pergulatan Identitas Manusia Bali.

Berbicara tentang Bali memang tak pernah ada habisnya dilihat dari konteks apapun,
pulau kecil dengan pesona budaya dan alam yang menakjubkan ini selalu menarik dikaji.
Keunikannnya menjadikan Bali bak surga kecil yang jatuh ke bumi. Kondisi inilah yang
menjadikan Bali begitu masyur di mata dunia. H.van Kol seorang parlemen Belanda adalah
wisatawan yang dianggap pertama kali menginjakkan kakinya di Bali pada tahun 1902.
Derasnya informasi tentang “keanehan” Bali makin menjadi ketika perusahaan pelayaran
Belanda KPM (Knonniklijk Paketvarrt Maatscapij) tahun 1920 mempopulerkan Bali sebagai
daerah tujuan wisata bagi pejabat tinggi Belanda. Bali kemudian di kenal dengan sebutan
“Mutiara Kepulauan Nusa Tenggara” (Picturesque Dutch East Indies).
Keotentikan Bali sebenarnya tidak lahir begitu saja, melainkan dibentuk oleh berbagai
kepentingan yang kita warisi sampai saat ini sebagaimana disampaikan Suryawan dalam
beberapa tulisannya tentang Bali. gelar-gelar semacam The Last Pardise dan semacamnya
dikonstruktsi oleh pemerintah kolonial ketika itu untuk kepentingan ekonomi dan politik. Hal
ini bisa ditelusuri melalui proyek Balinisasi (Baliseering) yang menjadikan Bali sebagai

museum hidup karena kebiasaan masyarakat Bali yang tidak ditemui di Eropa bahkan
dibelahan dunia manapun. Bagaimana keunikan Bali dikonstruksi juga bisa ditelusuri dalam
proyek Baliologi. Baliologi adalah kajian-kajian ilmiah tentang Bali dengan pendekatan
Etnografi. Melalui proyek-proyek semacam inilah keotentikan Bali dikonstruksi untuk
kepentingan pariwisata ketika itu, jauh sebelum itu orang Bali sendiri belum terkontaminasi
oleh pujian-pujian tentang aktivitas keseharian meraka.

Ekploitasi Bali dengan selaput yang amat rapi nan lembut makin ganas ketika
pemerintah Orde Baru punya kaca mata yang sama dalam melihat Bali. Ekploitasi dengan
slogan pembangunan yang relatif cepat dan mewujudkan mass tourism dengan pembangunan
berorientasi ekonomi dan bersifat top down menjadikan Bali makin dikepung masalah dan
berakibat pada tumpulnya daya kritis masyarakat Bali karena nyanyian ninabobo manisnya
pembangunan begitu merdu. Pembangunan dianggap solusi yang paling tepat untuk
mengatasi segala masalah. singkatnya Kebudayaan Bali yang eksotik kemudian menjalin
“kasih” yang amat erat dengan pariwisata. Investorpun akhirnya berduyun-duyun
menanamkan modalnya di Bali dan peluang tereduksinya identitas ke-Bali-an orang Bali
makin besar. Karena pariwisata (pembangunan) adalah westernisasi sebagaimana dikatakan
Atmadja. Anggapan ini muncul karena pariwisata dianggap memperlakukan kebudayaan Bali
dengan tidak adil.
Masyarakat Bali yang kental akan budaya dan segala sesuatu yang diwarnai seni,
mistik, dan polos perlahan membentuk identitas orang Bali sebagaimana gambaran tersebut.
Sejurus dengan itu, dalam kajian Culture Study identitas dipandang sebagai bentuk
representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri sendiri melalui tanda, sikap dan gaya
hidup. Pertanyaanya adalah bagaimana identitas orang Bali dewasa ini dengan gempuran
pariwisata demikian besarnya?
Kebudayaan Bali yang adiluhung dan penuh nilai universal sebagaimana pandangan
banyak orang kini diekploitasi besar-besaran atas nama pariwisata. Local genius semacam Tri

Hita Karana kini hanya menjadi wacana dikampus-kampus dan jargon politik lima tahunan.

Arsitektur berkonsepkan Tri Hita Karana yang salah satunya mensyaratkan sinergitas antara
manusia dan alam perlahan dilabrak, muncullah masalah-masalah lingkungan yang saat ini
sedang menghantui Bali. Tak cukup sampai disitu, konsep berkesenian orang Bali yang
mengedepankan Taksu tergerus dollar. Kita bisa melihat bagaimana seni yang berorientasi
pasar (pariwisata) menjadikan seni dangkal makna. Jika dulu orang Bali melukis, menari

termasuk aktivitas keagaamaan dengan konsep Ngayah kini diplesetkan menjadi Mayah. Pura
pun mengalami nasib yang sama, desakralisasi pura sebagai obyek wisata menjadikan batasan
antara sakral dan profan amat kabur. Bahkan Putu Setia dalam menggugat Bali membahas hal
ini dengan gaya humoris yang menyayat
Pandangan bahwa pariwisata adalah satu-satunya yang bisa menghidupi Bali
berimplikasi amat drastis pada penghapusan nilai-nilai asli kebudayaan Bali semisal Jineng
kini bisa dinikmati menjadi kamar tidur, bahkan tarian sakral bisa dipentaskan dimana saja
dan durasinya bisa diatur sesuai keinginan wisatawan. Penggunaan nama Balipun kini mulai
di anggap ketinggalan zaman bagi sebagian kalangan. Belakangan ini nama depan identitas
orang Bali seperti Wayan, Gede, Putu, Ni Luh dan seterusnya mulai tidak dipakai oleh
beberapa kalangan dengan berbagai alasan. Bahasa Bali sebagai salah satu dari sekian banyak
identitras orang Bali kiranya perlu mendapat perhatian serius dalam konteks ini. Menurunnya

loyalitas pengguna bahasa Bali misalnya bisa dilihat dari fenomena masyarakat Bali yang
hidup dikota lebih bangga menggunakan bahasa nasional meskipun bertutur dengan sesama
orang Bali bahkan ketika mereka pulang ke desa, tidak jarang ditemui anak-anak yang tidak
bisa berbahasa Bali karena sejak kecil dibiasakan berbahasa Indonesia oleh orang tuanya,
langkanya penutur bahasa Bali yang bisa di contoh juga menjadi salah satu penyebabnya.
Berkembangnya pariwisata menjadikan masyarakat Bali tidak hanya menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian. Masyarakat petani dengan ciri guyub kini jarang ditemui
pada masyarakat Bali karna tuntutan pekerjaan dan cara pandang yang lebih efisien dan
praktis. Di beberapa desa di Bali upacara Ngaben bahkan tidak lagi menggunakan tenaga
manusia untuk membawa Bade menuju kuburan karena sudah digantikan dengan sejenis
kereta yang hanya perlu di dorong. Sarana prasarana berbagai upacarapun kini mudah didapat
dengan cara membeli, fenomena ini tidak pernah dijumpai sebelumnya.
Kiranya analogi Bali sebagai benteng terbuka sebagaimana dijabarkan Henk Schulte
Nordholt sangat masuk akal untuk menggambarkan kondisi dilematis Bali saat ini. Satu sisi
Bali harus tetap terbuka bagi pariwisata yang tentu datang dengan budayanya disisi lain Bali
harus tetap membentengi dirinya agar identitasnya tak terkikis. Kemunculan jargon Ajeg Bali
adalah sebagai bentuk penggambaran bagaimana identitas sebagai orang Bali coba
digali/dipertahankan sekaligus bisa dilihat sebagai bentuk pergulatan identitas ke-Balain
orang Bali.