EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memasuki abad ke 21 persaingan dan tantangan di semua aspek kehidupan
semakin besar. Teknologi yang semakin maju dan pasar bebas yang semakin pesat
berkembang mendorong tersedianya sumber daya manusia yang handal dan
berkualitas. Sumber daya manusia dikatakan handal dan berkualitas apabila
memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus
berkembang. Agar menjadi sumber daya manusia yang handal dan berkualitas,
seseorang harus memiliki kecakapan abad 21. Terkait hal tersebut, pendidikan
menjadi salah satu bidang yang memiliki peranan penting dalam menciptakan
sumber daya manusia yang memiliki kecakapan abad 21. Dalam Partnership for
21st Century Skills dikatakan bahwa kemampuan abad 21 mencakup (a) critical
thinking and problem solving atau berpikir kritis dan memecahkan masalah, (b)
communication and collaboration atau berkomunikasi dan berkolaborasi, (c)
creativity and innovation atau kreatifitas dan inovasi. Kecakapan-kecakapan
tersebut harus dimiliki seseorang dalam rangka bersaing dengan dunia luar. Oleh
karena itu, dunia pendidikan harus dapat memberikan pembelajaran yang dapat
mengembangkan kecakapan abad 21 tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman,

1

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di dalam pengertian
pendidikan tersebut tersirat bahwa pendidikan akan menjadikan peserta didik
sebagai sumber daya manusia yang handal, berkualitas dan memiliki keterampilan
di bidangnya masing-masing. Salah satu cara menjadikan pendidikan lebih
berkualitas adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan
meningkat apabila mutu pembelajaran juga ditingkatkan, salah satu pembelajaran
yang perlu ditingkatkan adalah pembelajaran matematika. Pelajaran matematika
merupakan salah satu bidang studi yang memiliki peranan penting di dalam
kehidupan. Hampir semua aspek di dalam kehidupan manusia tidak luput dari
peranan matematika, sehingga pelajaran matematika diberikan dan diajarkan mulai
dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi menyatakan bahwa, mata pelajaran matematika bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1.
2.
3.
4.
5.

Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah
menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh
mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah
memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah


2

Sejalan dengan salah satu kecakapan abad 21 yaitu problem solving, tujuan
pembelajaran matematika juga menekankan pada kemampuan pemecahan masalah.
Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan
aktif dalam mencari dan menemukan informasi atau data untuk diolah menjadi
konsep, prinsip atau kesimpulan. Jadi melalui proses pemecahan masalah akan
menjadikan pengalaman belajar bagi siswa. Salah satu tes skala internasional yang
juga mengukur kemampuan pemecahan masalah adalah Programme for
International Student Assesment (PISA). Soal-soal yang digunakan dalam PISA
merupakan soal yang sangat menuntut kemampuan penalaran dan pemecahan
masalah. Walaupun Indonesia turut berpartisipasi dalam PISA sejak tahun 2000,
hasil PISA menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
Sekolah Menengah Pertama di Indonesia masih rendah. Hasil PISA terakhir,
Indonesia menduduki urutan dua terbawah dari 65 negara. OECD (2013)
melaporkan bahwa 75,7% siswa Indonesia tidak mencapai standar minimal literasi
matematika yang ditetapkan PISA, yaitu pada level 2. Lebih lanjut lagi, hanya 0,3%
siswa Indonesia yang termasuk dalam kategori kemampuan tinggi (top performers).
Soal pemecahan masalah tidak hanya terdapat pada soal PISA, tetapi soal

pemecahan masalah juga terdapat dalam soal Ujian Nasional tingkat SMP/MTs.
Salah satu materi dalam Ujian Nasional SMP/MTs adalah geometri. Menurut
NCTM (2000), geometri merupakan salah satu materi yang dapat mempengaruhi
kemampuan pemecahan masalah siswa. Berdasarkan Laporan Hasil Ujian Nasional
SMP/MTs tahun pelajaran 2014/2015, hasil daya serap Ujian Nasional terendah
untuk tingkat nasional terdapat pada materi geometri dengan persentase penguasaan

3

materi sebesar 52,04% (Balitbang, 2015). Rendahnya penguasaan materi geometri
siswa pada Ujian Nasional SMP/MTs tahun 2015 juga terjadi di SMP Negeri 3
Godean yang memiliki persentase penguasaan materi geometri paling rendah
diantara materi lainnya. Persentase penguasaan materi geometri pada Ujian
Nasional 2015 siswa di SMP Negeri 3 Godean sebesar 84,18%.
Penguasaan materi dalam pembelajaran matematika, sangat dipengaruhi
oleh bagaimana siswa mendapatkan pembelajaran di sekolah. Siswa di SMP Negeri
3 Godean menerima pembelajaran dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan). Penerapan kurikulum ini menuntut siswa mengikuti langkahlangkah eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Namun pada kenyataannya, hasil
belajar siswa tidak selalu sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan hasil observasi untuk melihat proses pembelajaran siswa SMP

Negeri 3 Godean di kelas, diketahui bahwa siswa menerima pembelajaran
matematika dengan model pembelajaran ekspositori. Model pembelajaran
ekspositori merupakan pembelajaran langsung oleh guru kepada siswa dalam
rangka penyampaian materi pelajaran. Secara keseluruhan siswa menerima materi
pelajaran dari umum ke khusus, yaitu di awal pembelajaran guru menjelaskan
materi dan rumus kepada siswa, kemudian guru memberikan contoh soal
penerapan, dan di akhir pembelajaran siswa diminta untuk mengerjakan soal latihan
dilanjutkan menyimpulkan hasil yang telah dipelajari. Penerapan model
pembelajaran ekspositori di sekolah ini menunjukkan hasil yang maksimal untuk
beberapa siswa. Akan tetapi, untuk beberapa siswa lainnya menunjukkan hasil yang

4

kurang maksimal, sehingga tidak semua siswa sesuai dengan penerapan model
pembelajaran ekspositori.
Pada dasarnya setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Oleh
karena itu seorang guru diharapkan dapat memilih dan menerapkan model dan
pendekatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi kemampuan siswanya. Dengan
model dan pendekatan yang tepat diharapkan siswa dapat mengembangkan segala
potensi yang dimiliki secara maksimal sesuai dengan kemampuannya masingmasing.

Suatu model pembelajaran yang banyak dianjurkan oleh ahli pendidikan
adalah model pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (1995), penggunaan
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Selain itu
pembelajaran kooperatif juga dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir
kritis, memecahkan masalah-masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan
pengalaman. Oleh sebab itu model pembelajaran kooperatif diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Cooperative
learning menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar
sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah
atau tugas (Erman Suherman, 2003: 260).
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah tipe Team Assisted
Individualization. Team Assited Individualization mengkombinasikan keunggulan
pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual (Slavin, 2009: 194). Tipe ini
merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada
kemampuan individu, dimana individu-individu tersebut memiliki kemampuan

5

yang berbeda-beda. Dari individu yang memiliki kemampuan berbeda-beda
tersebut disatukan dalam satu kelompok kecil untuk menyelesaikan suatu masalah.

Sebelum bekerja di dalam kelompok, siswa terlebih dahulu diberikan suatu
permasalahan yang harus diselesaikan secara individual. Kemudian siswa
dikelompokkan, dan saling tukar pendapat mengenai hasil kerja individual.
Kemudian guru dan siswa membahas permasalahan bersama dan guru memberikan
tes atau kuis secara individual. Di akhir pembelajaran guru memberikan
penghargaan bagi kelompok terbaik. Dalam tipe ini, setiap individu bertanggung
jawab atas kelompoknya. Melalui pembelajaran individual siswa akan dapat
mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya sendiri untuk mempelajari materi
pelajaran, sehingga siswa mengalami pembelajaran secara bermakna. Sedangkan
melalui pembelajaran kelompok siswa dapat saling berinteraksi dan berdiskusi serta
mendengarkan ide atau gagasan orang lain dalam rangka membantu untuk
menguasai materi pelajaran.
Selain model pembelajaran, pendekatan pembelajaran juga berperan
penting terhadap keberhasilan belajar siswa. Salah satu pendekatan yang dapat
digunakan adalah pendekatan realistik. Seperti yang diketahui bahwa matematika
merupakan ilmu abstrak dan sulit untuk dibayangkan, hal ini merupakan salah satu
permasalahan yang dihadapi siswa. Oleh karena itu melalui pendekatan ini
diharapkan peserta didik dapat menghubungkan materi yang dipelajari dengan
konteks


pemikirannya

masing-masing.

Pendekatan

matematika

realistik

mengarahkan siswa menggunakan konteks-konteks untuk menemukan kembali
konsep matematika dengan caranya sendiri. Konteks ini tidak selalu berhubungan

6

dengan dunia nyata, tetapi dapat berupa matematika itu sendiri, sepanjang siswa
dapat merasakannya sebagai hal yang riil atau nyata.
Pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa. Pada pembelajaran matematika realistik,
siswa diberi masalah kontekstual, kemudian diberi kesempatan memecahkan

masalah mandiri tanpa banyak bergantung guru. Siswa harus berupaya, baik sendiri
maupun bersama siswa lain, memecahkan masalah yang diajukan guru. Proses
memecahkan masalah, membandingkan dan mendiskusikan hasil dengan siswa
lain, dan diakhiri dengan menyimpulkan, merupakan rentetan langkah yang sangat
baik untuk mengasah kemampuan pemecahan masalah (Sumaryanta, 2013: 6-7).
Berdasarkan keunggulan dari model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization dan pendekatan matematika realistik, maka penelitian ini
ditujukan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization dengan pendekatan matematika realistik terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Sekolah Menengah Pertama.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1.

Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP masih rendah
dibuktikan dengan skor PISA untuk Indonesia.

2.


Tidak semua model pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa, sehingga
dibutuhkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.

7

3.

Pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang abstrak, sehingga
membutuhkan konteks-konteks yang dapat diterima dan dibayangkan siswa.

C. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka penelitian ini
difokuskan untuk menguji keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization dengan pendekatan matematika realistik sebagai salah
satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa Sekolah Menengah Pertama. Ruang lingkup materi yang digunakan dalam
penelitian ini dibatasi pada pokok bahasan geometri, yaitu garis singgung lingkaran.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, permasalahan
yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut ini.

1.

Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization
dengan pendekatan matematika realistik efektif terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa Sekolah Menengah Pertama?

2.

Apakah model pembelajaran ekspositori dengan pendekatan deduktif efektif
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Sekolah Menengah
Pertama?

3.

Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization
dengan pendekatan matematika realistik lebih efektif dibandingkan dengan
pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa Sekolah Menengah Pertama?

8

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1.

Mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted
Individualization

dengan

pendekatan

matematika

realistik

terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Sekolah Menengah Pertama.
2.

Mengetahui efektivitas model pembelajaran ekspositori dengan pendekatan
deduktif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa Sekolah
Menengah Pertama.

3.

Mengetahui perbandingan efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe
Team Assisted Individualization dengan pendekatan matematika realistik dan
model pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa Sekolah Menengah Pertama.

F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.

Bagi guru dan calon guru
Memberikan alternatif model pembelajaran matematika yaitu model
pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization dengan
pendekatan matematika realistik.

2.

Bagi siswa
Dengan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization
dengan pendekatan matematika realistik diharapkan siswa dapat belajar secara

9

mandiri, bekerja sama dan berdiskusi dalam memecahkan masalah matematis
serta dapat mengukur kemampuan sesuai dengan kapasitas masing-masing.
3.

Bagi sekolah
Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka perbaikan pembelajaran
matematika guna meningkatkan mutu pendidikan.

4.

Bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai model pembelajaran
kooperatif tipe Team Assisted

Individualization

dengan pendekatan

matematika realistik yang dapat diterapkan di dalam pembelajaran matematika,
serta sebagai bahan referensi dalam menulis tugas akhir dan mengembangkan
keterampilan dalam penelitian.

10

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1.

Pembelajaran Matematika
Menurut Sugihartono dkk (2012: 91) pembelajaran adalah suatu upaya yang

dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan,
mengorganisasi dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode
sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta
dengan hasil optimal. Menurut Erman Suherman (2003: 7) pembelajaran adalah
upaya penataan suasana agar program belajar tumbuh dan berkembang secara
optimal. Menurut Nana Sudjana (2004: 28) pembelajaran dapat diartikan sebagai
setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan
interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan
pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi edukatif
antara peserta didik dengan pendidik dalam rangka penyampaian ilmu pengetahuan
sehingga memperoleh hasil yang optimal.
Salah satu pembelajaran yang diajarkan kepada siswa adalah pembelajaran
matematika. Johnson dan Rising (Erman Suherman, 2003: 17) mengatakan bahwa
matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik,
matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan
cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa
bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. James dan James (1976)
mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,

11

susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya
dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar,
analisis dan geometri.
Dari uraian tentang pembelajaran dan matematika di atas, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran matematika merupakan proses interaksi edukatif antara
peserta didik dengan pendidik dalam rangka mengembangkan pola berpikir,
pembuktian yang logik mengenai bentuk, susunan, dan besaran. Dengan
pembelajaran matematika diharapkan peserta didik dapat mengembangkan pola
berpikir dengan logika dalam mengukur, menghitung, menganalisis, dan
membuktikan hal-hal yang terkait dengan matematika.
2.

Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) merupakan strategi

pembelajaran melalui kelompok kecil dimana siswa saling bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Depdiknas, 2003:
5). Menurut Erman Suherman (2003: 260) cooperative learning menekankan pada
kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim
dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas. Johnson & Johnson
(David W. Johnson, 2000), menyatakan bahwa cooperative learning exists when
students work together to accomplish shared learning goals. Pendapat tersebut
dapat diartikan bahwa pembelajaran kooperatif terjadi ketika siswa bekerja sama
dalam mencapai tujuan. Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan
komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar
berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan

12

menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan
dan peranan diri sendiri maupun teman lain (Widyantini, 2006: 4).
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang banyak digunakan
dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh ahli pendidikan. Hal ini dikarenakan
berdasarkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (1995)
dinyatakan bahwa: (1) Penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai orang lain. (2) Pembelajaran
kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan
masalah-masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan
alasan tersebut, pembelajaran kooperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran (Rusman, 2010: 212).
Terdapat 6 langkah utama atau tahapan di dalam kegiatan pembelajaran
yang menggunakan pembelajaran kooperatif (Trianto, 2007). Langkah pertama,
guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa belajar. Dilanjutkan
dengan penyajian informasi, selanjutnya siswa dikelompokkan dalam tim atau
kelompok belajar. Pada tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja
bersama untuk menyelesaikan tugas. Fase terakhir pada pembelajaran kooperatif
meliputi presentasi hasil kerja kelompok atau mengevaluasi tentang apa yang telah
mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok
maupun individu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran dengan kelompok kecil yang saling bekerja sama dalam

13

menyelesaikan suatu masalah untuk mencapai tujuan bersama. Langkah-langkah
model pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
No
1

2

3

4

5

6

3.

Langkah-Langkah
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa

Tingkah Laku Guru
Pengajar menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai dan
memotivasi siswa belajar
Menyajikan informasi
Pengajar menyajikan informasi pada
siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan
Mengorganisasikan siswa Pengajar menjelaskan pada siswa
ke dalam kelompokbagaimana
caranya
membentuk
kelompok belajar dan membantu
kelompok belajar
setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien
Membimbing kelompok
Pengajar membimbing kelompok
bekerja dan belajar
belajar pada saat siswa mengerjakan
tugas
Evaluasi
Pengajar mengevaluasi hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari
atau
masing-masing
kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
Memberikan
Pengajar mencari cara-cara untuk
menghargai baik upaya maupun hasil
penghargaan
belajar individu dan kelompok

Team Assisted Individualization (TAI)
Team

Assited

Individualization

mengkombinasikan

keunggulan

pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Siswa secara individual
belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar
individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas
oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas
keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama (Robert E Slavin, 2009).

14

Model pembelajaran TAI memiliki 8 komponen yaitu sebagai berikut
(Slavin, 1995: 101-104):
a.

Teams, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 sampai 5
siswa.

b.

Placement Test (tes penempatan), yaitu pemberian pretest pada kepada siswa
atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa
pada bidang tertentu.

c.

Curriculum Materials, yaitu siswa bekerja secara individu sesuai dengan
kurikulum yang ada.

d.

Team Study, yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh
kelompok dan guru memberikan bantuan secara individual kepada siswa yang
membutuhkan.

e.

Team Scores and Team Recognition, yaitu pemberian skor atau penghargaan
terhadap hasil kerja kelompok dalam menyelesaikan tugas.

f.

Teaching Group, yaitu pemberian materi secara singkat dari guru menjelang
pemberian tugas.

g.

Fact Test, yaitu pelasanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh
siswa biasanya berupa kuis.

h.

Whole-Class Units, yaitu pemberian materi oleh guru kembali di akhir waktu
pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
Keunggulan dari model pembelajaran tipe Team Assisted Individualization

ini adalah peserta didik bekerja secara individual dan kelompok. Melalui
pembelajaran individual siswa akan dapat mengeksplorasi pengetahuan dan

15

pengalamannya sendiri untuk mempelajari materi pelajaran, sehingga siswa
mengalami pembelajaran secara bermakna. Sedangkan melalui pembelajaran
kelompok siswa dapat saling berinteraksi dan berdiskusi serta mendengarkan ide
atau gagasan orang lain dalam rangka membantu untuk menguasai materi pelajaran.
Pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization dirancang
untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan
pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Widyantini
(2006: 9) menjabarkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Team
Assisted Individualization sebagai berikut.
a.

Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran
secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.

b.

Guru memberikan tes secara individual kepada siswa untuk memperoleh skor
awal.

c.

Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 4 sampai
dengan 5 siswa dengan kemampuan akademik yang heterogen dengan
pertimbangan keharmonisan kelompok.

d.

Setelah siswa belajar secara individual, siswa berdiskusi dalam kelompok.
Dalam diskusi kelompok, anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman
satu kelompok.

e.

Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan
memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.

f.

Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.

16

g.

Guru memberikan penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar individual dari skor awal ke skor kuis berikutnya.
Sedangkan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Team

Assisted Individualization menurut Sutirman (2013: 36-37), adalah sebagai berikut.
a.

Tes penempatan
Pada awal pembelajaran siswa diberikan tes untuk mengetahui kemampuan

awal mereka. Hasil tes digunakan sebagai dasar pembentukan kelompok.
b.

Pengelompokkan
Setelah dilaksanakan tes, selanjutnya siswa dibagi menjadi beberapa

kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari siswa yang memiliki tingkat
kemampuan yang berbeda (tinggi, rendah, sedang).
c.

Memberikan bahan ajar
Selanjutnya siswa diberi lembar kerja atau modul yang berisi petunjuk

belajar, materi, soal-soal latihan dan soal tes formatif.
d.

Belajar dalam kelompok
Siswa membaca materi dan mengerjakan soal-soal latihan secara individu.

Siswa lain dalam kelompok bertugas mengecek hasil pekerjaan temannya, jika ada
jawaban yang salah maka harus diulangi sampai benar. Siswa yang memiliki
kemampuan lebih tinggi diharapkan membantu siswa lain yang memiliki
kemampuan rendah.

17

e.

Penilaian dan penghargaan kelompok
Setiap minggu guru menghitung skor kelompok berdasarkan rata-rata nilai

anggota kelompok. Kelompok yang memiliki skor tinggi dan sedang diberi
penghargaan.
Dari paparan di atas, sebelum dibagi ke dalam kelompok heterogen yang
terdiri dari 4 hingga 5 orang, peserta didik harus bekerja dan mempelajari materi
secara mandiri, kemudian mereka berdiskusi dalam kelompok. Langkah-langkah
model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization adalah sebagai
berikut:
a.

Guru memberikan tugas atau masalah yang berhubungan dengan materi yang
akan dipelajari, biasanya dalam bentuk Lembar Kerja Siswa.

b.

Peserta didik mengerjakan tugas atau masalah yang diberikan secara individu.

c.

Peserta didik dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang heterogen dan
terdiri dari 4 orang siswa.

d.

Peserta didik berdiskusi dan saling bertukar pikiran mengenai hasil tugas
masing-masing di dalam kelompok.

e.

Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi.

f.

Guru bersama dengan peserta didik mendiskusikan jawaban yang benar.

g.

Guru memberikan kuis secara individual.

h.

Guru memberikan penghargaan kelompok.

4.

Pendekatan Matematika Realistik
Pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran

Hans Freudenthal yang menyatakan bahwa

,

18

karenanya matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia (Erman
Suherman, 2003: 146). Menurut Atmini Dhoruri dkk (2011: 513), the word

has to be meaningful for the student. Pendapat di atas dapat diartikan bahwa
realistik tidak hanya sesuatu yang berhubungan dengan dunia nyata saja tetapi juga
harus sesuai dengan masalah kontekstual yang bermakna bagi siswa. Karena pada
dasarnya pembelajaran dengan pendekatan realistik itu merupakan pembelajaran
yang berangkat dari aktivitas siswa sesuai dengan konteks-konteks yang dapat
dirasakan dan dibayangkan, sehingga menjadi pembelajaran yang bermakna untuk
siswa.
Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika
realistik guru mengarahkan siswa untuk menggunakan berbagai situasi dan
kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika dengan
caranya sendiri, konsep matematika diharapkan muncul dari proses matematisasi,
yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkaitan dengan konteks dan secara perlahan
siswa mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih
tinggi. Konteks dalam PMR merujuk pada situasi dimana soal ditempatkan,
sedemikian hingga siswa dapat menciptakan aktivitas matematik dan melatih
ataupun menerapkan pengetahuan matematika yang dimilikinya. Konteks dapat
pula berupa matematika itu sendiri, sepanjang siswa dapat merasakannya sebagai
hal riil (Atmini Dhoruri, 2010: 5). Menurut Sugiman dkk (2009: 6), prinsip dalam
PMR adalah mendorong siswa untuk menggali berbagai gagasan matematik dan

19

mengkonstruksi pengetahuan sehingga meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa.
Menurut Treffers (dalam Ariyadi, 2012: 21), ada lima karakteristik
Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:
a.

Penggunaan Konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata dapat berupa
permainan, alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan
dapat dibayangkan oleh siswa.

b.

Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Model digunakan

dalam melakukan

matematisasi

secara

progresif.

Penggunaan model berfungsi menjembatani pengetahuan dan matematika dari
konkrit menuju tingkat formal.
c.

Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan
masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil
kerja dan konstruksi siswa selanjutnya

digunakan untuk

landasan

pengembangan konsep matematika.
d.

Interaktivitas
Interaktivitas merupakan aktivitas sosial antar siswa. Proses belajar siswa
menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan
hasil kerja dan gagasan mereka.

20

e.

Keterkaitan
Melalui keterkaitan, suatu pembelajaran diharapkan bisa mengenalkan dan
membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.
Menurut

Erman

Suherman

(2001:

128),

langkah-langkah

proses

pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik terbagi menjadi 5 langkah
yaitu sebagi berikut.
a.

Langkah 1: Memahami masalah kontekstual
Pada langkah ini guru memberikan masalah kontekstual dan meminta siswa
memahami permasalahan tersebut.

b.

Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual
Jika siswa mengalami kesulitan dalam memahami masalah kontekstual, maka
guru menjelaskan dengan cara memberikan petunjuk dan saran kepada siswa.

c.

Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara

individual maupun kelompok

menyelesaikan

masalah

kontekstual dengan cara mereka sendiri.
d.

Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban secara berkelompok.

e.

Langkah 5: Menyimpulkan
Guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau
prosedur.
Dari uraian di atas dapat diambil inti bahwa pendekatan matematika realistik

merupakan pendekatan yang menyajikan pembelajaran matematika sesuai dengan

21

konteks kehidupan yang dapat diterima dan dibayangkan siswa. Konteks yang
disajikan tidak hanya konteks dalam dunia nyata saja, tetapi selagi dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang nyata maka sesuatu tersebut disebut konteks, sehingga
nantinya siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan diharapkan dapat
lebih mudah memahami materi yang diajarkan. Langkah-langkah pembelajaran
dengan pendekatan ini adalah memahami masalah kontekstual, menjelaskan
masalah kontekstual, menyelesaikan masalah kontekstual, membandingkan dan
mendiskusikan jawaban siswa, dan menyimpulkan.
5.

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization
dengan Pendekatan Matematika Realistik
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan

kelompok kecil yang saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu masalah
untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif
adalah tipe Team Assisted Individualization. Tipe ini mengkombinasikan antara
kerja individu dengan kerja kelompok. Model pembelajaran dapat dipadukan
dengan pendekatan pembelajaran. Pendekatan yang dapat dipadukan dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization adalah pendekatan
matematika realistik. Pendekatan matematika realistik merupakan pendekatan yang
mudah diterima siswa karena disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki siswa.
Melalui pendekatan matematika realistik ini pembelajaran matematika akan
disajikan sesuai dengan konteks kehidupan yang dapat diterima dan dibayangkan
siswa. Langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif, Team Assisted
Individualization, dan pendekatan matematika realistik tersaji dalam tabel berikut.

22

No
1
2

3

4

Model Pembelajaran
Kooperatif
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa
Menyajikan informasi

Mengorganisasikan
siswa ke dalam
kelompok
Membimbing
kelompok bekerja dan
belajar

5

Evaluasi

6

Memberikan
penghargaan

7
8

Team Assisted
Individualization
Guru memberikan
tugas atau masalah
Siswa dikelompokkan
menjadi beberapa
kelompok heterogen
Siswa secara individu
mempelajari masalah
yang diberikan
Siswa saling
berdiskusi dan
bertukar pikiran di
dalam kelompok
Siswa
mepresentasikan hasil
diskusi
Guru memfasilitasi
siswa dalam membuat
kesimpulan
Guru memberikan
kuis secara individu
Guru memberikan
penghargaan
kelompok

Pendekatan
Matematika Realistik
Memahami masalah
kontekstual
Menjelaskan masalah
kontekstual
Menyelesaikan masalah
kontekstual
Membandingkan dan
mendiskusikan jawaban
siswa
Menyimpulkan

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe Team Assisted Individualization dengan pendekatan matematika
realistik adalah pembelajaran kelompok kecil yang memadukan antara kerja
individu dan kerja kelompok melalui konteks-konteks yang dapat diterima dan
dibayangkan oleh siswa. Langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif tipe
Team Assisted Individualization dengan pendekatan matematika realistik adalah
sebagai berikut.
a.

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa.

23

b.

Guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok kecil yang heterogen.

c.

Guru memberikan masalah kontekstual kepada siswa.

d.

Siswa secara individu memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual
yang diberikan.

e.

Siswa bersama dengan kelompoknya saling berdiskusi dan bertukar pikiran
serta membandingkan jawaban dalam menyelesaikan masalah kontekstual
yang diberikan.

f.

Guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan.

g.

Siswa bersama dengan kelompoknya mempresentasikan hasil diskusinya.

h.

Guru bersama dengan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.

i.

Siswa diberikan evaluasi berupa kuis yang dikerjakan secara individu.

j.

Guru memberikan penghargaan kepada kelompok.

6.

Model Pembelajaran Ekspositori dengan Pendekatan Deduktif
Menurut Wina Sanjaya (2006: 179) model pembelajaran ekspositori adalah

model pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara
verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa
menguasai materi pelajaran secara optimal. Erman Suherman (2001: 171)
menyatakan bahwa model pembelajaran ekspositori adalah cara penyampaian
pelajaran dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di
awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal disertai tanya jawab.
Menurut Ali Hamzah (2014: 272) prosedur yang digunakan dalam
menerapakan model pembelajaran ekspositori dalam pembelajaran matematika
adalah sebagai berikut.

24

a.

Guru memberikan informasi materi yang dibahas dengan metode ceramah,
kemudian memberikan uraian dan contoh soal yang dikerjakan di papan tulis
secara interaktif dan komunikatif dengan metode demonstrasi. Kemudian guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dengan metode tanya
jawab. Lalu mereka mengerjakan soal yang diberikan guru sambil berkeliling
memeriksa pekerjaan siswa. Salah seorang ditugaskan mengerjakan di papan
tulis.

b.

Guru memberikan rangkuman yang bisa ditugaskan kepada siswa untuk
membuat rangkumannya, atau guru yang membuat rangkuman atau guru
bersama-sama siswa membuat rangkuman.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

ekspositori adalah model pembelajaran langsung dari guru kepada siswa dalam
rangka menyampaikan materi pelajaran dengan langkah guru menjelaskan materi,
kemudian memberikan contoh soal dan pembahasan, dilanjutkan guru memberikan
latihan pada siswa, kemudian pembahasan latihan, dan terakhir membuat
kesimpulan dari materi yang telah dipelajari.
Salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika adalah pendekatan
deduktif. Menurut Syaiful Sagala (2010: 76) pendekatan deduktif adalah proses
penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan yang khusus sebagai
pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum
diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu
kedalam keadaan khusus. Menurut Ali Hamzah (2014: 233) pendekatan deduktif
adalah suatu konsep atau prosedur yang digunakan dalam membahas suatu bahan

25

pelajaran matematika berwal dari prinsip-prinsip yang diketahui kepada prinsipprinsip yang tidak diketahui. Sedangkan Yamin (2008: 89) menyatakan bahwa
pendekatan deduktif merupakan pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi
pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk penerapannya atau contoh-contohnya
dalam situasi tertentu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan deduktif
merupakan pendekatan dari keadaan umum ke khusus, yang diawali pemberian
penjelasan materi dari guru dan di akhir pembelajaran diberikan contoh-contoh
penerapan dari materi yang diajarkan.
Model pembelajaran ekspositori dengan pendekatan deduktif berarti
pembelajaran langsung dari guru kepada siswa yang diawali dengan pemberian
materi dari guru dilanjutkan pemberian contoh-contoh umum ke khusus, dan di
akhir pembelajaran dibuat kesimpulan dari apa yang telah dipelajari.
7.

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Ariyadi (2012: 58) menyatakan bahwa masalah ada dua jenis yaitu masalah

rutin dan masalah tidak rutin. Masalah rutin adalah masalah yang cenderung
melibatkan hafalan serta pemahaman algoritma dan prosedur sehingga masalah
rutin sering dianggap sebagai soal level rendah. Sebaliknya, masalah tidak rutin
dikategorikan sebagai soal level tinggi karena membutuhkan penguasaan ide
konseptual yang rumit dan tidak menitikberatkan pada algoritma, serta
penyelesaiannya lebih rumit.
Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) Mata
Pelajaran, salah satu tujuan Mata Pelajaran matematika SMP adalah agar siswa

26

mampu memecahkan masalah matematika yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh (Depdiknas, 2006). Sumarmo (1994) mengartikan pemecahan
masalah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak
rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain,
dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.
Menurut Polya (1985: 4) kemampuan pemecahan masalah adalah suatu
kemampuan

praktik

yaitu

kemampuan

belajar

dengan

menirukan dan

mempraktikkan. Dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah utama yang
harus dilakukan. Empat langkah tersebut sebagai berikut.
a.

Memahami masalahnya (understanding the problem)
Siswa harus mampu memahami masalah dan menyatakan dengan jelas. Siswa
perlu menunjukkan bagian-bagian yang pokok, mengidentifikasi unsur-unsur
yang diketahui dan ditanyakan, serta kondisi masalahnya.

b.

Merencanakan penyelesaian (devising a plan)
Kemampuan merencanakan penyelesaian sangat tergantung pada pengalaman
siswa dalam menyelesaikan masalah. Siswa dapat menyusun rencana
penyelesaian apabila telah mengetahui pokok permasalahan, perhitungan, dan
konstruksi yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya.

c.

Melaksanakan rencana (carrying out the plan)
Melaksanakan rencana penyelesaian lebih mudah daripada merencanakan
penyelesaian masalah. Pada tahap ini siswa melaksanakan penyelesaian
masalah berdasarkan rencana yang telah dibuat.

27

d.

Memeriksa proses dan hasil (looking back)
Pada tahap ini siswa mengecek, mempertimbangkan, memeriksa kembali hasil
dan langkah penyelesaiannya, serta mennyimpulkan dan menjelaskan hasil
sesuai dengan permasalahan asal.
Indikator pemecahan masalah matematis menurut NCTM (1989: 209)

adalah sebagai berikut:
a.

Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan
unsur yang diperlukan.

b.

Merumuskan masalah matematik untuk menyusun model matematik.

c.

Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan
masalah baru) dalam atau di luar matematika.

d.

Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal.

e.

Menggunakan matematika secara bermakna.
Menurut Fung dan Roland (dalam Sugiman, 2009: 3) masalah matematik

yang baik bagi siswa sekolah hendaknya memenuhi kriteria berikut.
a.

Masalah

hendaknya

memerlukan

lebih

dari

satu

langkah

dalam

menyelesaikannya.
b.

Masalah hendaknya dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara/metode.

c.

Masalah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas dan tidak menimbulkan
salah tafsir.

d.

Masalah hendaknya menarik (menantang) serta relevan dengan kehidupan
siswa.

28

e.

Masalah hendaknya mengandung nilai (konsep) matematik yang nyata
sehingga masalah tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan memperluas
pengetahuan matematika siswa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan

masalah matematis merupakan kemampuan seseorang dalam memecahkan suatu
masalah yang memiliki penyelesaian yang tidak rutin dan menantang dengan cara
memahami permasalahan, merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan
rencana penyelesaian, dan memeriksa proses dan hasil.
8.

Efektivitas Pembelajaran
Efektivitas berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil,

mengesankan, berlaku, manjur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
definisi efektivitas adalah adanya pengaruh yang dapat membawa hasil. Efektivitas
menunjukkan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Jadi suatu upaya dikatakan
efektif apabila memberikan hasil yang memuaskan.
Menurut NCTM (2000: 16) effective mathematics teaching requires
understanding what students know and need to learn and then challenging and
supporting them to learn well. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa
pembelajaran matematika yang efektif memerlukan pemahaman tentang apa yang
diketahui dan dibutuhkan oleh siswa, kemudian menantang dan mendukung siswa
agar dapat belajar lebih baik. Hamzah B Uno (2007: 138) mengatakan bahwa
keefektifan pembelajaran diukur dengan tingkat pencapaian siswa pada tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.

29

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dikatakan efektif
apabila tujuan dari pembelajaran tersebut telah tercapai, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Salah satu indikator tecapainya pembelajaran yang efektif adalah
dengan melihat ketuntasan nilai hasil belajar dari siswa, nilai hasil belajar siswa
dikatakan tuntas apabila telah melewati nilai KKM yang ditetapkan oleh sekolah.
Dalam penelitian ini pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi
kriteria berikut ini.
a)

Model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization dengan
pendekatan matematika realistik dan model pembelajaran ekspositori efektif
apabila rata-rata nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematis pada
masing-masing kelas lebih tinggi dari KKM berdasarkan uji yang telah
dilakukan.

b) Model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization dengan
pendekatan matematika realistik lebih efektif dibandingkan dengan model
pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
apabila dari uji hipotesis menunjukkan bahwa rata-rata nilai tes kelas
eksperimen lebih besar dari pada rata-rata nilai tes kelas kontrol.
B. Penelitian yang Relevan
1.
Penggunaan

Model

Individualization

Pembelajaran

(TAI)

Terhadap

Kooperatif
Kemampuan

Tipe

Team

Assisted

Pemecahan

Masalah

Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe

30

Team

Assisted

Individualization

(TAI)

efektif untuk

meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematika.
2.
Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) dengan
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Terhadap Kemampuan

pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) dengan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih efektif dibanding
model pembelajaran konvensional dalam kemampuan pemecahan masalah
matematika pada materi segiempat (trapesium dan layang-layang) siswa kelas
2012.
3.
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Melalui Pendekatan Matematika

masalah matematis siswa meningkat setelah mendapatkan pembelajaran
dengan pendekatan matematika realistik.

Hal ini ditunjukkan dari

meningkatnya penguasaan indikator pemecahan masalah matematis.
4.

Nelly Fitriani (2012) dengan penelitiannya yang berjudul
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Secara Berkelompok Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Self
Confindence Siswa SMP: Studi Kuasi Eksperimen Pada Siswa Kelas VIII

31

bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan
Matematika

Realistik

secara

berkelompok

mengalami

peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik dibandingkan dengan
siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika secara konvensional.
5.

Fitriana Yuli (20
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dengan Metode Pembelajaran
Problem Solving ditinjau dari Motivasi Belajar dan Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa Kelas VIII SMP N 5 Sleman pada Materi Teorema

ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa kelas
VIII SMP N 5 Sleman.
6.

Kusnaeni dan Heri Retnawati (2013) dengan penelitiannya yang berjudul
Problem Posing dalam Setting Kooperatif Tipe TAI Ditinjau dari

disimpulkan bahwa penerapan pendekatan problem posing dalam setting
pembelajaran kooperatif tipe TAI efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi
dan pemecahan masalah.
7.

Nurma Angkotasan dan Suryanto (2013) dengan penelitiannya yang berjudul
PBL dan Cooperative Learning Tipe TAI Ditinjau dari Aspek

penelitiannya disimpulkan bahwa model problem-based learning dan model
cooperative learning tipe TAI efektif ditinjau dari kemampuan berpikir
reflektif matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

32

C. Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyelaraskan antara latar belakang
masalah dan kajian teori yang disajikan dalam kerangka pikir penelitian. Di abad
21 diperlukan kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang
agar mampu bersaing dengan dunia luar. Kemampuan tersebut antara lain
kemampuan pemecahan masalah atau problem solving. Dijabarkan juga dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang tujuan
pelajaran matematika yaitu mengenai kemampuan pemecahan masalah. Siswa
dituntut memiliki kemampuan pemecahan masalah, dalam hal ini kemampuan
pemecahan masalah matematis. Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh
seseorang di abad 21 ini adalah kemampuan bekerja sama atau collaboration.
Kemampuan bekerja sama dapat diterapkan di dalam pembelajaran, salah satunya
di dalam pembelajaran matematika.
Model yang masih banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran
ekspositori. Dalam model pembelajaran ini guru memberikan materi pembelajaran
melalui ceramah dan cenderung menjadi pusat pembelajaran. Guru mengontrol
jalannya pembelajaran dan keleluasaan materi pembelajaran, dengan demikian ia
dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasi materi yang disampaikan. Akan
tetapi, model pembelajaran ini memperlakukan semua siswa sama, padahal pada
dasarnya siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga tidak semua
siswa cocok menerima pelajaran dengan model pembelajaran ini. Oleh karena itu,
untuk beberapa kelompok siswa menunjukkan hasil belajar yang maksimal, namun
untuk kelompok siswa lainnya menunjukkan hasil yang kurang baik.

33

Untuk menjawab tantangan dan permasalahan di atas, maka perlu dipilih
model pembelajaran yang tepat. Merujuk pada hasil penelitian sebelumnya bahwa
model pembelajaran kooperatif efektif digunakan di dalam pembelajaran serta
berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, maka peneliti
memilih model pembelajaran kooperatif sebagai bahan penelitian apakah model
pembelajaran tersebut berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang banyak
digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh ahli pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin pembelajaran kooperatif
dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalahmasalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman.
Dalam model pembelajaran kooperatif siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok, setiap kelompok saling berdiskusi dan saling membantu menyelesaikan
tugas atau memecahkan masalah. Oleh karena itu model pembelajaran kooperatif
berhubungan

dengan

kemampuan

pemecahan

masalah.

Dengan

model

pembelajaran kooperatif ini diharapkan dapat mempengaruhi kemampuan peserta
didik dalam memecahkan suatu masalah matematis. Model pembelajaran
kooperatif banyak macamnya, salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif
tipe Team Assisted Individualization.
Model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization
merupakan pembelajaran tim heterogen yang terdiri dari 4 hingga 5 siswa serta
mengunggulkan kerja individu dan kerja dalam kelompok. Dalam model
pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization ini siswa secara

34

individu mempelajari materi dan diberikan suatu permasalahan, kemudian dibentuk
kelompok heterogen. Siswa secara berkelompok saling bertukar pikiran mengenai
materi yang sudah mereka pelajari serta penyelesaian dari permasalahan yang
mereka dapatkan. Kemudian guru memberikan tes atau kuis individual dan di akhir
pembelajaran guru memberikan penghargaan kepada kelompok dengan prestasi
terbaik. Alasan pemilihan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted
Individualization terhadap kemampuan pemecahan masalah adalah sebagai berikut:
a.

Model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization ini
memadukan dua pembelajaran sekaligus, yaitu pembelajaran kelompok dan
pembelajaran individual.

b.

Setiap individu memiliki pengetahuan awal yang berbeda-beda, sehingga
dengan pembelajaran individual masing-masing peserta didik dapat
mengetahui kemampuan dalam memecahkan suatu permasalahan secara
mandiri.

c.

Tidak semua peserta didik dapat dengan mudah memecahkan suatu masalah,
sehingga diperlukan pembelajaran kelompok yang dapat membantu peserta
didik

Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe team assisted individuallization (tai) terhadap pemahaman konsep matematika siswa kelas v sdi ummul quro bekasi

0 10 221

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI).

6 9 167

PENGARUH PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 3 24

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK BERBANTUAN GEOGEBRA.

0 4 52

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI (TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION) Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tai (Team Assisted Individualization) Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Prestasi Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Matematika

0 2 16

PENINGKATAN KREATIVITAS BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION Peningkatan Kreativitas Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) pada Siswa K

0 1 17

PENGARUH PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

1 3 40

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN SELF-CONCEPT SISWA SMP.

0 5 57

PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 2 38

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA.

18 50 44