MAKNA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN KORBAN K

MAKNA PERNIKAHAN PADA PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Wahyu Trihantoro
(wtrihantoro@gmail.com)
Lusi Asa Akhrani
Intan Rahmawati
Universitas Brawijaya
Malang
ABSTRACT
The purpose of this study was how the meaning of marriage for women victims of
domestic violence. Literature review in this study include perception of marriage concept and
the other concept that related with the meaning of marriage concept. This study was
phenomenological approach and coding as tehnique of data analysis. There are five
Informants of this study and all of them are women victims of domestic violence. The results
was how the marriage women victims of violence interprets their marriage. The five subject
interpreted marriage different from each others. ID interpreted marriage as something bleak,
II as something unmeaning, DW as something empty, silent, and suffer, RR as something
bleak. Meanwhile, SR interpreted marriage as sacred institution.
Keyword : meaning of marriage, domestic violence.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna pernikahan pada

perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini menggunakan teori persepsi
terhadap pernikahan dan teori tentang hal-hal yang berkaitan dengan makna pernikahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi dan teknik analisis data
menggunakan coding. Subjek penelitian berjumlah lima orang, subjek adalah perempuan
yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan tetap bertahan dalam pernikahannya.
Hasil penelitian dapat diketahui bagaimana perempuan yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga memaknai pernikahannya. Subjek ID memaknai pernikahan sebagai hal yang
suram, sedangkan Subjek II menganggap pernikahan tidak berarti bagi dirinya. Subjek DW
memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang hampa, sunyi dan menderita. Subjek RR
memaknai pernikahan sebagi sesuatu yang hampa. Berbeda dengan subjek lain SR memaknai
pernikahan sebagai lembaga yang sakral.
Kata kunci: makna pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga

1

2

LATAR BELAKANG
Setiap individu yang mulai beranjak dewasa memiliki keinginan untuk melaksanakan
pernikahan. Pernikahan itu sendiri merupakan suatu peristiwa, dimana sepasang mempelai

atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan saksi serta pernghulu
untuk kemudian disahkan secara resmi menjadi suami istri melalui upacara dan ritual-ritual
tertentu. Menurut Kartono (2000) peristiwa pernikahan merupakan suatu bentuk proklamasi,
dimana secara resmi sepasang laki-laki dan perempuan diumumkan untuk saling memiliki
satu sama lainnya. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar nomor lima merupakan salah
satu negara dengan jumlah pernikahan yang tinggi. Menurut Survei Penduduk tahun 2010 di
Indonesia jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237,056,000 orang dengan jumlah
pernikahannya adalah sebanyak 58,326,856, sedangkan menurut BKKBN pada 2010
pernikahan di Indonesia mencapai dua juta pasangan. Hasil data dari Federasi Kependudukan
Internasional (IPPF) menyatakan bahwa usia rata-rata pernikahan pertama pada perempuan
(usia 20-49) adalah 19,5 tahun sedangkan untuk laki-laki (usia 15-49) adalah 25,2 tahun.
Thompson (Papalia, Diane E., Olds, Sally W.,Feldman, Ruth D., Gross, Dana L, 2009)
menyatakan baik laki-laki maupun perempuan memiliki harapan yang berbeda dari
pernikahan. Bagi perempuan, keintiman dalam pernikahan diperoleh dengan berbagi perasaan
dan kepercayaan diri. Sedangkan bagi laki-laki keintiman pernikahan diperoleh melalui seks,
pertolongan praktis, rasa kedekatan dan melakukan sesuatu bersama. Laki-laki menganggap
pernikahan sebagai lembaga yang mengikat dan penuh dengan tanggung jawab. Dariyo
(2008) mengungkapkan bahwa laki-laki cenderung menganggap pernikahan akan
membelenggu kebebasan laki-laki dan mengikat laki-laki dalam rumah tangga. Beberapa
laki-laki mengalami tekanan sosial yang berkaitan dengan pernikahan terutama bagi laki-laki

yang telah mapan secara ekonomi walaupun tekanan yang didapat tidak sebesar perempuan
yang belum menikah.
Pernikahan harusnya dapat membuat suami dan istri merasa nyaman, merasa dilindungi,
dicintai, dibutuhkan serta diperhatikan sehingga masing-masing pasangan bisa merasa lepas
dari keterasingan dan kesepian yang dirasakan sebelum menikah. Disamping itu pula, suatu
pernikahan diharapkan juga mampu memenuhi kebutuhan terdalam sebagai manusia.
Kenyataannya, tidak semua pasangan suami – istri mampu memenuhi tujuan awal dari
pernikahan yang tertera dalam undang-undang pernikahan . Hal ini disebabkan karena adanya
tindakan kekerasan yang terjadi di rumah tangga yang dilakukan oleh suami atau istri
terhadap pasangannya (Malik, 2009). Tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
tersebut, dikenal dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
Menurut UU Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga, meski bukan permasalahan baru bagi masyarakat, namun
fenomena kasusnya sendiri masih seperti gunung es. Kasus yang dimunculkan di media baik
cetak maupun elektronik hanyalah sekian persen dari banyaknya kasus yang terjadi

dimasyarakat. Data komnas perempuan menyebutkan di Indonesia pada tahun 2011 kasus
KDRT yang tercatat sebanyak 113.878, sedangkan di Jawa Timur pada tahun 2011 tercatat
24.555 kasus KDRT yang tercatat. Komnas perempuan mencatat perempuan yang

3

mengalami kekerasan psikis menduduki urutan pertama kekerasan dalam rumah tangga.
Urutan selanjutnya adalah perempuan yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 63,99
persen, perempuan yang ditelantarkan ekonominya sebanyak 63,69 persen dan perempuan
yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 30,95 persen (www.kompasperempuan.or.id).
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menderita secara fisik maupun psikis.
Berlangsungnya kekerasan yang menimpa secara berulang-ulang merupakan suatu situasi
yang menekan dan menyakitkan, namun tak dapat dipungkiri ada beberapa korban KDRT
yang masih mempertahankan pernikahannya. Menurut data Komnas Perempuan dari 150
kasus KDRT hampir 75% korban memilih untuk kembali kepada suami dan mempertahankan
pernikahan sedangkan sisanya memilih untuk berpisah. Peneliti mendapatkan fakta di
lapangan tentang adanya perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang tetap
mempertahankan pernikahan walaupun mendapat kekerasan, dalam kasus ini pihak pelapor
bahkan bukan korban ataupun keluarga melainkan tetangga korban yang merasa kasihan
dengan keadaan korban. Fakta korban tetap mempertahankan rasa sakit dan penderitaaan

akibat kekerasan bertentangan dengan tujuan awal pernikahan yaitu menimbulkan
kebahagiaan bagi pasangan. Berdasarkan paparan di atas maka peneliti tertarik untuk
memahami lebih dalam tentang makna pernikahan pada perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga, dengan demikian penelitian ini mengambil judul “Makna Pernikahan Pada
Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.
KAJIAN TEORI
A. Pernikahan
Herning (Soewondo, 2001) mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan antara
laki-laki dan perempuan yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan
tujuan mendapatkan kebahagiaan. Keterikatan ini bersifat persahabatan, ditandai oleh
perasaan bersatu dan saling memiliki. Masing-masing individu perlu menyesuaikan diri pada
pasangannya dan mengubah diri agar sesuai. Sedangkan menurut Purwadarmitra (Walgito,
2000) pernikahan merupakan perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.
Pernyataan dari Duval dan Miller (Soewondo, 2001) menyebutkan bahwa pernikahan adalah
suatu hubungan yang diakui secara sosial antara laki-laki dan perempuan yang mensahkan
hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan terakhir. Hornby
(Walgito, 2000) menyebutkan pernikahan adalah bersatunya dua orang menjadi suami dan
istri. Menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 menyebutkan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Ada banyak definisi pernikahan namun ada satu pernyataan yang sama yaitu adanya
penyatuan laki-laki dan perempuan.
1. Persepsi terhadap pernikahan
Persepsi individu tentang sebuah pernikahan memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang
dimiliki individu mengenai pernikahan, pengharapan yang dimiliki individu untuk
pernikahannya sendiri serta penilaian individu mengenai pernikahannya (Calhoun dan
Acocella, 2007):

4

a. Pengetahuan
Aspek pertama dari persepsi tentang pernikahan adalah pengetahuan. Pengetahuan
yang dimaksud berupa pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan.
Pengetahuan ini didapatkan dari masa lalu dan perasaan terhadap pernikahan.
b. Pengharapan
Aspek kedua dari persepsi tentang pernikahan adalah harapan. Selain individu
mempunyai satu set pandangan terhadap pernikahan, individu juga memiliki
pengharapan terhadap pernikahannya sendiri, seperti apa pernikahan itu seharusnya
dan apa yang harus dilakukan dalam pernikahan.

c. Penilaian
Aspek terakhir dari persepsi tentang pernikahan adalah penilaian. Penilaian adalah
kesimpulan individu terhadap pernikahan yang didasarkan pada bagaimana
pernikahan tersebut memenuhi pengharapan individu terhadap pernikahan.
2. Makna pernikahan
Makna pernikahan tidak dapat terlepas dari tujuan-tujuan yang melingkupi pernikahan
tersebut. Makna pernikahan berkaitan erat dengan tujuan pernikahan, karena pernikahan tidak
memiliki makna bila apa yang menjadi tujuan pasangan tidak tercapai dalam pernikahan yang
mereka jalani. Menurut Cristensen (1987) makna pernikahan berkaitan dengan tiga hal,
antara lain :
a. Mewujudkan fungsi sosial keluarga.
Pernikahan adalah sebuah lembaga yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat.
Tanpa pernikahan, tidak ada satu pun masyarakat yang dapat terbentuk. lembaga
pernikahan perlu diorganisasikan untuk keperluan fungsi sosial yang diwujudkan
untuk kebutuhan manusia. Tujuan umum pernikahan dan keluarga adalah untuk
membenarkan keberadaan keluarga-keluarga tersebut dan untuk menjelaskan
universalitas dari lembaga pernikahan itu sendiri.
b. Melengkapi sifat alamiah jenis kelamin.
Penyatuan antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan pernikahan memungkinkan
timbulnya ketidakpastian yang sifatnya potensial. Penyatuan ini bersifat alamiah,

personal, intim, bersifat emosional, dan berkesinambungan dalam waktu lama,
memungkinkan adanya kesalahpahaman dan penderitaan yang sama besarnya seperti
peluang mengalami keharmonisan dan kebahagiaan.
c. Kebahagiaan sebagai tolok ukur suksesnya sebuah pernikahan.
Tujuan pernikahan seseorang adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Kepuasan
pernikahan dihasilkan ketika kebahagiaan dapat dirasakan oleh pasangan yang
mengalami pernikahan tersebut. Ketika tujuan pernikahan tercapai, maka muncullah
makna yang mendasari pernikahan tersebut.
B. Perempuan
Perempuan dan laki-laki dibedakan secara fisik melalui atribut jenis kelamin yang
melekat pada mereka. Jenis kelamin adalah perbedaan mendasar yang melekat pada laki-laki
dan perempuan dan sifatnya kodrati. Atribut jenis kelamin yang melekat pada perempuan
secara biologis berupa pertumbuhan payudara, diproduksinya sel telur, mengalami
menstruasi, memiliki kromosom XX, memiliki rahim, membesarnya pinggul.

5

Perempuan berbeda dengan laki-laki tidak hanya secara fisik namun juga secara
psikologis. Berdasarkan beberapa ahli dibidang psikologis, seperti Bratanata (Ekawati, A dan
Wulandari, S., 2011) mengatakan perempuan pada umumnya lebih baik pada ingatan dan

laki-laki lebih baik dalam berpikir logis. Senada dengan hal itu, Kartono (Ekawati, A. dan
Wulandari, S., 2011) mengatakan bahwa perempuan lebih tertarik pada masalah-masalah
kehidupan yang praktis konkrit, sedangkan laki-laki lebih tertarik pada segi-segi yang
abstrak.
Konteks budaya menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran sosialnya
yang dikenal dengan istilah gender. Gender dipahami sebagai konsep mengenai peran lakilaki dan perempuan di suatu masa atau kultur tertentu yang dikonstruksi. Dayanti (2007)
mengungkapkan penggambaran anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat
feminimnya sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan
segala atribut maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang
diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari.

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut UU Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga disebut
kekerasan domestik (domestic violence) karena seringkali dilakukan oleh suami kepada
isterinya. Selain itu lingkup kekerasan yang berada dalam lingkup rumah tangga atau rumah

dianggap sebagai alasan KDRT hanya masalah pribadi keluarga.
KDRT dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun, tanpa memandang jenis kelamin atau
preferensi seksual. Orang tua memukuli anak mereka, anak-anak menganiaya orang tua
mereka, istri menusuk suami, suami memukul istri, paman memukul keponakan, kakak
memperkosa adik, kakek membunuh cucu dan lain-lain intinya semua bisa menjadi korban
maupun pelaku (Nelson, 2005). Dharmono dan Diatri (2008) menyebutkan bahwa pelaku
biasanya adalah sosok yang mempunyai peran otoritas atau berstatus lebih kuat (suami atau
orang tua) sedangkan korban adalah anggota keluarga yang berstatus sub-ordinat atau lemah
(istri atau anak).
Kekerasan yang sering dialami oleh para korban KDRT tidak hanya kekerasan fisik
namun juga kekerasan dalam bentuk lain seperti kekerasan psikis, kekerasan seksual dan
kekerasan ekonomi. Merujuk pada UU Republik Indonesia no. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pada pasal 5 disebutkan bahwa:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau
penelantaran rumah tangga”.
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi (baik itu hanya sekali) tidak hanya
menyisakan ingatan tentang peristiwa tersebut saja, melainkan lebih jauh membawa dampak
yang cukup besar bagi korban untuk jangka pendek maupun jangka panjang (Dharmono dan
Diatri, 2008). Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa dapak fisik maupun


6

psikis. Dharmono dan Diatri (2008) mengatakan bahwa dampak fisik tidaklah lebih berat dari
dampak psikologis dalam hal menimbulkan penderitaan panjang. Dampak fisik dan
psikologis tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang sejajar dan tak terpisahkan. Dampak
fisik seperti cacat akan selalu menjadi bayangan nyata peristiwa traumatik tersebut.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Model pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fenomenologi. Adapun subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak lima
orang. Yaitu Pperempuan yang telah menikah dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga
serta tetap mempertahankan pernikahannya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti, seperti data hasil
wawancara yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan subyek dalam penelitian dan
melakukan observasi langsung. Sedangkan sumber data sekunder di sini bisa diperoleh dari
wawancara dengan narasumber pendukung yang dapat berasal dari para pegawai PPT yang
menangani kasus subjek. Selain itu sumber data sekunder juga bisa berupa dokumentasi yang
diperoleh ketika melakukan penelitian.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analis coding
terhadap hasil wawancara yang telah diverbatim. Coding adalah proses untuk mengurai,
menelaah, mengartikan data, membandingkan, dan dikonseptualisasikan sehingga
menghasilkan makna dan perspektif baru (Poerwandari, 2007).
Berikut model-model coding yang akan digunakan peneliti dalam penulisan ini
(Poerwandari, 2007): (1) Open Coding, yaitu coding yang dilakukan pertama kali dari
keseluruhan data yang diperoleh kemudian data-data tersebut diurai, diberi nama, dan
mengkategorikan data. (2) Axial Coding, yaitu prosedur yang diarahkan untuk melihat
keterkaitan antara kategori-kategori yang dihasilkan melalui open coding. (3) Selective
Coding, yaitu satu proses untuk menyeleksi kategori pokok, kemudian secara sistematis
menghubung-kannya dengan kategori-kategori yang lain. Proses ini secara langsung akan
memvalidasi keterkaitan antara kategori-kategori yang berhasil diidentifikasi.
HASIL
Karakteristik

Tempat,
Tanggal lahir

Usia
Pendidikan
Terakhir
Usia

ID
Surabaya,
24 April
1979

SUBJEK
DW
Surabaya,
29 Juni
1962

34 tahun 3
bulan

II
Surabaya,
13
September
1995
17 tahun 9
bulan

SMA

SD

SMA

SMA

S-1

13 tahun

2 tahun

28 tahun

24 tahun

8 tahun

51 tahun

RR
Malang,
10
Desember
1968
44 tahun 6
bulan

SR
Mojokerto,
15 Mei
1984
29 tahun 2
bulan

7

Pernikahan
Jumlah Anak
Domisili
Pekerjaan

2 orang
Sidoarjo
Karyawan
swasta

1 orang
Surabaya
SPG

2 orang
Surabaya
Guru

3 orang
Pandaan
Ibu rumah
tangga

1 orang
Sidoarjo
Guru

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa:
1. ID
ID merupakan ibu dari dua orang anak berprofesi sebagai karyawan koperasi simpan
pinjam dan memiliki suami yang bekerja serabutan, menikah selama 13 tahun dan mengalami
KDRT setelah usia pernikahannya tiga tahun. ID menikah dengan pasangannya karena
merasa kasihan dengan pasangannya tersebut. Pernikahan ID pada awalnya tidak disetujui
oleh orang tua ID, namun ID memaksa sehingga orang tua ID menyetujui pernikahan
tersebut. Pernikahan ID pada awalnya berjalan baik namun setelah tiga tahun pernikahan
suami ID kerap melakukan kekerasan. Menurut ID kekerasan yang dilakukan oleh
pasangannya karena pengaruh dari teman-temannya. Alasan ID untuk mempertahankan
pernikahannya adalah masih percaya pasangannya dapat berubah sikapnya dan demi anakanak ID.
2. II
II merupakan perempuan yatim piatu yang menikah muda pada usia 16 tahun dan
menikah dengan laki-laki yang usianya lebih tua 10 tahun, menikah selama hampir dua tahun
dan sejak awal menikah sudah mengalami KDRT. Alasan II menikah dengan suami karena II
yang yatim piatu diberikan janji oleh pasangannya, janji tersebut berupa perlindungan dan
pembiayaan hidup kepada II. II diterima dengan baik oleh keluarga pasangannya, hal ini juga
membuat II dekat dengan mertuanya. Pernikahan yang diharapkan bahagia oleh II ternyata
tidak sesuai dengan janji yang diberikan pasangannya, sejak awal menikah II sudah mendapat
perlakuan kekerasan. Menurut II suaminya melakukan kekerasan karena adanya salah paham
dan pengaruh dari pasangannya yang suka mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang. Alasan II bertahan dalam pernikahannya adalah demi anaknya yang masih kecil,
selain itu sikap mertua II yang baik membuat II merasa nyaman dan tidak ingin
meninggalkan kedua mertuanya.
3. DW
DW merupakan ibu dari dua orang anak berprofesi sebagai bunda paud dan memiliki
suami yang bekerja sebagai karyawan bank, menikah selama 28 tahun. Pertama kali
mengalami kekerasan dalam rumah tangga saat usia pernikahannya mencapai tiga tahun.
Alasan DW menikah dengan pasangannya adalah DW merasa terlindungi dan sikap
pasangannya yang sangat baik terhadap dirinya. Pernikahan DW pada awalnya berjalan
dengan baik namun setelah tiga tahun menikah DW mulai melakukan tindak kekerasan.
Menurut DW pasangannya kerap melakukan kekerasan karena pasangannya memiliki WIL,
kekerasan yang dialami oleh DW diakibatkan oleh emosi pasangannya yang meluap karena
bermasalah dengan selingkuhannya. DW bertahan dengan pernikahannya dikarenakan ingin
suaminya berubah dan faktor anak-anak yang masih dibiayai oleh pasangannya.

8

4. RR
RR merupakan Ibu dari tiga orang putri tidak memiliki pekerjaan dan menikah karena
dijodohkan dengan anak teman orang tua. Menikah selama 24 tahun dan sejak dua bulan
setelah menikah mengalami KDRT. RR menerima perjodohan tersebut karena takut menolak
perintah orang tuanya. Perjodohan ini tidak disetujui oleh semua pihak karena ibu mertua RR
tidak menyetujui perjodohan ini. Pernikahan RR tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkannya karena RR mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Menurut
RR dirinya tidak mengetahui alasan pasangannya melakukan kekerasan. RR memutuskan
bertahan dalam pernikahannya karena masih adanya harapan pasangannya akan berubah,
selain itu RR takut anak-anaknya tidak ada yang membiayai lagi.
5. SR
SR merupakan istri yang berprofesi sebagai guru menikah dengan karyawan swasta.
Menikah selama delapan tahun dan mengalami KDRT selama empat tahun. SR memiliki
seorang anak perempuan dari hasil pernikahan ini. SR mengungkapkan alasan dirinya
menikah karena cinta dengan pasangannya dan dirinya meminta pertanggung jawaban karena
telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dengan pasangannya. Pernikahan SR
pada awalnya berjalan dengan sangat baik karena dirinya merasa bahagia, selain itu
pasangannya juga sangat baik. Pernikahan yang bahagia itu hanya berlangsung empat tahun
karena setelah itu pasangannya kerap melakukan kekerasan. Menurut SR kekerasan yang
dilakukan pasangannya karena pengaruh “guna-guna” dari selingkuhan pasangannya. SR
sangat yakin suaminya adalah orang baik dan sekarang hanya sedang tidak sadar, hal ini
membuat SR bertahan dalam pernikahannya.
DISKUSI
Makna pernikahan tidak dapat terlepas dari tujuan-tujuan yang melingkupi pernikahan
tersebut. Makna pernikahan berkaitan erat dengan tujuan pernikahan, karena pernikahan tidak
memiliki makna bila apa yang menjadi tujuan pasangan tidak tercapai dalam pernikahan yang
mereka jalani. Seperti yang dialami oleh semua subjek dimana dirinya yang memiliki tujuan
pernikahan yang baik namun pada kenyataan harus mengalami kekerasan dalam rumah
tangga. Subjek terus mencoba untuk bertahan dengan pernikahannya walaupun tidak adanya
rasa kebahagiaan ataupun kepuasaan pernikahan.
Perbedaan antara harapan dan tujuan pernikahan dengan apa yang mereka rasakan selama
menikah membuat mereka memiliki pandangan tentang makna pernikahan yang berbeda.
Menurut Calhoun dan Acoucella (2007) Persepsi individu tentang sebuah pernikahan
memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan,
pengharapan yang dimiliki individu untuk pernikahannya sendiri serta penilaian individu
mengenai pernikahannya. Jika dikaitkan dengan perubahan pandangan subjek maka:
1. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki setiap subjek tentang pernikahan akan berbeda-beda, hal ini
dapat dilihat dari pernyataan setiap subjek. ID berpendapat bahwa pernikahan itu enak,
sedangkan II dan SR menganggap pernikahan sebagai hal yang baik. Berbeda dengan DW
yang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan membawa kebahagiaan,
pernyataan ini sama dengan RR yang menganggap pernikahan itu membawa kebahagiaan.
Semua pernyataan tersebut mengerucut pada satu hal dimana semua subjek memiliki
pengetahuan bahwa pernikahan itu selalu membawa hal yang baik dan dapat membuat
mereka bahagia. subjek mendapatkan pengetahuan tentang pernikahan yang bahagia sebagai

9

acuan utama yang mungkin bisa didapatkan dari banyak sumber seperti orang tua atau
pernikahan orang lain.
Pengetahuan yang mereka dapatkan merupakan pengetahuan yang belum terjadi pada diri
mereka, hal ini karena mereka dapatkan sebelum mereka menikah. Setelah mereka menikah
pengetahuan yang mereka dapatkan berubah karena mereka mendapat pernikahan yang tidak
sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Pernikahan yang selalu membawa bahagia tidak
mereka dapatkan dan berganti dengan pengetahuan baru dimana pernikahan mereka
mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang mereka rasakan membuat
mereka memiliki pengetahuan baru tentang pernikahan selain yang mereka dapat selama ini.
ID mengungkapkan setelah mengalami KDRT dirinya memandang pernikahan sebagai
hal yang suram, sedangkan II dan RR menganggap pernikahan sebagai hal yang membuat
dirinya sakit hati. DW memiliki pandangan lain dimana menurutnya pernikahan tidak hanya
mencari kebahagiaan antar individu tetapi juga kebahagiaan yang lain. Hal berbeda juga
diungkapkan SR dimana dia masih memandang pernikahan sama seperti sebelum mengalami
kekerasan karena menurutnya tidak ada yang salah dengan pernikahan. subjek yang
mendapatkan pengetahuan baru selain ada yang berubah namun ada juga yang tetap bertahan
dalam memandang pernikahan.
2. Pengharapan
Pengetahuan yang didapatkan oleh setiap subjek membuat Subjek memiliki harapan
tentang pernikahannya. Setiap subjek selalu berharap pernikahannya akan baik-baik saja,
tidak ada subjek yang menginginkan pernikahannya mengalami kekerasan atau tidak bahagia.
ID mengungkapkan bahwa harapannya menikah adalah bahagia dengan orang yang dia
sayangi, hal senada juga diungkapkan oleh DW, RR dan SR. Berbeda dengan mereka II
berharap dengan menikah dirinya mampu hidup lebih baik secara ekonomi dan dirinya
mendapat keluarga lagi karena keadaan dirinya yang yatim piatu.
Harapan yang dimiliki oleh subjek tidak terjadi saat mereka menikah karena mereka
mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Harapan akan mendapatkan pernikahan yang
bahagia harus berakhir menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang
dialami oleh semua subjek menciptakan suatu harapan baru menggantikan harapan yang
lama. ID mengungkapkan setelah mengalami KDRT dirinya hanya berharap bahwa suaminya
akan berubah dan dirinya tidak mengalami kekerasan lagi, hal yang sama juga diungkapkan
oleh empat subjek yang lain. Menurut semua subjek, suami mereka dapat berubah itu sudah
lebih dari cukup. subjek mengungkapkan selama ini mereka bertahan juga karena masih
adanya harapan perubahan sikap dari suami menjadi lebih baik dan tidak melakukan
kekerasan.
Harapan menjadi salah satu poin yang membuat mereka semua bertahan dalam
pernikahan yang bisa dikatakan tidak ada masa depan yang cerah di dalamnya. Harapan yang
tidak berlebihan karena hanya menginginkan perubahan sikap suami dan mereka tidak
mengalami kekerasan lagi. Sebagian besar subjek masih menganggap bahwa suami mereka
merupakan orang yang baik dan karena perasaan cinta yang dalam subjek rela mengorbankan
kebahagiaan dan bertahan. Keyakinan subjek bahwa suaminya mungkin dapat berubah
karena sebelumnya suami mereka telah memberikan janji-janji dan perlakuan yang baik
sebelum melakukan kekerasa. Perlakuan yang baik ini membuat subjek berusaha bertahan
dan menunggu selama mungkin sampai adanya perbuahan suami.

10

3. Penilaian
Aspek terakhir adalah penilaian, penilaian adalah aspek yang mempengaruhi subjek
dalam menentukan pandangan pernikahan. Aspek ini merupakan kesimpulan individu
terhadap pernikahan yang didasarkan pada bagaimana pernikahan tersebut memenuhi
pengharapan individu terhadap pernikahan. Subjek akan menentukan apakah pernikahan yang
mereka jalani telah sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Setiap subjek memberi penilaian yang berbeda tentang pernikahan, hal ini dapat dilihat
dari pernyataan mereka tentang pandangan mereka mengenai pernikahan setelah mengalami
kekerasan. ID memberikan pandangan bahwa pernikahan itu suram dan tidak enak. II, DW
dan RR sepakat menyatakan bahwa pernikahan itu tidak menarik dan hanya membuat sakit
hati. Pernyataan berbeda datang dari SR dimana dirinya masih menganggap bahwa
pernikahan itu sebagai sesuatu hal yang suci dan sakral.
Melihat pandangan awal mereka dalam pernikahan tidak dapat dipungkiri setiap subjek
memberikan penilaian yang baik terhadap sebuah pernikahan. Penilaian baik ini membuat
harapan mereka tentang pernikahan menjadi tinggi, mereka berharap bahwa pernikahan
mereka akan membawa kebahagiaan. Kekerasan yang dialami setiap subjek berperan penting
terhadap perubahan penilaian yang dilakukan oleh subjek. Perubahan penilaian ini
diakibatkan oleh kenyataan pernikahan yang mereka alami, tidak ada kebahagiaan seperti
yang mereka harapkan yang ada hanya kekerasan.
Tidak semua subjek merubah penilaian mereka terhadap pernikahan saat mengalami
kekerasan. Berbeda dengan subjek yang lain SR tidak merubah penilaiannya terhadap
pernikahan. Penilaian ini didasari atas keyakinan yang sangat kuat terhadap nilai sakral suatu
pernikahan. SR sangat yakin bahwa pernikahan itu baik tidak ada yang salah dengan
pernikhan, hal ini membuat SR mampu mempertahankan penilaian terhadap pernikahan
seperti sebelum mengalami kekerasan.
Proses penilaian, pemaknaan dan pengambilan keputusan individu dalam menghadapi
KDRT yang dialaminya tidak terlepas dari proses kognitif individu dalam memandang
dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Solso, Otto dan Kimberly (2009) kognitif adalah
proses-proses mental atau aktivitas pikiran dalam mencari, menemukan, mengetahui dan
memahami informasi. Melihat pengertian tersebut proses kognitif berperan menentukan
bagaimana subjek yang mengalami kekerasan memaknai pernikahan.
Proses kognitif yang dialami oleh setiap subjek berhubungan dengan bagaimana subjek
mengolah realita atau kenyataan tentang pernikahan mereka yang tidak bahagia. Informasi
awal mereka berhubungan dengan pernikahan adalah sesuatu yang baik dan tanpa kekerasan,
namun semua subjek mengalami hal yang sama yaitu kekerasan dalam rumah tangga. subjek
yang mengalami kekerasan menyadari bahwa informasi awal mereka salah dan berusaha
melakukan pengolahan informasi yang baru. Proses inilah yang menjadi salah satu landasan
subjek menentukan langkah dalam memaknai pernikahannya.
Setiap informasi diolah oleh setiap subjek dan memberikan hasil yang beragam. Kasus
ID, DW dan SR yang mengalami kekerasan setelah usia pernikahannya diatas dua tahun akan
berbeda dalam mengolah informasi dibandingkan II dan RR yang langsung mengalami
kekerasan setelah menikah. Hal ini membuat ID, DW dan SR pernah mendapatkan
pernikahan yang sesuai dengan harapan mereka sehingga dalam mengambil keputusan,
pengalaman ini pasti menjadi pertimbangan dalam menentukan makna pernikahan. II dan RR
memaknai pernikahan secara negatif, hal ini merupakan hasil dari bagaimana mengolah apa

11

yang mereka terima. II dan RR mengalami kekerasan sejak pernikahan sehingga mengalami
penderitaan namun ada kondisi yang mendukung mereka bertahan dalam pernikahannya.
Menurut Cristensen (1987) makna pernikahan berkaitan dengan tiga hal yaitu
mewujudkan fungsi sosial keluarga, melengkapi sifat alamiah jenis kelamin dan kebahagiaan
sebagai tolak ukur kesuksesan pernikahan. Berdasarkan data yang didapatkan setiap subjek
membangun makna pernikahan berdasarkan hal tersebut. Pertama adalah mewujudkan fungsi
sosial keluarga yang meliputi perlindungan, pembenaran status dan pemenuhan kebutuhan
keluarga. Setiap subjek mengalami hal yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dialami.
DW sebagai subjek yang mendapatkan semua poin tersebut, hal ini berakibat DW
memandang pernikahan melalui sudut pandang keluarga. II dan SR mengalami dua poin
dalam hal tersebut sedangkan ID dan RR hanya mengalami satu poin, hal ini mempengaruhi
mereka dalam memandang pernikahan terutama karena wujud sosial keluarga mereka tidak
berjalan dengan baik.
Kedua adalah melengkapi sifat alamiah jenis kelamin, salah satu fungsi pernikahan adalah
faktor pemenuhan kebutuhan biologis. Melengkapi sifat alamiah jenis kelamin meliputi
hubungan seksual, keharmonisan dan keintiman. Subjek mengungkapkan bahwa mereka
harus tetap melayani suami walaupun mengalami kekerasan, hal ini membuat mereka merasa
sebagai alat pemuas nafsu dibandingkan dengan seorang istri. RR dan SR merupakan subjek
yang hampir tidak pernah melakukan hubungan seksual karena permasalahan suaminya yang
berselingkuh, hal ini mengakibatkan kebutuhan batin mereka tidak terpenuhi. Sebaliknya ID,
II dan DW harus melayani suaminya secara seksual walaupun mengalami kekerasan karena
mereka harus tetap melaksanakan peran sebagai seorang istri, namun hal ini tidak membuat
mereka secara batin terpenuhi juga.
Ketiga adalah kebahagiaan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah pernikahan yang
meliputi kebahagiaan pernikahan dan kepuasaan pernikahan. Pernikahan bahagia menjadi
ukuran sebuah pernikahan sukses, namun pernikahan yang mengalami KDRT jelas tidak
memiliki kriteria bahagia. ID, II dan DW memiliki sedikit kebahagiaan dalam pernikahan
mereka, ID dan II menganggap bahwa kehadiran buah hati mereka sebagai bentuk
kebahagiaan. DW yang tidak menemukan kebahagiaan yang diharapkan mengorbankan
kebahagiaan dan memilih kebahagiaan anaknya sebagai kebahagiaannya sendiri. RR tidak
merasakan kebahagiaan dalam pernikahannya mereka karena menurut dirinya kebahagiaan
akan didapatkan setelah suaminya berubah dan dirinya tidak mengalami kekerasan lagi. SR
merasakan bahagia karena menikah dengan orang yang diinginkan, selain itu empat tahun
awal pernikahannya dipenuhi oleh kebahagaiaan.
Setiap subjek dalam memaknai pernikahan dipengaruhi oleh beberapa hal yang berbeda,
namun satu hal yang sama adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah
tangga yang dialami menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya makna
pernikahan.
Subjek yang mengalami KDRT dalam pernikahannya tidak begitu saja bercerai dengan
suaminya namun memilih untuk bertahan dengan pernikahannya. Subjek bertahan dengan
alasan yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dirasakan dalam pernikahannya. ID
bertahan dengan alasan demi anak-anaknya serta masih sangat berharap adanya perubahan
sikap dari suaminya. II, DW dan RR mengatakan bahwa alasanya bertahan dengan
pernikahannya adalah demi kesejahteraan anak-anaknya. Berbeda dengan alasan SR yang
bertahan karena merasa apa yang dilakukan suaminya sekarang dilakukan secara tidak sadar.
Hal ini menimbulkan konsekuensi yang diterima subjek dalam menjalani pernikahannya.

12

Konsekuensi yang diterima berupa harus tetap melayani suami secara seksual walaupun
suami melakukan kekerasa dalam rumah tangga. Konsekuensi lain adalah anak-anak yang
melihat kekerasan yang dialami oleh ibu mereka. Beberapa subjek harus menerima
konsekuensi yang berbeda karena situasi yang diterima berbeda. II yang yatim piatu harus
menerima konsekuensi perasaan bersalah mertuanya, sedangkan DW harus mengorbankan
kebahagiaan dirinya sendiri. RR merasa rendah diri karena hampir setiap hari menerima
kekerasan psikis berupa hinaan sebagai bentuk konsekuensi dirinya. Berbeda dengan SR yang
merasa kebutuhan batinnya tidak terpenuhi.
Berdasarkan data yang didapat makna pernikahan tidak hanya bisa didapatkan melalui
pernikahan yang bahagia namun ada beberapa hal yang berperan. Hal inilah yang akan
memunculkan makna pernikahan tergantung dengan kondisi pernikahan subjek. ID yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga selama 10 tahun pernikahannya dan bertahan
demi anak-anaknya mampu memunculkan makna pernikahan. Munculnya makna ini karena
adanya kekerasan yang dialami serta harapan pernikahannya yang tidak tercapai. Makna
pernikahan juga muncul dalam diri II yang merasa pernikahan bahagia yang dijanjikan oleh
suaminya tidak terjadi. DW dan RR juga memunculkan makna pernikahan, DW merasa
pernikahannya tidak seperti harapannya yang berharap akan adanya kebahagiaan, begitu juga
dengan RR yang merasa tertekan dengan pernikahannya. Perbedaan terjadi saat SR
memunculkan makna pernikahan bukan karena kekerasan yang dialami melainkan dari
kenangan dan keyakinan terhadap suaminya. Hal inilah yang membuat SR tetap bertahan
dalam pernikahannya.
Melihat dari pembahasan sebelumnya semua subjek dalam penelitian ini secara umum
sebelum menikah memandang pernikahan sebagai sesuatu hal yang baik.. Pandangan ini
mengerucut pada satu hal yang sama yaitu pernikahan akan membawa kebahagiaan, namun
pernikahan semua subjek dapat dikatakan tidak bahagia. Pernikahan semua subjek
mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang mereka alami mengakibatkan
mereka memiliki pandangan yang berubah tentang pernikahan. Pandangan mereka setelah
pernikahan dapat dilihat dalam tabel berikut:
NO
1

2

3

4

5

SUBJEK

MAKNA PERNIKAHAN
ID menganggap pernikahan sebagai hal yang suram. ID
menganalogikan pernikahan sebagai hal yang sama
Subjek ID
dengan bunuh diri lompat ke jurang karena membuat
dirinya sengsara.
II memandang pernikahan sudah tidak memiliki arti apaSubjek II
apa bagi dirinya. Pernikahan hanya membuat dirinya sakit.
DW memandang pernikahan sebagai sesuatu yang hampa,
sunyi dan menderita. DW merasa pernikahan itu seperti
Subjek DW
mati karena dirinya merasa menderita dan tertipu oleh
janji-janji suaminya.
RR memandang pernikahannya sebagai sesuatu yang
Subjek RR sangat tidak menarik karena isinya hanya kemelut dan
pertengkaran.
SR menganggap pernikahan itu sesuatu yang sakral dan
Subjek SR suci, pernikahan itu ibadah dimana tujuannya untuk
mencapai ridho Allah.

13

Melihat tabel diatas dapat dilihat bahwa kelima orang subjek mampu memunculkan
makna pernikahan, setiap subjek memaknai pernikahan secara berbeda. ID memaknai
pernikahan sebagai sesuatu yang suram dan sengsara, hal ini memperlihatkan bahwa
pernikahan yang dialami oleh ID tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Berbeda dengan II
yang memaknai pernikahan sebagai hal yang tidak berarti, II menganggap pernikahannya
tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh II. II yang berharap adanya kehidupan
keluarga bahagia hanya menerima kekerasan. Pernikahan bagi DW hanya sesuatu yang
hampa, sunyi dan menderita. DW sejak mengalami kekerasan berusaha bertahan karena
faktor anak-anak, DW menganggap bahwa dirinya tidak harus mencari kebahagiaan pribadi
namun juga memikirkan kebahagiaan anak-anaknya. RR yang terus mengalami kekerasan
sejak menikah memaknai pernikahan sebagai hal yang hanya berisi pertengkaran. Hal ini
disebabkan sikap suaminya yang tidak memperdulikan keluarga serta RR yang merasa tidak
diakui oleh keluarga besar suaminya. SR yang sangat yakin bahwa suaminya sedang tidak
sadar menganggap tidak ada yang salah dengan pernikahannya. SR percaya bahwa
pernikahan itu suci dan sakral sedangkan kekerasan yang terjadi karena individu yang salah.
Setiap subjek memaknai pernikahan sesuai dengan kondisi yang terjadi di dalam pernikahan
hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap pernikahan itu sendiri serta tiga faktor yang
mempengaruhi makna pernikahan.
KESIMPULAN
Subjek bertahan dalam pernikahan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga
dengan cara memunculkan harapan baru. ID bertahan karena berharap adanya perubahan
sikap dari suaminya dan percaya bahwa suaminya orang baik, begitu juga dengan II dan SR
yang berharap adanya perubahan sikap dari suami sehingga memutuskan bertahan. Berbeda
dengan DW yang lebih memilih bertahan karena berharap kehidupan yang lebih baik bagi
anak-anaknya, sedangkan RR bertahan karena faktor ekonomi dan anak-anak. Harapan inilah
yang menjadi dasar bagi narasumber memunculkan makna pernikahan.
Masing-masing subjek memiliki makna pernikahan yang berbeda. ID yang telah menikah
13 tahun memaknai pernikahan seperti hal yang suram, sedangkan bagi II yang baru menikah
dua tahun memaknai pernikahan sebagai hal yang tidak berarti. DW yang telah menikah 28
tahun memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang hampa. RR menikah selama 24 tahun
memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang tidak menarik. Berbeda dengan keempat subjek
lain SR yang telah menikah selam delapan tahun memaknai pernikahan sebagai hal yang
sakral. Perbedaan makna pernikahan karena adanya perbedaan masalah kekerasan yang
dialami, alasan pernikahan serta perbedaan kondisi mental dan pengalaman setiap subjek.
SARAN
Saran untuk istri sebagai korban KDRT, Istri perlu untuk memahami karakter individu
terutama pasangannya serta memahami dengan baik makna pernikahan. Hal ini dilakukan
sebagai langkah individu dalam menyelesaikan masalah sehingga tidak terjebak dalam
lingkaran KDRT terus menerus. Selain itu istri sebagai korban KDRT harus lebih kuat secara
psikis, hal ini bertujuan untuk melindungi hak dan kesejahteraan anak.
Saran untuk keluarga korban, peran keluarga sangat penting untuk memberi dukungan
kepada korban KDRT karena keluarga sebagai pihak terdekat dengan korban. Keluarga harus

14

mampu memberi dukungan yang positif dan tidak melakukan sikap menyalahkan atau
menyudutkan korban sehingga korban mengalami tekanan.
Saran untuk penelitian selanjutnya, keterbatasan pertama dalam penelitian ini adalah
susahnya menemukan subjek yang mau diwawancarai karena sebagian besar korban KDRT
tidak ingin diungkap kehidupannya. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya harus
mulai melakukan pendekatan kepada subjek mulai dari awal penelitian karena sikap subjek
yang tidak bersedia masalah pribadinya diungkap, selain itu disarankan peneliti selanjutnya
menggunakan lembaga perlindungan korban atau WCC yang memiliki database korban
kekerasan sehingga memudahkan peneliti dalam menemukan subjek penelitian. Keterbatasan
kedua adalah keterbatasan waktu, keterbatasan waktu yang dimaksud adalah keterbatasan
bertatap muka dengan subjek penelitian. Peneliti hanya berkesempatan bertemu satu kali
dengan subjek penelitian sehingga penggalian data untuk mendukung penelitian ini dirasa
kurang mendalam. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya harus menambah
frekuensi pertemuan dengan subjek penelitian sehingga peneliti mampu membangun
kepercayaan subjek dan mampu menggali data secara lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Calhoun, J.F & Acocella, J.R. (1990). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Terjemahan oleh R.S Satmoko.2007. Semarang: IKIP Semarang.
Cristensen, H.T. (1987). Marriage Analysis:Foundation for Successful Family Life. New
York: Ronald Press Company.
Dariyo, A. (2008). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo
Dayanti, L.D. (2007). Potret Kekerasan Gender dalam Sinetron Komedi di Televisi. Jurnal
Media Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Unair Vol 19 no 3 Juli 2007 [online]
www.journal.unair.ac.id/.../POTRET%20KEKERASAN%20GENDER%20DALAM.pdf)
Dharmono, S dan Diatri, H. (2008). Kekerasan dalam Rumah Tangga (Dampaknya Terhadap
Kesehatan Jiwa). Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Ekawati, A dan Wulandari, S. (2011). Perbedaan Jenis Kelamin Terhadap Kemampuan Siswa
dalam Mata Pelajaran Matematika (studi Kasus Sekolah Dasar). Jurnal Socioscentia
Vol 3 No 1 Februari 2011.
Kartono, K. (2000). Psikologi Wanita (jilid 1) ed Revisi. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
_________. (2000). Psikologi Wanita (jilid 2) ed Revisi. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Malik, R. (2009). Memahami Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Penerbit Universitas
Trisakti.
Nelson, N. (2005). Dangerous Relationship. terjemahan oleh Rahmani Astuti. 2006
.Bandung: How-Press.

15

Papalia, Diane E., Olds, Sally W.,Feldman, Ruth D., Gross, Dana L. (2008). Human
Development: Perkembangan Manusia buku 2. Terjemahan oleh Brian Marswendy.
2009. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Poerwandari, E. (2007). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: FP
Univeristas Indonesia
Soewondo, S. (2001). Keberadaan pihak ketiga, poligami dan permasalahan perkawinan
(Keluarga) ditinjau dari aspek psikologi. Munandar,S. C. U. (Ed.), Bunga Rampai
Psikologi Perkembangan Keperibadian dari Bayi Sampai Lanjut Usia. Jakarta: UI
Press
Solso, R.L. Otto, H dan Kimberly, M.. (2009). Psikologi Kognitif. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Walgito, B. (2000). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
www.bkkbn.go.id
www.bps.go.id
www.komnasperempuan.or.id
............, U U Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
............, U U No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN DI TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIK DALAM IKLAN SAMSUNG GALAXY S7 VERSI THE SMARTES7 ALWAYS KNOWS BEST)

132 481 19

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25