PERLINDUNGAN HAK HAK PEREMPUAN DALAM HUK
PERLINDUNGAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM
HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN
Oleh: Aulia Rahmat1
[email protected]
ABSTRAK
Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan dinamis.
Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Diawali oleh
determinasi mazhab sunni hingga integrasi dengan beberapa regulasi Prancis dan pada
akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah. Puncak revolusi hukum keluarga di
Iiran adalah terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan
keinginan untuk kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum
dengan tidak mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat,
asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Pengakuan atas hak dan martabat
perempuan di Iran sudah ada sejak Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan
oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama
perempuan -bernama Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang
dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan.
Keyword : Hak Perempuan, Reformasi Hukum, Iran
A. SEKILAS TENTANG REPUBLIK ISLAM IRAN
Orang-orang sering menyebut negerinya “Iran” (negeri Arya atau masyarakat
termasyhur), sementara orang luar –dalam waktu yang sama—menyebutnya Persia yang
menunjuk pada Pars –sekarang Fars—wilayah bagian selatan Iran. Nama Persia bertahan
sampai sampai tahun 1935,2 ketika Pemerintah Tehran secara resmi meminta
masyarakat dunia menggunakan nama Iran.3
Republik Islam Iran berada di regional Asia Barat –atau yang dikenal juga dengan
istilah Timur Tengah-- dengan luas wilayah sekitar 1.648.000 km2 yang menempati
urutan ke-18 dalam daftar Negara terluas di dunia.4 Negara ini berbatasan dengan
Afganistan (sepanjang 936 km), Armenia (sepanjang 35 km), Azerbaijan –termasuk
Naxcivan daerah kantong Azerbaijan-- (sepanjang 611 km), Irak (sepanjang 1.458 km),
Pakistan (sepanjang 909 km), Turki (sepanjang 499 km) dan Turkmenistan (992 km).
Garis pantai Iran adalah 2.440 km dan mencakup 740 km di Laut Kaspia.5 Iran terletak
pada koordinat 25˚-40˚ LU dan 44˚-64˚ BT, menjadikan negara ini mempunyai 4 iklim
1
Penulis adalah Tenaga Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dan Sekolah Tinggi
Agama Islam Solok Nan Indah (STAI SNI) Kota Solok.
2
CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011. Bangsa
Iran berasal dari ras Arya yang merupakan salah satu dari Indo-European. Migrasi suku Arya ke wilayah Asia kecil
dan India dimulai sejak tahun 2500 SM. Lihat dalam: Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik
Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 3.
3
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:
Oxford University Press, 1995), jilid-II, 224.
4
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 214. Dalam beberapa referensi lain, luas wilayah dinyatakan lebih sepesifik
seluas 1.648.195 km2 dengan perincian 1.531.595 km2 daratan dan 116.600 km2 lautan. Lihat CIA, “Islamic
Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam https://www.cia.gov/library/publications/theworld-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011. Lihat juga dalam Kedutaan Besar RI Tehran – Iran,
Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 2.
5
UN Residence Coordinator Office, Past-Reports of Islamic Republic of Iran (Tehran: Juni 2008), 2. Lihat
juga dalam Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar,
dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 53.
1
dengan perbedaan suhu yang sangat ekstrim (berkisar pada 46˚C pada musim panas dan
-20˚C pada musim dingin).
Populasi penduduk Iran mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini terlihat
dari hasil sensus pada setiap tahunnya. Sebelum tahun 1987, jumlah penduduknya
adalah sekitar 43.000.000 jiwa.6 Sensus tahun 1996 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Iran adalah 64.000.000 jiwa dengan persebaran Muslim (didominasi oleh
kelompok faham Syi’ah Isna Ash’ariyah dan selebihnya adalah Sunni) sekitar 95,5%, dan
sisanya adalah penganut Kristen, Zoroaster dan Yahudi.7 Berdasarkan hasil sensus tahun
2007, tercatat bahwa jumlah penduduk Iran sekitar 70.400.000 jiwa dengan tingkat
pertumbuhan 0,86% setiap tahunnya.8 Prediksi jumlah penduduk Iran pada Juli 2011
adalah 77.891.220 jiwa dengan angka pertumbuhan 1,248% , komposisinya adalah
Muslim 98% (Shiah 89%, Sunni 9%), sisanya adalah Zoroaster, Yahudi, Kristiani dan Baha'i
sebanyak 2%.9
Mazhab Ja’fari merupakan mazhab dominan di Iran, sementara itu mazhab Hanafi
merupakan minoritas seperti halnya Zoroaster, Baha’i, Kristen dan Yahudi. Agama resmi
yang diakui oleh pemerintah Iran adalah Islam Sunni, Zoroaster, Yahudi dan beberapa
kelompok Kristen.10 Tingginya peningkatan angka populasi masyarakat muslim di Negara
ini bisa menjadi salah satu alasan yang mendukung efektivitas pelaksanaan syari’at Islam
–terlepas dari berbagai perbedaan pendapat—secara utuh dan responsif.
Iran memiliki salah satu peradaban tertua di dunia, kira-kira dimulai sejak tahun
2700 SM, ketika Elamite mengauasai daerah-daerah yang meliputi propinsi Khuzistan
sekarang pada barat daya Iran dan wilayah-wilayah perbatasan utara serta timur. Orangorang Indo-Eropa yang bermigrasi kea rah timur belum mendominasi daaran tinggi Iran
hingga zaman besi, sekitar Tahun 1300 SM.11
Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM. Pada masa itu terdapat 2
kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran. Pada tahun 550 SM,
Cyrus “the Great” berhasil merebut dua kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil
memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid
hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander “the Great” menaklukkan Dinasti Achaemenid.
Pada masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) menjalin hubungan dengan Cina dan
Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (silk road). Pada 220 SM, Dinasti
Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama 4 abad,
seiring dengan memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh
Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam.
Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab,12 Turki dan
Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada
6
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 214.
7
Reeva S. Simon, et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon & Schuster
Macmillan, 1996), jilid-II, 866-868.
8
Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 2.
9
CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011.
10
Undang-undang 1933 berkenaan dengan hak-hak warga negara non-Syi’ah, peradilan
mempergunakan Undang-undang Status Personal yang dapat diberlakukan kepada para pihak yang berperkara
termasuk bagi agama resmi yang diakui oleh negara. Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing
World: A Global Resource Book (London: Zed Book Ltd., 2003), 108.
11
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:
Oxford University Press, 1995), jilid-II, 225.
12
Invansi Arab pada Tahun 637 merupakan saat yang menentukan bagi sejarah Iran. kepercayaan
Zoroaster digantikan dengan ajaran Islam, sebuah agama yang menganut paham monotheistik. Sekalipun
masyarakat Iran menganut ajaran Islam, namun sebagian besar masyarakat mereka tetap mempertahankan adat
dan kebiasaan tradisional mereka. Selama seribu tahun, wilayah Iran menjadi wilayah kekhalifahan. Faham sunni
mendominasi wilayah-wilayah Iran kecuali kota Qum yang merupakan pusat pengikut faham Syi’ah. Homaidi
2
abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang
kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun
kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand (1750-1779) di
Selatan. Di sebelah Utara, Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan
Dinasti Qajar (1785-1925) hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad
Shah. Sejak saat ini, Tehran menjadi ibukota Iran.13 Pada masa ini, para ulama mempunyai
kekuatan yang cukup signifikan.
Dinasti Qajar yang tidak dapat menandingi kekuatan dinasti Savawid, tidak dapat
menahan tekanan militer, ekonomi dan politik asing sehingga mereka tidak mampu
mengatakan tindakan-tindakan zalim yang dilakukan pemerintah. Dinasti ini kemudian
digantikan oleh Dinasti Pahlawi yang didirikan oleh Reza Shah. Kebijakan dinasti Pahlawi
lebih memberikan perhatian kepada usaha-usaha modernisasi, westernisasi, sekularisasi,
integral dan nasionalisme Iran. Mereka melakukan modernisasi seperti yang dilakukan
oleh Mustafa Kemal Ataturk di Turki.14
Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga terjadi
Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Berbagai
peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika Serikat, 1979-1981,
Invasi Irak terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan perang selama 8 tahun (19801988) dan sanksi ekonomi Amerika sejak 1996.
B. REFORMASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN
Iran telah dipimpin oleh serangkaian dinasti selama kurang lebih 2.500 tahun
lamanya. Ajaran Syi’ah menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Safavid (15011722). Peningkatan pengaruh kekuatan asing di wilayah pemerintahan Qajar (1795-1925)
membuka kesempatan terjadinya serangkaian kapitulasi ke orang-orang Eropa --yang
telah diawali oleh orang-orang-orang Rusia pada abad ke-19--.15 Pada tahun 1906,
konstitusi pertama dibentuk. Serangkaian ketentuan hukum --yang berkaitan dengan
tindak kriminal, hak sipil, perdagangan dan juga hukum keluarga-- juga ditetapkan tidak
lama sesudah itu.
Upaya kodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak awal di Iran. Hukum keluarga
Islam pada saat pertama kali dikodifikasikan merupakan bagian dari hukum perdata yang
diundangkan dari tahun 1928-1935 dalam bentuk Iranian Civil Code. Iranian Civil Code
merupakan refleksi kombinasi antara hukum Islam dan yurisprudensi sipil Prancis (terdiri
dari 10 buku, yang terdiri dari beberapa volume dan tersebar dalam lebih dari 1.335
pasal). Pada tahun 1927, Menteri Keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas untuk
menyiapkan draft hukum perdata. Materi ketentuan hukum yang selain hukum keluarga
dan waris diadopsi dari Code Napoleon selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Draft yang disusun oleh komite tersebut setelah ditetapkan disebut dengan Qanun
Madani (Hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara tahun 1928-1935.16
Bagian II Iranian Civil Code yang dibentuk pada tahun 1930, berkaitan dengan 6
buku yang berhubungan dengan beberapa aspek hukum perdata, seperti orang hilang,
Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar, dkk. (Ciputat:
Ciputat Press, 2003), 54.
13
Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 504.
14
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:
Oxford University Press, 1995), jilid-II, 226. Mereka melakukan modernisasi secara borongan terhadap materi
hukum perdata, hukum pidana dan hukum dagang Eropa serta mencontoh model Prancis dalam hal sentralisasi
politik. Pada masa ini, agama Zoroaster dijadikan agama resmi Negara di samping Islam Syi’ah, walaupun
pengikutnya sedikit. Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 506.
15
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108. Lihat juga dalam B. Lewis, C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of
Islam (Leiden: E.J. Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru, 649.
16
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 154.
3
hubungan kekerabatan (nasab), perkawinan dan perceraian, perwalian, ketidakmampuan dan pengampuan.17 Ketentuan mengenai hukum waris diatur dalam pasal 861949. Sementara itu, seluruh buku VII masalah hukum keluarga --yang didasarkan pada
hukum tradisional Syi’ah Isna Asy’ariah (Ja’fari)—yang masih berlaku sampai sekarang
tanpa mengalami perubahan.18
Pada tahun 1936, legislasi menetapkan pendidikan sekuler sebagai sebuah
prasyarat untuk menjadi hakim.19 Perubahan utama yang diperkenalkan adalah dalam
wilayah hukum keluarga pada masa kepemimpinan Reza Shah dengan penerimaan the
Family Protection Act20 (Qanun Himayat Khaneiwada/Undang-undang Perlindungan
Keluarga) 1967 yang diundangkan pada 24 Juni 196721 --yang kemudian mengalami
amandemen penting pada tahun 1975—dengan adanya penghapusan perceraian extrajudicial, keharusan adanya izin Pengadilan terhadap pelaksanaan poligini yang dibatasi
hanya karena kondisi tertentu serta pembanguan Peradilan Agama khusus untuk
penerapan undang-undang status personal yang baru.22
Revolusi 197923 merupakan sebuah akhir dari Dinasti Pahlevi (1925-1979).
Keberhasilan revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khomeini,24 rezim yang baru
mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum di Negara
Iran.25 Sistem hukum Islam akan diberlakukan seluruhnya di Iran. Hukum pidana tahun
1912 dan hukum perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam (pasal
4). Hukum Keluarga 1931-1938 dan Hukum Perlindungan Keluarga 1975 dipandang telah
melewati hukum Islam yang mapan, sehingga dicabut juga. Hukum keluarga yang
dipergunakan dikembalikan pada mazhab mayoritas, Ja’fari Isna ‘Asy’ari (pasal 12) dan
mazhab minoritas, sunni.26
Dewan memberikan kesempatan untuk melakukan peninjauan kembali semua
hukum yang dipakai pada saat itu untuk tujuan Islamisasi sistem hukum dengan fatwa
Ayatollah Khomeini atau yang disebut dengan “hukum transisi”. Sumber hukum adalah
hukum Islam, undang-undang dasar, ketentuan perundang-undangan, sumber hukum
tidak tertulis seperi adat kebiasaan, prinsip-prinsip revolusi, dan lain sebagainya.27
17
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 214. Hal ini dijelaskan dalam Iranian Civil Code 1928-1935, pasal 956-1.256.
18
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 154.
19
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108.
20
Dalam hal ini terjadi perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh beberapa ahli. Pada satu sisi, Qanun
Himayat Khaneiwada diistilahkan dengan The Family Protection Act, dan di sisi lai disebut dengan The Family
Protection Law. Silahkan bandingkan antara Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay:
N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource
Book (London: Zed Book Ltd., 2003).
21
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 155.
22
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108. Lihat juga dalam Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and
Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 216.
23
Sejarah munculnya pergolakan dalam Revolusi Iran tahun 1979 ini melalui serangkain peristiwa
penting yang tidak mungkin dijelaskan dalam bahasan makalah ini. Penjelasan lebih lanjut lihat Jalalad-dine
Madani, Islamic Revolution of Iran (Tehran: International Publishing, 1996), ed-II.
24
Kehadiran Imam Khomaini dengan gagasan revolusinya di tahun 1979 telah membawa perubahan bagi
masyarakat Iran secara menyeluruh. Selain mengakhiri tradisi kerajaan yang telah terjadi selama 2500 tahun
dengan sistem Republik Islam, dia juga membenahi infrastruktur pemerintahan yang mempengaruhi identitas
nasional, sosial, pilitik, dan budaya. Langkah menjunjung tinggi nilai-nilai Islam ini diikuti dengan kebijakan
penutupan klub malam, pelarangan alkohol, perjudian, pornografi, hingga kebijakan yang bersifat sosial seperti
revisi buku, lembaga pendidikan, olahraga dan perfilman.
25
William L. Cleveland, A History of Modern Middle East (San Fransisco: Westview Press, 1994), 410.
26
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 216.
27
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108.
4
C. TINJAUAN FIQIH TERHADAP MATERI HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN
1. Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan, sebelum dilakukan harus dicatatkan pada lembaga yang
berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diberikan hukuman penjara
selama satu hingga enam bulan (the Marriage Law, 1931 article 1). Sebelum
perkawinan dicatatkan, pasangan mempelai harus memperoleh sertifikat kesehatan
dari pihak medis (Production of Medical-Fitness Certificate Law, 1938 article 1).28
Pencatatan perkawinan di sini tidak hanya dibatasi pada perkawinan yang bersifat
permanen. Namun juga terhadap perkawinan yang bersifat mut’ah (sementara),
karena di Iran perkawinan seperti ini diperbolehkan, namun dengan syarat harus jelas
batasan waktu untuk melangsungkan perkawinannya.29
Berkaitan dengan masalah perkawinan yang bersifat sementara ini,
Muhammad Shahrur mempunyai pandangan sendiri. Ia berpendapat bahwa syarat
sahnya perkawinan kontrak –atau dengan istilah “sementara”—adalah bukan seperti
persyaratan perkawinan resmi pada umumnya, karena umumnya tidak bertujuan
untuk menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan keturunan dan
membina keluarga, tapi murni untuk hubungan seksual, dan ia tidak termasuk
kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram.
Ia menambahkan lagi bahwa suatu kondisi atau kasus milk al-yamin
kontemporer, dan ia menyebutnya dengan nama ‘aqd ihsan (perjanjian integritas atau
perjanjian hubungan seks) sebagai ganti dari istilah “perjanjian perkawinan kontrak”
(zawj al-misyar) atau “perkawinan mut’ah” (zawj al-mut’ah).30
Aturan mengenai keharusan mencatatkan perkawinan di Iran hanyalah
bersifat administratif belaka. Hal ini dikarenakan tindakan pengabaian terhadap
pencatatan perkawinan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, hanya saja akan
mendapatkan sanksi hukum. Pembahasan mengenai hal ini tidak begitu banyak
dijumpai dalam literatur fiqih klasik.
Meskipun demikian, penulis mempunyai perspektif sendiri terhadap
pencatatan perkawinan. Ikatan perkawinan, di samping mempunyai nilai religious,
juga berkaitan dengan niali-nilai temporal. Seperti halnya kontrak dalam muamalah,
tidak ada salahnya akad perkawinan itu juga dituliskan sebagaimana layaknya akadakad muamalah lainnya, guna menghindari kemungkinan terjadinya wanprestasi oleh
salah satu pihak juga merupakan bukti otentik bagi pihak yang dilibatkan di
dalamnya, sehingga ia mempunyai kekuatan hukum untuk bertindak secara hukum.
Tidak hanya sampai di situ, pencatatan perkawinan merupakan salah satu
usaha untuk melindungi dan menjaga hak-hak perempuan dalam perkawinan, karena
dari beberapa akibat yang ditimbulkan dari talak akan merugikan pihak perempuan.
Di samping itu, pencatatan perkawinan adalah salah satu cara yang dilakukan oleh
Negara untuk menertibkan dan mengendalikan perkawinan yang terjadi guna
mencapai cita-cita dan tujuan negara yang bersangkutan.
2. Usia Perkawinan
Batasan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan adalah 18 tahun
bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan (Iranian Civil Code, article 1.401).
Menikahi orang-orang yang berada di bawah batas usia minimum pernikahan
mendapat sanksi. Bagi seseorang yang mengawinkan seseorang yang berada di
28
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 155.
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109.
30
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Mustofa Acep (Yogyakarta:
eLSAQ, 2004), 436. Bandingkan dengan Hammudah ‘Abd al-Ati, The Family Structure in Islam (Maryland: American
Trust Publications, 1977), 101-103.
29
5
bawah usia minimum31 akan mendapat sanksi berupa dipenjara selama enam bulan
hingga dua Tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah usia 13 tahun,
maka pihak yang mengawinkannya dapat dipenjara selama dua sampai tiga tahun. Di
samping itu, bagi pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan tersebut dapat
dikenai denda senilai 2-20 riyal (Family Law 1931-1937, article 3).
Secara sederhana, hal ini lebih ditekankan kepada wali yang menikahkan
wanita yang berada di bawah perwaliannya. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa
pendapat dalam fiqih yang mengkaji hal ini. Pelaksanaan perkawinan bagi mereka
yang berada di bawah batas usia adalah hak walinya. Penentuan batasan usia
minimal dalam perkawinan tidak disebutkan dalam ayat al-Qur’an secara jelas.
Demikian juga halnya dengan hadits Nabi SAW yang tidak pernah merincikan batasan
usia minimal dalam perkawinan. Bahkan Nabi SAW sendiri menikahi ‘Aisyah saat pada
usia 6 tahun dan menggaulinya pada usia 9 tahun. Dasar permikiran tidak adanya
batasan umur mengenai perkawinan, kiranya sesuai dengan pandangan umat Islam
pada masa itu tentang hakikat perkawinan. Menurut mereka, perkawinan itu tidak
dilihat dari segi hubungan kelamin, namun lebih dititikberatkan dalam usaha
menciptakan hubungan mushaharah.32
Usia minimum kebolehan melaksanakan perkawinan menurut mazhab Ja’fari
–mazhab dominan di Iran--, seorang wanita dipandang dewasa –dan oleh karenanya
dapat melangsungkan perkawinan—jika telah berumur 15 tahun bagi laki-laki dan 9
tahun bagi wanita. Mazhab Ja’fari juga berpandangan bahwa sorang wali boleh
mengawinkan anak di bawah umur.33
Meskipun secara terang-terangan Alquran34 dan hadits Nabi tidak
memberikan batasan yang jelas, namun dari isyarat secara tidak langsung sudah ada
di dalamnya. Ikatan perkawinan35 akan menimbulkan hak dan kewajiban secara
timbal balik. Adanya hak dan kewajiban tersebut mengindikasikan bahwa pelakunya
diharuskan sudah dewasa. Untuk menetapkan konteks “dewasa” ini, terdapat
perbedaan. Terlepas dari konsep yang diberikan oleh para ulama, perbedaan ini juga
dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, kebudayaan, tingkat kecerdasan suatu
komunitas dan beberapa faktor pendukung lainnya.36
Menurut analisis penulis, tiungkatan mampu atau baligh di sini dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu secara biologis dan fisiologis. Secara biologis, bagi seorang
perempuan yang telah mengalami haid untuk pertama kalinya, sementara itu bagi
laki-laki apabila ia telah mengalami mimpi basah, maka ia secara biologis dapat
dikategorikan sebagai orang yang telah baligh. Konsep baligh seperti ini akan sangat
berbeda pada setiap Negara, tergantung pada kodisi perkembangan tekonologi yang
mempengaruhi pertumbuhan biologis masyarakat. Baligh secara psikologis bersifat
31
Fiqih dan Undang-undang selalu mencantumkan bahasan mengenai batasan usia dalam penikahan
guna memenuhi persyaratan mumayyiz sebagai salah satu syarat dalam perkawinan. Muhammad Amin Suma,
Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 54.
32
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 66.
33
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999),
316-318.
34
Lihat al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 6. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa untuk kawin
itu ada batasan umur. Batasan umur tersebut adalah baligh.
35
Dalam konteks ini penulis ingin mengajak kita semua kembali merujuk kepada defenisi perkawinan.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam al-Ahwal al-Syakhshiyyah, disebutkan bahwa
perkawinan adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin, bersenang-senang, saling tolong menolong dan
di antara laki-laki dan perempuan, dan diantara mereka terdapat hak-hak dan kewajiban tertentu. Walaupun
demikian, ketiadaan batasan pasti mengenai umur minimal dalam pernikahan ini mempunyai beberapa hikmah
akan dinamisasi penerapan hukum Islam pada masyarakat sosial yang beragam, kebutuhan akan integrasi sosial
dan tingginya nilai kemurnian seksual serta keperawanan. Lihat dalam Hammudah ‘Abd al-Ati, The Family
Structure in Islam (Maryland: American Trust Publications, 1977), 76.
36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 68.
6
relatif. Kedewasaan secara psikologis perempuan dipengaruhi berbagai faktor.
Berhubung dengan hal ini, penulis lebih cenderung berpendapat bahwa kategori
baligh yang memungkinkan untuk melakukan pernikahan adalah apabila ia telah
baligh secara dua sudut pandang tersebut, baik secara biologis dan juga secara
psikologis. Alasan penulis adalah, baligh secara biologis akan mendukung
tercapainya salah satu tujuan perkawinan yaitu tanasul (untuk berketurunan).
Sementara itu, baligh secara psikologis akan menunjang kemampanan dan
kedewasaan pemikiran seseorang dalam mengarungi bahtera rumah tangga
nantinya.
Dengan demikian, ancaman hukuman dan sanksi bagi wali yang
mengawinkan anak bawah umur merupakan suatu terobosan pembaharuan hukum
keluarga Islam di Iran yang bersifat administratif,37 namun bertujuan untuk menjaga
kelangsungan hubungan perkawinan yang nantinya akan dijalani oleh anak
perempuannya.
3. Perjanjian Kawin
Pasangan yang hendak melakukan perkawinan boleh membuat perjanjian
dalam akad perkawinan, selama tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan.
Perjanjian tersebut dapat dibuat di bawah perlindungan Pengadilan (Marriage Law,
article 4).
Sebagian besar literatur fiqih klasik tidak memberikan pembahasan inten
terhadap perjanjian perkawinan. Pembahasan fiqih cenderung pada persyaratan
dalam perkawinan. Perjanjian merupakan bahagian yang terpisah dari akad
perkawinan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian perkawinan dilalaikan
oleh salah satu pihak, tidak berarti akad perkawinan batal. Menurut mazhab Ja’fari,
syarat yang dianggap gugur di luar akad nikah dapat menggugurkan akad nikah.
Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dapat menggugurkan akad
nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak
berlakunya semua dampak semua akad yang bertentangan dengan wataknya
sendiri.38
Pada dasarnya, kedua belah pihak wajib menepati janji perkawinan
kendatipun materinya tidak dituliskan dalam materi-materi akad. Oleh karena itu,
kealpaan salah satu pihak untuk menunaikannya, baik secara menyeluruh ataupun
parsial, mengakibatkan adanya tuntutan perceraian.39 Namun, pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinannya.40
4. Poligami
Sorang laki-laki yang hendak berpoligami wajib memberitahukan kepada
calon istrinya itu tentang statusnya. Pelangaran terhadap ketentuan ini dapat
dikenakan sanksi (Marriage Law, 1931 article 6). Efektivitas regulasi ini dijelaskan
lebih lanjut dalam The Family Protection Act, bahwa setiap orang yang hendak
berpoligami harus mendapatkan izin dari istri dan apabila ketentuan ini dilanggar,
maka istri boleh mengadukan kasus ini ke Pengadilan (The Family Protection Act,
1967 article 11 [c]).
Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar,
dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 60.
38
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999),
319-320.
39
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 436.
40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 146.
37
7
Suami juga harus mendapatkan izin resmi dari Pengadilan. Sebelum
memberikan izin, pihak Pengadilan terlebih dahulu akan melakukan pemeriksaan
terhadap kapasitas dan kapabilitas suami –baik dari segi materi maupun keadilannya- jika seandainya ia berpoligami. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dikenakan
sanksi hukuman kurungan selama enam bulan sampai dua tahun (The Family
Protection Act, 1967 article 14).
Kajian fiqih cukup memberikan sorotan dalam terhadap poligami. Menurut
Muhammad ‘Abduh, keizinan berpoligami sebagaimana yang dijelaskan dalam alQur’an surat al-Nisa [4] ayat 3 telah dibatasi dengan penjelasan dalam al-Qur’an itu
sendiri, surat al-Nisa [4] ayat 129. Dengan demikian, ideal sebuah perkawinan
Berdasarkan al-Qur’an adalah menggunakan asas monogami. Lebih dari itu, syarat
yang diajukan kepada suami agar sanggup untuk berlaku adil terhadap para istri
adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasikan
sepenuhnya.41
Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan
cukup masuk akal, menyatakan bahwa al-Qur’an tidak dapat begitu saja dianggap
bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat
poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh
suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.
Hal yang signifikan dalam poligami adalah keharusan adanya izin dari pihak
istri. Keharusan adanya persetujuan istri terdahulu dan izin dari Pengadilan dapat
dikategorikan sebagai suatu terobosan pembaharuan hukum Islam yang tidak hanya
bermuatan administratif belaka karena pada satu sisi pihak yang melakukan
pelanggaran hanya akan mendapat sanksi tertentu dengan tidak mempengaruhi
keabsahan perkawinan yang terjadi. Lebih dari itu, usaha ini merupakan salah satu
cara untuk menjamin kesejahteraan istri dalam menjalankan ikatan perkawinannya.
5. Nafkah Keluarga
Suami berkewajiban menafkahi istrinya, baik dari segi pangan, sandang,
pakaian dan barang-barang kebutuhan rumah tangga dengan layak. Apabila suami
tidak sanggup menyediakan nafkah tersebut, maka istri berhak mengajukannya ke
Pengadilan. Pengadilan selanjutnya akan memerintahkan suami untuk memberikan
nafkah wajib keada istrinya. Apabila suami tidak mematuhi perintah Pengadilan,
maka istri berhak mengajukan perceraian ke Pengadilan (the Family Protection Act,
1967 article 10). Pada perkawinan yang bersifat sementara, istri hanya berhak
mendapatkannya apabila hal ini dimasukkan dalam materi persyaratan dalam
perkawinan.42
Suami boleh menolak hak istrinya untuk bekerja ada beberapa profesi yang
“tidak sesuai dengan kepentingan keluarga atau dengan martabat dirinya sendiri
sebagai perempuan dan sebagai seorang istri”. Penolakan seorang istri untuk tidak
melakukan hubungan suami istri dengan alasan suami mengidap penyakit tidaklah
dipandang sebagai sebuah ketidak-patuhan.43
Ketentuan ini sesuai dengan konsep nafkah dalam mazhab Ja’fari44 –yang
merupakan mazhab dominan dan diberlakukan di Iran—tanpa ada kontroversi
lainnya. Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang berlaku
41
John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982), 93.
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109.
43
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109.
44
Untuk lebih jelasnya, silahkan baca Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa
Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999), 492-493.
42
8
dalam fiqh didasarkan kepada adanya pemisahan harta antara suami dan istri,
sehingga pembebanan biaya kehidupan rumah tangga adalah tanggung jawab suami
sebagai imam dan kepala rumah tangga.
Sebagai bahan perbandingan, fiqh mazhab Maliki menyatakan bahwa nafkah
wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baligh45. Pandangan ini
berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i46 yang
tidak mensyaratkan agar suami harus baligh.47 Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pembahasan mengenai nafkah adalah suatu hal yang sangat
penting, sehingga seandainya saja suami melalaikan kewajibannya dalam hal nafkah,
maka istri mempunyai hak untuk mengajukan perceraian.
6. Perceraian
The Family Protection Act di Iran telah mengalami reformasi hukum yang
tidak saja bersifat parsial pada bagian administratif, namun juga memasuki wilayah
materi hukumnya. Hal ini terlihat dengan adanya penghapusan kewenangan suami
untuk mengikrarkan talak secara sepihak.48 Setiap perceraian, apapun bentuknya
harus didahului dengan adanya permohonan pada Pengadilan agar mengeluarkan
sertifikat “impossibility of reconciliation” (tidak dapat rukun kembali). Pihak
Pengadilan baru akan mengeluarkan sertifikat tersebut setelah berusaha melakukan
usaha damai –bahkan jika perlu harus dilakukan mediasi—dan ternyata tidak berhasil
menemukan jalan damai (the Family Protection Act, 1967 article 8).
Untuk sampai pada kesimpulan mengeluarkan sertifikat “impossibility of
reconciliation”, Pengadilan harus mempertimbangkan beberapa alasan berikut :
a. Penyakit gila yang diderita oleh salah satu pasangan, baik gila yang bersifat
permanen atau sementara namun berulang kali (Iranian Civil Code, 1935 article
1.121) ;
b. Suami menderita penyakit impotensi, pengebirian atau alat vitalnya diamputasi
(Iranian Civil Code, 1935 article 1.122) ;
c. Istri tidak mungkin melahirkan, menderita cacat seksual, lera atau kedua
matanya buta (Iranian Civil Code, 1935 article 1.123) ;
d. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun (the Family Protection Act, 1967
article 11) ;
e. Suami atau istri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang
diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangga (the Family
Protection Act, 1967 article 11) ;
f. Seorang laki-laki berpoligami tanpa persetujuan istrinya (the Family Protection
Act, 1967 article 11) ;
g. Salah satu pihak mengkhianati pihak lain (the Family Protection Act, 1967 article
11) ;
h. Kesepakatan suami istri untuk bercerai (the Family Protection Act, 1967 article 9) ;
45
Sumber perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh mengenai kewajiban nafkah ini adalah perbedaan
prespektif dalam melihat: apakah nafkah itu menjadi wajib karena akad nikah atau karena usaha dalam
pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2007), 168.
46
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib member nafkah
apabila istri telah dewasa. Tetapi, apabila suami telah dewasa sementara istri belum, Imam Syafi’i mempunyai dua
pendapat dalam hal ini. Pertama, sama dengan pendapat Malik, kedua, istri berhak mendapat nafkah betapapun
juga keadaanya. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 519.
47
Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,
782.
48
Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New York: I.B. Tauris & Co. Ltd.,
2000), 54.
9
i.
j.
Adanya perjanjian dalam akad perkawinan berkaitan dengan pemberian
kewenangan kepada istri untuk menceraikan diri karena kondisi tertentu (the
Family Protection Act, 1967 article 10) ;
Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum tetap karena telah
melakukan perbuatan yang telah mencoreng kehormatan keluarga (the Family
Protection Act, 1967 article 11).
Regulasi mengenai talak di Iran sangat dipengaruhi oleh fiqh klasik Syi’ah,
yang mengharuskan adanya formulasi tertentu dan dua orang saksi laki-laki.
Formulasi perceraian bersyarat dianggap tidak sah. Amandemen tahun 1992
menetapkan bahwa pendaftaran perceraian tanpa disertai dengan sertifikat dari
Pengadilan dianggap illegal.
Sebuah amandemen hukum pada tahun 1992 (Amandements Divorce
Regulations 1992)49 memperluas akses untuk terjadinya perceraian di antara
pasangan suami istri dengan beberapa alasan tambahan sebagai berikut:50
a. Suami tidak menafkahi istri selama lebih dari enam bulan tanpa disertai dengan
alasan tertentu;
b. Suami bertingkah laku buruk dan tidak mampu melindungi istri dengan baik, dan
lain sebagainya sehingga tidak memungkinkan untuk tetap melanjutkan
kehidupan rumah tangga;
c. Suami menderita penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan dan
ditakutkan akan membahayakan istrinya;
d. Suami gila sehingga tidak memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan
sesuai dengan syari’at;
e. Suami tidak mematuhi perintah Pengadilan untuk menghindari tindakan yang
merendahkan diri dan pekerjaan yang hina;
f. Suami dihukum selama 5 tahun atau lebih;
g. Suami mengalami kecanduan narkoba sehingga akan membahayakan keluarga
dan perkawinannya;
h. Suami mengkhianati atau meninggalkan kediaman bersama tanpa alasan yang
sah –sebagaimana yang ditentukan oleh Pengadilan— ;
i. Suami melakukan tindakan kriminal sehingga mencoreng nama baik keluarga –
pertimbangannya diserahkan pada Pengadilan-- ;
j. Suami mandul selama 5 tahun perkawinan atau ia mengidap penyakit kelamin
yang akut;
k. Suami menghilang selama enam bulan;
l. Suami melakukan poligami tanpa izin istri terdahulunya, jika Pengadilan
mempertimbangkan perlakuannya tidak seimbang.
Pada dasarnya, perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang menjunjung
nilai sakralitas tinggi, dan juga di dalamnya terdapat aspek-aspek kemanusiaan dan
kemasyarakatan selama pasangan itu menempuh kehidupan bersama. Kedua belah
pihak wajib menepati perjanjian tersebut dan keduanya dinyatakan sah sebagai suami
istri. Kelapaan salah satu pihak untuk menunaikan perjanjian tersebut baik secara
49
Ziba Mir-Hosseini, Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (New Jersey: 1999,
Princeton), 8.
50
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109. Lihat juga dalam Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New
York: I.B. Tauris & Co. Ltd., 2000), 57-58.
10
keseluruhan ataupun sebagian, berakibat pada adanya tuntutan perceraian, karena
telah melanggar dan melalaikan perjanjain dengan Allah SWT.51
Berkaitan dengan masalah harta dalam perkawinan, apabila terjadi
perceraian maka istri berhak atas setengah harta suaminya apabila Pengadilan
menyimpulkan bahwa perceraian itu adalah inisiatif suami dan tidak ditemukan
kesalahan yang dibuat oleh istri. Amandemen 1992 juga menetapkan adanya
perluasan hak finansial istri sebagai akibat adanya perceraian, dari nafkah selama
masa iddah dan penundaan pembayaran maharnya sampai pada penuntutan
pembayaran jasa pelayanan rumah tangga yang diberikan suaminya selama berumah
tangga, walaupun ukurannya sulit untuk diaplikasikan, sebagiannya dikarenakan
kesulitan dalam menaksir gaji pembantu rumah tangga.52
Berdasarkan konsep fiqih kalangan Syi’ah, sebuah perceraian dapat terjadi
dalam beberapa bentuk. Bentuk yang paling sering terjadi adalah bentuk perceraian
yang bisa dirujuki (talaq raj’iy). Perceraian merupakan salah satu jalan keluar yang
bisa menjadi pilihan akhir bagi rumah tangga yang sudah tidak bisa dipertahankan
lagi. Eksistensi dan ketiadaan pada kondisi tertentu pada kontrak perkawinan
memberikan pilihan bagi pasangan suami istri untuk membatalkan kontrak
perkawinan mereka.53
Kecenderungan adanya begitu banyak alasan tambahan dalam perceraian di
Iran pada dasarnya didorong oleh beberapa faktor seperti adanya determinasi hukum
Negara, kondisi biologis dan lain sebagainya.54
7. Arbitrator (Juru Damai)
Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga kepada
arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus yang
berkaitan dengan masalah validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang
berbelit-belit, akan ditangani sendiri oleh Pengadilan, tidak diserahkan kepada arbiter
(the Family Protection Act, 1967 article 6).
Dalam tahapan selanjutnya, arbitrator akan berusaha mendamaikan kembali
pasangan yang bersengketa tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
Pengadilan. Hasilnya nanti akan diserahkan kepada Pengadilan guna ditindak-lanjuti.
Apabila arbiter tidak bisa menyerahkan hasil arbitrasi dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka Pengadilan akan mengambil alih perkara tersebut (the Family
Protection Act, 1967 article 7).
Ulama sependapat bahwa mengirim juru damai itu diperbolehkan seandainya
terjadi perselisihan di antara suami istri tanpa diketahui penyebabnya. Juru damai
yang dikirim itu berasal dari keluarga suami istri yang bersangkutan. Para fuqaha juga
sependapat bahwa seandainya di antara kedua juru damai itu berselisih pendapat,
maka pendapat keduanya tidak dilaksanakan.
Fuqaha berselisih pendapat berkaitan dengan usulan juru damai yang hendak
memisahkan pasangan suami istri tersebut. Apakah inisiatif ini harus berdasarkan
51
Secara sederhana Muhammad Shahrur menguraikan bentuk perjanjian tersebut sebagai berikut:
perjanjian untuk saling jujur satu sama lainnya; perjanjian untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mengkhianati
perkawinan; perjanjian untuk saling menjaga di antara keduanya dari segi apapun; perjanjian untuk saling menjaga
anak keturunan nantinya; dan perjanjian untuk saling memberikan dan memelihara serta menjaga privasi masingmasing dari orang lain. Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2004), 439.
52
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 110.
53
Shahla Haeri, “Divorce in Contemporary Iran: a Male Prerogative in-Self Will”, Islamic Family Law, eds.
Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited, 1990), 55-69
54
Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan baca Shahla Haeri, “Divorce in Contemporary Iran: a Male
Prerogative in-Self Will”, Islamic Family Law, eds. Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited,
1990), 55-69.
11
persetujuan suami atau tidak. Imam Malik beserta pengikutnya berpendapat bahwa
pemisahan berdasarkan kesepakatan juru damai tidak membutuhkan persetujuan
suami terlebih dahulu. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menolaknya
dengan alasan bahwa hak talak berada di tangan suami, atau pada orang yang
diberikan kuasa untuk melakukannya.55
Ide pelaksanaan arbitrase dengan menggunakan juru damai di Iran sangat
brilian. Hal ini terlihat dengan adanya kesesuaian konsep yang dijelaskan dalam
regulasinya dengan ketentuan yang dibahas dalam kajian fiqh. Di samping itu,
kegagalan usaha damai yang dilakukan oleh juru damai tidak berakibat pada
pemutusan hubungan perkawinan, namun dalam tahapan selanjutnya akan dianalisis
dan dipertimbangan oleh hakim pada Pengadilan. Setelah melewati serangkaian
proses di Pengadilan, pengadilan hanya akan mengeluarkan sertifikat “ketidakmungkinan berdamai” dan inisiatif dari pihak suami-lah untuk mendaftarkan
perceraiannya pada lembaga yang bersangkutan.
D. KESIMPULAN
Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan dinamis.
Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Demikian juga
halnya dengan materi yang dikandung di dalamnya. Pada awalnya dideterminasi oleh
mazhab sunni, kemudian mengalami integrasi dengan beberapa regulasi Prancis yang
pada akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah yang memang merupakan
mazhab mayoritas warga Negara. Puncak revolusi hukum keluarga di Iran adalah
terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan keinginan untuk
kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum dengan tidak
mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Setelah terjadinya Revolusi di Iran pada tahun 1979, the Family Protection Act
yang membatasi kesewenang-wenangan laki-laki dalam hal perceraian beserta lembaga
pengadilannya telah dihapus, karena pada dasarnya hal ini kontradiksi dengan syari’at.
Amandemen terhadap Divorce Regulation pada tahun 1992, sejatinya merupakan upaya
pengembalian beberapan unsur yang ditolak dalam The Family Protection Act, meskipun
berada dalam sebuah logika hukum yang berbeda.
Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak
Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang
tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan -bernama
Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat
respek terhadap kepentingan perempuan.
Secara keseluruhan, beberapa terobosan baru dalam hukum keluarga Iran
merupakan salah satu upaya dalam menjaga harkat dan martabat kaum perempuan. Hal
terlihat dalam beberapa regulasi yang cenderung lebih memihak dan melindungi hak-hak
perempuan.
55
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid-II, 625-
626.
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito
(Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid-II
al-Ati, Hammudah ‘Abd, The Family Structure in Islam (Maryland: American Trust Publications,
1977)
al-Baghdadi, Abdul Wahab, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), juz II
CIA,
“Islamic
Republic
of
Iran”,
The
World
Factbook,
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html,
dalam
Cleveland, William L., A History of Modern Middle East (San Fransisco: Westview Press, 1994)
Esposito, John L., Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982)
Haeri, Shahla, “Divorce in Contemporary Iran: a Male Prerogative in-Self Will”, Islamic Family
Law, eds. Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited, 1990)
Hamid, Homaidi, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’
Muzdhar, dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003)
Lewis, B., C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J.
Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru
Madani, Jalalad-dine, Islamic Revolution of Iran (Tehran: International Publishing, 1996), ed-II.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis
(New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987)
______________, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd.,
1972)
Mir-Hosseini, Ziba, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New York: I.B. Tauris & Co.
Ltd., 2000)
______________, Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (New Jersey:
1999, Princeton)
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera,
1999)
an-Na’im, Abdullahi A., Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book
(London: Zed Book Ltd., 2003)
Peretz, Don, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986)
Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
13
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Mustofa Acep
(Yogyakarta: eLSAQ, 2004)
Simon, Reeva S., et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon &
Schuster Macmillan, 1996), jilid-II
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo,
2005)
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)
UN Residence Coordinator Office, Past-Reports of Islamic Republic of Iran (Tehran: Juni 2008)
14
HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN
Oleh: Aulia Rahmat1
[email protected]
ABSTRAK
Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan dinamis.
Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Diawali oleh
determinasi mazhab sunni hingga integrasi dengan beberapa regulasi Prancis dan pada
akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah. Puncak revolusi hukum keluarga di
Iiran adalah terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan
keinginan untuk kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum
dengan tidak mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat,
asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Pengakuan atas hak dan martabat
perempuan di Iran sudah ada sejak Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan
oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama
perempuan -bernama Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang
dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan.
Keyword : Hak Perempuan, Reformasi Hukum, Iran
A. SEKILAS TENTANG REPUBLIK ISLAM IRAN
Orang-orang sering menyebut negerinya “Iran” (negeri Arya atau masyarakat
termasyhur), sementara orang luar –dalam waktu yang sama—menyebutnya Persia yang
menunjuk pada Pars –sekarang Fars—wilayah bagian selatan Iran. Nama Persia bertahan
sampai sampai tahun 1935,2 ketika Pemerintah Tehran secara resmi meminta
masyarakat dunia menggunakan nama Iran.3
Republik Islam Iran berada di regional Asia Barat –atau yang dikenal juga dengan
istilah Timur Tengah-- dengan luas wilayah sekitar 1.648.000 km2 yang menempati
urutan ke-18 dalam daftar Negara terluas di dunia.4 Negara ini berbatasan dengan
Afganistan (sepanjang 936 km), Armenia (sepanjang 35 km), Azerbaijan –termasuk
Naxcivan daerah kantong Azerbaijan-- (sepanjang 611 km), Irak (sepanjang 1.458 km),
Pakistan (sepanjang 909 km), Turki (sepanjang 499 km) dan Turkmenistan (992 km).
Garis pantai Iran adalah 2.440 km dan mencakup 740 km di Laut Kaspia.5 Iran terletak
pada koordinat 25˚-40˚ LU dan 44˚-64˚ BT, menjadikan negara ini mempunyai 4 iklim
1
Penulis adalah Tenaga Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dan Sekolah Tinggi
Agama Islam Solok Nan Indah (STAI SNI) Kota Solok.
2
CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011. Bangsa
Iran berasal dari ras Arya yang merupakan salah satu dari Indo-European. Migrasi suku Arya ke wilayah Asia kecil
dan India dimulai sejak tahun 2500 SM. Lihat dalam: Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik
Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 3.
3
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:
Oxford University Press, 1995), jilid-II, 224.
4
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 214. Dalam beberapa referensi lain, luas wilayah dinyatakan lebih sepesifik
seluas 1.648.195 km2 dengan perincian 1.531.595 km2 daratan dan 116.600 km2 lautan. Lihat CIA, “Islamic
Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam https://www.cia.gov/library/publications/theworld-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011. Lihat juga dalam Kedutaan Besar RI Tehran – Iran,
Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 2.
5
UN Residence Coordinator Office, Past-Reports of Islamic Republic of Iran (Tehran: Juni 2008), 2. Lihat
juga dalam Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar,
dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 53.
1
dengan perbedaan suhu yang sangat ekstrim (berkisar pada 46˚C pada musim panas dan
-20˚C pada musim dingin).
Populasi penduduk Iran mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini terlihat
dari hasil sensus pada setiap tahunnya. Sebelum tahun 1987, jumlah penduduknya
adalah sekitar 43.000.000 jiwa.6 Sensus tahun 1996 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Iran adalah 64.000.000 jiwa dengan persebaran Muslim (didominasi oleh
kelompok faham Syi’ah Isna Ash’ariyah dan selebihnya adalah Sunni) sekitar 95,5%, dan
sisanya adalah penganut Kristen, Zoroaster dan Yahudi.7 Berdasarkan hasil sensus tahun
2007, tercatat bahwa jumlah penduduk Iran sekitar 70.400.000 jiwa dengan tingkat
pertumbuhan 0,86% setiap tahunnya.8 Prediksi jumlah penduduk Iran pada Juli 2011
adalah 77.891.220 jiwa dengan angka pertumbuhan 1,248% , komposisinya adalah
Muslim 98% (Shiah 89%, Sunni 9%), sisanya adalah Zoroaster, Yahudi, Kristiani dan Baha'i
sebanyak 2%.9
Mazhab Ja’fari merupakan mazhab dominan di Iran, sementara itu mazhab Hanafi
merupakan minoritas seperti halnya Zoroaster, Baha’i, Kristen dan Yahudi. Agama resmi
yang diakui oleh pemerintah Iran adalah Islam Sunni, Zoroaster, Yahudi dan beberapa
kelompok Kristen.10 Tingginya peningkatan angka populasi masyarakat muslim di Negara
ini bisa menjadi salah satu alasan yang mendukung efektivitas pelaksanaan syari’at Islam
–terlepas dari berbagai perbedaan pendapat—secara utuh dan responsif.
Iran memiliki salah satu peradaban tertua di dunia, kira-kira dimulai sejak tahun
2700 SM, ketika Elamite mengauasai daerah-daerah yang meliputi propinsi Khuzistan
sekarang pada barat daya Iran dan wilayah-wilayah perbatasan utara serta timur. Orangorang Indo-Eropa yang bermigrasi kea rah timur belum mendominasi daaran tinggi Iran
hingga zaman besi, sekitar Tahun 1300 SM.11
Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM. Pada masa itu terdapat 2
kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran. Pada tahun 550 SM,
Cyrus “the Great” berhasil merebut dua kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil
memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid
hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander “the Great” menaklukkan Dinasti Achaemenid.
Pada masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) menjalin hubungan dengan Cina dan
Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (silk road). Pada 220 SM, Dinasti
Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama 4 abad,
seiring dengan memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh
Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam.
Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab,12 Turki dan
Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada
6
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 214.
7
Reeva S. Simon, et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon & Schuster
Macmillan, 1996), jilid-II, 866-868.
8
Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 2.
9
CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011.
10
Undang-undang 1933 berkenaan dengan hak-hak warga negara non-Syi’ah, peradilan
mempergunakan Undang-undang Status Personal yang dapat diberlakukan kepada para pihak yang berperkara
termasuk bagi agama resmi yang diakui oleh negara. Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing
World: A Global Resource Book (London: Zed Book Ltd., 2003), 108.
11
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:
Oxford University Press, 1995), jilid-II, 225.
12
Invansi Arab pada Tahun 637 merupakan saat yang menentukan bagi sejarah Iran. kepercayaan
Zoroaster digantikan dengan ajaran Islam, sebuah agama yang menganut paham monotheistik. Sekalipun
masyarakat Iran menganut ajaran Islam, namun sebagian besar masyarakat mereka tetap mempertahankan adat
dan kebiasaan tradisional mereka. Selama seribu tahun, wilayah Iran menjadi wilayah kekhalifahan. Faham sunni
mendominasi wilayah-wilayah Iran kecuali kota Qum yang merupakan pusat pengikut faham Syi’ah. Homaidi
2
abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang
kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun
kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand (1750-1779) di
Selatan. Di sebelah Utara, Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan
Dinasti Qajar (1785-1925) hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad
Shah. Sejak saat ini, Tehran menjadi ibukota Iran.13 Pada masa ini, para ulama mempunyai
kekuatan yang cukup signifikan.
Dinasti Qajar yang tidak dapat menandingi kekuatan dinasti Savawid, tidak dapat
menahan tekanan militer, ekonomi dan politik asing sehingga mereka tidak mampu
mengatakan tindakan-tindakan zalim yang dilakukan pemerintah. Dinasti ini kemudian
digantikan oleh Dinasti Pahlawi yang didirikan oleh Reza Shah. Kebijakan dinasti Pahlawi
lebih memberikan perhatian kepada usaha-usaha modernisasi, westernisasi, sekularisasi,
integral dan nasionalisme Iran. Mereka melakukan modernisasi seperti yang dilakukan
oleh Mustafa Kemal Ataturk di Turki.14
Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga terjadi
Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Berbagai
peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika Serikat, 1979-1981,
Invasi Irak terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan perang selama 8 tahun (19801988) dan sanksi ekonomi Amerika sejak 1996.
B. REFORMASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN
Iran telah dipimpin oleh serangkaian dinasti selama kurang lebih 2.500 tahun
lamanya. Ajaran Syi’ah menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Safavid (15011722). Peningkatan pengaruh kekuatan asing di wilayah pemerintahan Qajar (1795-1925)
membuka kesempatan terjadinya serangkaian kapitulasi ke orang-orang Eropa --yang
telah diawali oleh orang-orang-orang Rusia pada abad ke-19--.15 Pada tahun 1906,
konstitusi pertama dibentuk. Serangkaian ketentuan hukum --yang berkaitan dengan
tindak kriminal, hak sipil, perdagangan dan juga hukum keluarga-- juga ditetapkan tidak
lama sesudah itu.
Upaya kodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak awal di Iran. Hukum keluarga
Islam pada saat pertama kali dikodifikasikan merupakan bagian dari hukum perdata yang
diundangkan dari tahun 1928-1935 dalam bentuk Iranian Civil Code. Iranian Civil Code
merupakan refleksi kombinasi antara hukum Islam dan yurisprudensi sipil Prancis (terdiri
dari 10 buku, yang terdiri dari beberapa volume dan tersebar dalam lebih dari 1.335
pasal). Pada tahun 1927, Menteri Keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas untuk
menyiapkan draft hukum perdata. Materi ketentuan hukum yang selain hukum keluarga
dan waris diadopsi dari Code Napoleon selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Draft yang disusun oleh komite tersebut setelah ditetapkan disebut dengan Qanun
Madani (Hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara tahun 1928-1935.16
Bagian II Iranian Civil Code yang dibentuk pada tahun 1930, berkaitan dengan 6
buku yang berhubungan dengan beberapa aspek hukum perdata, seperti orang hilang,
Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar, dkk. (Ciputat:
Ciputat Press, 2003), 54.
13
Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 504.
14
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:
Oxford University Press, 1995), jilid-II, 226. Mereka melakukan modernisasi secara borongan terhadap materi
hukum perdata, hukum pidana dan hukum dagang Eropa serta mencontoh model Prancis dalam hal sentralisasi
politik. Pada masa ini, agama Zoroaster dijadikan agama resmi Negara di samping Islam Syi’ah, walaupun
pengikutnya sedikit. Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 506.
15
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108. Lihat juga dalam B. Lewis, C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of
Islam (Leiden: E.J. Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru, 649.
16
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 154.
3
hubungan kekerabatan (nasab), perkawinan dan perceraian, perwalian, ketidakmampuan dan pengampuan.17 Ketentuan mengenai hukum waris diatur dalam pasal 861949. Sementara itu, seluruh buku VII masalah hukum keluarga --yang didasarkan pada
hukum tradisional Syi’ah Isna Asy’ariah (Ja’fari)—yang masih berlaku sampai sekarang
tanpa mengalami perubahan.18
Pada tahun 1936, legislasi menetapkan pendidikan sekuler sebagai sebuah
prasyarat untuk menjadi hakim.19 Perubahan utama yang diperkenalkan adalah dalam
wilayah hukum keluarga pada masa kepemimpinan Reza Shah dengan penerimaan the
Family Protection Act20 (Qanun Himayat Khaneiwada/Undang-undang Perlindungan
Keluarga) 1967 yang diundangkan pada 24 Juni 196721 --yang kemudian mengalami
amandemen penting pada tahun 1975—dengan adanya penghapusan perceraian extrajudicial, keharusan adanya izin Pengadilan terhadap pelaksanaan poligini yang dibatasi
hanya karena kondisi tertentu serta pembanguan Peradilan Agama khusus untuk
penerapan undang-undang status personal yang baru.22
Revolusi 197923 merupakan sebuah akhir dari Dinasti Pahlevi (1925-1979).
Keberhasilan revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khomeini,24 rezim yang baru
mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum di Negara
Iran.25 Sistem hukum Islam akan diberlakukan seluruhnya di Iran. Hukum pidana tahun
1912 dan hukum perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam (pasal
4). Hukum Keluarga 1931-1938 dan Hukum Perlindungan Keluarga 1975 dipandang telah
melewati hukum Islam yang mapan, sehingga dicabut juga. Hukum keluarga yang
dipergunakan dikembalikan pada mazhab mayoritas, Ja’fari Isna ‘Asy’ari (pasal 12) dan
mazhab minoritas, sunni.26
Dewan memberikan kesempatan untuk melakukan peninjauan kembali semua
hukum yang dipakai pada saat itu untuk tujuan Islamisasi sistem hukum dengan fatwa
Ayatollah Khomeini atau yang disebut dengan “hukum transisi”. Sumber hukum adalah
hukum Islam, undang-undang dasar, ketentuan perundang-undangan, sumber hukum
tidak tertulis seperi adat kebiasaan, prinsip-prinsip revolusi, dan lain sebagainya.27
17
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 214. Hal ini dijelaskan dalam Iranian Civil Code 1928-1935, pasal 956-1.256.
18
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 154.
19
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108.
20
Dalam hal ini terjadi perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh beberapa ahli. Pada satu sisi, Qanun
Himayat Khaneiwada diistilahkan dengan The Family Protection Act, dan di sisi lai disebut dengan The Family
Protection Law. Silahkan bandingkan antara Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay:
N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource
Book (London: Zed Book Ltd., 2003).
21
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 155.
22
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108. Lihat juga dalam Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and
Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 216.
23
Sejarah munculnya pergolakan dalam Revolusi Iran tahun 1979 ini melalui serangkain peristiwa
penting yang tidak mungkin dijelaskan dalam bahasan makalah ini. Penjelasan lebih lanjut lihat Jalalad-dine
Madani, Islamic Revolution of Iran (Tehran: International Publishing, 1996), ed-II.
24
Kehadiran Imam Khomaini dengan gagasan revolusinya di tahun 1979 telah membawa perubahan bagi
masyarakat Iran secara menyeluruh. Selain mengakhiri tradisi kerajaan yang telah terjadi selama 2500 tahun
dengan sistem Republik Islam, dia juga membenahi infrastruktur pemerintahan yang mempengaruhi identitas
nasional, sosial, pilitik, dan budaya. Langkah menjunjung tinggi nilai-nilai Islam ini diikuti dengan kebijakan
penutupan klub malam, pelarangan alkohol, perjudian, pornografi, hingga kebijakan yang bersifat sosial seperti
revisi buku, lembaga pendidikan, olahraga dan perfilman.
25
William L. Cleveland, A History of Modern Middle East (San Fransisco: Westview Press, 1994), 410.
26
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law and Religion, 1987), 216.
27
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 108.
4
C. TINJAUAN FIQIH TERHADAP MATERI HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN
1. Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan, sebelum dilakukan harus dicatatkan pada lembaga yang
berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diberikan hukuman penjara
selama satu hingga enam bulan (the Marriage Law, 1931 article 1). Sebelum
perkawinan dicatatkan, pasangan mempelai harus memperoleh sertifikat kesehatan
dari pihak medis (Production of Medical-Fitness Certificate Law, 1938 article 1).28
Pencatatan perkawinan di sini tidak hanya dibatasi pada perkawinan yang bersifat
permanen. Namun juga terhadap perkawinan yang bersifat mut’ah (sementara),
karena di Iran perkawinan seperti ini diperbolehkan, namun dengan syarat harus jelas
batasan waktu untuk melangsungkan perkawinannya.29
Berkaitan dengan masalah perkawinan yang bersifat sementara ini,
Muhammad Shahrur mempunyai pandangan sendiri. Ia berpendapat bahwa syarat
sahnya perkawinan kontrak –atau dengan istilah “sementara”—adalah bukan seperti
persyaratan perkawinan resmi pada umumnya, karena umumnya tidak bertujuan
untuk menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan keturunan dan
membina keluarga, tapi murni untuk hubungan seksual, dan ia tidak termasuk
kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram.
Ia menambahkan lagi bahwa suatu kondisi atau kasus milk al-yamin
kontemporer, dan ia menyebutnya dengan nama ‘aqd ihsan (perjanjian integritas atau
perjanjian hubungan seks) sebagai ganti dari istilah “perjanjian perkawinan kontrak”
(zawj al-misyar) atau “perkawinan mut’ah” (zawj al-mut’ah).30
Aturan mengenai keharusan mencatatkan perkawinan di Iran hanyalah
bersifat administratif belaka. Hal ini dikarenakan tindakan pengabaian terhadap
pencatatan perkawinan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, hanya saja akan
mendapatkan sanksi hukum. Pembahasan mengenai hal ini tidak begitu banyak
dijumpai dalam literatur fiqih klasik.
Meskipun demikian, penulis mempunyai perspektif sendiri terhadap
pencatatan perkawinan. Ikatan perkawinan, di samping mempunyai nilai religious,
juga berkaitan dengan niali-nilai temporal. Seperti halnya kontrak dalam muamalah,
tidak ada salahnya akad perkawinan itu juga dituliskan sebagaimana layaknya akadakad muamalah lainnya, guna menghindari kemungkinan terjadinya wanprestasi oleh
salah satu pihak juga merupakan bukti otentik bagi pihak yang dilibatkan di
dalamnya, sehingga ia mempunyai kekuatan hukum untuk bertindak secara hukum.
Tidak hanya sampai di situ, pencatatan perkawinan merupakan salah satu
usaha untuk melindungi dan menjaga hak-hak perempuan dalam perkawinan, karena
dari beberapa akibat yang ditimbulkan dari talak akan merugikan pihak perempuan.
Di samping itu, pencatatan perkawinan adalah salah satu cara yang dilakukan oleh
Negara untuk menertibkan dan mengendalikan perkawinan yang terjadi guna
mencapai cita-cita dan tujuan negara yang bersangkutan.
2. Usia Perkawinan
Batasan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan adalah 18 tahun
bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan (Iranian Civil Code, article 1.401).
Menikahi orang-orang yang berada di bawah batas usia minimum pernikahan
mendapat sanksi. Bagi seseorang yang mengawinkan seseorang yang berada di
28
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 155.
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109.
30
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Mustofa Acep (Yogyakarta:
eLSAQ, 2004), 436. Bandingkan dengan Hammudah ‘Abd al-Ati, The Family Structure in Islam (Maryland: American
Trust Publications, 1977), 101-103.
29
5
bawah usia minimum31 akan mendapat sanksi berupa dipenjara selama enam bulan
hingga dua Tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah usia 13 tahun,
maka pihak yang mengawinkannya dapat dipenjara selama dua sampai tiga tahun. Di
samping itu, bagi pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan tersebut dapat
dikenai denda senilai 2-20 riyal (Family Law 1931-1937, article 3).
Secara sederhana, hal ini lebih ditekankan kepada wali yang menikahkan
wanita yang berada di bawah perwaliannya. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa
pendapat dalam fiqih yang mengkaji hal ini. Pelaksanaan perkawinan bagi mereka
yang berada di bawah batas usia adalah hak walinya. Penentuan batasan usia
minimal dalam perkawinan tidak disebutkan dalam ayat al-Qur’an secara jelas.
Demikian juga halnya dengan hadits Nabi SAW yang tidak pernah merincikan batasan
usia minimal dalam perkawinan. Bahkan Nabi SAW sendiri menikahi ‘Aisyah saat pada
usia 6 tahun dan menggaulinya pada usia 9 tahun. Dasar permikiran tidak adanya
batasan umur mengenai perkawinan, kiranya sesuai dengan pandangan umat Islam
pada masa itu tentang hakikat perkawinan. Menurut mereka, perkawinan itu tidak
dilihat dari segi hubungan kelamin, namun lebih dititikberatkan dalam usaha
menciptakan hubungan mushaharah.32
Usia minimum kebolehan melaksanakan perkawinan menurut mazhab Ja’fari
–mazhab dominan di Iran--, seorang wanita dipandang dewasa –dan oleh karenanya
dapat melangsungkan perkawinan—jika telah berumur 15 tahun bagi laki-laki dan 9
tahun bagi wanita. Mazhab Ja’fari juga berpandangan bahwa sorang wali boleh
mengawinkan anak di bawah umur.33
Meskipun secara terang-terangan Alquran34 dan hadits Nabi tidak
memberikan batasan yang jelas, namun dari isyarat secara tidak langsung sudah ada
di dalamnya. Ikatan perkawinan35 akan menimbulkan hak dan kewajiban secara
timbal balik. Adanya hak dan kewajiban tersebut mengindikasikan bahwa pelakunya
diharuskan sudah dewasa. Untuk menetapkan konteks “dewasa” ini, terdapat
perbedaan. Terlepas dari konsep yang diberikan oleh para ulama, perbedaan ini juga
dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, kebudayaan, tingkat kecerdasan suatu
komunitas dan beberapa faktor pendukung lainnya.36
Menurut analisis penulis, tiungkatan mampu atau baligh di sini dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu secara biologis dan fisiologis. Secara biologis, bagi seorang
perempuan yang telah mengalami haid untuk pertama kalinya, sementara itu bagi
laki-laki apabila ia telah mengalami mimpi basah, maka ia secara biologis dapat
dikategorikan sebagai orang yang telah baligh. Konsep baligh seperti ini akan sangat
berbeda pada setiap Negara, tergantung pada kodisi perkembangan tekonologi yang
mempengaruhi pertumbuhan biologis masyarakat. Baligh secara psikologis bersifat
31
Fiqih dan Undang-undang selalu mencantumkan bahasan mengenai batasan usia dalam penikahan
guna memenuhi persyaratan mumayyiz sebagai salah satu syarat dalam perkawinan. Muhammad Amin Suma,
Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 54.
32
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 66.
33
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999),
316-318.
34
Lihat al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 6. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa untuk kawin
itu ada batasan umur. Batasan umur tersebut adalah baligh.
35
Dalam konteks ini penulis ingin mengajak kita semua kembali merujuk kepada defenisi perkawinan.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam al-Ahwal al-Syakhshiyyah, disebutkan bahwa
perkawinan adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin, bersenang-senang, saling tolong menolong dan
di antara laki-laki dan perempuan, dan diantara mereka terdapat hak-hak dan kewajiban tertentu. Walaupun
demikian, ketiadaan batasan pasti mengenai umur minimal dalam pernikahan ini mempunyai beberapa hikmah
akan dinamisasi penerapan hukum Islam pada masyarakat sosial yang beragam, kebutuhan akan integrasi sosial
dan tingginya nilai kemurnian seksual serta keperawanan. Lihat dalam Hammudah ‘Abd al-Ati, The Family
Structure in Islam (Maryland: American Trust Publications, 1977), 76.
36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 68.
6
relatif. Kedewasaan secara psikologis perempuan dipengaruhi berbagai faktor.
Berhubung dengan hal ini, penulis lebih cenderung berpendapat bahwa kategori
baligh yang memungkinkan untuk melakukan pernikahan adalah apabila ia telah
baligh secara dua sudut pandang tersebut, baik secara biologis dan juga secara
psikologis. Alasan penulis adalah, baligh secara biologis akan mendukung
tercapainya salah satu tujuan perkawinan yaitu tanasul (untuk berketurunan).
Sementara itu, baligh secara psikologis akan menunjang kemampanan dan
kedewasaan pemikiran seseorang dalam mengarungi bahtera rumah tangga
nantinya.
Dengan demikian, ancaman hukuman dan sanksi bagi wali yang
mengawinkan anak bawah umur merupakan suatu terobosan pembaharuan hukum
keluarga Islam di Iran yang bersifat administratif,37 namun bertujuan untuk menjaga
kelangsungan hubungan perkawinan yang nantinya akan dijalani oleh anak
perempuannya.
3. Perjanjian Kawin
Pasangan yang hendak melakukan perkawinan boleh membuat perjanjian
dalam akad perkawinan, selama tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan.
Perjanjian tersebut dapat dibuat di bawah perlindungan Pengadilan (Marriage Law,
article 4).
Sebagian besar literatur fiqih klasik tidak memberikan pembahasan inten
terhadap perjanjian perkawinan. Pembahasan fiqih cenderung pada persyaratan
dalam perkawinan. Perjanjian merupakan bahagian yang terpisah dari akad
perkawinan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian perkawinan dilalaikan
oleh salah satu pihak, tidak berarti akad perkawinan batal. Menurut mazhab Ja’fari,
syarat yang dianggap gugur di luar akad nikah dapat menggugurkan akad nikah.
Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dapat menggugurkan akad
nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak
berlakunya semua dampak semua akad yang bertentangan dengan wataknya
sendiri.38
Pada dasarnya, kedua belah pihak wajib menepati janji perkawinan
kendatipun materinya tidak dituliskan dalam materi-materi akad. Oleh karena itu,
kealpaan salah satu pihak untuk menunaikannya, baik secara menyeluruh ataupun
parsial, mengakibatkan adanya tuntutan perceraian.39 Namun, pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinannya.40
4. Poligami
Sorang laki-laki yang hendak berpoligami wajib memberitahukan kepada
calon istrinya itu tentang statusnya. Pelangaran terhadap ketentuan ini dapat
dikenakan sanksi (Marriage Law, 1931 article 6). Efektivitas regulasi ini dijelaskan
lebih lanjut dalam The Family Protection Act, bahwa setiap orang yang hendak
berpoligami harus mendapatkan izin dari istri dan apabila ketentuan ini dilanggar,
maka istri boleh mengadukan kasus ini ke Pengadilan (The Family Protection Act,
1967 article 11 [c]).
Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar,
dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 60.
38
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999),
319-320.
39
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 436.
40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 146.
37
7
Suami juga harus mendapatkan izin resmi dari Pengadilan. Sebelum
memberikan izin, pihak Pengadilan terlebih dahulu akan melakukan pemeriksaan
terhadap kapasitas dan kapabilitas suami –baik dari segi materi maupun keadilannya- jika seandainya ia berpoligami. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dikenakan
sanksi hukuman kurungan selama enam bulan sampai dua tahun (The Family
Protection Act, 1967 article 14).
Kajian fiqih cukup memberikan sorotan dalam terhadap poligami. Menurut
Muhammad ‘Abduh, keizinan berpoligami sebagaimana yang dijelaskan dalam alQur’an surat al-Nisa [4] ayat 3 telah dibatasi dengan penjelasan dalam al-Qur’an itu
sendiri, surat al-Nisa [4] ayat 129. Dengan demikian, ideal sebuah perkawinan
Berdasarkan al-Qur’an adalah menggunakan asas monogami. Lebih dari itu, syarat
yang diajukan kepada suami agar sanggup untuk berlaku adil terhadap para istri
adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasikan
sepenuhnya.41
Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan
cukup masuk akal, menyatakan bahwa al-Qur’an tidak dapat begitu saja dianggap
bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat
poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh
suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.
Hal yang signifikan dalam poligami adalah keharusan adanya izin dari pihak
istri. Keharusan adanya persetujuan istri terdahulu dan izin dari Pengadilan dapat
dikategorikan sebagai suatu terobosan pembaharuan hukum Islam yang tidak hanya
bermuatan administratif belaka karena pada satu sisi pihak yang melakukan
pelanggaran hanya akan mendapat sanksi tertentu dengan tidak mempengaruhi
keabsahan perkawinan yang terjadi. Lebih dari itu, usaha ini merupakan salah satu
cara untuk menjamin kesejahteraan istri dalam menjalankan ikatan perkawinannya.
5. Nafkah Keluarga
Suami berkewajiban menafkahi istrinya, baik dari segi pangan, sandang,
pakaian dan barang-barang kebutuhan rumah tangga dengan layak. Apabila suami
tidak sanggup menyediakan nafkah tersebut, maka istri berhak mengajukannya ke
Pengadilan. Pengadilan selanjutnya akan memerintahkan suami untuk memberikan
nafkah wajib keada istrinya. Apabila suami tidak mematuhi perintah Pengadilan,
maka istri berhak mengajukan perceraian ke Pengadilan (the Family Protection Act,
1967 article 10). Pada perkawinan yang bersifat sementara, istri hanya berhak
mendapatkannya apabila hal ini dimasukkan dalam materi persyaratan dalam
perkawinan.42
Suami boleh menolak hak istrinya untuk bekerja ada beberapa profesi yang
“tidak sesuai dengan kepentingan keluarga atau dengan martabat dirinya sendiri
sebagai perempuan dan sebagai seorang istri”. Penolakan seorang istri untuk tidak
melakukan hubungan suami istri dengan alasan suami mengidap penyakit tidaklah
dipandang sebagai sebuah ketidak-patuhan.43
Ketentuan ini sesuai dengan konsep nafkah dalam mazhab Ja’fari44 –yang
merupakan mazhab dominan dan diberlakukan di Iran—tanpa ada kontroversi
lainnya. Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang berlaku
41
John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982), 93.
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109.
43
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109.
44
Untuk lebih jelasnya, silahkan baca Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa
Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999), 492-493.
42
8
dalam fiqh didasarkan kepada adanya pemisahan harta antara suami dan istri,
sehingga pembebanan biaya kehidupan rumah tangga adalah tanggung jawab suami
sebagai imam dan kepala rumah tangga.
Sebagai bahan perbandingan, fiqh mazhab Maliki menyatakan bahwa nafkah
wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baligh45. Pandangan ini
berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i46 yang
tidak mensyaratkan agar suami harus baligh.47 Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pembahasan mengenai nafkah adalah suatu hal yang sangat
penting, sehingga seandainya saja suami melalaikan kewajibannya dalam hal nafkah,
maka istri mempunyai hak untuk mengajukan perceraian.
6. Perceraian
The Family Protection Act di Iran telah mengalami reformasi hukum yang
tidak saja bersifat parsial pada bagian administratif, namun juga memasuki wilayah
materi hukumnya. Hal ini terlihat dengan adanya penghapusan kewenangan suami
untuk mengikrarkan talak secara sepihak.48 Setiap perceraian, apapun bentuknya
harus didahului dengan adanya permohonan pada Pengadilan agar mengeluarkan
sertifikat “impossibility of reconciliation” (tidak dapat rukun kembali). Pihak
Pengadilan baru akan mengeluarkan sertifikat tersebut setelah berusaha melakukan
usaha damai –bahkan jika perlu harus dilakukan mediasi—dan ternyata tidak berhasil
menemukan jalan damai (the Family Protection Act, 1967 article 8).
Untuk sampai pada kesimpulan mengeluarkan sertifikat “impossibility of
reconciliation”, Pengadilan harus mempertimbangkan beberapa alasan berikut :
a. Penyakit gila yang diderita oleh salah satu pasangan, baik gila yang bersifat
permanen atau sementara namun berulang kali (Iranian Civil Code, 1935 article
1.121) ;
b. Suami menderita penyakit impotensi, pengebirian atau alat vitalnya diamputasi
(Iranian Civil Code, 1935 article 1.122) ;
c. Istri tidak mungkin melahirkan, menderita cacat seksual, lera atau kedua
matanya buta (Iranian Civil Code, 1935 article 1.123) ;
d. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun (the Family Protection Act, 1967
article 11) ;
e. Suami atau istri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang
diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangga (the Family
Protection Act, 1967 article 11) ;
f. Seorang laki-laki berpoligami tanpa persetujuan istrinya (the Family Protection
Act, 1967 article 11) ;
g. Salah satu pihak mengkhianati pihak lain (the Family Protection Act, 1967 article
11) ;
h. Kesepakatan suami istri untuk bercerai (the Family Protection Act, 1967 article 9) ;
45
Sumber perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh mengenai kewajiban nafkah ini adalah perbedaan
prespektif dalam melihat: apakah nafkah itu menjadi wajib karena akad nikah atau karena usaha dalam
pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2007), 168.
46
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib member nafkah
apabila istri telah dewasa. Tetapi, apabila suami telah dewasa sementara istri belum, Imam Syafi’i mempunyai dua
pendapat dalam hal ini. Pertama, sama dengan pendapat Malik, kedua, istri berhak mendapat nafkah betapapun
juga keadaanya. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 519.
47
Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,
782.
48
Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New York: I.B. Tauris & Co. Ltd.,
2000), 54.
9
i.
j.
Adanya perjanjian dalam akad perkawinan berkaitan dengan pemberian
kewenangan kepada istri untuk menceraikan diri karena kondisi tertentu (the
Family Protection Act, 1967 article 10) ;
Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum tetap karena telah
melakukan perbuatan yang telah mencoreng kehormatan keluarga (the Family
Protection Act, 1967 article 11).
Regulasi mengenai talak di Iran sangat dipengaruhi oleh fiqh klasik Syi’ah,
yang mengharuskan adanya formulasi tertentu dan dua orang saksi laki-laki.
Formulasi perceraian bersyarat dianggap tidak sah. Amandemen tahun 1992
menetapkan bahwa pendaftaran perceraian tanpa disertai dengan sertifikat dari
Pengadilan dianggap illegal.
Sebuah amandemen hukum pada tahun 1992 (Amandements Divorce
Regulations 1992)49 memperluas akses untuk terjadinya perceraian di antara
pasangan suami istri dengan beberapa alasan tambahan sebagai berikut:50
a. Suami tidak menafkahi istri selama lebih dari enam bulan tanpa disertai dengan
alasan tertentu;
b. Suami bertingkah laku buruk dan tidak mampu melindungi istri dengan baik, dan
lain sebagainya sehingga tidak memungkinkan untuk tetap melanjutkan
kehidupan rumah tangga;
c. Suami menderita penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan dan
ditakutkan akan membahayakan istrinya;
d. Suami gila sehingga tidak memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan
sesuai dengan syari’at;
e. Suami tidak mematuhi perintah Pengadilan untuk menghindari tindakan yang
merendahkan diri dan pekerjaan yang hina;
f. Suami dihukum selama 5 tahun atau lebih;
g. Suami mengalami kecanduan narkoba sehingga akan membahayakan keluarga
dan perkawinannya;
h. Suami mengkhianati atau meninggalkan kediaman bersama tanpa alasan yang
sah –sebagaimana yang ditentukan oleh Pengadilan— ;
i. Suami melakukan tindakan kriminal sehingga mencoreng nama baik keluarga –
pertimbangannya diserahkan pada Pengadilan-- ;
j. Suami mandul selama 5 tahun perkawinan atau ia mengidap penyakit kelamin
yang akut;
k. Suami menghilang selama enam bulan;
l. Suami melakukan poligami tanpa izin istri terdahulunya, jika Pengadilan
mempertimbangkan perlakuannya tidak seimbang.
Pada dasarnya, perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang menjunjung
nilai sakralitas tinggi, dan juga di dalamnya terdapat aspek-aspek kemanusiaan dan
kemasyarakatan selama pasangan itu menempuh kehidupan bersama. Kedua belah
pihak wajib menepati perjanjian tersebut dan keduanya dinyatakan sah sebagai suami
istri. Kelapaan salah satu pihak untuk menunaikan perjanjian tersebut baik secara
49
Ziba Mir-Hosseini, Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (New Jersey: 1999,
Princeton), 8.
50
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 109. Lihat juga dalam Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New
York: I.B. Tauris & Co. Ltd., 2000), 57-58.
10
keseluruhan ataupun sebagian, berakibat pada adanya tuntutan perceraian, karena
telah melanggar dan melalaikan perjanjain dengan Allah SWT.51
Berkaitan dengan masalah harta dalam perkawinan, apabila terjadi
perceraian maka istri berhak atas setengah harta suaminya apabila Pengadilan
menyimpulkan bahwa perceraian itu adalah inisiatif suami dan tidak ditemukan
kesalahan yang dibuat oleh istri. Amandemen 1992 juga menetapkan adanya
perluasan hak finansial istri sebagai akibat adanya perceraian, dari nafkah selama
masa iddah dan penundaan pembayaran maharnya sampai pada penuntutan
pembayaran jasa pelayanan rumah tangga yang diberikan suaminya selama berumah
tangga, walaupun ukurannya sulit untuk diaplikasikan, sebagiannya dikarenakan
kesulitan dalam menaksir gaji pembantu rumah tangga.52
Berdasarkan konsep fiqih kalangan Syi’ah, sebuah perceraian dapat terjadi
dalam beberapa bentuk. Bentuk yang paling sering terjadi adalah bentuk perceraian
yang bisa dirujuki (talaq raj’iy). Perceraian merupakan salah satu jalan keluar yang
bisa menjadi pilihan akhir bagi rumah tangga yang sudah tidak bisa dipertahankan
lagi. Eksistensi dan ketiadaan pada kondisi tertentu pada kontrak perkawinan
memberikan pilihan bagi pasangan suami istri untuk membatalkan kontrak
perkawinan mereka.53
Kecenderungan adanya begitu banyak alasan tambahan dalam perceraian di
Iran pada dasarnya didorong oleh beberapa faktor seperti adanya determinasi hukum
Negara, kondisi biologis dan lain sebagainya.54
7. Arbitrator (Juru Damai)
Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga kepada
arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus yang
berkaitan dengan masalah validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang
berbelit-belit, akan ditangani sendiri oleh Pengadilan, tidak diserahkan kepada arbiter
(the Family Protection Act, 1967 article 6).
Dalam tahapan selanjutnya, arbitrator akan berusaha mendamaikan kembali
pasangan yang bersengketa tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
Pengadilan. Hasilnya nanti akan diserahkan kepada Pengadilan guna ditindak-lanjuti.
Apabila arbiter tidak bisa menyerahkan hasil arbitrasi dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka Pengadilan akan mengambil alih perkara tersebut (the Family
Protection Act, 1967 article 7).
Ulama sependapat bahwa mengirim juru damai itu diperbolehkan seandainya
terjadi perselisihan di antara suami istri tanpa diketahui penyebabnya. Juru damai
yang dikirim itu berasal dari keluarga suami istri yang bersangkutan. Para fuqaha juga
sependapat bahwa seandainya di antara kedua juru damai itu berselisih pendapat,
maka pendapat keduanya tidak dilaksanakan.
Fuqaha berselisih pendapat berkaitan dengan usulan juru damai yang hendak
memisahkan pasangan suami istri tersebut. Apakah inisiatif ini harus berdasarkan
51
Secara sederhana Muhammad Shahrur menguraikan bentuk perjanjian tersebut sebagai berikut:
perjanjian untuk saling jujur satu sama lainnya; perjanjian untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mengkhianati
perkawinan; perjanjian untuk saling menjaga di antara keduanya dari segi apapun; perjanjian untuk saling menjaga
anak keturunan nantinya; dan perjanjian untuk saling memberikan dan memelihara serta menjaga privasi masingmasing dari orang lain. Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2004), 439.
52
Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed
Book Ltd., 2003), 110.
53
Shahla Haeri, “Divorce in Contemporary Iran: a Male Prerogative in-Self Will”, Islamic Family Law, eds.
Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited, 1990), 55-69
54
Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan baca Shahla Haeri, “Divorce in Contemporary Iran: a Male
Prerogative in-Self Will”, Islamic Family Law, eds. Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited,
1990), 55-69.
11
persetujuan suami atau tidak. Imam Malik beserta pengikutnya berpendapat bahwa
pemisahan berdasarkan kesepakatan juru damai tidak membutuhkan persetujuan
suami terlebih dahulu. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menolaknya
dengan alasan bahwa hak talak berada di tangan suami, atau pada orang yang
diberikan kuasa untuk melakukannya.55
Ide pelaksanaan arbitrase dengan menggunakan juru damai di Iran sangat
brilian. Hal ini terlihat dengan adanya kesesuaian konsep yang dijelaskan dalam
regulasinya dengan ketentuan yang dibahas dalam kajian fiqh. Di samping itu,
kegagalan usaha damai yang dilakukan oleh juru damai tidak berakibat pada
pemutusan hubungan perkawinan, namun dalam tahapan selanjutnya akan dianalisis
dan dipertimbangan oleh hakim pada Pengadilan. Setelah melewati serangkaian
proses di Pengadilan, pengadilan hanya akan mengeluarkan sertifikat “ketidakmungkinan berdamai” dan inisiatif dari pihak suami-lah untuk mendaftarkan
perceraiannya pada lembaga yang bersangkutan.
D. KESIMPULAN
Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan dinamis.
Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Demikian juga
halnya dengan materi yang dikandung di dalamnya. Pada awalnya dideterminasi oleh
mazhab sunni, kemudian mengalami integrasi dengan beberapa regulasi Prancis yang
pada akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah yang memang merupakan
mazhab mayoritas warga Negara. Puncak revolusi hukum keluarga di Iran adalah
terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan keinginan untuk
kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum dengan tidak
mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Setelah terjadinya Revolusi di Iran pada tahun 1979, the Family Protection Act
yang membatasi kesewenang-wenangan laki-laki dalam hal perceraian beserta lembaga
pengadilannya telah dihapus, karena pada dasarnya hal ini kontradiksi dengan syari’at.
Amandemen terhadap Divorce Regulation pada tahun 1992, sejatinya merupakan upaya
pengembalian beberapan unsur yang ditolak dalam The Family Protection Act, meskipun
berada dalam sebuah logika hukum yang berbeda.
Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak
Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang
tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan -bernama
Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat
respek terhadap kepentingan perempuan.
Secara keseluruhan, beberapa terobosan baru dalam hukum keluarga Iran
merupakan salah satu upaya dalam menjaga harkat dan martabat kaum perempuan. Hal
terlihat dalam beberapa regulasi yang cenderung lebih memihak dan melindungi hak-hak
perempuan.
55
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid-II, 625-
626.
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito
(Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid-II
al-Ati, Hammudah ‘Abd, The Family Structure in Islam (Maryland: American Trust Publications,
1977)
al-Baghdadi, Abdul Wahab, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), juz II
CIA,
“Islamic
Republic
of
Iran”,
The
World
Factbook,
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html,
dalam
Cleveland, William L., A History of Modern Middle East (San Fransisco: Westview Press, 1994)
Esposito, John L., Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982)
Haeri, Shahla, “Divorce in Contemporary Iran: a Male Prerogative in-Self Will”, Islamic Family
Law, eds. Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited, 1990)
Hamid, Homaidi, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’
Muzdhar, dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003)
Lewis, B., C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J.
Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru
Madani, Jalalad-dine, Islamic Revolution of Iran (Tehran: International Publishing, 1996), ed-II.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis
(New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987)
______________, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd.,
1972)
Mir-Hosseini, Ziba, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New York: I.B. Tauris & Co.
Ltd., 2000)
______________, Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (New Jersey:
1999, Princeton)
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera,
1999)
an-Na’im, Abdullahi A., Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book
(London: Zed Book Ltd., 2003)
Peretz, Don, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986)
Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
13
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Mustofa Acep
(Yogyakarta: eLSAQ, 2004)
Simon, Reeva S., et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon &
Schuster Macmillan, 1996), jilid-II
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo,
2005)
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)
UN Residence Coordinator Office, Past-Reports of Islamic Republic of Iran (Tehran: Juni 2008)
14