Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja Buruh perempuan di PT. Indofood

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA

BURUH PEREMPUAN DI PT. INDOFOOD

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 090200172 PUTRI PURNAMA SARI

DEPARTEMEN :HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM KEKHUSUSAN :HUKUM PERBURUHAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT INDOFOOD

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

PUTRI PURNAMA SARI 090200172

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (PERBURUHAN)

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP.196002141987032002 Suria Ningsih, SH, M.Hum

Pembimbing I

NIP.196002141987032002 Suria Ningsih, SH, M.Hum.

Pembimbing II

NIP.197608162002122002 Dr.Agusmidah, SH, M.Hum.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat Dan Karunia-Nya telah memberikan Kesehatan , Kekuatan , dan Ketekunan sehingga Mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Sebuah sukacita besar dari kesempatan yang luar biasa manakala penulis Dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Seperti yang kita ketahui bahwa Skripsi merupakan salah satu persyaratan bagi Mahasiswa pada umumnya dan Khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi tugas – tugas dan syarat – syarat guna memperoleh gelar Sarjana. Adapun judul penulisan skripsi ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Hak – Hak Pekerja Buruh Perempuan di PT.Indofood”

Diatas semuanya, perkenankan dengan ini penulis menyampaikan ucapan Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua Orangtua penulis yaitu Papa Rusman dan Mama Sulastri yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus, Semangat, Pengorbanan, tetesan keringat, ketulusan dan kesabaran yang tidak berhenti diberikan kepada penulis, Juga tidak lupa kepada Abang saya Arie Pratama,SE, Adik saya Kurniawan Rahma dana dan Fenny Cindy Amelia yang telah memberikan dukungan kepada saya.

Dalam Kesempatan ini Penulis Juga secara Khusus menyampaikan Terima kasih atas segala bantuanya baik moril maupun materil yang penulis sadari berjasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Dr.Agusmidah, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu Pengetahuan kepada penulis ketika duduk dibangku perkuliahan.

8. Someone Spesial Heryanto, S.Com yang selalu dengan sabar menghadapi penulis dan juga memberikan semangat serta membantu dalam meluangkan waktu dan tenaganya demi selesainya skripsi ini.

9. Sahabat penulis dalam bermain dan belajar yakni Dwi Rahmawati, Anissa Zulaika, T.Aryani Putri, Elisa Veronika, yang telah memberikan doa doa semangat kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai.

10.Semua pihak dan rekan rekan Mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut memberikan sumbangsihnya baik moril maupun materil dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

Akhirnya penulis menyadari akan ketidak sempurnaan hasil penulisan skripsi ini karena kesempurnaan hanya Allah SWT yang punya, Sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak yang memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun penulisanya di masa mendatang.

Wassalam, Medan, 5 Juli 2013

Penulis,


(6)

ABSTRAK

Perlindungan Hukum Hak Hak Pekerja Buruh Perempuan Di Pt. Indofood

Oleh: * Putri Purnama Sari

* Suria Ningsih, SH,M.Hum. * Dr.Agusmidah, SH,M.Hum.

Saat ini dapat dilihat kondisi buruh di Indonesia cukup memprihatinkan. Buruh yang selama ini mengerahkan tenaga dan waktunya untuk para pengusaha dan pemodal pada suatu perusahaan tidak mendapatkan timbal balik atau balasan yang setimpal. Justru oleh pengusaha dan pemodal dibalas dengan bentuk penindasan dan penghisapan . Dari upah terhadap buruh yang tidak layak atau tidak sesuai dengan standar hidup, pemotongan-pemotongan gaji, dan beberapa beban–beban lain yang ditindihkan di pundak para buruh. Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Buruh Perempuan Di PT. Indofood. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana perlindungan buruh perempuan menurut konvensi ILO dan peraturan perundang-undangan nasional, bagaimana pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama dan bagaimana pengawasan pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT Indofood. Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengambilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, dimana hak ini bertujuan mengetahui mengetahui pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa diketahui di bidang Industri saat ini banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di Pabrik/perusahaan, ini merupakan keputusan seorang perempuan untuk mendapatkan tambahan nafkah bagi yang sudah berkeluarga sedangkan bagi pekerja perempuan lajang bekerja di perusahaan merupakan satu-satunya tempat untuk bekerja. Pada kenyataan, di dunia ketenagakerjaan yang paling banyak terserap di bidang industri adalah pekerja perempuan. Di bidang industri, peril adanya kelatenan dan keuletan dalam bekerja dan hal itu tidak dapat dipungkiri, pekerja perempuan dengan watak yang lemah lembut diperlukan untuk menangani pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh pekerja laki-laki. Pekerja perempuan perusahaan pada dasarnya berpendidikan rendah, sehingga apa yang menjadikan hak itupun tidak dipedulikan asai ia bekerja dan mendapatkan upah pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja perempuan masih sedikit.Akan tetapi dalam pemberian hak dan kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak begitu besar layaknya pekerja laki-laki. Masih adanya proses segmentensi pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan yang telah terfeminisasi.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II : PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL A. Konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja di Sektor Industri ... 23

B. Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan ... 30

C. Konvensi ILO mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya ... 32

D. Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan ……….. 34

E. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 Perlindungan terhadapmarjinalisasi diskriminasi perempuan ………. 37


(8)

BAB III : PELAKSANAAN HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT. INDOFOOD BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

A. Hak atas upah yang sama dengan pekerja laki – laki ... 48 B. Hak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja diri dan keluarganya ... 55 C. Hak-hak cuti khusus perempuan di PT. Indofood ….. 60 D. Pekerja / Buruh perempuan yang berkerja pada malam hari di PT.

Indofood ………... 65 BAB IV : PENGAWASAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN

HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT INDOFOOD A. Mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Hak-Hak Pekerja / Buruh

Perempuan ... 72 B. Penyelesaian Perselisihan Terkait Pelaksanaan Hak –Hak Pekerja/ Buruh Perempuan di PT. Indofood ... 78 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA ……… 97


(9)

ABSTRAK

Perlindungan Hukum Hak Hak Pekerja Buruh Perempuan Di Pt. Indofood

Oleh: * Putri Purnama Sari

* Suria Ningsih, SH,M.Hum. * Dr.Agusmidah, SH,M.Hum.

Saat ini dapat dilihat kondisi buruh di Indonesia cukup memprihatinkan. Buruh yang selama ini mengerahkan tenaga dan waktunya untuk para pengusaha dan pemodal pada suatu perusahaan tidak mendapatkan timbal balik atau balasan yang setimpal. Justru oleh pengusaha dan pemodal dibalas dengan bentuk penindasan dan penghisapan . Dari upah terhadap buruh yang tidak layak atau tidak sesuai dengan standar hidup, pemotongan-pemotongan gaji, dan beberapa beban–beban lain yang ditindihkan di pundak para buruh. Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Buruh Perempuan Di PT. Indofood. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana perlindungan buruh perempuan menurut konvensi ILO dan peraturan perundang-undangan nasional, bagaimana pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama dan bagaimana pengawasan pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT Indofood. Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengambilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, dimana hak ini bertujuan mengetahui mengetahui pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa diketahui di bidang Industri saat ini banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di Pabrik/perusahaan, ini merupakan keputusan seorang perempuan untuk mendapatkan tambahan nafkah bagi yang sudah berkeluarga sedangkan bagi pekerja perempuan lajang bekerja di perusahaan merupakan satu-satunya tempat untuk bekerja. Pada kenyataan, di dunia ketenagakerjaan yang paling banyak terserap di bidang industri adalah pekerja perempuan. Di bidang industri, peril adanya kelatenan dan keuletan dalam bekerja dan hal itu tidak dapat dipungkiri, pekerja perempuan dengan watak yang lemah lembut diperlukan untuk menangani pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh pekerja laki-laki. Pekerja perempuan perusahaan pada dasarnya berpendidikan rendah, sehingga apa yang menjadikan hak itupun tidak dipedulikan asai ia bekerja dan mendapatkan upah pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja perempuan masih sedikit.Akan tetapi dalam pemberian hak dan kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak begitu besar layaknya pekerja laki-laki. Masih adanya proses segmentensi pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan yang telah terfeminisasi.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja perempuan masih sedikit. Akan tetapi dalam pemberian hak dan kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak begitu besar layaknya pekerja laki-laki. Masih adanya proses segmentensi pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan yang telah terfeminisasi.1

Di bidang Industri saat ini banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di Pabrik/perusahaan, ini merupakan keputusan seorang perempuan untuk mendapatkan tambahan nafkah bagi yang sudah berkeluarga sedangkan bagi pekerja perempuan lajang bekerja di perusahaan merupakan satu-satunya tempat untuk bekerja. Pekerja perempuan perusahaan/pabrik pada dasarnya berpendidikan rendah, sehingga apa yang menjadikan hak itupun tidak dipedulikan asal ia bekerja dan mendapatkan upah.2

Sementara seorang bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari demi kelangsungan hidup keluarganya. Akan tetapi pada keadaan yang lain tidak jarang seorang perempuan dituntut untuk menjadi tulang punggung bagi

1

Editus Adisu dan Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Perempuan, (Jakarta : Penerbit Visi Media, Jakarta, 2007), hal 7

2


(11)

keluarganya, sehingga pada akhirnya sebagai pencari nafkah yang utama dalam keluarga.

Sebelum banyak perusahaan yang didirikan seorang perempuan bekerja sebagai bercocok tanam, tapi dengan adanya perkembangan ekonomi yang semakin maju bahkan ditunjang adanya teknologi, maka seorang perempuan cenderung bekerja di perusahaan/pabrik. Dengan adanya pengaruh teknologi akan berpengaruh pada suatu system kehidupan yang semula bekerja tradisional menjadi bekerja dalam industri.3

Pada kenyataan, di dunia ketenagakerjaan yang paling banyak terserap di bidang industri adalah pekerja perempuan. Di bidang industri, pekerja kaum perempuan memiliki kelatenan dan keuletan dalam bekerja dan hal itu tidak dapat dipungkiri, pekerja perempuan dengan watak yang lemah lembut diperlukan untuk menangani pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh pekerja laki-laki.4

Dalam kesempatan kerja seorang perempuan dan laki-laki sama, tetapi sampai saat ini seorang perempuan masih ada pandangan yang memperburuk keadaan pekerja perempuan di lingkungan perusahaan/pabrik, maka perlu adanya perlindungan hak khususnya pekerja perempuan.5

Pandangan-pandangan yang seperti itulah yang seharusnya dihapus, karena seorang perempuan pada saat ini mempunyai potensi yang sama dengan kaum laki-laki, sehingga peran sertanya dalam suatu lapangan kerja harus diperhitungkan. Dalam berbagai tulisan tentang perburuhan seringkali dijumpai adagium yang

3

Ibid, hal 8 4

Rachmad Safa’at, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. (Malang: IKIP Malang. 1998), hal 16

5


(12)

berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”. Pekerja dikatakan sebagai tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa adanya pekerja tidak akan mungkin perusahaan itu bisa jalan, dan berpartisipasi dalam pembangunan.

Saat ini dapat dilihat kondisi buruh di Indonesia cukup memprihatinkan. Buruh yang selama ini mengerahkan tenaga dan waktunya untuk para pengusaha dan pemodal pada suatu perusahaan tidak mendapatkan timbal balik atau balasan yang setimpal. Justru oleh pengusaha dan pemodal dibalas dengan bentuk penindasan dan penghisapan. Dari upah terhadap buruh yang tidak layak atau tidak sesuai dengan standar hidup, pemotongan-pemotongan gaji, dan beberapa beban– beban lain yang ditindihkan di pundak para buruh.6

Buruh di Indonesia ternyata didominasi oleh kalangan perempuan. Jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah sebesar 35.479.000 orang dan 87% dari angkatan kerja tersebut merupakan perempuan.7

Dibandingkan dengan buruh laki-laki, buruh perempuan lebih rentan terhadap tindak kekerasan dari perusahaan, terutama mereka yang bekerja pada level bawah struktur organisasi perusahaan, yang biasanya memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Buruh perempuan sebagian besar status

Dari prosentase tersebut kebanyakan perempuan muda yang belum kawin cukup banyak terserap dibeberapa industri padat karya seperti dipabrik, dan beberapa menjadi pekerja di toko-toko. Sayangnya, tingginya partisipasi perempuan dalam kerja ternyata tidak disertai jaminan terpenuhinya hak-hak buruh perempuan.

6

Abdul Budiono Rachmad, Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada, 1999), hal 48

7


(13)

kerjanya merupakan buruh tidak tetap, dan rentan diPHK Selain itu, buruh perempuan memiliki kepentingan yang khusus yang terkait dengan fungsi reproduksi biologisnya (hamil, melahirkan, dan haid) yang harus dilindungi.

Sesungguhnya Indonesia telah memiliki seperangkat aturan untuk mengatur bidang ketenagakerjaan. Selain UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat berbagai dasar hukum yang dapat dijadikan acuan dalam melindungi buruh, khususnya buruh perempuan.

Perlindungan hukum tersebut antara lain diatur dalam undang-undang nasional, yaitu:

1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 27, ayat 2 yang berbunyi: “Tiap- tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003: Perlindungan terhadap

perempuan terdapat pada pasal 5 dan 6; terhadap diskriminasi upah terdapat pada pasal 88-89; terhadap fungsi reproduksi biologis perempuan terdapat pada pasal 81-82; terhadap kekerasan seksual terdapat pada pasal 86 ayat 1; terhadap diskriminasi dalam organisasi buruh terdapat dalam pasal 119-121.

3. Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, khususnya pada pasal 11 tentang menghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan.

4. Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Upah (Undang-Undang No.80/1957). Kesetaraan upah dalam UU ini adalah kesetaraan upah bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang setara nilainya mengacu pada tingkat upah yang ditetapkan tanpa diskriminasi jenis kelamin.


(14)

5. Konvensi ILO No. 111 tentang Anti-Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan (Undang -Undang No.21/1999).

Walaupun di Indonesia telah ada beberapa dasar hukum untuk melindungi buruh perempuan, tetapi dari pihak pemerintah sendiri tidak konsisten dalam melaksanakan perlindungan bagi kaum buruh. Dan dari hal itu maka nasib buruh adalah ditangan buruh, dia akan diam saja dan tunduk tertindas atau bangkit melawan. Persolan tentunya menjadi problem besar bagi perempuan, mengingat jumlah perempuan Indonesia yang relatif lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Kondisi kemiskinan ini membuat perempuan berupaya mengatasi kemiskinannya dengan bekerja untuk menopang kebutuhan dirinya dan keluarganya. Persoalan ekonomi akan berdampak pada persoalan lainnya, seperti sosial, pendidikan, kesungguhan dalam beragama, dan kesehatan.8

Perempuan terpaksa beralih mengonsumsi makanan yang murah meskipun seringkali kurang bergizi, agar kebutuhan keluarganya terpenuhi. Kondisi demikian berjalan terus dan mempengaruhi status gizi perempuan, yang akan berdampak pada kondisi kesehatannya. Minimnya akses terhadap kesehatan, membuat perempuan mengatasi sesuai dengan kadar kemampuannya. Kekurangsiapan diri yang meliputi fisik, mental, dan spiritual dalam berumah tangga menjadikan kondisi kesehatan yang makin menurun terutama kesehatan reproduksinya.

9

Sebagai akibat dari kualitas pendidikan perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki membuat minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang

8

Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal 71

9


(15)

memadai bagi wanita. Mereka sering terpaksa cenderung memilih pekerjaan musiman, padat karya, dan pekerjaan yang lain, meski mengandung risiko. Gaji sebagai buruh juga pas-pasan. Hal inilah yang menyebabkan buruh kerap harus menjalankan siasat hidup dengan cara mengonsumsi makanan murah dan rendah kadar gizi.10

Meskipun sebagian besar kaum buruh makan tiga kali sehari, menu hariannya lebih banyak lauk nabati. Padahal, pekerjaan buruh membutuhkan energi yang banyak dan berkualitas. Sementara kualitas lauk hewani lebih tinggi dibandingkan lauk nabati. Masalah kemiskinan pada dasarnya membawa persoalan yang lebih kompleks, dan mendalam. Sebab, hal itu akan berkaitan dengan kualitas hidup seseorang. Di antara penyebab kualitas kesehatan buruh perempuan adalah karena pengetahuan tentang gizi yang masih kurang. Pengetahuan seseorang ada kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang.

11

B. Perumusan Masalah

Setelah melihat uraian tersebut, maka penulis mengambil judul tentang :

“Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Buruh Perempuan Di PT. Indofood.”

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

10

Ibid, hal 71 11


(16)

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perlindungan buruh perempuan menurut konvensi ILO dan peraturan perundang-undangan nasional?

2. Bagaimana pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama?

3. Bagaimana pengawasan pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja/buruh perempuan di PT Indofood?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Untuk mengetahui perlindungan buruh perempuan menurut konvensi ILO dan peraturan perundang-undangan nasional.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.

c. Untuk mengetahui pengawasan pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja/buruh perempuan di PT Indofood.

2. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan.


(17)

1. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan di PT. Indofood. b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat khusus kaum perempuan

mengenai perlindungan terhadap pekerja buruh perempuan di PT. Indofood.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Buruh Perempuan Di PT. Indofood. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Jalur usaha yang turut menentukan keberhasilan permbangunan ekonomi pada umunya adalah pemanfaatan sumber daya manusia.jumlah penduduk Indonesia lebih kurang 200 juta dengan separoh diantaranya adalah kaum wanita, merupakan salah satu modal dasar pembangunan yang harus didaya gunakan semaksimal mungkin.

Pertumbuhan ekonomi yang sagat cepat ditandai dengan tumbuhnya industri-industri baru yang menimbulkan peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita. Sebagian besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak membutuhkan ketrampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak, dan


(18)

berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutin, dan adanya kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga kerja wanita. Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang sudah dapat di golongkan pada angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang belum dewasa yang selayaknya masih harus belajar di bangku sekolah. Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda dengan yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari kondisi objektip tidak ada perbedaan-perbedaan. 12

Perhatian yang benar pemerintah dan masyarakat terhadap tenaga kerja wanita terlihat pada beberapa peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun larangan-larangan yang menyangkut kedirian seseorang wanita secara umum seperti cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.13

Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.14

12

Ridwan Halim, Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta : Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1997), hal 24

13

Ibid, hal 25 14

Darwan Prints, Op.Cit, hal 17

Hal ini sesuai denagn undang-undang Nomor 14 tahun 1969, pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pakok mengenai tenaga kerja. GBHN 1988 dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan bangsa, wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber instansi bagi pembangunan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria disegala bidang kehidupan bangsa dalam segenap kegiatan pembangunan.


(19)

Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan atau pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah diterapkan dalam pasal 10 UU No. 1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup :

1. Norma Keselamatan Kerja

2. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan 3. Norma Kerja

4. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal kecelakaan kerja

Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita. Undang-undang No. 14 tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa : “ Didalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh diadakan diskrininasi”. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengigat hal demikian pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja wanita.

Secara umum hak dan kewajiban bagi tenaga kerja laki – laki maupun wanita adalah sama, seperti halnya : pengaturan jam kerja / lembur, waktu kerja


(20)

dan istirahat, peraturan tentang istirahat / cuti tahunan serta jaminan sosial, pengupahan dan sebagainya.

a. Pengaturan jam kerja / kerja lembur

Didalam Undang – Undang nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang – Undang Nomor 12 tahun 1948 pasal 10 ayat 1 mengatakan : “ Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu“.

Ini berarti bahwa waktu kerja dibatasi hanya dalam jangka waktu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kenyataannya banyak perusahaan yang memperkerjakan pekerjaannya melebihi ketentuan tersebut diatas. Hal tersebut diperbolehkan asal ada izin dari Departemen Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah No 4 tahun 1951 pasal II sub pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan izin dari kepala jawatan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya, bagi perusahaan yang penting untuk penbangunan negara, majikan dapat mengadukan aturan waktu kerja yang diatur dari pasal 10 ayat 1, kalimat pertama ayat dua dan tiga Undang – Undang kerja tahun 1948.

Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat dicantumkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 608/MEN/1989 tentang : “Pemberian izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehari dan 54 jam seminggu “.


(21)

b. Waktu kerja dan waktu istirahat

Pengaturan jam kerja diatur dalam Undang - Undang No. 1 tahun 1951, pasal 10 ayat dan ayat 3 :

1) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus diadakan waktu istirahat yang sedikit–dikitnya ½ jam lamanya diadakan waktu istirahat tidak termasuk waktu jam bekerja.

2) Untuk tiap–tiap minggu harus diadakan sedikitnya satu hari istirahat.

Hal ini dimaksudkan agar para pekerja setelah menjalankan pekerjaan didalam batas waktu tertentu setelah mendapat istirahat agar dapat segera menghadapi pekerjaan selanjutnya, dan diharapkan produktivitas kerja akan naik dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja.

c.Pengaturan istirahat / cuti tahunan

Bagi tenaga kerja yang sudah memiliki masa kerja 12 bulan berturut– turut berhak untuk mendapat istirahat / cuti tahunan. Hal ini diatur dalam Undang–Undang No. 1 tahun 1951 pasal 14 peraturan pemerintah No. 21/54 dan diperluas dengan surat keputusan menteri tenaga kerja dan Tranmigrasi No. 69/MEN/80 tentang perluasan lingkungan istirahat tahunan bagi buruh. Dalam pasal 14 disebutkan bahwa:

1) Setelah waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13 buruh menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari suatu organisasi harus diberi izin untuk beristirahat sedikit-dikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.

2) Pemberian waktu istirahat tersebut disesuakan dengan jumlah hari masuk kerja selama 1 tahun.


(22)

d. Jaminan sosial dan Pangupahan

Agar para pekerja dapat menjalankan pekerjaanya dengan semangat dan bergairah, masalah jaminan sosial dan pengupahan perlu diperlukan oleh perusahaan. Jaminan sosial yang dimaksud antara lain jaminan sakit ,hari tua, jaminan kaesehatan, jaminan perumahan, jaminan kematian dan sebangainya. Mengenai jaminan sosial ini sudah diatur secara normatip didalam perundangan, sehingga bagi perusahaan yang belum atau tidak memenuhi standard yang sudah ditetapkan dapat dikenakan sangsi. Perihal perlindungan upah diatur dalam peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981, antara lain mengatur tentang upah yang diterima oleh para pekerja apabila pekerja sakit, halangan atau kesusahan. Disamping itu diatur pula tentang larangan diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita didalam hal menetapkan upah untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Berbagai bentuk pemilahan kerja yang banyak dilakukan di dalam analisis untuk memahami hakikat kerja perempuan. Pemilahan tersebut menyangkut kerja produksi (menghasilkan sesuatu) dan reproduksi (menggantikan yang habis atau hilang), kerja domestik dan kerja bukan domestik, serta kerja upah dan kerja tidak diupah. Perdebatan mengenai apakah kegiatan perempuan di wilayah domestik yang dikategorikan sebagai reproduksi (melahirkan, mengasuh anak) dapat digolongkan ke dalam “kerja” dan bukan kegiatan yang memarginalkan, atau yang distatuskan sebagai non-existent, dipicu oleh feminis marxis Margaret Benston pada tahun 1969. Argumennya adalah, kalau di dalam masyarakat ada kerja produksi demi kelangsungan hidup anggotanya, maka harus ada kerja reproduksi demi kelestarian sistem sosialnya. Benston melihat bahwa kerja perempuan dalam


(23)

rumah tangga sebagai kebertahanan pra-kapitalis; di dalam kapitalisme perempuanlah yang terus menerus memproduksi nilai yang dipakai oleh seluruh anggota keluarga. Hanya karena kerja itu tidak berupah, maka menjadi tidak bernilai, dan kemudian tidak didefinisikan sebagai kerja sama sekali.15

Dalam kenyataannya untuk perempuan terdapat tumpang tindih di dalam dikotomi ini. Seorang perempuan yang memasak makanan atau menanam sayur-mayur bisa melakukannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetapi juga sekaligus menjualnya ke pasar. Di lain pihak, proses reproduksi juga berlangsung secara sosial di mana hubungan produksi dan struktur sosial terus diperbaharui bukan hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga di wilayah publik, seperti misalnya dalam pelayanan pendidikan. Telaah oleh Clifford Geertz di sebuah desa di Jawa memperlihatkan bagaimana produksi untuk keperluan rumah tangga, seperti membuat kecap, beralih menjadi industri rumah tangga yang menghasilkan barang untuk dijual, ketika seorang perempuan berhasil mengembangkannya. Dalam hal ini perempuan sekaligus menjadi pekerja dan majikan untuk pekerjaannya.16 Dalam tradisi kita, perempuan sebenarnya memegang peranan yang sangat besar dalam mencari nafkah. Di banyak wilayah perempuan merupakan pekerja-pekerja tani yang tangguh ketika laki-laki hanya berkumpul di warung tuak sambil bermain catur, atau bermalas-malasan di rumah sambil mabuk dan bicara politik. Di Jawa, perempuan sangat berperan dalam ekonomi keluarga, mulai dari kerja tani, pembantu rumah tangga di kota, penjual makanan dan jamu, sampai ke buruh pabrik dan melacur.17

Banyak penelitian yang menggelagati masalah perempuan dalam kaitannya dengan ketidakadilan gender menemukan kemandirian perempuan sebagai salah satu jalan keluar dari posisi yang direndahkan. Kemandirian bisa dikembangkan bilamana seorang perempuan bisa melepaskan ketergantungan ekonomi dari laki-laki.18

Dalam budaya kita, perempuan dengan sebuah penafsiran yang lebih luas ternyata menjadi sebuah komoditi keluarga yang bisa diberi nilai secara material.

15

Jurnal Perempuan, Kerja krisis dan PHK : Maknanya untuk Perempuan, Edisi 11, Mei-Juli 1999, Jakarta, hal 5

16

Ibid, hal 5 17

Ibid, hal 45 18


(24)

Posisi perempuan yang dimasukkan ke dalam sebuah sistem hubungan kekerabatan lebih merupakan pelengkap yang dapat diperlakukan semena-mena. Perempuan bekerjapun adalah juga merupakan sebuah proses ketergantungan pada sistem kekerabatan yang menempatkan laki-laki sebagai yang paling utama. Maka menjadi seorang pelacur tidak bisa diartikan sebagai sebuah pekerjaan di dalam konteks kekerabatan ini.19

Azas persamaan hak, kedudukan, peran, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, yang menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Bagi kemanusiaan dengan adanya pasal tersebut secara tegas dinyatakan bahwa “pria dan wanita memiliki hak yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Arti luas hak tersebut termasuk kebebasan dalam memilih karir, promosi pelatihanuntuk mencapai suatu prestasi.20

Hal ini selaras dengan pengertian kesetaraan gender yang dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang mencerminkan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian keadilan gender adalah kondisi perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki.21

Arah dan pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan secara implisit sebetulnya sudah ada di dalam memberikan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Wanita. Akan tetapi dalam implementasinya masih banyak tenaga kerja

19

Ibid, hal 46 20

Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ; Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja, dan Calon Pekerja, Cetakan I, (Jakarta : Penerbit Pustaka Yustisia, 2008), hal 68

21


(25)

perempuan yang belum mengetahui dan memahami akan aturan-aturan yang berlaku. Oleh karena itu beberapa hal perlu diuraikan lebih lanjut.22

a. Di dalam kesetaraan sebagai wanita, sekalipun fisik lebih lemah dari laki-laki, namun dalam mencapai karir dan jabatan tidak ada perbedaan lagi di dalam pelaksanaan tugas oleh karena pandangan yang menggambarkan seorang perempuan lebih rendah atau kurang pintar sudah tidak ada lagi.

b. Terhadap perempuan karena kodratnya melahirkan seorang anak, padahal seseorang yang melahirkan kondisi fisiknya lemah, maka perlu istirahat oleh peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan membenarkan cuti istirahat 1½ (satu setengah) bulan sebelum melahirkan dan 1½ (satu setengah) bulan sebelum melahirkan . Hal itu juga berlaku apabila mengalami gugur kandungan yang diberikan 1½ (satu setengah) bulan cuti istirahat dengan tetap diberikan upah, dengan syarat ada keterangan dari dokter atau bidan kandungan.

c. Terhadap karyawati yang mengalami haid dan merasa sakit dapat minta pada pengusaha untuk tidak melaksanakan pekerjaan selama 2 (dua) hari yang kemudian diatur dalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.

d. Di dalam pemberian upah tidak boleh dibedakan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konvensi ILO No. 100 tahun 1950 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 80 tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini terbukti dengan penetapan upah minimum yang tidak ada perbedaan besarnya upah antara laki-laki dan perempuan.

e. Pekerja buruh perempuan yang umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan pada malam hari mulai pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 termasuk perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi keselamatan kandungan maupun pekerja yang bersangkutan.

f. Pekerja/buruh perempuan yang bekerja mulai pukul 23.00 sampai dengan 07.00, perusahaan wajib untuk :

1. Memberikan makanan dan minuman yang bergizi. 2. Menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja.23

Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,

22

Ibid, hal 69 23


(26)

mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.24

Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Demikian pula telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO No. 98 mengenai berlakunya Dasar-Dasar untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. Kedua konvensi tersebut dapat dijadikan dasar bagi pekerja/buruh untuk berorganisasi dengan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh.25

Disamping itu, dimaklumi bahwa pekerja/buruh sifatnya lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap pengusaha. Karena itu, akibatnya pekerja/buruh tersebut tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisasikan dirinya dalam suatu wadah untuk dapat mencapai tujuannya. Wadah yang dimaksudkan itu sekarang disebut serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.26 Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan, mengingat hal-hal sebagai berikut:27

a. Para wanita umumnya bertenaga lemah, halus, tetapi tekun.

b. Norma-norma susila harus diutamakan agar tenaga kerja wanita tidak terpengaruh oleh perbuatan negatif dari tenaga kerja lawan jenisnya, terutama kalau dipekerjakan pada malam hari.

c. Para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan halus yang sesuai dengan kehalusan sifat dan tenaganya.

24

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja ; Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal 22

25

Ibid, hal 22 26

Ibid, hal 22-23 27


(27)

d. Para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami atau berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai beban-beban rumah tangga yang harus dilaksanakannya pula.

Seluas-luasnya emansipasi yang dituntut oleh kaum perempuan (agar dia mempunyai kedudukan yang sama dengan pria), namun secara kodrati dia tetap seorang perempuan yang mempunyai kelemahan-kelemahan yang harus dipikirkan. Memang ada kalanya badan wanita itu lemah, yaitu pada saat harus memenuhi kewajiban alam, misalnya pada saat hamil, melahirkan/gugur kandungan, dan bagi beberapa wanita juga pada waktu haid.28

Semua itu harus menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan norma kerja bagi perempuan. Untuk itu maka, UU No. 13 Tahun 2003, mulai Pasal 76 menentukan norma kerja perempuan sebagai berikut :29

a. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari delapan belas tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Ini bahwa pengusaha yang harus bertanggungjawab atas ketentuan dilarang mempekerjakan perempuan yang berumur kurang dari delapan belas tahun, dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 tersebut.

b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungan maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 wajib :

28

Ibid, hal 88 29


(28)

1) Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

2) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

d. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antarjemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.

Kebijakan pengawasan ketenagakerjaan secara operasional ditetapkan sebagai berikut :30

1. Pengawasan Ketenagakerjaan diarahkan kepada usaha preventif dan edukatif, namun demikian tindakan represif baik yang yustisial, maupun non yustisial akan dilaksanakan secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang secara sengaja melanggar ataupun telah berkali-kali diperingatkan akan tetapi tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yagn telah ditetapkan.

2. Unit dan aparat pengawasan diharapkan lebih peka dan cepat bertindak terhadap masalah-masalah yang timbul dan mungkin timbul di lapangan, sehingga masalahnya tidak meluas atau dapat diselesaikan dengan tuntas (tidak berlarut-larut).

3. Aparat pengawasan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan diharuskan turun langsung ke lapangan untuk melihat permasalahannya secara langsung, sehingga dapat dijamin obyektifitasnya.

4. Pemanfaatan aparat pengawas secara optimal sehingga dapat menjangkau obyek pengawasan seluas mungkin khususnya pada sektor-sektor yang dianggap rawan dan strategis.

F. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :

30

Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta, 2001), hal 124


(29)

1. Tipe Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.31

2. Data dan Sumber Data

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif tenaga kerja perempuan.

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 32

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

:

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara : Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

31

Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986) hal 9-10. 32


(30)

4. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Bab ini berisikan tentang konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja, Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan, Konvensi ILO mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya di


(31)

Sektor Industri, Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang

Ketenagakerjaan No.13/2003 Perlindungan terhadap marjinalisasi

diskriminasi perempuan

BAB III PELAKSANAAN HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI

PT. INDOFOOD BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA,

PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Bab ini berisikan tentang Hak atas upah yang sama dengan pekerja laki-laki, Hak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja diri dan keluarganya, Hak-hak cuti khusus perempuan di PT. Indofood, Pekerja/Buruh perempuan yang berkerja pada malam hari di PT. Indofood.

BAB IV PENGAWASAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA BURUH PEREMPUAN DI PT INDOFOOD

Bab ini berisikan tentang mekanisme Pengawasan Pelaksanaan Hak-Hak Pekerja/Buruh Perempuan dan Penyelesaian Perselisihan Terkait Pelaksanaan Hak –Hak Pekerja/Buruh Perempuan di PT. Indofood. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.


(32)

BAB II

PERLINDUNGAN BURUH PEREMPUAN MENURUT KONVENSI ILO DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL A. Konvensi ILO Mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang bekerja

di Sektor Industri

Konvensi ILO adalah salah satu produk hukum dari International Labour Organisation. ILO adalah salah satu organisasi multilateral di bawah naungan

PBB. ILO terbentuk pada akhir perang dunia pertama sejalan dengan disahkannya Konstitusi ILO oleh Konferensi Perdamaian di Versailles bulan April 1919. Ada tiga alasan pembentukan ILO, yaitu :33

a. Kemanusiaan. ILO didirikan sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan para pekerja/buruh yang ketika itu sangat tereksploitasi tanpa memperhatikan kesehatan, kehidupan keluarga dan masa depan mereka. b. Politis. Ketidakadilan yang dialami para pekerja/buruh yang jumlahnya

kian bertambah akibat industrialisasi menimbulkan konflik yang mengancam perdamaian dunia.

c. Ekonomi. Disadari sepenuhnya bahwa tuntutan yang tinggi atas kesejahteraan pekerja/buruh bukanlah suatu hal yang menarik bagi para pengusaha karena dianggap meningkatkan biaya produksi dan melemahkan daya saing.

Ketiga alasan itu dituangkan dalam Mukadimah ILO alinea satu bahwa perdamaian yang bersifat universal dan abadi hanya dapat dicapai apabila didasarkan pada keadilan sosial. Ketidakadilan kondisi perburuhan dapat mengancam perdamaian dan ketentraman dunia dapat diperbaiki dengan upaya perbaikan kondisi kerja melalui pengaturan jam kerja; penawaran tenaga kerja; upaya pencegahan pengangguran; ketentuan upah hidup layak; perlindungan terhadap penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja; perlindungan terhadap anak-anak, orang muda dan wanita yang bekerja; ketentuan usia lanjut dan cedera;

33

Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan Terhadap Konvensi ILO : Analisis Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Penerbit CV. Karya Putra Darwati, Cetakan I, Bandung, 2012, hal 41-42


(33)

perlindungan buruh migran; persamaan upah; pengakuan terhadap prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul, pengorganisasian pendidikan kejuruan dan tekhnik. Pada tahun 1944, para anggota ILO menyatakan Deklarasi Philadelphia, yang diintegrasikan ke dalam Konstitusi ILO menetapkan empat prinsip pokok yang mendasari keberadaan ILO, yaitu :34

a. Buruh atau pekerja bukanlah barang komoditas;

b. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sangat diperlukan bagi kemajuan yang berkesinambungan;

c. Kemiskinan di satu tempat merupakan ancaman bagi kemakmuran dimana-mana; dan

d. Setiap manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan atau jenis kelamin berhak mengejar kesejahteraan material dan kemajuan spiritual dalam kondisi yang menghargai kebebasan, harkat dan martabat manusia untuk memperoleh keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama.

Perdamaian yang bersifat universal dan abadi hanya dapat dicapai apabila didasarkan pada keadilan sosial. Ketidakadilan kondisi perburuhan dapat mengancam perdamaian dan ketentraman dunia, dapat diperbaiki dengan upaya perbaikan kondisi kerja melalui pengaturan jam kerja; penawaran tenaga kerja, upaya pencegahan pengangguran, ketentuan upah hidup layak; perlindungan terhadap penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja, perlindungan terhadap anak-anak, orang muda dan wanita yang bekerja, ketentuan usia lanjut dan cedera, perlindungan buruh migran, persamaan upah, pengakuan terhadap prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul, pengorganisasian pendidikan kejuruan dan tekhnik.35

ILO memiliki struktur tripartid, artinya organisasi pengusaha dan buruh memiliki suara yang setara dengan pemerintah masing-masing negara anggota dalam menentukan kebijakan dan program ILO. Organ ILO berdasarkan Pasal 2 Konstitusi ILO terdiri dari Konferensi perburuhan internasional (International

34

Ibid, hal 42 35


(34)

Labour Conference /ILO), badan pengurus (governing body / GB) dan satu sekretariat tetap (International Labour Office).36

a. Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference / ILO) Konferensi Perburuhan Internasional merupakan badan pengambil keputusan tertinggi di ILO. Badan ini pun berstruktur tripartid dengan fungsi utama, yaitu : 1) Menyusun standar perburuhan internasional dalam bentuk konvensi atau

rekomendasi,

2) Berperan sebagai forum pembahasan berbagai permasalahan dunia berkaitan dengan perburuhan dan ketenagakerjaan yang berwenang mengeluarkan resolusi sebagai bahan panduan dalam menanggulangi masalah –masalah tersebut, serta

3) Menyusun dan menetapkan program dan anggaran dua tahunan ILO. Setiap tahun pada bulan Juni, Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Cenference) mengadakan pertemuan di Jenawa.

b. Badan Pengurus (Governing Body). Badan ini beranggotakan 56 orang yang terdiri dari 28 wakil pemerintah negara anggota, 14 orang pekerja dan 14 wakil pengusaha. Tugas utamanya adalah menetapkan kebijakan dan prioritas bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan ILO secara keseluruhan. Badan Pimpinan menetapkan dan memandu kegiatan-kegiatan konkrit ILO.

c. Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office). Kantor ini merupakan sekretariat ILO yang bertugas melaksanakan program-program nyata di tingkat pusat, regional, sub-regional maupun nasional di negara-negara anggota. Kantor pusat di Jenawa bertugas mengurusi pekerjaan yang bersifat

36


(35)

administratif dan kesekretariatan bagi Badan Pimpinan dan Konferensi Perburuhan Internasional, serta memberi dukungan teknis dan administratif kepada kegiatan kantor di tingkat wilayah. Kantor-kantor regional, sub-regional dan nasional bertugas merancang dan melaksanakan program-program bantuan teknis bagi negara-negara anggota.37

Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi, Perempuan yang bekerja di malam hari harus mendapat perlindungan khusus berdasarkan pertimbangan bahwa perempuan itu lemah dari segi fisik maupun untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan. Menurut UU no.13 tahun 2003, perempuan dilarang bekerja pada malam hari bila berumur kurang dari 18 tahun atau pekerja / buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya dan dirinya. Sedangkan bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan pada malam hari mempunyai kewajiban memberikan makanan dan minuman bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan selama bekerja dan menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh yang berangkat dan pulang antara jam 23.00 s/d05.00.

Demi tuntutan pekerjaan, tidak jarang kita melihat banyak pekerja perempuan yang diharuskan bekerja dengan sistem shift malam khususnya di sektor layanan jasa 24 jam. Pekerja malam sendiri bisa dikategorikan menjadi 2 macam yaitu :

1. Pekerja yang bekerja di suatu instansi/perusahaan yang memang mengikuti peraturan bekerja secara shift. Contohnya : para pekerja di rumah sakit (dokter, perawat), pramugari, pemadam kebakaran, sekuriti, pekerja di hotel.

37


(36)

2. Pekerja yang memang bekerja di suatu tempat yang memang dibuka dari sore hingga esok paginya. Contohnya : pekerja di tempat-tempat hiburan (Café, Diskotik).

Bekerja pada malam hari tentu lebih beresiko dibanding bekerja di siang hari karena jika jadwal tidur, mereka keluar jalur, maka dapat mengganggu siklur tidur-bangun yang normal dan tubuh menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang akhirnya akan mengarah pada gangguan pola hidup dan gangguan kesehatan seperti jantung, stroke, tekanan darah tinggi, kolesterol dan diabetes.

Menurut pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja perempuan diatas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Perusahaan memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan Undang-Undang No.13/2003 yang lebih lanjutnya diatur dalam Kep.224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Pengusaha yang memperkerjakan buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :


(37)

Makanan dan minuman yang bergizi harus sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori, harus bervariasi, bersih dan diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja. Makanan dan minuman tidak dapat diganti dengan uang.

• Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

Pengusaha wajib menjaga keamanan dan kesusilaan pekerja perempuan dengan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja dan menyediakan kamar mandi yang layak dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja perempuan dan laki-laki. Pengusaha juga diharuskan menyediakan antar jemput mulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya. Lokasi tempat penjemputan harus mudah dijangkau dan aman bagi pekerja perempuan.

Pelaksanaan pemberian makanan dan minuman bergizi, penjagaan kesusilaan, dan keamanan selama di tempat kerja serta penyediaan angkutan antar jemput diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Jadi ingat, sebelum menandatangani Perjanjian Kerja, harap dibaca dahulu dengan seksama apa yang tertulis di Perjanjian Kerja.38

Konvensi Kerja Malam yang pertama disetujui oleh Sidang Umum (General Conference) Organisasi Buruh Internasional pada tahun 1919. Konvensi tersebut berlaku mulai tanggal 13 Juni 1921. Pada tahun 1934, Sidang Umummeminta pembentukan suatu Komite Sidang untuk mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya revisi atas Konvensi. Usulan revisi pertama menyangkut pengecualian dari aturan-aturan Konvensi perempuan yang menduduki jabatan-jabatan tinggi. Masalah ini telah dibahas pada sidang yang ke limabelas (1931) tetapi memperoleh suara kurang dari dua pertiga yang dibutuhkan untuk persetujuannya. Pada saat itu dimintakan saran dari Pengadilan Tetap dariMahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice) yang menetapkan perempuan yang menduduki jabatan demikian memang, pada kenyataannya, terkena oleh aturan-aturan Konvensi. Ketentuan baru yang


(38)

mengecualikan perempuan dengan jabatan seperti itu kemudian disetujui oleh Komite. Revisi kedua melibatkan definisi ulang atas itilah “malam” guna membuka jalan bagi lebih banyak ratifikasi dengan memperluas lingkup jam kerja sehingga memungkinkan dijalankannya hari kerja dengan dua giliran kerja (shift). Konvensi Revisi, yang mencerminkan dua perubahan tersebut, disetujui oleh Sidang dengan suara 121 melawan 1. Pakta tersebut berlaku mulai tanggal 2 November 1936.39

Kebutuhan akan revisi Konvensi yang kedua diajukan sewaktu proses regular pelaporan Konvensi sepuluh tahunan, sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional. Kepedulian utama dari mereka yang menghendaki revisi itu ialah keinginan untuk membuat definisi “malam” agar semakin lebih fleksibel daripada yang ditetapkan dalam Konvensi 1934. Suatu Komite Sidang yang dibentuk untuk itu membahas usulan-usulan dan merekomendasikan perubahan atas Konvensi. Konvensi revisi 1948 disetujui oleh Sidang Umum pada bulan Juni 1948 dengan suara 120 dibanding 2 dengan 9 abstain. Konvensi ini berlaku pada 27 Februari 1951 sesuai dengan pasal 14, duabelas bulan setelah didaftarkannya ratifikasi oleh dua Anggota.40

Fakta terakhir tersebut meredefinisikan pengertian “malam” guna memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para pengusaha. Konvensi ini mengijinkan ditangguhkannya aturan-aturan yang terkandung di dalamnya pada masa keadaan darurat jika kepentingan nasional mendukung hal tersebut. Ia juga memperluas lebih jauh pengecualian terhadap perempuan yang menduduki jabatan manajemen yang tidak melakukan pekerjaan manual.41

39

Alex Irwan, Perisai Perempuan ; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, (Jakarta : Penerbit LBH APIK, 2000), hal 35

40

Ibid, hal 35 41


(39)

B. Konvensi ILO mengenai perlindungan kehamilan

Menurut Konvensi ILO Pasal 2, dalam Konvensi ini, istilah ”wanita” berarti seorang wanita, tanpa pembatasan umur, kebangsaan, ras atau keturunan, baik menikah atau tidak menikah, dan istilah ”anak” adalah anak baik yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan maupun tidak. Sedangkan Pasal 3 yakni : 1. Wanita untuk siapa Konvensi berlaku, setelah menunjukkan keterangan medis

yang menyatakan perkiraan tanggal melahirkannya, berhak untuk mendapatkan cuti hamil.

2. Masa cuti hamil harus sekurang-kurangnya duabelah minggu, dan harus meliputi masa cuti wajib setelah melahirkan.

3. Masa cuti wajib setelah melahirkan akan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara, tetapi selalu tidak boleh kurang dari enam minggu; sisa seluruh masa cuti hamil dapat diberikan sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan atau setelah berakhirnya masa cuti wajib atau sebagian sebelum tanggal melahirkan yang diperkirakan dan sebagian lagi setelah berakhirnya masa cuti wajib sebagaimana dapat ditentukan oleh peraturan perundang-undangan negara.

4. Cuti sebelum tanggl melahirkan yang diperkirakan harus diperpanjang selama masa antara tanggal melahirkan yang diperkirakan dan tanggal melahirkan yang sebenarnya dan masa cuti wajib yang dijalani setelah melahirkan tidak boleh dikurangi karena adanya perbedaan ini.

5. Dalam hal sakit yang secara medis diterangkan sebagai timbul karena kehamilan, maka peraturan perundang-undangan Negara harus menentukan cuti tambahan sebelum melahirkan, yang masa


(40)

maksimumnya dapat ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami kehilangan pekerjaan adalah kelompok perempuan dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah dan keterampilan seadanya. Akan tetapi desakan yang dialami oleh sektor industri tersebut di lain pihak terjadi peningkatan di sekor perdagangan dan jasa. Hampir semua kota-kota di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi melalui peranan sektor ini. Tidak kalah pentingnya adalah semakin pentingnya peranan sektor perdagangan dan jasa tersebut dalam menyediakan lapangan kerja level pendidikan menengah ke bawah dan kemampuan keterampilan yang rendah. Gejala umum yang terjadi dari aspek ketenagakerjaan adalah semakin besarnya peluang bagi tenaga kerja perempuan.42

Kesehatan merupakan hak dasar semua warga negara, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Terkait dengan hak reproduksi wanita yang merupakan hak khusus dikarenakan fungsi reproduksinya, -yang tidak dimiliki laki-laki, Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa ”Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Selanjutnya, ketentuan mengenai hak reproduksi diatur dalam UU HAM. Pasal 49 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa ”Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”. Penjelasan ayat (2) menjelaskan aspek perlindungan khusus tersebut pada dua hal yakni pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pada ayat (3) yang menegaskan bahwa ”Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Dengan kata lain, hak reproduksi harus dijamin dan

42

Soepomo Iman, Hukum Perburuhan, Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 2001), hal 64


(41)

dilindungi, sehingga serta merta melahirkan kewajiban-kewajiban bagi suami, masyarakat, negara, dan pihak terkait lainnya untuk memenuhi hak-hak perlindungan bagi wanita terkait hak reproduksinya tersebut. Di dalam hak perlindungan itulah, hak reproduksi mendapatkan tempatnya. Perlindungan merupakan segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman dan jaminan terhadap hak perempuan dalam segala aspek kehidupan.

Ketentuan dalam UU HAM merupakan ruh dari perlindungan terhadap hak reproduksi wanita. Namun demikian, akan menjadi sia-sia semangat perlindungan tersebut jika tidak dibarengi dengan realisasi dalam kebijakan-kebijakan di bidang lain yang terkait erat seperti kebijakan kesehatan, kependudukan, dan ketenagakerjaan. Terkait dengan konsep gender, kebijakan pemerintah di berbagai bidang seharusnya mendukung dan melindungi hak reproduksi wanita. Pada tataran perundang-undangan, beberapa Undang-undang telah menjadikan isu perlindungan hak reproduksi dalam ketentuan dan pengaturan yang mengikat. Namun demikian masih terdapat catatan-catatan terhadap adanya ”jarak” antara kondisi ideal sebagaimana diarahkan dalam UU HAM dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Pada tataran peraturan pelaksana, terdapat beberapa kebijakan secara normatif sudah mengarah dan mendukung pemenuhan perlindungan hak khusus tersebut namun belum tersosialisai dan diimplementasikan dengan baik.43

C. Konvensi ILO mengenai pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya

Upah adalah segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan

43

2013


(42)

yang diterima oleh pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya. Upah dapat diberikan baik dalam bentuk tunai atau natura, atau dalam bentuk tunai natura. Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tingkat fungsi upah, yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang dan menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.

Perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (bila perempuan tersebut telah menikah) atau dari walinya (bila belum menikah). Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan, bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja.44

Ada beberapa pekerjaan yang sama-sama layak dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, ada juga beberapa pekerjaan yang khusus dikerjakan oleh masing-masing atau secara sendiri-sendiri. Pekerjaan yang membutuhkan kerja otot selamanya akan menjadi bagian dari tugas laki-laki. Dengan demikian, seorang perempuan tidak layak baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian, pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan.45

Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (laki-laki saja atau perempuan saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada laki-laki, karena hal ini berkaitan

44

Tunggul, Hadi Setia, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Jakarta : Harvavindo, 2009), hal 66

45


(43)

dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab laki-laki.

Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam Islam bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasikan salah satu pihak. Tapi lebih pada kepantasan akan pekerjaan yang akan dikerjakan. Hal itu adalah pembagian yang wajar dan realistis dari sebuah pekerjaan yang menggerakkan kehidupan dan masyarakat, sehingga peradaban manusia bisa berjalan secara normal.46

D. Undang-Undang No.7/1984 mengenai penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap perempuan

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tanggal 29 Juli 1980 yaitu ketika diadakan Konperensi Sedunia tentang Perempuan di Kopenhagen. Empat tahun kemudian yakni pada tanggal 24 Juli 1984 Konvensi ini diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita.

Jauh sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional yang berkaitan dengan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Piagam dan Konvensi tersebut antara lain adalah Piagam PBB, Konvensi yang berkaitan dengan pekerjaan perempuan di dalam tanah dan pertambangan, Konvensi yang berkaitan dengan pembayaran kepada pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya (Konvensi ILO No. 100), Konvensi tentang hak-hak politik perempuan (UU No. 18/1956), Konvensi terhadap diskriminasi dalam pendidikan dan sebagainya. Beberapa prinsip dalam

46


(44)

konvensi-konvensi tersebut secara eksplisit telah tertuang pula dalam peraturan perundangan.47

Namun jika kita kaji lebih jauh tampak bahwa pelaksanaan Konvensi ini menghadapi kendala kultural maupun struktural. Kendala kultural menyangkut sikap masyarakat yang masih enggan untuk mengakui persamaan laki-laki dan perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai ajaran agama, adat dan budaya yang masih dianut sampai saat ini. Tragisnya sikap ini kemudian diadopsi menjadi sikap resmi negara sebagaimana yang dapat kita baca dalam penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1984 yang berbunyi :Dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.48

Sebuah Peraturan Menteri No. SE-04/Men/1988 yang dikeluarkan dengan mengacu pada UU No. 7 Tahun 1984, ternyata justru bertentangan dengan prinsip yang ada di dalam Konvensi Perempuan tersebut. Peraturan Menteri tentang pelaksanaan larangan diskriminasi pekerja wanita tersebut antara lain mengatur tentang jaminan pemeliharaan kesehatan yang antara lain menyatakan bahwa baik pekerja laki-laki maupun perempuan memperoleh tunjangan kesehatan yang sama kecuali pekerja perempuan tersebut telah mendapat tunjangan kesehatan dari suaminya, baik dari perusahaan yang sama maupun dari perusahaan yang berbeda.49

47

Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan Terhadap Konvensi ILO : Analisis Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, (Bandung : Penerbit CV. Karya Putra Darwati, Cetakan I, 2012), hal 56

48

Ibid, hal 57 49

Ibid, hal 58


(45)

dari suaminya, maka ia dianggap berstatus tidak menikah, sehingga ia kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan yang sama dengan rekannya yang laki-laki.

Kebijakan ini jelas sangat diskriminatif dan secara prinsipil bertentangan dengan pesan pokok yang terkandung dalam Konvensi Perempuan juncto UU No. 7 tahun 1984 tersebut yang justru menjadi dasar dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut. Jelas di sini bahwa pandangan resmi pemerintah terhadap perempuan masih dilihat sebagai istri/ibu dan oleh karena itu statusnya selalu dikaitkan dengan suaminya. Padahal seorang perempuan mungkin saja adalah seorang istri atau ibu. Namun ia tetap seorang individu dengan jatidiri tersendiri (otonom), seorang warganegara yang mempunyi hak-hak yang sama pentingnya dengan warganegara yang lain baik dirumah,ditempat kerja ataupun di sektor publik yang lain. Ia adalah manusia yang sama derajatnya dengan manusia lainnya apakah itu suaminya, ayahnya, anak laki-lakinya ataupun teman sekerjanya yang laki-laki. Inilah pesan yang paling dasar dari Konvensi Perempuan ini yang nampaknya belum tersampaikan/dipahami baik oleh para pengambil keputusan maupun oleh masyarakat sendiri.50

Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak asasi yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi jaminan bahwa hak-hak itu akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacam agenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagai konvensi tersebut. Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja tapi tugas kaum laki-laki juga. Karena pada akhirnya segala usaha untuk pemenuhan hak asasi manusia umumnya dan

50

Rahima, Swara. 2004. Perempuan Bekerja, Dilemma Tak Berujung. http://www.or.id/SR/12-04/fokus-html (diakses tanggal 10 Mei 2013)


(46)

hak asasi perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia laki-laki dan perempuan tanpa kecuali.51

E. Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 Perlindungan terhadap Diskriminasi Perempuan

Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003, yang diundangkan pada Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39 pada tanggal 25 Maret 2003, dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan itu. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spiritual (Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).52

UU No. 23 Tahun 2003 ini kiranya diusahakan sebagai peraturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Tetapi, bila dilihat dri pengertian ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, maka UU No. 23 tahun 2003 ini belumlah menyeluruh dan komprehensif karena hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu

51

Alex Irwan, Op.Cit, hal 15-16 52

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 2004), hal 9


(47)

sesudah masa kerja, seperti masalah pensiun tidak dibahas dalam undang-undang ini.53

Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Bunyi pasal 5 UU No.13 tahun 2003 tersebut mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan hak antara pria dan wanita untuk memperoleh pekerjaan. Disamping diatur dalam undang-undang, Pemerintah juga telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 100 tentang pengupahan yang sama dalam pekerjaan yang sama nilainya bagi laki-laki dan perempuan. Konvensi yang kedua nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan , isinya antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang larangan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan ras, warna kulit, seks,agama,aliran politik dan sebagainya. Larangan diskriminasi ini termasuk kesempatan mengikuti pelatihan ketrampilan, memperoleh pekerjaan dan mematuhi syarat-syarat mendapatkan kondisi kerja.54

kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak Tahun 1945 di negara kita prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah diakui. Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat (1) memuat kalimat-kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-undang Undang-undang Dasar kita yang dirumuskan pada Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 (1), bahwa semua orang mempunyai

53

Ibid, hal 9 54

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal 72


(48)

Perkawinan itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1)), dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)).

Ketentuan-ketentuan tersebut mengandung makna, bahwa terhadap isteri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami. Ketentuan dalam GBHN 1993-1998 juga mengemukakan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan seperti yang dapat dibaca berikut ini: “perempuan, baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan di segala bidang”. Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja, Negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100, yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita. Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat undang-undang di Negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. 55

Perempuan menikmati perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya laki-laki, yang berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan dilarang, menjadi hukum positif di negara kita dengan ratifikasi terhadap Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan (disingkat dengan Konvensi Perempuan) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Di kalangan PBB konvensi ini telah diterima pada Sidang Umum tahun 1979, dan pembuatan

55


(49)

konvensi ini dilatar-belakangi oleh fakta, bahwa resolusi-resolusi serta deklarasi-deklarasi, seperti Deklarasi Universal mengenai Hak-hak Asasi Manusia atau Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan.

Pada Konvensi perempuan Pasal 2, dibaca bahwa negara peserta Konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, antara lain:

1. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap perempuan.

2. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintahan lainnya, perlindungan perempuan yang efektif terhadap tiap tindakan diskriminasi.


(50)

3. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini.

4. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.

Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan. Berbagai hal yang terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati, yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih berlangsung terus. Pasal 1 Konvensi Perempuan berbunyi sebagai berikut: Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.56

Beberapa contoh perlakuan diskriminatif yang meluas adalah gaji yang diterima oleh tenaga kerja perempuan lebih rendah dari yang diterima oleh laki-laki. Kemudian pekerjaan perempuan yang berwujud sebagai curahan waktu yang

56


(51)

panjang untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak, mengurus berbagai keperluan suami tidak memperoleh penilaian dalam arti tidak diperhitungkan sebagai sumbangan bagi ekonomi rumah tangga. Suami dan anggota lain dari keluarga dapat menghasilkan uang dan tercatat dalam statistik, sedangkan perempuan yang karena kegiatannya memungkinkan suami dan orang lain bekerja dianggap tidak bekerja. Hal lain adalah anggapan bahwa anak laki-laki itu jaminan di hari tua dan anak perempuan bukan.57

Hak untuk bekerja dengan jelas dinyatakan dalam pasal 23 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Karena deklarasi tersebut juga melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, maka pernyataan tersebut bisa dilihat sebagai suatu landasan awal bagi Konvensi ini. Ketentuan serupa dikodifikasikan dalam pasal 6 dari Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).58

Organisasi Buruh Internasional menempatkan diskriminasi dalam lapangan kerja dan pekerjaan sebagai agenda dalam sidangnya yang ke empat puluh (1957) sehubungan dengan permintaan dari Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) dan Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas (Subcommission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities). Baik subkomisi maupun komisi tersebut mengkaji rancangan Konvensi mengenai Diskriminasi dalam Lapangan Kerja dan Pekerjaan berikut semua komentar dari berbagai Pemerintah atasnya. Dalam sidang berikutnya tanggal 15 Juni 1960, Sidang Umum (General Conference) dari Organisasi Buruh Internasional menyetujui Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Pekerjaan). Pada saat yang sama mereka juga menyetujui sebuah Rekomendasi yang berisi ketentuan-ketentuan dasar yang sama tapi dalam bentuk non fakta. Konvensi ini diberlakukan pada tanggal 15 Juni 1960,

57

Nursyahbani, Katjasungkana, Keabsahan Perkawinan, Otoritas Siapa?, Kompas 12 Mei 1997.

58


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban dari pada permasalahan yang penulis buat, yaitu: 1. Perlindungan Buruh Perempuan Menurut Konvensi ILO Dan Peraturan

Perundang-Undangan Nasional adalah Pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja perempuan masih sedikit. Akan tetapi dalam pemberian hak dan kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak begitu besar layaknya pekerja laki-laki. Masih adanya proses segmentensi pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan yang telah terfeminisasi.

2. Pelaksanaan hak-hak pekerja buruh perempuan di PT. Indofood berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama yakni masih adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan dengan nilai pekerjaan dan jabatan yang sama. Ditambah lagi, dengan adanya perbedaan komposisi tunjangan yang diberikan oleh pihak perusahaan antara pekerja perempuan yang telah berkeluarga dan pekerja laki-laki yang telah berkeluarga. 3. Pengawasan pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja buruh perempuan di


(2)

ketenagakerjaan yang bersifat pencegahan sebelum terjadinya pelanggaran dan represif adalah pengawasan yang bersifat penindakan bagi mereka yang nyata-nyata telah melukan pelanggaran, pengawasan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja khususnya pekerja perempuan yang bekerja malam hari. Pelaksanaan pengawasan terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan pada malam hari sudah cukup efektif karena pegawai pengawas sudah menjalankan tugasnya dengan baik yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan yang bkekerja malam hari dengan malakukan pengawasan terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan pada malam hari. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pelanggaran yang terjadi khususnya mengenai pekerja perempuan yang bekerja malam hari.

B. Saran

1. Pekerja perempuan hendaknya mempunyai pendidikan, wawasan dan pengetahuan yang cukup luas, khususnya ketentuan-ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan yang melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja perempuan. Oleh karena itu para pekerja perempuan tahu akan hak-haknya sebagai pekerja perempuan.

2. Perusahaan harus dapat memberikan fasilitas-fasilitas yang sepenuhnya dapat melindungi hak-hak para tenaga kerja, khususnya pekerja perempuan. Selain itu, perusahaan juga diharapkan dapat lebih efektif dalam mengimplementasikan dan mensosialisasikan peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak pekerja perempuan, sehingga para pekerja perempuan tahu


(3)

3. Pemerintah hendaknya lebih meningkatkan kinerja organisasinya secara lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan segala kegiatannya terutama lembaga pengawas ketenagakerjaan, sehingga dapat mendeteksi secara dini tindakan-tindakan yang diskriminatif dan tindakan-tindakan-tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan perlindungan hak-hak pekerja perempuan tidak terlindungi. Selain itu pihak pemerintah dalam hal ini pihak organisasi yang berwenang dalam ketenagakerjaan secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dilakukan guna meningkatkan pengetahuan para pekerja perempuan, sehingga pada akhirnya mereka tahu hak dan kewajibannya sebagai pekerja perempuan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abdul Budiono Rachmad, Hukum Perburuhan di Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

Adisu, Editus dan Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Perempuan, Penerbit Visi Media, Jakarta, 2007.

Alex Irwan, Perisai Perempuan ; Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, Penerbit LBH APIK, Jakarta.

Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan Terhadap Konvensi ILO : Analisis Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Penerbit CV. Karya Putra Darwati, Cetakan I, Bandung, 2012. Nasution Johan Bahder , Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan

Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya), Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1994.

Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003. Muharam, Hidayat, Panduan Memahami Hukum Ketenaga Kerjaan Serta

Pelaksanaannya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Ridwan Halim, Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Saeni, Asyhadie, Hukum Kerja. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2007.

Safa’at, Rachmad, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Malang: IKIP Malang. 1998.


(5)

Sendjun Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ; Panduan Bagi Pengusaha, Pekerja, dan Calon Pekerja, Cetakan I, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008.

Soekanto Soejano , Pengantar Penelitian Hukum Jakarta : UI Press, 1986.

Soepomo Iman, Hukum Perburuhan, Bidang Hubungan Kerja, Penerbit Djambatan, 2001.

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1997.

Sudjana, Eggy, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Penerbit Renaissan, Jakarta, 2005.

Tunggul, Hadi Setia, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Harvavindo, 2009.

Whimbo Pitoyo, Paanduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Pertama, Penerbit Visimedia, Jakarta, 2010.

Widyaningsih, Rience G. & Kartasapoerta, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan. Cet. I; Bandung : Armico, 1992.

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja ; Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

II. Jurnal dan Koran/majalah

Jurnal Perempuan, Kerja krisis dan PHK : Maknanya untuk Perempuan, Edisi 11, Mei-Juli 1999, Jakarta.

Jurnal Perempuan untuk pencerahan dan Kesetaraan, Perempuan di Pertambangan, Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003.

Nursyahbani, Katjasungkana, Keabsahan Perkawinan, Otoritas Siapa?, Kompas 12 Mei 1997.

III. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. IV. Internet

http://www.lawskripsi.com, diakses 12 April 2013

diakses 12 April 2013