makna pernikahan dalam agama buddha

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Khantidharo

Secara umum perkawinan meruakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang, baik anak muda
maupun orang tua. Bagi anak muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan
maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi pada waktu-waktu mendatang,
dalam kehidupan berumah tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena anaknya
sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda menemukan jodohnya.
Seusia dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara
hidupnya masing-masing. Sang Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari
pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup
membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah
tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka
yang hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup adalah
untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam
kehidupan lainnya, sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama
Buddha
tidak
dianggap
sebagia
sesuatu

yang
suci
ataupun
tidak
suci.
Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang
Maha
Esa”.
Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal. Maka dengan demikian tidak ada
perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undangundang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang harus diartikan secara moral.
Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah
mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan

terwujud karena bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini
berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal dan tak terjadi
perceraian

sebelumnya.
Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan akan
lebih
jelas
dikatakan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
– istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan
Dhamma.”
Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti
ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha
telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang,
yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila
(kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)
Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka
suami – istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana
kehidupan
yang
penuh
harmoni.
Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami – istri yang memiliki pandangan

hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat
sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti yang dicita-citakan oleh semua
orang.
Sehubungan dengan ini maka Sang Buddha menyebutkan beberapa jenis pasangan suami istri
yang memiliki sifat sifat:


Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan wanita jahat (raksasi/chava), ini merupakan
pasangan yang brengsek.



Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan seorang wanita yang baik (devi), ini
merupakan pasangan yang tak seimbang.



Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita jahat (raksasa/chava), ini merupakan
pasangan yang tak seimbang.Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita baik (devi).
Pansangan pria yang baik dengan wanita yang baik atau dikatakan pasangan deva dan

devi ini adalah pasangan yang paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang
Buddha. (Anuggtara N.II,57)

Sujata adalah menantu Anathapindika yang terkenal sebagai seorang istri yang bengis, kejam dan
tak kenal sopan terhadap suami maupun mertuanya. Sewaktu Sang Buddha sedang menguraikan
ajarannya setelah menerima dana makan siang di rumah Anathapindika. Sujata marah-marah dan
memaki-maki dengan suara yang keras dan kasar kepada pembantunya, sehingga Sang Buddha

menghentikan
“Siapa

ceramahnya
itu

dan
yang

bertanya:
marah-marah?”


dan dijawab oleh Anathapindika bahwa dia adalah Sujata, menantunya yang sedang memarahi
pembantunya.
Sang Buddha kemudian menyuruh memanggil Sujata untuk menhadap. Ketika Sujata sudah
menghadap, maka Sang Buddha berbicara kepada Sujata, bahwa ada 7 (tujuh) jenis istri:
1. Istri Pembunuh (Vadha-kasama), yaitu seorang istri yang tak kenal belas kasih batinnya
kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh
suaminya.
2. Istri Perampok (Corisama), yaitu seorang istri yang walaupun seluruh hasil pendapatan
suaminya sudah diserahkan pada istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta
itu untuk kepentingan dirinya sendiri.
3. Istri Kejam (Ayyasama), yaitu seorang istri yang malas, kaku, rakus, bengis, bicara kasa,
suka bergunjing, menguasai siami, boros, memperbudak suami, menjelek-jelekkan siami.
4. Istri Ibu (Matasama), yaitu seorang istri yang selalu memperhatikan suaminya, bagaikan
seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik baik kekayaan
keluarga yang diperoleh suaminya.
5. Istri Saudara (Bhaginisama), yaitu seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti
adik terhadap kakak, melayani suaminya dengan sopan dan berbakti dengan penuh lemah
lembut.
6. Istri Sahabat (Sakhisama), yaitu seorang istri yang selalu bersikap riang terhadap
suaminya, menyenangi kehadiran suaminya. Bagaikan bertemu sahabat yang telah lama

tidak berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur, tulus mengadi dan
dapat mengarahkan suaminya.
7. Istri Pembantu (Dasisama), yaitu seorang istri yang bersifat tenang, bebas dari
kemarahan. Dengan hati yang tenang bersedia menanggung derita bersama suaminya.
Tanpa rasa dendam dan selalu patuh terhadap suaminya. Mendengarkan kata-kata suami
dengan rendah hati.
Istri yang termasuk1, 2 dan 3 (pembunuh, pencuri, dan kejam), setelah meninggal akan terlahir
kembali di alam yang penuh kesengsaraan. Tetapi istri yang termasuk 4, 5, 6, dan 7 (ibu, saudara,
sahahgat dan pembantu), setelah meninggal akan terlahir kembali di dalam yang penuh
kebahagiaan.

Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti akan mendapatkan salah satu dari
tujuh
jenis
istri
ini.
Kemudian
Sang
Buddha
bertanya

kepada
Sujata,
“Dan kami Sujata, termasuk jenis istri yang mana dirimu?” Dengan batin yang tergugah Sdujata
menjawab bahwa mulai saat itu ia akan berusaha untuk menjadi pembantu bagi suaminya. Sejak
saat itu, Sujata berubah menjadi istri yang baik. (Angguttara IV, 91 dst.J.269).
Sebaliknya seorang ssuamipun tentu memiliki sifat-sifat salah satu dari 7 jenis istri seperti
tersebut diatas. Pasangan siami istri akan merupakan rumah tangga yang brensek, jika memili8ki
sifat 1, 2 dan 3 seperti tersebut diatas. Tetapi Pasangan suami istri akan menjadi harmoni kalau
terdapat pasangan yang memiliki sifat-sifat seperti tersebut dlam 4, 5, 6 atau 7 di atas.
Selanjutnya dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana kewajiban suamiistri
agar
bisa
menjalin
hubungan
rumah
tangga
yang
harmoni.
Seorang suami harus memperlakukan istrinya:
1. Menghormatinya

2. Ramah tamah dan tidak membenci
3. Setia
4. Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
5. Memberikan hadiah/ perhiasan.
Seorang istri harus memperlakukan suaminya:
1. Menjalankan kewajiban dengan baik dan bertanggung jawab
2. Ramah tamah terhadap sanak keluarga dari kedua belah pihak
3. Setia
4. Melindungi penghasilan suaminya (tidak boros)
5. Pandai dan rajin melaksanakan tugasnya.
Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri.
Oleh karena itu perkawinan yang harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami
maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan kehadiran mertua selaku orang tuanya
sendiri, serta memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri (saudara ipar),
sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman
yang lainnya dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau menerima

kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri, dan demikian pula bagi saudara-saudara
iparnya. Dalam dunia rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan mengorbankan
anak-anak, hanya karena ikut campirnya atau karena adanya dominasi mertua atau sauarasaudara ipar dalam rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga yang

harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling pengertian antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah tangga yang harmoni. Jika dari
10 rumah tangga itu kita bisa jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini
merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah tangga itu ternyata hidupnya
kurang harmoni (kalau tidak boleh dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.
Sekalipun demikian bagi kawula muda tidak perlu takut untuk berumah tangga, karena jodoh itu
sebenanya sesuai dengan karma kita masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya tiak
sesuai, penih dengan hari-hari cekcok, namun nyatanya anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita
bisa banyak memperhatikan adanya pasangan suami-istri yang tidak seimbang, namun rumah
tangga mereka bisa berjalan lancar, dan banyak yang bisa memdidik anak-anak mereka dengan
sukses. Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus sama. Sepasang sepatu atau
sandal tidak akan sama. Begitu pula pasangan sendok dan garpu sama sekali tidak sama. Sendok
dan garpi hari-hari selalu bertarung diatas piring. Tetapi piring itu tak pernah menjadi pecah. Dan
kalau sendok dan garpu itu tidak tarung diats piring maka kita tidak bisa kenyang, karena makan
kita tidak bisa tenang. Demikianlah meskipun rumah tangga itu ada yang selalu cekcok, tetapi
tak perlu rumah tangga itu harus pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa
membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-citakan? Bukan demikian. Hanya
untuk membangun rumah tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci utamanya
ialah kita harus mampu untuk menakhlukkan diri kita masing-masing. Kita harus mampu

menaklukkan
/
mengendalikan
nafsu-nafsu
keinginan
kita
masing-masing.
Harmoni dengan keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja, tetapi baru biusa diraih dengan
perjuangan. Usaha yang ulet, secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai
dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar serta bekerja denga rajin dan
ulet untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk perjuangan batiniah dituntut
adanya semangat pengendalian diri, dengan selalu menjaga kewaspadaan terhadap gerak gerik
pikiran kita dennga biak. Hal ini bisa dicapai dengan rajin melatih diri dalam meditasi.
Meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah yang dikatakan mediasi benar, meditasi yang
membawa berkah. Dalam hal ini meditasi vipassana bhavana merupakan satu satunya jalan
paling cepat untuk bisa mengubah tingkah laku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi
lebih tenang, sabar, tidak gelisah, tidak mudah tersinggung, tidak membenci, tidak emosi dalam
menghadapi segala sesuatu dalam pergaulan sehari-hari, selalu waspada, pikiran terkendali, serta
bijaksana
dalam

segala
tingdakan
yang
diambil
atau
dihadapinya.
Dengan meditasi yang benar kita tak akan kecil hati, tak akan takut, tak akan khawatir dalam
menghadapi hari-hari mendatang. Kita tidak akan takut menghadapai peristitwa-peristiwa yang
umumnya sering dipoandang mengganggu terhadap kebahagiaan keluarga. Yang kini maksudkan
disini ialah bagaimana kita bisa tabah dalam menghadapi datangnya usia tua, sakit dan…. Saat-

saat yang tidak kita inginkan… yaitu datangnya kematian, bagtaimanapun kita tak mungkin bisa
menghindari datangnya tiga peristiwa tersebut, karena tanpa diundang dia pasti datang. Yang
paling utama dalam hal ini ialah kita harus menyadari mulai sekarang, mulai saat ini juga. Kita
harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya dnegna lapang dada, dengan pikiran yang penu
ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga pada saat kita harus meninggal kita telah bebas dari
ikatan harta materi maupun ikatan dengan anak, istri / suami, serta sanak saudara lainnya.
Dan jalan demikian hanya bisa dicapai melalui latihan mental secara intensif. Dalam hal ini ialah
meditasi vipassana bhavana. Karena itu sangat penting bagi siapapun untuk berlatih meditasi ini.
Lebih-lebih bagi pasangan muda yang bercita-cita untuk membangun rumah tangga yang
harmoni, ia akan sukses jika kedua belah pihak suka dan sering melatih diri vipassana bhavana..
Meditasi ini merupakan cara satu-satunya untuk menyelami Dhamma. Dhamma tak akan dapat
dilaksanakan dalam hidup sehari-hari hanya mendengarkan, diskusi, atau membca buku-buku
Dhamma, tetapi harus dilaksanakan dengan perenungan yang mendalam (meditasi).
Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan jalan menuju kepada keseimbangan
lahiriah dan batiniah. Hanya orang yang memiliki keseimbangan lahirian dan batiniah yang akan
mampu menghadapi segala tantangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga ia bisa
merasakan
hdiup
ini
penuh
dengan
kebahagiaan.
Perceraian
Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya masalah perceraian. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran San Buddha.
Masalahnya menjhadi timbul kalau ternaya dalam rumah tangga suami-stri tidak terdapat
kecocokan sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha
selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta berusaha sekuat mungkin untuk melatih
diri agar dapat mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada umumna masih
dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa
yang muncul dalam rumah tangga. Apakah dengan demikian agama Buddha melarang adanya
perceraian?
Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang
perkawinan itu tidak mungmkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan
seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang
berisitrikan seirang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian
malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat
perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan
cinta
kasih
dan
kasih
sayang
dari
kedua
orang
tua.
Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi
keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dn membutuhkan
perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa
dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan

secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang
dimaksudkan
dengan
penceraian
yang
sesuai
dengan
Dhamma.
Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia harus menceraikan istrinya
terlebih dahulu? Tujuan menjadi Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan
Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan itu maka bagi seseorang
yang ingin menjadi Bhikkhu harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang
bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu
tidak perlu secara firmal minta surat cera, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus
menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan pisah meja makan, dan yang paling
pentng adalah kesadarannya untuk melepaskan suaminya ari lingkungan rumah tangganya.
Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika istrinya minta surat cerai untuk
kawin
lagi.
Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri yang suaminya menjadi
bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat cerai itu baru berlaku pada zmana peradaban modern
ini. Hidup berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan bercerai sesuai
dengan
Dhamma.
Pada hakekatnya perselisihan atau eprtengkaran dalam keluarga yahg menjurus pada perceraian
adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendaknya kepada pihak yang
lain. Jika pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak kita, maka jalan paling aman
adalah kita sendiri yang harus mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertentangan di antara
kita. Bagaimanapun juga harus dipertimbangkan bahwa perceraian akan memberikan akibat yang
sangat buruk bagi perkembangan pendidikan anak yang tidak dapat lepas dari tanggung jawab
orang
tua..
Kesimpulan


Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak melanggar ketentuan dalam agama
Buddha.



Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih cepat yang telah diajarkan
oleh Sang Buddha untuk mengubah tingkah kaku dan watak seseorang yang kurang baik
menjadi lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu waspada dengna
pikiran terkendali serta bijaksana.



Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan latihan meditasi secara
intensif, sehingga kita mampu menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam
hidup ini, sehingga kita bsia merasakan hidup ini penuh dengan ketentraman dan
kebahagiaan.



Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepadaq
perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak
yang lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bsia menuruti kehendak kita,

maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri yang harus berani mengubah pikiran
kita, sehingga tiada lagi pertengkaran di antara kita.
(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)

http://artikelbuddhis.blogspot.com/2010/01/pandangan-agama-buddhatentang.html

http://tamandharma.com/forum/index.php?topic=273.0

Perpisahan atau perceraian
tidak dilarang dalam ajaran Buddha ,
walaupun sebenarnya jarang terjadi jika
"Nasehat Sang Buddha di ikuti dengan ketat ".
Pria dan wanita harus memiliki kebebasan untuk berp[isah jika mereka benar- benar tidak dapat
selaras satu sama lain .
Perpisahan lebih disukai untuk menghindarkan kehidupan keluarga yang sengsara dalam jangka
waku yang panjang ,
baik untuk pasangan tersebut maupun anak-anak yang tak bersalah .
Sang Buddha lebih lanjut menyarankan pria tua
untuk tidak memiliki isteri muda
karena yang tua dan yang muda umumnya sulit cocok .
sehinga dapat menciptakan masalah yang tak semestinya , ketidak selarasan , dan kejatuhan
( Parabhava Sutta)
Masyarakat tumbuh melalui jaringan hubungan yang saling menguntungkan dan saling
ketergantungan .
Setiap hubungan adalah
suatu komitmen sepenuh hati untuk membantu dan melindungi orang lain dalam suatu
kelompok dan komunitas .
Pernikahan memegang peranan yang sangat penting dalam jaringan hubungan ini .

Pernikahan yang baik harus tumbuh dan berkembang secara bertahap dari pengertian dan bukan
napsu .
dari kesetiaan sejati bukan kesenangan semata .
Lembaga pernikahan menjadikan dasar yang baik untuk pengembangan budaya ,
ikatan yang menyenangkan dari dua individu untuk di pupuk ,
bebas dari kesepian ,
kehilangan ,
dan ketakutan dalam pernikahan .
Setiap pihak berperan saling melengkapi ,
memberi kekuatan dan dorongan moral satu sama lain ,
saling mendukung dan saling menghargai .
Tidak ada pikiran baik pria ataupun wanita yang lebih ungul ;
masing masing saling melengkapi ,
dalam persekutuan kesetaraan ,
pancaran kelembutan ,
kendali diri ,
rasa hormat ,
kemurahan hati ,
ketentraman ,
dan pengabdian .
Dalam ajaran Buddha ,
pernikahan dianggap sebagai kebiasaan sosial dan bukan tugas religius .

PERNIKAHAN SEJENIS DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA
« on: 22 March, 2011, 01:14:26 AM »

PERNIKAHAN SEJENIS DITINJAU DARI AGAMA BUDDHA
Dalam kehidupan kita sekarang ini, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan saling berinteraksi dalam
kehidupan bermasyarakat.
Keduanya bisa berinteraksi dan menciptakan hubungan pernikahan sebagai suami
istri atas dasar rasa saling suka atau cinta maupun hanya nafsu belaka .
Orang lahir sebagai manusia mempunyai sifat maskulin yeng lebih condong ke lakilaki dan sifat feminim yang lebih condong ke perempuan.
Tetapi dalam kenyataannya banyak orang yang lahir sebagai laki-laki tetapi
mempunyai sifat seperti perempuan dan sebaliknya.
Karena hal tersebut banyak seorang pria yang menyukai pria dan juga seorang
wanita yang menyukai wanita.
Bahkan ada yang melangsungkan hubungan pernikahan.
Hal tersebut dirasa tidak umum dalam masyarakat.
Orang yang menikah dengan sesama pria disebut homo sedangkan orang yang
menikah dengan sesama wanita disebut lesbian.
Dalam pandangan ilmu pengetahuan hal tersebut terjadi karena kecenderungan
gen dalam diri seseorang dan juga karena faktor lingkungan.
Dalam masyarakat pernikahan sejenis dikatakan tidak umum tetapi setelah banyak
kasus yang terjadi hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang umum, misalnya di
amerika pernikahan sejenis dianggap umum dan wajar dan disetujui oleh
pemerintah setempat.
Kasus yang terjadi di Indonesia pernikahan sejenis tidak diperbolehkan karena
agama yang mereka anut tidak mengijinkan untuk melakukan pernikahan sejenis.
Agama yang mereka anut menentang keras terhadap pernikahan yang sejenis.

Tetapi agamanya tidak memberikan solusi bagi mereka yang mempunyai kelakuan
yang dirasa tidak wajar tersebut.
Masyarakat awam mendiskriminasi mereka yang melakukan perkawinan yang
sejenis tersebut.
Mereka mengatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan abnormal dan
mengucilkan mereka dari masyarakat.
Tetapi bila kita merenung bagaimana kalau kita menjadi mereka dan apakah
mereka mau hidup seperti itu maka kita tidak akan menyalahkan mereka.
Dalam sudut pandang Buddhis orang yang lahir seperti itu karena karma buruk
yang lampau karena sering melakukan hubungan seks diluar kewajaran.
Dalam ajarannya, Sang Buddha tidak melarang maupun mengijinkan siwanya untuk
melakukan perkawinan sejenis.
Tetapi hal tersebut bukan sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan ini.
Pasangan yang melakukan perkawinan sejenis tersebut mereka tahu bahwa itu
tidak umum ataupun juga salah tetapi mereka tetap melakukan karena
kecenderungan watak dan sifatnya tetap begitu.
Dalam sudut pandang Buddhis pernikahan sejenis boleh dilakukan dengan alasan
tidak ada pihak yang dirugikan atas pernikahan tersebut baik keluarga maupun
pribadi orang yang melakukan.
Solusi yang selanjutnya adalah orang yang mempunyai kondisi tidak umum seperti
itu sebaiknya tidak menikah saja yaitu sebagai umat awam dan nafsu seksnya
dipenuhi sendiri tanpa menikah dengan orang yang sama jenis kelaminnya.
Bila terjadi perkawinan sejenis, maka orang yang melakukan hal tersebut harus
memberikan pengabdian terhadap masyarakat.
Agama buddha tidak setuju dengan perkawinan sejenis apabila tujuannya hanya
untuk pemuasan nafsu seksual saja.
Agama buddha selalu memberikan jalan tengah bagi suatu permasalahan.
Agama Buddha tidak menolak dengan keras maupun tidak mengijinkan bagi
pernikahan sesama jenis antara wanita dengan wanita dan pria dengan pria.