Makna pernikahan pada waria.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Novia Paulien
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pernikahan di dalam
kehidupan waria. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis fenomenologi
interpretif. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana makna pernikahan pada waria.
Narasumber dalam penelitian ini adalah 3 orang waria yang telah mengakui eksistensi diri sebagai
waria kurang lebih selama 10 tahun dan memiliki pasangan. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan wawancara semi terstruktur dan observasi terhadap narasumber penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa makna pernikahan bagi narasumber adalah : 1) Pengikat untuk
mengekalkan hubungan dengan pasangan dan 2) Pengalaman yang indah karena dapat memiliki
keluarga dan merasakan hal-hal romantik.
Kata kunci: makna pernikahan, waria
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
THE MEANING OF MARRIAGE TO TRANSGENDER
Novia Paulien
ABSTRACT
This research is aimed to know the meaning of marriage to transgender’s life. This
research used qualitative method with intrepretive phenomenoligical analysis. The question of this
research was how is the meaning of marriage to the transgender. The informants were three
transgender people who has been existing as a transgender more than 10 years and having a
romantic partner. Data of this research were collected by observation and semi-structured
interview to the informants. The results show the meaning of marriage toward transgender are: 1)
The bond to make the relationship with romantic partner everlasting and 2) The precious
experience for being able to have a family and experience the romantic things.
Key words: the meaning of marriage, transgender
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Novia Paulien
119114022
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Novia Paulien
119114022
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“We are not the passenger in the real life,
we are the drivers.”
“Don’t let the failure be an ending. Make it as a beginning”
(unknown)
“Don’t pray for an easy life, pray for the strength to endure a difficult
one”
– Bruce Lee
“Berkaryalah untuk Tuhan, keluargamu dan orang yang
kamu kasihi.”
Dedicated for my family.
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Novia Paulien
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pernikahan di dalam
kehidupan waria. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis fenomenologi
interpretif. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana makna pernikahan pada waria.
Narasumber dalam penelitian ini adalah 3 orang waria yang telah mengakui eksistensi diri sebagai
waria kurang lebih selama 10 tahun dan memiliki pasangan. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan wawancara semi terstruktur dan observasi terhadap narasumber penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa makna pernikahan bagi narasumber adalah : 1) Pengikat untuk
mengekalkan hubungan dengan pasangan dan 2) Pengalaman yang indah karena dapat memiliki
keluarga dan merasakan hal-hal romantik.
Kata kunci: makna pernikahan, waria
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
THE MEANING OF MARRIAGE TO TRANSGENDER
Novia Paulien
ABSTRACT
This research is aimed to know the meaning of marriage to transgender’s life. This
research used qualitative method with intrepretive phenomenoligical analysis. The question of this
research was how is the meaning of marriage to the transgender. The informants were three
transgender people who has been existing as a transgender more than 10 years and having a
romantic partner. Data of this research were collected by observation and semi-structured
interview to the informants. The results show the meaning of marriage toward transgender are: 1)
The bond to make the relationship with romantic partner everlasting and 2) The precious
experience for being able to have a family and experience the romantic things.
Key words: the meaning of marriage, transgender
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan atas berkat dan kekuatan
yang telah diberikan sehingga peneliti mampu menyelesaikan tugas akhir ini.
Tugas akhir ini dikerjakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Selain itu, peneliti
juga memiliki ketertarikan terhadap fenomena waria yang terkadang masih
dipandang miring oleh masyarakat dan juga terkait dengan pernikahan pada waria.
Peneliti pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak
yang telah memberikan bantuan kepada peneliti baik dalam bentuk materi maupun
non materi selama proses pengerjaan tugas akhir ini. Terima kasih peneliti
ucapkan kepada:
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang telah memberikan kekuatan, semangat,
pencerahan, harapan, kesehatan dan berkat penyertaan-Nya sehingga tugas
akhir ini dapat selesai.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi dan Ketua
Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih
atas waktu dan tenaga yang telah diberikan selama proses bimbingan.
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4. Bapak Prof. A. Supratiknya, Ph.D. selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih atas dukungan semangat yang diberikan agar peneliti yakin
dapat segera menyelesaikan tugas akhir.
5. Seluruh dosen dan karyawan yang telah membantu memberikan pencerahan
dan wawasan dalam penyelesaian tugas akhir ini, serta selama kurang lebih 4
tahun peneliti menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
6. Narasumber penelitian, Mbak Nur, Bu Shinta, Bu Sandra dan teman-teman
waria di Ponpes Waria Kotagede Yogyakarta yang mau terbuka membagi
kisah hidup singkatnya dan membantu peneliti sehingga peneliti merasa sudah
seperti keluarga dan dimudahkan dalam melakukan penelitian.
7. Keluarga peneliti; mama, papa, cici nia dan cici lia. Thank you so much for the
love and your support. Aku mah apa atuh tanpa kalian heheehe. Terimakasih
sudah mendukung dan mendoakan, ngejar-ngejar terus supaya skripsi cepat
selesai.
8. Seseorang yang hadir dalam kehidupan peneliti, Benvenutus Sri Widya
Paskha Panji Putra. Seorang istimewa, teman, kakak, saudara, partner dan
pacar yang setia, mendukung, menemani peneliti dengan sabar selama
pengerjaan tugas akhir ini.
9. Sahabat tersayang, Arsita Ayu Kumalasari dan Omega Nilam Bahana, Maeda
Azalia dan Maria Veronika. Terimakasih atas segala dukungan dan keceriaan,
sharing ide-ide dan kehadiran kalian untuk mendengarkan keluh kesah peneliti
selama mengerjakan tugas akhir.
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……………………..ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………. v
ABSTRAK……………………………………………………………………… vi
ABSTRACT……………………………………………………………………. vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………... viii
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xvii
DAFTAR SKEMA…………………………………………………………... xviii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xix
BAB I.
PENDAHULUAN… ……………………………………………. 1
A. Latar Belakang…. ……………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………10
C. Tujuan Penelitian. ……………………………………………10
D. Manfaat Penelitian …….. ……………………………………10
1. Manfaat Teoretis…… …………………………………... 10
xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2. Manfaat Praktis…….. …………………………………... 11
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA …. …………………………………... 12
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan……... …………………………... 12
2. Tujuan Pernikahan…. …………………………………... 14
3. Latar Belakang Pernikahan… …………………………... 15
4. Pernikahan Tidak Sah …………………………………... 16
B. Makna Pernikahan……....…………………………………... 17
C. Waria…… …………………………………………………... 19
1. Faktor Menjadi Waria …………………………………... 20
a. Waria Dilihat Dari Aspek Medis-Psikologis....... …... 20
b. Waria Dilihat Dari Aspek Sosial-Budaya …………... 20
2. Ciri-ciri Waria …………………………………………... 23
D. Makna Pernikahan Pada Waria… …………………………... 25
BAB III.
METODOLOGI PENELITIAN…. …………………………... 28
A. Jenis Penelitian.……………………………………………... 28
B. Narasumber Penelitian…. …………………………………... 29
C. Fokus Penelitian... …………………………………………... 29
D. Metode Pengambilan Data……... …………………………... 30
1. Wawancara…. …………………………………………... 30
2. Observasi………………………………………………... 32
E. Proses Pengambilan Data. ……………………………………32
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
F. Analisis Data…… ……………………………………………33
G. Keabsahan Data... …………………………………………... 34
BAB IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…. ................... 36
A. Profil Narasumber Penelitian…... …………………………... 36
1. Narasumber 1. …………………………………………... 36
a. Deskripsi.. …………………………………………... 36
b. Latar Belakang…. …………………………………... 37
2. Narasumber 2. …………………………………………... 38
a. Deskripsi.. …………………………………………... 38
b. Latar Belakang…. …………………………………... 38
3. Narasumber 3. …………………………………………... 39
a. Deskripsi.. …………………………………………... 39
b. Latar Belakang…. …………………………………... 40
B. Hasil Penelitian
…………………………………………... 41
1. Pemahaman Tentang Pernikahan…... …………………... 41
a. Narasumber 1…... …………………………………... 41
b. Narasumber 2…... …………………………………... 43
c. Narasumber 3…... …………………………………... 45
2. Perasaan yang Dialami Tentang Hidup Bersama….. …... 46
a. Narasumber 1…... …………………………………... 46
b. Narasumber 2…... …………………………………... 46
c. Narasumber 3…... …………………………………... 47
xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3. Respon Pada Pengalaman Pernikahan Orang Lain… …... 48
a. Narasumber 1…... …………………………………... 48
b. Narasumber 2…... …………………………………... 49
c. Narasumber 3…... …………………………………... 50
4. Pengalaman Hidup Bersama Dengan Pasangan…… …... 51
a. Narasumber 1…... …………………………………... 51
b. Narasumber 2…... …………………………………... 53
c. Narasumber 3…... …………………………………... 57
5. Harapan Tentang Pernikahan. …………………………... 59
a. Narasumber 1…... …………………………………... 59
b. Narasumber 2…... …………………………………... 59
c. Narasumber 3…. . …………………………………... 60
C. Pembahasan……..…………………………………………... 64
1. Pemahaman Tentang Pernikahan…... …………………... 64
2. Perasaan yang Dialami Tentang Hidup Bersama…...…... 66
3. Respon Pada Pengalaman Pernikahan Orang Lain… …... 67
4. Pengalaman Hidup Bersama Dengan Pasangan…… …... 67
5. Harapan Tentang Pernikahan. …………………………... 69
6. Makna Pernikahan Pada Waria…….. …………………... 70
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN…… ........................................... 76
A. Kesimpulan…….. …………………………………………... 76
B. Keterbatasan Penelitian… …………………………………... 76
xv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
C. Saran…… …………………………………………………... 77
DAFTAR PUSTAKA……. …………………………………………………... 79
LAMPIRAN..…………………………………………………………………... 83
xvi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Guideline Wawancara ...................................................................31
Tabel 2
Proses Rapport dan Wawancara ....................................................33
xvii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR SKEMA
Skema 1.
Narasumber 1 …………………………………………………...62
Skema 2.
Narasumber 2 …………………………………………………...63
Skema 3.
Narasumber 3 …………………………………………………...64
Skema 4.
Makna pernikahan pada ketiga narasumber ……………………74
xviii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent Persetujuan Partisipasi Dalam Penelitian ............82
Lampiran 2 Informed Consent Data Partisipan Narasumber 1 .............................84
Lampiran 3 Informed Consent Data Partisipan Narasumber 2 .............................85
Lampiran 4 Informed Consent Data Partisipan Narasumber 3 .............................86
Lampiran 5 Verbatim Wawancara Narasumber 1 .................................................87
Lampiran 6 Daftar Tema Utama Narasumber 1 ..................................................109
Lampiran 7 Verbatim Wawancara Narasumber 2 ...............................................112
Lampiran 8 Daftar Tema Utama Narasumber 2 ..................................................137
Lampiran 9 Verbatim Wawancara Narasumber 3 ...............................................139
Lampiran 10 Daftar Tema Utama Narasumber 3 ................................................149
xix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup seorang diri tanpa
kehadiran orang lain. Mereka saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum maupun
kebutuhan psikologis, seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai dan
sebagainya. Simanjuntak (2012) menambahkan bahwa manusia membutuhkan
ikatan yang intim dengan orang-orang di sekitarnya.
Menurut Maslow, kebutuhan dimiliki dan cinta (belonging and love)
menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia (dalam Alwisol, 2009). Individu
mencari kebutuhan tersebut untuk dapat mengatasi perasaan kesepian dan
keterasingan, misalnya dengan hubungan pacaran, hidup bersama atau bahkan
menikah. Selain itu, kurangnya kasih sayang dan tidak adanya keintiman dengan
orang lain dapat menimbulkan gangguan pada individu. Kegagalan memenuhi
kebutuhan dimiliki dan cinta menjadi sebab hampir semua bentuk psikopatologi
(Maslow dalam Alwisol, 2009).
Individu dewasa yang saling mencintai dan ingin memiliki pasangannya
serta telah yakin dengan pasangannya membuat komitmen untuk dapat
memuaskan kebutuhan cinta dan kasih sayang. Komitmen tersebut membentuk
suatu ikatan yang dikenal dengan pernikahan. Hal yang senada dikemukakan oleh
Kelly & Conley (dalam Lemme, 1995) bahwa menentukan dan mempertahankan
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2
pasangan merupakan salah satu aspek perkembangan orang dewasa, kemudian
bersama pasangannya berkomitmen untuk melakukan pernikahan.
Di Indonesia terdapat peraturan pernikahan yang disahkan melalui
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pernikahan merupakan perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk menjalani kehidupan bersama yang telah disahkan oleh
negara. Pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang sakral sehingga peraturan
tentang pernikahan dibuat dan ditetapkan agar sah atau legal secara hukum dan
agama.
Melihat kenyataan bahwa pernikahan yang diakui dan dianggap sah adalah
pernikahan antara laki-laki dengan perempuan, pernikahan antara laki-laki dengan
laki-laki atau perempuan dengan perempuan tidak dimungkinkan terjadi.
Berdasarkan hukum dan norma masyarakat, pernikahan yang dilakukan selain
oleh laki-laki dan perempuan masih dipandang negatif dan dianggap
menyimpang. Pandangan negatif dan anggapan menyimpang juga tertuju pada
fenomena waria yang dianggap sebagai suatu hal yang berbeda di masyarakat. Hal
tersebut menjadi menarik untuk diketahui.
Masyarakat mengenal waria sebagai laki-laki yang berperilaku layaknya
perempuan. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ
III, 2003), transeksualisme adalah suatu hasrat untuk hidup dan diterima sebagai
anggota kelompok dari lawan jenisnya. Transeksualisme yang umum ditemui
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3
adalah individu yang secara fisik laki-laki namun secara psikis merasa dirinya
adalah anggota dari jenis kelamin yang berlawanan. Oleh sebab itu, kaum waria
atau transgender berupaya untuk mengungkapkan jati diri dalam wujud
perempuan dengan mengubah penampilan, tutur kata, bahasa tubuh, dan perilaku.
Kaum waria yang merasa memiliki identitas gender seperti perempuan tentu
memiliki keinginan untuk berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan.
Menurut Yash (dalam Galink, 2013), kaum waria mengacu pada orang yang
mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya lakilaki merasa lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku stereotip perempuan
namun memiliki keunikan sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk
dandanan, make up, gaya bicara dan tingkah laku.
Jumlah waria di Indonesia tergolong cukup besar. Menurut Data Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia (2012), jumlah
waria di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 31.179 jiwa. Di daerah Yogyakarta,
jumlah waria yang tercatat adalah kurang lebih sebanyak 261 jiwa. Hal yang patut
diperhatikan adalah kaum waria masih tergolong dalam kaum minoritas di mana
masyarakat belum menerima dan mengakui keberadaannya secara terbuka
sedangkan jumlah kaum waria tergolong cukup besar. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tertanggal 1 November 1997
menegaskan bahwa waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai
kelompok (jenis kelamin) sendiri. Segala perilaku waria yang menyimpang adalah
haram dan harus diupayakan untuk kembali pada kodrat semula (MUI, 1997).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4
Kehadiran waria tentu memunculkan berbagai pandangan dari sosial dan
agama. Pandangan agama Islam menganggap bahwa waria adalah menyimpang.
Hal tersebut dibuktikan dengan fatwa dari MUI. Di kalangan Kristen, pertanyaan
mengenai
kehadiran
waria
masih
kontroversial
karena
perlu
adanya
perkembangan ilmu pengetahuan perubahan sosial dan pengalaman personal serta
pemahaman Kitab. Hal yang cukup menarik adalah Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia mengeluarkan himbauan bahwa kelompok LGBT adalah kelompok
yang juga harus diberikan kasih, sama seperti jemaat lain (Galink, 2013). Isu
tentang waria atau transgender dan homoseksualitas pun masih menjadi
perdebatan bagi agama lain seperti Hindu, Budha dan Konghucu (Galink, 2013).
Agama Hindu menolak adanya penyimpangan maupun ide perkawinan sesama
jenis. Agama Budha tidak pernah mengutuk transgender atau homoseksual (atau
siapapun itu). Sedangkan agama Konghucu menekankan tanggung jawab individu
untuk menunjukkan kesalehan dan kesetiaan, seseorang diharapkan untuk
mematuhi perintah dimana laki-laki dan perempuan harus menjalani tugas sesuai
dengan perannya sehingga hal diluar tersebut Konghucu tidak dapat menerima.
Di dalam masyarakatpun muncul berbagai istilah untuk menyebut kaum
transgender seperti, banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis),
kawe‐kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan berbagai istilah lainnya
(Oetomo, 2006). Waria cenderung dipandang negatif, dibuang dan dipersalahkan
karena penyimpangan yang ada di dalam diri mereka. Realita di mana waria
ditolak dan menjadi kaum minoritas merupakan masalah yang serius dan harus
dirasakan oleh kaum waria. Di sisi lain, waria sebagai manusia berharap bahwa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
diri mereka dapat diterima apa adanya oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
kebanyakan waria merasakan kecenderungan untuk menjadi waria semenjak kecil
dan merasa bahwa keberadaan mereka merupakan suatu kodrat yang tidak bisa
dipungkiri (Nadia, 2005). Waria ingin memperoleh hak-hak yang sama sebagai
warga negara tanpa menanggalkan identitas waria mereka. Keinginan tersebut
juga diutarakan oleh IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) pada saat memperingati
Transgender International Day 2013 dengan mengangkat tema “Waria, Kami
Indonesia, kami punya hak yang sama.” (PKBI DIY, 2013). Namun, kenyataan
yang harus dihadapi adalah waria dipandang sebelah mata. Keberadaan mereka
terbentur oleh norma, nilai dan moralitas dalam masyarakat. Cassandra Valent,
anggota dari IWAYO juga berpendapat bahwa kebencian tanpa alasan yang
masuk akal tumbuh berkembang di masyarakat karena stigmatisasi dan
diskriminasi yang masih sangat kuat (PKBI DIY, 2013).
Peneliti berkeyakinan bahwa seorang waria tidak seburuk seperti
pandangan orang pada umumnya. Mereka juga manusia dan memiliki kehidupan
yang mereka jalani. Peneliti berpendapat bahwa layaknya manusia biasa, seorang
waria dapat pula memiliki keinginan untuk memiliki pasangan dan bahkan
menikah. Hal tersebut dikarenakan pengalaman peneliti yang pernah berbincang
dengan seorang waria di daerah Yogyakarta. Mbak N menuturkan bahwa
pernikahan bagi waria belum dapat dilakukan karena hidup sebagai waria pun
masih dianggap sebelah mata. Sebagai seorang waria dirinyapun membutuhkan
seseorang di dalam hidupnya yang dapat menyayangi dan mengisi kehidupannya.
Mbak N memiliki seorang pacar dan mereka memutuskan untuk tinggal bersama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6
Hal tersebut dapat sedikit memberi gambaran bahwa pernikahan pada kaum waria
belum diterima secara umum.
Waria sebagai
manusiapun membutuhkan
seseorang
yang dapat
memberikan kasih sayang dan dapat melengkapi hidupnya. Peneliti menemukan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayuningsih (2007) yang menggunakan
waria sebagai responden bahwa waria memiliki keinginan untuk hidup seperti
masyarakat pada umumnya. Waria yang memiliki pasangan dan menyadari bahwa
mereka tidak dapat menjalankan fungsi reproduksi dengan baik memilih cara
mengangkat atau mengadopsi anak untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Cara
yang dilakukan oleh waria tersebut ternyata memiliki makna psikologis dalam
kehidupan mereka. Waria merasa mendapat pemenuhan kebutuhan batin yang
berhubungan dengan emosional pada diri dan mempererat hubungan dengan
pasangan.
Pernikahan yang dilakukan dengan sesama jenis dapat menimbulkan
kontroversi dan dianggap menyimpang oleh masyarakat serta yang lebih ironis
lagi adalah digolongkan pada suatu gangguan. Menurut Oetomo (2006), banyak
kaum waria yang menjalin hubungan seksual maupun secara emosional dengan
lelaki. Akan tetapi, mereka tidak dapat menentukan pasangan secara bebas,
banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang
masa pernikahannya korban merasa terbebani. Contoh kasus yang dialami oleh
seorang waria bernama Agus Kasiono alias Mentul menggambarkan adanya
keterpaksaan dalam pernikahan. Ia terpaksa menikahi seorang perempuan. Akan
tetapi, Mentul tetap menjalani profesinya sebagai waria meskipun ia menikah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7
sebagai “laki-laki” (Priyanto, 2013). Pernikahan yang dilakukan secara terpaksa
dan bukan dengan identitas gender yang dimiliki oleh waria dapat menimbulkan
suatu penyesalan.
Kasus lain yaitu waria berinisial Icha yang ingin menikah, tetapi
merahasiakan status warianya dari pasangannya. Kebohongan yang dilakukan
Icha diketahui oleh pasangan (suami) setelah enam bulan Icha tidak mau
melakukan hubungan seksual (Januar, 2011). Keinginan untuk menikah dapat
terlihat pada kaum waria dari kasus yang terjadi. Hal lain yang juga cukup
memprihatinkan adalah waria yang tidak dapat menikah memilih untuk melacur
demi memenuhi hasratnya untuk dapat memiliki pasangan diluar kebutuhan
ekonomi (Koeswinarno, 2004).
Kaum waria tidak dapat mengekspresikan orientasi seksualnya secara jujur
dan bebas memilih pasangannya bahkan hingga ke tahap pernikahan. Keinginan
waria untuk memiliki pasangan sesuai dengan keinginan mereka tetap tidak
dibenarkan dan tidak dapat ditolerir bagi negara dan masyarakat. Hubungan
seksual dan/atau emosional yang dijalin oleh kaum waria dengan lelaki tidak
dapat dicatatkan sebagai pernikahan seperti hubungan antara perempuan dan
lelaki yang berniat mencatatkan pernikahannya (Oetomo, 2006).
Menurut Herdt dan Kertzner (2006), kehidupan pernikahan berkaitan
dengan kesehatan mental seseorang. Melalui pernikahan seseorang dapat
mengembangkan rasa cinta dan kasih sayang. Hal yang senada juga dikemukakan
oleh Erikson (dalam Herdt dan Kertzner, 2006) bahwa pernikahan merupakan
lembaga yang dapat membuat seseorang merealisasikan potensi individu dalam
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8
mengembangkan cinta, perhatian, perlindungan dan kualitas diri. Perlakuan
diskriminasi dan penyangkalan untuk menikah dapat menurunkan kualitas hidup
dan juga memunculkan gangguan mood dan kecemasan (Mays et.all., dalam Herdt
dan Kertzner, 2006). Herdt dan Kertzner (2006) juga menambahkan penolakan
pernikahan sesama jenis dapat memiliki pengaruh psikologis dan kerugian sosial
terhadap kaum LGBT. Selain itu, konflik dalam diri dapat muncul bila ada
kebutuhan yang ditekan dan tidak dapat direalisasikan dengan baik.
Penelitian mengenai makna pernikahan sejauh ini lebih mengarah pada
kaum heterosexual. Adapun pada beberapa jurnal penelitian dan artikel ilmiah
yang telah dibaca oleh peneliti, penelitian makna pernikahan lebih mengarah pada
pandangan agama di dunia dan pandangan kaum GLB (Gay, Lesbian dan
Bisexual) (Yarhouse dan Nowacki, 2007). Menurut Hall (2006), seseorang yang
dapat memaknai pernikahan akan berdampak pada bagaimana perilaku terhadap
pernikahan tersebut dan dapat pula berkaitan dengan keberhasilan pernikahan.
Selain itu, dengan memiliki makna pernikahan, seseorang akan dapat lebih
menghargai dan menghormati beragamnya simbol pernikahan bagi berbagai pihak
(Yarhouse & Nowacki, 2007).
Penelitian tentang makna pernikahan yang dilakukan secara khusus
terhadap kaum waria belum banyak ditemukan. Oleh sebab itu, peneliti sangat
tertarik untuk membahas makna pernikahan pada kehidupan seorang waria.
Asumsi atau pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran seseorang yang
mendengar atau membaca judul penelitian ini adalah bagaimana seorang waria
dapat memaknai pernikahan, sedangkan ia tidak mengalami peristiwa pernikahan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9
tersebut dan bahkan pernikahan bagi waria tidak diakui?. Hal yang perlu diketahui
bersama adalah makna dapat diperoleh meski seseorang tidak secara langsung
mengalaminya. Pernyataan peneliti ini diperkuat dengan adanya pendapat dari
Hall (2006) bahwa tidak memiliki pengalaman menikah bukan berarti
melemahkan hubungan antara keyakinan atau kepercayaan tentang pernikahan
dan bagaimana perilaku seseorang terhadap hal tersebut. Seseorang dapat
mempelajari atau memaknai pernikahan melalui pengalaman diluar dirinya,
seperti norma sosial, pengalaman keluarga dan lain-lain. Oleh sebab itu,
kebermaknaan pernikahan dalam hidup yang dialami orang pada umumnya, tidak
menutup pula kaum waria dapat memahami kebermaknaan pernikahan dalam
kehidupan mereka.
Peneliti menggunakan metode kualitatif untuk membahas penelitian ini.
Hal tersebut dikarenakan metode kualitatif lebih cocok dan tepat dalam membahas
realitas sosial dan mencari makna pada pengalaman seseorang. Metode kualitatif
juga berguna untuk memahami, mengkomunikasikan dan memaknai suatu
konteks (Altheide dalam Hall, 2006). Pengumpulan data penelitian akan dilakukan
dengan menggunakan wawancara semi terstruktur. Peneliti berharap dapat
menggali lebih dalam pengalaman pada narasumber sehingga memudahkan
peneliti untuk menggambarkan makna pernikahan.
Berdasarkan hasil penelitian dan berbagai uraian di atas, peneliti merasa
tertarik mengetahui bagaimana waria yang memiliki keunikan tersendiri dapat
memaknai suatu pernikahan di dalam kehidupannya, terlebih ketika negara dan
agama hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10
Indonesia pun masih memiliki pandangan bahwa proses kehidupan manusia yang
ideal adalah salah satunya menikah dan memiliki anak. Melalui penelitian ini
diharapkan dapat diketahui “Bagaimana makna pernikahan pada waria?” Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan seputar pernikahan
pada waria. Selain itu, peneliti selanjutnya atau para ahli lain dapat menemukan
cara yang bermanfaat bagi waria dalam mewujudkan kebutuhan akan rasa cinta
dan dimiliki (belonging and love) bila pernikahan bagi waria dilarang.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, rumusan permasalahan yang diajukan adalah
Bagaimana makna pernikahan bagi waria?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai makna pernikahan dalam
kehidupan waria.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis
maupun praktis:
1. Manfaat Teoretis
Menambah wawasan bagi teori-teori di bidang Psikologi Sosial dan
Psikologi Perkembangan, khususnya mengenai makna pernikahan pada waria.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian dapat membuat masyarakat lebih mengetahui
mengenai sisi lain kehidupan kaum waria dan masyarakat dapat memiliki
pandangan yang lebih baik terhadap keberadaan waria dan dapat menentukan
sikap terhadap waria.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pernikahan
Menurut Walgito dalam Psikologi Sosial (1990), manusia sebagai
makhluk sosial memiliki hubungan dengan manusia disekitarnya. Secara sosial,
manusia akan melakukan interaksi satu dengan yang lain di dalam lingkungannya.
Menurut Walgito (1990), lingkungan sosial dibedakan menjadi lingkungan sosial
primer dan lingkungan sosial sekunder. Lingkungan sosial primer yaitu
lingkungan sosial di mana terdapat hubungan yang erat antara individu satu
dengan yang lain, individu satu saling kenal dengan individu yang lain. sedangkan
lingkungan sosial sekunder adalah lingkungan sosial di mana hubungan individu
satu dengan yang lain agak longgar, individu satu kurang mengenal dengan
individu yang lain. Pengaruh lingkungan sosial primer akan lebih mendalam
dibandingkan dengan lingkungan sosial sekunder. Pernikahan terkait dengan
lingkungan sosial primer, di mana individu mencoba mengenal lebih dalam
individu lain yang menjadi pasangannya.
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan dilakukan oleh pasangan untuk meresmikan hubungan
mereka. Menurut Purwadarminta (1976) kawin = perjodohan laki-laki dan
perempuan menjadi suami isteri; nikah; perkawinan = pernikahan (dalam
Walgito, 2000). Sedangkan, menurut Undang-Undang Perkawinan, yang
12
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13
dikenal dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud
perkawinan yaitu:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Walgito (2000), di dalam perkawinan terdapat ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Hal
tersebut memperjelas bahwa dalam perikatan perkawinan sebagai suami isteri
adalah seorang wanita dan seorang pria. Ikatan lahir merupakan ikatan yang
nampak, ikatan formal yang sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hal
tersebut terlihat dengan perkawinan yang diinformasikan kepada masyarakat
luas melalui undangan pesta perkawinan. Ikatan batin adalah ikatan yang tidak
nampak secara langsung, merupakan ikatan psikologis. Suami isteri harus
saling memiliki ikatan tersebut dan tidak ada suatu paksaan dalam
perkawinan. Bila tidak ada ikatan dan terdapat paksaan dapat menimbulkan
persoalan dalam kehidupan pasangan.
Pernikahan seringkali dikaitkan dengan stereotip jenis kelamin.
Menurut Sears, dkk. (1985), ada gambaran mengenai jenis kelamin yang
disajikan oleh budaya tertentu. Gambaran jenis kelamin perempuan dan lakilaki nampak pada suatu pernikahan. Laki-laki biasanya digambarkan sebagai
pemimpin, tegas dan berpengaruh pada perempuan. Sedangkan perempuan
digambarkan peran seorang istri adalah melayani dan menyenangkan suami,
memiliki peran pengurus rumah tangga dan terbatas pada peran dalam
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14
keluarga. Stereotip tersebut memunculkan adanya perbedaan peran laki-laki
sebagai suami dan perempuan sebagai istri dalam suatu pernikahan.
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu tahap lanjut
dari kehidupan individu yang memiliki pasangan dan memutuskan untuk
terikat hidup bersama serta sah secara hukum dan agama.
2. Tujuan Pernikahan
Seseorang tentunya memiliki tujuan dalam melakukan suatu tindakan
baik itu tindakan besar ataupun kecil. Hal tersebut berlaku juga pada
perkawinan atau pernikahan. Pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
dengan jelas disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (dikutip dari Walgito, 2000). Satu hal yang perlu diperhatikan
adalah tiap pasangan dapat dimungkinkan memiliki tujuan pernikahan yang
berbeda-beda. Oleh sebab itu, kedua pasangan harus saling menyadari dan
menyatukan tujuan di dalam menjalani kehidupan bersama. Walgito (2000)
mengemukakan bahwa tujuan pernikahan adalah milik bersama, akan dicapai
bersama-sama dan suami isteri harus menuju ke arah tujuan tersebut.
Secara tradisional, tujuan utama pernikahan adalah memiliki keturunan
atau anak. Namun, pada pandangan yang lebih maju, pernikahan tidak lagi
diartikan sebagai proses legal untuk mendapatkan keturunan, melainkan
pasangan berusaha saling membahagiakan satu sama lain dan membangun
relasi yang semakin personal (Tukan, 1985).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15
Pernikahan dilakukan layaknya suatu lembaga yang didirikan karena
alasan dan tujuan tertentu. Pernikahan memiliki tujuan agar ke depannya dapat
diarahkan dan dijalankan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Tujuan
pernikahan yang dikemukakan beberapa ahli memiliki kesamaan yaitu tujuan
pernikahan tidak dapat diwujudkan apabila hanya secara sepihak. Pasangan
harus bersama-sama, memiliki perasaan „saling‟ dan bersatu agar tujuan
tercapai.
3. Latar Belakang Pernikahan
Pasangan yang menjalin hubungan tentunya adalah manusia biasa yang
memiliki berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan tersebut dapat
mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan, termasuk keinginan
untuk menikah. Menurut Maslow (1970), terdapat lima kebutuhan dasar yang
dimiliki seseorang, yaitu (1) the physiological needs yaitu kebutuhan yang
bersifat fisiologis, merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara kebutuhan
yang lain, (2) the safety needs yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan rasa
aman, (3) the belongingness and love needs yaitu kebutuhan yang berkaitan
dengan hubungan dengan orang lain, merupakan kebutuhan sosial, (4) the
esteem needs yaitu kebutuhan berkaitan dengan penghargaan, termasuk rasa
harga diri, rasa dihargai, (5) the needs for self-actualization yaitu kebutuhan
untuk mengaktualisasikan diri, kebutuhan ikut berperan. Dari kelima
kebutuhan tersebut terdapat kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain,
dicintai dan mendapat rasa aman. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi individu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16
dengan berkembang dalam kehidupan sosialnya, memiliki keluarga, teman
dan pasangan. Kemudian seorang individu yang telah yakin dan memiliki
komitmen dengan pasangannya akan melanjutkan ke tahap pernikahan.
Secara lebih jelas Fatchiah (2009) mengemukakan bahwa terdapat
alasan yang beragam mengemukakan bahwa alasan adanya pernikahan, antara
lain konformitas, cinta, hubungan seks yang halal, memperoleh keturunan
yang sah, faktor emosional dan ekonomi, kebersamaan, sharing, keamanan
dan harapan lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa alasan terjadinya pernikahan adalah karena
ada kebutuhan untuk memiliki pasangan atau pendamping dan dicintai.
Seseorang ingin menikah karena ada nilai persahabatan, cinta dan ketertarikan
secara seksual. Selain itu, dari beragam alasan adanya pernikahan garis besar
yang ditemukan bahwa seseorang ingin memiliki kebahagiaan bersama
pasangannya.
4. Pernikahan Tidak Sah
Dalam pernikahan, terdapat pula kehidupan bersama pasangan yang
tidak resmi. Di Indonesia hal tersebut lebih dikenal dengan istilah samen leven
atau kumpul kebo. Pasangan yang hidup bersama tetapi tidak terikat oleh
perkawinan yang sah, tidak diakui oleh negara dan agama. Pasangan yang
hanya memutuskan untuk tinggal bersama dapat dilatarbelakangi oleh
berbagai alasan, misalnya karena pasangan menganut agama yang berbeda
(Pompe, 2015). Pasangan yang berbeda agama dan salah satu pasangan tidak
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17
mau mengikuti agama pasangannya bisa saja memutuskan untuk hidup
bersama tanpa berpindah agama. Selain itu, hidup bersama tanpa ikatan
pernikahan yang sah juga dialami oleh pasangan sesama jenis. Pasangan
homoseksual tidak dapat menikah sah secara hukum, lebih memilih untuk
hanya hidup bersama atau hidup sendiri atau single (Dnes, 2007). Layaknya
pasangan heteroseksual, pasangan sesama jenis juga menginginkan cinta,
pengakuan, dukungan dan hubungan seksual (Lafontaine, 2013). Pasangan
sesama jenis yang telah yakin dan memiliki komitmen dengan pasangannya
masing-masing cenderung memilih untuk hidup bersama dalam satu rumah.
Mereka hidup bersama layaknya pasangan menikah pada umumnya, tetapi
hubungan mereka tidak disahkan di depan hukum dan agama.
B. Makna Pernikahan
Membahas makna pernikahan dapat diartikan sebagai upaya menggali
lebih dalam mengenai pandangan dan arti pernikahan di dalam kehidupan
seseorang. Makna pernikahan juga tidak terlepas dari proses kognitif individu
terhadap pernikahan (Hall, 2006). Proses kognitif terhadap pernikahan adalah
proses informasi atau bagaimana seseorang berpikir tentang pernikahan dan
memiliki pengalaman tertentu yang terkait dengan pernikahan. Hal tersebut juga
memiliki pengaruh pada perilaku seseorang yang memiliki interpretasi subjektif
terhadap pernikahan. Makna sendiri mengandung arti simbolisme dan tujuan
(Klinger dalam Hall, 2006). Selain proses kognitif, makna juga melibatkan afek
(perasaan) dan harapan. Menurut Timmer dan Orbuch (2001), makna pernikahan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18
merupakan bagian dari struktur kognitif yang dapat membuat mengerti dan
menilai tentang pernikahan tersebut. Melalui proses kognitif seseorang dapat
memahami pernikahan dan hal tersebut juga melibatkan perasaan dan perilakunya.
Makna pernikahan berkaitan dengan tujuan pernikahan. Pernikahan dapat
tidak bermakna bila tujuan pernikahan tidak tercapai atau tidak ada tujuan. Hal
tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Klinger (dalam Hall, 2006) bahwa
segala sesuatu menjadi bermakna ketika dapat dikenali maksud dan tujuannya.
Ketika seseorang memiliki gambaran dan tujuan pernikahan maka dapat
mempengaruhi dan membentuk bagaimana seseorang berpikir dan mempercayai
tentang pernikahan.
Makna pernikahan juga dapat mengandung unsur subjektivitas di mana
seseorang
mempersepsikan
pernikahan
berdasarkan
pengetahuan
dan
pengalamannya ketika melakukan interaksi dengan orang lain (hubungan
interpersonal) meski seseorang belum mencapai tahap pernikahan (Hall, 2006).
Hall (2006) menyatakan bahwa makna pernikahan juga berkaitan dengan
pengalaman awal di dalam keluarga yang dapat membentuk persepsi terhadap
pernikahan. Pengalaman berpacaran atau hubungan intim yang dijalin sebelum
pernikahan juga dapat membentuk persepsi yang terkait dengan pernikahan (Hall,
2006). Selain itu, melalui interaksi seseorang dapat memahami makna tentang
suatu peristiwa, objek dan orang-orang di dalam lingkungan sosialnya (Mead,
1934; Stryker, 1987 dalam Timmer dan Orbuch, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa makna pernikahan berkaitan erat dengan proses
kognitif, afektif dan harapan serta tujuan yang dimiliki seseorang untuk memaknai
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19
pernikahan. Ketika seseorang telah mengetahui tujuannya untuk menikah,
seseorang tersebut dapat memaknai pernikahan menurut pemahaman atau
keyakinan, perasaan dan harapannya. Seseorang juga dapat memiliki makna
pernikahan melalui pengalaman di luar dirinya misalnya, norma sosial,
pengalaman keluarga, pengalaman teman, dan sebagainya. Makna pernikahan
akan terlihat bila seseorang memiliki pengetahuan atau keyakinan, dapat
merasakan dan memiliki harapan tertentu mengenai pernikahan
C. Waria
Waria adalah istilah wanita-pria yang digunakan untuk menyebut
seseorang yang memiliki identitas gender dan ekspresi gender unik serta
terkadang muncul dorongan untuk mengubah gendernya karena memiliki
ketidakcocokkan antara bentuk fisik dan kejiwaannya. Koeswinarno (2004)
mengemukakan bahwa dalam konteks psikologi, seorang waria termasuk dalam
istilah transeksualisme, yakni seseorang yang memiliki jasmani yang sempurna
tetapi memiliki dorongan kuat untuk menjadi jenis kelamin yang berlawanan.
Waria atau transgender mengacu pada seseorang yang memiliki identitas gender,
persepsi diri yang berbeda dengan jenis kelamin biologisnya, bersikap dan
berperilaku seperti stereotipe lawan jenis kelaminnya (Galink, 2013). Junaidi
(2012) menambahkan bahwa waria merupakan laki-laki yang berorientasi seks
perempuan, secara fisik ingin berpenampilan seperti perempuan dan secara
psikologis mengidentifikasi diri sebagai perempuan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20
Kaum transgender, menurut Yash (dalam Galink, 2013) pada umumnya
tidak melakukan operasi penggantian kelamin, apabila dilakukan pun bukan
operasi dan terapi secara menyeluruh atau lengkap. Istilah waria yang umumnya
diketahui oleh masyarakat lebih dikenal pada transgender laki-laki. Waria terlihat
bersikap dan berperilaku layaknya perempuan, akan tetapi mereka biasanya ingin
tetap dikenal sebagai waria. Mereka menganggap waria adalah “gender” ketiga.
1. Faktor Menjadi Waria
Pandangan tentang waria sangat beragam, agar lebih mudah dalam
menjelaskan kaum waria, terdapat dua aspek yang dapat memberikan
gambaran tentang waria (Saputra, 2013), yaitu:
a. Waria dilihat dari Aspek Medis-Psikologis
Penyebab utama seseorang menjadi waria adalah lingkungan.
Pengaruh dari lingkungan secara tidak sadar dialami seseorang ketika
seseorang tersebut masih kecil. Lingkungan merupakan suatu tempat
seseorang bersosialisasi, baik atau buruknya diri seseorang dapat
ditentukan dari tempat lingkungan ia dibesarkan. Apabila dari kecil
terdapat suatu hambatan atau gangguan maka dapat mengganggu
perkembangan kepribadiannya.
b. Waria dilihat dari Aspek Sosial-Budaya
Fenomena sosial melihat kehidupan waria memiliki keadaan yang
bermacam-macam. Waria menjalani kehidupannya dengan melakukan
pekerjaan yang dapat mereka lakukan seperti bekerja di salon kecantikan,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21
pembantu rumah tangga, bahkan melacur. Sedikit waria yang melakukan
pekerjaan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga bidang
pekerjaan waria menjadi terbatas. Menurut Sopjan (dalam Saputra, 2013),
kehidupan waria dalam berbagai dimensi memiliki tiga proses sosial yang
mungkin terjadi. Pertama, sosialisasi perilaku waria dalam konteks
lingkungan sosial, karena waria tidak dapat lepas dari lingkungan sosial.
Kedua, pandangan tentang realitas objektif yang dibentuk oleh perilaku
mereka. Realitas objektif merupakan pemahaman untuk menjadikan
perilaku individu sebagai nilai yang diharapkan atau tidak diharapkan
dalam lingkungan sosial. Terakhir, proses pemaknaan dan pemahaman
sebagai waria. Proses ini menyangkut pertahanan identitas. Mereka
berusaha mengkonstrukkan makna hidup sebagai waria atas pengalamanpengalaman sebelumnya yang terbentuk dari proses sosial dan realitas
objektif dunia waria. Hidup sebagai waria seolah telah membudaya bagi
waria. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dalam konteks waria
merupakan tingkah laku yang dipelajari dan merupakan fenomena mental.
Davison (2006) mengemukakan dua aspek penyebab terjadinya
seseorang memiliki ketidakcocokan antara identitas gender dengan jenis
kelamin biologisnya. Pertama, faktor-faktor biologis, identitas gender
dipengaruhi oleh hormon sehingga menimbulkan minat dan perilaku lintas
gender.
Kedua,
faktor-faktor
sosial
dan
psikologis,
lingkungan
memberikan kontribusi yang besar dalam konflik antara jenis kelamin
anatomis dan identitas gender seseorang, kedekatan anak dengan orangtua
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22
dan bagaimana cara anak dibesarkan juga menjadi salah satu contoh
munculnya konflik identitas gender dengan jenis kelamin biologis.
Menurut Money (dalam Jeffrey, 2005), penyebab adanya gangguan
identitas gender yang menyebabkan seseorang menjadi transgender belum
dapat dipastikan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya kemungkinan yang
muncul, misalnya, karena faktor keluarga,
pola sosialisasi
dan
ketidakseimbangan hormonal di masa-masa prenatal. Keluarga dapat
menjadi salah satu faktor, misalnya kedekatan hubungan ibu dan anak lakilaki yang ekstrem, hubungan orangtua tidak baik atau renggang ataupun
figur ayah yang jauh dari sang anak. Pola sosialisasi di mana orangtua
menginginkan anak dari gender yang berbeda dapat secara kuat
mendorong terbentuknya pola asuh atau cara membesarkan anak, seperti
dari cara berpakaian, berperilaku dan pola bermain yang disesuaikan
dengan keinginan orangtua. Selain itu, ketidakseimbangan hormonal di
masa prenatal dapat berperan karena terjadi interaksi di uterus antara
perkembangan otak dan pelepasan hormon.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa waria adalah
seorang laki-laki yang berperilaku seperti pe
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Novia Paulien
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pernikahan di dalam
kehidupan waria. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis fenomenologi
interpretif. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana makna pernikahan pada waria.
Narasumber dalam penelitian ini adalah 3 orang waria yang telah mengakui eksistensi diri sebagai
waria kurang lebih selama 10 tahun dan memiliki pasangan. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan wawancara semi terstruktur dan observasi terhadap narasumber penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa makna pernikahan bagi narasumber adalah : 1) Pengikat untuk
mengekalkan hubungan dengan pasangan dan 2) Pengalaman yang indah karena dapat memiliki
keluarga dan merasakan hal-hal romantik.
Kata kunci: makna pernikahan, waria
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
THE MEANING OF MARRIAGE TO TRANSGENDER
Novia Paulien
ABSTRACT
This research is aimed to know the meaning of marriage to transgender’s life. This
research used qualitative method with intrepretive phenomenoligical analysis. The question of this
research was how is the meaning of marriage to the transgender. The informants were three
transgender people who has been existing as a transgender more than 10 years and having a
romantic partner. Data of this research were collected by observation and semi-structured
interview to the informants. The results show the meaning of marriage toward transgender are: 1)
The bond to make the relationship with romantic partner everlasting and 2) The precious
experience for being able to have a family and experience the romantic things.
Key words: the meaning of marriage, transgender
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Novia Paulien
119114022
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Novia Paulien
119114022
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“We are not the passenger in the real life,
we are the drivers.”
“Don’t let the failure be an ending. Make it as a beginning”
(unknown)
“Don’t pray for an easy life, pray for the strength to endure a difficult
one”
– Bruce Lee
“Berkaryalah untuk Tuhan, keluargamu dan orang yang
kamu kasihi.”
Dedicated for my family.
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MAKNA PERNIKAHAN PADA WARIA
Novia Paulien
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pernikahan di dalam
kehidupan waria. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis fenomenologi
interpretif. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana makna pernikahan pada waria.
Narasumber dalam penelitian ini adalah 3 orang waria yang telah mengakui eksistensi diri sebagai
waria kurang lebih selama 10 tahun dan memiliki pasangan. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan wawancara semi terstruktur dan observasi terhadap narasumber penelitian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa makna pernikahan bagi narasumber adalah : 1) Pengikat untuk
mengekalkan hubungan dengan pasangan dan 2) Pengalaman yang indah karena dapat memiliki
keluarga dan merasakan hal-hal romantik.
Kata kunci: makna pernikahan, waria
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
THE MEANING OF MARRIAGE TO TRANSGENDER
Novia Paulien
ABSTRACT
This research is aimed to know the meaning of marriage to transgender’s life. This
research used qualitative method with intrepretive phenomenoligical analysis. The question of this
research was how is the meaning of marriage to the transgender. The informants were three
transgender people who has been existing as a transgender more than 10 years and having a
romantic partner. Data of this research were collected by observation and semi-structured
interview to the informants. The results show the meaning of marriage toward transgender are: 1)
The bond to make the relationship with romantic partner everlasting and 2) The precious
experience for being able to have a family and experience the romantic things.
Key words: the meaning of marriage, transgender
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan atas berkat dan kekuatan
yang telah diberikan sehingga peneliti mampu menyelesaikan tugas akhir ini.
Tugas akhir ini dikerjakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Selain itu, peneliti
juga memiliki ketertarikan terhadap fenomena waria yang terkadang masih
dipandang miring oleh masyarakat dan juga terkait dengan pernikahan pada waria.
Peneliti pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak
yang telah memberikan bantuan kepada peneliti baik dalam bentuk materi maupun
non materi selama proses pengerjaan tugas akhir ini. Terima kasih peneliti
ucapkan kepada:
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang telah memberikan kekuatan, semangat,
pencerahan, harapan, kesehatan dan berkat penyertaan-Nya sehingga tugas
akhir ini dapat selesai.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi dan Ketua
Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih
atas waktu dan tenaga yang telah diberikan selama proses bimbingan.
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4. Bapak Prof. A. Supratiknya, Ph.D. selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih atas dukungan semangat yang diberikan agar peneliti yakin
dapat segera menyelesaikan tugas akhir.
5. Seluruh dosen dan karyawan yang telah membantu memberikan pencerahan
dan wawasan dalam penyelesaian tugas akhir ini, serta selama kurang lebih 4
tahun peneliti menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
6. Narasumber penelitian, Mbak Nur, Bu Shinta, Bu Sandra dan teman-teman
waria di Ponpes Waria Kotagede Yogyakarta yang mau terbuka membagi
kisah hidup singkatnya dan membantu peneliti sehingga peneliti merasa sudah
seperti keluarga dan dimudahkan dalam melakukan penelitian.
7. Keluarga peneliti; mama, papa, cici nia dan cici lia. Thank you so much for the
love and your support. Aku mah apa atuh tanpa kalian heheehe. Terimakasih
sudah mendukung dan mendoakan, ngejar-ngejar terus supaya skripsi cepat
selesai.
8. Seseorang yang hadir dalam kehidupan peneliti, Benvenutus Sri Widya
Paskha Panji Putra. Seorang istimewa, teman, kakak, saudara, partner dan
pacar yang setia, mendukung, menemani peneliti dengan sabar selama
pengerjaan tugas akhir ini.
9. Sahabat tersayang, Arsita Ayu Kumalasari dan Omega Nilam Bahana, Maeda
Azalia dan Maria Veronika. Terimakasih atas segala dukungan dan keceriaan,
sharing ide-ide dan kehadiran kalian untuk mendengarkan keluh kesah peneliti
selama mengerjakan tugas akhir.
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……………………..ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………. v
ABSTRAK……………………………………………………………………… vi
ABSTRACT……………………………………………………………………. vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………... viii
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xvii
DAFTAR SKEMA…………………………………………………………... xviii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xix
BAB I.
PENDAHULUAN… ……………………………………………. 1
A. Latar Belakang…. ……………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………10
C. Tujuan Penelitian. ……………………………………………10
D. Manfaat Penelitian …….. ……………………………………10
1. Manfaat Teoretis…… …………………………………... 10
xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2. Manfaat Praktis…….. …………………………………... 11
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA …. …………………………………... 12
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan……... …………………………... 12
2. Tujuan Pernikahan…. …………………………………... 14
3. Latar Belakang Pernikahan… …………………………... 15
4. Pernikahan Tidak Sah …………………………………... 16
B. Makna Pernikahan……....…………………………………... 17
C. Waria…… …………………………………………………... 19
1. Faktor Menjadi Waria …………………………………... 20
a. Waria Dilihat Dari Aspek Medis-Psikologis....... …... 20
b. Waria Dilihat Dari Aspek Sosial-Budaya …………... 20
2. Ciri-ciri Waria …………………………………………... 23
D. Makna Pernikahan Pada Waria… …………………………... 25
BAB III.
METODOLOGI PENELITIAN…. …………………………... 28
A. Jenis Penelitian.……………………………………………... 28
B. Narasumber Penelitian…. …………………………………... 29
C. Fokus Penelitian... …………………………………………... 29
D. Metode Pengambilan Data……... …………………………... 30
1. Wawancara…. …………………………………………... 30
2. Observasi………………………………………………... 32
E. Proses Pengambilan Data. ……………………………………32
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
F. Analisis Data…… ……………………………………………33
G. Keabsahan Data... …………………………………………... 34
BAB IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…. ................... 36
A. Profil Narasumber Penelitian…... …………………………... 36
1. Narasumber 1. …………………………………………... 36
a. Deskripsi.. …………………………………………... 36
b. Latar Belakang…. …………………………………... 37
2. Narasumber 2. …………………………………………... 38
a. Deskripsi.. …………………………………………... 38
b. Latar Belakang…. …………………………………... 38
3. Narasumber 3. …………………………………………... 39
a. Deskripsi.. …………………………………………... 39
b. Latar Belakang…. …………………………………... 40
B. Hasil Penelitian
…………………………………………... 41
1. Pemahaman Tentang Pernikahan…... …………………... 41
a. Narasumber 1…... …………………………………... 41
b. Narasumber 2…... …………………………………... 43
c. Narasumber 3…... …………………………………... 45
2. Perasaan yang Dialami Tentang Hidup Bersama….. …... 46
a. Narasumber 1…... …………………………………... 46
b. Narasumber 2…... …………………………………... 46
c. Narasumber 3…... …………………………………... 47
xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3. Respon Pada Pengalaman Pernikahan Orang Lain… …... 48
a. Narasumber 1…... …………………………………... 48
b. Narasumber 2…... …………………………………... 49
c. Narasumber 3…... …………………………………... 50
4. Pengalaman Hidup Bersama Dengan Pasangan…… …... 51
a. Narasumber 1…... …………………………………... 51
b. Narasumber 2…... …………………………………... 53
c. Narasumber 3…... …………………………………... 57
5. Harapan Tentang Pernikahan. …………………………... 59
a. Narasumber 1…... …………………………………... 59
b. Narasumber 2…... …………………………………... 59
c. Narasumber 3…. . …………………………………... 60
C. Pembahasan……..…………………………………………... 64
1. Pemahaman Tentang Pernikahan…... …………………... 64
2. Perasaan yang Dialami Tentang Hidup Bersama…...…... 66
3. Respon Pada Pengalaman Pernikahan Orang Lain… …... 67
4. Pengalaman Hidup Bersama Dengan Pasangan…… …... 67
5. Harapan Tentang Pernikahan. …………………………... 69
6. Makna Pernikahan Pada Waria…….. …………………... 70
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN…… ........................................... 76
A. Kesimpulan…….. …………………………………………... 76
B. Keterbatasan Penelitian… …………………………………... 76
xv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
C. Saran…… …………………………………………………... 77
DAFTAR PUSTAKA……. …………………………………………………... 79
LAMPIRAN..…………………………………………………………………... 83
xvi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Guideline Wawancara ...................................................................31
Tabel 2
Proses Rapport dan Wawancara ....................................................33
xvii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR SKEMA
Skema 1.
Narasumber 1 …………………………………………………...62
Skema 2.
Narasumber 2 …………………………………………………...63
Skema 3.
Narasumber 3 …………………………………………………...64
Skema 4.
Makna pernikahan pada ketiga narasumber ……………………74
xviii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent Persetujuan Partisipasi Dalam Penelitian ............82
Lampiran 2 Informed Consent Data Partisipan Narasumber 1 .............................84
Lampiran 3 Informed Consent Data Partisipan Narasumber 2 .............................85
Lampiran 4 Informed Consent Data Partisipan Narasumber 3 .............................86
Lampiran 5 Verbatim Wawancara Narasumber 1 .................................................87
Lampiran 6 Daftar Tema Utama Narasumber 1 ..................................................109
Lampiran 7 Verbatim Wawancara Narasumber 2 ...............................................112
Lampiran 8 Daftar Tema Utama Narasumber 2 ..................................................137
Lampiran 9 Verbatim Wawancara Narasumber 3 ...............................................139
Lampiran 10 Daftar Tema Utama Narasumber 3 ................................................149
xix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup seorang diri tanpa
kehadiran orang lain. Mereka saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum maupun
kebutuhan psikologis, seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai dan
sebagainya. Simanjuntak (2012) menambahkan bahwa manusia membutuhkan
ikatan yang intim dengan orang-orang di sekitarnya.
Menurut Maslow, kebutuhan dimiliki dan cinta (belonging and love)
menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia (dalam Alwisol, 2009). Individu
mencari kebutuhan tersebut untuk dapat mengatasi perasaan kesepian dan
keterasingan, misalnya dengan hubungan pacaran, hidup bersama atau bahkan
menikah. Selain itu, kurangnya kasih sayang dan tidak adanya keintiman dengan
orang lain dapat menimbulkan gangguan pada individu. Kegagalan memenuhi
kebutuhan dimiliki dan cinta menjadi sebab hampir semua bentuk psikopatologi
(Maslow dalam Alwisol, 2009).
Individu dewasa yang saling mencintai dan ingin memiliki pasangannya
serta telah yakin dengan pasangannya membuat komitmen untuk dapat
memuaskan kebutuhan cinta dan kasih sayang. Komitmen tersebut membentuk
suatu ikatan yang dikenal dengan pernikahan. Hal yang senada dikemukakan oleh
Kelly & Conley (dalam Lemme, 1995) bahwa menentukan dan mempertahankan
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2
pasangan merupakan salah satu aspek perkembangan orang dewasa, kemudian
bersama pasangannya berkomitmen untuk melakukan pernikahan.
Di Indonesia terdapat peraturan pernikahan yang disahkan melalui
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pernikahan merupakan perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk menjalani kehidupan bersama yang telah disahkan oleh
negara. Pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang sakral sehingga peraturan
tentang pernikahan dibuat dan ditetapkan agar sah atau legal secara hukum dan
agama.
Melihat kenyataan bahwa pernikahan yang diakui dan dianggap sah adalah
pernikahan antara laki-laki dengan perempuan, pernikahan antara laki-laki dengan
laki-laki atau perempuan dengan perempuan tidak dimungkinkan terjadi.
Berdasarkan hukum dan norma masyarakat, pernikahan yang dilakukan selain
oleh laki-laki dan perempuan masih dipandang negatif dan dianggap
menyimpang. Pandangan negatif dan anggapan menyimpang juga tertuju pada
fenomena waria yang dianggap sebagai suatu hal yang berbeda di masyarakat. Hal
tersebut menjadi menarik untuk diketahui.
Masyarakat mengenal waria sebagai laki-laki yang berperilaku layaknya
perempuan. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ
III, 2003), transeksualisme adalah suatu hasrat untuk hidup dan diterima sebagai
anggota kelompok dari lawan jenisnya. Transeksualisme yang umum ditemui
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3
adalah individu yang secara fisik laki-laki namun secara psikis merasa dirinya
adalah anggota dari jenis kelamin yang berlawanan. Oleh sebab itu, kaum waria
atau transgender berupaya untuk mengungkapkan jati diri dalam wujud
perempuan dengan mengubah penampilan, tutur kata, bahasa tubuh, dan perilaku.
Kaum waria yang merasa memiliki identitas gender seperti perempuan tentu
memiliki keinginan untuk berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan.
Menurut Yash (dalam Galink, 2013), kaum waria mengacu pada orang yang
mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya lakilaki merasa lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku stereotip perempuan
namun memiliki keunikan sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk
dandanan, make up, gaya bicara dan tingkah laku.
Jumlah waria di Indonesia tergolong cukup besar. Menurut Data Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia (2012), jumlah
waria di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 31.179 jiwa. Di daerah Yogyakarta,
jumlah waria yang tercatat adalah kurang lebih sebanyak 261 jiwa. Hal yang patut
diperhatikan adalah kaum waria masih tergolong dalam kaum minoritas di mana
masyarakat belum menerima dan mengakui keberadaannya secara terbuka
sedangkan jumlah kaum waria tergolong cukup besar. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia tertanggal 1 November 1997
menegaskan bahwa waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai
kelompok (jenis kelamin) sendiri. Segala perilaku waria yang menyimpang adalah
haram dan harus diupayakan untuk kembali pada kodrat semula (MUI, 1997).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4
Kehadiran waria tentu memunculkan berbagai pandangan dari sosial dan
agama. Pandangan agama Islam menganggap bahwa waria adalah menyimpang.
Hal tersebut dibuktikan dengan fatwa dari MUI. Di kalangan Kristen, pertanyaan
mengenai
kehadiran
waria
masih
kontroversial
karena
perlu
adanya
perkembangan ilmu pengetahuan perubahan sosial dan pengalaman personal serta
pemahaman Kitab. Hal yang cukup menarik adalah Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia mengeluarkan himbauan bahwa kelompok LGBT adalah kelompok
yang juga harus diberikan kasih, sama seperti jemaat lain (Galink, 2013). Isu
tentang waria atau transgender dan homoseksualitas pun masih menjadi
perdebatan bagi agama lain seperti Hindu, Budha dan Konghucu (Galink, 2013).
Agama Hindu menolak adanya penyimpangan maupun ide perkawinan sesama
jenis. Agama Budha tidak pernah mengutuk transgender atau homoseksual (atau
siapapun itu). Sedangkan agama Konghucu menekankan tanggung jawab individu
untuk menunjukkan kesalehan dan kesetiaan, seseorang diharapkan untuk
mematuhi perintah dimana laki-laki dan perempuan harus menjalani tugas sesuai
dengan perannya sehingga hal diluar tersebut Konghucu tidak dapat menerima.
Di dalam masyarakatpun muncul berbagai istilah untuk menyebut kaum
transgender seperti, banci (Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis),
kawe‐kawe (Sulawesi umumnya), wandu (Jawa) dan berbagai istilah lainnya
(Oetomo, 2006). Waria cenderung dipandang negatif, dibuang dan dipersalahkan
karena penyimpangan yang ada di dalam diri mereka. Realita di mana waria
ditolak dan menjadi kaum minoritas merupakan masalah yang serius dan harus
dirasakan oleh kaum waria. Di sisi lain, waria sebagai manusia berharap bahwa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
diri mereka dapat diterima apa adanya oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
kebanyakan waria merasakan kecenderungan untuk menjadi waria semenjak kecil
dan merasa bahwa keberadaan mereka merupakan suatu kodrat yang tidak bisa
dipungkiri (Nadia, 2005). Waria ingin memperoleh hak-hak yang sama sebagai
warga negara tanpa menanggalkan identitas waria mereka. Keinginan tersebut
juga diutarakan oleh IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta) pada saat memperingati
Transgender International Day 2013 dengan mengangkat tema “Waria, Kami
Indonesia, kami punya hak yang sama.” (PKBI DIY, 2013). Namun, kenyataan
yang harus dihadapi adalah waria dipandang sebelah mata. Keberadaan mereka
terbentur oleh norma, nilai dan moralitas dalam masyarakat. Cassandra Valent,
anggota dari IWAYO juga berpendapat bahwa kebencian tanpa alasan yang
masuk akal tumbuh berkembang di masyarakat karena stigmatisasi dan
diskriminasi yang masih sangat kuat (PKBI DIY, 2013).
Peneliti berkeyakinan bahwa seorang waria tidak seburuk seperti
pandangan orang pada umumnya. Mereka juga manusia dan memiliki kehidupan
yang mereka jalani. Peneliti berpendapat bahwa layaknya manusia biasa, seorang
waria dapat pula memiliki keinginan untuk memiliki pasangan dan bahkan
menikah. Hal tersebut dikarenakan pengalaman peneliti yang pernah berbincang
dengan seorang waria di daerah Yogyakarta. Mbak N menuturkan bahwa
pernikahan bagi waria belum dapat dilakukan karena hidup sebagai waria pun
masih dianggap sebelah mata. Sebagai seorang waria dirinyapun membutuhkan
seseorang di dalam hidupnya yang dapat menyayangi dan mengisi kehidupannya.
Mbak N memiliki seorang pacar dan mereka memutuskan untuk tinggal bersama.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6
Hal tersebut dapat sedikit memberi gambaran bahwa pernikahan pada kaum waria
belum diterima secara umum.
Waria sebagai
manusiapun membutuhkan
seseorang
yang dapat
memberikan kasih sayang dan dapat melengkapi hidupnya. Peneliti menemukan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayuningsih (2007) yang menggunakan
waria sebagai responden bahwa waria memiliki keinginan untuk hidup seperti
masyarakat pada umumnya. Waria yang memiliki pasangan dan menyadari bahwa
mereka tidak dapat menjalankan fungsi reproduksi dengan baik memilih cara
mengangkat atau mengadopsi anak untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Cara
yang dilakukan oleh waria tersebut ternyata memiliki makna psikologis dalam
kehidupan mereka. Waria merasa mendapat pemenuhan kebutuhan batin yang
berhubungan dengan emosional pada diri dan mempererat hubungan dengan
pasangan.
Pernikahan yang dilakukan dengan sesama jenis dapat menimbulkan
kontroversi dan dianggap menyimpang oleh masyarakat serta yang lebih ironis
lagi adalah digolongkan pada suatu gangguan. Menurut Oetomo (2006), banyak
kaum waria yang menjalin hubungan seksual maupun secara emosional dengan
lelaki. Akan tetapi, mereka tidak dapat menentukan pasangan secara bebas,
banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang
masa pernikahannya korban merasa terbebani. Contoh kasus yang dialami oleh
seorang waria bernama Agus Kasiono alias Mentul menggambarkan adanya
keterpaksaan dalam pernikahan. Ia terpaksa menikahi seorang perempuan. Akan
tetapi, Mentul tetap menjalani profesinya sebagai waria meskipun ia menikah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7
sebagai “laki-laki” (Priyanto, 2013). Pernikahan yang dilakukan secara terpaksa
dan bukan dengan identitas gender yang dimiliki oleh waria dapat menimbulkan
suatu penyesalan.
Kasus lain yaitu waria berinisial Icha yang ingin menikah, tetapi
merahasiakan status warianya dari pasangannya. Kebohongan yang dilakukan
Icha diketahui oleh pasangan (suami) setelah enam bulan Icha tidak mau
melakukan hubungan seksual (Januar, 2011). Keinginan untuk menikah dapat
terlihat pada kaum waria dari kasus yang terjadi. Hal lain yang juga cukup
memprihatinkan adalah waria yang tidak dapat menikah memilih untuk melacur
demi memenuhi hasratnya untuk dapat memiliki pasangan diluar kebutuhan
ekonomi (Koeswinarno, 2004).
Kaum waria tidak dapat mengekspresikan orientasi seksualnya secara jujur
dan bebas memilih pasangannya bahkan hingga ke tahap pernikahan. Keinginan
waria untuk memiliki pasangan sesuai dengan keinginan mereka tetap tidak
dibenarkan dan tidak dapat ditolerir bagi negara dan masyarakat. Hubungan
seksual dan/atau emosional yang dijalin oleh kaum waria dengan lelaki tidak
dapat dicatatkan sebagai pernikahan seperti hubungan antara perempuan dan
lelaki yang berniat mencatatkan pernikahannya (Oetomo, 2006).
Menurut Herdt dan Kertzner (2006), kehidupan pernikahan berkaitan
dengan kesehatan mental seseorang. Melalui pernikahan seseorang dapat
mengembangkan rasa cinta dan kasih sayang. Hal yang senada juga dikemukakan
oleh Erikson (dalam Herdt dan Kertzner, 2006) bahwa pernikahan merupakan
lembaga yang dapat membuat seseorang merealisasikan potensi individu dalam
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8
mengembangkan cinta, perhatian, perlindungan dan kualitas diri. Perlakuan
diskriminasi dan penyangkalan untuk menikah dapat menurunkan kualitas hidup
dan juga memunculkan gangguan mood dan kecemasan (Mays et.all., dalam Herdt
dan Kertzner, 2006). Herdt dan Kertzner (2006) juga menambahkan penolakan
pernikahan sesama jenis dapat memiliki pengaruh psikologis dan kerugian sosial
terhadap kaum LGBT. Selain itu, konflik dalam diri dapat muncul bila ada
kebutuhan yang ditekan dan tidak dapat direalisasikan dengan baik.
Penelitian mengenai makna pernikahan sejauh ini lebih mengarah pada
kaum heterosexual. Adapun pada beberapa jurnal penelitian dan artikel ilmiah
yang telah dibaca oleh peneliti, penelitian makna pernikahan lebih mengarah pada
pandangan agama di dunia dan pandangan kaum GLB (Gay, Lesbian dan
Bisexual) (Yarhouse dan Nowacki, 2007). Menurut Hall (2006), seseorang yang
dapat memaknai pernikahan akan berdampak pada bagaimana perilaku terhadap
pernikahan tersebut dan dapat pula berkaitan dengan keberhasilan pernikahan.
Selain itu, dengan memiliki makna pernikahan, seseorang akan dapat lebih
menghargai dan menghormati beragamnya simbol pernikahan bagi berbagai pihak
(Yarhouse & Nowacki, 2007).
Penelitian tentang makna pernikahan yang dilakukan secara khusus
terhadap kaum waria belum banyak ditemukan. Oleh sebab itu, peneliti sangat
tertarik untuk membahas makna pernikahan pada kehidupan seorang waria.
Asumsi atau pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran seseorang yang
mendengar atau membaca judul penelitian ini adalah bagaimana seorang waria
dapat memaknai pernikahan, sedangkan ia tidak mengalami peristiwa pernikahan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9
tersebut dan bahkan pernikahan bagi waria tidak diakui?. Hal yang perlu diketahui
bersama adalah makna dapat diperoleh meski seseorang tidak secara langsung
mengalaminya. Pernyataan peneliti ini diperkuat dengan adanya pendapat dari
Hall (2006) bahwa tidak memiliki pengalaman menikah bukan berarti
melemahkan hubungan antara keyakinan atau kepercayaan tentang pernikahan
dan bagaimana perilaku seseorang terhadap hal tersebut. Seseorang dapat
mempelajari atau memaknai pernikahan melalui pengalaman diluar dirinya,
seperti norma sosial, pengalaman keluarga dan lain-lain. Oleh sebab itu,
kebermaknaan pernikahan dalam hidup yang dialami orang pada umumnya, tidak
menutup pula kaum waria dapat memahami kebermaknaan pernikahan dalam
kehidupan mereka.
Peneliti menggunakan metode kualitatif untuk membahas penelitian ini.
Hal tersebut dikarenakan metode kualitatif lebih cocok dan tepat dalam membahas
realitas sosial dan mencari makna pada pengalaman seseorang. Metode kualitatif
juga berguna untuk memahami, mengkomunikasikan dan memaknai suatu
konteks (Altheide dalam Hall, 2006). Pengumpulan data penelitian akan dilakukan
dengan menggunakan wawancara semi terstruktur. Peneliti berharap dapat
menggali lebih dalam pengalaman pada narasumber sehingga memudahkan
peneliti untuk menggambarkan makna pernikahan.
Berdasarkan hasil penelitian dan berbagai uraian di atas, peneliti merasa
tertarik mengetahui bagaimana waria yang memiliki keunikan tersendiri dapat
memaknai suatu pernikahan di dalam kehidupannya, terlebih ketika negara dan
agama hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10
Indonesia pun masih memiliki pandangan bahwa proses kehidupan manusia yang
ideal adalah salah satunya menikah dan memiliki anak. Melalui penelitian ini
diharapkan dapat diketahui “Bagaimana makna pernikahan pada waria?” Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan seputar pernikahan
pada waria. Selain itu, peneliti selanjutnya atau para ahli lain dapat menemukan
cara yang bermanfaat bagi waria dalam mewujudkan kebutuhan akan rasa cinta
dan dimiliki (belonging and love) bila pernikahan bagi waria dilarang.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, rumusan permasalahan yang diajukan adalah
Bagaimana makna pernikahan bagi waria?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai makna pernikahan dalam
kehidupan waria.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis
maupun praktis:
1. Manfaat Teoretis
Menambah wawasan bagi teori-teori di bidang Psikologi Sosial dan
Psikologi Perkembangan, khususnya mengenai makna pernikahan pada waria.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian dapat membuat masyarakat lebih mengetahui
mengenai sisi lain kehidupan kaum waria dan masyarakat dapat memiliki
pandangan yang lebih baik terhadap keberadaan waria dan dapat menentukan
sikap terhadap waria.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pernikahan
Menurut Walgito dalam Psikologi Sosial (1990), manusia sebagai
makhluk sosial memiliki hubungan dengan manusia disekitarnya. Secara sosial,
manusia akan melakukan interaksi satu dengan yang lain di dalam lingkungannya.
Menurut Walgito (1990), lingkungan sosial dibedakan menjadi lingkungan sosial
primer dan lingkungan sosial sekunder. Lingkungan sosial primer yaitu
lingkungan sosial di mana terdapat hubungan yang erat antara individu satu
dengan yang lain, individu satu saling kenal dengan individu yang lain. sedangkan
lingkungan sosial sekunder adalah lingkungan sosial di mana hubungan individu
satu dengan yang lain agak longgar, individu satu kurang mengenal dengan
individu yang lain. Pengaruh lingkungan sosial primer akan lebih mendalam
dibandingkan dengan lingkungan sosial sekunder. Pernikahan terkait dengan
lingkungan sosial primer, di mana individu mencoba mengenal lebih dalam
individu lain yang menjadi pasangannya.
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan dilakukan oleh pasangan untuk meresmikan hubungan
mereka. Menurut Purwadarminta (1976) kawin = perjodohan laki-laki dan
perempuan menjadi suami isteri; nikah; perkawinan = pernikahan (dalam
Walgito, 2000). Sedangkan, menurut Undang-Undang Perkawinan, yang
12
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13
dikenal dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud
perkawinan yaitu:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Walgito (2000), di dalam perkawinan terdapat ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Hal
tersebut memperjelas bahwa dalam perikatan perkawinan sebagai suami isteri
adalah seorang wanita dan seorang pria. Ikatan lahir merupakan ikatan yang
nampak, ikatan formal yang sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hal
tersebut terlihat dengan perkawinan yang diinformasikan kepada masyarakat
luas melalui undangan pesta perkawinan. Ikatan batin adalah ikatan yang tidak
nampak secara langsung, merupakan ikatan psikologis. Suami isteri harus
saling memiliki ikatan tersebut dan tidak ada suatu paksaan dalam
perkawinan. Bila tidak ada ikatan dan terdapat paksaan dapat menimbulkan
persoalan dalam kehidupan pasangan.
Pernikahan seringkali dikaitkan dengan stereotip jenis kelamin.
Menurut Sears, dkk. (1985), ada gambaran mengenai jenis kelamin yang
disajikan oleh budaya tertentu. Gambaran jenis kelamin perempuan dan lakilaki nampak pada suatu pernikahan. Laki-laki biasanya digambarkan sebagai
pemimpin, tegas dan berpengaruh pada perempuan. Sedangkan perempuan
digambarkan peran seorang istri adalah melayani dan menyenangkan suami,
memiliki peran pengurus rumah tangga dan terbatas pada peran dalam
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14
keluarga. Stereotip tersebut memunculkan adanya perbedaan peran laki-laki
sebagai suami dan perempuan sebagai istri dalam suatu pernikahan.
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu tahap lanjut
dari kehidupan individu yang memiliki pasangan dan memutuskan untuk
terikat hidup bersama serta sah secara hukum dan agama.
2. Tujuan Pernikahan
Seseorang tentunya memiliki tujuan dalam melakukan suatu tindakan
baik itu tindakan besar ataupun kecil. Hal tersebut berlaku juga pada
perkawinan atau pernikahan. Pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
dengan jelas disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (dikutip dari Walgito, 2000). Satu hal yang perlu diperhatikan
adalah tiap pasangan dapat dimungkinkan memiliki tujuan pernikahan yang
berbeda-beda. Oleh sebab itu, kedua pasangan harus saling menyadari dan
menyatukan tujuan di dalam menjalani kehidupan bersama. Walgito (2000)
mengemukakan bahwa tujuan pernikahan adalah milik bersama, akan dicapai
bersama-sama dan suami isteri harus menuju ke arah tujuan tersebut.
Secara tradisional, tujuan utama pernikahan adalah memiliki keturunan
atau anak. Namun, pada pandangan yang lebih maju, pernikahan tidak lagi
diartikan sebagai proses legal untuk mendapatkan keturunan, melainkan
pasangan berusaha saling membahagiakan satu sama lain dan membangun
relasi yang semakin personal (Tukan, 1985).
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15
Pernikahan dilakukan layaknya suatu lembaga yang didirikan karena
alasan dan tujuan tertentu. Pernikahan memiliki tujuan agar ke depannya dapat
diarahkan dan dijalankan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Tujuan
pernikahan yang dikemukakan beberapa ahli memiliki kesamaan yaitu tujuan
pernikahan tidak dapat diwujudkan apabila hanya secara sepihak. Pasangan
harus bersama-sama, memiliki perasaan „saling‟ dan bersatu agar tujuan
tercapai.
3. Latar Belakang Pernikahan
Pasangan yang menjalin hubungan tentunya adalah manusia biasa yang
memiliki berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan tersebut dapat
mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan, termasuk keinginan
untuk menikah. Menurut Maslow (1970), terdapat lima kebutuhan dasar yang
dimiliki seseorang, yaitu (1) the physiological needs yaitu kebutuhan yang
bersifat fisiologis, merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara kebutuhan
yang lain, (2) the safety needs yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan rasa
aman, (3) the belongingness and love needs yaitu kebutuhan yang berkaitan
dengan hubungan dengan orang lain, merupakan kebutuhan sosial, (4) the
esteem needs yaitu kebutuhan berkaitan dengan penghargaan, termasuk rasa
harga diri, rasa dihargai, (5) the needs for self-actualization yaitu kebutuhan
untuk mengaktualisasikan diri, kebutuhan ikut berperan. Dari kelima
kebutuhan tersebut terdapat kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain,
dicintai dan mendapat rasa aman. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi individu
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16
dengan berkembang dalam kehidupan sosialnya, memiliki keluarga, teman
dan pasangan. Kemudian seorang individu yang telah yakin dan memiliki
komitmen dengan pasangannya akan melanjutkan ke tahap pernikahan.
Secara lebih jelas Fatchiah (2009) mengemukakan bahwa terdapat
alasan yang beragam mengemukakan bahwa alasan adanya pernikahan, antara
lain konformitas, cinta, hubungan seks yang halal, memperoleh keturunan
yang sah, faktor emosional dan ekonomi, kebersamaan, sharing, keamanan
dan harapan lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa alasan terjadinya pernikahan adalah karena
ada kebutuhan untuk memiliki pasangan atau pendamping dan dicintai.
Seseorang ingin menikah karena ada nilai persahabatan, cinta dan ketertarikan
secara seksual. Selain itu, dari beragam alasan adanya pernikahan garis besar
yang ditemukan bahwa seseorang ingin memiliki kebahagiaan bersama
pasangannya.
4. Pernikahan Tidak Sah
Dalam pernikahan, terdapat pula kehidupan bersama pasangan yang
tidak resmi. Di Indonesia hal tersebut lebih dikenal dengan istilah samen leven
atau kumpul kebo. Pasangan yang hidup bersama tetapi tidak terikat oleh
perkawinan yang sah, tidak diakui oleh negara dan agama. Pasangan yang
hanya memutuskan untuk tinggal bersama dapat dilatarbelakangi oleh
berbagai alasan, misalnya karena pasangan menganut agama yang berbeda
(Pompe, 2015). Pasangan yang berbeda agama dan salah satu pasangan tidak
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17
mau mengikuti agama pasangannya bisa saja memutuskan untuk hidup
bersama tanpa berpindah agama. Selain itu, hidup bersama tanpa ikatan
pernikahan yang sah juga dialami oleh pasangan sesama jenis. Pasangan
homoseksual tidak dapat menikah sah secara hukum, lebih memilih untuk
hanya hidup bersama atau hidup sendiri atau single (Dnes, 2007). Layaknya
pasangan heteroseksual, pasangan sesama jenis juga menginginkan cinta,
pengakuan, dukungan dan hubungan seksual (Lafontaine, 2013). Pasangan
sesama jenis yang telah yakin dan memiliki komitmen dengan pasangannya
masing-masing cenderung memilih untuk hidup bersama dalam satu rumah.
Mereka hidup bersama layaknya pasangan menikah pada umumnya, tetapi
hubungan mereka tidak disahkan di depan hukum dan agama.
B. Makna Pernikahan
Membahas makna pernikahan dapat diartikan sebagai upaya menggali
lebih dalam mengenai pandangan dan arti pernikahan di dalam kehidupan
seseorang. Makna pernikahan juga tidak terlepas dari proses kognitif individu
terhadap pernikahan (Hall, 2006). Proses kognitif terhadap pernikahan adalah
proses informasi atau bagaimana seseorang berpikir tentang pernikahan dan
memiliki pengalaman tertentu yang terkait dengan pernikahan. Hal tersebut juga
memiliki pengaruh pada perilaku seseorang yang memiliki interpretasi subjektif
terhadap pernikahan. Makna sendiri mengandung arti simbolisme dan tujuan
(Klinger dalam Hall, 2006). Selain proses kognitif, makna juga melibatkan afek
(perasaan) dan harapan. Menurut Timmer dan Orbuch (2001), makna pernikahan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18
merupakan bagian dari struktur kognitif yang dapat membuat mengerti dan
menilai tentang pernikahan tersebut. Melalui proses kognitif seseorang dapat
memahami pernikahan dan hal tersebut juga melibatkan perasaan dan perilakunya.
Makna pernikahan berkaitan dengan tujuan pernikahan. Pernikahan dapat
tidak bermakna bila tujuan pernikahan tidak tercapai atau tidak ada tujuan. Hal
tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Klinger (dalam Hall, 2006) bahwa
segala sesuatu menjadi bermakna ketika dapat dikenali maksud dan tujuannya.
Ketika seseorang memiliki gambaran dan tujuan pernikahan maka dapat
mempengaruhi dan membentuk bagaimana seseorang berpikir dan mempercayai
tentang pernikahan.
Makna pernikahan juga dapat mengandung unsur subjektivitas di mana
seseorang
mempersepsikan
pernikahan
berdasarkan
pengetahuan
dan
pengalamannya ketika melakukan interaksi dengan orang lain (hubungan
interpersonal) meski seseorang belum mencapai tahap pernikahan (Hall, 2006).
Hall (2006) menyatakan bahwa makna pernikahan juga berkaitan dengan
pengalaman awal di dalam keluarga yang dapat membentuk persepsi terhadap
pernikahan. Pengalaman berpacaran atau hubungan intim yang dijalin sebelum
pernikahan juga dapat membentuk persepsi yang terkait dengan pernikahan (Hall,
2006). Selain itu, melalui interaksi seseorang dapat memahami makna tentang
suatu peristiwa, objek dan orang-orang di dalam lingkungan sosialnya (Mead,
1934; Stryker, 1987 dalam Timmer dan Orbuch, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa makna pernikahan berkaitan erat dengan proses
kognitif, afektif dan harapan serta tujuan yang dimiliki seseorang untuk memaknai
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19
pernikahan. Ketika seseorang telah mengetahui tujuannya untuk menikah,
seseorang tersebut dapat memaknai pernikahan menurut pemahaman atau
keyakinan, perasaan dan harapannya. Seseorang juga dapat memiliki makna
pernikahan melalui pengalaman di luar dirinya misalnya, norma sosial,
pengalaman keluarga, pengalaman teman, dan sebagainya. Makna pernikahan
akan terlihat bila seseorang memiliki pengetahuan atau keyakinan, dapat
merasakan dan memiliki harapan tertentu mengenai pernikahan
C. Waria
Waria adalah istilah wanita-pria yang digunakan untuk menyebut
seseorang yang memiliki identitas gender dan ekspresi gender unik serta
terkadang muncul dorongan untuk mengubah gendernya karena memiliki
ketidakcocokkan antara bentuk fisik dan kejiwaannya. Koeswinarno (2004)
mengemukakan bahwa dalam konteks psikologi, seorang waria termasuk dalam
istilah transeksualisme, yakni seseorang yang memiliki jasmani yang sempurna
tetapi memiliki dorongan kuat untuk menjadi jenis kelamin yang berlawanan.
Waria atau transgender mengacu pada seseorang yang memiliki identitas gender,
persepsi diri yang berbeda dengan jenis kelamin biologisnya, bersikap dan
berperilaku seperti stereotipe lawan jenis kelaminnya (Galink, 2013). Junaidi
(2012) menambahkan bahwa waria merupakan laki-laki yang berorientasi seks
perempuan, secara fisik ingin berpenampilan seperti perempuan dan secara
psikologis mengidentifikasi diri sebagai perempuan.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20
Kaum transgender, menurut Yash (dalam Galink, 2013) pada umumnya
tidak melakukan operasi penggantian kelamin, apabila dilakukan pun bukan
operasi dan terapi secara menyeluruh atau lengkap. Istilah waria yang umumnya
diketahui oleh masyarakat lebih dikenal pada transgender laki-laki. Waria terlihat
bersikap dan berperilaku layaknya perempuan, akan tetapi mereka biasanya ingin
tetap dikenal sebagai waria. Mereka menganggap waria adalah “gender” ketiga.
1. Faktor Menjadi Waria
Pandangan tentang waria sangat beragam, agar lebih mudah dalam
menjelaskan kaum waria, terdapat dua aspek yang dapat memberikan
gambaran tentang waria (Saputra, 2013), yaitu:
a. Waria dilihat dari Aspek Medis-Psikologis
Penyebab utama seseorang menjadi waria adalah lingkungan.
Pengaruh dari lingkungan secara tidak sadar dialami seseorang ketika
seseorang tersebut masih kecil. Lingkungan merupakan suatu tempat
seseorang bersosialisasi, baik atau buruknya diri seseorang dapat
ditentukan dari tempat lingkungan ia dibesarkan. Apabila dari kecil
terdapat suatu hambatan atau gangguan maka dapat mengganggu
perkembangan kepribadiannya.
b. Waria dilihat dari Aspek Sosial-Budaya
Fenomena sosial melihat kehidupan waria memiliki keadaan yang
bermacam-macam. Waria menjalani kehidupannya dengan melakukan
pekerjaan yang dapat mereka lakukan seperti bekerja di salon kecantikan,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21
pembantu rumah tangga, bahkan melacur. Sedikit waria yang melakukan
pekerjaan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga bidang
pekerjaan waria menjadi terbatas. Menurut Sopjan (dalam Saputra, 2013),
kehidupan waria dalam berbagai dimensi memiliki tiga proses sosial yang
mungkin terjadi. Pertama, sosialisasi perilaku waria dalam konteks
lingkungan sosial, karena waria tidak dapat lepas dari lingkungan sosial.
Kedua, pandangan tentang realitas objektif yang dibentuk oleh perilaku
mereka. Realitas objektif merupakan pemahaman untuk menjadikan
perilaku individu sebagai nilai yang diharapkan atau tidak diharapkan
dalam lingkungan sosial. Terakhir, proses pemaknaan dan pemahaman
sebagai waria. Proses ini menyangkut pertahanan identitas. Mereka
berusaha mengkonstrukkan makna hidup sebagai waria atas pengalamanpengalaman sebelumnya yang terbentuk dari proses sosial dan realitas
objektif dunia waria. Hidup sebagai waria seolah telah membudaya bagi
waria. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dalam konteks waria
merupakan tingkah laku yang dipelajari dan merupakan fenomena mental.
Davison (2006) mengemukakan dua aspek penyebab terjadinya
seseorang memiliki ketidakcocokan antara identitas gender dengan jenis
kelamin biologisnya. Pertama, faktor-faktor biologis, identitas gender
dipengaruhi oleh hormon sehingga menimbulkan minat dan perilaku lintas
gender.
Kedua,
faktor-faktor
sosial
dan
psikologis,
lingkungan
memberikan kontribusi yang besar dalam konflik antara jenis kelamin
anatomis dan identitas gender seseorang, kedekatan anak dengan orangtua
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22
dan bagaimana cara anak dibesarkan juga menjadi salah satu contoh
munculnya konflik identitas gender dengan jenis kelamin biologis.
Menurut Money (dalam Jeffrey, 2005), penyebab adanya gangguan
identitas gender yang menyebabkan seseorang menjadi transgender belum
dapat dipastikan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya kemungkinan yang
muncul, misalnya, karena faktor keluarga,
pola sosialisasi
dan
ketidakseimbangan hormonal di masa-masa prenatal. Keluarga dapat
menjadi salah satu faktor, misalnya kedekatan hubungan ibu dan anak lakilaki yang ekstrem, hubungan orangtua tidak baik atau renggang ataupun
figur ayah yang jauh dari sang anak. Pola sosialisasi di mana orangtua
menginginkan anak dari gender yang berbeda dapat secara kuat
mendorong terbentuknya pola asuh atau cara membesarkan anak, seperti
dari cara berpakaian, berperilaku dan pola bermain yang disesuaikan
dengan keinginan orangtua. Selain itu, ketidakseimbangan hormonal di
masa prenatal dapat berperan karena terjadi interaksi di uterus antara
perkembangan otak dan pelepasan hormon.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa waria adalah
seorang laki-laki yang berperilaku seperti pe