Dalan Arte Nian : pergulatan seniman Arte Moris atas identitas kebangsaan Timor Leste.
ABSTRAK
Tesis ini menganalisa identitas kebangsaan di dalam karya seni yang diciptakan oleh seniman-seniman dari Arte Moris, sebuah sekolah dan komunitas seniman di Dili, Timor Leste. Hal yang dilihat Tesis ini adalah hubungan antara hasil karya tersebut dengan proses kreatifitas berkarya khususnya tentang identitas nasional.
Arte Moris mulai diusahakan pendiriannya pada tahun 2000an saat Luca Gansser, seorang seniman Swiss tiba di negara tersebut. Terinspirasi dengan bakat seni para pemuda setempat, ia membangun sebuah sekolah seni, dan sebagai hasilnya,pad bulan februari di tahun 2003 Arte Moris menjadi sekolah seni pertama di negara itu sekaligus sebagai pusat budaya dan asosiasi seniman. Salah satu misi sekolah tersebut adalh menggunakan seni sebagai terapi bagi para pemuda di negara yang dalam keadaan paska konflik tersebut.
Latar belakang dari aspek sejarah Timor Leste merupakan sumber dari pembahasan dalam tesis ini. Sehubungan dengan sejarah konflik dan kekerasan dan gerakan resistensi, obyek tesis ini adalah melihat hubungan antara pergulatan artistik seniman dengan proses pembentukan identitas nasional. Timor Leste meraih kemerdekaannya pada 20 Mei 2002. Sejarah negara ini sebelum kemerdekaan adalah tentang perjuangan, kisah pengorbanan orang yang memperjuangkan kehormatan sebagai negara merdeka.
Tesis ini membahas memori kolektif masyarakat dirujuk sebagai bagian yang membentuk konstruksi identitas. Teori utama yang digunakan di dalam tesis ini adalah Psikoanalisa
Lacanian. Pembahasan ini diarahkan untuk melihat kontribusi dari seni visual pada pembentukan identitas kebangsaan.
(2)
ABSTRACT
This thesis analyzes national identity in the works of art created by Artists of Arte Moris , a school and artistic community in Dili, East Timor, and look at the relation of those works to the concept of art creativity and especially national identity. ArteMoris was started in early 2000s when Luca Gansser, a Swiss artist, arrived in the country. Inspired by the local youth’s artistic talent, he built an art school, and as a result, Arte Moris become the country’s first Fine Arts School, Cultural Centre and Artists’ Association in Dili in February 2003. One of the school missions is to use art as therapy for the youth of this post-conflict country.
The background of East Timor in its historical aspects provides the basis for this thesis. Related to the country history of violence during conflict and resistence movement, the objective is to see the use of art in the artists’ artistic and creative process in building the national identity. Timor Leste gained independence on May 20, 2002. The country’s story before the independence is a story of a struggle, a story of a nation and people’s sacrifice to win their honour as a free country.
This thesis is a study about interpretation the people’s memory collective that is reflected in the artwork, which designs the process of the identity construction. The main theory used in this thesis is the Lacanian Psychoanalysis. This study is aimed to bring more knowledge about the contribution of visual art and its creativity process on the process of national identity building.
(3)
i
DALAN ARTE NIAN : PERGULATAN SENIMAN ARTE MORIS ATAS
IDENTITAS KEBANGSAAN TIMOR LESTE Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh ;
ARMANDO SORIANO 106322006
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA FAKULTAS PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
(5)
(6)
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Armando Soriano
NIM : 106322006
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
Judul : Dalan Arte Nian : Pergulatan Seniman Arte Moris atas Identitas Kebangsaan Timor Leste.
Pembimbing : 1. Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. 2. Dr. Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. Tanggal diuji : 3 Februari 2014
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
(7)
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Armando Soriano NIM : 106322006
Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:
DALAN ARTE NIAN : PERGULATAN SENIMAN ARTE MORIS ATAS
IDENTITAS KEBANGSAAN TIMOR LESTE
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
(8)
vi
MOTTO
“Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN dalam kesesakan mereka, dan dilepaskan-Nya mereka dari kecemasan mereka “
( Mazmur 107:6)
“ I Knew that I just need to believe in something in order to keep on going” (Jose Alexander Gusmao,1995)
(9)
vii
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orang tuaku, Liberato Dos Reis Soriano dan Selvince Laikopan Soriano sumber cinta, doa dan berkat.
(10)
viii
KATA PENGANTAR
Sebagai seorang Laorai ( Tetum: perantau), tempat asal serta hal-hal yang berkaitan dengannya selalu memiliki kesan khusus. Tesis ini adalah pemaknaan saya atas perasaan dan kesan itu. Pengalaman belajar yang didapatkan di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma adalah proses yang mengasah, membentuk cara pandang saya dan memberikan banyak hal untuk mengolah pemaknaan atas kesan tersebut. Menjadi seseorang dengan latar belakang etnis Timor Leste dan memegang paspor Indonesia memberikan suatu rasa dan ruang tersendiri saat berbicara tentang identitas kebangsaan.
Pada bagian Kata Pengantar ini saya ingin menyampaikan ucapan yang semoga dapat mewakili rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dukungan dalam berbagai bentuk untuk proses penulisan tesis ini.
Terima kasih kepada kedua orang tua saya Liberato Dos Reis Soriano dan Selvince Soriano Laikopan atas limpahan cinta, doa, dan berkatnya, juga kepada adik Almerio Soriano atas doa dan dukungan semangatnya. Juga untuk keluarga besar Soriano dan Laikopan atas perasaan tentram, serta adik Dwi Retnowati yang memberikan banyak pengertian dan cerita.
Terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing saya Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. dan Dr. Albertus Budi Susanto,S.J. yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan banyak pencerahan. Kepada Dr. St. Sunardi yang telah memberikan banyak pemikiran yang berguna, Dr. Katrin Bandel yang telah memberikan dukungan, serta kepada segenap dosen di IRB yang telah menjadi pengajar yang baik, berlimpah
(11)
ix
terima kasih saya ucapkan. Tidak lupa, saya berterima kasih kepada mbak Desy di Sekretariat IRB atas perhatian dan kesabarannya serta mas Mul atas dukungannya.
Terima kasih sebesar-besarnya, Obrigado barak, atas kerjasama, dukungan, kesediaan untuk berbagi rasa dan cerita untuk teman-teman di komunitas Arte Moris di Dili, Timor Leste ; Maun Iliwatu Danabere, Tony untuk kata-katanya “saida mak ita halo nee buat ida mak diak”, Pele, Maun Abe, Zenny, dan para artistas lainnya. Dapat berbagi bersama kalian adalah pengalaman yang selalu saya ingat dan kita akan selalu punya cerita untuk diteruskan.
Terima kasih untuk teman-teman yang saya temui selama menempuh masa belajar di Yogyakarta, Antonius Widianto Setiawan yang selalu punya cara sendiri untuk menjadi karib yang baik, bagi teman-teman di Komunitas Media Sastra, koran linguistik dan warung kopi Lidah Ibu yang memberikan tempat untuk saat mengaso, mas Sigit Fotokopi. Juga untuk teman-teman, dan para mentor, Dr. Douglas Kammen, di program Fellowship ARI-NUS angkatan 2012. Terima kasih yang teristimewa saya ucapkan untuk para karib, saudara dalam rasa, di IRB angkatan 2010: Alwi, Irfan, pak Mardison, mas Benny, Zuhdi, Nelly, Lisis, Gintani, Pongkot, mas Windarto, mas Amsa, atas kesediaannya untuk saling berbagi.
(12)
x
ABSTRAK
Tesis ini menganalisa identitas kebangsaan di dalam karya seni yang diciptakan oleh seniman-seniman dari Arte Moris, sebuah sekolah dan komunitas seniman di Dili, Timor Leste. Hal yang dilihat Tesis ini adalah hubungan antara hasil karya tersebut dengan proses kreatifitas berkarya khususnya tentang identitas nasional.
Arte Moris mulai diusahakan pendiriannya pada tahun 2000an saat Luca Gansser, seorang seniman Swiss tiba di negara tersebut. Terinspirasi dengan bakat seni para pemuda setempat, ia membangun sebuah sekolah seni, dan sebagai hasilnya,pad bulan februari di tahun 2003 Arte Moris menjadi sekolah seni pertama di negara itu sekaligus sebagai pusat budaya dan asosiasi seniman. Salah satu misi sekolah tersebut adalh menggunakan seni sebagai terapi bagi para pemuda di negara yang dalam keadaan paska konflik tersebut.
Latar belakang dari aspek sejarah Timor Leste merupakan sumber dari pembahasan dalam tesis ini. Sehubungan dengan sejarah konflik dan kekerasan dan gerakan resistensi, obyek tesis ini adalah melihat hubungan antara pergulatan artistik seniman dengan proses pembentukan identitas nasional. Timor Leste meraih kemerdekaannya pada 20 Mei 2002. Sejarah negara ini sebelum kemerdekaan adalah tentang perjuangan, kisah pengorbanan orang yang memperjuangkan kehormatan sebagai negara merdeka.
Tesis ini membahas memori kolektif masyarakat dirujuk sebagai bagian yang membentuk konstruksi identitas. Teori utama yang digunakan di dalam tesis ini adalah Psikoanalisa Lacanian. Pembahasan ini diarahkan untuk melihat kontribusi dari seni visual pada pembentukan identitas kebangsaan.
(13)
xi
ABSTRACT
This thesis analyzes national identity in the works of art created by Artists of
Arte Moris , a school and artistic community in Dili, East Timor, and look at the relation of those works to the concept of art creativity and especially national identity.
ArteMoris was started in early 2000s when Luca Gansser, a Swiss artist, arrived in the country. Inspired by the local youth’s artistic talent, he built an art school, and as a result, Arte Moris become the country’s first Fine Arts School, Cultural Centre and Artists’ Association in Dili in February 2003. One of the school missions is to use art as
therapy for the youth of this post-conflict country.
The background of East Timor in its historical aspects provides the basis for this thesis. Related to the country history of violence during conflict and resistence movement, the objective is to see the use of art in the artists’ artistic and creative process in building the national identity. Timor Leste gained independence on May 20,
2002. The country’s story before the independence is a story of a struggle, a story of a nation and people’s sacrifice to win their honour as a free country.
This thesis is a study about interpretation the people’s memory collective that is reflected in the artwork, which designs the process of the identity construction. The main theory used in this thesis is the Lacanian Psychoanalysis. This study is aimed to bring more knowledge about the contribution of visual art and its creativity process on the process of national identity building.
(14)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI...iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...iv
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...v
MOTTO...vi
PERSEMBAHAN...vii
KATA PENGANTAR...viii
ABSTRAK...x
ABSTRACT...xi
DAFTAR ISI...xii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang...1
Timor Leste dan Gambar-Gambar Pada Batu ...1
Timor Leste dan Cerita Perang ...4
Arte Moris, Cerita dan Riaknya ...9
B. Rumusan Masalah ...12
C. Tujuan Penelitian ...12
D. Manfaat Penelitian ...13
E. Kajian Pustaka ...13
F. Kerangka Teoritis ...20
1. Levine’s Lacan Reframed : The Gaze...21
2. Simptom ...24
3. Empat Wacana ...26
4. Memori Kolektif ...30
G. Metode penelitian ...32
H. Pengolahan Data...33
(15)
xiii
BAB II ARTE MORIS DAN SENI VISUAL DI TIMOR LESTE
...35
2.1. Selayang Pandang Seni Rupa di Timor Leste...35
2.1.1 Pra Arte Moris : Situs Lenehara, Timor Bonita, dan Seni Visual dalam Pergerakan...35
2.1.1.a. Gambar di Gua Kapur...35
2.1.1.b. Cita Rasa Eropa : Timor Bonita...39
2.1.1.c. Seni Visual di Masa Integrasi : Keberadaannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan...41
2.1.1.d. Tais : Warna dalam Sebuah Kebudayaan Visual...45
2.2. Kisah Arte Moris...49
2.2.1. Yahya Lambert : Indonesian Connection...49
2.2.2. Luca dan Gabriela Gansser : Seni Sebagai Terapi...56
2.2.3. Artistas : Para Seniman di Gedung Bekas Museum...60
2.2.3.a. Residence Artists...61
2.2.3.b.Seniman Senior...67
2.3. Ragam Karya...70
2.3.1 Adat Tradisional dan Simbol-Simbolnya...71
2.3.2. Politik...75
2.3.3. Trauma...78
(16)
xiv
BAB III MEMBACA SEBUAH PERGULATAN : IDENTITAS NASIONAL DALAM
KARYA LUKISAN ...85
3.1. Membingkai Lukisan Seniman Arte Moris dengan Teori Psikoanalisa Lacanian...85
3.1.1. Simptom : Elemen-Elemen Visual di Dalam Lukisan...90
3.1.1.a. Tradisionalitas yang Tervisualkan...96
3.1.1.b. Tokoh di Dalam Lukisan...104
3.1.1.c. Lautan dan Gunung Bendera...109
3.1.2. Identitas Kebangsaan dan Karya Seni Visual : Seniman yang Histeris...117
3.1.2.a. Histeria di Dalam Karya-Karya Tony : Sebuah Gugatan...119
3.1.2.b. Dari Simptom ke Pengetahuan : Tony dan Lukisan-Lukisan “Hakarak Livre”...133
BAB IV KESIMPULAN...140
4.1. Karya Seni Visual dan Muatan Identitas Nasional ...140
4.2. Arte Moris dan Dalan Arte Nian : Mencari Identitas Timor Leste ...144
DAFTAR PUSTAKA...148
(17)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Timor Leste dan Gambar-Gambar Pada Batu
Di dalam sebuah buku pelajaran, untuk mata pelajaran sejarah, dengan judul Sejarah Perjuangan Rakyat Timor-Timur Untuk SD1, terdapat sebuah foto yang berisikan gambar garis-garis yang saling memotong, hingga membentuk sosok manusia. Menurut keterangan di dalam buku tersebut, gambar itu ditemukan di dinding batu di dalam gua-gua di daerah Manatuto, sebuah daerah yang pernah menjadi tempat dengan status setingkat kabupaten di masa Integrasi Timor Leste dengan Republik Indonesia. Buku sejarah yang menulis tentang gambar itu, adalah sebuah buku sejarah untuk Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Depdikbud pada tahun 1995. Penjelasan tentang gambar tersebut, mengatakan bahwa gambar itu berasal dari masa beberapa puluh abad sebelum masehi. Penjelasan tentang gambar itu adalah uraian tentang bentuk-bentuk kebudayaan, dalam hal ini ekspresi visual yang diartikan sebagai suatu hal yang merupakan bagian dari identitas diri orang atau masyarakat Timor Timur, atau Timor Leste.
Gambar di atas batu, di dinding-dinding gua itu pun mengalami sebuah proses pemaknaan lagi ketika ada bentuk-bentuk pembahasan yang bertujuan menjadikannya sebagai salah satu titik acuan untuk bicara tentang Timor Leste dan seni visual di negara tersebut. Sebuah acuan yang disebut sebagai titik awal.
1
Lihat Zuhdi, Sutjianingsih,Sri.1995.Sejarah Perjuangan Rakyat Timor-Timur Untuk SD. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(18)
2
Gambar tua tersebut dijelaskan sebagai yang berupa bentuk ekspresi singkat dari sebuah bentuk kebudayaan yang hidup dan pernah ada di masa lampau. Sebuah bentuk espresi yang digambarkan telah meneruskan rambatan gaungnya hingga ke masa sekarang, jika dilihat dalam suatu wadah pengertian, atau sudut pandang sejarah seni visual Timor Leste. Sudut pandang tersebut dapat dilihat dari pembahasan yang dibuat oleh Silva dan Barkmann.
The contemporary art movement of Timor-Leste has appered over the past decade, most prolifically as political graffiti and murals on the derelict walls and street facades of Dili, Baucau, Suai, and Lospalos. These recent expressions distantly echo the nation‟s ancient rock art heritage, which was similiarly painted on walls.2
Pembahasan mereka memakai bentuk peninggalan sejarah yang sama dengan yang terdapat dalam buku pelajaran untuk SD tersebut, yaitu gambar-gambar tua di dalam gua. Pembahasan ini menguraikan tentang ditemukannya bentuk seni visual yang ada pada dinding gua batu di Distrik Baucau, serta di Region Tutuala dan Bauguia. Daerah ini merupakan daerah di wilayah timur dari Timor leste, Distrik Manatuto pun terletak di wilayah yang sama. Menurut Silva dan Barkmann, gambar yang diperkirakan berusia 6.000 tahun ini adalah sebuah ekspresi singkat, ephemeral expression yang datang dari masanya yang jauh3.
Ketika masa transisi terjadi di Timor Leste yang pada saat itu akan beralih dari “Timor-Timur” menjadi “Timor Leste” di sekitar tahun 2002, seorang warga negara Swiss, beserta istrinya hadir di situ, sebagai bagian dari misi badan PBB. Pada saat itu di Timor Leste terjadi proses peralihan kekuasaan, administrasi, serta pembentukan kerangka-kerangka landasan untuk sebuah pemerintahan yang baru.
2
Silva, Abilio d. C. dan Barkmann,ed.2008. A Contemporary Art Movement in Timor Leste :an essay. Museum and Art Gallery Northern Teritory in partnership with the National Directorate of culture,Timor Leste.
3 Ibid
(19)
3
Pasangan warga negara Eropa itu menemukan bahwa terdapat beberapa kenyataan, berdasarkan pengamatan mereka, tentang Timor Leste sebagai sebuah negara muda. Kenyataan-kenyataan seputar keadaan dan situasi sosial yang masih jauh dari kemakmuran. Seperti yang dapat disaksikan dalam sebuah program dokumenter pendek dari www.suprememastertv/ ee.com, dalam program itu ditayangkan laporan-laporan tentang peran sebuah organisasi bernama Arte Moris, yang disebut sebagai sebuah lembaga pendidikan seni yang pertama di Timor Leste. Dalam wawancara dengan pendiri lembaga tersebut, disebutkan bahwa yang menjadi salah satu dasar dari lahirnya organisasi itu adalah kenyataan bahwa pemuda-pemuda di tempat tersebut sebagian besar tidak memiliki kegiatan khusus untuk dilakukan ; sebagian besar dari mereka menganggur. Faktor penting lainnya adalah adanya bakat-bakat yang terlihat melalui sejumlah graffiti di jalanan kota tersebut.
Semua kenyataan dari tuturan diatas berhubungan dengan gambar-gambar di atas batu. Jalinan yang membentuk ide, baik dalam perbincangan tentang sejarah, maupun masalah-masalah lain yang berhubungan dengan keadaan masyarakat di Timor leste dapat dilihat lewat rangkaian-rangkaian narasi gambar-gambar tersebut, gambar-gambar yang dibuat pada batu-batu di dinding gua, dan yang dibuat di atas tembok-tembok, mungkin rumah atau pagar, mungkin juga reruntuhan yang berdasarkan konteks waktunya berasal dari sisa-sisa peristiwa penghancuran dan pembakaran yang pernah melanda kota Dili, ibu kota Timor Leste. Gaung dari ribuan tahun silam itu, dapat dikatakan telah diberikan saluran untuk meneruskan rambatannya.
(20)
4
Bicara tentang sejarah pendidikan seni (fine art) di Timor Leste, maka pertama kali diajarkan kepada penduduk pribumi Timor Leste di sekolah elit Portugis di suatu masa di abad 20. Hal ini dapat dilihat dari catatan tentang Cinatti, seorang sarjana Portugis yang menjadi guru untuk pendidikan seni di Sebuah sekolah di Lahane pada tahun 1947. Catatan tentang sarjana ini dapat dilihat dalam kutipan berikut, ”Noting the ability of a young student who was bound by a culture, of which he was not conscious‟ that enabled him to surpass his (Cinatti) Western-style drawing tuition and produce a uniquely Timorese landscape”4
. Para murid dari Cinatti ini kemungkinan besar adalah salah satu dari para pelukis yang kemudian menjadi bagian dalam kelompok seniman-seniman Timor Leste di beberapa masa berikutnya. Kelompok yang kemudian berkembang, dan yang di dalamnya termasuk beberapa pelukis seperti Jose Martins Barnco, Daniel Peloi, Sequito Calsona, dan Joao Soriano. Kelompok ini mulai berkarya, dan mengadakan pameran di masa Timor Portugis dari tahun 1950an dan terus aktif di masa-masa setelahnya. Mereka kebanyakan melukis dalam gaya romantik-realis. Hingga akhirnya pada tahun 1990an mereka mendapatkan kedudukan sebagai seniman-seniman senior di Timoe Leste5.
Timor Leste dan Cerita Perang
Sejarah panjang yang dimiliki Timor Leste sebagai sebuah bangsa banyak diisi dengan cerita dari kejadian tentang konflik atau perang. Hal ini dapat dimulai dari titik waktu ketika tempat tersebut masih berupa sebuah pulau yang dihuni oleh kerajaan-kerajaan kecil. Hingga sampai di masa datangnya kekuasaan
4
Silva, Abilio d. C. dan Barkmann 2008.op.cit. 5
(21)
5
asing yang juga membawa pengaruh sehubungan dengan kepentingan mereka yang juga menciptakan konflik dan perang-perang tersendiri. “Perburuan kepala manusia, yang juga merupakan bagian dari tradisi Timor,baru dihapuskan di abad ini. Menurut Hicks ini adalah sebuah kegiatan popular yang alasan utamanya adalah ritual dan gengsi sosial”6. Uraian dalam buku 500 tahun Timor Loro Sae
yang ditulis oleh Geoffrey C. Gunn menunjukkan sebuah gambaran budaya perang yang dimiliki oleh kelompok-kelompok suku di Timor yang di masa sebelum abad ke 18 berada di bawah kekuasaan pangeran-pangeran. Gunn mengarahkan penelitiannya secara khusus kepada konsep peperangan orang Timor yang disebutnya sebagai Funu; Perang (Tetum).
Di bawah kolonisasi portugis yang berlangsung sejak tahun 1556, yang dimulai ketika sekelompok misionaris Dominikan tiba dan menetap di desa Lifau dan makin berkembang pada era 1600an ketika Portugal memulai rute perdagangan ke Timor bagian timur, kejadian-kejadian berupa perang mengambil bentuknya sendiri sehubungan dengan kedatangan pihak asing ini. Timor di saat itu digambarkan sebagai sebuah wilayah dengan tingkat pemberontakan yang cukup tinggi dari kaum pribumi terhadap kaum penjajah. Pemberontakan ini seringkali dipadamkan dengan cara kekerasan. Hal yang menjadi perhatian Gunn adalah kemampuan pemberontakan ini untuk bertahan dan menjadi suatu bentuk kebudayaan dengan semangatnya tersendiri. Sebuah perang atau pemberontakan yang diturunkan antar-generasi yang terjadi sampai zaman modern. Sebuah peperangan yang selalu teritualisasi. “Gubernur Affonso de Castro menulis pada tahun 1860an : Pemberontakan di Timor terjadi terus-menerus, bisa dikatakan
6
(22)
6
bahwa pemberontakan adalah keadaan yang normal sedangkan ketenangan adalah perkecualian”7
.
Di bawah pendudukan Jepang, sebagai akibat dari efek Perang Dunia II, Timor Leste juga mendapatkan “bagiannya”. Sebuah kutipan menyebutkan “The Japanese military occupation of Timor in 1942 was disastrous, as drought struck in 1944 and at least 40,000 people died”8
Posisi Timor yang strategis sebagai pintu pertahanan sekaligus batu pijakan terhadap Australia menjadikannya sebagai bagian dari ambisi jepang yang di saat itu punya pengaruh besar di Asia.
Setiap era, yang dalam pembahasan ini dikelompokan berdasarkan para penguasa administratifnya, memiliki cerita masing-masing tentang orang Timor dengan cara mereka bertahan yang oleh Gunn disebut sebagai “perang teritualisasi”. Masa kedatangan dan keberadaan Indonesia sebagai pemegang kekuasaan memberikan cerita yang menjadi rangkaian penting dalam topik dari tulisan ini. Cerita konflik, atau kekerasan dalam bentuk perang, pemberontakan, penganiyaan, teror, dan bentuk-bentuk kekerasan fisik dan non-fisik lainnya menjadi warna tersendiri bagi kehidupan orang Timor Leste di masa “Timor -Timur” itu. Berbagai kepentingan dan persilangan politik atas Timor Leste di kala itu memberikan banyak pendapat dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, dalam hal ini tentang data korban dari tindak kekerasan yang terjadi. Gin dalam bukunya menulis, “It became known that Indonesian troops had committed atrocities in December 1975 against the civilian population, as well as continued systematic violence with the aim of subduing resistance. The military forced the
7
Ibid 8
Ooi Keat Gin,ed.2004. Southeast Asia : a historical encyclopedia from Angkor Wat to East Timor.California : ABC-CLIO inc.
(23)
7
resettlement of the rural population. The ongoing war and the destruction or abandonment of food crops caused the deaths of possibly 100,000 people”9
. Keberadaan Indonesia yang menggunakan beberapa cara untuk mempertahankan kekuasaannya di Timor Leste mendapatkan perhatian dari pihak luar, terutama karena adanya resolusi PBB yang masih menempatkan masalah Timor Leste dalam suatu penangguhan karena ada beberapa masalah yang belum menemui penyelesaian yang jelas. Kedua pihak, baik pihak Indonesia dengan pemerintahan sipil dan militernya maupun para pejuang kemerdekaan Timor Leste yang digerakkan oleh FRETELIN (Frente Revolucionária do Timor- Leste Independente) dengan strategi perang gerilya dan gerakan klandestin (gerakan bawah tanah), saling berjuang untuk mencapai kepentigan masing-masing. Hasil dari semua itu adalah jatuhnya korban jiwa serta kerugian-kerugian lainnya di pihak masing-masing. Bentuk-bentuk strategi yang dipakai oleh Indonesia digerakan sebagian besar oleh kekuatan militer yang tidak jarang “bertemu secara langsung” dengan para aktifis klandestin yang sebagaian besar adalah masyarakat sipil.
In November 1991 new evidence of atrocities emerged with film of Indonesian troops shooting unarmed civilians in Dili. The numbers suggested by human rights NGOs are problematic in this case; Asia Watch, for instance, stated that between 75 and 200 unarmed demonstrators were kill. 10
Kekuasaan militer dengan tujuan penegakan kedaulatan yang berhadapan dengan perjuangan bawah tanah yang bertujuan sama yaitu mendapatkan sebuah kedaulatan, kurang lebih itulah sebentuk wajah konflik yang terjadi di Timor Leste dalam kurun waktu setelah Operasi Seroja 1975.
9
Ibid 10
(24)
8
Cerita perang berikutnya terjadi di masa awal setelah kemerdekaan berhasil dicapai. Timor Leste yang secara internasional diakui kedaulatannya pada tahun 2002 masih harus menghadapi konflik-konflik internal. Rentetan peristiwa yang bertemakan “keamanan yang terganggu” lahir dan tumbuh dengan subur. Kesulitan di berbagai bidang sebagai sebuah negara yang baru merdeka seolah menjadi alasan dan faktor utama dari lahirnya konflik-konflik ini dimulai dari perseteruan geng-geng pemuda dalam perkotaan sampai dengan pemberontakan dan perpecahan dalam militer yang meluas menjadi konflik antara subetnis. Pengalaman tentang konflik yang pernah terjadi di wilayah ini, dilihat dari sudut pandang penduduk Timor Leste yang lahir di era setelah tahun 50an maka akan didapatkan gambaran tentang paling tidak dua pengalaman konflik dalam dua kurun waktu, yaitu di masa kolonial Portugis dan di bawah pendudukan Indonesia. Masing-masing membawa cerita tersendiri. Pengalaman-pengalaman kolektif yang dimiliki sebagai bagian dari suatu komunitas, the impact of the killing was underlined by a schoolteacher who said that 70 per cent of the children in his class had lost one or both of their parents to war or famine11. Hampir setiap keluarga di kota Dili, memiliki cerita yang disebabkan oleh karena konflik-konflik yang sudah terjadi ini, baik berupa kehilangan salah satu atau lebih anggota keluarganya maupun kenangan-kenangan lainnya akibat konflik. Sebuah gambaran yang oleh J.G. taylor coba diungkapkan dalam kesimpulannya, the luck of the Timorese is to be born in tears, to live in tears and to die in tears12
11
Ibid 12
Lihat Taylor, John G. 1991. Indonesia’s Forgotten War: The Hidden History of East Timor. London : Zed Books.
(25)
9 Arte Moris, Cerita dan Riaknya
Pada tahun 2002, di masa restorasi kemerdekaan, pergerakan seni di Timor Leste yang disebut sebagai “gerakan seni kontemporer” mulai menemukan saat yang tepat untuk perkembangannya. Sebagian besar dari organisasi dengan fokus pada dunia seni dan keterlibatan kaum muda tersebut, dijelaskan hadir karena alasan potensi dari seni sebagai media bagi kebutuhan yang bersifat psikologis.
Working in derelict buildings with sporadic supplies of materials, a proliferation of new small art studio art such Becusi, Bulak, Weluru, Naroman, Jovil, Sukaer, and Faloikai appeared. The inherent therapeutic and reflective processes of art production explain attraction for young Timorese as they attempted to repair the psychological and social upheaval in their lives and society13.
Di masa-masa restorasi atau di awal-awal kemerdekaan bermunculan gerakan-gerakan seni kontemporer yang secara mendasar menunjukkan bahwa kegiatan seni yang mengandung sisi pengungkapan dan penyembuhan membuat gerakan-gerakan ini diminati oleh para pemuda. Seorang mantan anggota Sanggar Bulak, Iliwatu Danabere (2007) mengungkapkan pendapatnya tentang bagaimana seni ini punya peran tersendiri bagi dirinya dan diri sesama pemuda Timor Leste lainnya, we learned how to respond to terror in Dili with art. We didn’t fight like all the other youth, but expressed our hopes and fellings artistically14.
Di masa restorasi itu pulalah lahir Arte Moris Art School,Sekolah Seni Arte Moris, yang merupakan bagian dari bentuk-bentuk perencanaan paska kemerdekaan dan menjadi sebuah kontributor utama dalam gerakan seni kontemporer di Timor Leste. Nama Arte Moris berasal dari gabungan bahasa Tetum dan bahasa Portugis yang berarti “Seni yang hidup”, Living Art (Arte, Portugis: seni , Moris, Tetum : hidup). Arte Moris didirikan pada Februari 2003
13
Silva, Abilio d. C. dan Barkmann 2008.op.cit. 14
(26)
10
oleh seorang seniman yang berasal Swiss; Luca Gansser, dan istrinya Gabriela Gansser yang adalah seorang kordinator seni antar budaya. Proses pembentukan ini diikuti juga oleh sekelompok pemuda Timor Leste yang berbakat di bidang ini yang kemudian menjadi siswa pertama pada sekolah seni tersebut.
They (Luca and Gabriela Gansser) fostered with a dedicated group of approximately fifteen senior artists who, in association with visiting Australian, German, Italian, and Swiss artists, teach junior students. The school‟s students originate from the thirteen districts of Timor Leste. Based at the former site of the Provincial Museum of East Timor, which houses a permanent collection of Timor Leste‟s contemporary art, Arte Moris has shared its premises”15.
Visi dan misinya adalah pembinaan pada hal-hal seperti kreativitas, kerjasama, dan komitmen dalam usaha-usaha artistik. Prioritas ini digabungkan dengan kebijakan “pintu terbuka” yang bertujuan untuk menciptakan suatu lingkungan di mana pemuda Timor Leste atau orang-orang dari semua latar belakang bisa merasa nyaman untuk berpartisipasi dalam kelas dan mengekspresikan diri secara bebas melalui seni rupa.
Arte Moris telah mengadakan beberapa pameran di Timor Leste, Australia, dan Swiss. Dengan tanggapan dan kritikan yang beragam, seperti a hopeless mishmash of modes of representation 16dan juga dynamic symbolism17. Secara umum dapat dikatakan bahwa para seniman kontemporer Timor Leste tengah mengambil jalan dan menempuh waktu bagi diri mereka dalam menemukan kedewasaan berkarya serta kepercayaan diri dalam berekspresi. Konsep pembentukan nilai kebangsaan juga mendapat perhatian dari proses kreatif para seniman ini,seperti yang dikemukakan oleh Danabere berikut ini.
15
Ibid 16
Ibid 17
(27)
11
A tendency to paint classic portrait has surfaced in the more established artists while,for others, a surreal,‟mutated‟ style of iconic Timorese symbolism has emerged to provoke interest and attention in their work. Irrespective of style,through their passion and art,young artists contribute to nation-building as they assert a “positive impact on our surroundings”18.
Informasi awal tentang Arte Moris yang didapatkan oleh penulis sebagian besar berasal dari literatur-literatur yang sudah ada tentang lembaga tersebut. Informasi tersebut diperoleh dari studi pustaka maupun wawancara dengan orang-orang yang mempunyai hubungan atau pernah mempunyai pengalaman berhubungan dengan lembaga tersebut. Sebagai contoh, salah satu sumber yang dipakai oleh penulis adalah beberapa mahasiswa Timor Leste yang tengah belajar di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Para mahasiswa ini pernah menjadi bagian dari Arte Moris dan turut serta berproses di dalamnya. Pendapat yang mereka berikan sebagian besar tentang bagaimana lembaga tersebut merupakan bagian dari kekuasaan asing dengan kepentingan-kepentingan tertentunya di Timor Leste. Meskipun baru melalui kurun waktu yang relatif singkat, sejak pertama kali berdiri di tahun 2003, Arte Moris dapat diasumsikan sudah melalui sekian banyak proses dan perjalanan dengan lika-likunya tersendiri.
Penulis juga melihat pentingnya sebuah titik fokus yaitu bahasan dan tinjauan yang diarahkan pada pelukis-pelukis yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penulis mecoba untuk membahas bagaimana orang Timor Leste dalam hal ini para seniman atau orang-orang yangdi Arte Moris menuturkan identitas kebangsaan mereka melalui karya-karya seni visual dengan tema-tema tertentu di dalamnya.
18
(28)
12
Keberadaan dari karya-karya seni di dalam komunitas Arte Moris
merupakan sebuah bentuk pemaknaan para seniman di dalam komunitas tersebut atas hal-hal yang bersentuhan dengan mereka. Identitas kebangsaan sebagai orang Timor Leste merupaka salah satu dari hal tersebut. Dari pokok-pokok pikiran yang ada di dalam latar belakang ini, penulis mencoba menunjukkan adanya hubungan antara seni visual, dan sejarah dari Timor Leste khususnya sejarah perjuangannya yang meliputi masa-masa kekelaman dan konflik. Hubungan kedua hal tersebut dilihat sebagai dasar di mana gejolak untuk berbicara tentang identitas nasional kebangsaan menemukan tempatnya untuk bergerak. Hal-hal tersebut juga terangkai dalam sebuah bentuk jaringan ingatan kolektif yang dimiliki oleh para seniman sebagai individu di dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bentuk-bentuk visual apa saja dari karya-karya itu yang dianggap bisa menjadi simptom memori kolektif tentang Identitas kebangsaan Timor Leste ?
2. Apa sumbangan proses identifikasi atas simbol-simbol dalam karya-karya tersebut pada pembentukan identitas kebangsaan Timor leste?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Membahas karya-karya visual, dalam hal ini lukisan para seniman di Arte Moris, Timor Leste, dengan secara lebih khusus mengamati bentuk-bentuk visual di dalamnya yang berkaitan dengan tema identitas kebangsaan.
(29)
13
2. Bentuk-bentuk visual tersebut dianalisa dengan sudut pandang Psikonanalisa Lacanian, di mana mereka kemudian dikategorikan sebagai simptom. Salah satu tujuan penelitian ini adalah membahas simptom-simptom tersebut, pada keberadaan dan proses identifikasinya. Serta melihat hubungan serta peranananya dalam diskusi, pembahasan, dan pembentukan identitas kebangsaan, dalam hal ini identitas kebangsaan Timor Leste.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat pembentukan wacana identitas nasional kebangsaan yang ada tengah dihadapi Timor Leste sebagai sebuah negara yang berusia relatif muda. Bentuk identitas kebangsaan yang dibahas di dalam tesis ini adalah identitas kebangsaan Timor Leste yang dapat terlihat di dalam karya seni lukis para seniman-seniman muda di negara tersebut. Manfaat penelitian ini, secara umum, adalah memberikan perluasan dan ruang-ruang baru pada diskusi yang membahas hubungan antara karya seni dan identitas nasional dalam perspektif psikoanalisa Lacanian. Tulisan ini juga dapat bermanfaat untuk secara khusus menambah khazanah diskusi dan penelitian tentang Timor Leste dan perkembangannya di bidang seni visual serta wacana identitas nasionalnya.
E. Kajian Pustaka
Tema identitas kebangsaan dan hubungannya dengan seni, dalam hal ini seni rupa telah menjadi bahan kajian yang banyak dibahas dalam penelitian maupun tulisan-tulisan. Masalah identitas kebangsaan Timor Leste dapat ditemui dalam beberapa tulisan seperti pada sebuah buku yang ditulis oleh Martinho da Silva Gusmao yang berjudul, ”Timor Lorosae: Perjalanan menuju Dekolonisasi
(30)
Hati-14
Diri”19. Buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia ini merupakan kumpulan esai yang ditulis oleh seorang pastor. Sebagian besar bercerita tentang pertentangan pendapatnya dengan beberapa politisi tentang keadaan di Timor Leste pasca rencana diadakannya referendum. Dalam beberapa argumentasinya dia menawarkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk “dekolonisasi” diri.
Melalui sebuah esainya, di dalam buku itu, Gusmao memaparkan beberapa ide tentang usaha dekolonisasi bagi masyarakat Timor Leste20. Ada sebuah modal dasar, menurut Gusmao, yang telah dimiliki oleh masyarakat Timor Leste yaitu dasar kebudayaan yang kuat. “kekuatan perjuangan kita terletak dalam resistensi kebudayaan. Kebudayaan kita memiliki karakter yang unik, sehingga sulit dicari sebuah titik paling lemah atau paling kuat untuk dikalahkan21”. Sisi keunikan dari kebudayaan ini tak dijelaskan secara lebih luas kecuali lewat pembahasan tentang bahasa Tetum dan kehadiran budaya campuran atau Mestico. Gusmao lebih banyak mengkritik cara pandang budaya lain, dalam hal ini dari sisi historis kedatangan Portugis dan Indonesia ke Timor, yang telah menghasilkan suatu definisi tentang budaya Timor tersendiri yang cenderung bias.
Modal dasar kebudayaan yang kuat tersebut adalah sebuah dasar untuk melaksanakan dekolonisasi diri. Proses ini akan didukung dengan keberadaan bahasa Tetum,khususnya Tetum Dili, yang lahir sebagai hasil negosiasi dari masyarakat asli Timor dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang datang dari luar. Menurut Gusmao, bahasa Tetum adalah sebuah karakter khas.
19
Gusmao,Martinho G. da Silva.2003. Timor Lorosae: Perjalanan menuju Dekolonisasi Hati-Diri.
Malang:Dioma. 20
Ibid 21
(31)
15
Tetum Dili ialah sebuah Tetum yang tidak pribumi, tidak Portugis, dan tidak Indonesia. Tetum Dili adalah sebuah “Tetum prokem” yang tanpa struktur, tanpa bentuk dan bergaya popularistik. Ia berbeda dengan Tetum Soibada, Viqueque dan Suai (Atambua) yang relatif terstruktur secara gramatikal, sintaktik,dan semantik22.
Posisi bahasa ini juga berhubungan, atau bisa dikatakan hadir secara bersamaan, dengan keberadaan budaya campuran, atau mestico cultural yang hadir karena proses penjajahan. Kebudayaan campuran ini mewarnai identitas masyarakat Timor dan Gusmao mengkritisi bagian-bagian dari kebudayaan campuran seperti adanya rasa “setengah” menjadi orang Timor, atau sikap apatisme dan oportunistik yang dinilainya dapat membawa kerugian.
Secara umum pandangan Gusmao merupakan sebuah pembacaannya atas masalah identitas masyarakat Timor Leste, khususnya tentang wacana dekolonisasi, di masa awal kemerdekaan (tulisan dibuat tahun 1999) dan salah satu aspek yang ditekankannya adalah peranan Gereja Katholik dalam proses tersebut. Dekolonisasi kognisi, atau yang juga disebut Gusmao sebagai “aspek emosional” adalah masalah yang belum selesai atau paling terbelakang prosesnya dibanding dekolonisasi politik dan ekonomi23. Menurut Gusmao Gereja punya solusi berupa solidaritas pastoral dan rekonsiliasi, akan tetapi faktanya adalah di sisi lain ada pihak Negara dengan cara dan kepentingan tersendiri. Gesekan dari dua pihak inilah yang akan menciptakan tertimbunnya banyak pergolakan emosional di arus bawah sadar kognisi yang berpotensi untuk meletus.24 Dengan demikian, dari pemaparan Gusmao kita melihat adanya sisi-sisi identitas yang dipandang sebagai dasar yang berpotensi kuat, dengan sisi sejarah kolonialitas dan
22
Ibid 23
Ibid 24
(32)
16
resistensinya, untuk membahas pembentukan identitas kebangsaan Timor Leste, yaitu bahasa Tetum.
Douglas Kammen dalam esainya yang berjudul “Subordinating Timor: Central Authority and the Origins of Communal Identities in East Timor”25,
membahas tentang identifikasi orang Timor berdasarkan konsep Timor-Barat dan Timor-Timur atau yang lebih dikenal dengan istilah Kaladi dan Firaku sebagai fokus bahasannya. Wacana Kaladi dan Firaku telah berkembang sejak masa kolonial dan menjadi salah satu bentuk identifikasi yang membentuk corak identitas dan kedirian masyarakat Timor Leste. Kammen memaparkan dalam penjelasan historis yang cukup detail tentang perkembangan wacana ini dari masa kolonial hingga pada pengaruhnya pada konstelasi politik Timor Leste, bahkan salah satu faktor dasar konflik di tahun 2006.
Pada dasarnya, konsep ini bersifat geografis, Firaku merujuk pada kelompok suku-suku yang mendiami daerah bagian timur dari negara tersebut yang dikarakterkan keras kepala dan pemberontak, sedangkan Kaladi berarti suku-suku yang mendiami daerah bagian barat yang cenderung dikarakterkan lebih tenang dan dapat bekerja sama. Akan tetapi bila dilihat lebih dalam, konsep ini dibentuk oleh sisi lain yang cukup kuat yaitu bahasa, dan juga kebudayaan makanan yang dimiliki oleh suku-suku dalam kategori pembagian tersebut. Tulisan Kammen menunjukkan variasi yang cukup banyak tentang pemahaman yang pernah dibuat konsep pembedaan suku ini. Konsep-konsep tersebut menurut Kammen, merujuk
25
Lihat Kammen.D. Subordinating Timor: Central Authority and the Origins Of Communal Identities In East Timor. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 166-2/3 (2010):244-269 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.2010.
(33)
17
pada satu kesimpulan tentang sebuah ide dasar yang menjadi landasan pembedaan ini. Sebuah dasat yang bersifat alami, yaitu kebudayaan makanan.
Adalah jelas bahwa kata caladas/callades merupakan bentuk jamak dari bahasa Portugis untuk kata keladi dari bahasa Melayu/Tetum, dan tidak seperti kepercayaan umum bahwa adalah kata itu merupakan perkembangan dari bahasa Portugis calado yang berarti tenang. Peran makanan dalam kemunculan sebuah identitas kolektif adalah salah satu fitur penting pada bagian awal dari Timor yang modern.26
Pembahasan yang disusun oleh Kammen memberikan sebuah gambaran bahwa pada dasarnya identitas kolektif yang ada pada suatu kelompok berasal dari hal-hal yang merupakan sisi-sisi natural dari komunitas tersebut. Pada perkembangannya konsep-konsep tersebut mengalami perluasan atau penyempitan sesuai dengan kepentingan dari pihak-pihak yang menggunakan bentuk identifikasi tersebut. Hal tersebut seperti tulisan dari Mendes Corrêa, seorang antropolog, yang dibuat pada tahun 1944 yang dikutip oleh Kammen,” Firacos dan Caladi, Belos dan Atoni, semua „kerajaan‟, lebih dari empat puluh bahasa dan dialek, aneka ras, pusat-pusat kekuatan,telah diatur untuk bermusuhan satu dengan yang lainnya”27
.
Kolonialisme Portugis telah memakai konsep Kaladi dan Firaku sebagai bagian dari politik penjajahan mereka, dan pada masa Timor Leste modern, konsep identifikasi ini mungkin untuk dipakai menjadi dasar atau bagian dari pergerakan-pergerakan politik di negara tersebut. Kammen menyimpulkan bahwa identifikasi ini secara jelas mencerminkan sebuah gambaran sosial-ekologi yang dalam dan yang membentuk hubungan kekuasaan di negara tersebut yaitu “
26
Ibid 27
(34)
18
perbedaan antara mereka yang makan nasi dan mereka yang bergantung pada keladi, jagung, atau menahan lapar pada masa paceklik tahunan”. Hal ini merangkum sebuah bentuk cara bertahan hidup dan sehubungan dengan kebudayaan makanan dari orang Timor Leste sekaligus bagaimana hal tersebut telah menjadi sebuah identitas yang di dalamnya terdapat perbedaan seperti posisi geografis, ras, bahasa, ideologi politik, dan tentu saja yang paling penting kemampuan ekonomi.
Perihal konsep kebangsaan Timor Leste dan pembahasan-pembahasan tentang konstruksinya, terutama masih berkaitan dengan konsep timur dan barat, dapat kita lihat pada esai berikut ini. Damien Kingsbury dalam esainya yang berjudul “National Identity in Timor-Leste: Challenges and Opportunities28”, memberikan sebuah argumen dasar bahwa konsep timur dan barat ini “had serious implications for the fledgling country‟s attempts at building a cohesive national identity to serve as the basis for its future development.”29
Di dalam analisanya, Kingsbury melakukan pengamatan atas dua distrik di Timor Leste yaitu Bobonaro dan Viqueque. Bobonaro dilihat sebagai perwakilan dari daerah barat, sedangkan Viqueque perwakilan bagian timur, dan dasar dari klasifikasi ini adalah peran dua distrik tersebut pada pemilihan umum tahun 2007.
Pada tahun 2007, penduduk Viqueque dengan luar biasa bersuara untuk partai yang kemudian menjadi partai yang memegang pemerintahan, Fretelin, dengan memberikan dukungan berupa enam puluh persen suara dalam pemilu di wilayah tersebut. Terpisah jauh dari Ibu Kota, Dili, Bobonaro adalah distrik yang dapat dikatakan kurang perhatian, dan terhitung di antara wilayah-wilayah yang berhubungan dengan „barat‟. Bobonaro bersuara melawan Fretelin, dengan hanya memberikan enam
28
Lihat, Kingsburry, D.2006. National identity in Timor-Leste: challenges and opportunities.South East Asia Research.
29
(35)
19
belas persen suara. Dari studi kasus inilah, tulisan ini bermaksud untuk mengukur tantangan dan kesempatan dari penyatuan nasional di Timor Leste.30
Kingsbury memberikan uraian yang panjang tentang proses pemerintahan di Timor Leste sebelum dan sesudah Pemilu 2007. Dari situ dia menganalisa bagaimana perbedaan yang bersumber dari konsep timur dan barat mempengaruhi orang Timor Leste dalam melihat dirinya maupun orang-orang lain, khususnya dari suku-suku yang lain di negara tersebut. Sejarah pergerakan atau resistensi mempengaruhi wacana ini dan konflik tahun 2006 dapat disebut bahwa terjadi sebagai puncak dari pemakaian wacana identifikasi ini. Identitas timur dan dan barat berakar dari unsur bahasa yang menjadi pemersatu sekaligus pembeda dalam komunitas suku-suku di Timor Leste.31
Dari pembahasannya Kingsbury memberikan sebuah pendapat bahwa dalam konteks konflik tahun 2006 yang terjadi di Timor Leste, kelompok masyarakat di Dili, Ibu Kota negara, berdasarkan survey32 merasa keadaan mereka jauh lebih aman dengan posisi yang lebih netral dalam konflik timur-barat tersebut, dan dengan bahasa Tetum sebagai bahasa kelompok masyarakat di Dili, yang merupakan Lingua Franca sehingga secara langsung terhindar dari konflik yang juga punya latar belakang linguistik tersebut. Berdasarkan data ini, Kingsbury mengajukan sebuah ide tentang civic identity atau identitas kekotaan yang dapat menggantikan etnisitas dan kemudian menjadi basis untuk menjadi identitas
30
Ibid hal 134 31
Ibid 32
(36)
20
kebangsaan,33” In that civic identity can replace ethnicity as the basis for national identity, unity can cohere around common core civic themes, which can in turn reflect a sense of civic nationalism.” Ide ini diakuinya bukan sebagai ide yang dominan di dalam tulisannya dengan alasan sehubungan dengan realita di Timor Leste, hal ini akan membutuhkan waktu dalam perkembangannya.
Persamaan yang paling terlihat dari ketiga penulis di atas adalah adanya fokus atau penekanan yang cukup kuat diberikan pada aspek bahasa. Gusmao melihat posisi bahasa Tetum sebagai sebuah modal yang dapat dipakai untuk apa yang dia sebut dengan dekolonisasi hati-diri34. Bagi Kammen dan Kingsbury bahasa merupakan salah satu akar yang membentuk identifikasi timur-barat yang hadir di Timor Leste. Kammen menunjukkan bahwa identifikasi tersebut merupakan jalan masuk untuk membahas relasi kekuasaan di Timor Leste. Sedangkan secara lebih khusus, Kingsbury melihat bahwa ada sebuah dasar yang dapat dipakai untuk membentuk identitas kebangsaan, yaitu identitas kekotaan, civic identity35 dengan bahasa Tetum sebagai bagian penting dari bentuk identifikasinya.
F. Kerangka Teoritis
Untuk menjawab rumusan masalah dalam tesis ini, penulis akan menggunakan teori psikoanalisa dari Jacques Lacan ( 1901-1981) dan teori tentang memori kolektif. Teori-teori Lacan yang dipakai adalah antara lain teori simptom, yang akan menjawab salah satu masalah utama dalam tesis ini, teori
33
Ibid. 34
Gusmao (1997)op.cit.Hal.88.
(37)
21
Gaze ,dan teori Empat Wacana. Sehubungan dengan penggunaan teori Lacan dalam penelitian seni visual, maka salah satu referensi yang dipakai adalah buku
Lacan Reframed, yang ditulis oleh Steven L. Levine36. Buku tersebut memberikan pembahasan yang cukup padat dan terperinci tentang penerapan konsep-konsep psikoanalisa Lacanian dalam seni, khususnya seni visual.
1. Lacan Reframed Karya Levine : Lacan di dalam Seni Visual
Seperti yang seringkali diungkapkan tentang Lacan, “others could be Lacanian if they wished, but he (Lacan) always affirmed his allegiance to Freud”37, maka pembahasan tentang pemikirannya akan selalu membuka ruang rujukan menuju pada pemikiran-pemikiran dari Freud. Seperti yang diangkat oleh Levine di dalam Lacan Reframed, dalam pengamatan Freud terhadap karya lukisan Da Vinci, yaitu Mona Lisa, penekanan pendapatnya terdapat pada bentuk dari karya visual sebagai suatu sublimasi dan cara desire atau hasrat berperan dalam penciptaan karya seni. Dalam karya Mona Lisa, dapat disebut bahwa hasrat yang dimiliki oleh pelukis yaitu Leonardo Da Vinci, adalah hasrat dari seorang anak akan ibunya. Si pelukis menyampaikan desire ini dalam sebuah keadaan di mana dia melihat atau dilihat ibunya. Anak merupakan subyek yang berhasrat dan ibu merupakan obyek yang hilang, demikian pendapat Freud tentang sublimasi, yang mana dalam kasus ini seni visual yang mengambil perananannya, yaitu sebuah proses yang, renewed linkage of desiring subject and lost object38.
Dalam pembahasan tentang karya Leonardo Da Vinci, Lacan lebih mengacu kepada karya itu sendiri dari pada kepada seniman penciptanya. Dalam
36
Lihat, S. L. Levine 2008, Lacan Reframed,London:I.B. Tauris and Co.Ltd,. 37
Ibid 38
(38)
22
melihat karya Mona Lisa, Lacan mempertanyakan tentang konsep sublimasi yang diajukan oleh Freud. Bila Freud melihat sublimasi itu sebagai bentuk pengganti kepuasan untuk menyembuhkan rasa kehilangan, maka Lacan melihat sublimasi itu , dalam kaitannya dengan tiga tatanan dasar pembentukan subyek dalam psikoanalisanya yaitu tatanan Imajiner, Simbolik, dan Real.
Pada lukisan Da Vinci yang dianalisa Lacan, fokus penjelasannya ada pada identifikasi yang dilakukan subyek atau seorang anak. Identifikasi ini berdasarkan teorinya yaitu fase cermin, di mana anak mendapatkan gambaran dirinya lewat sosok sang ibu. Ini adalah tahap yang disebut tahap Imajiner. Pada tatanan Simbolik terjadi perubahan pada anak atau subyek, yaitu ketika anak mengalami goresan yang merupakan bagian dari proses ini. Pada bagian ini terjadi perpisahan antara mata yang lebih bersifat biologis dan indrawi dengan sebuah mata dari kedirian yang bergerak karena hasrat atau desire yang oleh Lacan disebut Gaze
atau tatapan.39
Sebagai sebuah kesimpulan atas pembacaan Lacan dapat dikatakan bahwa, Lacan melihat seni sebagai sublimasi itu sebagai ,”struktur umum dalam masyarakat di mana dunia Imajiner dari persepsi pengalaman kesekarangan dilindungi oleh jaringan penanda Simbolik yang merujuk pada Real permulaan di masa lalu, serta jalan setapak masa depan menuju pada kematian manusia yang penuh makna. 40”.
Teori tentang Gaze atau tatapan menjadi salah satu dasar dari pendapat Lacan dalam mengamati lukisan-lukisan karya Leonardo Da Vinci. Di dalam
39
,S. L. Levine 2008.op.cit.28 40
(39)
23
Lacan Reframed, penjelasan tentang Gaze dihubungkan dengan sebuah kunci untuk masuk ke dalam pembahasannya tentang seni visual, yaitu ide tentang keterbelahan, split. Levine menjelaskan tentang ide kunci ini, yaitu, “the split between the imaginary eye and the symbolic gaze.41” . Pembahasan tentang Gaze
secara khusus dimulai dari argumen Lacan yang menggunakan ide Merleau Ponty tentang pra eksistensi dari wilayah penglihatan.
Lacan percaya bahwa pada ide-ide pra eksistensi dari seluruh wilayah penglihatan sampai pada tiap-tiap mata individu yang melihat ke arah bumi. Di mana ketika individu melihat dari titik-titik tertentu pada ruang, maka individu tersebut terbuka untuk dilihat dari sisi mana saja.[...] dalam keadaannya yang terlihat oleh tatapan tak kelihatan (invisible gaze) dari orang lain, subyek menemukan dirinya sebagai sasaran untuk dipermalukan atau dijelaskan melalui penggambaran yang oleh Lacan dilihat sebagai hal yang sama dengan ketakutan akan pengebirian, atau castartion anxiety dalam bidang visual.42 Ketakutan akan pengebirian atau castartion anxiety ini muncul ketika subyek merasa dirinya ditatap oleh Liyan. Proses identifikasi subyek yang berkaitan dengan Gaze, adalah ketika subyek melihat sebuah titik pada bidang lihat maka pada saat itu juga dirinya terbuka untuk dilihat dari semua sisi.
Hal yang mendasar dari pemikiran tentang Gaze adalah bahwa subyek merupakan bagian dari “objek hilang yang tak kelihatan dari tatapan/ gaze ibu atau liyan (m/other) yang oleh dorongan scopic dipaksa untuk ditemukan tetapi hanya berhasil berputar-putar di tempat tak adanya objek tersebut.[...] subyek berperan sebagai objek yang hilang dari ibu atau liyan yang merupakan bentuk dasar dari objek „a‟.”43Gaze berkaitan erat dengan object „a‟, yang dalam bahasan
Levine adalah „penyebab hasrat untuk menemukan tatatpan yang hilang dari sang ibu dan juga penyebab dorongan untuk membingkai ulang gambaran visual dari
41
Ibid.p.11 42
S. L. Levine 2008.op.cit.Hal.69. 43
(40)
24
tatapan yang hilang itu ke dalam karya seni. 44 Apa yang dilakukan seniman sehubungan dengan karya mereka adalah mencoba menggambarkan tatapan yang hilang dari sang ibu tersebut, namun apa yang mereka dapatkan bukan sebuah tatapan utuh tetapi jejak-jejak atau objek „a‟ yang membawa mereka mendekati hal yang bagi mereka adalah sebuah kehilangan.
2. Simptom
Makna dari simptom secara umum lebih dikenal di bidang medis dan kedokteran yaitu sebagai gejala yang dialami oleh atau terdapat pada diri seseorang. Dalam psikoanalisa, simptom dilihat sebagai sebuah jalan untuk menanganai permasalahan, seperti yang dikatakan Lacan “to know how to handle, to take care of, to manipulate… to know what to do with the symptom, that is the end of the analysis”45. Simptom dapat menjadi pintu pertama dalam langkah-langkah analisa, dan menjadi bagian yang menghubungkan antara peneliti dan objek yang dikajinya.46 Penanganan masalah simptom bukan dengan cara menghilangkannya karena pada dasarnya simptom tak bisa dihilangkan. Simptom memiliki kecenderungan untuk muncul kembali dalam bentuk yang baru47.
Simptom merupakan bentuk kemunculan dari ketidaksadaran ke permukaan atau dalam bentuk bahasa. Dalam sebuah analisa, simptom akan dipergunakan sebagai cara untuk menghadirkan subyek melalui bentuk-bentuk
44
Ibi.84 45
J. Lacan, Le Séminaire XXIV, L'insu que sait de l'une bévue, s'aile a mourre, Ornicar ?, 12/13, 1977, pp. 6-7 (diterjemahkan dan diadaptasikan ke dalam Bahasa Inggris oleh Paul Verhaeghe and Frédéric Declercq dalam Verhaeghe, P. & Declercq, F. (2002). Lacan's analytical goal: "Le Sinthome" or the feminine way. In: L.Thurston (ed.), Essays on the final Lacan. Re-inventing the symptom. New York: The Other Press,. 59-83.
46
Lihat St. Sunardi.Yogya City of Desire. Jogja Art Files.Edisi Perdana. ERUPSI Akademia Psikoanalisa, Seni, dan Politik.2012. .42
47 Ibid
(41)
25
yang berbeda.48 Bentuk-bentuk baru yang akan hadir tersebut membuat subyek dapat mencapai apa yang disebut dengan kenikmatan. Maka hal yang akan dilakukan dalam analisa adalah mengamati dan menulis kembali ketidaksadaran berdasarkan kumpulan-kumpulan simptom yang ditemukan, dengan cara ini maka subyek akan mengalami perubahan, sebuah analisa dapat mempertemukan kembali subyek dengan dengan hasratnya atau desire49.
Dalam hubungannya kesenian dan proses berkarya simptom dapat dilihat dari cara “berbahasa” yang dipakai oleh para seniman dalam hasil karya mereka. Tim Dean dalam tulisannya “Art As Symptom: Zizek and The Ethics of Psychoanalytic Criticism” mengemukakan bahwa, dalam penjeleasan awal tentang makna simptom, Lacan mengungkapkan bahwa simptom tersusun seperti bahasa, dengan melihat aspek semiotika dari simptom maka simptom merupakan sebuah metafora yang berfungsi sebagai elemen pemakanaan50. Simptom dapat memberikan kepuasan tertentu juga kesakitan, maka inilah alasannya kita tak dapat menyingkirkan begitu saja simptom yang ada, Tim Dean mengemukakan, “our symptoms are what keep us going, and therefore they can not be removed without the risk of subjective dissolution. Simptom provide a cetain kind of satisfaction, as well as a measure of discomfort and pain51”. Simptom-simptom yang dibaca dari subyek hadir dalam bentuk bahasa metafora tertentu, dan memberikan rasa puas juga rasa sakit bagi subyek yang mengalaminya.
48
Ibid 49
Ibid 50
Tim Dean.27. 51
(42)
26 3. Empat Wacana
Teori Empat Wacana adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh Lacan yang terdiri dari empat bentuk. Keseluruhan empat bentuk tersebut menggambarkan variasi hubungan antara elemen-elemen dengan simbol-simbolnya sebagai berikut Subyek ($), Penanda Utama / Master Signifier (S1), Pengetahuan / Knowledge (S2), dan Surplus Joissance (a). Bentuk hubungan antara elemen-elemen tersebut berubah pada suatu mekanisme dasar dengan posisi-posisi sebagai berikut:
Agent Other Truth Product
Elemen-elemen yang telah disebutkan tadi akan mengisi empat posisi yang masing-masing telah memiliki fungsinya yang tetap seperti Agent ,pada posisi kiri atas, yang bertugas sebagai pembicara, seperti yang dijelaskan Paul Verhaeghe52 bahwa “ The first position is very logical : each discourse starts by somebody talking, called by Lacan the agent.53” dan posisi berikutnya, di bagian kanan atas tempat yang dituju oleh tanda panah adalah apa atau siapa yang menjadi lawan bicara dari agen tersebut yaitu Other atau Liyan. Sedangkan pada posisi kanan bawah ditempati oleh Product, yang merupakan hasil dari pembicaraan agen pada liyan. Semua proses itu sebenarnya didalangi oleh posisi kiri bawah yang ditempati oleh truth. Peran dari posisi truth ini adalah sebagai “as motor and
52
Lihat, Verhaeghe,Paul. Lacan Theory on Four Disucourses.4. Merupakan tulisan yang d iterbitkan di The Letter. Lacanian Perspectives on Psychoanalysis, 3, Spring 1995.91-108. 53
(43)
27 starting point of each discourse”54
. Empat wacana itu masing-masing adalah Wacana Tuan, Wacana Universitas, Wacana Histeris, dan Wacana Analis.
Wacana Tuan merupakan sebuah wacana yang dalam konteks sosial-masyarakat, dapat dipakai untuk menyusun sebuah tatanan di dalam masyarakat berdasarkan aturan-aturan simbolik yang ada55. Sehingga sifat dari wacana ini adalah dominasi. Berikut adalah gambar rumusan wacana tuan.
S1 > S2
$ a
Pada wacana tuan, yang menjadi motor penggerak adalah subyek ($). Subyek mendorong agen, yang ditempati oleh S1, penanda utama, atau dapat disebut juga hukum sang Ayah. Pada bagian ini, agen menempati posisi sebagai pihak yang bicara dengan aturan dan bahasa-bahasa kebenaran . Hal yang penting untuk diperhatikan di dalam wacana ini adalah hubungan antara S1 dan S2 yang bersifat Hegelian.
This implies that knowledge is also situated at the position of the other, which means that the other has to sustain the master in his illusion that he is at one with this knowledge. The pupils make the master or, in the Hegelian sense: it is the slave who confirms by his knowledge the position of the master.56
S2 sebagai liyan berada pada posisi yang mengakui bahwa sang agen bahwa dia berada di dalam posisi yang berkuasa. Sedangkan pada posisi product yang ditempati oleh obyek a, kita menemukan bahwa $ tidak dapat atau tidak memiliki akses langsung menuju objek a, sebagai cause of desire, “this object a, cause of
54
Ibid.5.
55Catatan dan diskusi Perkuliahan, “Psikoanalisa dalam Kritik Ideologi” Magister Ilmu Religi dan Budaya USD.2013.
56
(44)
28
desire, can never be brought into relation with the divided being of the $”57 Maka subyek perlu memakai wacana yang lain bila ingin bertemu dengan hasratnya.
Pada wacana histeris, posisi agent ditempati oleh subyek ($). Pada bagian ini subyek berbicara dengan cara yang khas, karena subyek dapat dikatakan juga sebagai tubuh (yang tidak berbahasa) maka yang menjadi bahasanya adalah energi libidinal58. Hubungan antara wacana tuan dan wacana histeris adalah perpindahan subyek ke posisi agen. Subyek yang di dalam wacana tuan diwakili oleh S1untuk berbicara, merasa tidak puas lalu berpindah untuk dapat berbicara atas namanya sendiri.
$ > S1
a S2
Wacana histeris adalah wacana orang yang sedang melakukan demonstrasi atau perombakan tatanan dalam masyarakat Hal ini akan semakin jelas terlihat apabila ada aksi kebertubuhan di dalam demonstrasi tersebut, seperti misalnya aksi menjahit mulut. Subyek berbicara kepada posisi liyan yang ditempati oleh S1, bentuk pembicaraannya ini adalah berupa protes dan gugatan. Wacana histeris harus dinilai bukan dari makna tetapi dari cara tubuh menunjukkan apa yang selama ini direpresi59. Apa yang dilakukan oleh subyek merupakan dorongan yang datang dari posisi truth, yaitu obyek a. Pada akhirnya hasil dari wacana ini, di posisi product, adalah S2 yang merupakan pengetahuan yang baru.
57
Ibid 58
Catatan dan Diskusi Perkuliahan Psikonanalisa dan Kritik Ideologi MagisterIRB-USD .2013. 59
(45)
29
Wacana universitas, bila kita dibahas dalam konteks penatanan masyarakat, adalah wacana yang dipakai oleh masyarakat yang memilih pengetahuan, S2, untuk menempati posisi agen yang berbicara kepada obyek a di posisi liyan. Dalam wacana ini tujuan yang hendak dicapai adalah obyektifitas60.
S2 > a
S1 $
Penanda penanda yang berada di dalam S2 selalu bersifat biner, sedangkan penanda yang berada di S1 bersifat tunggal. Maka kebenaran yang terletak pada wacana ini, yaitu S1, merupakan sesuatu yang perlu dipertanyakan obyektifitasnya61, karena wacana ini memberikan kesempatan kepada S1 untuk melanggengkan kekuasaannya. Setiap obyektifitas membutuhkan sebuah jaminan untuk kebenarannya, dan jaminan itu seringkali datang dari penanda utama, seperti misalnya yang terjadi pada Descartes yang masih membutuhkan Tuhan (S1) untuk menjamin kebenaran ilmu pengetahuan ciptaannya (S2)62. Produk dari wacana ini adalah subyek ($),subyek di sini adalah subyek yang terbelah karena, menurut Verhaeghe, “the more knowledge one uses to reach for the object, the more one becomes divide between signifiers, and the further one gets away from home, that is from the true cause of desire.63” Semakin banyak orang menggunakan pengetahuan untuk mencapai sesuatu semakin mereka terbelah sehingga terpisah makin jauh dari hasrat mereka.
60
Ibid 61
Ibid 62
Verhaeghe,Paul. (1995).Op.cit.,.12 63
(46)
30
Puncak dari semua wacana tersebut adalah wacana analisis. Pada wacana ini yang duduk di posisi agen adalah seorang analis64, atau obyek a. Obyek a dikenal juga dengan nama surpluss joissance, reminder, dan residu.
a > $
S2 S1
Efek yang terjadi bila posisi agen ini diduduki oleh obyek a dan posisi liyan ditempati oleh subyek adalah, adanya keadaan dari $ untuk bertemu langsung dengan apa yang selama ini di “lack” olehnya. Bila $ menangkap obyek a maka akan terjadi transferensi yang tak terhindarkan dan harus ada.65 Produk dari wacana ini adalah sebuah penanda utama, S1, yang baru, atau hukum yang baru. Dalam konteks penataan masyarakat, dapat dikatakan Saat masyarakat berhubungan dengan hal-hal yang menggiurkan dari masa lalu yang bukan untuk dihadirkan kembali tetapi untuk menciptakan sebuah hukum yang baru.66
4. Memori Kolektif
Teori tentang memori kolektif dipilih untuk dipakai dalam tesis ini karena para seniman dan karya mereka merupakan bagian dari sebuah masyarakat, dalam hal ini masyarakat Timor Leste dengan Dili, ibu kota negara, sebagai kekhususannya. Aspek keruangan kota merupakan sumber dari penanda-penanda yang menjadi acuan ingatan kolektif masyarakatnya. Para seniman adalah bagian dari masyarakat dan konstruksi memori kolektif yang mereka miliki tersusun dari sebuah narasi waktu dan tempat yang sama. Dalam membahas teori ini penulis
64
Catatan perkuliahan psikoanalisa.2013. 65
Ibid 66
(47)
31
akan mencoba memakai sebuah karya yang bertemakan hubungan dari sebuah kota dan memori masyarakat di dalamnya. Kota merupakan saksi dari sejarah yang dilewati oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya. Identitas masyarakat dapat dibentuk dari hal-hal yang ada di dalam sebuah kota. Pergulatan antara kekusaan dan kepentingan memberi warna dan bentuk pada sebuah kota. Memori-memori kolektif pun ikut mengambil bagian dalam pembentukan ini dan tentu saja akan mendapat bentuk sendiri dari pergulatan-pergulatan ini. Ide tentang ini dapat ditemui di dalam buku karya Abidin Kusno, Ruang Publik,Identitas dan memori kolektif : Jakarta Pasca-Suharto.
Ruang publik merupakan bagian dari sebuah kota di mana kontak antara pemerintah dan masyarakat terjadi. Pemerintah dengan daya kuasanya dan masyarakat dengan daya juangnya untuk kelangsungan hidupnya. Ruang publik sendiri bukanlah sebuah ruang yang terbatas hanya dalam artian fisik semata. Dalam hubungannnya dengan memori masyarakat, ruang ini memiliki peranan penting. Salah satu peranan penting ini adalah sebagai tepat untuk proses pemaknaan oleh berbagai hal yang terdapat di dalamnya. Proses ini melingkupi tindakan yang melibatkan wacana pengingatan,pengabaian, dan pelupaan. Memori kolektif terbentuk dari mekanisme wacana-wacana ini.67
Memori kolektif yang terbentuk di dalam ruang publik, tidak pernah tetap. Pada dasarnya sifat dari memori kolektif adalah tidak seragam,tidak utuh dan tidak pernah lengkap dalam dunia sosial. Peragaman dari memori kolektif ini bergantung pada penggunaannya, oleh siapa, untuk apa, dan dengan akibat apa. Hal ini menjadikan memori kolktif menjadi suatu medan yang sarat sekaligus terbuka bagi aliran-aliran kekuasaan yang dapat menempatinya.
67
Kusno, A. dan Maneke Budiman.2009. Ruang Publik,Identitas dan Memori Kolektif : Jakarta Pasca-Suharto.Tr.Lilawati Kurnia.Yogyakarta :Ombak.
(48)
32
Seorang individu berbagi sebuah ingatan yang sama dengan anggota lain dalam kelompoknya. Ingatan ini dapat dibentuk atau direalisasikan atau dapat juga menuntut sang individu sendiri secara sadar maupun tak sadar untuk dinyatakan dalam bentuk-bentuk pemaknaan akan ingatan tersebut. Salah satu bentuknya adalah melalui karya seni. Dari dasar pemahaman ini penulis memulai untuk memakai teori memori kolektif dalam penelitan ini, khususnya hubungan antara memori kolektif dalam konteks masyarakat Timor Leste, yaitu sejarah konflik dan pembentukan identitas nasional kebangsaan dengan pemaknaannnya lewat karya seni.
G. Metode Penelitian
Sumber data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah pelukis atau beberapa pelukis dari Arte Moris dan lukisan yang mereka hasilkan. Sampai sejauh ini, penulis telah melakukan penelitian langsung di tempat tersebut yang beralamatkan di Rua dos Martires de Patria, Comoro, Dili, Timor Leste. Penelitian berlangsung dalam waktu 2 minggu di pertengahan bulan Januari tahun 2012. Penulis mengumpulkan data-data penelitian dalam bentuk foto ; baik foto-foto hasil karya maupun para penciptanya, adapula dokumentasi wawancara dalam bentuk video dan audio, serta hal-hal yang bisa ditangkap dan dicatat dalam masa-masa yang penulis lewatkan bersama para seniman dan anggota dari lembaga yang menamai diri mereka sebagai Free Art School dan Cultural Center tersebut.
Pengumpulan data dari para pelukis yang berupa wawancara, analisa atas karya yang dibuat pelukis akan dipakai untuk penggambaran pemetaan tentang Seni Rupa di Timor Leste, Hal ini akan dibantu dengan pembahasan tentang
(49)
33
kondisi kota Dili secara historis dan Geografis sebagai tempat berlangsungnya proses kebersenimanan ini. Dengan demikin metode life history dapat diterapkan dalam penelitian ini. Dengan salah satu fokus yang dimiliki dari penelitian ini adalah pada lukisan-lukisan yang dihasilkan oleh para seniman tersebut maka penulis akan menggunakan konsep penafsiran karya seni dalam penelitian ini. Penafsiran seni ini khususnnya tentang seni rupa.
H. Pengolahan Data
Data-data yang menjadi sumber utama dalam penelitian dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu data karya, berupa lukisan-lukisan yang dihasilkan oleh para seniman di Arte Moris dan data narasi yaitu berupa narasi-narasi yang melingkupi informasi tentang para pelukis atau pencipta karya tersebut, proses berkarya, tempat atau komunitas dalam berkarya dan cerita-cerita lain yang dapat memberikan konteks-konteks tertentu pada karya. Data narasi dapat berupa dokumentasi cetak-tulisan, audio, fotografis maupun video.
Data karya dalam penelitian ini akan dibahas, atau dianalisa menggunakan kerangka teori yang telah disiapkan. Pembahasan akan melihat karya-karya tersebut sebagai sebuah karya seni lukis dengan fokus pada elemen-elemen visual di dalamnya yang telah diasumsikan bermuatkan ide-ide tertentu. Data narasi akan mendukung pembahasan ini dengan memberikan ruang dan jaringan pemaknaan yang lebih luas serta kaya dan untuk selanjutnya dapat menambah kemungkinan- kemungkinan bentuk pembahasan yang baru.
(50)
34 I. Sistematika Penulisan
Bentuk dari hasil penulisan penelitian ini terdiri dari empat bagian besar atau empat bab. Masing-masing dari bab tersebut terdapat bagian dengan fungsinya yang berbeda-beda. Pada bab pertama, merupakan bagian pengantar, terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoritis, kajian pustaka, manfaat penelitian, metode penelitian, pengolahan data, dan sistematika penulisan. Berkaitan dengan inti penelitian, pada bagian ini akan ditunjukkan obyek-obyek yang akan dikaji dalam penelitian, batasan pembahasannya,serta kerangka teori yang akan dipakai.
Pada bab kedua, terdapat pembahasan tentang seni rupa, khususnya seni lukis, di Timor Leste, uraian tentang sejarah Arte Moris dan ragam karya lukis yang akan dibahas dalam penelitian ini. Bagian ketiga, yaitu bab tiga merupakan bagian di mana analisa akan dijalankan. Pada bagian ini kerangka teori akan dikembangkan ke dalam poin-poin yang lebih terarah pada obyek kajian. Bab keempat merupakan bab terakhir yang akan bermuatkan kesimpulan dan juga sebuah bentuk refleksi dari proses penelitian yang telah dilakukan.
(51)
35 BAB II
ARTE MORIS DAN SENI VISUAL DI TIMOR LESTE 2.1. Selayang Pandang Seni Rupa di Timor Leste
2.1.1. Pra Arte Moris : Situs Lenehara, Timor Bonita, dan Seni Visual dalam Pergerakan
2.1.1.a. Gambar di Gua Kapur
Pengetahuan, tulisan, dan data tentang senirupa di Timor Leste yang ditemukan penulis dalam penelitian ini, dalam penyusunannya secara umum, memberikan perhatian yang mendasar dan cukup besar pada sisi kesejarahannya, baik sejarah kebudayaan Timor Leste secara umum maupun sejarah senirupanya sendiri. Dalam hal kesejarahan itu, ada beberapa titik yang dijadikan sebagai bagian yang penting bila bebicara tentang senirupa di Timor Leste. Salah satu sumber dari penelitian ini yang membahas tentang senirupa di Timor Leste adalah “A Contemporary Art Movement in Timor-Leste”, yang ditulis oleh Silva dan Barkmann68. Tulisan ini merupakan sebuah pengantar pameran seni yang diikuti oleh pihak Arte Moris dan diadakan oleh kerjasama Museum and Art Gallery Northern Teritory dan National Directorate of Culture Timor-Leste pada tahun 2008. Pengantar pameran ini memberikan sebuah gambaran umum yang singkat namun menghasilkan wacana senirupa kontemporer Timor – Leste yang cukup lengkap.
Kedua penulis pengantar pameran tersebut adalah, Abilio da Conceciao Silva, yang merupakan direktur dari Heritage and Museum Departmen National Directorate of Culture Timor-Leste, dan Joanna Barkmann, seorang kurator dari
68
Lihat, Silva, Abilio d. C.dan Barkmann.2008 :A Contemporary Art Movement in Timor Leste,an essay.Museum and Art Gallery Northern Teritory in partnership with the Timor Leste National Directorate of culture.
(52)
36
Southeast Asian Art and Material Culture, MAGNT. Di dalam tulisan tersebut ada beberapa pokok penting yang dijadikan sebagai landasan tentang seni kontemporer, khususnya senirupa, di Timor-Leste. Pokok-pokok itu membentuk bentangan sejarah senirupa secara umum di Timor Leste yang mencakup bagian-bagian seperti bentuk-bentuk senirupa di jaman prasejarah, kolonialisme Portugis, masa Integrasi, dan masa awal kemerdekaan Timor-Leste.
Pada pokok bahasan yang membicarakan tentang seni Timor-Leste di jaman pra-sejarah, situs Lene Hara dapat dikatakan sebagai salah satu bagian yang menjadi pusat pembicaraan. Di dalam pembahasaannya tentang senirupa Timor-Leste di zaman pra-sejarah, Silva dan Barkmann tidak secara langsung menyebutkan nama situs Lene Hara. Para penulis itu memberikan gambaran bahwa bentuk-bentuk senirupa berupa graffiti yang ditemuidi jalanan di kota-kota di Timor-Leste ( Dili (Ibu kota Negara), Baucau, Suai, dan Lospalos) merupakan sebuah gema dari zaman purba, di mana kesamaan teknik penciptaan, yaitu dengan menggunakan media tembok atau batu seperti yang di temukan “inside limestone shelters and caves in the region of Tutuala, Baucau, and Baugia”69
. Dapat dipastikan bahwa limestone sheltersand caves yang dimaksud adalah Lene Hara dengan adanya fakta bahwa Tutuala merupakan bagian dari Distrik Lautem70 , dan tulisan itu menggunakan referensi dari O‟Connor, seorang peneliti yang menulis tentang Lene Hara71.
Situs Lene Hara merupakan sebuah situs peninggalan sejarah berupa gua kapur dan terletak di Distrik Lautem, Timor-Leste bagian timur. Situs ini
69 Ibid 70
Distrik Lautem, ibukotanya: Lospalos
(http://www.estatal.gov.tl/Documents/JOR/SERIE_I_NO_33_2009.pdf) diakses pada 11 April 2013.
71
(53)
37
beberapa kali menjadi acuan daalam penelitian tentang Timor-Leste di bidang arkeologi dan palaenthologi. Lene Hara juga memberikan sumbangannya pada penelitian di bidang kebudayaan, dan seni visual dengan adanya gambar-gambar di dinding-dinding gua kapurnya yang diciptakan dengan pewarna maupun melalui teknik mengukir.
Gua Lene Hara telah dikunjungi oleh para aerkeolog dan para spesialis di bidang seni bebatuan sejak awal tahun 196072. Kunjungan-kunjungan ini bertujuan mempelajari lukisan-lukisan di dinding bebatuan yang meliputi gambar stensil tangan, perahu, binatang, figure manusia, dan garis- garis motif dekoratif . Usia dari gambar-gambar dengan bahan pewarna tersebut tidak diketahui, kecuali sebuah potongan dari batu kapur yang memiliki kandungan pewarna berwarna merah. Menurut Profesor Sue O‟ Connor dari The Australian National University
usia potongan batu tersebut adalah lebih dari 30.000 tahun73. Gambar-gambar pada Lene Hara atau petroglyphs mempunyai ciri khusus karena satu-satunya yang berasal dari era Pleistocene, bila dibandingkan dengan tipe-tipe ukiran wajah pada gua yang ditemukan di kawasan Melanesia, Australia, dan Pasifik. Menurut O‟ Connor Lene Hara merupakan satu-satunya tempat di pulau Timor dengan
petroglyph berbentuk wajah.
Menurut CSIRO Media74, pada februari 2011, beberapa ilmuwan pencari fosil menemukan gambar gambar berbentuk wajah yang terukir pada tembok gua bebatuan kapur di Lene Hara. Penentuan usia pada situs Lene Hara dengan system
Uranium Isotope Dating yang dilakukan oleh University of Queensland
menunjukkan bahwa usia sebuah gambar atau ukiran di tempat tersebut,
72 Ibid 73
http://www.scienceimage.csiro.au/mediarelease/mr11-14.html 74
(54)
38
khususnya sebuah gambar matahari bersinar, „sun ray’, sekitar 10.000 atau 12.000 tahun. Sedangkan gambar-gambar wajah tak dapat dihitung usianya, tetapi diperkirakan berasal dari kurun waktu yang sama.
Usia belasan hingga puluhan ribu tahun yang dimiliki oleh situs tersebut menjadikannya sebagai bagian pada halaman-halaman awal dalam pembahasan tentang dua hal yaitu sejarah identitas Timor-Leste, secara etnis dan nasional, dan sejarah kebudayaan Timor Leste. Pembahasan tentang identitas Timor-Leste secara etnis dengan menghadirkan situs purba sebagai salah satu titik awal pembahasan dapat dilihat di dalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Timor-Timur Untuk Sekolah Dasar75.Buku yang diterbitkan di tahun 1995 ini, di masa Integrasi, menulis bahwa pada sebuah gua di Kabupaten Lautem ditemukan lukisan-lukisan dinding gua berupa gambar telapak tangan, kendaraan, dan tubuh manusia.
Gua tersebut terletak di daerah Tutuala dan bernama Ili Kere Kere76. Silva dan Barkmann mengemukakan bahwa gambar-gambar di situs di daerah Tutuala itu merupakan the nation’s ancient rock art heritage77.Sedangkan buku sejarah untuk SD yang ditulis oleh Susanto Zuhdi, SS. MA. dan Dra. Sri Sutjianingsih menggambarkan peninggalan tersebut dengan penjelasan “Lukisan seperti ini juga ditemukan di Jawa dan Sulawesi”78
. Kedua tulisan itu memiliki tujuan yang sama yaitu penggambaran identitas nasional atau etnis yang dibentuk dengan elemen sejarah. Silva dan Barkmann memakai situs di Tutuala sebagai pembentuk wacana identitas nasional Timor-Leste di bidang seni rupa. Zuhdi dan Sutjianingsih
75
Zuhdi, Sutjianingsih,Sri. Sejarah Perjuangan Rakyat Timor-Timur Untuk SD.1995 76
Ibid 77
Ibid 78
(55)
39
memakai situs di Tutuala, bernama Ili Kere Kere, untuk membentuk wacana sejarah identitas daerah Timor-Timur sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia seperti halnya wilayah lainnya (Jawa dan Sulawesi). Tidak satupun dari kedua tulisan menggunakan atau menyebutkan nama Lene Hara.
2.1.1.b. Cita Rasa Eropa : Timor Bonita
Pembahasan di bagian ini sebagian besar didasarkan pada pokok-pokok yang ditemukan dalam tulisan Silva dan Barkmannn. Setelah pokok tentang masa pra sejarah, Silva dan Barkmann mengemukakan keadaan senirupa di Timor-Leste pada masa kolonialime Portugis. Pada bagian ini ditunjukkan adanya kegiatan pendidikan seni yang dilaksanakan di Timor-Portugis. Buku Motivos Artisticos Timorenses e a Sua Integracao yang terbit tahun 1987 dan ditulis oleh R. Cinatti menjadi rujukan untuk adanya kegiatan pendidikan ini79. Cinatti adalah seorang pengajar seni yang pada tahun 1947 bertugas di Dili High School di Lahane, Dili. Cinatti dalam masa tugasnya menemukan seorang murid yang berbakat dan dapat mewarisi kurikulum menggambar Western-Style yang diberikan Cinatti dan memakainya dalam menciptakan gambar landscape Timor yang unik80. Murid tersebut tidak diketahui identitasnya, Silva dan Barkmann menyimpulkan bahwa murid berbakat itu merupakan salah satu dari kelompok kecil seniman Timor-Leste yang terdiri dari pelukis-pelukis seperti Jose Martins Branco, Daniel Peloi, Sequito Calsona, dan Joao Soriano. Kelompok ini aktif berkarya di era Timor Portugis dengan gaya melukis romatis-realis, mereka mengadakan pameran di
79
Silva, Abilio d. C dan Barkmann, 2008. 80
(1)
158
Gambar 53.Grinaldo, Proklamasaun RDTL 1975, 2005. Foto: dok. Penulis, 2012.
(2)
159
Gambar 55. Bendera partai FRETILIN
Gambar 57. Foto Unjuk Rasa di Santa Cruz,Dili.1991. Foto: Dokumentasi
AMRT
Gambar 58. Foto salah satu spanduk dalam unjuk rasa Santa Crus 1991.
Foto: Dokumentasi AMRT
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(3)
160
Gambar 60. “Dame ba Rai Nebee Maka Iha Problema”(Tetum: Damai bagi tanah yang bermasalah). Salah satu Lukisan Tony di atas Koran, yang juga menjadi judul dari pameran tunggalnya. Foto :Dok. Tekeemedia.com. 2011.
Gambar 61.“Halo Sira Kontenti Dala Ida Taan”.(Tetum: Bikin mereka
senang, sekali lagi).2011. Teks : “Halo Servisu Diak” (Tetum :Bekerjalah
(4)
161
Gambar 62. “La Hanesan Ita Hanoin”(Tetum: Tak Seperti Yang Kita Bayangkan).2011.
Gambar 63. “Principio” ( Portugis: Permulaan ).2011.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(5)
162
Gambar 64.Tony, Hakarak Livre I, Foto.dok. Arte Moris.2012
(6)
163
.
Gambar 66. Tony, Hakarak Livre III. Foto.dok. Penulis.2012.