PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN KELUARGA UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN WARGA NEGARA : Studi Kasus Perlindungan Hak Perempuan Pengrajin Batu Aji dalam Kehidupan Keluarga di Martapura Kalimantan Selatan.

(1)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERSEMBAHAN ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMA KASIH ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ... 1 DAFTAR LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined. BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. Pertanyaan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. D. Kegunaan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. E. Asumsi Penelitian ... Error! Bookmark not defined. F. Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined. G. Lokasi dan Subjek Populasi Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. A. Hasil Penelitian yang Relevan ... Error! Bookmark not defined.

B. Teori Kewarganegaraan (Civics) ... Error! Bookmark not defined.

1. Pengertian dan Karakteristik Teori Kewarganegaraan (Civics)Error! Bookmark not defined.

2. Pengertian Hak dan Pemerolehan Hak dalam Teori KewarganegaraanError! Bookmark not defined.

C. Feminisme dan Perlindungan Hak Perempuan . Error! Bookmark not defined. 1. Teori Feminis ... Error! Bookmark not defined.

2. Sejarah Perkembangan Perjuangan Perlindungan Hak PerempuanError! Bookmark not defined.

3. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women

(CEDAW) sebagai Instrumen Perlindungan Hak Asasi PerempuanError! Bookmark not defined.

4. Perlindungan Hak Perempuan di IndonesiaError! Bookmark not defined. 5. Undang-Undang Hak Asasi Manusia ... Error! Bookmark not defined.

6. Kendala Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia ... Error! Bookmark not defined.

7. Keluarga ... Error! Bookmark not defined. 8. Budaya Patriarki ... Error! Bookmark not defined. 9. Pandangan Islam Terhadap Perempuan ... Error! Bookmark not defined. 10. Pencapaian Pendidikan... Error! Bookmark not defined. 11. Konsep Kerja ... Error! Bookmark not defined. 12. Suku Bangsa dan Orientasi Nilai Budaya BanjarError! Bookmark not defined. 13. Perempuan dalam Budaya Banjar ... Error! Bookmark not defined. 14. Pendekatan Gender... Error! Bookmark not defined.


(2)

15. Pemenuhan Kebutuhan Gender ... Error! Bookmark not defined. 16. Peran Perempuan ... Error! Bookmark not defined. 17. Pemberdayaan Perempuan ... Error! Bookmark not defined. D. Kesetaraan Warga Negara ... Error! Bookmark not defined. 1. Pengertian Kesetaraan ... Error! Bookmark not defined. 2. Perempuan dan Kewarganegaraan ... Error! Bookmark not defined. 3. Kaitan antara Perlindungan Hak Perempuan dalam Kehidupan Keluarga untuk

Mewujudkan Kesetaraan Warga Negara .... Error! Bookmark not defined.

BAB III METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

B. Definisi Konsep ... Error! Bookmark not defined. C. Instrumen Penelitian ... Error! Bookmark not defined. D. Metode dan Teknik Penelitian ... Error! Bookmark not defined. E. Pendekatan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. F. Teknik Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. G. Tahap-Tahap Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANError! Bookmark not defined. A. Temuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

1. Deskripsi Kelurahan Keraton Martapura ... Error! Bookmark not defined. 2. Profil Keluarga Pengrajin Batu Aji ... Error! Bookmark not defined. 3. Profil Industri Kerajinan Batu Aji ... Error! Bookmark not defined.

4. Latar Belakang Menjadi Pengrajin Batu Aji dan Makna Kerja Sebagai Pengrajin Batu Aji dan Perempuan dalam Kehidupan KeluargaError! Bookmark not defined.

5. Perlindungan Hak-Hak Perempuan Pengrajin Batu Aji dalam Kehidupan Keluarga Error! Bookmark not defined.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perlindungan Hak-Hak Perempuan Pengrajin Batu Aji dalam Kehidupan Keluarga ... Error! Bookmark not defined.

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1. Latar Belakang Respoden ... Error! Bookmark not defined.

2. Aktivitas Sebagai Pengrajin dan Perempuan dalam KeluargaError! Bookmark not defined.

3. Perlindungan Hak Perempuan ... Error! Bookmark not defined.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perlindungan Hak PerempuanError! Bookmark not defined.

C. Strategi Peningkatan Perlindungan Hak PerempuanError! Bookmark not defined. D. Kaitan Perlindungan Hak Perempuan dalam Kehidupan Keluarga untuk Mewujudkan

Kesetaraan Warga Negara ... Error! Bookmark not defined.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Error! Bookmark not defined. A. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined.

1. Kesimpulan Umum ... Error! Bookmark not defined. 2. Kesimpulan Khusus ... Error! Bookmark not defined. B. Rekomendasi ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.


(3)

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Disadari oleh masyarakat dunia bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan memerlukan pengaturan khusus. Sikap ini didasarkan atas kenyataan di seluruh dunia yang sampai kini juga masih berlanjut. Luhulima (2007: 42), menyatakan hampir semua masyarakat di dunia masih ditandai dengan sikap yang menganggap bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya dan nilainya dibanding laki-laki. Sumbangan perempuan bagi kehidupan keluarga dan masyarakat, maupun sumbangan di dunia kerja atau bagi pertumbuhan ekonomi masih sangat kurang diakui dan dihargai. Hal ini menyebabkan bahwa perempuan pada umumnya kurang atau sama sekali tidak berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Akses pada pendidikan lebih kurang dari laki-laki, sehingga pilihan lapangan kerja bagi perempuan juga sangat terbatas dan pendapatan perempuan sering lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama atau sama nilainya. Sangat banyak dan jauh lebih banyak jumlah perempuan miskin, pekerja perempuan yang tidak berketerampilan dan yang menjadi korban kekerasan, penganiayaan, dan perdagangan dibandingkan laki-laki. Sumber pelanggaran HAM perempuan dan anak-anak perempuan sering ditemukan dalam keluarga sendiri, yaitu tempat di mana mereka pertama-tama mengetahui dan mengalami hidup sebagai warga kelas dua dan laki-laki sebagai warga kelas satu.


(5)

Salah satu masalah pelanggaran hak asasi manusia yang sampai saat ini masih dirasakan adalah perlakuan diskriminasi yang kerap kali dialami oleh kaum perempuan. Berbagai bentuk perlakuan diskriminasi yang diterima oleh kaum perempuan tersebut sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pandangan sebagian masyarakat kita yang masih berpandangan tradisional, yang menganggap perempuan adalah “makhluk yang lemah”. Pandangan seperti ini yang didasarkan atas sifat-sifat kodrati dan alami dari sosok perempuan, seringkali dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Hal senada dikemukakan oleh Bunch, (seorang aktivis) HAM perempuan, sebagaimana dikemukakan oleh Savitri (2008:2) yang menyatakan bahwa sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai cara. Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor-aktor politik selama ini didominasi oleh laki-laki, maka masalah perempuan sebagai korban kekerasan yang terlanggar HAM-nya berkaitan dengan keperempuannya menjadi tidak kelihatan (invisible). Lebih lanjut dinyatakannya, bahwa saat ini, isu perempuan secara konkrit harus menjadi fokus perhatian negara di tingkat nasional, regional maupun internasional. Hanya dengan cara tersebut, isu perempuan dapat dianggap sebagai masalah negara dan bangsa, dan bukan masalah golongan perempuan saja. Keprihatinan terhadap kondisi kaum perempuan juga dikemukakan oleh Febriasih (2008: 15), yakni bahwa perempuan


(6)

memiliki keterbatasan untuk mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seringkali menjadi kaum yang termarginalkan mirip dengan kaum minoritas.

Kenyataan lain yang mencerminkan masih adanya diskriminasi terhadap perempuan adalah akses perempuan pada kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang tersedia masih dibatasi atau dikurangi (perempuan dalam kedudukan pengambil keputusan masih langka). Diskriminasi juga menggejala dalam sikap umum yang menganggap ciri khas perempuan lebih rendah dibanding dengan ciri khas laki-laki (sifat sabar, lemah lembut seringkali justru dianggap kurang ‘hebat’ dibandingkan dengan sifat laki-laki seperti berani, agresif dan rasional).

Persoalan yang berkaitan dengan perempuan semakin menguat khususnya sejak terjadinya krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak 1997 hingga sekarang. Dampak yang paling besar menimpa kaum perempuan dengan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan yang cenderung meningkat, baik di sektor privat maupun publik. Setidaknya pada tahun 2001 terjadi 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2002 terjadi peningkatan sebanyak 5.163 kasus. Sementara pada tahun 2003, 53 % insiden kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan komunitas termasuk di daerah konflik bersenjata Aceh dan 46 % terjadi di lingkungan keluarga (Komnas HAM, 2004). Belum lagi kasus-kasus buruh migran Indonesia di luar negeri yang terlihat kurang mendapat perlindungan dari pemerintah Indonesia.

Menurut catatan Konsorsium Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), pada tahun 2001 terdapat 2.231.143 kasus, 33 di antaranya kehilangan nyawa dan 107 mengalami penganiayaan disertai pemerkosaan. Pada tahun 2002, kasus buruh


(7)

migran yang tewas meningkat menjadi 177 orang, termasuk yang meninggal di Nunukan. Contoh-contoh kasus tersebut menunjukkan belum maksimalnya kinerja pemerintah dalam memberikan perlindungan dan dukungan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan, termasuk mereka yang menjadi pelintas batas sebagai tenaga kerja perempuan di luar negeri. Hal ini terlihat dalam kinerja pemerintah dalam memberikan hak untuk bekerja/ berusaha dan memperoleh jaminan sosial serta terpenuhinya kebutuhan dasar termasuk kesehatan yang dinilai sangat buruk kualitasnya.

Meskipun pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi

Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW), tetapi pemerintah Indonesia belum melaksanakan dengan maksimal. Pada kenyataannya, peratifikasian CEDAW di Indonesia masih mengandung beberapa kelemahan. Pertama, pemerintah Indonesia tidak menerima semua ketentuan dalam CEDAW, melainkan mereservasi pasal tertentu. Kedua, inkonsistensi terhadap semangat pembaruan CEDAW. Ketiga, walaupun telah menandatanganinya, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi Optional Protocol CEDAW. Keempat, pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi lainnya tentang HAM. Kelima, government report yang belum mengakomodasi pengalaman-pengalaman perempuan (Sagala dan Rozana, 2007: 71 – 76).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konteks hak perempuan adalah perlu dibedakan antara ‘motherhood’ (menjadi ibu) dan ‘womanhood’


(8)

(aktualisasi diri sebagai perempuan). Kenyataannya adalah bahwa tidak semua perempuan menjadi ibu biologis (mencapai motherhood) tetapi yang dapat diamati bersama, menjadi pemilih, menjadi dokter, menjadi buruh migran, menjadi menteri, menjadi politisi, dan sebagainya. Mengembangkan motherhood

dan/ atau womanhood adalah potensi yang dimiliki perempuan,

sedang melindungi ‘motherhood’ merupakan salah satu komponen hak perempuan (seperti cuti melahirkan bagi pekerja perempuan atau menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi ibu hamil dan melahirkan). Untuk itu perlu diakui bahwa motherhood selain peristiwa biologis, juga mempunyai fungsi sosial karena fungsinya menyediakan generasi baru penerus bangsa. Hak perempuan lain adalah sebagai pekerja, perempuan berhak memperoleh imbalan yang sama untuk jenis pekerjaan yang nilainya sama.

Pada sisi lain, di Indonesia, banyak terjadi kasus tentang ketidakadilan gender dalam hukum, di antaranya:

a. Tenaga Kerja Laki-Laki

Tenaga kerja laki-laki menerima sebagai penghasilan di samping upah, tunjangan keluarga, sedangkan tenaga kerja perempuan hanya menerima upah. Padahal konvensi International Labour Organization (ILO) No. 100 telah mencantumkan bahwa tunjangan termasuk dalam upah. Ketika diteliti, perjanjian kerja dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) mengikuti peraturan zaman Belanda yang memberikan definisi bahwa keluarga adalah isteri dan anak kandung. Secara legistis/ dogmatis ditafsirkan bahwa karena pekerja perempuan tidak mempunyai isteri, maka ia tidak berhak atas tunjangan keluarga. Memang alasan lebih lanjut


(9)

bisa ditarik sampai pada ketentuan bahwa suami adalah pencari nafkah utama, namun ketidakadilan ini secara mudah dapat diatasi juga secara yuridis dogmatis yaitu dengan mengubah definisi keluarga pekerja menjadi suami/isteri dan anak. Dengan demikian, hukum memberikan hak kepada suami dan isteri untuk menentukan tunjangan keluarga masuk suami atau isteri. Secara empiris, kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya tunjangan keluarga masuk dalam daftar gaji/upah suami, entah karena memang upahnya yang lebih tinggi dari isteri, tetapi mungkin juga karena dari segi perasaan baik laki-laki maupun perempuan, aspek psikologis, sosial dan budaya akan lebih membanggakan jika tunjangan keluarga dimasukkan dalam daftar gaji/upah suami. Akan tetapi hal tersebut akan menimbulkan masalah manakala suami isteri bercerai atau suami kawin lagi dan mempunyai anak dengan isteri baru. Dalam hal demikian tunjangan keluarga belum tentu diterima anak isteri pertama;

b. Harta Perkawinan

Dalam kaitan dengan harta perkawinan terdapat beberapa kasus diantaranya:

1)Masalah lain adalah pembagian harta benda perkawinan berupa harta bersama,

jika terjadi perceraian. Pada umumnya isteri telah meninggalkan karirnya saat menikah, untuk mengurus suami, anak dan rumah tangga. Pembagian masing-masing setengah dari harta bersama jika bercerai jelas merugikan isteri. Ia sudah ketinggalan malah mungkin tidak layak lagi untuk melanjutkan karirnya, suaminya selama ini menanjak karirnya dan ia pun tidak mempunyai hak atas pensiun suaminya. Masalah ini memang merupakan vakum hukum;


(10)

2)Ada pula kasus yang pada awal perkawinan si isteri mencari sekuat tenaga atau dibantu keluarga isteri, untuk biaya pendidikan lanjutan suami. Ketika lulus dan mencapai karir yang meningkat, isterinya diceraikan. Di sini diperlukan penafsiran fakta secara empiris, karena menerapkan ketentuan hukum yang membagi dua harta bersama terasa sangat tidak adil. Kemungkinan penambahan hasil yang dimungkinkan karena meningkatnya karir suami berkat pendidikan atas biaya isteri, perlu diperhitungkan penegak hukum dalam advokasi, gugatan dan dalam memutuskan pembagian harta bersama;

3)Banyak kasus di pedesaan, yang harta bersama berkembang juga berkat kerja

keras isteri, yang di samping mengurus rumah tangga, suami dan anak, juga ikut menandur, menjemur padi dan mengolah hasil pertaniannya. Tidak jarang juga dengan usaha menganyam hasil pandan misalnya, yang hasilnya biasanya dijual oleh suami. Pada saat terjadi perceraian, isteri yang dicerai dipulangkan ke rumah orang tuanya atau sanak saudaranya, paling dengan pemberian iddah;

c. Persoalan Lain

Berbagai persoalan lain dapat diungkapkan berdasarkan hasil-hasil penelitian, seperti sertifikat yang diagunkan suami ke bank, ataupun isteri dipaksa menandatangani pengagunan sertifikat tanah dan rumah. Ada pula kasus perceraian dan poligami, yang di sidang disetujui oleh “isteri”, namun ternyata perempuan yang hadir bukan isterinya, tetapi perempuan lain. Masalah di sini merupakan tindakan manipulasi. Yang perlu dipikirkan adalah sejauh mana ketidakberdayaan perempuan, tingkat pengetahuannya atau pendidikannya (Lapian, 2007: 18).


(11)

Institusi struktural kekuasaan yang paling tinggi adalah negara, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Negara sebagai sebuah wilayah dengan struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya, merupakan sebuah kompleksitas kekuasaan yang dominan dan menjadi pusat otoritas di tingkat publik. Idealnya, negara dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki mampu menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dalam memperoleh keadilan. Akan tetapi, kenyataannya dalam banyak kasus, negara justru semakin membuat posisi perempuan makin terjepit dan mengorbankan korban (victimized the victim). Dalam kondisi krisis, korban yang paling parah menderita adalah perempuan tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan isu perempuan menjadi sesuatu yang dianggap vital.

Kemudian daripada itu, banyak pengamat yakin bahwa negara berperan besar dalam produksi dan reproduksi perbedaan gender yang tidak setara, khususnya antara laki-laki dan perempuan. Banyak produk negara, dari undang-undang hingga pendidikan sekolah menempatkan perempuan pada posisi warganegara kelas dua, yang terkekang dalam narasi-narasi heteroseksual yang primordial. Tak jarang, negara hanya sebatas melegitimasi atau mengikuti pandangan agama dan tradisi kultural dimana perempuan dianggap sekedar memiliki nilai-nilai kodrati yang lazimnya berkaitan dengan tubuh (Ong 1999b dalam Kalidjernih 2007: 90). Negara aktif mengkonstruk citra perempuan sebatas ruang keluarga dan membatasi hak-hak mereka dalam ikatan perkawinan.

Dalam konteks ini, hak-hak laki-laki lebih besar daripada perempuan dalam banyak masyarakat. Pencitraan peran perempuan sering digunakan oleh


(12)

pemerintah sebagai retorika patriotisme dalam mewujudkan rencana dan strategi sosial-kependudukan, terutama di negara-negara berkembang. Misalnya, perempuan membantu program keluarga berencana, aktif dalam Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan sebagainya. Negara aktif membangun dan mengkoordinasi pelbagai institusi yang dipropagandakan sebagai upaya pemberdayaan perempuan, namun konstruk negara atau rezim-rezim di negara berkembang, misalnya rezim Orde Baru di Indonesia, ternyata malah melemahkan posisi-posisi perempuan vis-a-vis laki-laki (Kalidjernih, 2007: 91).

Kemudian daripada itu, kajian kewarganegaraan modern mengenai masalah hak ini banyak berutang kepada dokumen penting T.H. Marshall, bertajuk Citizenship and Social Class (1950). Dalam hal ini, Marshall membagi kewarganegaraan modern menjadi kewarganegaraan atau hak sipil, politik, dan sosial. Hak sipil mencakup kebebasan berbicara, berpendapat dan berkeyakinan, dan hak atas properti, kontrak dan keadilan. Hak politik meliputi hak-hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan voting. Sedangkan hak sosial mencakup hak mendapatkan keamanan dan kesejahteraan dan berbagi pewarisan sosial dan menikmati kehidupan beradab sesuai dengan standar umum dalam masyarakat (Kalidjernih, 2007: 97).

Menurut Harkrisnowo (2000) sebagaimana dikemukakan oleh Savitri (2008: 3), perempuan dalam kajian dan pengaturan beberapa konvensi internasional dimasukkan ke dalam kelompok yang vulnerable, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok yang rentan lainnya. Kelompok perempuan dimasukkan ke dalam


(13)

kelompok yang lemah, tak terlindungi, dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko serta sangat rentan terhadap bahaya, yang salah satu diantaranya adalah adanya kekerasan yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear or crime yang lebih tinggi daripada laki-laki. Selain itu, derita yang dialami perempuan baik pada saat maupun setelah terjadinya kekerasan, pada kenyataannya, jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki.

Selain daripada itu, perempuan Indonesia, khususnya dari kalangan bawah, hampir selalu terlibat dalam kegiatan ekonomi, tetapi keterlibatan mereka itu ternyata tidak dibarengi dengan keterampilan kerja yang memadai. Meski perempuan banyak bergiat dalam kegiatan ekonomi, keterlibatan tersebut tidak secara otomatis mengubah status dan posisinya, baik dalam masyarakat pada tingkat makro maupun di dalam keluarga pada tingkat mikro.

Perempuan Banjar sebagai bagian dari suku Banjar, senantiasa aktif dengan berbagai kegiatan, baik kegiatan di dalam rumah tangga (domestik) misalnya selain memasak dan mengasuh anak, mereka juga menjahit pakaian dan menyulam. Kegiatan menjahit dan menyulam ada yang dilakukan untuk keperluan diri sendiri dan keluarga saja, tetapi ada juga untuk dijual atau hanya menerima upah. Kegiatan lainnya, yakni kegiatan di luar rumah tangga terutama membina hubungan dengan masyarakat. Kegiatan ini dibatasi oleh norma yang berlaku di masyarakat, terutama norma agama yang dalam hal ini adalah agama Islam. Hal inilah yang mengatur kehidupan perempuan Banjar pada umumnya.


(14)

Perempuan Banjar dalam kehidupan keluarga yang berkedudukan sebagai seorang isteri mempunyai kewenangan khusus. Kewenangan khusus tersebut adalah bertanggung jawab dalam urusan keluarga, antara lain memasak, menyusun menu makanan sehari-hari, dan mengasuh anak. Perempuan Banjar sebagai seorang isteri berusaha membaktikan dirinya kepada suami. Jika suaminya berada di rumah, ia wajib melayani suaminya. Menurut adat, isteri tidak boleh makan sebelum suaminya selesai makan. Tabu pula baginya untuk mempergunjingkan segala keaiban suaminya yang menurut kepercayaan dapat membuat perempuan tersebut ketulahan (kena tulah dan sukar mendapat rezeki) (Soleh, 1978 dalam Basri, 2001: 6).

Menurut kacamata feminis, konsep wanita Banjar tersebut di atas mencerminkan suatu masyarakat dengan ideologi patriarkhi yang sangat kuat. Pada pola pengambilan keputusan di mana seorang isteri tidak berani menentukan keputusan jika tidak ada persetujuan suaminya. Pada pembagian kerja dalam rumah tangga isteri bertanggung jawab di bidang domestik dan hanya suami yang boleh berurusan di sektor publik. Perempuan di sini benar-benar membaktikan dirinya untuk suami. Perempuan benar-benar teropres (tertekan) dari pria. Dalam pandangan esensialis, perempuan dianggap lebih pantas mengurusi rumah tangga: melahirkan, membesarkan dan mengurus anak, mengurus rumah, jahit menjahit, dan masak-memasak. Peran perempuan seakan-akan dianggap sebagai batas pelayan bagi suami dan anak (keluarga). Dominasi tersebut seringkali dibungkus dengan nilai-nilai sosial, perangkat hukum, pertimbangan kesehatan, bahkan dengan simbol-simbol agama dan budaya. Peran yang kaku mengenai tugas dan


(15)

peran perempuan dan laki-laki itu membawa implikasi psikologi dan sosial sangat jauh ujar feminis dan ahli hukum Nursyahbani Katjasungkana (2003) dalam Savitri (2008: 5). Pembagian peran yang ketat, yang sudah mengakar dalam persepsi orang, menyebabkan lahirnya label-label tertentu, misalnya, ”banci”, pada laki-laki yang menjalani perannya membantu mengurus rumah tangga di satu keluarga. Label itu mengacu pada kelompok yang sangat dimarjinalkan, sehingga dipandang layak untuk dihina, ditindas, karena dipandang sangat rendah,” lanjut Nursyahbani. ”Peran mengurus rumah tangga tidak dianggap sama penting dengan peran mencari nafkah. Kerja reproduksi di ranah domestik atau rumah selalu dipandang lebih rendah dibanding kerja produksi di ranah publik”.

Pandangan yang secara umum memberikan batasan kaku atas ruang privat dan ruang publik itu juga mengimbas jauh pada pengertian ideologis mengenai berbagai hal, seperti ”warga negara”, yang awalnya bersifat politik dan sehingga merupakan hanya dipandang sebagai urusan di ruang publik. Konsepsi yang sempit ini, menurut Lister (1997) dalam Citizenship: Feminist Perspective, mengacu pada ketidakberpihakan pada berbagai segala hal di ranah domestik, seakan-akan ranah domestik tak berkaitan sama sekali dengan ranah publik.

Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan terhadap perlindungan hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil


(16)

meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi mereka di sektor publik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut sebagai diskriminasi berbasis gender.

Perempuan pengrajin batu aji di Martapura Kalimantan Selatan juga tidak terlepas dari hal-hal tersebut sebagai akibat dari pengaruh nilai-nilai budaya dan penafsiran nilai-nilai agama setempat. Masyarakatnya berpandangan bahwa perempuan sebagai isteri, sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah tetap melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Keadaan ini disebut dengan peran ganda perempuan. Dalam kebanyakannya, keluarga pengrajin batu aji merupakan keluarga yang berpenghasilan rendah, pekerjaan perempuannya tidak hanya terdiri atas kegiatan reproduktif (melahirkan anak), tetapi juga kegiatan produktif yang sering menjadi sumber penghasilan kedua. Dengan demikian, tentulah mereka harus memikul beban ganda. Perempuan pengrajin batu aji memainkan peran ganda yang ditempelkan pada mereka, yaitu sebagai isteri, ibu dan berjuang untuk mengatur lingkungan keluarga mereka. Hal seperti ini berpotensi hak-hak mereka sebagai seorang perempuan kurang terlindungi.

Dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam kehidupan perempuan pengrajin batu aji. Kehidupan yang berkaitan dengan perlindungan hak perempuan dalam kehidupan keluarga kaitannya terhadap kesetaraan kedudukan warga negara: studi kasus perlindungan hak perempuan pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga di Martapura Kalimantan Selatan.


(17)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian di atas dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana perlindungan hak perempuan pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga di Martapura Kalimantan Selatan?.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dirumuskan pertanyaan penelitiannya sebagai berikut:

1. Bagaimana perempuan pengrajin batu aji memberikan alasan-alasan yang

melatarbelakangi mereka memilih menjadi pengrajin batu aji dan makna kerja mereka sebagai pengrajin batu aji dan perempuan dalam kehidupan keluarga?.

2. Bagaimana perlindungan hak-hak perempuan pengrajin batu aji dalam

kehidupan keluarga?.

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perlindungan hak-hak perempuan

pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga?.

4. Bagaimana strategi peningkatan perlindungan hak perempuan?.

5. Bagaimana kaitan perlindungan hak perempuan dalam kehidupan keluarga

terhadap kesetaraan kedudukan warga negara?.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan melakukan kajian tentang perlindungan hak-hak perempuan pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga di


(18)

Martapura Kalimantan Selatan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang:

1. Alasan-alasan yang melatarbelakangi mereka memilih menjadi pengrajin batu

aji dan makna kerja mereka sebagai pengrajin batu aji dan perempuan dalam kehidupan keluarga di Martapura Kalimantan Selatan.

2. Perlindungan hak-hak perempuan pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga

di Martapura Kalimantan Selatan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan hak-hak perempuan pengrajin

batu aji dalam kehidupan keluarga di Martapura Kalimantan Selatan.

4. Strategi peningkatan perlindungan hak perempuan.

5. Kaitan perlindungan hak perempuan dalam kehidupan keluarga terhadap

kesetaraan kedudukan warga negara.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik, penelitian ini akan menggali, mengkaji dan mengorganisasikan perlindungan hak-hak perempuan, sehingga dapat diperoleh data mengenai hal-hal yang diatur, perlu diatur, dan yang perlu dilengkapi.

Penelitian ini memberikan sumbangan terhadap ilmu kewarganegaraan (civics) dalam hal sebagai pembelajaran kewarganegaraan agar memahami dan menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Hal ini bertujuan agar


(19)

semua warga negara menjadi demokratik, dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut:

1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang hak asasi

manusia sebagai bahan kontribusi ke arah peningkatan perlindungan hak perempuan.

2. Para pengambil kebijakan khususnya yang terkait dengan program

perlindungan hak perempuan.

3. Bagi perempuan pengrajin batu aji, sebagai bahan penyadaran akan pentingnya

mempunyai hak-hak yang harus tetap dilindungi dan perlu terlibat dalam pembangunan.

E. Asumsi Penelitian

Opini publik tentang perempuan dalam sejarah masyarakat, kapan dan di manapun selalu terdapat kelas yang bersifat meremehkan martabat perempuan dan memandangnya sebagai hamba kelas dua setelah kaum laki-laki. Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan perlindungan terhadap hak-hak mereka.

Faktor budaya, ekonomi dan penafsiran agama yang sempit merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap


(20)

keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama partisipasi dalam kehidupan keluarga semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut sebagai diskriminasi berbasis gender.

Negara sebagai sebuah wilayah dengan struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya, merupakan sebuah kompleksitas kekuasaan yang dominan dan menjadi pusat otoritas di tingkat publik. Idealnya, negara dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki mampu menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dalam memperoleh keadilan. Akan tetapi, kenyataannya dalam banyak kasus, negara justru semakin membuat posisi perempuan makin terjepit dan mengorbankan korban (victimized the victim). Dalam kondisi krisis, korban yang paling parah menderita adalah perempuan tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan isu perempuan menjadi sesuatu yang dianggap vital. Negara berperan besar dalam produksi dan reproduksi perbedaan gender yang tidak setara, khususnya antara laki-laki dan perempuan.

Banyak produk negara, dari undang-undang hingga pendidikan sekolah menempatkan perempuan pada posisi warganegara kelas dua, yang terkekang dalam narasi-narasi heteroseksual yang primordial. Tak jarang, negara hanya sebatas melegitimasi atau mengikuti pandangan agama dan tradisi kultural di mana perempuan dianggap sekedar memiliki nilai-nilai kodrati yang lazimnya berkaitan dengan tubuh. Negara aktif mengkonstruk citra perempuan sebatas ruang keluarga dan membatasi hak-hak mereka dalam ikatan perkawinan. Dalam


(21)

konteks ini, hak-hak laki-laki lebih besar daripada perempuan dalam banyak masyarakat.

Pencitraan peran perempuan sering digunakan oleh pemerintah sebagai retorika patriotisme dalam mewujudkan rencana dan strategi sosial-kependudukan, terutama di negara-negara berkembang. Misalnya, perempuan membantu program keluarga berencana, aktif dalam Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan sebagainya. Negara aktif membangun dan mengkoordinasi pelbagai institusi yang dipropagandakan sebagai upaya pemberdayaan perempuan, namun konstruk negara atau rezim-rezim di negara berkembang, misalnya rezim Orde Baru di Indonesia, ternyata malah melemahkan posisi-posisi perempuan.

Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat masih terjadi hingga kini. Kedudukan perempuan ditempatkan pada posisi di bawah laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Hal demikian disebabkan oleh adanya budaya masyarakat yang masih menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Namun demikian, sekarang ini nampaknya telah ada upaya-upaya untuk memperbaiki kedudukan perempuan dalam masyarakat berdasarkan hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma atau pendekatan kualitatif, yaitu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan menggunakan pendekatan


(22)

studi kasus, atau penelitian kasus (case study). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi.

G. Lokasi dan Subjek Populasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Keraton Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi ini didasarkan pertimbangan bahwa perempuan pengrajin batu aji di provinsi Kalimantan Selatan hanya ada di daerah tersebut.

Adapun subjek dalam penelitian ini adalah perempuan pengrajin batu aji di kelurahan Keraton Martapura Kalimantan Selatan.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Keraton Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi ini didasarkan pertimbangan bahwa perempuan pengrajin batu aji di provinsi Kalimantan Selatan hanya ada di daerah tersebut. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah perempuan pengrajin batu aji di kelurahan Keraton Martapura Kalimantan Selatan.

Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam penetapan subjek penelitian ini, yakni latar (setting), para pelaku (actors), peristiwa-peristiwa (events), dan proses (process) (Miles and Hubermen, 1984:56; Alwasilah, 2003: 145-146). Kriteria pertama adalah latar, yaitu situasi tempat berlangsungnya proses pengumpulan data, yakni di dalam ruangan atau kegiatan dari pengrajin batu aji, wawancara di rumah, wawancara di lingkungan mesjid, wawancara formal dan informal, berkomunikasi resmi dan berkomunikasi tidak resmi. Kriteria kedua, Pelaku, yaitu perempuan pengrajin batu aji. Kriteria ketiga adalah peristiwa, yaitu jalannya kegiatan usaha kerajinan batu aji dan kegiatan perempuan pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga. Kriteria yang keempat adalah proses, yaitu wawancara antara peneliti dengan subjek penelitian, observasi partisipasi yang dilakukan peneliti, temuan-temuan lain dari peneliti.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel purposif (purposive sampling). Sampel purposif adalah strategi untuk memilih


(24)

kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang mungkin dapat mengetahui atau bersifat informatif tentang suatu fenomena atau pengalaman seseorang yang diperlukan (Mc. Millan dan Schumacher, 2001:433). Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel ini dimaksudkan untuk sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala kompleksitas yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan dalam kehidupan keluarga dan implikasinya terhadap kesetaraan kedudukan warga negara. Namun demikian, pemilihan sampel purposif tidak dimaksudkan untuk mencari persamaan yang mengarah pada pengembangan generalisasi, melainkan sebaliknya dimaksudkan untuk mencari informasi secara rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan citra khas dan unik.

Alasan digunakannya teknik purposif adalah teknik ini memungkinkan peneliti dapat menentukan secara tepat subjek penelitian yang berhubungan dengan kasus yang sedang diteliti dan teknik ini memungkinkan peneliti untuk menetapkan berbagai pertimbangan atau menggunakan kriteria khusus. Berbagai pertimbangan dan kriteria khusus yang ditetapkan memungkinkan peneliti bisa mendapatkan secara tepat semua data yang dibutuhkan. Teknik purposif dapat menjamin adanya unsur tertentu yang relevan dengan rancangan dan tujuan dari penelitian yang dilakukan (Nasution, 1996: 99). Kriteria khusus yang digunakan untuk menjaring subjek penelitian ini meliputi: pertama, didasarkan kepada posisi perempuan pengrajin batu aji dalam keluarganya, kedua, dilihat dari kebermaknaannya terhadap perlindungan hak perempuan dan kelangsungan kehidupan keluarga pengrajin batu aji, ketiga, perempuan tersebut memiliki peran majemuk yang termanifestasi dalam kegiatan kerja reproduktif, produktif, dan


(25)

komunitas, keempat, tentu saja yang bersangkutan “membuka tangan” untuk dijadikan sebagai subjek penelitian.

Dengan dasar kriteria khusus tersebut, maka peneliti menetapkan subjek penelitian ini adalah perempuan pengrajin batu aji yang memiliki karakteristik sudah menikah, mempunyai anak, dan mempunyai pengalaman kerja minimal satu tahun. Penetapan penelitian ini didorong oleh minat peneliti untuk memahami masalah dan pengalaman perempuan dalam pelaksanaan haknya sebagai seorang perempuan dan warga negara, dan juga untuk memperoleh gagasan guna meningkatkan status perempuan sebagai sumber daya manusia. Dengan kata lain, perempuan bukan hanya sebagai objek pembangunan, juga sebagai subjek pembangunan. Perempuan pengrajin batu aji memiliki peran besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi melalui produktif dan reproduktif mereka, walaupun sumbangan tersebut seringkali tidak diakui.

B. Definisi Konsep

Dalam judul penelitian ini, terdapat tiga definisi operasional, yakni, perlindungan hak-hak perempuan, hak-hak perempuan, kehidupan keluarga, keluarga, kesetaraan kedudukan warga negara.

1. Perlindungan Hak-Hak Perempuan

Menurut Astim Riyanto (2008), perlindungan hak-hak perempuan dalam kehidupan keluarga adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan agar dapat hidup, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan


(26)

dan diskriminasi dalam kehidupan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

2. Hak-Hak Perempuan

Hak-hak perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Hak perempuan dalam kehidupan keluarga adalah hak asasi manusia yang termaktub dalam undang-undang nomor 39/ 1999 tentang HAM yang menyatakan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Undang Undang No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

3. Keluarga

Keluarga adalah kelompok sosial dasar yang terbentuk melalui hubungan darah, perkawinan, atau adopsi dan yang tinggal bersama dalam satu rumah tangga (Horton dan Hunt, 1992: 260).

4. Kesetaraan Warga Negara

Kesetaraan warga negara dapat diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warganegara. Kesetaraan memberi tempat bagi persamaan


(27)

kedudukan bagi setiap warganegara tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, suku, bahasa maupun agama. Hal ini sangat penting sekali bagi masyarakat Indonesia yang heterogen. Nilai-nilai kesetaraan perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam semua sektor pemerintahan dan masyarakat. Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia (Chamim, I.A., 2003: 92).

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan prinsip bahwa “peneliti berperan sebagai instrumen (human instrument) yang utama” (Lincoln dan Guba, 1984:39), yang secara penuh mengadaptasikan diri ke dalam situasi yang dimasukinya, sehingga proses penelitian sangat penting daripada hasil yang diperoleh. Hal ini sangat tepat karena hanya penelitilah yang dapat secara fleksibel mengumpulkan data dari berbagai subjek penelitian yang mendalam. Human instrument ini dibangun atas dasar pengetahuan dan menggunakan metode yang sesuai dengan tuntutan penelitian. Hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri riset kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bodgan dan Biklen (1990, 33-36), yaitu:

1. Riset kualitatif mempunyai latar alami karena yang merupakan alat

penting adalah adanya sumber data yang langsung dari perisetnya.

2. Riset kualitatif itu bersifat deskriptif. Periset kualitatif lebih

memperhatikan proses ketimbang hasil atau produk semata.

3. Periset kualitatif cenderung menganalisis datanya secara induktif.

4. Makna merupakan soal essensial untuk rancangan kualitatif.

Peneliti sebagai instrumen akan terlihat pelaksanaannya dalam pengamatan langsung dan proses wawancara yang mendalam, seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian ini. Peneliti secara langsung berhubungan dengan


(28)

subjek penelitian sekaligus dengan peristiwa dan latar alamiahnya (setting naturalistic). Penelitian semacam ini tidak mungkin menggunakan instrumen berupa “benda mati”, yang dilakukan secara khusus untuk aspek tertentu seperti dalam penelitian kuantitatif (kuesioner, tes skala sikap, dan daftar isian). Akan tetapi, agar penelitian ini terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka peneliti menyusun pedoman wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, sebagaimana tercantum dalam lampiran. Pedoman penelitian tersebut dalam pelaksanaannya dapat dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan realitas alamiah untuk mendapatkan data yang tepat, akurat, dan lengkap.

Kisi-Kisi Instrumen Penelitian

NO MASALAH INDIKATOR

SKENARIO PENGUMPULAN

DATA

1 Bidang kesehatan - Pemahaman soal

kesehatan reproduksi

- Perencanaan

kehamilan/kelahiran

- Pemakaian kontrasepsi

Akan ditanyakan, digali tentang pemahaman terhadap berbagai indikator-indikator tersebut melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi

2 Bidang pendidik-

an

- Tingkat pendidikan formal

- Keinginan dalam

melanjutkan pendidikan

- Mempunyai cita-cita masa

depan

- Mengikuti kursus dalam

meningkatkan

keterampilan sebagai perempuan/pengrajin

3 Bidang ekonomi - Bekerja sebagai pengrajin

sebagai mata pencaharian pokok atau tidak

- Bekerja harus

mendapatkan ijin suami/ditentukan sendiri/kesepakatan


(29)

berdua

- Alasan bekerja pada

industri batu aji

- Rata-rata

pendapatan/perminggu

- Pendapatan sendiri/suami

disimpan sendiri/suami

- Pemanfaatan pendapatan

yang diterima diputuskan sendiri/ suami yang memutuskan/bersama-sama dimusyawarahkan dalam keluarga

4 Dalam

kewarganegaraan

- Mempunyai akta kelahiran, KTP, KK

- Kesulitan dalam mengurus

dokumen

kewarganegaraan di kelurahan

- Ikut menentukan domisili

tempat tinggal dengan suami

5 Dalam perkawinan - Siapa yang memutuskan

saat ibu hendak dinikahkan

- Usia saat menikah

- Alasan melakukan

pernikahan

6 Partisipasi dalam

organisasi sosial kemasyarakatan

- Aktif di organisasi

pengrajin

- Aktif arisan

RT/RW/Kelurahan

- Aktif PKK

- Aktif organisasi lain

- Keikutsertaan dalam

organisasi atas kesadaran sendiri/tidak

7 Perencanaan

pembangunan

- Diundang dalam rapat RT

dalam perencanaan suatu pembangunan di

kampungnya

8 Hak dalam bidang

politik

- Saat pemilu/pilkada

apakah menggunakan hak pilihnya

- Dalam menggunakan hak


(30)

Bagan 3.1 Instrumen Penelitian

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan runtut dan bertahap, terdiri dari tahap persiapan, tahap uji coba, tahap

partai/calon kepala daerah yang

dikehendaki/dirundingkan dengan suami/harus sama dengan suami/tidak pernah mengikuti pemilu/pilkada

9 Pembagian kerja

secara seksual

a.Pembagian

kerja di rumah tangga

- Memasak

- Merebus air

- Mencuci pakaian

- Menjemur pakaian

- Menyeterika pakaian

- Membersihkan rumah

- Menyiapkan makanan

- Mengasuh anak

- Berbelanja keperluan

sehari-hari

b.Pembagian

kerja di sektor industri batu aji

- Mencari batu/ bahan baku

- Memecah batu

- Membentuk

- Menggerinda

- Menghaluskan dengan

ampelas

- Melubangi dengan silinder

besi

- Melukis kaligrafi/

menghias pada batu

- Merangkai menjadi

gelang, kalung, dan lain-lain

10 Masa depan keluarga

- Rencana pendidikan

anak-anak

- Kalau anaknya

perempuan, bagaimana rencana pendidikannya?


(31)

pelaksanaan, tahap penyusunan dan pengelompokan data, tahap evaluasi, dan tahap data pasti.

D. Metode dan Teknik Penelitian 1. Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini, tentunya diperlukan data-data awal, yang nantinya akan digunakan sebagai bahan analisis. Data kualitatif yang dimaksudkan dan dihimpun di dalam penelitian ini adalah beragam keterangan atau informasi yang benar dan nyata, yang diperoleh dari sumber data berupa dokumen, arsip, catatan pribadi, biografi, wawancara, pengamatan, foto, artikel di media massa baik cetak maupun elektronik. Menurut Bodgan dan Biklen (1990: 92), data adalah bahan-bahan kasar (mentah) yang dikumpulkan peneliti dari lapangan yang ditelitinya. Bahan-bahan itu berupa hal-hal khusus yang menjadi dasar analisis. Ditambahkan oleh Moleong (1989: 122) dan Nasution (1988: 56), data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa kata-kata, tindakan, dokumen, situasi, dan peristiwa yang dapat diobservasi. Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber baik manusia maupun bukan manusia. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Adapun rincian data dan sumber data sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(32)

1. Informasi mengenai latar belakang dan alasan-alasan bekerja sebagai pengrajin batu, keadaan fisik dan kehidupan keluarga yang diperoleh melalui teknik wawancara, partisipasi, dan observasi;

2. Tindakan, aktivitas perempuan pengrajin batu aji dalam pekerjaan dan dalam

keluarganya yang diperoleh melalui teknik wawancara, partisipasi, dan observasi;

3. Dokumen, berupa bahan tertulis, gambar/ foto kegiatan perempuan pengrajin

batu aji, alat dan produk yang dihasilkan oleh perempuan pengrajin batu aji yang dikumpulkan melalui studi dokumentasi;

4. Peristiwa atau situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian,

berkaitan dengan masalah penelitian, baik sebelum maupun pada saat penelitian sedang berlangsung, yang diperoleh melalui teknik wawancara, partisipasi, dan observasi.

Adapun kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan beragam teknik yang disesuaikan dengan tujuan dan metode penelitian studi kasus, yaitu mencakup teknik pengamatan atau observasi, teknik wawancara, dan teknik studi dokumentasi dan kepustakaan.

1) Teknik Observasi

Teknik Observasi ialah pengumpulan data dengan mengamati langsung subjek penelitian, yaitu peran perempuan sebagai pengrajin batu aji dan dalam kehidupan keluarganya berhubungan dengan perlindungan hak yang dimiliki oleh perempuan sebagaimana adanya. Dengan melalui kegiatan pengamatan ini,


(33)

peneliti berharap dapat melihat/mengetahui bagaimana perilaku, kegiatan yang dilakukan perempuan, hasil yang diperolehnya, bahkan perlakuan yang dialaminya.

Dengan prinsip observasi partisipatif dalam penelitian, dilakukan terhadap kejadian atau kegiatan subjek penelitian dalam konteks yang terkait dengan fokus masalah yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Patton: 1990). Jorgensen (1989) mendeskripsikan bahwa “Through participant observation, it is possible to describe what goes on, who or what is involved, when and where things happen, how they occur, and why - at least from the standpoint of participants - things happen as they do in particular situations”. Artinya, melalui observasi partisipatif, dimungkinkan peneliti mendeskripsikan apa yang sedang terjadi, siapa dan apa yang terlibat, kapan dan dimana sesuatu itu terjadi, bagaimana mereka terjadi, dan mengapa sesuatu itu terjadi - paling tidak dari sudut pandang partisipan - ketika mereka melakukan sesuatu dalam situasi tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Patton (1990:203) yang menamakan “Naturalistic Observations” yang dilakukan di lapangan (field) sebagai sejumlah cara atau jenis metode untuk mengumpulkan data melalui observasi, yakni “participant observation, field observation, qualitative observation, direct observation, or field research”, walaupun setiap istilah ini tergantung pada kondisi dan tujuan analisis kualitatif. Istilah-istilah observasi yang dikemukakan Patton tersebut pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama, yakni observasi untuk kepentingan pengumpulan data kualitatif.


(34)

Ada sejumlah keuntungan jenis observasi kualitatif ini bagi peneliti sebagaimana dikemukakan Patton (1990: 203-205), sebagai berikut: pertama, bahwa dengan melaksanakan pengamatan langsung, maka peneliti akan mempunyai pemahaman tentang konteks yang lebih baik dalam program. Pemahaman konteks program sangat penting untuk perspektif keseluruhan; kedua, pengalaman pertama dengan program akan mendorong peneliti bersikap terbuka, berorientasi untuk menemukan sesuatu, dan mendekati permasalahan secara induktif; ketiga, peneliti mempunyai kesempatan melihat hal-hal yang mungkin tidak disadari oleh partisipan dan pihak terkait; keempat, peneliti dapat belajar tentang hal-hal yang mungkin tidak ingin dibicarakan partisipan pada saat wawancara terutama hal-hal yang sensitif; kelima, peneliti memungkinkan berpindah dari pendapat kebanyakan orang; dan keenam, peneliti dapat mengakses pengetahuan pribadi dan pengalaman langsung dengan bantuan memahami dan menafsirkan program yang sedang diteliti. Dengan prinsip-prinsip observasi partisipatif dalam penelitian naturalistik, dan kemampuan peneliti dalam menangkap motivasi, kepercayaan, kepedulian, perhatian, perilaku yang tidak sadar dan kebiasaan subjek yang sedang diteliti, peneliti memungkinkan mendeskripsikan dan melihat sudut pandang subjek dalam menanggapi dunianya, mengemukakan persepsi, menceriterakan pengalamannya, dan harapan-harapan kehidupannya di masa depan. Menurut Patton (1990:205-216) terdapat sejumlah ragam metode observasi. Dipandang dari keterlibatan observer, apakah sebagai partisipan (Participant observer) atau hanya sebagai penonton (Onlooker). Dalam penelitian ini, peneliti bukan hanya sekedar melihat suatu peristiwa dari


(35)

luar (outside) melainkan sebagai partisipan dalam setting yang sedang dikaji. Peneliti sebagai observer yang partisipatif sepenuhnya terlibat dalam kegiatan peristiwa yang diteliti sesuai dengan kemampuan peneliti disamping berusaha memahami setting melalui pengalaman sendiri, pengamatan, dan perbincangan dengan partisipan tentang apa yang sedang terjadi.

Ragam lainnya adalah terkait dengan validitas dan reliabilitas data observasi yakni dampak observer terhadap apa yang diobservasi. Masalah ini menghendaki jawaban apakah observasi itu terbuka (Overt) atau tertutup (Covert). Patton (1990:209) mengemukakan bahwa observasi tertutup (covert observations) lebih memungkinkan untuk menangkap apa yang sungguh sedang terjadi dibandingkan dengan observasi terbuka (overt observation) ketika orang-orang dalam setting menyadari bahwa mereka sedang diteliti. Namun demikian, lebih lanjut Patton (1990: 211) menyatakan bahwa “the evaluator alone cannot make the decision about the extent to which observations and research purposes will be kept secret”. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan melalui proses observasi terbuka namun pada saat tertentu, peneliti pun dapat bergeser pada observasi tertutup. Teknik observasi terbuka lebih banyak dilakukan untuk menghindari adanya perilaku atau tindakan yang tidak alamiah dari subjek karena kehadiran observer, maka peneliti berusaha melakukan pendekatan dalam berbagai aktivitas sehingga mereka tidak merasa asing dengan peneliti yang bertindak sebagai observer partisipatif.

Teknik pengamatan atau observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengamatan non-partisipan yang tidak terstruktur, yaitu suatu


(36)

prosedur pengamatan yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati subjek penelitian dalam keadaan alamiah tanpa melibatkan diri dalam lingkungan dan kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti. Alasan penggunaan teknik non-partisipan dalam penelitian ini didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa keadaan data yang dipilih, telah dikerjakan sebelum pengamatan dilaksanakan sehingga secara otentik dapat mewakili situasi sebenarnya. Berkaitan dengan pengukuran terhadap ketepatan suatu pengamatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini, dicirikan dengan karakteristik hasil pengamatan sebagai berikut:

a) Mampu menangkap keadaan atau konteks sosial alamiah tempat terjadinya

suatu perilaku;

b) Mampu menangkap peristiwa yang memiliki arti atau kejadian-kejadian yang

mempengaruhi relasi sosial para partisipan;

c) Mampu menentukan realitas serta keteraturan yang didasari oleh falsafah atau

pandangan hidup subjek yang diamati;

d) Mampu mengidentifikasi keteraturan dan gejala-gejala yang berulang dalam

kehidupan subjek yang diamati tersebut (Black dan Champion, 1992: 286).

2) Teknik Wawancara

Teknik wawancara, ialah cara untuk menggali informasi, pemikiran, gagasan, sikap dan pengalaman para perempuan pengrajin batu aji. Wawancara tatap muka dilakukan secara langsung antara peneliti dan narasumber secara dialogis, tanya jawab, diskusi dan melalui cara lain yang dapat memungkinkan diperolehnya informasi yang diperlukan. Teknik wawancara ini merupakan


(37)

metode pengumpulan data dan informasi yang utama untuk mendeskripsikan pengalaman informan (Nazir, 2005: 1993). Proses wawancara terhadap subjek penelitian pada penelitian ini dilakukan dalam bentuk wawancara percakapan informal, yang berlangsung secara spontan dan informal di dalam alur interaksi yang wajar selama pertemuan berlangsung serta wawancara yang dilakukan dengan pendekatan terarah untuk menjaring informasi mengenai pokok bahasan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pertanyaan wawancara yang diajukan peneliti senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi, namun tidak terlepas dari pedoman wawancara yang disiapkan peneliti sebelumnya. Selain itu, wawancara dengan subjek penelitian dilakukan secara terbuka, di mana ditujukan untuk menjaring informasi mengenai hal yang telah dipersiapkan oleh peneliti kepada subjek penelitian dengan tetap mengacu pada fokus masalah penelitian.

Teknik wawancara yang dilakukan bersama dengan subjek penelitian, peneliti dapat memperoleh berbagai informasi, baik yang bersifat verbal ataupun yang bersifat non verbal. Penggunaan teknik wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran perempuan pengrajin batu aji, termasuk perasaannya, kehendaknya, interpretasinya terhadap kerja, peran dan perlindungan hak dalam keluarganya. Secara khusus, wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai aktivitas peran perempuan pengrajin batu aji baik aktivitas kerja maupun dalam kehidupan keluarganya berkaitan kedudukannya sebagai warga negara.

Tipe atau bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk wawancara terstruktur dan terbuka. Bentuk wawancara ini dipilih dengan


(38)

harapan dapat diperoleh data yang lebih mendalam, lengkap, dan kaya isi maupun ilustrasi sehingga memungkinkan dihasilkan suatu kepaduan hasil penelitian yang kaya makna. Subjek penelitian diberi kebebasan untuk menjawab pertanyaan. Bila suatu topik diangkat, peneliti dan subjek penelitian terlibat dalam suatu dialog untuk bertukar pandangan. Terkadang pertanyaan dimodifikasi dan topik baru yang relevan dengan penelitian dikembangkan selama wawancara berlangsung. Penggunaan wawancara tak terstruktur dalam penelitian ini, memberikan banyak kesempatan kepada responden untuk mengorek ingatannya dan memvalidasi tanggapan yang diberikan. Hal ini juga dapat menghasilkan hasil wawancara yang tepat dalam suasana santai dan tidak tergesa-gesa. Untuk tetap fokusnya proses wawancara dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan panduan wawancara. Panduan wawancara dipersiapkan dengan melakukan kaji dokumen awal mengenai topik yang akan diajukan. Panduan wawancara digunakan secara fleksibel dan bisa diganti selama wawancara berlangsung.

3) Teknik Studi Dokumentasi dan Kepustakaan

Teknik Studi Dokumentasi, ialah cara untuk menggali, mengkaji, dan mempelajari sumber-sumber tertulis baik dalam bentuk buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, laporan penelitian, makalah, jurnal, klipping media massa, dan dokumen negara (pemerintah). Menurut Moleong (1989: 87), studi dokumentasi diartikan sebagai suatu kegiatan pengumpulan data yang dilakukan terhadap beragam bahan tertulis berupa buku, jurnal, majalah, dokumen pribadi, dokumen resmi kelembagaan, artikel, surat kabar, majalah, dan sejenisnya. Dalam hal ini, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan


(39)

data. Untuk mendukung ketersediaan data dan analisis data, peneliti memanfaatkan sumber-sumber lain berupa dokumen negara, catatan dan dokumen (non human resources). Menurut Lincoln dan Guba (1985: 276-277) catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tujuan penggunaan teknik studi dokumentasi dalam penelitian ini adalah untuk melengkapi, mengkoreksi, memperkokoh, memperkuat, dan memperbandingkan pelbagai data yang diperoleh melalui kedua teknik pengumpulan data sebelumnya. Dengan demikian, penggunaan teknik studi dokumentasi dan kepustakaan ini berfungsi sebagai komplemen, suplemen, dan substitusi dari teknik observasi dan teknik wawancara.

Dalam studi dokumentasi ini, peneliti akan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa hasil penelitian, dan pembahasan konseptual dengan menggunakan teknik analisis yang dikaitkan dengan peran majemuk perempuan pengrajin batu aji dalam keluarganya dan upaya perlindungan hak-hak perempuan tersebut.

E. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dikelompokkan dalam penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Disebut penelitian deskriptif, karena penelitian ini akan mengungkapkan secara rinci dan sistematis bagaimana perlindungan hak perempuan dalam kehidupan keluarga pengrajin batu aji. Menurut Whitney (1960) (Nazir, 2005: 54) mendefinisikan penelitian kualitatif


(40)

sebagai pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

Pendapat Nasution (1996:5) menyatakan penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Dalam hal ini, penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari objek penelitian melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari orang-orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa makna yang ada dalam setiap orang (manusia) berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengungkap kenyataan yang ada dalam diri orang yang unik itu menggunakan alat lain kecuali manusia sebagai instrumen. Lebih lanjut Lincoln dan Guba (1985:199) menyatakan bahwa “…the human - as - instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like”. Dari pernyataan ini terlihat jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca, merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan oleh manusia umumnya. Bogdan dan Biklen (1982: 2-3) mengistilahkan penelitian kualitatif sebagai payung dengan sejumlah strategi penelitian yang memberikan karakteristik-karakteristik tertentu. Penelitian ini disebut juga “field research” yang seringkali digunakan


(41)

oleh para antropolog dan sosiolog. Istilah “field research” digunakan untuk membedakan proses penelitian ini dari penelitian yang dilakukan di dalam laboratorium atau penelitian lain yang tempat penelitiannya dikontrol. Dalam pendidikan, mereka menambahkan, bahwa penelitian kualitatif seringkali disebut “naturalistic” karena para peneliti menggantungkan pada peristiwa yang terjadi secara alamiah.

Sedangkan Creswell (1998) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut.

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting. (Penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah).

Creswell (1994) membedakan paradigma kualitatif dari kuantitatif dengan lima asumsi. Pertama, asumsi ontologis yang mempertanyakan “What is the nature of reality?”. Dari perspektif kualitatif, realitas menurut partisipan dalam sebuah penelitian bersifat subyektif dan ganda. Kedua, asumsi epistemologis yang mempertanyakan “What is the relationship of the researcher to that researched?”. Dari perspektif kualitatif, peneliti berinteraksi dengan subjek yang sedang diteliti. Ketiga, asumsi aksiologis yang mempertanyakan “What is the role of values?”. Dari perspektif kualitatif, penelitian sarat dengan nilai dan bersifat bias. Keempat, asumsi retoris yang mempertanyakan “What is the language of research?”. Dari


(42)

perspektif kualitatif, bahasa penelitian bersifat informal, keputusan bersifat mengembang, pendapat pribadi, dan menggunakan istilah-istilah kualitatif. Kelima, asumsi metodologis yang mempertanyakan “What is the process of research?”. Dari perspektif kualitatif, proses penelitian bersifat induktif, simultan, kategorisasi selama proses penelitian (emerging design), bersifat kontekstual, pengembangan teori untuk dimaknai, dan akurasi serta reliabilitas melalui verifikasi.

Selanjutnya, Creswell (1994, 1998) membedakan pendekatan penelitian kualitatif atas lima tradisi, sebagai berikut: (1) Tradisi Ethnography, adalah jenis penelitian kualitatif di mana peneliti mengkaji sekelompok budaya masyarakat secara utuh dalam situasi alamiah selama satu periode waktu yang panjang dengan cara mengumpulkan data terutama melalui pengamatan; (2) Tradisi Biography adalah jenis penelitian kualitatif tentang pengalaman seseorang individu yang diceritakan oleh seorang peneliti atau ditemukan dalam sejumlah dokumen dan bahan-bahan arsip; (3) Tradisi Grounded theory adalah jenis penelitian kualitatif dimana peneliti berusaha memperoleh teori dengan cara menggunakan tahap-tahap pengumpulan data dan perbaikan serta saling keterkaitan dari kategori-kategori informasi. (4) Tradisi Case Study adalah jenis penelitian kualitatif dimana peneliti menyelidiki entitas atau fenomena tunggal (kasus) yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas (program, peristiwa, proses, institusi, atau kelompok sosial) dan mengumpulkan informasi secara rinci dengan menggunakan beragam prosedur pengumpulan data selama periode waktu secara terus menerus; dan (5) Tradisi Fhenomenology adalah jenis penelitian kualitatif di mana pengalaman


(43)

manusia diuji melalui pengkajian terhadap orang-orang dengan cara mendeskripsikannya secara rinci. Memahami pengalaman hidup menandai fenomenologi sebagai filsafat yang berdasarkan karya Edmund Husserl, Heidegger, Schuler, Sartre, dan Merlau Ponty. Sebagai sebuah metode, maka langkah-langkah fenomenologi mencakup pengkajian sejumlah kecil subjek melalui pelibatan secara luas dan waktu yang panjang untuk mengembangkan pola-pola dan keterkaitan makna. Melalui proses fenomenologi, peneliti mengumpulkan pengalaman dirinya sendiri untuk memahami pengalaman informan (Nieswiadomy, 1993).

Dalam penelitian kualitatif ini, pendekatan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan studi kasus, atau penelitian kasus (case study). Nazir (2005: 57) mengemukakan bahwa:

Studi kasus, atau penelitian kasus (case study), adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield, 1930). Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.

Sedangkan Mulyana (2002 : 201) menjelaskan bahwa peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Mereka sering menggunakan berbagai metode wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, (hasil) survei, dan data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Metode studi kasus yang digunakan peneliti merupakan bentuk penelitian yang mendalam terinci, menyeluruh (Nasution 1995) mengenai


(44)

perlindungan hak-hak perempuan dalam kehidupan keluarga yang dalam hal ini diwakili oleh perempuan dalam komunitas pengrajin batu aji yang dijadikan subjek penelitian. Hal tersebut sejalan dengan pandangan para ahli yang menyebutkan bahwa studi kasus dapat dilakukan terhadap seorang individu, sekelompok individu, segolongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial.

Alasan dipilihnya metode penelitian studi kasus dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Metode penelitian studi kasus merupakan salah satu bentuk metode yang

tercakup di dalam metodologi penelitian kualitatif.

2) Melalui metode penelitian studi kasus diharapkan dapat memberikan

keleluasaan dalam menggunakan beragam teknik pengumpulan data sebagai sarana untuk menjangkau dimensi otentik dari topik yang diteliti.

3) Penggunaan metode penelitian studi kasus dalam penelitian ini

memungkinkan peneliti meneliti proses kehidupan perempuan pengrajin batu aji secara mendalam dan menyeluruh.

4) Penggunaan metode penelitian studi kasus, memungkinkan peneliti untuk

memahami secara langsung dan mendalam tentang perlindungan hak perempuan dalam kehidupan pengrajin batu aji di Martapura Kalimantan Selatan.

5) Digunakannya metode penelitian studi kasus dalam penelitian ini diharapkan


(45)

F. Teknik Analisis Data

Tujuan penelitian kualitatif adalah menghasilkan temuan-temuan (Patton, 1990:371), namun, proses pengumpulan data bukanlah akhir dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan dalam seluruh rangkaian kegiatan penelitian lapangan yang dimulai sejak penelitian dilaksanakan secara berkesinambungan sampai dengan penelitian berakhir. Menurut Daymon dan Holloway (2008: 30), teknik analisis data adalah proses menguraikan data menjadi komponen-komponen yang membentuknya, untuk mengungkapkan struktur dan unsur khasnya. Aktivitas akhir dari penelitian kualitatif adalah analisis, interpretasi, dan penyajian sejumlah temuan.

Dalam upaya untuk memenuhi hal tersebut, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman (1992: 16-18). Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul.

Dalam hal ini, kesimpulan dilakukan secara bertahap, pertama berupa kesimpulan sementara, namun dengan bertambahnya data, maka perlu dilakukan verifikasi data, yaitu dengan mempelajari kembali data-data yang ada, baik yang direduksi maupun yang disajikan. Di samping itu, dilakukan dengan cara meminta


(46)

pertimbangan dengan pihak-pihak yang berkenaan dengan penelitian ini. Setelah hal itu dilakukan, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan keputusan akhir.

Dalam penelitian ini, perhatian utama analisisnya adalah kepada dinamika proses beban dan kerja perempuan pengrajin batu aji dalam pekerjaannya dan dalam kehidupan keluarganya, situasi serta latar belakang keterlibatan mereka dalam usaha kerajinan. Analisis dalam penelitian ini memusatkan perhatian pada perilaku dan pada makna pemahaman dan pengertian mereka akan keterlibatannya sebagai perempuan yang setara kedudukannya dengan warga negara lain.

Untuk melakukan analisis data peran perempuan pengrajin batu aji dalam kerja dan keluarganya berkaitan dengan perlindungan haknya sebagai warga negara, maka peneliti melakukan langkah-langkah, yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi.

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, sehingga memerlukan pencatatan secara teliti dan rinci. Untuk itu perlu dirangkum dan dipilih hal-hal yang pokok dan penting.

Sebelum melaksanakan reduksi data, maka peneliti membaca, mengkaji, dan menelusuri seluruh jenis data yang berhasil dikumpulkan. Data yang berhasil dikumpulkan mengenai kehidupan pengrajin batu aji dalam berbagai aspek cukup banyak dan beragam. Data didapat dari wawancara maupun observasi. Setelah


(47)

seluruh data berhasil dihimpun, maka dilakukan reduksi data. Data tentang kehidupan perempuan pengrajin batu aji dalam kerja dan keluarganya berkaitan dengan perlindungan haknya setelah dilakukan berbagai pencarian terbilang cukup banyak, sehingga peneliti melakukan pencatatan secara terinci, kemudian peneliti merangkum data, memilih hal-hal yang pokok dan penting serta mendukung penelitian ini.

2. Penyajian Data (Data Display)

Setelah melakukan reduksi terhadap data yang dikumpulkan, maka peneliti menyajikan data dalam bentuk deskripsi yang berdasarkan aspek-aspek yang diteliti dan disusun berturut-turut mengenai kehidupan perempuan pengrajin aji dalam kehidupan pekerjaan dan keluarganya dari berbagai aspek. Peneliti mengkaji dalam bentuk deskripsi sebagai bentuk penyajian data berdasarkan aspek-aspek yang diteliti dan disusun berturut-turut mengenai latar belakang menjadi pengrajin batu aji dan makna kerja mereka sebagai pengrajin batu aji dan perempuan dalam kehidupan keluarga, perlindungan hak-hak perempuan pengrajin batu aji dalam kehidupan keluarga, strategi peningkatan perlindungan hak perempuan, dan implikasi perlindungan hak perempuan dalam kehidupan keluarga terhadap keadilan dan kesetaraan kedudukan warga negara.

3. Pengambilan Kesimpulan/verifikasi (Conclusion/Verification)

Dalam hal ini kesimpulan dilakukan secara bertahap, pertama berupa kesimpulan sementara, namun dengan bertambahnya data maka perlu dilakukan verifikasi data yaitu dengan mempelajari kembali data-data yang ada (yang


(48)

direduksi maupun disajikan). Di samping itu, dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dengan pihak-pihak yang berkenaan dengan penelitian ini, yaitu para perempuan pengrajin batu aji. Setelah hal itu dilakukan, maka peneliti baru dapat mengambil keputusan akhir. Langkah-langkah di atas diterapkan dalam proses analisis data penelitian ini hingga tercapainya deskripsi temuan penelitian sebagaimana disajikan dalam bab IV.

G. Tahap-Tahap Penelitian

Dalam setiap proses penelitian kualitatif, batas antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya sulit dinyatakan secara tegas. Hal itu sejalan dengan sifat emergent dari penelitian kualitatif, yaitu sifat yang senantiasa mengalami perubahan sepanjang penelitian dilaksanakan. Moleong (1989: ) membagi penelitian kualitatif ke dalam empat tahapan, yaitu:

a) Tahap sebelum ke lapangan, meliputi berbagai studi kepustakaan, membuat

desain penelitian, melaksanakan bimbingan intensif, menentukan lokasi penelitian, mengurus perizinan, melaksanakan uji coba penelitian, dan menyiapkan kelengkapan kegiatan penelitian lapangan;

b) Tahap pekerjaan lapangan, mencakup kegiatan mempelajari latar lokasi

(setting) subjek yang diteliti, melakukan pengamatan, wawancara, membuat catatan lapangan, mengambil pola kejadian secara langsung, dan mengumpulkan pelbagai dokumen yang relevan. Bersamaan dengan pelaksanaan tahap pekerjaan lapangan ini dilakukan pula kegiatan analisis data;


(49)

c) Tahap pengolahan dan analisis data, mencakup kegiatan-kegiatan mencari dan merumuskan tema, membuat hipotesis, bekerja dengan hipotesis, menafsirkan hasil analisis data serta memverifikasi kredibilitasnya, keteralihannya, kebergantungannya, dan kepastiannya, serta diakhiri dengan kegiatan merumuskan temuan dan teori substantif;

d) Tahap penyajian laporan hasil penelitian berbentuk kegiatan pengetikkan

naskah laporan, penyuntingan, penyusunan naskah akhir, pengesahan pembimbing, penggandaan, dan pencetakan naskah jadi, penyerahan naskah kepada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (PPs UPI), untuk selanjutnya dijadwalkan untuk diuji oleh tim penguji yang ditetapkan oleh pimpinan PPs UPI.


(1)

2. Penyebarluasan pemahaman akan kesetaraan kedudukan warga negara melalui peran pendidikan baik jalur pendidikan formal ataupun non formal dan penyuluhan yang melibatkan laki-laki dan perempuan sehingga akan bisa menumbuhkan sensitivitas jender pada setiap lapisan masyarakat untuk mencapai kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan.

3. Pemerintah kabupaten bisa lebih giat lagi dalam melakukan pembinaan dan pengelolaan kerajinan batu aji sehingga sentra usaha ini bisa kembali bergairah, misalnya dengan penyediaan bantuan modal kerja tanpa agunan guna menolong para pengrajin mengembangkan usahanya yang kebanyakan kesulitan dalam permodalan.

4. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program yang konsen terhadap terjadinya peningkatan kesetaraan kedudukan warganegara, perlu kembali di masyarakatkan lagi, khususnya bagi masyarakat kalangan bawah. Hal ini bisa dilakukan dengan menjadikan PKn sebagai bagian dari pendidikan demokrasi dengan memfasilitasi warga negara untuk memperoleh dan memanfaatkan kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam kehidupannya sehari-hari, seperti mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat, dan memilih.

5. Penelitian ini terbatas hanya pada upaya mengkonstruksi perlindungan hak perempuan dalam kehidupan keluarga. Karenanya, penelitian ini belum menyentuh secara spesifik model pendidikan kewarganegaraan sebagai program intervensi sosial politik (social political intervention program) terhadap upaya peningkatan perlindungan hak perempuan dalam keluarga


(2)

untuk kesetaraan warga negara. Oleh karena itu, kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan masalah tersebut, direkomendasikan untuk mengembangkan model pendidikan kewarganegaraan sebagai program intervensi sosial politik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Chamim, Asykuri Ibn. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan Yang Demokratis dan Berkeabadan. Jakarta: Majelis diktilitbang PP Muhammadiyah.

Basri, Barkis. (2001). Kemandirian Wanita Pengrajin. Tesis PPs UI Jakarta: Tidak Diterbitkan.

Bodgan, R. C. dan Biklen, S.K. (1990). Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory And Methods. Penerjemah Munandir. Jakarta: Universitas Terbuka.

Danial, Endang. (2007). Economy Civic: Membina Warga Negara Bersikap dan Berpartisipasi dalam Sistem Ekonomi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Bandung: Laboratorium UPI.

Daud, Alfani. (1997). Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Daymon dan Holloway, I. (2008). Metode-metode Riset Kualitatif dalam Publications & Marketing Communications. Terjemahan oleh Cahya Wiratama dari Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communications. Bandung: Bentang.

Fakih, M. (1996). Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fakih, M. (2008). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Febriasih, Happy Budi, dkk. (2008). Gender dan Demokrasi. Malang: PLaCID’s & Averroes Press.

Dedi, S. dan Jalal, F. (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Green, David. (2000). Citizenship Education and Human Rights Education. Birmingham: The British Council.

Goode, W.J. (1993). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

Hafidz, W. (1995). Daftar Istilah Gender. Jakarta: Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita.


(4)

Heater, D. (2008). A Brief History of Citizenship (Sejarah Kewarganegaraan). New York University Press. Bandung: Prodi PKn SPs UPI.

Ideham, M.S., dkk. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Ideham, M.S., dkk. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Kalidjernih, F.K. (2007). Cakrawala Baru Kewarganegaraan: Refleksi Sosiologi

Indonesia. Bogor: CV Regina.

Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Lincoln, Y. S. dan Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publications.

Luhulima, Achie Sudiarti (Editor). (2007). Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Manuaba, I.B. Putera, Ali,M., dan Sartini, N.W. (2002). Hak Asasi Manusia Wanita dalam Puisi-Puisi W.S. Rendra. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial. 3, (1), 1-19.

Miles, M.B. & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi dari judul Qualitative Data Analysis. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Moore, H.L. (1998). Feminisme dan Antropologi. Jakarta: Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP – UI dengan Penerbit Obor.

Moser, C.O.N. (1993). Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training (terjemahan Hartian Silawati). London/ New York: Routledge. Mosse, Y.C. (1996). Gender dan Pembangunan. (Penerjemah Hartian Silawati).

Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dengan Pustaka Pelajar Ofset.

Mubin, N. (2008). Semesta Keajaiban Wanita. Yogyakarta: DIVA Press.

Munandar, S.C. Utami. (1985). Emansipasi dan Peran Wanita Indonesia: Suatu Tinjaun Psikologis. Jakarta: UI Press.


(5)

Murniati, A.N.P. (2004). Getar Gender: Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: Indonesiatera.

Muttalib, J.A. (1993). Kerangka Pemampuan Wanita. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.

Nasution, S. dan Thomas, M. (2008). Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah. Jakarta: Bumi Aksara.

Nazir, Moh. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Patton, M. Q. (1990), Qualitative Evaluation and Research Methods. (2nd Ed). London: Sage Publication Ltd.

Rosyada, D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: PT. Kencana. Sadli, S. dan Patmodewo, S. (1995). Identitas Gender dan Peran Gender dalam

Ihromi, T.O. (Ed.). Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Saptari, R dan Holzner, B. (ed). (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Savitri, Niken. (2008). HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap

KUHP. Bandung: Refika Aditama.

Sayogyo, P. (1983). Peranan Wanita Dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: C.V. Rajawali.

Soelaiman, M. I. (1994). Pendidikan Dalam Keluarga. Bandung. CV. Alfabeta. Stoller, A. (1977). Land, Labour and Female Autonomy in Javanese Village. New

York: Departement of Anthropology, Columbia University.

Sudjana, D. (2005). Dasar-Dasar Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan. Bandung: UPI.

Sumantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remadja Rosdakarya.

Tan, M.G. (1997). Perempuan dan Pemberdayaan dalam Notosusanto, S dan Poerwandari, E.K. (ed). Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia bekerjasama dengan harian Kompas dan Penerbit Obor.

Tilaar, H.A.R., (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Ubaidillah, A. (2000). Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Widjaja, M. (1993). Dampak Peran Ganda Terhadap Konflik Peran Yang Dialami Wanita Kerja Yang Berkeluarga. Tesis PPS UNPAD Bandung: Tidak Diterbitkan.

Widyani. (2005). Politik Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wahyulina, S. (2000). Strategi Buruh Perempuan Dalam Krisis Ekonomi: Studi Kasus Pada Perusahaan Terbatas Tesa di Kota Mataram NTB. Jakarta: Universitas Indonesia.

Yantahin, D. (1994). Beberapa Faktor Pendukung dan Penghambat bagi Wanita dalam Melaksanakan Peran Ganda. Jurnal Kajian Wanita Bunga Wellu, 1, (1), 33-40.

Yin, Robert K. (1997) Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada.