Nyeri Kepala pada Tumor Otak.

(1)

Nyeri Kepala pada Tumor Otak Oleh : dr. IGN Purna Putra, Sp.S (K)

Prevalensi menunjukkan bahwa 35 – 90% dari populasi dapat mengalami nyeri kepala setidaknya satu kali dalam hidup kita. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa keluhan nyeri kepala akan sering dijumpai. Tipe nyeri kepala yang paling sering ditemukan adalah tipe tegang (69%-88%) diikuti dengan migren (6%-25%) dan nyeri kepala tipe klaster (0,006%-0,24%). Pada beberapa kasus, nyeri kepala tidak secara langsung dapat dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dari International Headache Society (IHS). Nyeri kepala ini seringkali menyerupai tipe primer tapi memiliki gejala yang atipikal atau perjalanan penyakit yang atipikal, hingga dikelompokkan sebagai nyeri kepala atipikal.

Evaluasi dengan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) untuk menilai nyeri kepala kronis, menemukan bahwa 15,9% kasus atipikal, 40% kasus menyerupai-migren, dan 17,6% adalah nyeri kepala tipe tegang. Estimasi angka ini harus dipertimbangkan baik-baik karena kasus atipikal akan lebih dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan neuroimaging. Penting untuk menginvestigasi nyeri kepala atipikal karena ternyata cukup banyak abnormalitas yang ditemukan dari MRI yaitu pada 14,1% kasus nyeri kepala atipikal, 0,6% pada kasus dengan migren,dan 1,4% pada kasus dengan nyeri kepala tipe tegang.

Meskipun nyeri kepala jarang merupakan akibat dari tumor otak, tumor otak seringkali dikaitkan dengan nyeri kepala. Penelitian mengenai hal ini mengindikasikan 50% pasien tumor otak melaporkan nyeri kepala; bervariasi antara 33% sampai dengan 71%. Namun nyeri kepala jarang menjadi keluhan tunggal pada lesi massa intrakranial (hanya pada 10% kasus). Seringkali, nyeri kepala akibat tumor otak disertai dengan keluhan mual, muntah, pandangan kabur, perubahan kepribadian, kejang, dan atau defisit neurologis fokal lainnya. Perubahan dari intensitas, atau tipe nyeri kepala daripada yang biasanya dirasakan juga indikasi adanya lesi massa. Gejala komorbid ini adalah “red flags” yang membutuhkan usaha lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis.


(2)

Kotak 1. Nyeri Kepala dengan “red flag” pada diagnosis neoplasma serebralTipe nyeri kepala yang berubah dari sebelumnya

Nyeri kepala yang bersifat progresif

Nyeri kepala yang terkait dengan demam atau gejala sistemik lainnya Nyeri kepala dengan meningismus

Nyeri kepala dengan gejala neurologis baru

Nyeri kepala yang memberat dengan manuver Valsava (batuk, bersin, atau membungkuk)

Nyeri kepala pertama kali pada usia lanjut, terutama > 50 tahun Nyeri kepala pada orang tua atau anak-anak

Selain mengandalkan gejala klinis yang merupakan “red flag” tadi, tipe dan intensitas nyeri kepala sendiri dapat mempunyai nilai diagnostik. Sebagai contoh, sebagian besar nyeri kepala akibat tumor otak akan bersifat tumpul dan berat. Jarang sekali rasa nyeri digambarkan sebagai nyeri yang tajam dan berdenyut. Seringkali nyeri kepala pada tumor otak menyerupai nyeri kepala tipe tegang, namun kadang juga dapat seperti gejala migren (pada skeitar 10% kasus). Sayangnya, pengamatan ini mengindikasikan bahwa mengenali tipe nyeri kepala tidak dapat mengarahkan kita langsung ke diagnosis yang tepat.

Kotak 2. Tanda khas nyeri kepala dan kejang pada neoplasma serebral

Nyeri kepala merupakan gejala umum dari neoplasma serebral, terjadi pada 30 – 60 % kasus

Nyeri kepala saja jarang menjadi satu-satunya gejala dan tanda adanya neoplasma serebral (<10%)

Nyeri kepala pada tumor otak dapat menyerupai nyeri kepala tipe tegang (tension type headache), migren, atau nyeri kepala tipe lainnya

Kejang dapat menjadi akibat sekunder dari tumor otak Kejang dapat terkait dengan nyeri kepala

Nyeri kepala tipe primer, seperti migren, dapat juga terkait dengan bangkitan dan bukan disebabkan oleh tumor.

Lokalisasi nyeri kepala : apakah menunjukkan lokasi tumor?

Distribusi nyeri kepala terkadang dapat memprediksikan lokasi lesi massa. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa lokasi tumor tertentu biasanya terkait dengan lokasi nyeri kepala yang spesifik, terutama bila nyeri kepala diketahui pada awal perjalanan penyakit, sebelum nyerinya menyebar ke seluruh kepala. Berdasarkan pengetahuan ini, lesi di infratentorial atau di fossa posterior lebih sering dikaitkan dengan nyeri kepala oksipital daripada di temporal atau frontal. Tumor di area infratentorial juga dapat disertai dengan kaku kuduk dan spasme otot leher. Sebaliknya, tumor-tumor di supratentorial lebih sering


(3)

dikaitkan dengan nyeri di verteks dan di frontal. Sayangnya, nyeri area frontal memiliki nilai lokalisasi yang minim karena dapat disebabkan oleh tumor yang terletak jauh dari area frontal. Sebagai tambahan, prevalensi yang telah dipublikasikan memperkirakan jumlah tumor supratentorial yang berkaitan dengan nyeri kepala area frontal hanya sekitar 50% kasus, sehingga secara statistik tidak cukup meyakinkan untuk digunakan sebagai dasar diagnosis topis.

Meskipun usaha melokalisir tumor berdasarkan lokasi nyeri kepala ini terbatas, hubungan antara lokasi nyeri dengan lokasi tumor lebih berguna saat digunakan secara obyektif untuk semata-mata mengidentifikasi lateralisasi dari lesi. Nyeri kepala sepertinya lebih sering muncul pada sisi ipsilateral dari tumor, terutama bila tidak menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Suwanwela dkk menemukan bahwa bila tidak ada peningkatan TIK maka nyeri kepala dapat digunakan untuk memprediksi lateralisasi pada lesi supratentorial pada 100% kasus. Hal ini mungkin terkait tidak adanya perluasan pergeseran jaringan otak dan obstruksi ventrikel, dua hal yang cenderung menyebabkan traksi struktur peka nyeri area distal (jauh dari lokasi tumor) daripada traksi di proksimal (dekat dengan lokasi tumor). Tanpa adanya traksi distal, nyeri kepala terjadi secara regional dan lebih berguna dalam prediksi lokasi tumor. Namun bila terjadi peningkatan TIK, maka sulit untuk menentukan lokasi tumor karena traksi distal menyebabkan aktivasi struktur peka nyeri di area yang luas. Hal ini menjadi alasan pentingnya klinisi mengetahui pula mengenai patofisiologi nyeri kepala akibat tumor otak, yang akan dibahas berikut ini.

Patogenesis nyeri kepala pada tumor otak 1. Hipotesis traksi

Penyebab tersering dari nyeri kepala pada tumor otak adalah traksi pada struktur peka nyeri baik intra- maupun ekstrakranial. Pada kanker otak, traksi biasanya terjadi akibat perluasan dari jaringan tumor, edema dan atau perdarahan. Struktur peka nyeri intra- maupun ekstrakranial meliputi sinus venosus, arteri dura dan serebri, duramater, kulit, jaringan subkutan dan otot, serta periosteum dari kranium. Sedangkan parenkim otak tidak sensitif terhadap nyeri karena kurang memiliki reseptor nyeri (misalnya: free nerve ending). Sejumlah gejala terkait tumor otak mendukung adanya hipostesis traksi pada nyeri kepala akibat tumor otak. Sebagai contoh, edema disekitar tumor terkait massa tumor, papiledema, dan pergeseran garis tengah di area supratentorial (misalnya pergeseran corpus pineal, ventrikel III, atau sisterna interpedunkularis) adalah tanda kunci adanya peningkatan


(4)

TIK dan dikaitkan dengan adanya nyeri kepala difus dan sulit terlokalisir. Hal ini dapat dijelaskan dengan mekanisme traksi terinduksi tekanan.

Selain itu, penting untuk diketahui bahwa peningkatan TIK dapat menyebabkan nyeri kepala yang dijabarkan pasien sebagai nyeri berat yang hilang timbul. Kemungkinan hal ini dapat dijelaskan dengan adanya obstruksi periodik dari sistem ventrikel(misalnya ball valving dari massa di dalam sistem ventrikel atau kompresi intermiten dari massa (seringkali berbentuk pedunkuler) pada sistem ventrikel. Perubahan posisi, latihan fisik, batuk, atau manuver Valsava dapat menyebabkan obstruksi periodik tersebut. Nyeri kepala onset akut juga dapat terjadi akibatgelombang tekanan yang abnormal atau gelombang “plateu”. Gelombang ini awalnya dideskripsikan oleh Lundberg, terjadi setelah awitan lesi space-occupying dan atau peningkatan TIK dan disebabkan oleh kaskade vasodilator yang meliputi (1) peningkatan volume darah sebagai akibat dari vasodilatasi, (2) penurunan tekanan perfusi serebri, dan (3) peningkatan TIK yang tinggi. Respon autoregulasi normal yang akan mencetuskan vasokonstriksi telah hilang (atau setidaknya tertunda) pada saat gelombang “plateu”. Gelombang tekanan dapat berlangsung selama 5-30 menit, yang digambarkan oleh pasien sebagai nyeri kepala onset cepat dan durasi pendek.

Nyeri kepala dikaitkan dengan lesi massa biasanya memburuk di pagi hari karena edema otak yang meningkat sepanjang malam akibat efek gravitasi pada posisi tidur terlentang (akibat kurangnya drainase sistem vena yang dibantu oleh gravitasi) dan karena tidur umumnya meningkatkan kadar PCO2, yang mencetuskan vasodilatasi, sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan TIK. Bila dikaitkan dengan muntah menyemprot dan perburukan status mental mendadak, nyeri kepala ini harus diperhatikan. Meskipun lesi massa tidak selalu menjadi penyebabnya, namun pemeriksaan penunjang lanjutan perlu dilakukan karena adanya kondisi neurologis lain yang juga menyebabkan hipertensi intrakranial, seperti trauma otak, hidrosefalus, perdarahan subaraknoid.

Kecepatan pertumbuhan lesi desak ruang juga mempunyai peran penting dalam memprediksi adanya traksi dan nyeri kepala. Tumor yang meningkat ukurannya dengan cepat dapat menyebabkan nyeri yang tajam, berat, akibat iritasi pada struktur peka nyeri dan ruang intrakranial tidak punya kesempatan untuk beradaptasi dengan peningkatan tekanan. Sedangkan tumor dengan pertumbuhan yang lambat menyebabkan nyeri kepala yang hilang timbul, dan memberat pada stadium lanjut dari penyakit, disebabkan adanya adaptasi mekanik terhadap perluasan tumor.


(5)

Tetapi peningkatan TIK sebagai penanda nyeri kepala akibat tumor otak juga memiliki kelemahan. Penanda peningkatan TIK seperti papiledema, pergeseran dan kompresi ventrikel tidak secara sistemik dapat memprediksi nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak. Dengan kata lain, papiledema dan pergeseran ventrikuler merupakan penanda yang baik untuk peningkatan TIK namun tidak selalu terkait dengan adanya nyeri kepala. Pemeriksaan pada otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) mungkin membantu untuk mencari adanya hubungan antara tekanan intrakranial dan traksi distal dari struktur peka nyeri. Loghin dan Levin mengatakan bahwa sebaiknya klinisi memperhatikan pengukuran dinamika CSS karena penting untuk membantu memperkirakan kapan peningkatan TIK tersebut terkait dengan nyeri kepala akibat tumor otak.

Prosedur untuk melakukan pengukuran tekanan CSS sulit dan invasif, membutuhkan punksi lumbal atau penggunaan kateter intraventrikuler. Terlebih lagi dengan adanya efek massa, prosedur lumbal punksi kontraindikasi untuk dilakukan, karena adanya risiko herniasi tonsilar. Pilihan yang lebih aman adalah dengan teknik non invasif untuk mengukur alliran CSS melalui akuaduktus serebri, foramen monro, atau sisterna prepontin. Hal ini dapat dicapai dengan MRI kontras. Dengan teknologi ini, McGirt dkk menemukan nyeri kepala oksipital terkait dengan gangguan aliran otak di area midbrain, bahkan tanpa ada kompresi yang tampak dari hasil MRI. Oleh karena itu, mengukur aliran CSS dapat membantu mendeteksi perubahan patologis yang minimal (misalnya jaringan parut pada arakhnoid, dan oklusi minor sistem ventrikuler) yang terlewatkan pada pemeriksaan MRI konvensional. Obstruksi CSS juga dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien terus melaporkan nyeri kepala meskipun sudah dilakukan operasi debulking dengan sukses.

Gejala klinis terakhir yang cenderung mendukung hipotesis traksi adalah lokasi tumor. Meskipun lokasi tumor tidak selalu dapat memprediksikan dimana nyeri kepala akan muncul, namun cukup kuat untuk memprediksikan apakah akan muncul nyeri kepala. Tumor yang cenderung memicu nyeri kepala termasuk lesi pada intraventrikuler, di garis tengah, dan di fossa posterior. Sekali lagi, obstruksi CSS diikuti dengan hidrosefalus internal dan traksi lokal atau distal, mungkin merupakan penyebabnya.


(6)

Gambar 1. Inervasi dura dan pembuluh darah oleh cabang n.trigeminus berakhir di trigeminocervical complex (TCC) meluas dari batang otak ke kornu dorsalis C1 dan C2. Berdasarkan hipotesis traksi, perluasan jaringan tumor dan edema di sekitar tumor menghasilkan iritasi progresif dari jaringan peka nyeri intrakranial. Tergantung ada tidaknya peningkatan TIK, efek traksi dapat terjadi jauh atau atau dekat dengan lesi, menyebabkan nyeri kepala yang terasa difus atau terlokalisir.

2. Kompresi saraf kranial ataupun servikal

Meskipun kompresi saraf kranial (misalnya trigeminal) dan radiks saraf servikal (misalnya C1 dan C2) mungkin merupakan penyebab nyeri kepala pada tumor otak, sebagian besar pasien neuroonkologi datang tanpa bukti penekanan saraf atau jebakan saraf, meskipun ada nyeri kepala. Kompresi saraf jarang dikatakan sebagai penyebab nyeri kepala akibat tumor otak. Bahkan pada pasien dengan malformasi Chiari tipe I, kompresi saraf yang terjadi akibat pergeseran ke bawah dari fossa posterior ke foramen magnum, tidak selalu menyebabkan nyeri kepala. Selain itu, rasa nyeri kepala pada pasien tumor otak tidak digambarkan sebagai nyeri tajam, paroksismal, seperti jika saraf aferen sensori teregang atau tertekan, misalnya pada kasus neuralgia trigeminal. Bila terjadi kompresi saraf servikal, nyeri kepala yang


(7)

terjadi mungkin disertai dengan nyeri otot dan adanya titik picu miofasial. Pada situasi ini, nyeri kepala akan diperberat dengan pergerakan leher dan tekanan eksternal pada leher atas atau area oksipital pada sisi yang nyeri.

Pada kasus dimana tumor terletak dekat perbatasan servikomedula, jepitan saraf oksipital atau perdarahan intramedula atau area C1 yang luas dapat menyebabkan gejala yang menyerupai neuralgia oksipital (kondisi yang ditandai dengan nyeri kronis pada leher atas, belakang kepala, dan dibelakang bola mata). Nyeri yang terlokalisir di belakang kepala hingga belakang bola mata menunjukkan lokalisasi di fossa posterior dan mengindikasikan adanya kompresi dari saraf oksipitalis mayor (jarang dijumpai). Lesi infratentorial lebih sering menimbulkan nyeri alih ke satu area atau lebih di kepala atau wajah.

Gejala ini menyerupai gejala nyeri kepala servikogenik, sehingga perlu diketahui dahulu gejala masing-masing dengan pasti. Pada nyeri kepala servikogenik nyeri yang dimulai dari area oksipital, lalu menyebar secara progresif ke kepala. Nyeri kepala servikogenik akan diperberat dengan gerakan kepala atau leher dan adanya nyeri tekan yang jelas pada area suboksipital.

3. Sensitisasi perifer

Pada kasus dimana tekanan intrakranial menyebabkan iritasi lama pada struktur peka nyeri, cabang aferen yang menginervasi pembuluh darah serebri, vena, dan piamater (merupakan pleksus serabut tidak bermielin yang berasal dari divisi oftalmika n.trigeminus dan radiks dorsal servikal superior), dan mencetuskan pelepasan neuropeptida pro inflamasi yang akhirnya menyebabkan edema vaskuler dan infiltrasi sel imun. Reaksi antidromik fokal ini diketahui sebagai inflamasi neurogenik, fenomena yang terlibat dalam pelepasan substansia P dan CGRP, yang dianggap mendasari beberapa bentuk nyeri kepala refrakter. Substansia P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) memfasilitasi ekstravasasi protein plasma, permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast, masing-masing berperan dalam sensitisasi perifer dari serabut nosiseptif. Bila berkepanjangan, inflamasi neurogenik dapat menyebabkan perubahan struktural pada duramater yang akan menyebabkan nyeri kepala menetap bahkan saat TIK sudah diturunkan. Meskipun inflamasi neurogenik memainkan peran penting pada terjadinya nyeri kepala idiopatik, belum jelas benar berapa persen nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak disebabkan oleh respon inflamasi yang berkepanjangan. Hal ini didukung pula dengan adanya


(8)

kenyataan bahwa tumor otak biasanya melepaskan agen proinflamasi, menambahkan yang sudah ada akibat dari iritasi mekanik.

4. Sensitisasi sentral dan gagalnya inhibisi batang otak

Selama beberapa dekade, dasar neuroscience nyeri kepala pada tumor otak telah terfokus pada iritasi struktur perikranial yang peka nyeri. Namun akhir-akhir ini, sensitisasi sentral dari neuron orde dua trigeminovaskuler dan gangguan respon modulasi dari mesensefalon telah banyak dipelajari dan dianggap mempunyai peran pentting pada terbentuk dan menetapnya nyeri kepala. Sehingga pada pasien yang memiliki predisposisi, iritasi berkepanjangan dari struktur perikranial dapat menyebabkan sensitisasi n.trigeminal secara konvergen. Hal ini menyebabkan (1) penurunan ambang aktivasi nosiseptor, (2) peninngkatan respon terhadap stimulasi aferen, dan (3) perluasan area reseptif perifer. Mekanisme ini konsisten dengan terjadinya nyeri kepala berkepanjangan dan refrakter pada pasien dengan lesi primer di supratentorial dan menjelaskan mengapa pembedahan debulking tidak sepenuhnya menghilangkan nyeri pada semua pasien.

Aferen sensorik yang berasal dari meningen dan pembuluh darah kranial berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dari nukleus kaudal trigeminal, yang kemudian bersinaps dengan neuron konvergen. Adanya rangsangan berkepanjangan dari aferen primer memicu hipersensitivitas lokal terhadap rangsang nyeri. Hipersensitivitas lokal segmental dianggap merupakan pertanda sensitisasi sentral dan biasanya sulit dikontrol. Hal ini mendasari pentingnya mendeteksi dan mengatasi nyeri sedini mungkin. Namun, penting pula untuk mengetahui bahwa peningkatan eksitabilitas ke input sinaps konvergen juga dapat diakibatkan oleh penurunan inhibisi lokal segmental. Saat ini telah diketahui bahwa rangsang nosiseptif yang masuk ke saraf spinal dan trigeminoservikal mengalami modulasi nyeri oleh adanya eferen inhibisi desenden yang berasal dari nuklei di batang otak, termasuk periaqueductal gray, lokus coeruleus, dan nukleus raphe magnus. Pada kondisi normal, respon inhibisi endogen menghasilkan antinosiseptif bahkan pada input trigeminovaskuler. Adanya disfungsi dari sirkuit modulasi nyeri di batang otak saat ini banyak ditemukan pada penderita migren dan nyeri kepala tipe tension, menunjukkan kontribusi patologis pada sistem inhibisi nyeri kepala. Kemungkinan defisit inhibisi batang otak dan atau hipersensitivitas lokal segmental diakibatkan oleh iritasi lama pada perikranial sebagai penyebab nyeri kepala refrakter pada pasien neuroonkologi, masih perlu diuji. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab pertanyaan, mengapa pada


(9)

pasien tertentu mengalami remisi nyeri kepala akibat tumor otak sedangkan yang lain tidak.

Terapi ajuvan sebagai pencetus nyeri

Setelah reseksi lesi massa dengan pembedahan, seringkali diperlukan kemoterapi ajuvan dan atau radioterapi ion. Terapi tambahan ini tidak secara sistematik menyebabkan nyeri pada pasien neuroonkologi, tetapi ada sejumlah kecil kasus yang mengalaminya. Sebagai contoh, ensefalopati akut yang dicetuskan radioterapi dapat terjadi dalam 2 minggu pasca terapi radioterapi dan menyebabkan nyeri kepala akibat edema substansia alba (sekunder dari kerusakan selubung mielin) serta peningkatan TIK. Terapi dengan kortikosteroid juga direkomendasikan untuk nyeri kepala pada tumor otak. Namun klinisi harus berhati-hati untuk menyapih pasien dari terapi kortikosteroid karena penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan sindrom withdrawal, sehingga sulit dibedakan apakah nyerinya karena efek penyakit atau rebound hormonal.

Obat kemoterapi juga menyebabkan nyeri kepala sementara pada pasien neuroonkologi. Sebagai contoh, temozolomide, salah satu obat yang sering digunakan untuk terapi glioma maligna, dapat menyebabkan nyeri kepala pada 25% pasien. Plotkin dan Wen melaporkan, thalidomid, metotreksat, cisplatin, etoposide, imatinib dan hidroksiruea juga dapat menyebabkan nyeri kepala. Sayangnya proses neurobiologi yang mendasari nyeri kepala tercetus kemoterapi ini masih belum dipahami betul. Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah bahwa obat kemoterapi menghasilkan stres oksidatif, mengganggu regulasi sitokin dan menyebabkan defisit pada perbaikan neuron, yang semuanya dapat mengarah pada penurunan fungsi sistem saraf pusat, inflamasi dan peningkatan nyeri. Hipotesis ini konsisten dengan hasil penelitian bahwa obat kemoterapi terkait dengan peningkatan pelepasan sitokin pro inflamasi.


(1)

TIK dan dikaitkan dengan adanya nyeri kepala difus dan sulit terlokalisir. Hal ini dapat dijelaskan dengan mekanisme traksi terinduksi tekanan.

Selain itu, penting untuk diketahui bahwa peningkatan TIK dapat menyebabkan nyeri kepala yang dijabarkan pasien sebagai nyeri berat yang hilang timbul. Kemungkinan hal ini dapat dijelaskan dengan adanya obstruksi periodik dari sistem ventrikel(misalnya ball valving dari massa di dalam sistem ventrikel atau kompresi intermiten dari massa (seringkali berbentuk pedunkuler) pada sistem ventrikel. Perubahan posisi, latihan fisik, batuk, atau manuver Valsava dapat menyebabkan obstruksi periodik tersebut. Nyeri kepala onset akut juga dapat terjadi akibatgelombang tekanan yang abnormal atau gelombang “plateu”. Gelombang ini awalnya dideskripsikan oleh Lundberg, terjadi setelah awitan lesi space-occupying dan atau peningkatan TIK dan disebabkan oleh kaskade vasodilator yang meliputi (1) peningkatan volume darah sebagai akibat dari vasodilatasi, (2) penurunan tekanan perfusi serebri, dan (3) peningkatan TIK yang tinggi. Respon autoregulasi normal yang akan mencetuskan vasokonstriksi telah hilang (atau setidaknya tertunda) pada saat gelombang “plateu”. Gelombang tekanan dapat berlangsung selama 5-30 menit, yang digambarkan oleh pasien sebagai nyeri kepala onset cepat dan durasi pendek.

Nyeri kepala dikaitkan dengan lesi massa biasanya memburuk di pagi hari karena edema otak yang meningkat sepanjang malam akibat efek gravitasi pada posisi tidur terlentang (akibat kurangnya drainase sistem vena yang dibantu oleh gravitasi) dan karena tidur umumnya meningkatkan kadar PCO2, yang mencetuskan vasodilatasi, sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan TIK. Bila dikaitkan dengan muntah menyemprot dan perburukan status mental mendadak, nyeri kepala ini harus diperhatikan. Meskipun lesi massa tidak selalu menjadi penyebabnya, namun pemeriksaan penunjang lanjutan perlu dilakukan karena adanya kondisi neurologis lain yang juga menyebabkan hipertensi intrakranial, seperti trauma otak, hidrosefalus, perdarahan subaraknoid.

Kecepatan pertumbuhan lesi desak ruang juga mempunyai peran penting dalam memprediksi adanya traksi dan nyeri kepala. Tumor yang meningkat ukurannya dengan cepat dapat menyebabkan nyeri yang tajam, berat, akibat iritasi pada struktur peka nyeri dan ruang intrakranial tidak punya kesempatan untuk beradaptasi dengan peningkatan tekanan. Sedangkan tumor dengan pertumbuhan yang lambat menyebabkan nyeri kepala yang hilang timbul, dan memberat pada stadium lanjut dari penyakit, disebabkan adanya adaptasi mekanik terhadap perluasan tumor.


(2)

Tetapi peningkatan TIK sebagai penanda nyeri kepala akibat tumor otak juga memiliki kelemahan. Penanda peningkatan TIK seperti papiledema, pergeseran dan kompresi ventrikel tidak secara sistemik dapat memprediksi nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak. Dengan kata lain, papiledema dan pergeseran ventrikuler merupakan penanda yang baik untuk peningkatan TIK namun tidak selalu terkait dengan adanya nyeri kepala. Pemeriksaan pada otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) mungkin membantu untuk mencari adanya hubungan antara tekanan intrakranial dan traksi distal dari struktur peka nyeri. Loghin dan Levin mengatakan bahwa sebaiknya klinisi memperhatikan pengukuran dinamika CSS karena penting untuk membantu memperkirakan kapan peningkatan TIK tersebut terkait dengan nyeri kepala akibat tumor otak.

Prosedur untuk melakukan pengukuran tekanan CSS sulit dan invasif, membutuhkan punksi lumbal atau penggunaan kateter intraventrikuler. Terlebih lagi dengan adanya efek massa, prosedur lumbal punksi kontraindikasi untuk dilakukan, karena adanya risiko herniasi tonsilar. Pilihan yang lebih aman adalah dengan teknik non invasif untuk mengukur alliran CSS melalui akuaduktus serebri, foramen monro, atau sisterna prepontin. Hal ini dapat dicapai dengan MRI kontras. Dengan teknologi ini, McGirt dkk menemukan nyeri kepala oksipital terkait dengan gangguan aliran otak di area midbrain, bahkan tanpa ada kompresi yang tampak dari hasil MRI. Oleh karena itu, mengukur aliran CSS dapat membantu mendeteksi perubahan patologis yang minimal (misalnya jaringan parut pada arakhnoid, dan oklusi minor sistem ventrikuler) yang terlewatkan pada pemeriksaan MRI konvensional. Obstruksi CSS juga dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien terus melaporkan nyeri kepala meskipun sudah dilakukan operasi debulking dengan sukses.

Gejala klinis terakhir yang cenderung mendukung hipotesis traksi adalah lokasi tumor. Meskipun lokasi tumor tidak selalu dapat memprediksikan dimana nyeri kepala akan muncul, namun cukup kuat untuk memprediksikan apakah akan muncul nyeri kepala. Tumor yang cenderung memicu nyeri kepala termasuk lesi pada intraventrikuler, di garis tengah, dan di fossa posterior. Sekali lagi, obstruksi CSS diikuti dengan hidrosefalus internal dan traksi lokal atau distal, mungkin merupakan penyebabnya.


(3)

Gambar 1. Inervasi dura dan pembuluh darah oleh cabang n.trigeminus berakhir di trigeminocervical complex (TCC) meluas dari batang otak ke kornu dorsalis C1 dan C2. Berdasarkan hipotesis traksi, perluasan jaringan tumor dan edema di sekitar tumor menghasilkan iritasi progresif dari jaringan peka nyeri intrakranial. Tergantung ada tidaknya peningkatan TIK, efek traksi dapat terjadi jauh atau atau dekat dengan lesi, menyebabkan nyeri kepala yang terasa difus atau terlokalisir.

2. Kompresi saraf kranial ataupun servikal

Meskipun kompresi saraf kranial (misalnya trigeminal) dan radiks saraf servikal (misalnya C1 dan C2) mungkin merupakan penyebab nyeri kepala pada tumor otak, sebagian besar pasien neuroonkologi datang tanpa bukti penekanan saraf atau jebakan saraf, meskipun ada nyeri kepala. Kompresi saraf jarang dikatakan sebagai penyebab nyeri kepala akibat tumor otak. Bahkan pada pasien dengan malformasi Chiari tipe I, kompresi saraf yang terjadi akibat pergeseran ke bawah dari fossa posterior ke foramen magnum, tidak selalu menyebabkan nyeri kepala. Selain itu, rasa nyeri kepala pada pasien tumor otak tidak digambarkan sebagai nyeri tajam, paroksismal, seperti jika saraf aferen sensori teregang atau tertekan, misalnya pada kasus neuralgia trigeminal. Bila terjadi kompresi saraf servikal, nyeri kepala yang


(4)

terjadi mungkin disertai dengan nyeri otot dan adanya titik picu miofasial. Pada situasi ini, nyeri kepala akan diperberat dengan pergerakan leher dan tekanan eksternal pada leher atas atau area oksipital pada sisi yang nyeri.

Pada kasus dimana tumor terletak dekat perbatasan servikomedula, jepitan saraf oksipital atau perdarahan intramedula atau area C1 yang luas dapat menyebabkan gejala yang menyerupai neuralgia oksipital (kondisi yang ditandai dengan nyeri kronis pada leher atas, belakang kepala, dan dibelakang bola mata). Nyeri yang terlokalisir di belakang kepala hingga belakang bola mata menunjukkan lokalisasi di fossa posterior dan mengindikasikan adanya kompresi dari saraf oksipitalis mayor (jarang dijumpai). Lesi infratentorial lebih sering menimbulkan nyeri alih ke satu area atau lebih di kepala atau wajah.

Gejala ini menyerupai gejala nyeri kepala servikogenik, sehingga perlu diketahui dahulu gejala masing-masing dengan pasti. Pada nyeri kepala servikogenik nyeri yang dimulai dari area oksipital, lalu menyebar secara progresif ke kepala. Nyeri kepala servikogenik akan diperberat dengan gerakan kepala atau leher dan adanya nyeri tekan yang jelas pada area suboksipital.

3. Sensitisasi perifer

Pada kasus dimana tekanan intrakranial menyebabkan iritasi lama pada struktur peka nyeri, cabang aferen yang menginervasi pembuluh darah serebri, vena, dan piamater (merupakan pleksus serabut tidak bermielin yang berasal dari divisi oftalmika n.trigeminus dan radiks dorsal servikal superior), dan mencetuskan pelepasan neuropeptida pro inflamasi yang akhirnya menyebabkan edema vaskuler dan infiltrasi sel imun. Reaksi antidromik fokal ini diketahui sebagai inflamasi neurogenik, fenomena yang terlibat dalam pelepasan substansia P dan CGRP, yang dianggap mendasari beberapa bentuk nyeri kepala refrakter. Substansia P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) memfasilitasi ekstravasasi protein plasma, permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast, masing-masing berperan dalam sensitisasi perifer dari serabut nosiseptif. Bila berkepanjangan, inflamasi neurogenik dapat menyebabkan perubahan struktural pada duramater yang akan menyebabkan nyeri kepala menetap bahkan saat TIK sudah diturunkan. Meskipun inflamasi neurogenik memainkan peran penting pada terjadinya nyeri kepala idiopatik, belum jelas benar berapa persen nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak disebabkan oleh respon inflamasi yang berkepanjangan. Hal ini didukung pula dengan adanya


(5)

kenyataan bahwa tumor otak biasanya melepaskan agen proinflamasi, menambahkan yang sudah ada akibat dari iritasi mekanik.

4. Sensitisasi sentral dan gagalnya inhibisi batang otak

Selama beberapa dekade, dasar neuroscience nyeri kepala pada tumor otak telah terfokus pada iritasi struktur perikranial yang peka nyeri. Namun akhir-akhir ini, sensitisasi sentral dari neuron orde dua trigeminovaskuler dan gangguan respon modulasi dari mesensefalon telah banyak dipelajari dan dianggap mempunyai peran pentting pada terbentuk dan menetapnya nyeri kepala. Sehingga pada pasien yang memiliki predisposisi, iritasi berkepanjangan dari struktur perikranial dapat menyebabkan sensitisasi n.trigeminal secara konvergen. Hal ini menyebabkan (1) penurunan ambang aktivasi nosiseptor, (2) peninngkatan respon terhadap stimulasi aferen, dan (3) perluasan area reseptif perifer. Mekanisme ini konsisten dengan terjadinya nyeri kepala berkepanjangan dan refrakter pada pasien dengan lesi primer di supratentorial dan menjelaskan mengapa pembedahan debulking tidak sepenuhnya menghilangkan nyeri pada semua pasien.

Aferen sensorik yang berasal dari meningen dan pembuluh darah kranial berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dari nukleus kaudal trigeminal, yang kemudian bersinaps dengan neuron konvergen. Adanya rangsangan berkepanjangan dari aferen primer memicu hipersensitivitas lokal terhadap rangsang nyeri. Hipersensitivitas lokal segmental dianggap merupakan pertanda sensitisasi sentral dan biasanya sulit dikontrol. Hal ini mendasari pentingnya mendeteksi dan mengatasi nyeri sedini mungkin. Namun, penting pula untuk mengetahui bahwa peningkatan eksitabilitas ke input sinaps konvergen juga dapat diakibatkan oleh penurunan inhibisi lokal segmental. Saat ini telah diketahui bahwa rangsang nosiseptif yang masuk ke saraf spinal dan trigeminoservikal mengalami modulasi nyeri oleh adanya eferen inhibisi desenden yang berasal dari nuklei di batang otak, termasuk periaqueductal gray, lokus coeruleus, dan nukleus raphe magnus. Pada kondisi normal, respon inhibisi endogen menghasilkan antinosiseptif bahkan pada input trigeminovaskuler. Adanya disfungsi dari sirkuit modulasi nyeri di batang otak saat ini banyak ditemukan pada penderita migren dan nyeri kepala tipe tension, menunjukkan kontribusi patologis pada sistem inhibisi nyeri kepala. Kemungkinan defisit inhibisi batang otak dan atau hipersensitivitas lokal segmental diakibatkan oleh iritasi lama pada perikranial sebagai penyebab nyeri kepala refrakter pada pasien neuroonkologi, masih perlu diuji. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab pertanyaan, mengapa pada


(6)

pasien tertentu mengalami remisi nyeri kepala akibat tumor otak sedangkan yang lain tidak.

Terapi ajuvan sebagai pencetus nyeri

Setelah reseksi lesi massa dengan pembedahan, seringkali diperlukan kemoterapi ajuvan dan atau radioterapi ion. Terapi tambahan ini tidak secara sistematik menyebabkan nyeri pada pasien neuroonkologi, tetapi ada sejumlah kecil kasus yang mengalaminya. Sebagai contoh, ensefalopati akut yang dicetuskan radioterapi dapat terjadi dalam 2 minggu pasca terapi radioterapi dan menyebabkan nyeri kepala akibat edema substansia alba (sekunder dari kerusakan selubung mielin) serta peningkatan TIK. Terapi dengan kortikosteroid juga direkomendasikan untuk nyeri kepala pada tumor otak. Namun klinisi harus berhati-hati untuk menyapih pasien dari terapi kortikosteroid karena penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan sindrom withdrawal, sehingga sulit dibedakan apakah nyerinya karena efek penyakit atau rebound hormonal.

Obat kemoterapi juga menyebabkan nyeri kepala sementara pada pasien neuroonkologi. Sebagai contoh, temozolomide, salah satu obat yang sering digunakan untuk terapi glioma maligna, dapat menyebabkan nyeri kepala pada 25% pasien. Plotkin dan Wen melaporkan, thalidomid, metotreksat, cisplatin, etoposide, imatinib dan hidroksiruea juga dapat menyebabkan nyeri kepala. Sayangnya proses neurobiologi yang mendasari nyeri kepala tercetus kemoterapi ini masih belum dipahami betul. Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah bahwa obat kemoterapi menghasilkan stres oksidatif, mengganggu regulasi sitokin dan menyebabkan defisit pada perbaikan neuron, yang semuanya dapat mengarah pada penurunan fungsi sistem saraf pusat, inflamasi dan peningkatan nyeri. Hipotesis ini konsisten dengan hasil penelitian bahwa obat kemoterapi terkait dengan peningkatan pelepasan sitokin pro inflamasi.