tentang sistem kekerabatannya. Hal ini yang membangkitkan keinginan para orang tua marga Panjaitan melakukan pengenalan terhadap kebudayaan mereka. Agar nantinya generasi muda tetep mengetahuinya, dan tetap di wariskan kembali ke generasi berikutnya.


(13)

Pada tulisan ini, saya juga membuat daftar pustaka dan lampiran-lampiran seperti pedoman wawancara, peta lokasi penelitian, surat penelitian, serta gambar-gambar di lokasi penelitian. Saya yakin akan adanya kekurangan dari skripsi ini, sehingga saya akan dengan senang hati menerima saran, masukan, dan kritikan agar terciptanya suatu skripsi yang baik dan berguna bagi masyarakat. Demikian pengantar dari saya, semoga skripsi ini bermanfaat memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Januari 2014

Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman persetujuan ... Halaman pengesahan ...

Pernyataan originalitas ... i

Abstrak ... ii

Ucapan terimakasih ... iii

Riwayat hidup ... viii

Kata pengantar ... x

Daftar isi ... xii

Daftar tabel ... xiv

Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian...……….. 1

1.2. Tinjauan Pustaka... ... 6

1.3. Rumusan Masalah...……… 14

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 14

1.5. Metode Penelitian...………... 15

1.5.1. Teknik Observasi Partisipasi………... 15

1.5.2. Teknik Wawancara Lapangan...………..…….... 17

1.6. Pengalaman Penulis di Lapangan……… 18

1.7. Lokasi Penelitian...………. 23

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Deskripsi Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Sitalasari Kota Pematansiantar ... 24

2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar... 24

2.1.2. Keadaan Alam ... 29

2.1.3.Sarana Fisik ... 31

2.1.3.1. Sarana Ibadah ... 31

2.1.3.2. Sarana Media Massa ... 32

2.1.3.3. Sarana Kesehatan ... 33

2.1.3.4. Sarana Jalan dan Sarana Transportasi ... 34

2.1.4. Gambaran Penduduk ... 35

2.2. Deskripsi Desa Sitorang Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir ... 36

2.2.1.Sejarah singkat desa Sitorang ... 36

2.2.2. Keadaan Alam ... 37

2.2.3. Sarana Fisik ... 39

2.2.3.1 Sarana Ibadah ... 39

2.2.3.2 Sarana Media Massa ... 39


(15)

2.2.3.4 Sarana Jalan dan Sarana Transportasi ... 41

2.2.4Gambaran Penduduk ... 41

  BAB III

Bona Pasogit Panjaitan

3.1 Pengertian Bona Pasogit ... 42

3.2 Sejarah Marga Panjaitan ... 43

3.2.1. Raja Panjaitan sebagai Pewaris Marga Panjaitan ... 43

3.2.2. Raja Situngo Naiborngin Panjaitan sebagai marga Panjaitan generasi kedua ... 44

3.3. Sejarah riwayat hidup Raja Hasoge Panjaitan (Pu Botul) Pada masa hidupnya (1845 – 1932) ... 52

3.4.Renovasi Sopo Parsaktian Raja Hasoge Panjaitan ... 59

BAB IV

Perkumpulan Marga Panjaitan sebagai Aplikasi

Pewarisan Budaya

4.1 Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan dan Boru ... 62

4.2 Network Raja Panjaitan dan Boru Kota Pematangsiantar ... 69

4.2.1 Struktur Organisasi ... 69

4.2.2 Sistem Adat Organisasi ... 71

4.2.2 Sistem Kekerabatan Organisasi ... 72

4.3. Rencana Pendirian Yayasan Raja Panjaitan ... 77

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 84

5.2 Saran... ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN  

   


(16)

DAFTAR TABEL

TABEL 1: Penduduk Pematangsiantar 1930 ... 28

TABEL 2: Tata Guna Tanah Kelurahan Bah Kapul ... 30

TABEL 3: Produksi Pertanian Tahun 2012-2013... 31

TABEL 4: Nama-nama anggota Organisasi PRPB Pematangsiantar... 31

Bagan 1: Tarombo(Silsilah) Raja Hasoge Panjaitan...58

Bagan 2: Sistem Kekerabatan... 73


(17)

LAMPIRAN

Denah Sumatera Utara Denah Kabupaten Tobasa Daftar interview guide Daftar Nama Informan

Surat Izin Penelitian dari Universitas Surat Balasan dari Kelurahan


(18)

ABSTRAK

Tripresar jhon tuan panjaitan, 2013. Judul skripsi: Bona Pasogit (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar).Skripsi terdiri dari 5 Bab, 90 halaman dan 4 tabel 2 bagan.

Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarkat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut.

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang bernama Kelurahan Sitalasari. Kelurahan ini berada di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan tanah rantau. Dan yang kedua Desa Sitorang, Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa merupakan kampung halaman. Mayoritas penduduk di kedua tempat ini adalah beretnis Batak Toba dan memiliki agama Kristen Protestan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi partisipasi kepada masyarakat terkait masalah penelitian.

Permasalahan yang dibahasa adalah bagaimana proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya.

Kesimpulann yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat kembali terhadap kampung halamannya, diawali dengan terjadinya sengketa tanah adat. Melalui sengketa tanah tersebut keluarga ini berusaha mencari tahu bagaimana tanah adat tersebut bisa menjadi kepemilikannya. Pencarian tarombo

silsilah dilakukan dan mendapat dukungan masyarakat sekitar bahwa itu memang tanah leluhur turunan Raja Hasoge Panjaitan, dan melalui hal ini keluarga ini bergabung dengan network marga yang dibentuk sesuai dengan turunan leluhur yang namanya adalah Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan kesatuan ini akan berusaha mengusulkan salah satu raja yang bernama Pun Tua Radja Panjaitan menjadi Pahlawan Nasional,


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku bangsa, dan mempunyai ciri-ciri tersendiri masing-masing daerahnya. Perkembangan teknologi sangat mendukung penyebaran suku-suku bangsa ke daerah-daerah lain dengan meninggalkan daerah asalnya. Difusi kebudayaan pun terjadi karena interaksi antar suku bangsa berlangsung. Didukung juga nasionalisme yang tinggi dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Generasi muda sekarang telah mengenal beragam corak kebudayaan yang dapat mengkaburkan budaya sukunya sendiri.

Kekaburan budaya yang dimaksud seperti, terjadinya pemakaian bahasa Indonesia di rumah, dan tidak lagi mengerti tentang bahasa daerahnya, tidak mengenal lagi asal usul sukunya, tidak lagi mengenal kekerabatan seperti hal pemanggilan terhadap keluarga telah menggunakan bahasa Indonesia, dalam suku bangsa Batak Toba memanggil “Bapa Uda1” dengan panggilan “Om”. Perubahan kebudayaan ini membuat kalangan orang tua berusaha agar generasi muda tetap memahami kebudayaan sukunya. Di dalam kalangan generasi muda suku bangsa Batak Toba dalam hal partuturan2 banyak yang tidak paham. Bila ditanya dari mana marganya itu berasal kebanyakan tidak mengetahuinya. Walaupun orang tua

       1

 Bapa Uda merupakan sebutan terhadap adik dari bapak 

2


(20)

berusaha agar anaknya mengetahui hal tersebut. Berbagai cara dilakukan orang tua agar generasi muda tidak menghilangkan identitas ke Batakannya.

Para orang tua menganggap penting budaya Batak Toba itu diwariskan dan berupaya mempertahakan kebudayaan Batak Toba. Satu diantara keluarga Batak Toba marga3 Panjaitan yang tinggal di kota Pematangsiantar melakukan proses pewarisan budaya. Keluarga Panjaitan ini kembali peduli terhadap Bona Pasogit4. Kepedulian kembali keluarga marga Panjaitan terhadap Bona Pasogit-nya teraplikasi melalui ritual adat seperti pesta Mangokal Holi5, pendirian tambak,6

melakukan renovasi ruma-ruma, sopo7, melakukan rapat-rapat organisasi marga dalam usaha pengajuan nenek moyang sebagai pahlawan nasional, acara

mangojakhon harajaon (mewariskan kerajaan) dan juga berlibur. Dan juga pengenalan terhadap budaya Batak Toba seperti peningalan-peninggalan nenek moyang keluarga marga Panjaitan, tarombo (silsilah keluarga), menceritakan perjalanan hidup nenek moyang kepada generasi muda. Keluarga marga Panjaitan melakukan hal itu untuk mengetahui tentang Bona Pasogit, yang telah lama ditinggalkan sejak melakukan migrasi ke Pematangsiantar.

       3

Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (Ihromi 2006:159).

4

Bona Pasogit merupakan kampung halaman suatu marga suku bangsa Batak Toba, yang mana dari daerah inilah bermula kehidupan suatu keluarga Batak Toba.

5

Mangongkal Holi artinya menggali kembali tulang-belulang nenek moyang(Sihombing 1986: 90).

6

Tugu/Tambak biasanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu nenek moyang satu marga atau satu cabang marga(Simanjuntak 2011:248)  

7

Ruma-ruma serta sopo adalah tempat tinggal orang Batak Toba dan tempat penyimpanan hasil-hasil dan peralatan pertanian


(21)

Bona Pasogit marga Panjaitan ini terletak di Sitorang I Banjar Ganjang Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Kawasan ini merupakan tanah marga Panjaitan yang khususnya keturunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan8. Menurut Vergouwen (1986) tanah marga ini disebut juga bona ni pinasa (tempat asal leluhur) atau bona ni pasogit (daerah leluhur). Bona Pasogit

yang merupakan suatu daerah tempat tinggal nenek moyang orang Batak Toba, yang disebut dengan huta. Para warga desa Banjar Ganjang ini diikat oleh hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur yaitu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dalam satu desa tersebut umumnya bermukim marga Panjaitan, hanya sebagian kecil marga lain berada dalam desa Banjar Ganjang. Dalam desa itu terdapat ruma-ruma adat Batak, Tugu marga, tambak (Kubur batu), Sopo maupun ruma-ruma (rumah), organisasi-organisasi salah satu keturunan nenek moyang, yang mendapatkan kembali perawatan dan juga pembuatan baru yang dilakukan para perantau saat ini telah bermigrasi ke berbagai daerah. Satu diantara Sopo dan Tugu keturunan marga tersebut merupakan milik dari keluarga marga Panjaitan keturunan Raja Hasoge Panjaitan9, keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini memiliki beberapa generasi dan satu Sopo, tambak yang telah didirikan baru-baru ini dan peninggalan-peninggalan nenek moyang seperti alat-alat tenun, juga tongkat. Perhatian terhadap bona pasogit semakin meningkat, walaupun keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini tidak satu pun yang tinggal di Sopo itu, karena menetap di tanah rantau dengan alasan

       8

Sijorat Paraliman adalah satu diantar nama nenek moyang marga Panjaitan dari Raja Siponot

9

Raja Hasoge Panjaitan merupakan nenek moyang peneliti sendiri, tujuh sampai delapan generasi ke atas ego.


(22)

pekerjaan dan juga beberapa Sopo juga mulai diperbaikin oleh penduduk setempat.

Keluarga Raja Hasoge Panjaitan ini merupakan satu diantara suku bangsa Batak Toba yang bermigrasi ataupun merantau dari Tapanuli Utara10 ke kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Sitalasari. Kota Pematangsiantar merupakan kota yang heterogen yang memiliki suku yang berbagai, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Melayu, Tionghoa11. Interaksi antar suku pun terjadi yang memungkinkan difusi kebudayaan12 juga terjadi. Namun dengan kesadaran Keluarga Panjaitan ini terhadap pentingnya budaya Batak Toba tersebut, sehingga mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya, mengenal kembali bona pasogit.

Seperti wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan bahwa pembangunan di bona pasogit melalui pendirian makam keluarga (tambak)

merupakan kepedulian dalam pelestarian budaya serta mengetahui asal-usul silsilah dan upaya memahami budaya leluhur sambut beliau saat menghadiri acara peresmian makam keluarga Tri Medya Panjaitan (DPR-RI) pada 25 Juni 2011. Kabag Humas Toba Samosir Arwanto H. Ginting juga mengatakan budaya ziarah menjadi wisata makam sebagai pelestarian budaya di bona pasogit       

10

Tapanuli utara berada di Sumatera Utara, dan secara umum Panjaitan berasal dari Balige Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara. Sehingga berdirilah tugu Marga Panjaitan disana, terletak dekat dengan Rumah Sakit Umum Balige.

11

Kota Pematangsiantar salah satu kota di Provinsi Sumatera

Utarahttp://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiantar (diakses tanggal 18 Maret 2013, pukul 08.29 WIB)

12

Difusi kebudayaa merupakan proses penyebaran unsur kebudayaan dari satu individu ke individu lainnya, dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya, dari satu suku ke suku lainnya.


(23)

(http://humastobasa.wordpress.com) penulis juga turut hadir dalam acara tersebut. Simanjuntak (2010:173) mengatakan nilai budaya tradisional itu masih punya tempat dikalangan orang Batak masa kini, bahkan sebagian masih sangat kuat kedudukannya dan mengharapkan hasil analisa yang lebih dalam tentang budaya Batak Toba. Mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, berusaha menghimbau para perantau Sumatera Utara, terutama yang berasal dari Tapanuli untuk memperhatikan kembali kampung halaman, dengan gerakan “ Marsipature Hutana Be” (MHB) yang artinya mari membangun desa masing-masing (Pelly 292: 1994). MHB ini berfalsafah dasar melestarikan nilai-nilai luhur di pedesaan (Ritonga 107:2000). Nilai-nilai leluhur bisa berupa siapa sebenarnya nenek moyang mereka, dimana makamnya, seperti apa perjalanan hidup nenek moyang mereka. Suku bangsa Batak Toba berusaha menggali silsilah kekeluargaan mereka yang dalam bahasa Batak Toba “Tarombo”.

Hal diatas yang mendasari peneliti untuk meneliti proses pewarisan budaya yang dilakukan dalam keluarga Panjaitan di Pematangsiantar. Karena keluarga ini berusaha mempertahankan serta mencari tahu identitas ke Batakan mereka. Selain itu juga peneliti akan melihat seperti apa proses pewarisan budaya itu terjadi di Bona Pasogit mereka.


(24)

1.2. Tinjauan Pustaka

Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan sama seperti bangsa Toraja, bukan Neo Malayan seperti bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura. Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Proto Malayan Tribes, dipegunungan perbatasan Burma (Thailand). Disitu suku Bangsa Batak ribuan tahun lamanya bertempat tinggal dengan suku-suku Bangsa Proto Malayan Tribes lainya (Parlindungan 1964 : 19). Dan Parlindungan (1964 : 19-22) berpendapat suku bangsa Proto Malayan Tribes ada 8 suku yaitu : suku bangsa Karen, suku bangsa Ranau, suku bangsa Igorot, suku bangsa Meo, suku bangsa Toraja, suku bangsa Tayal, suku bangsa Botoc, suku bangsa Wadjo.

Suku bangsa Igorotlah mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas berangkat bermigrasi dari Burma karena serangan Bangsa Mongol. Disitu suku bangsa Batak terpisah ada yang mendarat dipulau Simalur, Nias, Batu, Mentawai. Dan juga ada yang mendarat di Sungai Simpang, yang sekarang adalah Singkil, Aceh. Dan terakhir mendarat di muara sungai Sorkam, antara Barus dan Sibolga. Memasuki pedalaman sampai di kaki Gunung Pusuk Buhit, ditepi Danau Toba sebelah Barat, di seberang Pangururan, Kab.Toba Samosir.

Menurut Bruner (dalam Nainggolan 2006 : 44) Orang Batak sendiri yang menyebut diri mereka sebagai halak hita (orang kita). ‘orang kita’ berasal dari nenek moyang yang sama: Si Raja Batak. Mereka mengindifikasi diri mereka atas dasar hubungan keluarga. Menurut Sangti (1977:26) suku bangsa Batak sebagai satu diantara suku bangsa dari rumpun Melayu. Asal kata ‘Batak’ berasal dari kata


(25)

‘Bataha’ sebagai nama satu antara kampung di Burma, yang merupakan asal orang Batak sebelum menyebar kepulauan Nusantara.

Menurut Parlindungan (1964 : 614-615) saat menyebar di Nusantara, suku Batak melakukan tiga gelombang pendaratan. Gelombang pertama suku Batak mendarat di Nias, Mentawai, Siberut, dan lain-lainnya. Gelombang kedua mendarat di Muara Simpang Sungai dan gelombang ketiga mendarat di muara sungai Sorkam. Dan menyebar memasuki pegunungan hingga mencapai Danau Toba dan menetap di kaki gunung Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana, diseberang kota Panguruan yang saat ini. Suku Bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing13. Menurut Malau (dalam Gultom 2010 : 33) ke enam subsuku ini sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan Si Raja Batak atau nenek moyang orang Batak.

Menurut Nainggolan (2012:61) orang Batak memiliki kelompok-kelompok marga yang semuanya itu berasal dari Si Rajabatak. Setiap marga mempunyai daerah sendiri sebagai tanah asal mereka masing-masing. Semua itu dapat dimengerti sebab masyarakat Batak Toba adalah masyarakat agraris. Mereka membutuhkan tanah untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Keterbatasan tanah yang diolah untuk lahan pertanian memaksa mereka bermigrasi ke tempat yang baru. Kadang-kadang juga bermigrasi karena ketidakpuasan terhadap marga atau karena ambisi dari anggota marga untuk mendirikan marga baru dan mencari tanah.

       13


(26)

Vergouwen (1986 :43) menyebutkan golat adalah tanah wilayah suatu marga, yang saat digunakan sebagai tempat upacara persembahan disebut bius. Menurut Vergouwen warisan dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari tanah milik orang yang sudah meninggal, serta kekayaannya yang lain yaitu rumah, lumbung padi (sopo), ternak, pepohonan, barang bergerak, hutang-piutang, dan uangnya (Masinambow 2000:288). Setelah menyebar diberbagai daerah dan berusaha beradaptasi didaerah masing-masing orang Batak membutuhkan bantuan sesama orang Batak sehingga terbentuklah network. Network merupakan hubungan pribadi yang mempunyai ikatan satu sama lain. Ikatan ini dapat terjadi diantara individu, rumah tangga, keluarga, tetangga, kolega, teman sekelompok sosial lainnya. Keuntungan masuk network dapat meminta bantuan dari orang lain, tetapi juga harus memenuhi kewajiban moral untuk saling bertukar dan berbagi bersama (Schweizer dalam Nainggolan 2006 : 141).

Menurut Bruner (dalam Nainggolan 2006:144) network orang Batak Toba berdasarkan daerah asal. Hal ini terutama dibuktikan dengan perkumpulan marga dikota. Ide perkumpulan ini menggambarkan ide yang sama sistem kekeluargaan di kampung mereka, yaitu berdasarkan keturunan, kampung asal dan aliansi

dalihan na tolu. Dengan demikian orang Batak memegang kuat kebudayaannya sebab disana mereka menemukan dasar hidup yang teratur dalam kaitan dengan kebiasaan, kepercayaan dan kewajiban sesuai dengan Dalihan Na Tolu.

Sehubungan dengan network orang Batak yang membentuk perkumpulan-perkumpulan marga di kota, melalui terjadinya migrasi dari tanah marga ke kota. Migrasi sirkuler merupakan pola migrasi yang terkenal di antara suku


(27)

Minangkabau. Anak – anak muda didorong untuk mencapai pengalaman dan masa depan ke luar kampung halaman. Didalam kebudayaan matrilineal Minangkabau, tanah diwariskan ke pihak ibu, sementara anak-anak muda harus memberanikan diri keluar dari kampung. Dengan mengacu pada kehidupan Minangkabau di Medan, Pelly mengatakan bahwa, meskipun bisa tinggal dengan waktu yang lama, mereka masih mempersiapkan diri untuk pulang ketanah kelahiran. Misalya mereka membangun sebuah tempat tinggal dikampung halaman, dan mereka berencana menetap setelah pensiun. Pelly merujuk pada pola ini sebagai pola migrasi secara kultural terkondisi (Hasselgren 2008:140).

Sebaliknya orang Tapanuli memperluas kampung halaman untuk mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon). Sebab itu pola migrasi mereka disebut dengan migrasi ekspansionis. Dimana orang Batak memiliki misi budaya14 harus mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi, tidak hanya didirikan ditanah kelahiran, tetapi dapat dibangun didaerah rantau ( Pelly 1994 : 295)

Namun menurut Graeme Hugu (dalam Kuntjoro-Jakti 1986) Migrasi Sirkuler itu adalah migrasi pulang balik, perpindahan penduduk untuk mencari kerja atau berdagang, tidak membawa keluarga. Dalam hal ini penduduk akan kembali ketempat asalnya setelah selesai melaksanakan tujuannya untuk bertemu keluarganya ataupun memberikan bantuan terhadapa keluarganya di desa.

       14

Misi budaya merupakan seperangkat tujuan yang diharapkan dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tertentu (Pelly 1994 : 1)


(28)

Menurut Nainggolan (2006: 113-115) ada beberapa faktor membuat terjadinya arus migrasi menjadi besar :

Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan modrenisasi Perubahan geografis

Alasan sosial, selain alasan demografi dan ekonomi ada juga alas an sosial, sepertimengumpulkan tenaga kerja, hubungan historis dan budaya, hubungan politik dan militer, arus inventasi dan pengungsi.

Latar belakang budaya. Terjadinya migrasi musiman atau migrasi selama beberapa waktu dari anggota keluarga, tujuannya adalah mengumpulkan uang sebagai jaminan atau tambahan pendapatan Negara.

Alasan politik, tentang eksport import tenaga kerja

O.H.S Purba (dalam Hasselgren 2008) mengatakan migrasi sekuler yang merupakan sebuah sarana memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik dikampung halaman. Migrasi bisa terjadi karena masalah demografi, masalah ekonomi dan lainnya. Marga Panjaitan menyebar diseluruh dunia dengan tujuan hidup masing-masing dan berinterasi dengan orang disekitarnya yang mengakibatkan perubahan identitas diri sehingga identitas lama mereka terlupakan.

Immanuel (dalam Simanjuntak 2002 : 172) mengatakan perubahan sosial budaya yang ada di masyarakat Batak dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya variabel agama dan pendidikan. Kedua variabel tersebut mendorong munculnya variable lain seperti mobilitas, status formal, komunikasi, ekonomi, politik, konflik, dan sebagainya. Cara bagaimana kelompok migran


(29)

mengindentikasikan diri Bruner (dalam Nainggolan 2006) membedakan dua situasi. Situasi pertama ialah apabila migran masuk dalam salah satu daerah atau kota di mana penduduk asli merupakan kelompok etnis homogen, secara politis memiliki kuasa dan secara demografis merupakan mayoritas, maka migran akan melepaskan sebagian besar dari warisan kultural mereka dan sejauh mungkin menyesuaikan diri dengan kultur dominan.

Situasi kedua apabila migran masuk dalam suatu kota yang mempunyai suku heterogen, kultural yang plural dan tidak satupun dari kelompok sukunya secara politis dominan, maka imigran akan mengorganisir diri menurut identitas etnis dan agak kuat mempertahankan tradisi kulturalnya. (Nainggolan 2006:8).

Dalam pewarisan budayanya, masyarakat Batak Toba mengenal nilai budaya. Nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang Batak Toba dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial saling mendukung, yaitu hamoroan, hagabeon, hasangapon, ‘Kekayaan, Keturunan, dan Kehormatan. Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh struktur sosial dalihan na tolu15 yang keberadaannya berdasarkan kepada sistem garis keturunan Patrineal16 berwujud marga (Masinambow 2000:368).

Hamoraon berarti semua masyarakat Batak Toba bercita-cita untuk memiliki harta. Ini terbukti dengan gigihnya berusaha mencari uang, baik laki-laki ataupun perempuan, sama saja. Hagabeon berarti masyarakat Batak Toba sangat mendabakan punya keturunan laki-laki dan perempuan. Hasangapon berarti

       15

Tungku masak berkaki tiga

16


(30)

masyarakat Batak Toba berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam masyarakat, dan sangat peduli terhadap pendidikan anaknya (Tinambunan 2010:173).

Dalihan na tolu secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga penopang, yaitu Dongan sabutuha, boru, dan hula-hula. Arti tiga kata ini secara berturut ialah: Pihak yang semarga, Pihak yang menerima istri, Pihak yang member istri. Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku dapur yang penting dalam hidup sehari-hari (Siahaan 1982:20). Falsafah Dalihan Natolu terbukti mampu memberi perubahan baru sehingga bahtera dapat dipandu kepada negara demokratis tanpa kehilangan kohesivitas kewibawaan trias-politika modern, sambil memekarkan demokrasi, kedaulatan tertinggi rakyat.(Sinaga 2012:3).

Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak luput dari sebuah kebudayaan. Koenjaranigrat (2002) menyatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sebuah tindakan marga Panjaitan yang melakukan pewarisan budaya merupakan sebuah kebudayaan.


(31)

Kebudayaan menurut Koenjaraningrat memiliki tiga wujud :

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;

Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam masyarakat;

Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; Dalam melakukan proses pewarisan budaya merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam masyarakat.

Melakukan proses pewarisan budaya memiliki hubungan dengan proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Proses internalisasi ini adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan, sampai ia meninggal, yang mana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Proses sosialisasi itu seorang individu dari masa anak-anak hingga tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses enkulturasi itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Sejak kecil proses enkulturasi itu sudah dimulai dalam alam pikiran warga suatu masyarakat, mula-mula dari orang di dalam lingkungannya, kemudian dari teman bermain.(Koentjaraningrat 2002:233).


(32)

Cavalli-Sforza dan Felman (dalam Jhon W. Berry 1999) mengistilahkan pewarisan budaya satu generasi ke generasi ini sebagai “pewarisan tegak”, karena melibatkan penurunan ciri-ciri budaya orang tua ke anak cucu. Pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai budaya, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan sebaginya kepada anak-cucunya. Pewarisan budaya memiliki dua bentuk , mendatar dan miring. Dalam bentuk miring pewarisan budaya bersumber dari orang dewasa lainnya, bisa dari kelompoknya sendiri, serta kelompok lainya. Dalam bentuk mendatar pewarisan budaya tersebut bersumber dari teman sebaya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana marga Panjaitan melakukan proses pewarisan budaya. Dan bagaimana marga Panjaitan menemukan kembali identitas lamanya yang telah mengalami kekaburan. Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut :

1. Apa arti Bona Pasogit bagi orang Batak Toba?

2. Bagaimana proses pewarisan budaya Batak Toba di Bona Pasogit tersebut berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan?

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Dan mengetahui tujuan proses pewarisan budaya tersebut dilakukan.


(33)

Manfaat penelitian secara akademis adalah untuk memperkaya literatur mengenai kehidupan marga panjaitan tersebut dalam persepektif Antropologi. Sedangkan manfaat secara praktis yaitu berguna bagi masyarakat umum dan akademis secara khusus, sebagai salah satu sumber informasi tentang Bona Pasogit marga Panjaitan. Selain itu menghimbau masyarakat Batak Toba berusaha mencari Bona Pasogit keluarga mereka.

1.5.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Peneliti akan menggunakan native’s point of view17 mengenai proses-proses pewarisan budaya tersebut. Dengan memakai metode penelitian kualitatif diharapkan akan dapat membantu dalam menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan mengenai proses pewarisan budaya yang ada dalam kehidupan keturunan Raja Hasoge Panjaitan, sehingga di dapat data yang diinginkan tentunya berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian guna mendapatkan data-data dilapangan antara lain :

1.5.1.Teknik Observasi Partisipasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal seperti tempat, siapa pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam proses pewarisan budaya yang dilakukan keluarga keturunan Raja Hasoge

       17

Native’s point of view adalah mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut padang masyarakat itu sendiri.


(34)

Panjaitan. Dalam hal ini peneliti mengikuti proses yang berjalan dalam proses pewarisan tersebut karena penulis sendiri juga keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Proses pewarisan ini di ikuti penulis sendiri dengan cara mengikuti acara-acara organisasi marga yang dibentuk oleh marga Panjaitan itu sendiri. Rapat-rapat organisasi marga tersebut selalu di ikuti oleh penulis setiap hari minggunya yang dilaksanakan di tempat penelitian penulis di sitorang. Dan juga rapat-rapat organisasi marga yang dilakukan secara formal maupun tidak formal yang diadakan di Pematangsiantar. Penulis juga memberikan ide-ide di dalam rapat tersebut sebagai partisipasi penulis mengikuti rapat-rapat tersebut. Dan juga penulis mengamati cara-cara sang ayah sendiri dalam mewariskan budaya Batak Toba itu terhadap generasi-generasi muda Panjaitan baik di Pematangsiantar dan juga Sitorang, Kab Tobasa. Dan juga dalam renovasi sopo penulis juga turut aktif dalam kegiatan ini. Penulis ikut membantu dan juga sambil mengobservasi bagian-bagian sopo dan apa-apa saja yang masih tertinggal di dalam sopo

tersebut. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi awal untuk lebih mendalami tentang cara-cara pewarisan budaya yang dilakukan. Dari hasil pengamatan atau observasi, peneliti menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan sekaligus menyimpan dan mengarsipkan data yang dilakukan dengan dalam bentuk foto dan video. Sumber dan jenis data itu berupa kata-kata dan tindakan, sumber tertulis berupa dokumen-dokumen pribadi, foto-foto dan data statistic (Moleong 2006: 157-162)


(35)

Wawancara adalah komunikasi dua atau lebih orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan mana dalam topik tertentu. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, dimana peneliti dan informan saling berkomunikasi, berdiskusi didalam kehidupan sosial keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan setiap harinya. Peneliti juga dibantu dengan pedoman wawancara (interview guide). Semua orang yang terlibat dalam proses pewarisan budaya tersebut dapat dijadikan informan agar mendapatkan data yang lebih akurat. Dan dalam rapat-rapat organisasi marga penulis juga melakukan wawancara sebelum rapat-rapat dimulai, yang mana akan menjadi informasi awal dalam pembahasan tentang informasi

bona pasogit itu sendiri. Dalam renovasi sopo peneliti juga mempertanyakan latarbelakang sopo itu dibangun dan untuk apa sopo itu direnovasi. Dengan demikian peneliti dapat lebih akurat mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan laporan penelitian ini.

Selain itu peneliti juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data kepustakaan dapat diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti berkas-berkas, buku-buku, majalah koran, dan sumber elektronik seperti televisi, radio, internet. Data tersebut digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari observasi dan wawancara. Peralatan visual juga akan sangat membantu dalam pengumpulan data-data dalam penelitian ini. Seperti alat rekam dan kamera yang penggunaannya terlebih dahulu harus disetujui oleh informan.


(36)

Penelitian ini sebenarnya pengalaman penulis saat mengikuti penyelesai sengketa tanah di kampung halamannya di Desa Sitorang pada tahun 2002. Sengketa tanah ini terjadi karena seorang warga desa mengaku bahwa tanah yang merupakan hak milik dari keluarga penulis adalah kepemilikan oleh warga desa tersebut. Dan dalam penyelesaiannya yang sampai pada kantor Kecamatan Silaen. Penulis yang merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluarga tersebut mengikuti setiap tindakan dalam hal penyelesaian masalahnya. Pada tahun 2010 akhir sengketa tanah tersebut berakhir dan keluarga penulis mensepakati merenovasi

tambak yang ada di sekitar tanah sengketa tersebut dan melakukan acara

mangokal holi. Pada saat itu penulis masih duduk di semester II Antropologi Sosial di Universitas Sumatera Utara. Dalam mengikuti kuliah-kuliahnya sebagai mahasiswa Antropologi, penulis berusaha ingin menulis hal-hal yang terjadi di kampung halamannya ini, penulis mulai mengumpulkan data melalui obeservasi partisipasi. Dan pada tahun 2013 penulis diberi ijin melakukan penelitian ke kampung halamannya tentang proses-prose pewarisan budaya yang ada di Bona Pasogit.

Pada awalnya penulis memberikan surat ijin penelitian terhadap ketua organisasi marga Panjaitan sektor jalan Bali kota Pematangsiantar, yaitu bapak Raja Hasoge II Timbul Panjaitan IXV. Beliau merupakan ayah penulis sendiri, dengan mengetahui hal tersebut beliau bertanya : “mau seperti apa nantinya isi skripsi mu itu?. Penulis menerangkan dengan singkat tujuan penelitian ini nantinya. Dan beliau membantu memberi jalan dalam penelitian ini. Beliau mengajak peneliti untuk ikut dalam rapat organisasi KTRSPPB (Kesatuan


(37)

Turunan Raja Sijorat Panjaitan dan Boru) yang saat itu diadakan di Hutanamora Kab.Tobasa rumah bapak Kol.Purn. Busisa Panjaitan. KTRSPPB ini merupakan

network orang Batak marga Panjaitan yang dihubungankan melalui sebuah kerajaan yang ada pada masa nenek moyang dan turun-temurun bergenerasi. Penulis merasa senang karena desa tersebut dekat dengan lokasi penelitian penulis. Sampai di desa tersebut beliau memperkenalkan penulis dengan Kepala desa Hutanamora dan kepala Desa Sitorang 1, yang bernama Binahar Panjaitan dan Gosen Panjaitan. Beliau menerangkan bahwa desa Hutanamora itu dulunya termasuk desa Sitorang. Desa Sitorang pada saat ini terbagi menjadi empat desa, dan desa Sitorang masih dalam pengusulan menjadi sebuah kecamatan. Penulis pun menjadi bingung karena surat ijin penelitian penulis ditujukan kepada Kepala Desa Sitorang, dan desa Sitorang terbagi menjadi empat desa. Kepala desa Hutanamora memberi solusi, dan mengijinkan saya melakukan penelitian di tempat bona pasogit penulis. Dan dalam rapat tersebut juga hadir ke empat kepala desa yang dulunya desa Sitorang, mereka mengijinkan saya melakukan penelitian, karena dulunya semua desa ini memang kekuasaan Raja Panjaitan, demikian mereka menjelaskan.

Rapat pun dimulai ternyata rapat tersebut menjawab pertanyaan penelitian penulis secara umum, KTRSPPB akan dibentuk sebagai wadah penyaluran informasi-informasi tentang nenek moyang khususnya Raja Sijorat Paraliman Panjaitan.KTRSPPB ini digagasi oleh Ir.Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan dan St.Raja. Hasoge Panjaitan. KTRSPPB ingin mempertahankan identitas ke Batakan mereka dan mereka berusaha mencari tahu silsilah nenek moyang mereka


(38)

yang sebenarnya dari turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan tujuan utama KTRSPPB memperjuangkan Raja Sijorat ke VIII Tua Raja Panjaitan menjadi pahlawan nasional. Dalam benak penulis menyatakan ini lah proses pewarisan budaya tersebut, karena sang ayah membawa penulis mengikuti rapat-rapat organisasi marga agar mengetahui ide-ide dan tujuan organisasi tersebut. Kemudian para penggagasn KTRSPPB melakukan pembentukan kepanitian untuk melaksanakan Pesta Deklarasi KTRSPP se-Sumatera Utara. Binahar Panjaitan terpilih menjadi ketua pesta deklarasi ini. Setelah itu penentuan program kerja pengumpulan dana untuk pesta ini nantinya. Gagasan pun muncul rencana melakukan penerbitan buku. Buku itu merupakan isi dari sejarah kegiatan hidup Raja Sijorat Paraliman Panjaitan semasa menduduki kerajaan Sijorat. Penulis memberi pendapat dirapat tersebut : “ Amang apakah buku ini nantinya berbahasa Indonesia, saya pikir jika berbahasa Indonesia sebaiknya kita urus ISBNnya agar lebih terjaga buku ini tidak di copy sebarang oleh orang lain ujar penulis. Ketua KTSPPB yaitu Ir.Pandapotan Panjaitan pun menyatakan: “Ho ma anon pahopu na mambaen i gabe bahasa Indonesia, ai marbahasa Batak dope bukku tai anon. molo ho kan nungga malo anon mambahasa Indonesiakan i” , artinya “ kamu lah nanti cucuku yang mengubahnya itu menjadi bahasa Indonesia, nantinya buku ini akan terbit berbahasa Indonesia. Kamukan nantinya lebih pintar menyusun buku ini menjadi bahasa Indonesia”

Penulis pun semangat mendengar hal tersebut, dan berencana akan melakukan hal tersebut. Keesokan harinya penulis diajak para panitia pesta mendatangi Tugu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Penulis pun mengendarai


(39)

mobil menuju ke tugu tersebut, selama diperjalanan penulis melihat hamparan padi yang hijau yang dilindungi oleh perbukit-bukitan. Penulis pun bertanya “ Luas juga Sitorang ini amang”, seseorang berbicara, penulis melihat ke kaca spion dalam ternyata Penasehat KTRSPPB selaku orang yang tinggal di Desa Sitorang St.Malatang Panjaitan. “Sitorang on nunggu pas gabe Kecamatan molo i ida sian luas na, ida ho ma bukit i disi ma Desa sibide, i desa i ma Raja Sijorat mambaen benteng pertahan tingki bolandan nungga sahat tu sitorang on, sian sibide i boi ta ida tao toba, PT.PULP Lestari, Sungai Asahan, molo mardalan torus 2 borngin sahat mai tu tanjung balai, ai sian ni do raja i manohor sira tu tanjung balai tinggi muara i kuasai bolanda”. “ Sitorang ini sudah cocok dijadikan sebuah kecamatan bila dilihat dari luasnya, kamu lihatlah perbukitan disana, itulah yang bernama desa Sibide letak dari benteng pertahanan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan ketika Belanda telah masuk ke Sitorang. Dari desa Sibide itu bisa kita memandang Danau Toba, PT.PULP LESTARI, Sungai Asahan, dan jika berjalan 2 hari 2 malam bisa sampai ke Tanjung balai, itu adalah jalur Raja Sijorat Paraliman Panjaitan menuju Tanjung Balai melakukan perdagangan membeli garam. Tidak beberapa lama kemudian sampailah di tugu Raja Sijorat Paraliman Panjaitan Lumban Tor Sitorang. Acara ritual ziarah pun dilaksanakan 9 lembar daun sirih dan 9 jeruk purut diletakkan di masing-masing cawan yang terbuat dari tanah liat, dan penulis bertanya” Amang kenapa harus sembilan?, Abdul Panjaitan pun menyebutkan karena di tugu ini ada delapan Raja Sijorat dan 1 lagi masih di Bandung belum dipindahkan yang bernama “Raja Sijorat Raja Saidi Tudo Tua Panjaitan”. Kesembilan Raja itu adalah :


(40)

1. Raja Sijorat Paraliman Panjaitan

2. Raja Sijorat Rahi Sumodung (1625-1685) 3. Raja Sijorat Puraja Pane (1685-1745) 4. Raja Sijorat Somba Debata (1745-1805) 5. Raja Sijorat Pahutar (1805-1845)

6. Raja Sijorat Si Mumbol-Umbol (1845-1865) 7. Raja Sijorat Pun Sohalompoan (1865-1880) 8. Raja Sijorat Pun Tua Radja (1880-1988)

9. Raja Sijorat Radja Saidi Todo Tua (1988- sekarang)

Setelah beberapa hari dekat dengan kepanitian pesta deklarasi tugu KTRSPPB. Sosialisasi pesta pun diadakan keberbagai kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Penulis hanya mengikuti ke beberapa kabupaten/kota, yakni Tarutung, Sipahutar, Sibaha-ulu, Simalungun, dan Pematangsiantar. Dalam sosialisasi yang diikuti, penulis melihat beberapa orang tua yang sudah berumur sekitar 40an masih banyak yang tidak mengetahui silsilah, dan kisah-kisah nenek moyangnya.

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat, yang pertama adalah Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar, yang merupakan tempat tinggal tetap marga Panjaitan. Yang kedua adalah desa Sitorang Kecamatan Silaen Kab.Tobasa, merupakan letak tanah marga, bona pasogit khususnya keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Alasan obejektif penulis memilih tempat tersebut karena Desa Sitorang merupakan kampung halaman para marga Panjaitan pada umumnya, alasan subjektif penulis karena penulis merupakan marga panjaitan dan memiliki sopo, tambak, dan sawah di Desa


(41)

Sitorang tersebut dan Pematangsiantar tempat tinggal penulis. Hal tersebut mendukung penulis mendapatkan informasi sebagai tujuan penelitian penulis sendiri.


(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Deskripsi Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Sitalasari Kota Pematangsiantar

2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar

Pematangsiantar yang merupakan wilayah kota yang mempunyai penduduk yang bervariasi suku bangsa, meliputi Batak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Jawa, Minangkabau, Melayu, Cina, Tamil, dan asing lainnya. Kota Pematangsiantar terletak pada titik singgung 99ᵒBT dan 2,5ᵒLU dalam wilayah Kabupaten Simalungun yang luasnya 1.278ha, dengan ketinggian sekitar 400m dpl dan berpenduduk sebanyak 240.787 jiwa.

Sifat dasar penduduk dari masing-masing suku bangsa itu mempengaruhi pergaulan yang lebih erat. Misalnya, orang Minangkabau lebih erat hubungannya dengan orang Melayu dan Jawa, karena ikatan kesamaan agama. Orang Simalungun sendiri lebih dekat dengan orang Mandailing, karena persamaan ras kehalusan budi bahasa, maupun gaya tariannya. Dengan orang Batak Toba maupun Karo, agak renggang. Ada dugaan penduduk, hal ini disebabkan lebih mengertinya orang Mandailing akan perasaan orang Simalungun, karena sifat halus yang sama, yang berbeda dengan orang Batak Toba yang keras, demikian juga dengan Karo. Di samping itu, agama Islam telah lebih mendekatkan mereka ketimbang dengan Batak Toba yang Kristen.


(43)

Sifat orang Batak Toba dan Karo adalah keras, cepat dalam bertindak, serta giat dalam usaha. Tidak heran kalau perniagaan dipegang orang Batak Toba, bersaing dengan orang Cina dan Simalungun, demikian juga industri dan pendidikan. Bahkan sering terdengar bahwa kota Pematangsiantar sebenarnya adalah kota yang dikuasai orang Toba. Hal ini disebabkan lebih dominatifnya orang Batak Toba dalam berbagai hal, terutama dalam pergaulan.

Asal mula kota Pematangsiantar adalah Kerajaan Siantar yang diperkirakan berdiri tahun 1500, terletak di sebuah delta Sungai Bah Bolon, bernama Pulau Holing, yang sekarang bernama kampung Pematang. Saat itu, terdapat lokasi persawahan di sekeliling Pulau Holing, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan Suhi Huluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Perkampungan inilah yang sekarang menjadi Kotamadya Pematangsiantar, dengan nama baru Kampung Pematang (Pulau Holing), Pusat Kota (Siantar Bayu), Kampung Parluasan (Suhi Kahean), Sipinggol-pinggol-Timbang Galung-Kampung Bantan-Kampung Parluasan Kota (Suhi Huluan), Kampung Kristen-Kampung Karo-Tomuan-Pantoan (Bah Bosar).

Kerajaan Siantar ini muncul saat kejadian wabah dan invasi kerajaan lain benar-benar mencerai-beraikan Kerajaan Nagur. Beberapa wilayah ada yang memilih berdiri sendiri, karena pusat kerajaan tidak mampu lagi untuk mengendalikan pemerintahan.

Saat itu terbentuk 4 wilayah yang berdiri sendiri. Masing-masing wilayah membentuk kerajaan-kerajaan baru. Satu diantaranya adalah Kerajaan Siantar yang merupakan kelanjutan dari pusat Nagur. Istananya dipindah dari


(44)

Perdagangan ke tepi sungai Bah Bolon di Pematangsiantar. Hingga daerah ini disebut Kampung Pamatang (Saragih 2008 : 31).

Penduduk asli ialah Batak Simalungun. Pada tahun 1900 mulai berdatangan penduduk pendatang, yaitu orang Cina dan Tamil. Pada tahun 1903, orang Batak dari Selatan juga mulai datang, terutama orang Batak Mandailing, yang kemudian menetap di bagian utara Pulau Holing, yang sekarang bernama Kampung Timbang Galung dan Kampung Melayu. Kemudian, orang Batak Toba masuk sekitar tahun 1907 (sebagai akibat garis kebijaksanaan pemerintahan kolonial Belanda yang membutuhkan tenaga petani Batak Toba yang dianggap sangat terampil dalam bertani di persawahan), dengan maksud untuk mencari tanah persawahan baru. Karena maksudnya bersawah, maka mereka menetap dipinggiran Kerajaan Siantar, yaitu dikawasan arah ke Pematang Tanah Jawa dan arah ke Tapanuli Utara, yang sekarang bernama Kampung Kristen (bagian Bah Bosar).

Perkembangan kota Pematangsiantar, berkaitan erat dengan perkembangan perkebunan Belanda yang dimulai di Kabupaten Simalungun sejak tahun 1800. Kemudian dengan dibukanya jalan raya Pematangsiantar-Perdagangan tahun 1885, dan Pematangsiantarr-Tebing Tinggi, tahun1907, maka perkembangan kota semakin pesat, demikian juga pertambahan penduduknya (Simanjuntak 2010 : 159- 161).

Sekitar tahun 1904 Pematang Siantar (asal kata : Pamatang dan Siattar) masih berupa kampung kecil dan penduduknya sedikit. Selain rumah raja Siantar (dinamakan Lopou atau Rumah Bolon) ada lagi 8 rumah penduduk biasa (Simon


(45)

1904, dalam Purba 1998 : 27). Pada tahun itu agama Kristen sudah mulai tersebar seiring dengan kehadiran missioner Jerman dan kemudian semakin besar jumlahnya dengan masuknya orang Batak dari Tapanuli. Tahun 1905 atas perintah Gubernemen, raja-raja di Simalungun membuka jalan-jalan di daerah mereka (Damanik 1974 dalam Purba 1998 : 27). Inilah permulaan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial untuk membangun Pematang Siantar khususnya dan Simalungun umumnya. Sementara itu, Raja Siantar, Sang Naualuh, yang tidak bersedia bekerjasama dengan Belanda akhirnya ditawan pemerintahan kolonial tahun 1906 dan kemudian orang-orang Kristen Batak menggunakan Rumah Bolon yang ada di Pematang sebagai tempat kebaktian selama beberapa waktu (Damanik 1981, dalam Purba 1998 : 27).

Pembukaan jalan raya dari Balige ke Pematangsiantar tahun 1915 memberi arti tersendiri bagi orang-orang yang memasuki Simalungun atau daerah lainya di Sumatera Timur, sekaligus memberi kemudahan bagi mereka yang akan bermigrasi. Pembukaan hubungan lalu lintas sampai ke Medan tahun-tahun berikutnya telah menyebabkan daerah Pematang Siantar sebagai kota transit bagi orang-orang dari Tapanuli yang menuju Tebing tinggi, Medan, Belawan, Binjai, Pangkalan Brandan dan kota-kota kecil lainnya untuk mencari pekerjaan. Pematang Siantar menjadi tempat berbagai suku bangsa diantaranya kelompok suku Batak: Toba, Karo, Mandailing dan lain-lainnya, kelompok Jawa, Cina dan sebagainya. Keanekaragaman itu telah melahirkan beberapa nama kampung tempat tinggal mereka dan nama-nama jalan dikota ini. Satu diantara daerah tempat tinggal orang Batak Toba dikenal dengan Kampung Kristen, orang Jawa


(46)

dengan Kampung Jawa dan bagi orang Melayu (diartikan sebagai orang-orang yang beragama Islam) disebut Kampung Melayu. Tahun 1920 sudah terdapat 9.460 orang penduduk Pematang Siantar, terdiri dari 6.096 pribumi, 203 Eropah dan 3.161 Cina, India dan Asia lainya (Tideman 1992 dalam Purba 1998: 29).

Tabel I

Penduduk Pematang Siantar 1930

Jumlah %

Suku Batak : Toba Mandailing Angkola Simalungun Karo Lainnya Jumlah 2.968 1.279 953 495 267 92 6.054 19.17 8.26 6.16 3.20 1.72 0.59 39.10 Indonesia lainya Cina Eropah Asia Lainnya 3.657 4.964 317 490 23.62 32.06 2.05 3.17

Jumlah 15.482 100.00

Sumber : Volkstelling 1930 dalam Purba 1997

Kota Pematangsiantar terdiri dari 8 Kecamatan yaitu : Siantar Barat, Siantar Marihat, Siantar Martoba, Siantar Selatan, Siantar Timur, Siantar Utara, Siantar Marimbum, Siantar Sitalasari.Kecamatan Siantar Sitalasari ini yang merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan Siantar Martoba. Siantar Sitalasari memiliki beberapa Kelurahan satu diantarnya adalah Kelurahan Bah Kapul. Kelurahan Bah


(47)

Kapul ini merupakan suatu daerah lintasan bagi truk-truk besar yang menuju Kabupaten Simalungun yang bertujuan mengambil hasil panen yang mana terletak di jalan Sibatu-batu.

Kelurahan ini berbatasan dengan beberapa Kelurahan antara lain :  disebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bah Sorma,  disebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Setia Negara,  disebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Sofa da  disebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gurilla.

Penetapan Batas dan Peta wilayah diatur dalam Peraturan Daerah kota Pematangsiantar No. 03 tahun 2007.

2.1.2. Keadaan Alam

Penggunaan lahan di Kelurahan ini berbagai kegunaan, seperti sebagai pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, pekarangan, taman, perkantoran, dll. Luas Kelurahan ini sekitar 356,5 ha. Kelurahan ini memiliki suhu rata-rata harian sekitar 24-30ᵒ C. Kelurahan Bah Kapul ini terletak diketinggian 400Mdl. Untuk dapat menunjukkan gambaran yang lebih jelas tentang penggunaan tanah ini, maka dapat dilihat table sebagai berikut di bawah ini.


(48)

Tabel II

TATA GUNA TANAH KELURAHAN BAH KAPUL

No. Jenis Penggunaan Luas Lahan (ha)

1. Pemukiman 229 ha

2. Persawahan 10 ha

3.  Perkebunan 75 ha

4. Kuburan 1 ha

5. Pekarangan 85 ha

6. Taman 1 ha

7. Perkantoran 4 ha

8. Prasarana umum lainnya 21,5 ha

JUMLAH 356,5 ha

Sumber: Kantor Kelurahan Bah Kapul 2013

Curah hujan di Kelurahan Bah Kapul setiap tahunnya sekitar 3156 mililiter per tahunnya. Jenis tanah yang ada di Kelurahan Bah Kapul sebagian besar adalah tanah kering, sedangkan sebagian lagi adalah tanah sawah dan tanah perkebunan. Keadaan tanah yang demikian dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat permukiman, sebagai tempat membangun usaha berjualan, tempat bertani.

Jenis-jenis tanaman yang ditanam adalah jagung, ubi kayu, kangkung, dan tumpang sari, kelapa sawit, dll. Tabel dibawah ini akan menampilkan produksi pertanian dan perkebunan dalam hektar per tahun.


(49)

Tabel III

PRODUKSI PERTANIAN TAHUN 2012-2013

No. Jenis Tanaman Luas/ ha Jumlah/ton

1. Jagung 4 ha 8 Ton/ha

2. Ubi Kayu 50 ha 50 Ton/ha

3. Kangkung 1 ha ½ Ton/ha

4. Tumpang sari 3 ha 11/2 Ton/ha

5. Jahe ½ ha ½ Ton/ha

6. Kunyit ½ ha ½ Ton/ha

7. Lengkuas ¼ ha ¼ Ton/ha

8. Kelapa sawit 18 ha 36 Kw/ ha

Sumber : Kantor Kelurahan Bah Kapul 2013

Selain tumbuh-tumbuhan, ternak juga dipelihara oleh penduduk. Ternak yang dipelihara oleh penduduk bermacam-macam seperti : ayam kampung, babi, ayam bloiler.

2.1.3. Sarana Fisik

2.1.3.1. Sarana Ibadah

Di kelurahan Bah Kapul sarana ibadah yang ada adalah langgar sebanyak 2 buah, mesjid 9 buah, 8 buah gereja seperti gereja Katholik, HKBP, GKPS dan lainnya, 1 buah pura. Kelengkapan sarana ibadah ini membuat penduduk melakukan ibadahnya cukup hanya berjalan kaki, karena yang jaraknya dari rumah ketempat ibadah tidak berjauhan.


(50)

2.1.3.2. Sarana Media Massa

Meskipun kelurahan Bah Kapul ini termasuk jauh dari pusat kota Pematangsiantar tetapi sarana media tidak ketinggalan zaman dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi tentang pembangunan dan perkembanganya. Radio, Televisi dan juga surat kabar adalah media yang tidak asing lagi bagi penduduk kelurahan Bah Kapul, bahkan dapat dikatakan bahwa hampir semua penduduk Kelurahan Bah Kapul telah memiliki radia dan televise. Di beberapa rumah, antena parabola sudah ada dan alat komunikasi telepon,

handphone dan juga jaringan internet juga melengkapi kebutuhan informasi para penduduk.

Koran ataupun majalah dan tabloid juga melengkapi sarana media massa di tempat ini. Koran seperti Pos Metro Siantar, Siantar 24 jam, Sinar Indonesia Baru, Waspada, Kompas, BOLA, Batak POS dan lainya. Umumnya mereka berlangganan, maka setiap dengan cara membayar perbulan, yang diperoleh dari agen-agen surat kabar yang setiap paginya bersepeda motor, melempar koran kedepan pintu maupun gerbang setiap rumah penduduk dengan berteriak “KORAN, KORAN-KORAN”. Tetapi apa bila penduduk tidak berlangganan, maka mereka cukup nongkrong di warung kopi, kios-kios. Seperti Warung Kopi, CAFÉ DAYAK KOPI, TOKO SANGAP, SAMOSIR KOPI, SARAGIH KOPI, AISEDOISE POMBENSI. Tempat-tempat ini menyediakan Koran untuk dibaca dan juga televisi dengan siaran-siaran langsung yang berbayar perbulannya, seperti Indovision dan juga Orange tv.


(51)

WIFI juga tersedia dibeberapa warung kopi tersebut dan juga dibukanya warung-warung internet.Sehingga mereka tetap mampu mengakses kebutuhan mereka akan informasi-informasi yang berkembang.

2.1.3.3. Sarana Kesehatan

Dengan melihat keadaan penduduk di kelurahan Bah Kapul yang telah cukup modern, juga didukung dengan sarana kesehatan yang baik. Kelurahan ini memiliki 1 Puskesmas dan 4 Posyandu juga membantu para bidan yang ada didaerah tersebut membuka praktek-praktek bidannya maupun praktek, dengan jumlah bidan yang ada 20 orang dan dokter umum 5 orang.

Melihat kebutuhan air penduduk kelurahan Bah Kapul tidaklah ada kesulitan. Dimana PDAM Tirtauli memenuhi kebutuhan air masyarakat. Juga adanya mata air dibeberapa rumah penduduk dan juga di sawah penduduk. Bendungan-bendungan mata air kecil yang digunakan untuk mandi dan juga di gunakan sebagai objek wisata yang bernama Pulo Batu.

Mengenai pembungan tinja, kebanyakan para penduduk membuang tinja langsung kesungai, sangat jarang menggunakan septic tank. Karena kelurahan ini dilintasi oleh sebuah aliran sungai yang masih deras. Dalam sarana kesehatan ini, penduduk umumnya sudah lebih menyadari arti kesehatan itu sendiri. Hal ini tercermin dari adanya kesadaran mereka untuk membuang limbah-limbah air dari kamar mandi ke parit-parit dan juga langsung kesungai.

Tetapi mengenai pembuangan sampah, para penduduk sering juga membuang sampah kesungai dan tidak jarang saat terjadi hujan deras dapat


(52)

menimbulkan banjir kiriman dari aliran-aliran sungai sebelumnya. Karena tempat-tempat pembungan sampah tidak tersedia lagi. Semua tempat-tempat sampah yang ada dahulu telah rusak. Dan juga Dinas Kebersihan Pematangsiantar jarang mengambil sampah ke Kelurahan tersebut. Dengan demikian para masyarakat memilih untuk membuang sampah kesungai, dengan ide terakhir dari sistem pembungan sampah yang ada dipemikiran masyarakat. Yang menimbulkan penumpukan sampah di kelurahan tetangga.

2.1.3.4. Sarana Jalan dan Sarana Transportasi

Kelurahan Bah Kapul ini merupakan jalan pintas menuju kabupaten Simalungun melalui jalan Sibatu-batu. Angkutan-angkutan umum pun sering melintasi kelurahan ini. Seperti GMSS, CV.GOK, JAPARIS. Dari pusat kota menuju ke daerah ini cukup menumpang satu angkutan kota yang bernama Sinar Siantar. Infra struktur jalan didaerah ini lumayan bagus dan memiliki beberapa jembatan yang masih pembuatan pada zaman Belanda yang masih berdiri kokoh yang hanya direhap beberapa kali. Dapat digolongkan pada jenis jalan beraspal, jalan berbatu dan jalan tanah.

Ojek juga melengkapi sarana transportasi di daerah ini dengan membayar antara Rp.5000- Rp.10.000 dapat sampai di tujuan yang dikehendaki. Penduduk setempat juga memiliki kendaraan pribadi seperti mobil, kendaraan roda dua, truck, mini bus, dan juga becak khas Pematangsiantar. BSA yang merupakan nama asli becak di Pematangsiantar yang memakai mesin yang sudah lama. Sehingga perkembangan BSA ini hampir punah, dengan perkembangan teknologi


(53)

yang ada saat ini. Penggantian mesin BSA yang telah menggunakan mesin kendaraan roda dua yang ada saat ini, seperti Megapro dan lainnya.

2.1.4. Gambaran Penduduk

Penduduk di kelurahan Bah Kapul cukup heterogen, ada suku Batak, Nias, Melayu, Minang, Jawa, dan China. Penduduk sebagian besar beragama Kristen. Dari data yang diperoleh dari kantor kelurahan Bah Kapul , penduduknya dulunya kebanyakan suku Batak, dengan perkembangan daerah dan munculnya pembangunan-pembangunan perumahan, suku-suku lainnya mulai memukimin tempat ini. Penduduk daerah ini ada berjumlah sekitar laki-laki 3444 jiwa dan perempuan sekitar 2695 jiwa. Dan 2791 kepala keluarga, 3168 jiwa per kilometernya.

Pekerjaan penduduk didaerah ini beragam-ragam ada yang PNS, dan Wiraswasta seperti berdagang, bertani, dosen swasta, bidan, peternak, pengrajin rumah tangga, buruh bangunan dan buruh pabrik. Dan kebanyakan di perusahaan pemerintah. Tidak adanya perbedaan mencolok dalam hal ekonomi pada penduduk didaerah ini. Mengenai agama, para penduduk memiliki prinsip kebebasan beragama. Hal ini untuk para penduduk yang berlainan agama dapat tercipta kerukunan. Dengan adanya perbedaan agama tersebut, setiap penduduk berusaha saling menghargai dan menghormati antar agama, dan bertenggang rasa satu sama lainnya. Sehingga menciptakan hubungan yang harmonis dengan agama lainnya.


(54)

Mengenai pendidikan, para generasi muda di kelurahan ini mayoritas tamatan SMA, jarang terlihat melanjutkan keperguruan tinggi. Kebanyakan memilih untuk langsung bekerja di usaha milik penduduk setempat seperti bengkel, dan kebanyakan menjadi buruh doorsmeer. Konflik antar pemuda sering terjadi di kelurahan ini karena minimnya pendidikan akan saling menghargai para generasi muda. Dan juga adanya warung-warung minuman tradisional yang salah digunakan para pemuda setempat. Yang dijadikan untuk bermabuk-mabukan, buka untuk bertemu ramah satu sama lain. Berujung konflik antar pemuda yang ada.

2.2 Deskripsi Desa Sitorang Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir 2.1.1. Sejarah singkat desa Sitorang

Raja Situngo Panjaitan adalah satu diantara cucu Tuan Dibagarna, yang merantau ke sebelah timur Balige yaitu kampung Sibahulu di bukit Sitombom sebagai tanda perkampungan Raja Situngo menanam pohon beringin. Di kampung inilah Raja Situngo Panjaitan bertempat tinggal. Kampung ini disuatu perbukitan dimana dapat memandang luasnya kaki gunung bukit barisan sampai ke pesisir danau Toba. Raja Situngo menyuruh anaknya yang bernama Martibi raja, Raja Dogor, Raja Siponot, dan Raja Sijanggut untuk membuka lahan pertanian dengan terbukanya lahan pertanian tersebut maka mulailah berdatangan marga-marga lain kedaerah itu. Ada yang menetap dan juga ada yang berpidah silih berganti. Maka disebutlah nama kampung tersebut Sitorang. Karena daerah ini yang dahulunya hutan belantara dan gelap menjadi lahan pertanian dan tidak gelap lagi. Raja


(55)

Siponot mempunyai seorang anak yang bernama Raja Sijorat. Raja Sijorat Panjaitan memiliki kesaktian dan pada masanya hanya Raja Sijorat lah yang memiliki anak 12 orang di daerah Sitorang. Karena Raja Sijorat memiliki banyak anak dan marga-marga lain sangat mengaguminya karena kesaktiannya, maka dibentuklah suatu kerajaan disana yang bernama Kerajaan “Sijorat” dan istananya di Sitorang kampung Lumbantor. Dan diangkatlah para panglimanya dari marga-marga lain yang sudah bertempat tinggal disekitar sitorang. Berhubung karena sudah semakin banyak orang melintas dan berdagang ke Sitorang maka Raja Sijorat membangun pasar tradisional dengan sebutan Onan Raja Sitorang, lokasinya pada saat ini telah menjadi Kantor Kepala Desa Sitorang.

2.2.2.Keadaan Alam

Secara geografi kabupaten Toba Samosir terletak antara 1 ½ ۫◌ – 3 ½ ۫◌ LU dan 97 ۫◌ - 100 ۫◌ BT. Kabupaten Toba Samosir merupakan bagian dari daerah sumatrera utara yang beribu kotakan Balige sedangkan kecamatan Silaen adalah bagian dari kabupaten Toba Samosir. Jarak kecamatan Silaen ke Balige ± 10 km.

Kecamatan Silaen ini dibentuk berdasarkan UU No.12 Tahun 1998 Pasal 3 tentang pembentukan wilayah kabupaten tingkat II Toba Samosir. Berada antara 2 ۫◌ 18’ - 2 ۫◌ 27’ LU dan antara 99 ۫◌ 11’ - 99 ۫◌ 15’ BT. Letak wilayah ini berada antara 900 – 1500 meter diatas permukaan laut. Yang memiliki luas wilayah 172,58 km2 yaitu 8,54% dari total luas Kabupaten Toba Samosir. Saat awal dibentuk kecamatan ini memiliki 21 desadan pernah dimekarkan menjadi kecamatan Silaen sebagai induk dan kecamatan Sigumpar. Dan saat ini memiliki


(56)

23 desa antara lain : Pintu Batu, Pardomuan, Ombur, Parsambilan, Sigodang Tua, Sinta Dame, Natolutali, Dalihan Natolu, Huta Gur-gur II, Huta Gur-gur I, Sitorang I, Hutanamora, Silaen, Lumban Dolok, Napitupulu, Hutagaol Sihujur, Sibide, Sibide Barat, Meranti Barat, Panindii, Simanombak, Siringkiron, Marbulang.

Desa Sitorang merupakan bagian dari daerah kecamatan Silaen. Berdasarkan letak geografisnya desa ini termasuk golongan daerah lereng gunung/punggung bukit. Terletak di ketinggian 910 diatas permukaan laut dan juga diluar kawasan hutan. Berbicara tentang penduduknya, desa Sitorang memiliki 268 kepala keluarga yang mana 531 orang laki-laki dan 528 orang perempuan. Sawah menghiasi pemandangan bibir jalan aspal daerah ini. Para penduduk didesa ini sumber penghasilan utamanya sebagian besar berasal dari pertanian. Ketersediaan listrik sudah mencukupi daerah ini, dimana ditemukannya di pinggir jalan tiang-tiang dan kabel listrik yang menuju ketiap rumah para penduduk.

Udara sejuk dan angin sepoi-sepoi menemani menikmati daerah ini, dengan sungai mengalir dari puncak gunung menuju danau Toba. Air sungai ini di gunakan penduduk sebagai sumber air irigasi kepersawahan mereka. Penduduk menggunakan mata air sebagai pemenuhan air dalam kehidupan sehari-hari, seperti menyuci, memasak, dan sebagai air minum.


(57)

2.2.3. Sarana Fisik

2.2.3.1. Sarana Ibadah

Didesa Sitorang sarana ibadah ada yang mesjid sebanyak 1 buah dan gereja 2 buah. Seperti gereja Katholik, gereja Mission Batak, gereja HKBP, gereja Rasulli Karena masyarakat di desa ini mayoritas Kristen maka sarana ibadah tersebut membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan rohaninya. Dan juga jarak tempat ibadah kerumah para masyarakat dekat dan cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Apabila ada para perantau datang beribadah maka masyarakat setempat akan diberi tumpangan untuk sampai ketempat peribadahan.

2.2.3.2 Sarana Media Massa

Jarak desa Sitorang ini jauh dari letak kecamatan tidak menghambat para masyarakat mendapatkan informasi dari media massa, dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi tentang pembangunan, perkembangan, masalah-masalah alam, sosial, budaya dan ekonomi. Radio, televisi dan juga surat kabar adalah media yang tidak asing lagi bagi penduduk di desa Sitorang, bahkan dapat dikatakan hampir semua penduduk desa sitorang telah memilikii radio dan televisi. Dibeberapa rumah, antenna parabola sudah ada dan alat komunikasi seperti handphone (telepon gengam) melengkapi kebutuhan informasi para penduduk.

Surat kabar juga melengkapi sarana media massa di desa ini. Koran seperti Kompas, Analisa, Sinar Indonesia Baru, Batak Pos, Metro Tapanuli, Harian Perjuangan. Para masyarakat desa pada umumnya membaca Koran di


(58)

warung-warung sarapan pagi dan juga di onan( Pekan mingguan) yang berlangsung tiap hari seninnya.

2.2.3.3. Sarana Kesehatan

Pada masa penjajahan Belanda rumah sakit telah ada di desa Sitorang, yang bernama rumah sakit HKBP Sitorang. Pada saat ini rumah sakit tersebut telah pindah ke Balige dengan nama rumah sakit HKBP Balige. Sekarang di desa Sitorang hanya tinggal beberapa puskesmas, dan di dukung juga dengan keberadaan apotik-apotik yang telah bermunculan. Para bidan desa juga sangat berpartisipasi dalam hal kesehatan para masyarakat desa Sitorang.

Kebutuhan air para masyarakat Sitorang masih kesulitan karena PDAM belum ada di desa tersebut. Para penduduk mengandalkan sumur-sumur yang telah ada sejak masa penjajahan Belanda, sumur-sumur yang di buat oleh para nenek moyang saat berperang melawan Belanda dengan ilmu-ilmunya seperti mata air homban yang dahulunya dimanfaatkan para raja untuk menyampaikan persembahan ke Tuhannya, mata air siangir yang dulunya dipakai raja untuk mandi dengan menggunakan jeruk purut, mata air sijorat dipakai oleh rakyat kerajaan. Masih ada para penduduk menggunakan mata air itu sebagai tempat berobat menghilangkan penyakit pada saat ini. Dan seiring perkembangan teknologi para masyarakat Sitorang menggunakan sumur bor, khususnya para masyarakat yang tinggal di perbukitan.


(59)

2.2.3.4. Sarana Jalan dan Sarana Transportasi

Desa Sitorang memiliki jalan yang beraspal. Angkutan-angkutan umum disini tidak berlogo, mereka menggunakan mobil carry sebagai angkutan umum disini. Jalan-jalan disini meliputi jalan beraspal, jalan berbatu dan jalan tanah.

Para perantau juga berperan dalam pembangunan jalan di desa ini. Jika para perantau orang yang memiliki jabatan tinggi di Negara Republik Indonesia ini maka pasti jalan menuju desanya akan beraspal dengan bagus. Dengan biaya pembuatan sendiri. Jalan-jalan yang menuju ketiap desa-desanya disini akan diperbaikin jika ada pesta besar di daerah ini.

2.2.4 Gambaran Penduduk

Penduduk di desa ini sebagian besar beragama Kristen. Pekerjaan penduduk didaerah ini beragam-ragam mulai dari bertani, berdagang, PNS, dan juga kuli bangunan. Tidak ada perbedaan mencolok dalam hal ekonomi jika dilihat dari segi penampilan, tetapi para penduduk di desa ini memiliki tanah warisan yang sangat luas untuk diolah. Konflik agraria sering terjadi di desa ini. Dalam perebutan tanah bona pasogit oleh para perantau.


(60)

BAB III

BONA PASOGIT PANJAITAN

3.1.Deskripsi Bona Pasogit

Dalam bab 1 (satu) Vergouwen menyatakan tanah marga disebut juga

bona ni pinasa (tempat asal leluhur) atau bona ni pasogit (daerah leluhur).

Menurut Prof.D.P.Tampubolon18 : “ bona pasogit diandaikan seperti belahan jiwa bagi orang Batak Toba, bona ni pasogit berusaha di cari-cari oleh orang Batak Toba bertujuan dalam pencarian jati dirinya sebagai orang Batak, bona pasogit bukan hanya sebuah wilayah asal, juga bukanlah sekedar tempat kuburan yang sering dilakukan para perantau, dan juga dapat seperti silsilah yang orang Batak sebut Tarombo merupakan jati diri orang Batak Toba. Kebanyakan para perantau menyatakan bona pasogit hanya tempat perkuburan bagi orang Batak Toba, jika hanya buat kuburan banyak tanah yang bisa dijadikan kuburan, orang Batak yang tidak peduli lagi dengan bona pasogitnya merupakan orang Batak yang tidak memiliki apapun di bona pasogit.

Simanjuntak (2011) mengatakan istilah bona pasogit yang tadinya berarti sempit sudah menjadi meluas, dalam artian bahwa “ ndang marimbar tano hamatean” artinya untuk tempat berkubur, tanah air Indonesia ini tidak berbeda dimana pun dikubur. Bisa dilihat dari kedua pendapat diatas bahwa kadang kala para perantau tidak lagi memperdulikan bona pasogit dikarenakan tidak ada lagi tanah, sopo/ruma-ruma, maupun tambak bona pasogitnya hanya cukup mengenal tempat keberadaan bona pasogit mereka. Tetapi berbeda dengan para perantau

       18

Wawancara dengan Alm.Prof. DP Tampubolon semasa hidupnya pada saat penulis dan almarhum selesai kebaktian keluarga tiap minggunya. 


(61)

yang masih memiliki tanah, sopo/ruma-rumah, maupun tambak di bona pasogitnya.

3.2.Sejarah Marga Panjaitan

3.2.1. Raja Panjaitan Sebagai Pewaris Marga Panjaitan

Melalui wawancara penulis dengan beberapa informan tentang sejarah marga Panjaitan. Marga Panjaitan merupakan turunan Raja Batak yang bernama Raja Panjaitan, anak bungsu dari Tuan Dibangarna. Raja Panjaitan adalah salah seorang cucunya Raja Sibagot ni Pohan, cicitnya Tuan Sorba Dibanua, Tuan Sorba Dibanua adalah anak dari Nai Suanon, Nai Suanon anak dari Tuan Sori Mangaraja turunan Raja Isumbaon. Raja Isumbaon anak dari Raja Batak.

Raja Panjaitan lahir di kampung Lobu Parserahan Onan Raja Balige, yang saai ini menjadi Kabupaten Toba Samosir. Dan dikampung ini para raja-raja dari marga-marga lain sering bertatap muka dan melakukan interaksi perdagangan untuk membangun budaya Batak di bagian Toba Holbung dan sekitarnya. Setelah Raja Panjaitan berumah tangga, Tuan Dibangarnya mewariskan suatu perkampungan untuk tempat tinggal Raja Panjaitan dan disebutlah nama kampung tersebut Lumban Panjaitan, kemudian dibangunlah suatu sumur untuk tempat mengambil air minum disebutlah namanya mata air Siguti. Kemudian tidak beberapa lama kemudian Raja Panjaitan menikah dengan putri Raja Hasibuan dari kampung Sigaol. Tuan Dibangarna mewariskan lahan pertanian dan padang rumput yang luas yang berada di Siboadiala. Tidak lama kemudian putri Raja Hasibuan tersebut melahirkan seorang anak yang bernama Raja Situngo Naiborngin. Setelah dewasa Raja Situngo membuka perkampungan ke Matio


(62)

tidak lama kemudian meninggalkan Matio dan merantau ke Sibahaulu di bukit Sitombom.

Raja Panjaitan meninggal di Sihail-hail tidak jauh dari Onan Raja tersebut atau disekitar Tugu Raja Sibagot ni Pohan yang berada di Onan raja Balige dekat Rumah sakit Umum HKPB Balige saat ini.

3.2.2. Raja Situngo Naiborngin Panjaitan marga Panjaitan generasi kedua

Menurut cerita dari berbagai informan dan yg paling banyak dikumpulkan penulis adalah dari kumpulan data-data yang telah ditulis oleh St.Raja Hasoge Timbul Panjaitan.

Beliau mengatakan Sibagot Ni Pohan adalah anaknya Tuan Sorba di Banua atau cucu dari Tuan Sorimanga Raja, Si Bagot ni Pohan orangnya gagah,kuat dan terpandang kesaktiannya pada zamannya beliau membuka perkampungan di Balige. Dari Balige inilah berserak keturunanya keseluruh penjuru bumi, Si Bagot Ni Pohan memiliki 4 orang anak yaitu 1.Tuan Si Hubil, 2.Tuan Somanimbil, 3.Tuan Dibangarna, 4. Sonak Malela. Anak yang pertama, kedua dan anaknya yang keempat pindah kedaerah lain untuk membuka perkampungan, Tuan Si Hubil ditempatkan disebelah pintu masuk dari Porsea dan Lagu Boti dan Tuan Somanimbil ditempatkan di pintu masuk kota Balige yang dari Tarutung atau Siborong-borong sedangkan Sonak Malela diposisikan dipintu masuk dari danau Toba, sementara Tuan Dibangarna setelah menikah dengan Putri Raja Pasaribu ditempatkan di pusat kota dan memperluas kampung itu dan menamainya dengan Onan Raja Balige sebagai pusat pasar perbelanjaan


(63)

masyarakat sekitar. Tuan di Bangarna memiliki 4 orang anak yaitu 1.Raja Panjaitan, 2.Raja Silitonga, 3.Raja Siagian, 4.Raja Sianipar.

Raja Panjaitan beristrikan putri Raja Hasibuan dan ditempatkan Tuan Dibangarna di Onan Raja Balige, setelah Raja Panjaitan berumah tangga dia sudah sering tampil menjadi raja parhata19 dalam pelaksanaan adat istiadat maupun menghadiri rapat-rapat musyawarah Si Raja Batak dan kepandaian Raja Panjaitan pun semakin berkualitas dan rasa solidaritasnya pun cukup tinggi serta tidak ketinggalan membuat kebijaksanaan ditengah-tengah kalangan orang Batak Toba untuk membangun kearifan lingkungan baik kepada orang-orang lain dan jika ada persoalan atau perselisihan orang perorang maupun berkelompok, Raja Panjaitan sering dihadirkan untuk membuat keputusan yang adil dan bijaksana, bahkan karena perbuatannya yang banyak membantu orang-orang susah maka Si Raja Panjaitan menjadi dihormati banyak orang bahkan adik-adiknya pun turut dikagumi masyarakat Batak pada saat itu.

Raja Panjaitan merupakan seorang petani, dia membuka persawahan di lembah yang tidak begitu jauh dari Onan Raja Balige, dengan ketekunannya bersawah disana dia pun memanen padi yang banyak hasil panennya dan rasa berasnya pun berbeda dengan beras yang sudah ada sebelumnya pada saat itu, karena perbedaan ini maka semakin banyaklah orang membuka persawahan kedaerah lembah tersebut.

Suatu ketika datanglah hujan lebat dengan suara gemuruh saling silih berganti nampak cuaca angin kencang di sore hari saat itu istri kesayangan si Raja

       19

Raja Parhata merupakan sebuah jabatan dalam pelaksanaan adat, dimana jabatan inilah yang mengatur alurnya ritual adat tersebut


(1)

(2)

(3)

Gambar : Penulis sedang mendengar cerita tentang marga Panjaitan di sebuah warung tempat masyarakat sering berkumpul sore harinya.

Gambar : Sopo

Parsaktian yang sedang di renovasi


(4)

Gambar : Para Panjaitan sedang melakukan Rapat Pesta Deklarsai KTRPPB.


(5)

Gambar : St. Raja Hasoge Timbul mengangkat tulang belulang Raja Hasoge Panjaitan saat melakukan acara Mangokal Holi, dan pewarisan gelar Raja.


(6)

Gambar : Penulis ikut seta dalam acara mangokal Holi Raja Hasoge Panjaitan

Gambar : Para dosen Antropologi USU berfoto bersama di Istana Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Saat melakukan survey tempat penelitian.